Penyakit gloukoma menjadi salah satu penyebab utama tingginya angka kebutaan di dunia dengan persentase mencapai 10 persen, kata dokter spesialis mata RSUD dr Saiful Anwar, dr Soni Agung Santoso. "Di Indonesia, kasus gloukoma tergolong paling tinggi setelah katarak, akibat kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap jenis penyakit satu ini," katanya saat menjadi pembicara tunggal dalam seminar kesehatan mata bertema 'Gloukoma dan Mata Kering' di klinik mata Inoveye, Kota Blitar, Sabtu (23/8). Ia tidak merinci jumlah kasus penyakit yang disebabkan meningkatnya tekanan pada bola mata tersebut di Indonesia, namun data yang pernah dirilis Kementerian Kesehatan RI pada akhir 2013 mencatat kasus glukoma di Indonesia mendekati angka 500 ribu penderita. Penyakit mata yang bisa menyebabkan kebutaan sejauh ini masih didominasi kasus katarak dengan persentase mencapai 39 persen. "Sebaran kedua yang bisa memicu kebutaan adalah kasus mata refraktif atau kelainan pada bola mata sehingga bayangan benda tidak bisa jatuh pada makula retina," katanya. Menurut dia, kasus refraksi mata mencapai 18 persen di bawah katarak, namun kedua jenis penyakit mata tersebut pada dasarnya masih bisa disembuhkan atau dipulihkan untuk penglihatan penderita dengan syarat segera dilakukan tindakan medis dan tidak ada penyakit bawaan lain. Kondisi sebaliknya terjadi pada penderita glukoma. "Penderita glukoma yang sudah mengalami penurunan lapang pandang tidak bisa disembuhkan. Tindakan medis ataupun pengob atan hanya bisa dilakukan untuk mempertahankan kemampuan melihat yang masih ada," terang dia. Namun, lanjut dia, penyakit yang disebabkan meningkatnya tekanan cairan pada bola mata yang berdampak pada rusaknya sistem saraf penglihatan itu masih bisa dicegah preventable (preventable blindness) blindness ) atau setidaknya diperlambat melalui deteksi dini dan pengobatan yang benar. "Meningkatnya tekanan pada bola mata disebabkan cairan (nutrisi) yang masuk ke dalam bola mata tidak diimbangi dengan cairan keluar akibat tersumbatnya saluran buang pada bola mata tadi. Obat ataupun tindakan medis membuat saluran buatan dimaksudkan untuk membantu keseimbangan antara cairan masuk dan keluar ini," urainya.
akarta, Kompas - Sebanyak 75 persen kebutaan bisa dicegah, diperlambat, dan direhabilitasi jika ditangani segera. Karena itu, pemerintah memprioritaskan penanganan empat gangguan penglihatan yang banyak menyebabkan kebutaan. Hal itu dikemukakan Kepala Subdirektorat Kesehatan Khusus, Usia Lanjut, dan Pelayanan Darah Kementerian Kesehatan Eko Budi Priyanto dalam Workshop Kesehatan Indra Penglihatan bertema ”Mata Sehat di Segala Usia untuk Peningkatan Kualitas Hidup Masyarakat Indonesia”, Kamis (11/10), di Jakarta. Acara itu diselenggarakan dalam rangka Hari Penglihatan Sedunia (World Sight Day) yang diperingati tiap Kamis minggu kedu a Oktober.
Empat penyebab utama kebutaan adalah katarak, glaukoma, kelainan refraksi, dan xeroftalmia. Penemuan kasus dan perujukan untuk empat gangguan itu jadi indikator kerja puskesmas. ”Katarak (kekeruhan pada lensa mata) merupakan penyebab 50 persen kebutaan. Ini diatasi dengan operasi,” ujarnya. Kelainan refraksi dikoreksi dengan kacamata atau lensa. Adapun xeroftalmia, gangguan akibat kekurangan vitamin A, dapat dicegah dengan pemenuhan vitamin A, nutrisi, dan penanganan infeksi. Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar 2007, prevalensi kebutaan nasional 0,9 persen. Jika penduduk Indonesia 220 juta jiwa, diperkirakan jumlah penduduk buta 2 juta jiwa. Kendala penanganan kesehatan mata, menurut Eko, antara lain jumlah dan distribusi dokter spesialis mata tidak memadai, akses masyarakat terhadap pelayanan kurang, penapisan kasus di puskesmas minim, sistem rujukan belum baik, dan peralatan pelayanan kesehatan mata belum tersedia di sebagian rumah sakit. Pembicara lain, dokter spesialis mata dari RSUPN Cipto Mangunkusumo, Virna Dwi Oktariana, mengatakan, penanganan sesegera mungkin dengan obat, operasi laser, dan operasi pada kasus glaukoma bisa mencegah kerusakan lebih lanjut. Glaukoma, tekanan pada bola mata, antara lain, disebabkan trauma, radang mata, obat yang mengandung steroid, katarak hipermatur, dan komplikasi penyakit sistemik. Eko mengatakan, pemerintah menerbitkan Kepmenkes Nomor 1437/Menkes/SK/X/2005 tentang Rencana Strategis Nasional Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk mencapai Vision 2020. Beberapa upaya adalah menjalin kemitraan pemangku kepentingan, memberikan dukungan kepada dokter berprestasi untuk melanjutkan pendidikan spesialis mata, pelatihan tenaga puskesmas, pengembangan puskesmas dengan unggulan program Kesehatan Indra, dan kegiatan yang diintegrasikan dengan kegiatan kesehatan lain. (INE) Glaukoma, Deteksi Dini Mengikis Risiko Kebutaan Cornelius Eko Susanto - mediaindonesia.com 16 Maret 2010 Nasehat bijak ini disampaikan Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) Tjahjono Darminto Goendhowiardjo, mengingat makin bertambahnya kasus penyakit mata glaukoma di negara ini. Glaukoma adalah nama penyakit yang diberikan untuk sekumpulan penyakit mata di mana terjadi kerusakan syaraf mata (nervus opticus) yang terletak di belakang mata dan mengakibatkan penurunan penglihatan tepi (perifer) dan berujung dengan kebutaan. Pada kebanyakan orang, kerusakan syaraf mata ini disebabkan oleh peningkatan tekanan di dalam bola mata sebagai akibat adanya hambatan sirkulasi atau pengaliran cairan bola mata (cairan jernih yang membawa oksigen, gula dan nutrient/zat gizi penting lainnya ke bagian-bagian mata dan juga untuk mempertahankan bentuk bola mata). Pada sebagian pasien, kerusakan syaraf mata bisa juga disebabkan oleh suplai darah yang kurang ke daerah vital jaringan nervus opticus, adanya kelemahan struktur dari syaraf atau adanya masalah kesehatan jaringan syaraf. Dua tipe glaukoma yang paling sering ditemui pada pasien adalah Primary Open Angle Glaucoma (POAG-glaukoma sudut terbuka) dan Acute/chronic closed angle glaucoma (glaukoma sudut tertutup). "Glaukoma merupakan salah satu penyebab kebutaan yang tertinggi di Asia bahkan dunia," imbuh
Tjahyono. Hampir semua orang yang teriNdikasi mengidap glaukoma tidak mengetahui dirinya menderita penyakit mata yang pernah diderita Almarhum Gur Dur ini. Gla ukoma tidak mengeluarkan gejala. Tjahyono mengibaratkan, kerja glaukoma seperti benalu, yang perlahan tapi pasti bakal merampas kemampuan melihat si penderita tanpa dia sadari. Menurut lembaga kesehatan dunia, World Healht Organization (WHO), sebanyak 90% kasus glaukoma di negara berkembang tidak terdeteksi, sedangkan di Negara maju sebanyak 50%. Menurut hemat Tjahyono, deteksi dini penyakit glaukoma di Indonesia cukup sulit, Pasalnya, kesadaran masyarakat untuk memeriksakan mata masih rendah. Di samping itu, alat deteksi dini glaukoma hanya berada di rumah sakit yang memiliki layanan spesialis mata. Pemeriksaan mata secara rutin dan berkala adalah kunci untuk mendeteksi seawal mungkin glaukoma. Semakin pagi gejala galukoma diketahui, maka semakin rendah resiko pasien mengalami kebutaan. Jenis deteksi dini glaukoma yang dapat dilakukan seperti, dengan pemeriksaan syaraf optik dengan alat optalmoskop, pemeriksaan tekanan mata dengan tonometer dan jika perlu pemeriksaan lapang pandangan. "Jika sudah berusia 40 tahun ke atas, sebaiknya rutin memeriksakan kesehatan mata satu tahun sekali. Jika terindikasi menderita glaukoma, pemeriksaan rutin sebaiknya dilakuikan 2-3 bulan sekali." Kendati glaukoma tidak dapat disembuhkan, tetapi potensi kebutaan sebetulnya dapat dicegah. Pengobatan paling sederhana pada penderita adalah dengan meneteskan obat mata. Ini adalah cara paling umum dan wajib dilakukan secara teratur. Andai obat tetes mata tidak menghentikan kerusakan penglihatan, maka penanganan selanjutnya yang dipilih dokter adalah laser (laser trabeculoplasty). Pada kebanyakan kasus, meski telah dilakukan tindakan laser ini, obat tetes mata tetap harus diberikan. Pembedahan (trabeculectomy) adalah jalan terakhir jika dua metode di ata gagal mengontrol tekanan bola mata. Melalui pembedahan, sebuah saluran dibuat untuk memungkinkan cairan mata mengalir keluar. Tindakan ini dapat menyelamatkan sisa penglihatan yang ada tapi tidak memperbaiki tingkat pengelihatan. Gangguan penglihatan dan kebutaan masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Survey Kesehatan Indera tahun1993-1996 menunjkan 1,5% penduduk nengalami kebutaan oleh katarak (52%), glaukoma (13,4%), kelainan refraksi (9,5%), ganguan retina (8,5%), kelainan kornea (8,4%) dan penyakit mata yang lain. Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih menyatakan seiring dengan bertambahnya peningkatan usia harapan hidup maka penderita glaukoma di Tanah Air bakal terus bertambah. Survei Nasional Kebutaan menunukan penderita glaukoma terus bertambah. Tercatat, pada 1982 prevalensi glaukoma hanya 0,20%. Namun pada survey 1996, prevalensi penderita glaukoma bertambah dua kali lipat menjadi 0,40%. Lantaran hambatan SDM dan keterbatasan dana, maka kata Endang mustahil penangangan glaukoma dapat dipikul sendirian oleh pemerintah. Lantaran itu dukungan dari organisasi profesi, lintas sector, swasta dan partisipasi masyarakat menjadi kunci menekan bertambahnya kasus glaukoma. (Tlc/OL-7)