DAMPAK BURUK AKTIVITAS PERTAMBANGAN PT. FREEPORT INDONESIA Paper Healing Earth
Disusun Oleh: Andy Saputra
(141434038)
Patricia Dita
(141434077)
Hendrika Micelyn
(141434077)
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat bimbingan dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan paper yang berjudul “Dampak Buruk Aktivitas Pertambangan PT. Freeport Indonesia”. Paper ini berisi paparan dan ulasan yang cukup mendalam mengenai berbagai dampak yang disebabkan oleh aktivitas pertambangan PT. Freeport Indonesia di Papua, yang telah mengakibatkan kerugian besar serta kerusakan alam. Selain itu, aktivitas pertambangan PT. Freeport Indonesia juga mengganggu berbagai siklus alam sehingga tidak hanya berdampak pada kerusakan lingkungan tetapi juga pada kematian makhluk hidup. Penulis berharap paper ini dapat menjadi sumber belajar yang bermanfaat bagi para pembaca sehingga pembaca memeroleh pengetahuan mengenai apa saja dampak buruk aktivitas tambang PT. Freeport Indonesia dan dapat berefleksi untuk melakukan tindakan nyata sebagai sumbangsih bagi kebaikan lingkungan dan kesejahteraan manusia. Penulis sadar bahwa paper ini masih perlu pengembangan lagi agar lebih baik, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Selamat berkarya dan Tuhan memberkati.
Yogyakarta, 06 Juni 2017 Penulis
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam sehingga sejak dahulu kala negeri ini dijajah oleh kaum asing yang rakus dan ingin mengambil hasil buminya. Meski telah merdeka selama 70 tahun, Indonesia masih saja dijajah oleh negara asing yang berusaha menguasai hasil bumi Indonesia, seperti PT. Freeport yang telah berdiri sejak era orde baru. PT.
Freeport
Indonesia (PTFI)
adalah
sebuah
perusahaan pertambangan yang
mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc.. Perusahaan ini adalah pembayar pajak terbesar
kepada
Indonesia
dan
merupakan
perusahaan
penghasil
konstentrat emas dan tembaga terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di
kawasan Tembaga
Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Dalam melakukan eksplorasi di dua tempat tersebut PTFI melakukan perjanjian kontrak sebanyak dua kali dengan pemerintah Indonesia. Perbandingan kontrak karya I dan II adalah pada kontrak karya I luas arena kawasan pertambangan adalah 27.000 acres (11 ribu Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1967 sampai 1997. Fasilitas fiskalnya antara lain, pajak hariannya selama 3 tahun setelah berproduksi dan tidak ada royalti sampai tahun 1986. Kewajiban fiskalnya yaitu, pajak penghasilannya selama tahun 1976-1983 sebesar 35% dan pada tahun 1983-kontrak berakhir sebesar 41,75%. Sedangkan kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Kepemilikannya sebesar 100% oleh pihak asing sejak tahun 1967-1986 dan 0,5% oleh pihak pemerintah Indonesia serta 91,5 FCX pada tahun 1986 sampai masa kontrak berakhir. Sedangkan pada kontrak karya ke II luas arena kawasan pertambangan adalah 6,5 juta acres (26 juta Ha) dengan jangka waktu 30 tahun, terhitung dari tahun 1991 sampai 2021 dan
kemudian diperpanjang 20 tahun hingga tahun 2041. Dalam kontrak karya II tidak ada fasilitas fiskal, namun kewajiban fiskalnya antara lain, pajak penghasilan 35%, pajak dividen dan interest 15%, iuran tetap untuk wilayah KK, pajak penghasilan karyawan, PPn dan pajak barang mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, pungutan, pajak, beban dan bea pemda serta bea pungutan lainnya. Kewajiban royaltinya sejak tahun 1986 untuk tembaga sebesar 1,5-3,5% serta 1% untuk emas dan perak. Sedangkan kepemilikannya 81,28% oleh FCX, 9,36% oleh pemerintah Indonesia dan 9,36% oleh PT. Indocopper Investama. Dalam sejarah dan perkembangannya, PTFI memulai operasional penambangannya setelah diresmikan melalui penanda tanganan Kontrak Karya dengan pemerintah Indonesia, yang lalu berkembang hingga konstruksi skala besar yang lalu dilanjutkan hingga ekspor perdana konsentrat emas dan tembaga yang pada saat itu operasional penambangan masih dilakukan di areal bijih Ertsberg. Berkembangnya industri penambangan PTFI ini semakin melejit
setelah
ditemukannya
cadangan
–
cadangan
bijih
baru
kelas
dunia
seperti Grasberg oleh para geologis. Adapun bahan-bahan tambang yang dihasilkan oleh PT. Freeport Indonesia yaitu tembaga, emas, silver, molibdenum, dan Rhenium. Atas aktivitas pertambangannya, PTFI telah menjadi perusahaan tambang emas terbesar di dunia. Aktivitas pertambangan PTFI menimbulkan pro kontra di negara ini, sebab selain menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi warga negara Indonesia dan sumber pemasukan devisa negara yang besar, aktivitas pertambangan mereka telah merusak ribuan hektar hutan dan mencemari sungai di sekitar lokasi tambang. Isu ini selama beberapa tahun menjadi sangat hangat dan ramai diperbincangkan oleh khalayak umum, pemerintah dituntut untuk segera mengambil tindakan untuk menanggulangi kasus ini sehingga dampak buruk dapat diminimalisir. Berdasarkan masalah ini, penulis mencoba mengulas secara mendalam dan kritis tentang apa sebenarnya yang terjadi dan solusi apa yang hendak dihadirkan untuk mengatasi masalah ini. Sehingga, para pembaca dapat menambah wawasan dan ikut terinspirasi dalam melakukan gerakan hijau untuk lingkungan.
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana dampak pertambangan PTFI dilihat dari perspektif ekologis, sosial-ekonomi dan hukum? 2. Nilai apa saja yang hilang akibat adanya pertambangan PTFI?
3. Bagaimana solusi yang dapat ditawarkan dalam menghadapi masalah ini?
C. Tujuan 1. Untuk menguraikan dampak pertambangan PTFI dilihat dari perspektif ekologis, sosialekonomi, dan hukum. 2. Untuk mengetahui nilai apa saja yang hilang akibat adanya pertambangan PTFI. 3. Untuk menjelaskan upaya penanganan limbah PT. Freeport.
D. Manfaat Penulis berharap paper ini dapat memberi manfaat bagi seluruh pembaca sehingga pembaca dapat memiliki wawasan mengenai dampak buruk aktivitas pertambangan PTFI di lihat dari berbagai perspektif. Selain itu, penulis berharap paper ini dapat menyadarkan pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk segera melakukan tindakan nyata dalam mengatasi kasus ini.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Pertambangan Pertambangan
merupakan
suatu
aktivitas
penggalian,
pembongkaran,
serta
pengangkutan suatu endapan mineral yang terkandung dalam suatu area berdasarkan beberapa tahapan kegiatan secara efektif dan ekonomis, dengan menggunakan peralatan mekanis serta beberapa peralatan sesuai dengan perkembangan teknologi saat ini (Sulton, 2011). Hakikatnya pembangunan sektor tambang dan energi mengupayakan suatu proses pengembangan sumber daya mineral dan energi yang potensial untuk dimanfaatkan secara hemat dan optimal bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sumber daya mineral merupakan suatu sumber daya yang bersifat tidak terbaharui (unrenewable). Oleh karena itu, penerapannya diharapkan mampu menjaga keseimbangan serta keselamatan kinerja dan kelestarian lingkunga hidup maupun masyarakat sekitar (Sulton, 2011). Salim (dalam Sulton 2011) menyatakan bahwa paradigma baru kegiatan industri pertambangan ialah mengacu pada konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan, yang meliputi; 1) Penyelidikan Umum (prospecting), 2) Eksplorasi: eksplorasi pendahuluan, eksplorasi rinci, 3) Studi Kelayakan : teknik, ekonomik, lingkungan (termasuk studi amdal), 4) Persiapan produksi (development, construction), 5) Penambangan (pembongkaran, pemuatan, pengangkutan, penimbunan), 6) Reklamasi dan Pengelolaan Lingkungan, 7) Pengolahan (mineral dressing), 8) Pemurnian/metalurgi ekstraksi, 9) Pemasaran, 10) Corporate Social Responsibility (CSR), 11) Pengakhiran tambang.
B. Penggolongan Hasil Tambang Dalam penggolongan hasil tambang, Ngadiran (dalam Sulton 2011) menjelaskan bahwa izin usaha pertambangan meliputi izin untuk memanfaatkan bahan galian tambang yang bersifat ekstraktif seperti bahan galian tambang golongan A, golongan B, maupun golongan C. Ada banyak jenis sumberdaya alam bahan tambang yang terdapat di bumi Indonesia.
Dari sekian jenis bahan tambang yang ada itu dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: 1.) Bahan galian strategis golongan A, terdiri atas : minyak bumi, aspal, antrasit, batu bara, batu bara muda, batu bara tua, bitumen, bitumen cair, bitumen padat, gas alam, lilin bumi, radium, thorium, uranium, dan bahanbahan galian radio aktif lainnya (antara lain kobalt, nikel dan timah); 2.) Bahan galian vital golongan B, terdiri atas: air raksa, antimon, aklor, arsin, bauksit, besi, bismut, cerium, emas, intan, khrom, mangan, perak, plastik, rhutenium, seng, tembaga, timbal, titan/titanium, vanadium, wolfram, dan bahan-bahan logam langka lainnya (antara lain barit, belerang, berrilium, fluorspar, brom, koundum, kriolit, kreolin, kristal, kwarsa, yodium, dan zirkom); dan 3.) Bahan galian golongan C, terdiri atas; pasir, tanah uruk, dan batu kerikil. Bahan ini merupakan bahan tambang yang tersebar di berbagai daerah yang ada di Indonesia. Berdasarkan jenis pengelolaannya, kegiatan penambangan terdiri atas dua macam yaitu kegiatan penambangan yang dilakukan oleh badan usaha yang ditunjuk secara langsung oleh negara melalui Kuasa Pertambangan (KP) maupun Kontrak Karya (KK), dan penambangan yang dilakukan oleh rakyat secara manual. Kegiatan penambangan oleh badan usaha biasanya dilakukan dengan menggunakan teknologi yang lebih canggih sehingga hasil yang diharapkan lebih banyak dengan alokasi waktu yang lebih efisien, sedangkan penambangan rakyat merupakan aktivitas penambangan dengan menggunakan alat-alat sederhana.
C. Peraturan Pemerintah tentang Pertambangan Sebagai kegiatan usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang padat modal (high capital), padat resiko (high risk), dan padat teknologi (high technology). Selain itu, usaha pertambangan juga tergantung pada faktor alam yang akan mempengaruhi lokasi dimana cadangan bahan galian. Dengan karakteristik kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara tersebut maka diperlukan kepastian berusaha dan kepastian hukum di dunia pertambangan mineral dan batubara (Putri, 2012). Tahun 2009 merupakan babak baru bagi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba). Perubahan mendasar yang terjadi
adalah perubahan dari sistem kontrak karya dan perjanjian menjadi sistem perijinan, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang memberi ijin kepada pelaku usaha di industri pertambangan mineral dan batubara. Kehadiran UU Minerba tersebut menuai pro dan kontra. Ada sementara kalangan yang berpendapat bahwa beberapa kebijakan dalam UU Minerba tersebut tidak memberikan kepastian hukum terkait dengan kegiatan usaha di bidang pertambangan mineral dan batubara dan memberikan hambatan masuk bagi pelaku usaha tertentu. Industri mineral dan batubara menyangkut kepentingan banyak orang, oleh karena itu kondisi di industri tersebut harus berada di dalam persaingan usaha yang sehat. Salah satu syarat terciptanya persaingan yang sehat tersebut adalah tidak adanya hambatan masuk yang berlebihan ke dalam industri tersebut, termasuk hambatan yang berasal dari kebijakan Pemerintah (Putri, 2012). Undang-undang Mineral dan batu bara mengandung pokok-pokok pikiran sebagai berikut: 1)
Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah bersama dengan pelaku usaha.
2)
Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat untuk melakukan pengusahaan mineral dan batu bara berdasarkan izin, yang sejalan dengan otonomi daerah, diberikan oleh Pemerintah dan atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
3)
Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintah dan pemerintah daerah.
4)
Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesarbesar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
5)
Usaha pertambangan harus dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan mencegah serta mendorong tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
6)
Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup, transparansi, dan partisipasi masyarakat.
7)
Pertambangan mineral dan batubara dikelola dengan berazaskan manfaat, keadilan, dan keseimbangan; keberpihakan pada kepentingan bangsa; partisipatif, transparasnsi dan akuntabilitas; berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam rangka mendukung pembangunan nasional yang berkesinambungan, maka
tujuan pengelolaan mineral dan batubara adalah: 1)
Menjamin
efektifitas
pelaksanaan
dan
pengendalian
kegiatan
usaha
pertambangan secara berdaya guna, berhasil guna, dan baerdaya saing; 2)
Menjamin manfaat pertambangan mineral dan batubara secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup;
3)
Menjamin tersedianya mineral dan batubara sebagai bahan baku dan atau sebagai sumber energi untuk kebutuhan dalam negeri;
4)
Mendukung dan menumbuh kembangkan kemampuan nasional agar lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional, dan internasional;
5)
Meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, daerah, dan Negara, serta menciptakan lapangan kerja untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat; dan
6)
Menjamin kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara. Prinsip desentralisasi yang dianut dalam UU No.4 Tahun 2009 (UU Minerba) dapat
dikatakan sebagai langkah maju, tetapi masih dipenuhi dengan tantangan. Sebagian ruang bagi peran daerah (provinsi, kabupaten/kota) dapat teridentifikasi dalam undang-undang ini. Secara umum, aspek pembagian kewenangan antar pemerintahan (pusat dan daerah) jika merujuk UUD 1945 dan UU No.32 tahun 2004 yang menjadi landasan dalam penyusunan UU No.4 tahun 2009, maka substansi yang terkandung dalam UU No.4 Tahun 2009 menggariskan kewenangan eksklusif pemerintah (pusat) dalam hal sebagai berikut: 1) Penetapan kebijakan nasional; 2) Pembuatan peraturan perundang-undangan; 3) Penetapan standar, pedoman dan kriteria; 4) Penetapan sistem perijinan pertambangan minerba nasional;
5) Penetapan wilayah pertambangan setelah berkonsultasi dengan Pemda dan DPR. Tahapan Mengenai UU No. 4 Tahun 2009 Pertambangan Mineral dan Batubara 1) Penguasaan mineral dan batubara oleh Negara diselenggarakan oleh Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah. (Pasal 4) 2) Pemerintah dan DPR menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan batubara bagi kepentingan nasional. (Pasal5) 3) Pengelompokan usaha pertambangan : Mineral dan Batubara 4) Penggolongan tambang mineral: radioaktif, logam, non logam dan batuan. (Pasal 34) 5) 21 kewenangan berada di tangan pusat. (Pasal 6) 6) 14 kewenangan berada di tangan provinsi. (Pasal 7) 7) 12 kewenangan berada di tangan kabupaten/kota. (Pasal 8) 8) Wilayah pertambangan adalah bagian dari tata ruang nasional, ditetapkan pemerintah setelah koordinasi dengan Pemda dan DPR. (Pasal 10) 9) Wilayah pertambangan terdiri dari Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Nasional (WPN). (Pasal 14 – 33) Sistem/Rezim Perijinan (Pasal 35), terdiri atas 2 tahapan yang berkonsekuensi pada adanya 2 tingkatan perijinan: 1)
Eksplorasi yang meliputi : Penyelidikan Umum, Eksplorasi dan Studi Kelayakan
2)
Operasi produksi yang meliputi: Konstruksi, Penambangan, Pengolahan dan Pemurnian, Pengankutan serta Penjualan. (Pasal 36)
3)
IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN), koperasi, perseorangan. (Pasal 38)
4)
IPR bagi penduduk local dan koperasi. (Pasal 67)
5)
IUPK bagi badan usaha berbadan hukum Indonesia dengan prioritas pada BUMN/BUMD. (Pasal 75)
6)
Kewajiban keuangan bagi Negara: Pajak dan PNBP. Tambahan bagi IUPK pembayaran 10% dari keuntungan bersih.
7)
Pemeliharaan lingkungan: Konservasi, reklamasi. (Pasal 96 – 100)
8)
Kepentingan nasional: Pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. (Pasal 103 – 104)
9)
Pemanfaatan tenaga kerja setempat, partisipasi pengusaha local pada tahap produksi, program pengembangan masyarakat. (Pasal 106 – 107)
10) Penggunaan perusahaan jasa pertambangan local dan atau nasional. (Pasal 124) 11) Pusat : terhadap provinsi dan kabupaten/kota terkait penyelenggaraan pengelolaan pertambangan 12) Pusat, provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangan terhadap pemegang IUP dilakukan 13) Kabupaten/kota terhadap IPR. (Pasal 139 – 142)
D. Dampak Pembangunan Pertambangan Kegiatan pertambangan pada dasarnya merupakan proses pengalihan sumberdaya alam menjadi modal nyata ekonomi bagi negara dan selanjutnya menjadi modal social. Modal yang dihasilkan diharapkan mampu meningkatkan nilai kualitas insan bangsa untuk menghadapi hari depannya secara mandiri. Dalam proses pengalihan tersebut perlu memperhatikan interaksi antara faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup sehingga dampak yang terjadi dapat diketahui sedini mungkin. Menurut Salim (2007) dalam Ali Sulton (2011) setiap kegiatan pembangunan dibidang pertambangan pasti menimbulkan dampak positif maupun dampak
negatif.
Dampak positif dari kegiatan
pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan ekonomi nasional; 2. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD); 3. Menampung tenaga kerja, terutama masyarakat lingkar tambang; 4. Meningkatkan ekonomi masyarakat lingkar tambang; 5. Meningkatkan usaha mikro masyarakat lingkar tambang; 6. Meningkatkan kualitas SDM masyarakat lingkar tambang; dan 7. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat lingkar tambang. Dampak negatif dari pembangunan di bidang pertambangan adalah: 1. Kehancuran lingkungan hidup; 2. Penderitaan masyarakat adat; 3. Menurunnya kualitas hidup penduduk lokal; 4. Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan;
5. Kehancuran ekologi pulau-pulau; dan 6. Terjadi pelanggaran HAM pada kuasa pertambangan
BAB III ANALISIS
A. Kajian Ekologis Menurut data yang dilansir Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), aktivitas pertambangan Freeport telah menghasilkan 1 milyar ton limbah industri dalam bentuk tailings yang mengandung Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) ke sistem sungai Aghwagon-Otomona-Ajkwa, meskipun pembuangan limbah tambang kedalam sungai telah dilarang oleh PP 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Pembuangan tailings yang mengandung Air Asam Batuan PT. Freeport ini jelas telah memberikan dampak yang cukup serius bagi ekosistem sekitar, mulai dari perusakan habitat muara, kontaminasi pada rantai makanan di muara khususnya bagi spesies hewan dan tumbuhan yang berada disepanjang sungai Ajkwa serta di kawasan Taman Nasional Lorentz. Sungai Ajkwa merupakan satu dari tiga sungai yang menjadi tempat pembuangan limbah Freeport.Sungai ini merupakan area yang memiliki peranan penting bagi daerah sekitar serta penduduk lokal (Suku Kamoro) pada khususnya. Dikarenakan pada muara sungai Ajkwa terdapat lingkungan daratan dan perairan yang memiliki keragaman habitat diantaranya hutan bakau setinggi 25-30 meter, hutan rawa dan sagu lahan basah (Ratih, 2014). Suku Kamoro adalah salah satu suku yang mendiami dataran rendah sejak dahulu kala dan masyarakatnya memiliki ketergantungan pada air sungai untuk kelangsungan hidup mereka.Menurut penelitian antropologi oleh Universitas Cendrawasih dan Australian National University menunjukkan persentase yang tinggi dari keluarga-keluarga suku Kamoro yang menggunakan air sungai dalam kegiatan sehari-hari. Mulai dari untuk mencuci (mencapai 95%) dan sebagai sumber air minum utama (mencapai 60%).Disamping itu, sungai Ajkwa yang bermuara di laut Arafura atau Arafuru juga merupakan sumber air bagi makhluk hidup di Taman Nasional Lorentz, yang letaknya berdampingan dengan kawasan Kontrak Karya PT. Freeport Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, dapat tercermin betapa pentingnya aliran sungai Ajkwa bagi kelangsungan hidup manusia serta makhluk akuatik
lainnya, yang hidup di sungai maupun di laut Arafura atau Arafuru sehingga perlu dijaga kualitas airnya. Dampak pencemaran PTFI yang mengakibatkan rusaknya sebagian ekosistem perairan. Freeport mencemari sistem sungai dan lingkungan muara sungai, juga melanggar standar baku mutu air sepanjang tahun 2004 hingga 2006. Dan yang tidak kalah parah adalah membuang Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage) tanpa memiliki surat izin limbah bahan berbahaya beracun. Buangan Air Asam Batuan sudah sampai pada tingkatan yang melanggar standar limbah cair industri, keadaan seperti ini membahayakan air tanah. Ratarata air tanah yang berada di sekitar lokasi tambang PTFI telah mengalami pencemaran logam yang sangat berat. Padahal, pemerintah telah menghimbau kepada pihat terkait untuk membangun pos-pos pemantauan terhadap pengelolaan limbah, tetapi himbauan tersebut gagal untuk di lakukan. Secara keseluruhan, PTFI menyia-nyiakan 300 ribu ton limbah pertambangan dan sekitar 53.000 ton tembaga per tahun, yang dibuang ke sungai sebagai Air Asam Batuan (Acid Rock Drainage, ARD) dalam bentuk buangan (leachate) dan tailing. Tailing merupakan suatu limbah yang dihasilkan dari aktifitas tambang emas dari proses ekstrasi emas yang memiliki bentuk fisik berwujud gas, cair, dan padat. Tingkat pencemaran logam berat semacam ini sejuta kali lebih buruk dibanding yang bisa dicapai oleh standar praktik pencegahan pencemaran industri tambang. Salah satunya dampak dari sedimentasi di sungai ajkwa. Sedimentasi ini merupakan regenerasi di daerah ADA (daerah sekitar pertambangan yang mengalami pencemaran). Pembuangan limbah dari PT. Freepot-Rio yang tidak secara benar diolah menyebabkan adanya penumbukan tailing tambang yang telah mencapai 230 km2 daerah ADA tersebut (Pramudya,2012). Penumpukan tailing ini telah mencapai kedalaman 17 meter membuat air yang berada didalam sungai meluap. Sehingga, daerah ADA mengalami kekurangan karbon organik dan gizi kunci lainnya dengan kapasitas menahan air yang sangat buruk. Pencemaran yang parah di sungai ajwka merusak hutan bakau seluas 21 sampai 63 km2, menghambat proses fotosintesis perairan. Rantai makanan pada hutan bakau yang ada di sungai ajkwa mati karena pencemaran logam dari tailing. Total Padatan Tersuspensi (TPT) dari tailing yang ditemukan secara langsung berbahaya bagi insang dan telur ikan yang berkembang, organisme pemangsa, organisme yang membutuhkan sinar matahari (Photosynthetic), dan organisme yang menyaring makanan (filter feeding).
Pada daerah yang dimasuki tailing Freeeport menunjukan kandungan logam berbahaya yang secara signifikan lebih tinggi dibanding dengan muara-muara terdekat yang tak terkena dampak dan dijadikan acuan. Kandungan logam tembaga berbahaya yang ditemukan adalah tembaga, arsenic, mangan, timbal, perak dan seng. Kandungan logam berat seperti tembaga (Cu) yang melampaui ambang batas yang diperkenankan. Kandungan tembaga terlarut dalam efluent air limbah Freeport yang dilepaskan ke sungai maupun ke Muara Sungai Ajkwa 2 kali lipat dari ambang yang diperkenankan. Sementara itu untuk kandungan padatan tersuspensi (Total Suspended Solid) yang dibuang 25 kali lipat dari yang diperkenankan. Sedimentasi yang terjadi di perairan dapat berpengaruh antara lain pada pendangkalan dan perubahan bentang alam dasar laut, kesuburan perairan, dan keanekaragaman hayati. Hujan asam yang diakibatkan oleh emisi gas karbondioksida hasil aktifitas pertambangan di PT. Freeport juga telah menghilangkan biodiversitas di area baik yang dekat dengan area pertambangan maupun area yang masih termasuk dalam wilayah tersebut. Hujan asam yang dihasilkan dari limbah pertambangan telah mematikan 23.000 Ha wilayah kehutanan yang ada di wilayah tersebut. Hujan asam dapat melarutkan nutrisi yang terdapat dalam tanah sehingga tumbuhan yang ada di sana dapat mati karena tidak memeroleh nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Zat kimia beracun seperti aluminium juga akan terlepas dan bercampur dengan nutrisi. Apabila nutrisi ini diserap oleh tumbuhan maka akan menghambat pertumbuhan dan mempercepat daun berguguran. Hujan asam yang ini juga berakibat pada matinya ekosistem di perairan. Contohnya pada Sungai Ajkwa di mana yang dulunya terdapat ikan-ikan yang berkembang serta hidup dan dapat dikonsumsi oleh penduduk sekitar namun sungai ini sudah tercemar oleh limbah serta telah tercampur oleh hujan asam sehingga kehidupan ekosistem di perairan tersebut mati. Hujan asam akan meningkatkan keasamaan air di sungai tersebut sehingga biota air yang ada di dalamnya terganggu akibat rusaknya rantai makanan yang menjadi sumber berlangsungnya kehidupan biota tersebut. Pembukaan lahan untuk area pabrik pertambangan dan lokasi pengambilan material menyebabkan rusaknya vegetasi di daerah tersebut karena banyak tumbuhan yang akan mati tergusur menyebabkan rendahnya pengikatan CO2 oleh tumbuhan sehingga akumulasi CO2 di udara meningkat. Tambang PTFI dibangun di bawah tanah karena akumulasi hasil
tambang di daerah tersebut, adanya tambang bawah tanah menyebabkan gas metana (CH4) harus dibuang keluar demi keselamatan para pekerja tambangnya. Sehingga, apabila gas metana dibuang keluar maka akan menghasilkan emisi karena metana merupakan salah satu gas pemicu yang paling berpengaruh terhadap terjadinya efek rumah kaca. Selain itu, gas CO2 merupakan emisi dari peralatan pertambangan, kendaraan pengangkutan, mesin dalam ruang penyimpanan, serta mesin pendingin dalam fasilitas pemukiman, bandara dan pelabuhan. Tentunya dampak buruk yang ditimbulkan akibat aktivitas pertambangan PFTI sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat Papua terutama Suku Kamoro yang hidup di sana, sebab mereka kehilangan sumber daya alam yang menjadi sumber utama kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hal ini merupakan realita yang juga disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Laudato si bahwa kerusakan alam membawa dampak buruk bagi kaum miskin sebab mereka hidup mengandalkan kekayaan alam. Ini menjadi tantangan besar bagi Indonesia untuk segera menindaklanjuti kasus ini dan membuat kebijakan yang tegas sehingga dapat meminimalisir kerusakan alam di Papua akibat tambang PTFI. Percayalah, uang yang diperoleh negara dari hasil tambang PTFI tidak akan pernah dapat menggantikan kekayaan alam yang perlahan musnah dan habis dikeruk ‘keserakahan’ manusia yang hanya mementingkan kepentingan pribadi.
B. Kajian Sosial-Ekonomi Kedatangan PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua telah membawa perubahan yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat Papua pada umumnya dan masyarakat suku Kamoro pada khususnya. Perubahan yang cukup besar tersebut dapat dilihat dari kehadiran PT. Freeport telah menimbulkan kesenjangan sosial. Kesenjangan sosial ini timbul dikarenakan Freeport gagal dalam menepati janji untuk mensejahterakan hidup masyarakat Suku Kamoro dan Suku Amungme, (yang merupakan penduduk asli Papua dimana perusahaan ini melakukan penambangan). Menurut data Freeport tahun 2005, hanya 20% dari tenaga kerja tambang yang berasal dari Papua. Kebanyakan dari mereka bukan merupakan suku asli pemilik tanah dataran tinggi (Suku Amungme) dan dataran rendah (Suku Kamoro) sekitar situs tambang. Hal yang lebih mencengangkan adalah jumlah pekerja tambang yang berasal dari Suku Kamoro, yang merupakan pemilik tradisional dari tanah di
dataran rendah, yang harus menerima dampak terberat akibat operasional tambang tersebut bagi sumber daya alam ] produktif mereka hanya dipekerjakan dalam jumlah yang sedikit. Suku Kamoro adalah suku yang kebanyakan bermata pencaharian sebagai nelayan. Dikarenakan lingkungan dataran rendah yang menjadi tempat masyarakat Suku Kamoro mencari ikan, molusca dan tambelo telah tercemar maka masyarakat beralih mata pencaharian dengan berusaha untuk mencari sumber pendapatan lain. Masyarakat Suku Kamoro berusaha mencari sumber pendapatan lain dengan mencari tempat lain yang letaknya lebih tinggi untuk bertani dan beralih cara bercocok tanam. Disamping itu, mereka juga beralih mata pencaharian dengan menjadi peternak.agar mereka dapat memenuhi kebutuhan sehari-harinya untuk makan dan memperoleh penghasilan. Sejak kedatanga PTFI pun, Suku Kamoro menjadi masyarakat marginal yang kondisinya kurang diperhatikan oleh perusahaan dan pemerintah Indonesia. Kemudian pada sosial-politik operasional PT. Freeport Indonesia di Mimika, Papua telah membawa dampak bagi segala aspek kehidupan masyarakat Suku Kamoro pada khususnya dan masyarakat Papua pada umumnya. Dampak tersebut diantaranya adalah timbulnya kesenjangan sosial, pencemaran lingkungan, kerusakan lingkungan, hingga pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dari kesemua itu memicu adanya protes atau aksi demonstrasi sebagai bentuk ketidakpuasaan masyarakat akan keberadaan Freeport di Papua. Protes ini aplikasikan masyarakat suku asli Papua dalam bentuk pemasangan patok-patok silang pada lokasi operasional perusahaan, perusakan fasilitas dan penyanderaan mobilmilik perusahaan. Kehadiran perusahaan berskala internasional yang telah mengeksploitasi kekayaan alam Papua ini beresiko tinggi terhadap lingkungan hidup. Karena sifat perusahaannya mengorbankan aspek lingkungan hidup demi keberlangsungan kegiatan operasional perusahaan. Dimulai dari adanya tindakan penebangan pohon untuk keperluan konstruksi, penggundulan hutan sampai pada pembuangan limbah sisa hasil ekstraksi kedalam badan sungai.Hal ini secara tidak langsung telah mengacam kelestarian lingkungan hidup sekitar. Seiring dengan perkembangan pembangunan dan perkembangan masyarakat semakin sadar akan hak-haknya, diantaranya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat (right to a decent environment). Dengan keuntungan yang sedemikian besar, masyarakat Papua (khususnya suku Kamoro) yang terkena dampaknya, sudah sewajarnya menuntut perhatian
perusahaan untuk memberikan jaminan dan pembagian keuntungan, baik itu dalam bentuk peningkatan kesejahteraan hidup bahkan perbaikan kondisi sosial serta kelestarian lingkungan hidup yang mengalami perubahan besar akibat kegiatan operasionalisasi tambang emas dan tembaga melalui kegiatan CSRnya. Karena semangat pembangunan sendiri ditujukan untuk kepentingan rakyat dan dipergunakam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sesuai dengan bunyi pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
C. Kajian Hukum Dilihat dari kacamata hukum di Indonesia sendiri, sudah jelas bahwa aktivitas tambang PTFI tidak sesuai dengan peraturan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Minerba dan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 mengenai substansi bumi, air dan kekayaan alam “dikuasai negara” dan “dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Apa yang terjadi selama ini justru menimbulkan pertanyaan dimana peran pemerintah dalam menangani kasus ini. Menurut berita yang dilansir tempo, WALHI pernah menuntut PTFI karena dugaan pencemaran yang dilakukan dan meningkatkan kualitas air Danau Wanagon dari unsur Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi ambang batas baku air.21 Majelis hakim pun memutuskan bahwa PTFI bersalah dan diharuskan melakukan upaya-upaya perbaikan terhadap kerusakan yang telah mereka lakukan, antaranya adalah meminimalkan pencemaran yang dilakukan dan meningkatkan kualitas air Danau Wanagon dari unsur Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menjadi ambang batas baku air. Mengenai pengawasan, majelis hakim memutuskan, akan dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah dan lembaga non pemerintah yang terkait. Bahkan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendesak pemerintah untuk menutup PT Freeport Indonesia (FI) dan melakukan nasionalisasi aset terkait dengan maraknya pelanggaran HAM atas operasi tersebut. Sejak awal penandatanganan Kontrak Karya tahun 1967, pemerintah Indonesia tidak sadar bahwa kedatangan perusahaan Asing Freeport akan menjadi momok berbahaya bagi negeri ini. Mulanya kerjasama ini hanyalah strategi Presiden Soeharto untuk menstabilkan kondisi ekonomi Indonesia yang kala itu sangat buruk dikarenakan pergantian
kepemimpinan dan sebagainya. Kemudian diadakan renegosiasi kontrak karena diduga terjadi ketidakseimbangan pembagian hasil, terjadinya manipulasi, penyalahgunaan jabatan, dan korupsi dalam pembuatan kontrak. Selain itu, adanya praktik penyelundupan hukum yang berakibat merugikan negara misalnya pembelian dan pengendalian kegiatan perusahaan. Berdasarkan KK Pemerintah Indonesia dengan PTFI disepakati besar royalti yang dibayarkan oleh PTFI ke Pemerintah sebesar 1% (satu persen). Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, royalti PTFI menjadi 3.75% (tiga koma tujuh puluh lima persen) untuk emas, perak, dan tembaga walaupun kenaikan dari 1% (satu persen) menjadi 3.75% (tiga koma tujuh puluh ima persen) baru dibayarkan PTFI pada tahun 2014. Pengenaan royalti hanya sebesar 1% (satu persen) pada tahun 1991 ketika KK PTFI diperpanjang sesungguhnya bentuk kasat mata pe-rela-an negara untuk tidak mendapatkan manfaat yang maksimal dari kekayaan dalam yang diusahakan oleh PTFI. Bila tahun 1967 ketika PTFI pertama kali datang ke Indonesia, Indonesia tidak memiliki kemampuan finansial, teknologi, dan sumber daya manusia sehingga royalti 1% (satu persen) dianggap sudah cukup baik bagi Pemerintah. Namun, kondisi tersebut tersebut telah berubah di tahun 1991 ketika PTFI memperpanjang KK-nya sampai dengan 2021 yang seharusnya royalti kepada negara tidak hanya sebesar 1% (satu persen). Ada persoalan kapasitas para pembuat kebijakan pada tahun 1991 yang rela negara hanya mendapat royalti 1% (satu persen) dari tiap kilogram emas, tembaga, dan perak yang dihasilkan oleh PTFI. Permasalahan terjadinya manipulasi, penyalahgunaan jabatan, dan korupsi dalam pembuatan kontrak. KK PTFI baik KK 1967 atau KK Perpanjangan 1991 dibuat pada masa rezim Presiden Soerhato. Walau menurut UUD 1945 bahwa tujuan penguasaan sumber daya alam diselenggarakan guna sebesar-besar kamakmuran rakyat, namun kepentingan “golongan tertentu” menjadi realitas yang tidak terbantahkan dalam pengelolaan sumber daya alam tempo dulu ketika era otoriter orde baru yang diperintah oleh Soeharto yang menguasai kekuatan politik Indonesia. Sampai saat ini, isu ini masih hangat diperbincangkan dan menimbulkan gonjangganjing di berbagai media. Banyak pihak yang pro dan kontra namun tentunya pemerintah
harus tegas menangani kasus ini melalui jalur hukum yang seadil-adilnya. Tentu saja pemeritnah maupun masyarakat Indonesia harus siap menerima resiko dari tindaka yang diambil ini namun setidaknya kita menunjukkan pada dunia bahwa kita adalah negara yang berdaulat dan sungguh merdeka. Tanpa perusahaan asing pun, Indonesia seharusnya memang siap mengambil alih pertambangan PTFI dan mengolahnya secara bijak demi kesejahteraan rakyat.
D. Upaya Penanganan Limbah PTFI Sesuai dengan maksud dari strategi pengelolaan kualitas lingkungan ada cara untuk menentukan kualitas lingkungan yang lebih baik, maka ada 5 cara yang dapat dilakukan (Listiatoko, 2012): 1. Tata Letak Lokasi Dilihat dari lokasi penambangan utama PT. Freeport Indonesia Blok A Grassberg yang berada di ketinggian 4200 m di permukaan laut. Lokasi penambangan PT. Freeport Indonesia adalah berupa gunung cadas yang kaya akan mineral tambang. Tetapi, dilihat dari ketinggiannya yang berada 4200 meter di atas permukaan laut, lokasi penambangan ini tentu saja merupakan kawasan yang ditopang oleh ekosistem di bawahnya. Jadi, apabila kawasan ini terganggu maka akan merusak keseimbangan ekosistem yang berada di bawahnya. Jadi seharusnya, apabila akan dilakukan penambangan di lokasi penambangan PT. Freeport Indonesia yang sekarang maka harus dilakukan studi mengenai dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi yang dilakukan secara komprehensif dan mendalam. Jelas, hal ini tidak dilakukan oleh PT. Freeport maupun oleh Pemerintah Indonesia yang dalam hal ini sebagai pemilik wilayah. 2. Teknologi; Menerapkan Teknologi Bersih Tentu sangat sulit menerapkan teknologi bersih dalam kasus PT. Freeport. Karena untuk menghasilkan 1 gram emas di Grassberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja. Sejak tahun 1995, jumlah batuan limbah yang telah dibuang sebanyak 420 juta ton. Di akhir masa tambang, jumlah total limbah
batuan adalah 4 milyar ton. Di akhir masa tambang ketinggian tumpukan limbah batuan adalah 500 meter. Diperkirakan, tambang Grasberg harus membuang 2,8 milyar ton batuan penutup hingga penambangan berakhir tahun 2041. Melakukan efisiensi konversi bahan dalam kegiatan pertambangan merupakan hal yang hamper mustahil dilakukan karena pada dasarnya, kegiatan pertambangan adalah kegiatan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran. Dalam kasus PT. Freeport, yang dapat dilakukan hanyalah meyimpan lapisan tanah atas (top soil) hasil pengupasan yang dilakukan untuk mendapatkan mineral tambang di bawahnya untuk menutup kembali dan penghijauan lokasi pertambangan yang sudah tidak produktif lagi nantinya. 3. Sistem Pengolahan Limbah Sistem pengelolaan limbah yang dilakukan PT. Freeport Indonesia saat ini adalah limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura. Tempat penyimpanan limbah batuan dilakukan di Danau Wanagon. Danau Wanagon bukanlah danau seperti dalam bayangan umum. Wanagon lebih tepat disebut basin (kubangan air besar) yang terbentuk dari air hujan. Sejak PT. Freeport Indonesia (FI) menambang mineral di Grasberg tahun 1992, Wanagon dipilih sebagai lokasi pembuangan batuan penutup (overburden) yang menutupi mineralnya (ore). 4. Pengelolaan Media Lingkungan Pengelolaan media lingkungan agar media lingkungan mempunyai daya dukung lebih tinggi tidak dilakukan oleh PT. Freeport. Penggunaan Sungai Ajkwa sebagai ADA (Ajkwa Deposition Area) untuk mengalirkan limbah tailing sebelum dialirkan ke Laut Arafura dan menumpuk limbah batuan (overburden) di Danau Wanagon adalah contohnya. Tanpa melakukan modifikasi media lingkungan dan bahkan tanpa pengolahan sedikitpun, PT. Freeport membuang begitu saja limbah-limbah tersebut. Sekarang, sangat sulit dan hampir tidak mungkin untuk mengembalikan Sungai Ajkwa dan Danau Wanagon ke fungsi ekologis seperti sediakala. Proses Sedimentasi yang terjadi di sepanjang DAS Ajkwa dan tumpukan limbah batuan yang berada di Danau Wanagon suddah terlalu parah. Bahkan, di Danau Wanagon saat ini yang tersisa hanyalah batuan
dan pasir. Tidak tersisa sedikitpun pemandangan yang menunjukkan kalau tadinya Wanagon adalah suatu tempat yang mempunyai fungsi ekologis sebagai danau. 5. Perubahan Baku Mutu Demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah di masa datang, sekali lagi Walhi meminta pemerintah untuk melaksanakan pengambilan sampel secara berkala dan cermat, daripada mengandalkan laporan dari perusahaan. Pemerintah juga harus menerbitkan semua informasi lingkungan pada masyarakat sesuai Undang-undang Lingkungan Hidup (1997). Mengkaji ulang peraturan pajak dan royalti demi meningkatkan keuntungan bagi komunitas yang terkena dampak, propinsi Papua, demi mengurangi beban kerusakan lingkngan sejauh ini. Kajian ini kemudian harus digunakan sebagai dasar untuk pembahasan mengenai masa depan tambang oleh penduduk lokal dan pihak berkepentingan lainnya.
E. Solusi/Rekomendasi atas Permasalahan Tambang PTFI 1) Bagi Pemerintah - Pemerintah sebaiknya segera melakukan negosiasi dengan PTFI terkait Kontra Karya serta mengambil tindakan tegas berupa pengambil alihan tambang PTFI dan menyerakannya untuk dikelola Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan begitu kepentingan rakyat akan lebih diutamakan terutama dalam pengelolaan hasil tambang. - Pemerintah juga perlu memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli Papua yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan lainnya mengenai masa depan pertambangan tersebut serta memetakan dan mengkaji sejumlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk kemungkinan penutupan, kapasitas produksi, dan pengolahan limbah. - Konsep pengembangan berkelanjutan harus dikedepankan oleh pemerintah dengan memelihara kelestarian lingkungan. 2) Bagi Masyarakat - Terus mengawasi secara penuh kerja pemerintah dalam usaha mengambil alih PTFI dan menyerahkannya untuk dikelola BUMN.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Berdasarkan hasil analisis dan kajian dari segi ekologis, sosial-ekonomi, dan hukum maka dapat disimpulkan bahwa aktivitas pertambangan PTFI menimbulkan dampak buruk bukan hanya bagi lingkungan tetapi juga bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat Suku Kamoro di Mimika, Papua. 2. Aktivitas pertambangan PTFI tidak memerhatikan nilai ekologis, etika, dan spiritualitas dimana seharusnya aktivitas pertambangan memerhatikan dampak terhadap lingkungan dan makhluk hidup serta tuntutan untuk menjaga alam yang adalah anugerah dari Tuhan. 3. Upaya penanganan limbah PT. Freeport difokuskan pada 5 hal yaitu tata letak lokasi, teknologi yang digunakan, sistem pengolahan limbah, pengelolaan media lingkungan, dan perubahan baku mutu.
B. Saran Sesuai dengan hasil pemaparan di atas mengenai dampak buruk aktivitas pertambangan PT. Freeport pada lingkungan, pemerintah diharapkan dapat melakukan tindakan tegas untuk menanggulangi kasus ini. Selain itu, masyarakat hendaknya mendukung pemerintah dalam menghadirkan solusi nyata dalam penanggulangan dampak buruk terhadap lingkungan akibat aktivitas tambang PTFI.
DAFTAR PUSTAKA
Listiatoko, Ajun, dkk. 2012. Limbah Berbahaya dan Beracun (B3). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Pramudya, Bob Ilham.2012. Kebobrokan Freeport Pencemaran Lingkungan & Pelanggaran HAM Perusaan Emas Terbesar di Indonesia. Diunduh dalam http://www.kompasiana.com/bobobladi/kebobrokan-freeport-pencemaran-lingkunganpelanggaran-ham-perusaan-emas-terbesar-di-indonesia_5519c8bca33311a61bb6595c pada tanggal 01 Juni 2017 pukul 14.08 WIB. Putri, Sari. 2012. Pengaruh Industri Tambang Batubara terhadap Perkembangan Kota Sawahlunto (1891-1935). Skripsi S-1 Arkeologi. Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Ratih. 2014. eJournal Hubungan Internasional, 2014, 2, (2): 411-426. Dampak Operasional PT. Freeport pada Kehidupan Suku Kamoro. Diakses pada tanggal 20 Mei 2017 dalam http://ejournal.hi.fisipunmul.ac.id/site/wpcontent/uploads/2014/06/Ratih%20H%20PDF%20%2806-03-14-0245-44%29.pdf Sulton, Ali. 2011. Dampak Aktivitas Pertambangan Bhan Galian Golongan C terhadap Kondisi Kehidupan
Masyarakat
Desa.
Diunduh
dalam
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48165 pada tanggal 30 Mei 2017 pukul 09.10 WIB. WALHI. Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan Emas Freeport-Rio Tinto di Papua. Diunduh dalam www.walhi.or.id pada tanggal 01 Juni 2017 pukul 10.29 WIB.