Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup Oleh: AGUSTINUS LONIS - Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
Ringkasan Berbagai macam persoalan mengenai lingkungan hidup merupakan suatu masalah bersama yang dihadapi oleh manusia. Manusia perlu menanggapinya dengan serius sambil mengusahakan suatu solusi yang terbaik. Oleh karena itu, hal-hal yang perlu dilakukan sebagai usaha melestarikan lingkungan hidup antara lain; upaya rekonsiliasi, perubahan konsep tentang alam dan penanaman budaya pelestari. —————-
Permasalahan seputar lingkungan hidup selalu terdengar. Segala macam pemberitaan tentang kerusakan lingkungan hidup tidak lagi asing di pengamatan dan pendengaran kita. Peristiwa demi peristiwa terjadi tanpa kompromi. Kapan dan dimana akan terjadi, manusia hanya bisa mereka-reka. Dan melalui pemanfaatan kecanggihan teknologi yang ada, manusia hanya bisa menghindar dan menyelamatkan diri. Oleh karena itu, tak jarang keresahan dan kecemasan manusia akan suatu efek yang lebih besar, terus menerus membayangi hidup manusia. Dengan demikian, timbullah persepsi bahwa alam adalah musuh bagi manusia, sehingga tingkat kewaspadaan manusia pun semakin meningkat. Kejadian demi kejadian yang dialami di dalam negeri ini telah memberi dampak yang sangat besar. Tidak sedikit kerugian yang dialami, termasuk nyawa manusia juga. Namun hal yang perlu dipertanyakan, apakah pengalaman tersebut sudah cukup menyadarkan manusia untuk melihat kesalahan dalam dirinya? Ataukah manusia justru merasa lebih nyaman dengan sikap menghindar dan menyelamatkan diri tanpa suatu pencarian solusi yang lebih baik dan lebih tepat lagi/ Menurut saya, ada beberapa usaha yang mestinya dilakukan oleh manusia dalam upaya pelestarian lingkungan hidup, yaitu upaya rekonsiliasi, perubahan konsep atau pemahaman tentang alam dan menanamkan budaya pelestari. Upaya Rekonsiliasi Kenyataan kerusakan lingkungan hidup dan efeknya terus berlangsung dan terjadi. Manusia cenderung untuk menangisi nasibnya. Lama-kelamaan tangisan terhadap nasib itu terlupakan dan dianggap sebagai hembusan angin yang berlalu. Bekas tangisan karena efek dari kerusakan lingkungan yang dialaminya hanya tinggal menjadi suatu memori untuk dikisahkan. Tapi perlu diingat bahwa tidaklah cukup jika manusia hanya sebatas menangisi nasibnya, tetapi pada kenyataannya tidak pernah sadar bahwa semua kejadian tersebut adalah hasil dari suatu perilaku dan tindakan yang patut diperbaiki dan diubah. Setiap peristiwa dan kejadian alam sebagai akibat dari kerusakan lingkungan hidup merupakan suatu pertanda bahwa manusia mesti sadar dan berubah. Upaya rekonsiliasi menjadi suatu sumbangan positif yang perlu disadari. Tanpa sikap rekonsiliasi, maka kejadian-kejadian alam sebagai akibat kerusakan lingkungan hidup hanya akan menjadi langganan yang terus-menerus dituai.Lalu, usaha manusia untuk selalu menghindarkan diri dari akibat kerusakan lingkungan hidup tersebut hendaknya bukan dipahami sebagai suatu kenyamanan saja. Tetapi justru kesempatan itu menjadi titik tolak untuk memulai suatu
perubahan. Perubahan untuk dapat mencegah dan meminimalisir efek yang lebih besar. Jadi, sikap rekonsiliasi dari pihak manusia dapat memungkinkannya melakukan perubahan demi kenyamanan
di
tengah-tengah
lingkungan
hidupnya.
Perubahan Konsep Manusia Tentang Alam Salah satu paham yang mungkin menjadi akar permasalahan seputar kerusakan lingkungan hidup adalah terjadinya pergeseran konsep manusia tentang alam. Berbagai fakta kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di dalam tanah air kita tidak lain adalah hasil dari suatu pergeseran pemahaman manusia tentang alam. Cara pandang tersebut melahirkan tindakan yang salah dan membahayakan. Misalnya, konsep tentang alam sebagai obyek. Konsep ini seolah-olah bahkan secara terang-terangan memberi indikasi bahwa manusia cenderung untuk mempergunakan alam semau gue. Dan tindakan dan perilaku manusia dalam mengeksplorasi alam terus terjadi, tanpa disertai suatu pertanggung jawaban bahwa alam perlu dijaga keutuhan dan kelestariannya.Oleh karena itu, tak jarang pula binatang-binatang yang seharusnya dilindungi pada akhirnya menjadi korban perburuan manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab. Pemabalakan liar yang terjadi pun tak dapat dibendung lagi. Pencemaran tanah dan air sudah menjadi lagu lama yang terus dinikmati. Dan permasalahan seputar polusi telah menjadi semacam udara segar yang terus dihirup manusia tanpa menyadari bahwa terdapat kandungan toksin yang membahayakan. Jadi, di sini alam merupakan obyek yang terus menerus dieksplorasi dan dipergunakan sejauh manusia membutuhkannya.Berhadapan dengan kenyatan demikian, maka menurut saya perlu suatu perubahan konsep yang baru. Konsep yang dimaksud adalah melihat alam sebagai subyek. Konsep alam sebagai subyek berarti manusia dalam mempergunakan alam membutuhkan kesadaran dan rasa tanggung jawab. Di sini tampak bahwa manusia dalam kesaksian hidupnya dapat menghargai dan mempergunakan alam secara efektif dan bijaksana. Misalnya, orang Papua memahami alam sebagai ibu yang memberi kehidupan. Artinya alam dilihat sebagai ibu yang daripadanya manusia dapat memperoleh kehidupan. Oleh karena itu, tindakan yang merusak lingkungan secara tidak langsung telah merusak kehidupan itu sendiri. Membangun Budaya Pelestari Kedua upaya melestarikan lingkungan hidup sebagaimana yang telah saya uraikan diatas akan dapat tercapai, jika manusia sungguh-sungguh berusaha membangun dan menanamkan suatu budaya pelestari. Dengan semangat budaya pelestari, manusia senantiasa mempertimbangan segi baik dan buruknya dalam mempergunakan hasil alam. Segi yang baik bahwa manusia bertindak selektif dan mengambil apa yang memang dibutuhkan tanpa bersikap boros.
Dengan demikian, manusia telah dengan sendirinya merasa sebagai bagian dari alam yang mesti
dijaga
kelestariannya.
Salah satu hal yang perlu dilakukan adalah menanamkan budaya pelestari tersebut kepada anak-anak sejak berada di bangku pendidikan. Misalnya pemberian porsi yang lebih kurang banyak tentang persoalan lingkungan hidup agar terbangunlah semangat kesadaran untuk menghargai dan menghormati lingkungan tempat tinggalnya. Tidak sebatas itu saja, tetapi perlu juga membiasakan anak-anak untuk terlibat dalam upaya-upaya pelestarian lingkungan hidup. Jadi, adanya perpaduan antara teori dan praktek. Penanaman budaya pelestari yang dilakukan sejak dini merupakan suatu upaya yang sangat efektif dalam mengatasi persoalan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Tentunya di sini membutuhkan partisipasi dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga dan juga dalam seluruh proses pendidikannya di bangku sekolah. Dengan demikian, melalui pembiasaan yang dilakukan secara kontinyu tersebut generasi yang akan datang semakin menyadari akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, proses penyadaran tersebut juga dapat dilakukan sebagai kebiasaan yang turut membentuk rasa tanggung jawab manusia dalam mempergunakan lingkungan hidup.
KEM AMI Kompetisi Esai 2011 Ekspansi Budaya: Lepas Landas Kebudayaan Indonesia 18-Aug-2011 oleh webmaster
Tidak ada Komentar
Posting didalam : Naskah,
Tahun 2009 Oleh: Sidiq Maulana Muda, Mahasiswa Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. ―Annyong haseyo!‖ Beberapa tahun terakhir, telinga dan mata saya menjadi akrab dengan kata sapaan itu, yang kurang lebih berarti ―Hai, apa kabar!‖ dalam bahasa Korea. Banyak teman saya yang menggunakan kata itu sejak mereka menonton film-film drama Korea yang diputar di televisi. Selain itu banyak juga tambahan kosakata baru seperti ―Kamsahamnida,‖ (terima kasih), ―Sarang haeyo,‖ (I love you) dan sebagainya. Teman-teman saya (terutama yang perempuan) kerap sibuk membahas aktor-aktor drama Korea yang katanya lucu dan ganteng, menghafal lagu-lagu soundtrack-nya, bahkan ada pula yang keranjingan membahas semua hal yang berbau Korea mulai dari masakan, pakaian, bahasa, dan sebagainya. Korea Selatan adalah salah satu pemain baru yang sukses memasok produk-produk budayanya di pasar global. Gelombang kebudayaan modern Korea atau yang sering disebut Hallyu sejak tahun 1990-an telah menyapu banyak negara di Asia dan kawasan lainnya. Di Indonesia sendiri, gelombang Hallyu mulai dirasakan sejak tahun 2000-an ketika film-film Korea banyak diputar di televisi nasional dan mendapat sambutan hangat dari para pemirsa. Sebelum diterjang oleh gelombang Korea, Indonesia juga sudah diterjang lebih dahulu oleh gelombang India, Jepang, Eropa, Latin, dan tentu saja Amerika. Maka berbagai respon pun bermunculan menanggapi terjangan budaya asing di negeri kita. Selama ini, yang selalu diulang-ulang kepada kita adalah seruan untuk waspada terhadap globalisasi dan ekspansi budaya global. ―Hati-hati terhadap bahaya westernisasi!‖, ―Lindungi generasi muda dari pengaruh buruk budaya asing!‖. Seruan semacam itu pada dasarnya tidak salah, karena merupakan suatu usaha untuk mempertahankan budaya dan identitas kita. Sosiolog Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ciri-ciri bangsa yang kalah adalah terjadinya imitasi massal terhadap cara hidup bangsa pemenang seperti dalam model pakaian, kendaraan, gaya arsitektur, jenis makanan, bahasa, hingga pemikiran dan adat kebiasaan. Ciri-ciri itu sangat relevan dengan negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia saat ini yang terkatungkatung dalam peta kebudayaan global. Ya, kita sedang kalah. Tapi resistensi dan sikap-sikap defensif yang cenderung menutup diri juga tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, karena suka atau tidak suka globalisasi telah sampai di rumah-rumah kita. Ketakutan yang berlebihan
terhadap ekspansi budaya global hanya makin menunjukkan bahwa kita bangsa yang inferior, yang selalu menjadi objek paparan budaya asing tanpa mampu berbuat apa pun. Maka strategi bertahan yang paling tepat adalah dengan menjadi bagian yang signifikan dari arus globalisasi itu sendiri. Merancang Gelombang Budaya Indonesia Globalisasi budaya identik dengan budaya pop dan postmodernisme yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah. Budaya pop awalnya merupakan hegemoni budaya Barat (terutama Amerika), ditandai dengan merebaknya gaya hidup Amerika melalui industri budayanya seperti musik, olahraga, fastfood, mode pakaian, dan film-film Amerika di seluruh dunia. Namun kondisi ini pun tidak selalu statis. Sesuai sifatnya yang fleksibel dan berubah-ubah, budaya pop menjadi sangat terbuka untuk diisi oleh budaya mana pun. Globalisasi budaya memungkinkan dibukanya kelas-kelas yoga di New York dan restoran sushi di Kuwait. Peran media massa dalam menyebarkan informasi menjadikan proses ini makin cepat, dengan persinggungan antar budaya yang mengalir deras melahirkan variasi kebudayaan yang sangat beragam. Saya memakai baju koko dan celana jeans, duduk di kantin memesan sepiring nasi Hainan, sambil membaca komik Doraemon, sesekali meng-update status facebook serta mendengarkan lagu ST12 yang disetel ibu kantin. Terus terang saat ini saya tak mampu berbuat banyak selain berusaha menikmatinya. Dalam situasi seperti ini, pilihannya hanya mempengaruhi dan dipengaruhi. Jika kita tidak mampu menghindar dari pengaruh, mengapa kita tidak ikut memberi pengaruh? Karena itu, sudah saatnya kita bersikap serius untuk terjun dalam globalisasi budaya dan turut membawa kebudayaan kita kepada dunia. Yang harus kita tentukan mula-mula ialah definisi kebudayaan kita sendiri. Apa itu budaya Indonesia? Batik, angklung, wayang, mandau, tari saman, gotong royong, paguyuban, nagari, apa pun itu, daftarkan satu per satu baik budaya tradisi maupun kontemporer, baik budaya kongkrit maupun abstrak. Sebelum mulai menyebarkan budaya, kita perlu mengenali dulu budaya kita. Ini penting terutama ketika kita berurusan dengan masalah hak cipta, kekayaan intelektual dan kekayaan budaya. Budayawan Jepang Yamada Shoji mengatakan bahwa ada dua hal yang bertentangan dalam budaya yakni perilaku ‗memiliki‘ sekaligus ‗menyebarkan‘. Paradoks ini kita temui tatkala terjadi saling klaim atas suatu budaya seperti yang kita alami akhir-akhir ini dengan Malaysia. Ini menjadi satu kesulitan tersendiri, karena di satu sisi kita semestinya bangga terhadap luasnya penyebaran budaya kita, tapi di sisi lain kita merasa hak milik kita dirampas. Kebudayaan Indonesia pun nyatanya sangat banyak yang merupakan pengaruh kebudayaan asing. Apakah salah jika kita mengikutsertakan barongsai dan potehi dalam festival budaya Indonesia? Saya juga tak ingin rakyat India mendemo kita karena
memainkan lakon-lakon Ramayana. Maka inventarisasi terhadap aset-aset kebudayaan kita penting untuk dilakukan, namun dengan tetap meniscayakan asimilasi dan akulturasi. Berbagai UU Perlindungan Budaya yang telah ada selayaknya dimaksimalkan. Setelah memegang daftar inventaris budaya Indonesia, maka berikutnya kita perlu menggegas industrialisasi budaya. Hanya dengan memberikan nilai ekonomi yang tinggi, maka kebudayaan kita akan memiliki daya jual yang meningkatkan daya saing dan kemampuan survivalnya, memberi imbas positif bagi kesejahteraan masyarakat serta menjadi jalan menuju ekspansi budaya besar-besaran. Bagaimana industrialisasi budaya mendorong ekspansi budaya? Hal ini terjadi karena industri membutuhkan pasar yang besar, dan pasar dari industri budaya adalah orang-orang yang berminat terhadap budaya tersebut. Maka kesuksesan industri budaya berbanding lurus dengan kesuksesan ekspansi budaya. Setiap kali industri tersebut melakukan ekspansi pasar, maka ia juga telah melakukan ekspansi budaya. Ada pun ekspansi budaya membutuhkan produk-produk yang agresif, yaitu produk-produk berorientasi ekspor yang mampu membawa nama Indonesia ke seluruh dunia. Dalam proses ekspansi budaya ini, kita pun memerlukan metode penyebaran yang tepat. Meski pun kita telah melakukan industrialisasi batik, namun permintaan batik di luar negeri tidak akan serta merta melonjak karena pasar harus tertarik lebih dulu dengan produk batik. Lalu bagaimana kita akan mempromosikan begitu banyak budaya kita kepada pasar luar negeri? Bahkan untuk memperkenalkannya saja sudah sulit. Menurut Turner (1984), budaya pop dan media massa memiliki hubungan simbiotik di mana keduanya saling tergantung dalam sebuah kolaborasi yang sangat kuat. Kepopuleran suatu budaya sangat bergantung pada seberapa jauh media massa gencar mengkampanyekannya. Begitu pula media massa hidup dengan cara mengekspos budaya-budaya yang sedang dan akan populer. Maka kita harus memprioritaskan terlebih dahulu produk-produk budaya yang berkaitan dengan komunikasi massa. Saya memilih industri film sebagai langkah awal ekspansi budaya secara serius. Film yang saya maksud meliputi film layar lebar dan sinetron di televisi. Format audio visual memungkinkan film untuk menarik perhatian lebih besar, menjadikannya efektif dalam komunikasi massa. Alur cerita akan memudahkan para penonton untuk menangkap maksud film dengan cara yang menyenangkan, sementara film juga mudah disisipi pesan-pesan sampingan yang tidak begitu disadari seperti iklan dan propaganda. Film merupakan whole package karena mampu mengakomodasi unsur-unsur budaya lain seperti bahasa, musik, pakaian, adat, kebiasaan, nilai-nilai dan lain sebagainya. Misalnya suatu film Indonesia akan menampilkan keseharian masyarakat Indonesia, para pemerannya berdialog dengan bahasa Indonesia, menyantap masakan Indonesia, memamerkan alam dan
budaya Indonesia, dan sebagainya. Bagi negara-negara yang sama sekali asing dengan Indonesia, film akan menjadi ajang perkenalan sekaligus promosi budaya. Sedangkan perbedaan bahasa dapat diatasi dengan subtitle dan dubbing. Tugas dari film-film ini adalah untuk menjadi sepopuler mungkin di negara-negara tujuan, karena budaya pop menjanjikan suatu kelas fanatik yang sangat setia yaitu fans. Selain sebagai konsumen utama produkproduk budaya kita, mereka lah yang juga kita harapkan akan mampu menjadi agen budaya kita di samping media massa seperti televisi, majalah, dan internet. Saya ingin mengambil contoh, di kampus saya terdapat sebuah klub yang membahas semua hal tentang Jepang. Mereka awalnya adalah fans dari satu atau beberapa produk budaya Jepang seperti komik, anime, dan J-dorama. Setiap bulan mereka mengadakan kegiatan membahas bagian tertentu dari budaya Jepang seperti festivalnya, masakannya, permainannya, sampai hantunya. Dan tentu saja mereka tidak dibayar oleh pemerintah Jepang untuk melakukan semua itu. Maka potensi fans sangat besar bagi ekspansi budaya, tergantung dari seberapa besar produk budaya yang digandrunginya kemudian mengarahkannya pada produk lain. Film sebagai perintis ekspansi memiliki efek domino yang besar karena kesuksesannya akan membuka peluang bagi kesuksesan unsur-unsur yang terkandung di dalamnya. Industri perfilman Indonesia yang tengah bangkit saat ini dapat diandalkan untuk memimpin ekspansi budaya kita ke manca negara. Jika ekspor film-film Indonesia sukses di negara-negara tujuan, maka hal itu diharapkan akan membuka pintu bagi pemasaran produk-produk budaya lainnya. Pemerintah dituntut aktif untuk mengawal, melindungi, serta menggunakan lobinya untuk memuluskan jalan bagi produk-produk budaya kita di negara lain. Target ekspor budaya kita diharapkan mampu menjangkau kawasan Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin, hingga dunia Barat. Apabila produk-produk budaya kita yang dipelopori oleh perfilman telah berhasil meraih pasar dan menumbuhkan minat terhadap budaya Indonesia di manca negara, maka tugas berikutnya adalah memelihara dan mengembangkan minat itu dari sebuah infiltrasi menjadi suatu gelombang budaya Indonesia yang deras. Pada tahap ini, produk-produk budaya lainnya seperti musik, literatur, hingga fashion akan berperan penting untuk menarik dan mengikat minat budaya itu lebih jauh dan lebih kokoh lagi. Jika kelompok-kelompok fans telah terbentuk di manca negara, maka para selebriti Indonesia akan meraih momentumnya untuk go international. Trend-trend yang berlaku di Indonesia akan turut digandrungi pula di negara-negara yang telah menerima ekspansi budaya kita. Ini bisa diiringi pula dengan masuknya produk-produk lain seperti beragam manufaktur yang membawa nama dan gaya
hidup Indonesia. Selangkah demi selangkah, kita menuju hegemoni budaya Indonesia. Dan jika saatnya tiba, kita boleh tersenyum melihat budaya Indonesia berkibar di mana-mana.
Sejumlah PR Industrialisasi budaya merupakan sebuah pilihan yang dilematis. Sifat industri yang cenderung berorientasi pasar dikhawatirkan justru akan menurunkan kualitas budaya, karena menyerahkannya pada selera pasar yang belum tentu bermutu. Hal ini bisa kita saksikan misalnya pada dunia sinetron kita yang sangat memprihatinkan. Tayangan yang sifatnya membodohi bahkan merusak seperti ini memang meresahkan. Oleh karena itu, pemerintah harus campur tangan dengan mengontrol kualitas produk-produk budaya sebagai bentuk tanggung jawab sosial budaya sekaligus strategi pencitraan Indonesia di mata dunia. Produkproduk budaya yang berorientasi ekspor akan membawa misi budaya kita ke seluruh dunia, sehingga patut diberi perhatian. Jangan sampai sinetron dan film-film sampah bisa lolos ekspor. Sebagai konsekuensi dari peningkatan kualitas produk, maka pemerintah pun wajib
mengeluarkan kebijakan yang memudahkan sektor industri budaya kita. Beban pajak yang tinggi yang selama ini dikenakan kepada produk dan aktivitas kebudayaan harus dikurangi, atau pengalokasiannya ditujukan secara jelas bagi perkembangan budaya itu sendiri. Selain itu, pemerintah juga dapat memberlakukan subsidi silang dengan menggunakan pajak-pajak dari sektor budaya pop untuk membiayai keberlangsungan higher culture. Kita semua sangat menanti dukungan dan peran aktif pemerintah. Kemudian ada hal-hal yang masih mengganjal bagi saya mengenai kebudayaan kita ini. Sementara kita membicarakan ekspansi budaya, ada ketimpangan yang sangat nyata dalam perkembangan kebudayaan kita selama beberapa dekade terakhir. Kebijakan sentralisasi yang dulu diterapkan telah menjadikan Jakarta sebagai satu-satunya episentrum kebudayaan di Indonesia yang memberi pengaruh langsung ke seluruh negeri. Katakan, apa itu film nasional? Apa itu artis nasional? Apa itu koran nasional? Apa itu televisi nasional? Bohong, yang ada hanya lah film-film dan artis-artis Jakarta. Koran-koran dan televisi-televisi Jakarta. Apa itu Monas? Monumen nasional? Bohong, itu monumen yang ada di emblem Pemda DKI Jakarta. Mungkin kita perlu mengingat kembali apa itu kebudayaan nasional. Dalam penjelasan pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945 diterangkan bahwa, Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya, persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia. Para penyusun undang-undang ini sadar bahwa masyarakat kita sejak dulu telah memiliki banyak puncak kebudayaan, bukan hanya satu. Konsep kebangsaan kita unik karena memayungi ratusan suku, bangsa, budaya, dan bahasa yang berbeda ke dalam satu identitas baru yaitu Indonesia. Harus diakui, konsep kebangsaan kita memang didefinisikan oleh penjajah. Itu menjelaskan mengapa masyarakat Riau harus berbeda bangsa dengan masyarakat Johor meski mereka berbagi budaya yang sama di masa lalu. Juga mengapa masyarakat Timor Timur dan Timor Barat harus berbeda bangsa meski sesama anak Timor. Juga putra-putri Dayak, Papua, dan lainnya yang terbelah oleh batas-batas teritorial yang dulu dibuat para penjajah dan kini diwariskan dalam bentuk negara-negara bangsa (nation-states) modern seperti yang kita kenal saat ini.
Oleh karena itu, nasionalisme yang kita miliki sepatutnya dipahami secara bijak. Bahwa bangsa Indonesia terdiri dari bangsa-bangsa yang berbeda, yang dulu memutuskan untuk bersatu karena kesamaan nasib di bawah penjajah yang sama. Dan karena nasionalisme kita bertujuan memerdekakan seluruh negeri dari penjajahan, maka sangat tidak pantas jika Republik Indonesia dijadikan alat penjajahan baru. Bentuk negara kesatuan tidak boleh dijadikan alasan untuk mematikan keragaman identitas bangsa-bangsa yang kini bernaung dalam rumah Indonesia. Era reformasi saat ini menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia untuk mematahkan dominasi pusat terhadap kebudayaan nasional. Dalam semangat desentralisasi saat ini, saya sangat berhadap di masa depan nanti perkembangan kebudayaan nasional kita akan berlangsung lebih adil. Kita butuh lebih banyak lagi pusat-pusat kebudayaan di seluruh Indonesia, bukan hanya di Jakarta. Beberapa waktu lalu, saya mendengar berita tentang peresmian Trans Studio di Makassar. Terlepas dari sejumlah kritik mengenai efek-efek negatif yang ditimbulkannya, saya cukup salut karena pembangunan pusat hiburan sebesar itu merupakan suatu bentuk keberanian untuk berpaling dari Jakarta. Perkembangan kebudayaan nasional secara dinamis yang didorong oleh desentralisasi akan menghadirkan wajah kebudayaan Indonesia yang lebih integratif dan representatif. Dan apabila putra-putri Indonesia telah mampu untuk berdiri lebih setara dari Sabang sampai Merauke, maka kita akan lebih mudah bersatu untuk melebarkan sayap kebudayaan kita ke manca negara. Referensi Ibn Khaldun, Franz Rosenthal, N. J. Dawood (1967), The Muqaddimah: An Introduction To History, Princeton University Press http://www.nichibun.ac.jp/research/team_archive/archive20_e.html#e Turner, Kathleen J (1984) Mass Media and Popular Culture, Chicago: Science Research Associates BIODATA Nama: Sidiq Maulana Muda TTL: Jakarta, 12 Januari 1989 Pendidikan: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Alamat: Komplek POLRI Munjul no. 258 Cipayung Jakarta Timur No. Telp: 021-8445916 Email:
[email protected]
―Pemimpin dan Budi Pekerti‖ Oleh: VINISA NURUL AISYAH - UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN Rangkuman : Pemimpin kampus sebagai pemegang kekuasaan memiliki hobi unik. Penghakiman budi pekerti. Budi pekerti dijadikan alasan demi kesewenang-wenangan atas kuasa yang dimiliki. Pemimpin institusi pendidikan yang memberi contoh menjawab dengan logis dan tanggung jawab selalu diabaikan. Mengapa pemimpin tak pernah mau mengakui kesalahan demi sebuah perbaikan? ————-
―Mba, Mba‘nya itu berjilbab. Jadi harus jujur dan nggak boleh su‘udzon dengan pihak fakultas,‖ kata Pembantu Dekan I Fisip Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) periode 2009 lalu. Kata-kata itu terlontar saat saya mempertanyakan pungutan uang sumbangan dari fakultas kepada mahasiswa baru yang dilakukan tanpa ada legalitas dan sepengetahuan rektorat. Bukannya mempertanggungjawabkan pungutan tersebut dengan jelas dan logis, malah menghukum moral dan budi pekerti saya di ruang dekanat. Tiga tahun berlalu, budi pekerti masih menjadi kilahan yang laris manis digunakan oleh birokrat kampus. Kali ini terjadi di Fakultas Peternakan saat audiansi tentang adanya pungutan untuk syarat wisuda mahasiswa angkatan 2008 bulan ramadhan tahun ini. Saat ditanya legalitas penarikan, jawaban soal budi pekerti pun terlontar kembali. ―Penarikan ini sebenarnya untuk membuktikan bagaimana moral dan kejujuran adek-adek mahasiswa kepada orang tua. Apalagi kan ini sedang bulan ramadhan,‖ ujar Dekan Fakultas Peternakan. Kasus ini dilatarbelakangi mahasiswa yang keberatan membayar uang pungutan sebagai syarat wisuda. Pasalnya, mahasiswa bersikeras pungutan tersebut ilegal, tak ada payung hukumnya dan tak tahu kemana larinya uang-uang hasil pungutan itu. Bahkan pihak rektorat sudah melarang pungutan liar bagi mahasiswanya. Awalnya penarikan diwajibkan, namun ketika sudah mencapai tahap audiensi mereka justru melemparkan pernyataan-pernyataan justifikasi budi pekerti. Logika ―siapa yang tak mau membayar, maka berbudi pekerti jelek‖ dilontarkan. Kemudian logika, ―Birokrasi dengan budi pekerti macam apa yang terus menarik pungutan paksa untuk mahasiswa?‖ muncul dan hasilnya, tak seorang pun mahasiswa membayar pungutan liar tersebut. Seolah kehabisan alasan, berkali-kali budi pekerti menjadi pemanis kesewang-wenangan bagi orang yang yang memiliki kuasa. Bahkan di dalam instiutsi pendidikan. Benarlah apa yang dikatakan Goenawan Mohamad dalam catatan pinggirnya, ―Budi pekerti dalam pergulatan kekuasaan, akhirnya berfungsi sebagai bedak dan gincu‖. Moral dan budi pekerti digunakan untuk menutupi kesewenang-wenangan. Seringkali mahasiswa terkecoh kemudian tenggelam pada refleksi moral diri sendiri. Kesewenangwenangan pun terlupakan. Bukankah sangat memalukan, atas nama budi pekerti dan kuasa, kesewenang-wenangan terus terjadi? Sedang orang-orang dibawahnya? Hanya mampu menggeram karena tak digubris, sisanya terkecoh. Seolah tak malu dengan status lembaga pendidikan tinggi. Di dalam kelas kita selalu dituntut untuk menjawab pertanyaan dosen dengan logis, sesuai dengan kapasitas sebagai seorang
intelektual muda. Namun di luar kegiatan belajar mengajar, kita terus dicekoki dengan jawaban yang tak logis. Birokrasi-birokrasi busuk terus mengoyak kehidupan kampus kecil di lereng gunung Slamet ini. Mereka menciderai status pelayan mahasiswa dalam memperoleh pendidikan, yang pada akhirnya mengkhianati niat baik dibangunnya institusi pendidikan tinggi. Bahkan terang-terangan, dalam sebuah buletin LPM Solidaritas, pers mahasiswa di Fisip Unosed, Pembantu Rektor II menyatakan mahasiswa adalah bisnisnya Unsoed. Mahasiswa direndahkan statusnya, bukan sebagai manusia yang mengidamkan sebuah pencerahan dari gudnag ilmu pengetahuan. Mereka memandang mahasiswa sebagai mangsa empuk yang harus dikuras dompetnya demi menumpuk kekayaan universitas. Tak pernah belajar dari sejarah, hal tersebut bukan satu atau dua kali namun sering layaknya sebuah rutinitas. Pantas jika jalan yang mereka tempuh gelap tanpa cahaya pembelajaran dari sejarah. Tak heran, yang terjadi kini adalah ketidakpercayaan pada birokrasi. Mosi tidak percaya karena pengkhianatan dan kesewenang-wenangan terus dilakukan. Seiring dengan hal tersebut, mahasiswa yang mengkritisi dan mencecar kebijakan akan disebut mahasiswa berbudi pekerti buruk. Hanya karena berjilbab dan menanyakan pertanggungjawaban penarikan ―haram‖ yang terjadi, atau karena segan membayar pungutan dengan akal-akalan syarat wisuda yang entah-kebijakan-siapa. Kasus demi kasus seolah ingin mengatakan sudah hilangnya pemimpin kampus yang memiliki tanggung jawab pada peserta didiknya. Tak heran jika menular pada struktur birokrasi yang ada di bawahnya. Birokrasi yang melayani bagian akademik dan kemahasiswaan di tingkatan fakultas seringkali menarik pungutan tak jelas. Seribu rupiah untuk selembar ijazah yang sudah dilegalisir. Tiga ribu rupiah untuk pengambilan raport per semester. Jika dikritik, mereka hanya melempar pada struktur yang lebih tinggi tanpa jawaban yang pasti. Masyarakat kampus (mahasiswa) sudah tak kaget lagi jika kata-kata pemimpin tak sejalan dengan kebijakan dan tindakan mereka. Kekecewaan dan kemuakan ini mungkin tersampaikan juga lewat sebuah karya, lagu berjudul ―Mosi Tidak Percaya‖ milik Band Efek Rumah Kaca. Ini masalah kuasa, alibimu berharga. Kalau kami tak percaya, lantas kau mau apa? Kau tak berubah, selalu mencari celah. Lalu smakin parah, tak ada jalan tengah, Jelas kalau kami marah, kamu dipercaya susah, pantas kalau kami resah, sebab argumenmu payah!
Apa yang harus kita pelajari dari sebuah institusi pendidikan dengan pemimpin yang mengkambinghitamkan moral? Kita hanya akan belajar bagaimana menjadi Indonesia yang lemah. Menjadi Indonesia yang kuat tak membutuhkan pemimpin yang pandai berkilah atas kesalahan dan tak mengenal perbaikan. Pemimpin Indonesia adalah sejalan dengan apa yang dikatakan Goenawan Mohamad, menjadi manusia yang bersiap memperbaiki keadaan, tetapi bersiap pula untuk melihat bahwa perbaikan itu tidak akan pernah sempurna dan ikhtiar itu tidak pernah selesai.
1 Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Merajut Cita Bangsa di Balai Kambang Oleh: DEWI MAGHFIROH - UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Ringkasan Pendidikan masih menjadi sesuatu yang prestisius. Konsep standarisasi internasional santer diperdebatkan. Sementara, pendidikan toh tak dapat menjawab persoalan bangsa. Begitu pula dengan sistem pendidikan yang secara tidak langsung mengarah pada academic orientad. Tanpa diimbangi dengan penanaman nilai-nilai. Pengajar pun seolah menutup mata, dan hanya sebatas melaksanakan tugas. Maka dari itu, pendidikan Indonesia memerlukan terobosan-terobosan untuk mencapai cita bangsa yang termaktub dalam Undang-undang. salah satunya pendidikan di Balai Kambang. Di tempat tersebut memadukan antara ilmu agama, pendidikan formal, dan ketrampilan. Siswa tak lagi dituntut hanya pada satu sisi yaitu akdemik. Namun, ketulusan untuk tercapainya sebuah ilmu dan membentuk moral pelajar. Membangun sikap kesopanan, kedisiplinan, dan kreativitas. ————————-
Bergelimang manusia tumpah ruah di pojok pendidikan. Iming-iming bilingual, standart international masih menjadi dambaan. Khususnya untuk mereka yang berstatus anak penggede. Namun, sebagai masyarakat kecil yang hanya mampu menyusur mulut dengan sirih seadanya, pendidikan bukan pada statusnya namun lebih pada esensi. Koceh-koceh mulut petinggi yang selalu membumbung menyoal pendidikan, toh akhirnya berujung bisnis.
Tumpulnya orang yang berpendidik tanpa bermoral menjadikan semakin merosotnya kualitas manusia. Tak ada yang patut dipercaya kecuali menemukan jalan sendiri. Cita pendidikan di negeri ini yang termaktub dalam undang-undang pun mulai pudar. Mencoba bangkit merangkai serpih-serpih yang telah berserakan. Sebuah terobosan untuk merajut cita pendidikan kembali, yakni sistem pendidikan yang menggabungkan antara ilmu agama dan pendidikan formal. Pendidikan masih menjadi idaman setiap rakyat. Orang tua menginginkan pendidikan tinggi kepada anaknya. Secercah harapan pun terbesit ―anakku harus menjadi orang yang sukses tak seperti orangtuanya‖. Tetes-tetes keringat dibiarkan bercucuran untuk beberapa lembar uang lusuh, kumal. Terik mentari menjelang, masyarakat Desa sekitar tempat tinggal saya sudah siap di peraduan nasib. Kehidupan yang bisa dikatakan jauh dari kemewahan. Keliling dari desa ke desa dengan memanggul dagangan, di perempatan jalan mengatur lalu lalang kendaraan tanpa embel-embel pangkat dan hanya mengharap receh dari tangan-tangan tulus pengemudi. Bergumul dengan debu menjadi suatu keharusan. Mereka lakukan setiap hari hingga mentari terbenam. Semua itu tak ada yang lain demi pendidikan seorang anak. Sejauh ini pendidikan Indonesia belum bisa sepenuhnya mencetak generasi-generasi yang berbudi luhur dan berpemikiran luas. Sepak terjang yang selalu menekankan pada akedemik menjerumuskan pendidikan pada kegelapan. Angka menjadi tuhan tersendiri bagi pelajar. Pemuja nilai. Betapa tidak, pengajar selalu menekankan pada anak didiknya untuk mempunyai nilai tinggi dan lulus cepat. Tanpa memberikan pemahaman bagaimana proses untuk mendapatkan sebuah nilai dan kelayakan untuk meninggalkan bangku pendidikan. Alhasil pragmatisme yang dipahami pelajar. Instan lebih dipilih daripada harus bergeliat dari nol hingga mencapai sebuah asa. Euforia pendidikan pun seakan diamini semua lapisan. Imbas kondisi pendidikan yang seperti itu menjadikan generasi kini bermental nglokro. Yang ujung-ujungnya materi yang dikejar. Pendidikan tanpa didasari moral yang selaras. Sebagai buktinya banyak koruptor yang berada di kerangkeng penjara, jauh lebih banyak lagi yang masih berkeliaran melenggang kesana kemari. Oh, ternyata memang sistem pendidikan kita ini ada yang salah. Mencetak yang berpendidik tanpa bermoral. Padahal moral jauh lebih penting untuk menata kepribadian. Kesadaran setiap manusia tak akan terlahir tanpa kepribadian yang bermoral. Sehingga jika setiap orang mempunyai moral yang baik, kualitas hidup bermasyarakat dan bernegara pun akan baik pula. Balai Kambang
Balai Kambang mengingatkan saya pada pendidikan yang sebenarnya. Berdiri di desa kecil di Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara. Namun siswa datang dari berbagai daerah dan kalangan. Balai kambang didirikan atas keprihatinan seorang kakak beradik terkait pendidikan Indonesia yang semakin menapaki jurang kegelapan. Awalnya kakak-beradik tersebut menginginkan putra-putrinya mendapatkan pendidikan yang layak. Begitu pula kondisi di sekitar yang masih asing dengan bangkau sekolah. Kemudian mempunyai niatan untuk mewadahi mereka agar dapat mengenyam pendidikan. Pendidikan yang menggabungkan antara ilmu agama dan sekolah formal. Mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau Sekolah Dasar, Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau Sekolah Menengah Pertama, Madrasah Aliyah (MA) atau Sekolah Menengah Atas dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Mereka diwajibkan untuk tinggal di asrama. Di sana diajarkan kemandirian dan kreativitas. Sebuah terobosan pendidikan di tengah konsepan sekolah yang masih grambyangan tanpa arah yang jelas. Pengajaran di Balai Kambang menekankan pada ketulusan untuk tercapainya sebuah ilmu dan membentuk moral pelajar. Tak hanya melulu mengkaji ilmu agama, namun juga ilmu sains. Di tengah tuntutan jaman yang serba modern dan canggih Balai Kambang menyesuaikan dengan perubahan jaman. Namun, tetap tanpa melupakan esensi agama. Jika setiap orang memahami akan agama masing-masing secara luas dan mengindahkan fanatisme, kehidupan akan selaras. Pelatihan-pelatihan ketrampilan juga semakin diberlakukan. Seperti, menjahit, merajut, otomotif, berdagang, dan kerajinan tangan. Diungkap pengasuh yayasan, harapan mandiri setelah lulus juga sangat diperhatikan pengajar. Mereka dibekali pengetahuan lebih setidaknya untuk pegangan diri sendiri lebih-lebih orang disekitarnya. Dalam pendidikan formal biasa, seorang guru diyakini menjadi orang yang bisa digugu lan ditiru siswa. Kenyataannya, mereka hanya menjadi pengajar. Berbeda dengan di Balai Kambang. Pengajar selain menjadi pengajar, juga menjadi pamong, pengasuh, dan pendidik. Merajut Cita Isu miring pendidikan Indonesia tak menjadikan semakin terpuruk. Tamparan tersebut sebagai introspeksi semua elemen. Baik sang pemangku kebijakan pendidikan dan rakyat biasa. Cita pendidikan yang telah menjadi serpih-serpih daun kering yang siap diguncang angin mulai terkumpul kembali. Banyak jalan untuk menuju Roma, begitu pula banyak jalan menuju gerbang kemajuan pendidikan. Pendidikan tak hanya dari satu sisi yakni, pemerintah. Kita dapat menjadi berpendidik dan bermoral dari manapun arahnya.
Balai Kambang menjadi salah satu terobosan pendidikan di Indonesia. Rakyat Indonesia harus yakin akan pendidikan. Pendidikan bukan sebagai penentu kursi kekuasaan. Namun, melalui pendidikan sebagai bekal ilmu untuk mengembangkan keahlian. Cita yang terwujud tak selamanya harus ditempuh di jenjang yang eksklusif. Lebih-lebih dengan biaya yang mahal. Bukan apa dan siapa yang dapat menentukan cita kita. Namun, kita sendiri yang harus begerak. Jika setiap cita kecil selalu dirajut maka akan menjadikan kekuatan besar. Kekuatan negara akan terbentuk dari generasi yang mau peduli dengan kondisi negaranya.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Tradisi Lisan : Aktualisasi, Eksistensi, dan Transformasi Hasil Budaya Masa Lampau Oleh: SITI RAHMANA - UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Ringkasan : Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan (penuturan). Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di tengahtengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat dijumpai di dalam tradisi lisan. ————— Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara, eksistensi tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi
lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan. Untuk menjawab persoalan tersebut, ada beberapa gagasan yang dihadirkan. Diantaranya dengan pengaktualisasian tradisi lisan yang dikemas dalam seni pertunjukan agat lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya, selain itu juga menciptakan ―formula baru‖ dengan membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah, serta menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan melalui ―pendekatan historis‖. Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Budaya-budaya yang tersebar di Indonesia adalah hasil kecerdasan masyarakatnya, baik itu adat istiadat, bahasa, kepercayaan, juga tradisi. Tradisi sebagai bagian dari budaya nusantara sudah seharusnya dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat selaku pemiliknya, termasuk tradisi lisan. Sebelum masyarakat Indonesia mengenal tradisi tulis-menulis yang menandai dimulainya periodesasi Sejarah Indonesia Kuno, masyarakat Indonesia telah lebih dulu mengenal tradisi lisan. Masyarakat yang hidup pada masa tradisi lisan di Indonesia dikenal dengan masyarakat pra-aksara. Masyarakat tersebut
memiliki
kecendrungan
dekat
dengan
alam,
sehingga
mereka
berusaha
menyelaraskan pola pikir saat itu dengan lingkungan alamnya. Hal ini memunculkan korelasi yang erat antara peristiwa alam dengan cerita turun-temurun yang termuat dalam mitos, legenda, dongeng, maupun folklore sebagai bagian dari tradisi lisan. Sehingga tradisi lisan dapat dimaknai sebagai gagasan atau aktivitas yang dilakukan secara berkelanjutan, melalui proses ―penuturan‖ dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi lisan mengandung banyak nilai positif yang dapat diterapkan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara. Karena pada hakikatnya, tradisi lisan hadir di tengah-tengah masyarakat tradisional yang begitu menjaga dan memilihara Indonesia dari berbagai aspek kehidupan. Hal ini terkait dengan adanya pesan moral, kepercayaan, norma yang dipatuhi masyarakat demi keteraturan sistem sosial, serta nilai pendidikan yang dapat dijumpai di dalam tradisi lisan. Namun dalam perkembangannya, eksistensi tradisi lisan belakangan ini mulai dipertanyakan. Sebagai hasil budaya masa lampau yang ikut membentuk peradaban nusantara sekaligus menjadi identitas Indonesia, terabainya tradisi lisan sudah sepantasnya menjadi kekhawatiran bersama. Keberadaan tradisi lisan dewasa ini memberikan saya pemahaman untuk mengkaji lebih lanjut mengenai pencitraan kuno terhadap tradisi lisan oleh sebagian besar masyarakat modern Indonesia, juga dalam hal keterbatasan pewarisan tradisi lisan, serta permasalahan mengenai nilai kebenaran pada tradisi lisan terkait dengan aspek ilmu pengetahuan.
Iklim globalisasi masuk ke Indonesia membawa pengaruh besar bagi terciptanya masyarakat modern Indonesia. Hal ini turut mempengaruhi perkembangan cara berpikir masyarakat. Lambat laun masyarakat tradisional mulai bertransformasi menjadi masyarakat modern. Dimana segala sesuatu yang dilakukan masyarakat modern Indonesia mulai mengikuti pola kebudayaan barat. Misalnya menjaring ikan menggunakan pukat harimau, cara hidup berbasis teknologi ini lebih mengedepankan nilai keefektivitasan serta keefisiensian, tanpa menimbang dampak jangka panjang bagi lingkungan hidup. Perilaku masyarakat modern tersebut menjadi salah satu penyebab menurunnya kesadaran akan identitas masyarakat Indonesia, dimana masyarakat modern mulai meninggalkan budaya lokal pesisir yang menggunakan syair lagu untuk memanggil ikan tangkapan. Menurunnya kesadaran identitas yang dimaksud, berupa cara berpikir dan berperilaku layaknya orang Indonesia yang senantiasa menjaga serta memelihara budaya lokal demi keselarasan masyarakat dengan lingkungan alamnya, seperti yang tersirat dalam tradisi lisan. Dewasa ini, sebagian besar masyarakat Indonesia mulai berpikir bahwa budaya lokal merupakan budaya yang tidak mengikuti perkembangan zaman. Oleh karena itu, tradisi lisan mulai ditinggalkan sehingga budaya lokal yang satu ini terancam hilang dari peradaban nusantara. Namun, anggapan yang menilai tradisi lisan tidak mampu bergerak secara dinamis merupakan suatu kebohongan besar, mengingat hakikat tradisi adalah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan jiwa zaman masyarakatnya. Bukan tidak mungkin tradisi lisan yang terkesan kuno tersebut dikemas dengan lebih aktual mengikuti jiwa zaman saat ini. Cerita rakyat, upacara, pantun, tarian rakyat, mantra, serta nyanyian rakyat dapat dikombinasikan dan kemudian dikemas dalam seni pertunjukan lokal secara berkala. Aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam sebuah pertunjukan lebih memungkinkan untuk dikonsumsi publik tanpa meninggalkan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya. Terkhusus lagi, dapat membuka ruang antusias yang tinggi terhadap tradisi lisan dikalangan generasi muda Indonesia. Sehingga kegiatan ini dapat menghidupakan kembali ―penuturan‖ yang dilakukan secara turun-temurun di tengah masyarakat modern Indonesia. Seiring dengan pengaktualisasian tradisi lisan dalam rangka menyelamatkan produk budaya masa lampau, masalah lain yang muncul terkait dengan eksistensi tradisi lisan adalah belum tersedianya generasi yang siap berkomitmen melestarikan tradisi lisan, pasca dikenalnya aksara yang mendukung terciptanya tradisi tulis-menulis. Berkembangnya tradisi tulismenulis sejak ditemukannya prasasti di Kerajaan Kutai sekitar abad ke-4 Masehi, ternyata membawa pengaruh besar bagi keberlangsungan tradisi lisan. Hingga sekarang, disiplin ilmu yang berkembang di Indonesia cendrung mengandalkan sumber tertulis daripada
menggunakan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan. Oleh karena itu, perlu adanya ―formula baru‖ untuk menghasilkan sumber daya manusia yang dibekali dengan kemampuan khusus mempelajari tradisi lisan, sekaligus sebagai upaya mempersiapkan generasi pelopor pelestarian tradisi lisan. ―Formula baru‖ tersebut dapat diwujudkan dengan mengikutsertakan tradisi lisan ke dalam lingkungan pendidikan, baik itu membuka studi khusus tradisi lisan di perguruan tinggi maupun menjadikannya sebagai ekstrakulikuler di sekolah. Dengan begitu, tradisi lisan mulai dikenal di dunia akademis, sehingga keberadaan tradisi lisan bisa lebih diperkuat dengan mendapatkan perhatian khusus dari kalangan akademisi. Terakit displin ilmu di Indonesia yang cendrung menggunakan sumber tertulis, hal ini memunculkan polemik tersendiri bagi posisi tradisi lisan yang juga sebagai sumber pengetahuan. Kondisi tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya keraguan terhadap kebenaran informasi yang terkandung dalam tradisi ―penuturan‖ ini. Tradisi lisan berupa dongeng, hikayat, mantra, dan legenda lebih didominasi unsur ―fantasi‖ dalam cerita, sehingga tidak mudah membedakan antara fakta dan fiksi yang sebenarnya. Pada hakikatnya, masyarakat pra-aksara belum mampu mendefinisikan suatu peristiwa berdasarkan kajian ilmu pengetahuan. Sehingga cerita-cerita yang berkembang melalui ―penuturan‖ senantiasa disesuaikan dengan kemampuan berpikir, kebutuhan, dan kondisi masyarakat saat itu. Masyarakat pra-aksara berusaha menyalurkan norma, nilai, hukum, kebiasaan, dan pengetahuan yang berkembang saat itu melalui ―penuturan‖ secara turun-temurun. Hal ini didasari pada tingkat pengalaman dan pemahaman yang mereka dapati. Oleh karena itu tidak sedikit ilmuwan berpendapat, bahwa tradisi lisan telah mengalami proses pewarisan dalam waktu yang panjang sehingga tradisi lisan dimungkinkan mengalami distorsi. Alhasil, nilai kebenaran dalam tradisi lisan lantas dipertanyakan. Melalui kaca mata yang berbeda, saya mencoba untuk membalikan kenyataan. Kenapa tidak tradisi lisan digunakan sebagai sumber pengetahuan, jika kita mampu menjadikan ritual Hamis Batar (tradisi lisan masyarakat Timor berupa upacara syukuran terhadap jagung yang dipanen) di Kupang sebagai media untuk memperoleh pengetahuan yang mendekati nilai kebenaran, seperti mengkaji kepercayaan masyarakat setempat terhadap kekuatan di luar diri manusia, tentang fungsi tetua adat sebagai bagian dari sistem sosial yang mengambil peran dalam ritual Hamis Batar, juga kebiasaan masyarakat mempersiapkan jagung yang memiliki kualitas terbaik dari hasil panen untuk diikutsertakan dalam upacara adat, serta eksistensi nilai dan norma yang ikut diwariskan secara turun-temurun melalui ritual Hamis Batar. Dengan melakukan ―pendekatan historis‖ untuk mendapatkan pengetahuan dari tradisi lisan, kita bisa
menemukan pondasi kebudayaan Indonesia, sekaligus dapat digunakan untuk memantapkan identitas kebudayaan nusantara dalam rangka menjawab tantangan zaman. Tradisi ―penuturan‖ merupakan akar dari budaya yang berkembang di nusantara. Hal ini dapat diasumsikan melalui masyarakat pra-aksara yang menggunakan tradisi lisan untuk menyalurkan cara berpikir dan cara hidup antar sesama manusia, termasuk aktivitas yang berhubungan dengan alam dan sang pencipta. Sehingga, hadirnya tradisi lisan ternyata ikut mendukung lahirnya adat istiadat, kebiasaan, hukum, kepercayaan, maupun bahasa yang berkembang di wilayah-wilayah Indonesia. Seiring dengan perkembanan zaman, tradisi lisan mulai ditinggalkan karena pencitraannya yang kuno dan statis sebagai hasil budaya masa lampau. Hal ini tidak terlepas dari tradisi tulis-menulis yang mulai dikenal, serta adanya pengaruh globalisasi yang serta-merta ikut merubah cara berpikir masyarakat Indonesia. Sehubungan dengan upaya penyelamatan dan pelestarian terhadap akar budaya nusantara, maka diperlukan usaha-usaha membangkitkan ketertarikan kembali terhadap tradisi ―penuturan‖ ini. Usaha-usaha tersebut diantaranya, melakukan aktualisasi tradisi lisan yang dikemas dalam seni pertunjukan, mengikutsertakan tradisi lisan dalam dunia akademis sebagai upaya pengenalan sekaligus melahirkan generasi pewaris tradisi ―penuturan‖, serta menjadikan tradisi lisan sebagai sumber pengetahuan yang dapat dikaji melalui metode ilmiah dan pendekatan displin ilmu sosial, seperti pendekatan historis. Diharapkan tradisi lisan dapat diselamatkan dan dilestarikan keberadaannya ditengah-tengah iklim globalisasi. Sehingga, masyarakat Indonesia memiliki identitas kebudayaan yang kuat agar dapat digunakan sebagai pedoman dalam rangka menyikapi budaya-budaya asing yang masuk ke Indonesia.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Menjadi Indonesia Lewat ―Rumah Pelangi‖ di Bantaran Sungai Bengawan Oleh: SEPTI DIAH PRAMESWARI - UNIVERSITAS PARAMADINA
Hawa dingin di pagi itu tak menyurutkan langkah seorang gadis muda untuk keluar rumah. Dialah yang sering dipanggil ―Ustadzah Ida‖ oleh anak-anak kecil di kampung mereka. Seorang gadis lulusan SMA, tapi punya semangat tinggi untuk berbagi dengan sekitarnya. Ia terus melangkah, menyusuri tanggul dan berhenti di sebuah rumah mungil di pinggir tanggul. Meski mungil, rumah itu terlihat ada nuansa ceria yang melingkupinya. Mungkin karena cat
warna-warni di dindingnya. Mungkin juga karena suara keceriaan anak-anak yang terdengar keluar. Di depan rumah mungil itu terpampang papan putih bertuliskan ―Rumah Pelangi‖ dengan huruf berwarna-warni. Apa itu Rumah Pelangi? Ceritanya berawal saat banjir besar melanda sebagian besar Solo yang dekat dengan bantaran sungai Bengawan Solo dan anak-anak sungainya di akhir tahun 2007 silam. Kejadian itulah yang menjadi awal perjuangan gadis bernama Ida yang tinggal di kampung Sawangan, di pinggir kota Solo. Waktu itu, dia masih duduk di bangku putih abu-abu. Rumahnya ikut terendam air bah hingga setinggi lima meter. Banjir yang datang tiba-tiba di pagi buta itu tanpa isyarat, sehingga hanya pakaian yang menempel di badannyalah yang dapat diselamatkan. Bantuan materiil berupa selimut, tenda, bahan makanan segera datang dari berbagai pihak tak kurang dari 12 jam setelah air bah datang. Namun, kesedihannya belum terobati karena buku-buku pelajaran dan ijazahnya mulai SD-SMP sekaligus sertifikatsertifikat penghargaan yang ia miliki ikut terendam banjir. Tidak hanya itu, ayahnya yang sudah lama sakit tiba-tiba meninggal dunia. Dua hari setelah air bah surut dan ia mulai membersihkan rumahnya bersama sang ibu, lagi-lagi air bah kembali datang menghampiri. keadaan seperti itu berlangsung hingga 4 kali dalam 2 pekan. Ia putus harapan. Ia berniat tak akan kembali ke sekolah. Keadaan mulai berangsur normal setelah sebulan berlalu, air bah tak datang-datang lagi. Ia membangun asa kembali setelah tersadar bahwa lingkungannya membutuhkan kehadiran dia dan orang-orang sepertinya. Ia kembali ke sekolah, tapi sekarang tidak hanya sekolah aktivitasnya sehari-hari. Ia tersadar ketika melihat anak kecil yang setenda dengannya di camp pengungsian saat bencana banjir menghampiri. Anak itu masih duduk di bangku kelas 1 SD. Namanya Eka. Eka kecil selalu merajuk pada ibunya agar diantar ke sekolah. Setiap kali ingat sekolah, Eka kecil merajuk. Ibunya bukan malas mengantar Eka kecil ke sekolah, tapi yang menjadi sebab ialah sekolah Eka kecil ikut terendam banjir. Kerusakan bangunan sekolahnya pun tergolong parah, sehingga memakan waktu yang lumayan lama untuk membenahinya. Namun, Eka kecil tak paham tentang keadaan itu. Eka kecil sering menangis meraung hanya karena ia tak dapat pergi ke sekolah. Hingga suatu pagi suara tangis Eka kecil tak terdengar. Eka kecil ternyata sakit. Ida begitu terharu melihat keadaan Eka kecil yang begitu antusias pergi ke sekolah meski suhu badannya tinggi. Berbeda dengan dirinya yang kehilangan semangat untuk melanjutkan sekolah. Melihat Eka kecil sakit, ia bertanya pada Eka kecil dan sungguh jawaban mulut mungilnya membuat hujan di hati gadis itu semakin deras. Eka kecil menjawab, ―Eka kepingin sekolah, mbak. Eka wedi dadi cah bodho. Eka kepingin dadi dokter. Dadi dokter kudu pinter yo,
mbak?‖[1] Dari Eka kecil ia belajar. Ia bulatkan tekad untuk meraih cita-citanya. Bukan hanya untuk sekolah, tapi ia mengabdikan dirinya untuk mengajar Eka kecil dan temantemannya. Hari itu juga Ida bertekad untuk punya semangat yang tinggi layaknya Eka kecil. Di tenda pengungsian, ia kumpulkan teman-teman Eka kecil, tentu saja bersama Eka untuk belajar dan bermain bersama. Hal itu disambut dengan antusiasme yang tinggi, baik dari orang tua maupun anak-anak sendiri. Selain belajar dan bermain, Ida sering mendongeng untuk anakanak. Ida yakin lewat dongeng, Ida dapat berbagi banyak hal dengan anak-anak. Rutinitas itu berjalan tidak hanya saat di tenda pengungsian. Setelah rumah mereka dapat di huni kembali, kegiatan bersama anak-anak itu tetap berlanjut di rumah Ida. Jika saat di tenda kegiatan itu berlangsung di siang hari, namun saat di rumah Ida kegiatan itu dilakukan di sore hari mengingat Ida pun sudah harus kembali ke sekolah. Sebagian besar anak-anak yang ikut kegiatan Ida belum dapat kembali ke sekolah karena sekolah mereka belum selesai dibenahi. Beberapa minggu kemudian, saat anak-anak sudah mulai kembali ke sekolah, Ida berpikir bahwa waktunya berbagi dengan anak-anak sudah selesai. Namun, dia kembali berpikir, kenapa ia harus berhenti untuk ikut serta membantu mencerdaskan putra-putri bangsa ini. Akhirnya Ida tetap membuka rumahnya untuk menjadi rumah singgah bagi anak-anak. Ida mencari donatur buku-buku bacaan anak agar anak-anak mendapat tambahan ilmu dari bukubuku bacaan. Ida sadar, jika hanya mengandalkan orang tua anak-anak tersebut, mereka hanya akan dapat membaca buku dari sekolah. Ekonomi orang tua mereka yang sulit, mengingatkan bahwa dapat menyekolahkan anak-anak mereka pun sudah termasuk kebahagiaan tersendiri. Di lingkungan Ida, hanya segelintir orang tua yang menyekolahkan anak-anaknya hingga lulus SMP apalagi SMA. Hal ini juga yang mendorong Ida untuk tetap berbagi dengan anakanak di sekitarnya. Sekarang Ida telah lulus SMA, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di kotanya. Kesibukan sebagai mahasiswa tidak menghalanginya melakukan aktivitas dengan anak-anak di rumah singgahnya. Lewat jerih payah Ida mencari donatur dan mengumpulkan uang pribadinya, Ida berhasil menyewa satu ruangan kecil untuk rumah singgahnya, tepat di bibir tanggul Bengawan Solo. Di rumah itu ia habiskan waktu bersama anak-anak. Membagi semangat, membagi cerita dan berdongeng untuk anak-anak. Rumah itu ia beri nama ‗Rumah Pelangi‖, di mana ia berharap lewat rumah itu anak-anak di sekitarnya mampu melihat indahnya pelangi cita-cita mereka. Cita-cita mereka yang beragam yang tergantung di langit layaknya pelangi beraneka warna yang sering terlihat di atas riakriak Bengawan Solo. Lewat usaha Ida juga, teman-teman Ida tertarik menjadi sukarelawan
untuk berbagi bersama anak-anak kampung di Rumah Pelangi. Tidak hanya materiil yang mereka bagi, tapi waktu, perhatian, semangat dan cita-cita pun mereka bagi. Sekarang Rumah Pelangi tak pernah sepi dari aktivitasnya. Penulis yakin, di luar sana ada seribu Ida yang peduli dengan Indonesia. Semoga terus tumbuh Ida-Ida yang lain di berbagai bidang, yang peduli dengan masa depan anak-anak bangsa.
[1] ―Eka ingin sekolah, mbak. Eka takut jadi anak bodoh. Eka ingin jadi dokter. Jadi dokter harus pintar kan, mbak?‖
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Kurikulum Sekolah Bagi Si Miskin di Pedalaman Oleh: FIRDAUS - Universitas Jabal Ghafur Gle Gapui-Sigli Ringkasan: Salah satu faktor tingginya jumlah pengangguran di Indonesia disebabkan oleh kurang trampilnya warga negaranya. Dengan kata lain, penduduk Indonesia tidak bisa memenuhi tuntutan kerja dewasa ini karena latar pendidikan dan skill yang tidak memadai. Akibatnya, hal tersebut juga berdampak pada terus meningkatnya angka kemiskinan di Republik kita tercinta ini. Pendidikan bukan hanya sekedar menjadi wacana untuk digembar-gemborkan melalui berbagai program yang tidak tepat sasaran. KTSP yang menjadi kurikulum pendidikan nasional di Indonesia perlu dipertimbangkan lagi ke-efektifitasannya, mengingat, masih banyaknya sekolah-sekolah di pedalaman yang tidak ditunjang oleh fasilitas yang lengkap, SDM guru yang tidak bisa memanfaatkan fasilitas atau media belajar yang sudah ada pun perlu dibenahi, dan otonomi yang ada dalam KTSP sendiri untuk membebaskan para guru menyusun bahan ajar sendiri sesuai dengan daerah masing-masing meski harus mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan di bawah pengawasan dinas kabupaten atau kota, tidaklah sesuai dengan ujian akhir nasional yang kadang soal-soalnya bertentangan dengan apa yang selama 3 tahun dipelajari oleh para siswa di sekolah mereka masing-masing.
Adapun beberapa solusi agar mutu pendidikan di Indonesia menjadi lebih baik ke depan, penulis menawarkan beberapa gagasan, yaitu: lahirkanlah guru-guru yang profesional, kurangi jumlah mata pelajaran yang terlalu ‗gemuk‘, dan stop KKN serta jangan politisir dunia pendidikan.
Kebodohan itu dekat dengan kemiskinan, kemiskinan adalah tetangganya si zalim atau si ‗pencipta onar‘! Dan manusia yang zalim, buruk peranggai serta biadab tingkah lakunya tentulah akan disambut oleh malaikat Malik di pintu neraka! Di samping itu, jika bangsa ini dihuni oleh ―para kaum dungu dan buruk peranggai‖, maka di hari ulang tahun negara Republik Indonesia yang ke-400 pun, negara ini masih saja dihiasi oleh demo-demo masalah keanaikan BBM, demo yang menuntut kenaikan upah buruh, dan berita-berita mengenai TKI yang disiksa di luar negeri karena ketidakmapanannya manusia-manusia yang menghuni negara ini walau hanya untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang primer (pokok). Nah, salah satu cara membebaskan para manusia yang mengantongi kartu tanda penduduk (KTP) Republik Indonesia dari kebodohan adalah melalui pendidikan. Pandidikan adalah jembatan yang menhubungkan ilmu pengetahuan dengan kesejahteraan dan si manusia yang berbudi luhur. Namun, bagaimana kiranya warga negara kita hendak melalui jembatan pendidikan tersebut jika pemerintah tak membangun jembatan-jembatan itu secara adil di seluruh penjuru Indonesia. Oke, kita patut berbangga dengan adanya sekolah-sekolah unggulan sekarang, contohnya beberapa sekolah yang ada di Aceh, dan Pidie khususnya, di tempat penulis berdomisili, seperti: SMP dan SMA Unggul Sigli yang dulunya dibangun pada tahun 2007 oleh Swiss Red Cross paska musibah tsunami yang diperuntukan bagi anak-anak korban tsunami dan konflik, tapi kini justru menjadi sekolah bagi anak-anak kaum pengusaha, pejabat, dan pegawai negeri yang berpangkat! Dan jika pun ada beberapa sekolah unggul atau sekolah yang bertaraf internasional di negara kita yang tercinta ini, coba kita tanyakan lagi pada diri kita masing-masing, berapa persenkah anak-anak di seluruh pelosok nusantara mampu bersekolah di sekolah-sekolah elit tersebut? Jawabannya tentu saja sangat SEDIKIT dan hanya bagi mereka-mereka yang punya orang tua kayalah yang mampu menikmati pendidikan yang layak dan berkualitas. Sistem pendidikan di negara ini pun sungguh luar biasa hebatnya! Tahukah Anda kenapa? Ya, karena persoalan ujian nasional dan kurikulumnya yang persis sama seperti seorang penderita penyakit kurap dan panu yang sengaja menutupi tubuhnya dengan baju agar tak terlihat penyakit memalukan itu oleh orang lain. Sudah menjadi rahasia umum jika ujian nasional yang diberlakukan oleh pemerintah adalah ibarat ―sinetron remaja‖ yang dibagian
pembukanya tertulis beberapa kalimat, seperti berikut: ―Ujian ini adalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan cerita, tempat, dan tokoh, hal tersebut tidaklah disengaja!‖ Adapun maksudnya adalah semua elemen masyarakat, praktisi pendidikan, sampai tukang parkir pun tahu jika ujian nasional tidaklah objektif. Kunci jawaban berhamburan ketika ujian fiktif ini diselenggarakan. Semua sekolah berlomba-lomba meluluskan semua siswa-siswa mereka tanpa mempersoalkan fair atau tidak fairkah ujian itu sendiri, yang terpenting LULUS 100%. Nama baik sekolah dan posisi seorang kepala sekolah pun ikut dipertaruhkan dalam ujian yang diberlakukan setahun sekali ini. Provinsi menyurati dinas pendidikan kabupaten, dinas kabupaten kemudian membagikan maklumat ―kramat‖ kepada semua kepala sekolah yang berada di bawah naungannya tersebut. Apabila hasil ujian nasional disatu sekolah tertentu mengecewakan dinas dan provinsi, maka sang kepala sekolah siap-siap untuk dimutasi alias ‗angkat koper‘ ke sekolah pedalaman atau sekolah yang letaknya di daerah terpencil. Anehnya lagi, di koran pun, semua sekolah berlomba-lomba memasang target kelulusan untuk ujian nasional pada bulan-bulan sebelum ujian nasional terselenggara sebagai simbol pretise belaka. Kurikulum nasional yang di adaptasi oleh semua sekolah di Indonesia sekarang ini sebenarnya tidaklah efektif dan selalu tidak tepat sasaran. Mengapa demikian? Nah, mari kita telaah terlebih dahulu apa itu kurikulum dan seperti apakah kurikulum pendidikan di Indonesia saat ini. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan tujuan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran yang digunakan sebagai rambu-rambu (pedoman) dalam proses belajar mengajar untuk mencapai tujuan pengajaran itu sendiri. Sejak tahun 2006, kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) adalah kurikulum pendidikan nasional yang telah diputuskan oleh pemerintah.[1] Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sendiri merupakan model kurikulum yang dikeluarkan oleh pemerintah sebagai penyempurnaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam meng-implementasi KTSP, guru diberikan kebebasan untuk menyusun bahan ajar sendiri. Lebih lanjut, KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP juga dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.[2] Dari gambaran tentang definisi KTSP di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kurikulum ini memberikan otonomi khusus bagi sekolah (dewan guru) untuk menyusun bahan ajar sendiri walaupun harus mengacu pada Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan berada di bawah supervisi dinas pendidikan Kabupaten/Kota. Namun dalam pelaksanaan KTSP di sekolah-sekolah tidaklah seindah konsep KTSP yang telah tersusun sedemikian rupa.
Contohnya, banyak ditemui sekolah-sekolah yang sama sekali tak mampu meng-aplikasikan KTSP karena fasilitas belajar yang tidak memadai, tapi uniknya lagi, ada pula sekolah yang punya fasilitas lengkap bantuan pemerintah, justru tak menggunakan media belajar tersebut dikarenakan oleh dari sumber daya manusia (SDM) guru yang tidak layak pakai. Untuk lebih jelas, di sini penulis mencoba mengambil satu contoh sekolah yang terletak disekitar tempat tinggal penulis sendiri, yaitu: SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan. Sekolah tersebut berada langsung di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kabupaten Pidie, Provinsi NAD. SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan terletak pedalaman daerah pesisir yang mayoritas penduduk di sekitar bekerja sebagai petani garam dan nelayan. Ketika penulis mendatangi sekolah ini untuk melengkapi salah satu tugas liputan (berupa video) untuk memenuhi tugas mata kuliah Kurikulum dan Pembelajaran, penulis sempat mewawancarai sang kepala sekolah SMP tersebut. Berikut, adalah beberapa poin dari penggalan percakapan penulis dan kepala sekolah SMP Negeri 2 Kembang Tanjung Desa Arusan, yang bernama: Ibu Mardussana, S.Pd. Penulis : ―Sejauh mana implementasi KTSP di sekolah ini dan adakah kendala yang ditemui di dalam kelas saat proses belajar mengajar dengan mengadaptasi kurikulum tersebut?‖ Ibu Mardussana, S.Pd : ―KTSPkan tentang sekolah kami sendiri, misalnya untuk sekolah kami punya lima belas mata pelajaran, jadi untuk pengembangan kurikulum, kami bisa menambahkan beberapa mata pelajaran muatan lokal, seperti: fiqih dll.‖ Penulis : ― Bagaimana dengan jumlah guru di sini?‖ Ibu Mardussana, S.Pd : ―Guru melebihi karena jumlah siswanya kurang. Jumlah murid hanya 113 dari kelas 1 sampai dengan kelas 3.‖ Penulis : ―Apakah guru di sini mengajar sesuai dengan disiplin ilmu meraka masing-masing?‖ Ibu Mardussana, S.Pd : ―Misalnya begini, kamikan kadang-kadang guru-gurunya perjurusankan lebih, kadang-kadang dijurusan yang lain tidak ada. Misalnya, TIK tidak ada ahlinya, tapi ada guru ekonomi yang bisa pegang TIK, jadi kami kasih guru yang pegang ekonomi itu mengajar TIK.‖ Penulis : ―Bagaimana dengan jumlah kelulusan siswa dalam ujian nasional tahun ini?‖ Ibu Mardussana : ―Alhamdullilah, sekolah kami lulus 100%.‖ SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan bisa dikatakan minim peminat dikarenakan faktor tempat yang terletak dipedalaman dan juga anggapan negatif para orang tua siswa terhadap kualitas sekolah ini. Hal tersebut dikatakan langsung oleh kepala sekolah, Ibu Mardussana, S.Pd. Beliau juga menambahkan, ―Dinas sudah menetapkan rayon masingmasing, tetapi kadang-kadang orang tua menganggap sekolah di kecamatan lebih bagus.‖
Dari segi fasilitas belajar, Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan hanya memiliki 1 Lab. IPA dan 1 perpustakaan, namun SMP Negeri 2 Kembang Tanjong Desa Arusan adalah salah satu sekolah yang bisa meluluskan 100% siswa-siswanya meskipun KTSP di sana berjalan terseok-seok sebab kurangnya fasilitas dan SDM guru. ―100% ajaib!‖ Untuk keluar dari kesembrawutan sistem pendidikan nasional, maka penulis ingin menawarkan beberapa gagasan, yaitu: guru yang mengajar di sekolah bukanlah guru jadijadian, sekolah di Indonesia jangan lagi ‗egois‘, dan pemerintah harus ekstra peduli terhadap nasib-nasib sekolah di negara ini. Mengacu pada poin yang pertama, menganai tenaga pengajar (guru) hendaknya haruslah betul-betul profesional. Jika bisa, para guru yang diseleksi untuk menjadi pegawai negeri bukan hanya menjawab soal-soal di kertas saja, tapi teslah juga kepribadian mereka. Bisakah calon-calon guru tersebut menguasai kelas dan memotivasi para muridnya nanti? Karena mengajar bukanlah hanya sekedar menstranfer ilmu saja, tapi membuat siswa mau peduli untuk belajar jauh lebih penting agar para guru nanti tidak menguraikan dan menjelaskan materi pelajaran pada dinding-dinding kelas, tapi mereka harus bisa menggerakkan para siswa untuk peduli pada materi yang sedang diajarkan. Dan para guru haruslah mengajar sesuai dengan disiplin ilmu mereka masing-masing. Jangan lagi ada guru Ekonomi mengajar mata pelajaran teknologi informasi dan komunisi ataupun guru bahasa daerah yang mengajar pelajaran bahasa Inggris. Kedua, hendaknya jumlah mata pelajaran janganlah terlalu banyak karena hal tersebut tidaklah mungkin ter-kaver oleh anak-anak Indonesia yang kebanyakan menderita ―gizi buruk‖. Arahkan mereka sesuai minat dan bakat mereka masing-masing. Hal tersebut justru lebih efisien dan tidak membuang-buang waktu. Yang terakhir, stop KKN dan jangan politisir dunia pendidikan! Pemerintah harus lebih peduli tentang nasib jutaan anak manusia yang akan menjadi kunci maju atau tidaknya bangsa ini di masa yang akan datang. ―Peduli‖ di sini bukan hanya sekedar menciptakan program sebanyak-banyaknya tapi tidak tepat sasaran, contohnya: sertifikasi guru yang sampai dengan hari ini tak jua memperlihatkan dampak positif yang signifikan untuk dunia pendidikan Indonesia, pelatihan-pelatihan jangka pendek yang menghabiskan banyak biaya, dan lain-lain, tetapi tugaskanlah atau berikanlah posisi-posisi yang berkenaan dengan dunia pendidikan pada ahlinya, bukan hanya pada manusia-manusia yang punya kerabat dengan pejabat tertentu. Jika salah menempatkan orang sesuai dengan bidang masing-masing bukanlah
perubahan yang akan didapatkan, tapi MALAPETAKA yang selalu hadir di tengah-tengah kamuflase peningkatan mutu pendidikan Indonesia.
[1] Eka L. Koncara, ―Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),‖ UPTD Pembinaan TKSD PLS KEC. PLERED, (2010), hal. 2. [2] Jumadi, ―Pengertian KTSP dan Pengembangan Silabus dalam KTSP,‖ (Makalah disampaikan pada pelatihan dan Pendampingan Implementasi KTSP di SD Wedomari).
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
―Bacalah Kudai‖ ( sebuah kisah taman bacaan di negeri antah berantah) Oleh: ELSA RESTRIANA - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Ringkasan: Isi
essay
menceritakan
tentang
pengalaman
si
penulis
sendiri
sewaktu
mendirikan taman bacaan di lokasi praktek kuliah kerja nyata ( KKN) penulis pada waktu itu. Penulis menemukan fakta bahwa sebenarnya bukan karena malas, orang Indonesia itu membaca buku, tetapi bisa jadi aset dan akses yang dibutuhkan untuk mendapatkan buku bacaan bermutu memang sangatlah minim. Penulis pun mengharapkan keberadaan Taman Bacaan tidak hanya sebagai tempat membaca atau meminjam buku saja. Justru keberadaanya seharusnya dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pengembangan nilai seni dan budaya kita ataupun tempat diskusi pertukaran ilmu dan pengetahuan.
———―ayuk[1] mokase yoh buku-bukunyo, aku jadi men balek sekolah idak maen layangan lagi, mampir kudai ke sini, baco buku dulu ( ayuk, terimakasih yah buku-bukunya, sekarang tiap pulang sekolah aku tidak main layangan lagi, tapi mampir dulu kesini, baca buku dulu)
Saya bingung, terharu dan sekaligus senang mendengar perkataan anak kecil di hadapan saya barusan tersebut. Sebegitu tertarikkah anak-anak di desa ini dengan buku-buku bacaan yang saya bawa, sehingga mereka bisa melupakan sejenak permainan layang-layang mereka yang hampir dikata setiap hari sehabis pulang sekolah anak-anak disini menghabiskan waktu mereka untuk bermain disini. Padahal buku-buku yang kami bawa ini sebagian besar bukubuku lama yang diberikan secara cuma- cuma oleh perpustakaan kota Yogyakarta. Melihat mereka sampai sebegitunya hati saya terenyuh, saya tidak menyangka taman bacaan ini begitu dinantikan oleh anak-anak di desa ini. Kejadian itu terjadi sudah lebih dari setahun yang lalu. Tepatnya di tahun 2011, di tahun itu untuk pertama kalinya saya melaksanakan praktek Kuliah Kerja Nyata ( KKN) yang diselenggarakan oleh pihak universitas saya. Program KKN itu sendiri merupakan mata kuliah wajib yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa dan merupakan salah satu syarat kelulusan. Ketika itu saya ditempatkan di kota Pagar Alam, provinsi Sumatera Selatan. Memang tidak banyak orang yang mengenal tempat ini atau mungkin malahan ada yang tidak menyangka kalau tempat ini ada di dalam wilayah Indonesia. Hal itulah yang saya alami, ketika banyak teman-teman lain yang menanyakan dimana lokasi KKN saya berada. Malahan ada beberapa teman yang mengatakan jangan-jangan saya ini sedang KKN di negeri antah berantah. Saya pun, walaupun orang asli Sumatera bahkan tidak pernah mengunjungi tempat ini, hanya mendengar namanya saja tetapi tidak pernah secara langsung dan sengaja mengunjungi tempat ini. Dikarenakan memang lokasinya yang cukup jauh dari kota Palembang sendiri dengan waktu tempuh kurang lebih 8 jam dari kota Palembang, belum lagi ditambah dengan medan yang terjal, kanan kiri curang, dan daerah perbukitan yang rawan longsor, sehingga membuat orang berpikir dua kali untuk mengunjungi daerah ini walaupun daerah ini sebenarnya menyimpan banyak potensi pariwisata di dalamnya, baik wisata alam, budaya, ataupun sejarah di daerah ini. Karena bisa dibilang daerah ini kaya akan peninggalan prasejarah zaman Megalithikum. Tema program KKN yang diusung oleh kelompok saya ialah mengenai pengembangan potensi pariwisata. Saya dan 23 orang teman saya lainnya ditempatkan di Kelurahan Pagar Wangi, desa Tegur Wangi Baru. Kebetulan desa ini menyimpan salah satu peninggalan Megalithikum di dalamnya. Selain menjalankan program-program utama yang sesuai dengan tema di atas, kami pun menjalankan program tambahan di luar tema utama berbasiskan kepada pengabdian masyarakat. Salah satu program yang kami jalankan disana ialah program pembuatan taman bacaan. Program inilah yang nantinya akan mengantarkan kita kepada cerita di awal tadi.
Awalnya sebelum program ini dijalankan, saya dan teman-teman sempat pesimis, apakah program ini akan sukses, apakah masyarakat akan menerima, apalagi mengingat buku bacaan yang akan kami bawa nanti jumlahnya sangatlah minim. Pada waktu itu kami hanya mengandalkan sumbangan dari teman-teman di kampus, beruntung H-3 sebelum kami akan berangkan KKN, kami mendapatkan bantuan buku sebanyak dua kardus berukuran sedang dari Perpustakaan kota Yogyakarta walaupun buku-buku yang diberikan kepada kami merupakan buku-buku cetakan lama, tapi tidak apalah, toh setidaknya buku ini masih cukup relevan untuk dibaca hingga saat ini. Ketika program akan disosialisasikan ke warga pun kami pun mendapatkan kendala mengenai tempat atau lokasi yang akan dijadikan taman bacaan. Kami baru sadar bahwa untuk membuat taman bacaan dibutuhkan lokasi yang cukup mumpuni untuk dijadikan tempat menaruh koleksi-koleksi buku ini dan tempat yang nyaman untuk anak-anak ataupun orang dewasa yang ingin membaca buku ini. Beruntung, ada salah satu warga yang merelakan bagian bawah rumah panggungnya yang biasanya dijadikan sebagai gudang, beliau relakan untuk digunakan sebagai tempat berdirinya taman bacaan tersebut tanpa kami harus membayar ganti rugi sepeser pun, melihat bantuan dan dukungan dari masyarakat yang begitu besar. Saya optimis bahawa taman bacan ini akan diterima dan akhirnya setelah lokasi taman bacaan didapatkan, kami pun mulai mensosialisasikan hal ini kepada warga. Respon yang kami dapatkan pun sesuai dengan harapan kami di awal tadi. Taman bacaan ini pun kami beri nama ― Bacalah Kudai‖. Kudai merupakan bahasa setempat yang sering digunakan oleh orang-orang setempat untuk mengajak orang-orang yang lewat di depan rumah mereka, untuk singgah atau sekadar mampir sebentar sambil minum kopi dahulu. Kurang lebih dapat diartikan sebagai ―mampirlah dulu‖,begitupun alasan filosofis kami memilih nama ini, kami sangat mengharapkan siapa saja yang lewat di depan taman bacaan ini dapat meluangkan waktunya sejenak untuk mampir sejenak sambil membaca buku walaupun belum ada secangkir kopi hangat yang menemani, tetapi setidaknya itu merupakan seruan kepada warga yang lewat untuk mampir sejenak kemari. Tiga bulan pertama setelah kami meninggalkan lokasi KKN, kami masih sempat mendapatkan kabar dari pengurus taman bacaan tersebut sekaligus Karang Taruna setempat yang kami titipkan dan serahkan untuk menjadi pengurus taman bacaan tentang kondisi taman bacaan kami tersebut. Tapi setelah 6 bulan kami tidak mendapatkan kabar apa-apa. Setahun berlalu, tepatnya bulan juni lalu tepat setahun KKN saya. Saya pun menyempatkan diri untuk mampir lagi ke tempat KKN saya dulu, dari kabar yang saya dengar, taman bacaan itu memang sudah sepi peminatnya, oleh karena itu akhirnya pengurus Karang Taruna setempat mengambil inisiatif menjadikan taman bacaan tersebut sebagai lokasi PAUD ( Pendidikan
Anak Usia Dini). Perasaan saya waktu itu bingung dan sulit sekali menjelaskannya, sedih iya karena taman bacaan itu menjadi lokasi PAUD, tetapi senang juga ada karena menurut pengakuan Karang Taruna setempat berkat taman bacaan inilah, ide untuk mendirikan PAUD di desa ini muncul. Mereka pun sebenarnya memang menyayangkan animo masyarakat terutama anak-anak disini terhadap taman bacaan semakin lama semakin menurun, mungkin memang karena kondisi buku yang lama tidak diperbaharui. Mereka pun sudah berusaha mencari bantuan kemana-mana tetapi sampai sekarang tidak ada bantuan yang turun, maka dari itu menurut mereka daripada taman bacaan ini dibiarkan mubazir begitu saja maka mereka mengubahnya menjadi PAUD. Lokasi PAUD ini pun dipindah, yang tadinya di taman bacaan ― Bacalah Kudai‖, dipindah di dekat Madrasah Ibtidaiyah ( MI) di desa tersebut, kebetulan ada bangunan kosong bekas gudang di MI tersebut, yang kemudian setelah diperbaiki akhirnya dipergunakan sebagai lokasi PAUD tersebut dan ―bacalah kudai‖ teronggok begitu saja di bawah rumah panggung warga. ―yuk, yuk, ayuk kesini nak bikin taman bacaan lagi, ado buku baru dak yuk, kalo ado buku baru aku nak tiap balek sekolah nak ke “bacalah kudai” lagi” ( yuk..yuk.ayuk kesini mau bikin taman bacaan lagi, ada buku baru gak, kalau ada nanti tiap pulang sekolah aku mau ke ― bacalah kudai ― lagi) ucap anak-anak kecil di desa itu dengan riang Lagi-lagi saya hanya mampu menatap mereka satu persatu-satu dengan senyum getir saya katakan: ― nanti yah, “ bacalah kudai” jadi PAUD dulu, gek kalu ado buku baru, “bacalah kudai” pasti ado lagi. ( nanti yah, ―bacalah kudai‖ jadi PAUD dulu, nanti kalau ada buku baru, ―bacalah kudai pasti ada lagi) Sepertinya, anggapan bahwa orang-orang Indonesia itu malas membaca buku, tidak semuanya benar 100% dapat kita percayai. Mungkin, bukan malas lebih tepatnya, tetapi akses dan kesempatan untuk mendapatkan buku bacaan yang bermutu dan berkualitas itu belumlah ada dan menyentuh lini masyarakat Indonesia. Apalagi dengan kondisi wilayah Indonesia yang cukup luas. Masih banyak penduduk kita di belahan bumi Indonesia lain yang merindukan buku-buku bacaan segar sebagai makanan jiwa dan otak mereka. Taman Bacaan pun tidak semestinya dikonotasikan hanya sebagai tempat membaca dan meminjam buku belaka, tetapi tempat diskusi pertukaran ilmu dan informasi dapat terjadi di dalamnya atau mungkin sebagai pusat pelatihan kebudayaan dan seni. Itulah gambaran ideal taman bacaan yang saya harapkan. Tidak hanya tempat membaca buku, teapi juga pusat kegiatan edukatif di luar kegiatan formal anak-anak di sekolah. Ahh…andai itu terjadi yah untuk saat ini saya hanya mampu mengangankannya, walaupun mungkin di beberapa tempat mungkin sudah ada model taman bacaan seperti itu, tapi yah itu tidak semuanya dapat dijangkau oleh jutaan
warga di Indonesia. Di Yogyakarta saya sendiri, saya sempat menemukan taman bacaan dengan model seperti itu, jadi di samping taman bacaan, di dalamnya juga ada sanggar kesenian dan keterampilan untuk anak-anak. Saya harapkan juga nantinya ― Bacalah Kudai‖ dapat berkembang menjadi seperti itu. Sebelum saya pulang, salah satu pengurus karang taruna disana sekaligus pengurus taman bacaan disana mengatakan kepada saya, bahwa tahun depan ―bacalah kudai‖ pasti akan ada lagi dengan lokasi yang sama dimana PAUD tersebut berdiri sekarang. Sambil tersenyum pahit dan getir, apalagi mengingat keadaan ―bacalah kudai‖ sekarang, saya katakan kepadanya untuk tidak usah menghibur saya. Dengan tegas, dia menjawab, bahwa apa yang dia katakan barusan bukanlah bermaksud menghibur tapi ini benar-benar janji karena bagi mereka ―bacalah kudai‖ sudah mengubah segalanya di desa ini dan sudah menjadi bagian dari desa ini, ―bacalah kudai‖ ada di hati warga di desa ini. Saya yang tadinya hanya tersenyum getir berubah menjadi ceria kembali, saya katakan kepadanya satu tahun lagi saya akan kembali kesini menagih janji yang dia ucapkan ke saya. ―Bacalah Kudai‖ oh ―Bacalah Kudai‖ kisahmu semoga tidak berakhir begitu saja dan saya harap akan ada kudai kudai yang lainnya di desa lain.
[1] Ayuk: panggilan untuk kakak perempuan di Sumatera Selatan
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Pesan Keteguhan dari Pulau Lombok Oleh: FATIMAH ZAHRA - UNIVERSITAS PARAMADINA Ringkasan Esai ini bercerita tentang warga Ahmadiyah Lombok yang sudah mengungsi di Transito sejak 2006 yang belum ada kejelasan nasibnya hingga kini. Mereka mengalami hambatan ekonomi dan sosial, tak bisa pulang ke rumah asalnya. Namun, para pengungsi teguh dalam hadapi segala tekanan dan pengacuhan. ——————————
PERTENGAHAN SEPTEMBER 2012 lalu saya berkesempatan berkunjung ke Transito, tempat pengungsian Ahmadiyah di Lombok. Letak asrama Transito tak jauh dari pusat kota Mataram, eks gedung transmigrasi. Ada lebih seratus warga Ahmadiyah mengungsi di sana. Sehari-hari mereka menetap di dalam ruangan yang hanya dibatasi kain-kain bekas spanduk sebagai tanda pemisah antara satu keluarga dengan keluarga lain. Tiap keluarga – ayah-ibu serta anak-anaknya – tinggal di ruang petak berukuran 3×3 meter berbatas kain itu. Mereka berbagi tidur, anak-anak belajar, dan memasak di ruang yang sama. Pada 1999, Ahmadiyah Lombok kali pertama mengalami serangan oleh orang-orang yang menginginkan mereka keluar dari keyakinannya. Saat itu masjid Ahmadiyah di Bayan, Lombok Barat dibakar. Satu orang meninggal, dan semua orang Ahmadi di Bayan diusir. Pada 2001, menyusul Ahmadiyah Pancor, Lombok Timur disasar; mereka juga terpaksa pergi dari kampungnya dan mengungsi. Sejak saat itu setidaknya delapan kali warga Ahmadi berpindah tempat mencari penghidupan ke sekitar Lombok-Sumbawa. Ada yang mengungsi ke sanak saudara, ada pula yang kembali berusaha membangun rumah di tempat lain. Namun, tak kurang dari delapan kali itu pula mereka terus-menerus diserang dan diusir. Tahun 2010 beberapa belas kepala keluarga beli tanah dan bangun rumah dari hasil keringat sendiri di daerah Ketapang, tapi lagi-lagi rumah mereka disasar dan dibakar. Ihwal ini, laporan sementara Komnas HAM mengindikasikan adanya sebuah pola yang ―sistematis dan meluas‖, dua unsur yang menunjukkan adanya pelanggaran berat atas kemanusiaan. Intensitas kekerasan atas nama keyakinan naik drastis pasca-Suharto, lebih-lebih di bawah pemerintahan Yudhoyono setelah mengeluarkan SKB 2008 anti-Ahmadiyah. Sejak 2006, warga Ahmadiyah Lombok tinggal di Transito. Ada pasangan yang menikah di pengungsian, ada perempuan-perempuan mengandung, ada anak-anak yang lahir dan tumbuh besar juga di sana. Para pengungsi tersebut mengalami begitu banyak hambatan sosial dan ekonomi. ―Kami ini seperti tak diakui sebagai warga negara Indonesia,‖ ujar Syahidin, seorang pengungsi. ―Kalau ketahuan kami orang Ahmadiyah, tinggal di Transito, kami mengurus KTP tidak akan diproses.‖ Sebagian besar pengungsi tak punya kartu penduduk. Imbasnya, pasangan yang menikah tak bisa memiliki akta nikah, lalu anak-anak pun tak punya akta lahir, yang gilirannya akan kesulitan saat daftar sekolah. Pengungsi yang tak punya KTP tak bisa mendapat akses layanan publik seperti jaminan kesehatan. Status kependudukan yang diabaikan di tempat asal maupun di Transito bikin anak-anak sekolah kesulitan mendaftar beasiswa karena pejabat kelurahan enggan memberikan dokumen pengantar.
Menurut Anies Baswedan, rektor Universitas Paramadina, ―Tenun kebangsaan kita seperti sedang dirobek-robek‖. Sebagai sebuah negara-bangsa kita telah bersepakat untuk membentuk dan berada dalam sebuah kesatuan yang tak membedakan baik agama, keyakinan, warna kulit, ataupun ras. Konstitusi menjaminnya. Namun, di pulau Lombok ini, ada sebagian penduduk yang hak-haknya sebagai warga negara dicerabut karena keyakinan yang dianut. ―Kami ini seperti sepetak tanah yang belum merdeka,‖ ujar Rahma mengungkapkan kesulitan tanpa dokumen kewargenagaraan. Meski demikian, mereka memilih tetap teguh dengan keyakinannya – betapapun bertahuntahun hidup di bawah tekanan sekaligus diabaikan keberadaannya. ―Memangnya orang-orang yang mengusir dan menyuruh kami keluar dari iman kami, bisa menjamin bahwa jalan yang mereka paksakan bisa membuat kami tentram? Kami bertahan. Kami rela kehilangan harta benda dan melewati segala ancaman, intimidasi, serangan—meski sulit—serta kepedihan ini. Karena kami mendapatkan kedamaian dengan keyakinan ini. Kedamaian itu yang membuat kami kuat melewati semua ini.‖ ujar ibu-ibu satu suara saat saya mengobrol melingkar dengan mereka. Keteguhan ibu-ibu ini, menggaris pesan untuk kita: Silahkan penjarakan tubuh kami, tapi tak akan pernah bisa atas pikiran dan keyakinan kami. Saya meyakini bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tuhan menciptakan kita dalam penuh warna, supaya kita saling belajar dan mengambil hikmah satu sama lain. Berusaha memberangus keragaman yang ada, apalagi dengan kekerasan, adalah sebuah perbuatan yang naif. Berkaca dari keteguhan ibu-ibu pengungsi Transito, menekan orang lain untuk menjadi sama dengan kita hanyalah perbuatan sia-sia. Perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Keniscayaan yang pasti ada. Menjadi pilihan kita, akan bersikap seperti apa pada hal yang niscaya ada itu. Menumpah darah untuk menyingkirkannya, telah kita lihat hanya akan menjadi rantai konflik panjang yang tak pernah usai, dan sia-sia. Atau, menerima perbedaan sebagai sumber kekayaan. Saya menjadikan perbedaan sebagai warna dan sumber pelajaran hidup dalam interaksi sosial. Bersama teman-teman kampus di Dewan Keluarga Masjid (DKM) Paramadina, kami membentuk sebuah organisasi keagamaan yang inklusif. DKM ini seperti rohis atau Lembaga Dakwah Kampus bila di universitas-universitas lain. Rohis banyak dikenal sebagai sebuah organisasi yang sektarian. Memandang kelompoknya paling benar dan ingin meyingkirkan yang lain. Namun, di DKM ini kami berusaha membentuk kultur lain. Organisasi terbuka
bagi ideologi keyakinan dan pikiran apapun. Menjadi anggota DKM tak harus mesti berjilbab, bahkan ada juga teman non-muslim turut bergabung. Belajar dari pengalaman, interaksi secara personal dengan yang berbeda merupakan metode yang ampuh untuk menerima dan menghargai keragaman. Saya senantiasa mendorong rekanrekan ―minoritas‖ keyakinan untuk speak out. Saya punya banyak teman beragam keyakinan: Ahmadiyah, Bahai, Kristen, Syiah dan lainnya. Terutama saat kasus-kasus kekerasan terhadap kelompok-kelompok keyakinan ini merebak, saya dorong dan perkenalkan teman-teman ini ke organisasi. Biasanya setelah kenal secara personal dengan teman dari kelompok keyakinan yang sedang disasar, rekan-rekan lain bisa memandang masalah yang ada secara lebih humanis. ―Kaget sih waktu denger dia ngaku Ahmadiyah. Baru pertama kali soalnya punya temen Ahmadiyah. Jadi seneng sih punya temen beragam. Sekarang kalau ada kejadian apa-apa saya suka nanya keadaannya sama temenku ini.‖ ujar Hayat, anggota DKM setelah seorang Ahmadi speak out. Pendidikan publik di lingkup kecil ini sangat penting supaya lingkungan sekitar kita belajar untuk menerima dan menghargai perbedaan. Ada begitu banyak masa depan anak-anak yang tercerabut karena ketidakdewasaan kita menghadapi perbedaan. Seperti puluhan anak-anak pengungsian Transito ini, yang berebut mencium tangan saat saya hendak pulang. Masa depan mereka masih panjang.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Merajut Benang dalam Sistem Demokrasi Kerakyatan Oleh: MICHAEL ARNOLD PRAMUDITO - UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Demokrasi dalam konsepsi yunani disebut sebagai Government or rule by the people atau juga sering disebut Pemerintahan dari, oleh, untuk rakyat seperti dalam pidato Abraham Lincoln di Geutsberg-Amerika Serikat. Pada kondisi ini, demokrasi menghendaki adanya kebebasan, kesetaraan berpolitik, serta adanya Sirkulasi Elit yang temporer mengingat demokrasi berangkat dari Keutamaan Warganegara atau Kedaulatan ada ditangan Rakyat. Rocky (2009) menyebutkan bahwa filsafat dibelakang demokrasi adalah penerimaan terhadap Filibilisme manusia, ketidaklengkapan manusia karena itu tentang kemungkinan berbuat salah
sehingga konsesus yang dihasilkan demokrasi adalah konsesus yang menjamin kesetaraan Hak dan kebebasan warga Negara (http://raflizulfikr.wordpress.com). Demokrasi yang berjalan di Indonesia telah menghasilkan sejumlah kemajuan yang berarti dari segi prosedural. Pemilu legislatif, pemilu presiden, hingga Pilkada dapat berlangsung dengan bebas, transparan, demokratis, dan, paling penting, dalam suasana damai. Check and balance
di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga berlangsung sangat
dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru. Hal paling mendasar adalah dibenahinya beberapa kelemahan dalam batang tubuh UUD 1945 yang kemudian membuat wajah konstitusi kita tampil berbeda dibanding Batang Tubuh UUD 1945 yang asli (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2009, hal. 99). Perlu diakui bahwa perubahan UUD 1945 hasil amandemen adalah lebih baik dibandingkan dengan konstitusi sebelumnya dalam membangun sistem ketatanegaraan, salah satu utamanya terkait dengan meluasnya pengaturan jaminan hak-hak asasi manusia. Pasca Amandement UUD 1945 negara Indonesia mengalami banyak perubahan, perubahan yang terjadi muncul sangat beragam dari masyarakat. Hal tersebut sangat wajar sebab di balik sistem demokrasi yang dianut di Indonesia, ditemukan sisi negatif dari perkembangan nilai demokrasi. Perkembangan demokrasi dianggap tidak sesuai dengan dasar Negara Indonesia. Sisi negatif itu muncul bukan dari kehidupan rakyat dalam lingkungan kemasyarakatan, tetapi dari pemerintahan yang berkuasa. Demokrasi yang dianut oleh elite politik bukan demokrasi yang telah dibangun oleh founding father Republik Indonesia, tetapi demokrasi Pontokrasi yaitu konsolidasi antara segelintir pemilik modal dengan para politisi yang duduk di parlement dan pemerintahan. Tidaklah mengherankan bila proses politik di Indonesia menghasilkan kepentingan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Freedom House, Organisasi non pemerintah terkemuka dari AS, yang melakukan riset dan advokasi, kemerdekaan politik dan hak asasi manusia. Laporan penilaian tahunan yang berjudul ―Countries at the Crossroads 2012‖ itu dirilis di Washington DC, Amerika Serikat, Senin 17 September 2012. Laporan tersebut memuat hasil penelitian terhadap 35 negara yang dipandang penting dan strategis di seluruh dunia. Indonesia disorot secara khusus karena telah terjadi penurunan kebebasan pers dengan peningkatan insiden serangan terhadap para wartawan. Kepemilikan media juga mengerucut pada kelompok-kelompok tertentu yang jumlahnya semakin sedikit. Indonesia juga dinilai tidak sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi dan melakukan penyedotan sumberdaya alam secara serampangan. Juga disebutkan keberadaan oligarki-oligarki ekonomi yang mampu memanipulasi kebijakan
pemerintah. Dokumen laporan resmi yang diperoleh Kompas 19 September 2012 dari laman resmi Fredoom House (www.freedomhouse.org) Keadaan ini seolah berbanding lurus dengan para elite politik yang seakan belum bisa dewasa untuk menyikapi apa arti demokrasi. Buktinya, pada rapat anggota DPR yang membahas mengenai rencana pemerintah menaikkan harga BBM, mereka seakan akan bagai singa yang meraung raung untuk mempertahankan kekuasaan. Sangat terlihat sekali, bahwa sebenarnya yang mereka anut bukan demokrasi, tetapi suara mayoritas yang menekan suara minoritas, demokrasi bagi mereka adalah jalan untuk mempertahankan kekuasaan, menggunakan popularitas sebagai alat politik. Parahnya lagi muncul dua ribuan transaksi mencurigakan yang dilakukan sejumlah pemimpin dan anggota Badan Anggaran di Dewan Perwakilan Rakyat. Laporan hasil analisis Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan itu kuat menandakan bahwa sebagian pemimpin dan anggota Badan Anggaran, yang seharusnya mengawasi kualitas belanja negara, justru menjadi episentrum persoalan: bak pagar makan tanaman (Tempo, 3-9 September 2012). Pada tanggal 7 Desember 2011 Sondang Hutanggalung, seorang aktivis mahasiswa melakukan aksi bakar diri didepan istana sebagai protes kepada pemerintahan SBY yang dia anggap gagal dan tidak pro rakyat. Tanggal 10 Desember, tepat dihari Hak Asasi Manusia Sondang wafat sebagai martir. Apa yang sebenarnya dituntut Sondang adalah exspresi politik dari ‗mayoritas diam‘ yang tidak puas dengan kondisi yang ada (Usman Hamid: Bergerak untuk daulat, hal: v). Seakan rakyat juga tidak pernah diam. Respons politik rakyat berkembang hingga berbagai sektor seperti mahasiswa, petani, buruh, nelayan, kaum miskin perkotaan dan lembaga swadaya masyarakat. Pergerakan mereka didukung para aktifis perempuan, aktifis lingkungan, pejuang HAM. Mereka bergerak menyuarakan kepentingan politik rakyat. Perkembangan ini kemudian didukung dengan logika masyarakat yang mulai berkembang ke arah yang positif, membuktikan bahwa rakyat terus bergerak memperjuangkan demokrasi kerakyatan. Sebenarnya yang memang sangat perlu diperhatikan dalam lingkungan kemasyarakatan adalah bagaimana pemerintah dapat mengatasi sistem birokrasi yang saling bertentangan atau berlawanan, ini muncul karena pergantian sistem birokrasi dari berbagai rejim yang berkuasa, peninggalan antara berbagai rejim ini menyebabkan ketidak seimbangan didalam pemerintahan, peninggalan rejim lama yang masih cenderung korup, tidak transparan, tidak akuntabel dan tidak efektif, jika masih belum dimusnahkan maka sebaik apapun pemerintah mengorganisir, maka pemerintahan akan tetap belum demokratis. Birokrasi diciptakan untuk
memberikan pelayanan kepada publik. Dalam konteks ini birokrasi memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan pemerintahan dalam menjalankan program dan kebijakannya untuk dirasakan publik. Birokrasi harus ditopang oleh paradigma ideal yang harus ada. (Toenggul P. Siagian: 2000). Jokowidodo menunjukkan bahwa ketegasan atas birokrasi warisan rezim orde lama sangat dibutuhkan untuk melakukan reformasi birokrasi. Birokrasi yang tak sejalan dengan sistem yang ia bangun ia pecat dan digantikan dengan yang baru. Dengan dengan ketegasan ini ia berhasil menjinakkan birokrasi rejim lama untuk tunduk dan menjalankan sisitem yang ia bangun. Jokowi bukanlah tipe ‗pemimpin peragu‘ yang mencla-mencle atas birokrasi dalam pemerintahanya (Usman Hamid: Bergerak untuk daulat, hal: 305). Peningkatan sistem birokrasi kerakyatan ini juga harus diimbangi dengan Keberpihakan Ekonomi Kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada kekuatan ekonomi rakyat. Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. UKM terbukti mampu menjadi bantalan bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia, sektor UKM mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar
( padat karya angkatan kerja
tidak terdidik dan terlatih ) sehingga mampu memperluas lapangan kerja untuk mengurangi jumlah pengganguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Riset Bank Indonesia menunjukkan, sepanjang krisis ekonomi periode 1998 lalu, hanya 4 persen UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) yang bangkrut, 31 persen mengurangi skala usaha dan 65 persen mampu mempertahankan kenerja usahanya. (Koran Tempo, Rabo 19 sept 2012) Sehingga dengan adanya berbagai sistem pemerintahan yang pro Rakyat, mampu menumbuhkan kepercayaan kepada pemerintah, dan sebagai akar dari pembangunan Indonesia menjadi negara maju.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Internet Viral Marketing: Cara Baru Memperkenalkan Budaya Bangsa
Oleh: VENNI BUDI CAHYANI - UNIVERSITAS DIPONEGORO
Kemajuan teknologi dan informasi menjadi ancaman bagi kebudayaan nasional yang masih tradisional. Masuknya kebudayaan dari luar melalui media baik elektronik maupun cetak mulai menggeser kecintaan masyarakat terhadapan budaya asli Indonesia. Selain itu ancaman musnahnya kebudayaan nasional muncul dari dalam diri masyarakat itu sendiri, terutama di kalangan generasi muda. Generasi muda Indonesia masih sangat rendah minat dalam hal membaca dan menulis sehingga ini merupakan tolak ukur bagi tingkat mempelajari budaya. Namun dari kemajuan teknologi pula kita dapat menangkap peluang baru untuk melestarikan kebudayaan nasional. Dengan cara mempopulerkan dan mengenalkan keragaman budaya nasional melalui jejaring sosial, baik facebook, twitter maupun jejaring sosial lainnya. Hal ini menjadi peluang yang sangat baik karena trend gaya hidup masyarakat Indonesia terutama di kota – kota besar telah bergeser pada generasi gadget dan internet. Pengaruh jejaring sosial di internet pun semakin besar. Misalnya dalam memilih tempat wisata para turis baik manca maupun domestik lebih percaya pada banyaknya orang yang membicarakannya di twitter atau rekomendasi teman – teman di facebook daripada brosur pariwisata. Kicauan – kicauan di twitter pun dapat mempengaruhi jumlah pemilih dan pemilihan umum. Sosialisasi melalui jejaring sosial atau lebih dikenal dengan Internet Viral Marketing ini sudah banyak digunakan oleh negara – negara maju. Misalnya saja negara Inggris, yang mewajibkan semua anggota parlemen dan pegawai negri sipilnya untuk ikut mensosialisasikan kebijakan – kebijakan pemerintah yang telah dibuat. Ini merupakan salah satu pendekatan komunikasi pemerintah dengan rakyatnya. Mengingat semakin banyaknya warga negara yang menggunakan internet, pemerintah Inggris mengembangkan kemampuannya menggunakan channel digital secara efektif. Pengguna jejaring sosial di Indonesia untuk media twitter, berdasarkan data yang dilansir situs Semiocast Dot Com, jumlah tweeps di Indonesia sebanyak 19,5 juta orang. Jumlah tersebut menempati posisi kelima dunia setelah Amerika Serikat (sekitar 107 juta pengguna), Brasil (33 juta pengguna), Jepang (29 juta pengguna), dan Inggris (24 juta pengguna).
Sementara itu, data yang dirilis situs A World of Tweets Dot Com menempatkan Indonesia sebagai negara ketiga terbanyak di dunia dalam menulis tweet (kicauan), yakni sebesar 11,39%. Peringkat pertama diduduki Amerika Serikat dengan jumlah tweet sebanyak 27%, dan peringkat kedua dipegang Brazil dengan tweet sebesar 24 %.
Sementara untuk media fecebook, jauh lebih besar yakni 43,06 juta (data terakhir situs Socialbakers Dot Com terlampir). Pengguna facebook berasal dari semua kalangan dan semua usia. Dari data di atas angka pengguna situs yang cukup besar. Terlebih lagi pengguna jejaring sosial di Indonesia sangat aktif online dan berkicau. Terbukti dari survey bahwa Indonesia menempati urutan ketiga dalam menuliskan tweet di twitter dapat kita simpulkan bahwa media jejaring sosial sangat berpotensi sebagai media untuk mensosialisasikan khazanah budaya bangsa yang sudah banyak dilupakan masyarakat. Agar persebaran informasi dapat maksimal dan menarik, ada beberapa cara yang dapat kita terapkan. Cara – cara tersebut adalah:
Membuat situs atau blog perpustakaan budaya Situs ini berisi database, foto – foto, dan video keragaman budaya di Indonesia. Pada beranda terdapat link masing – masing provinsi. Pada link provinsi tersebut kita dapat mengetahui informasi dan berita terkini seputar budaya di daerah tersebut.
Membuat akun fanspage di facebook Akun fanspage merupakan salah satu ikon di facebook yang dapat diikuti banyak fans tanpa harus menjadi teman. Akun ini dapat diupdate oleh beberapa admin. Dengan menggunakan akun ini informasi akan lebih mudah didapatkan oleh para fans.
Menghubungkan beberapa media Link situs / blog yang berisi artikel – artikel, foto, video budaya dengan twitter dan facebook. Setiap ada content blog baru maka secara otomatis akan tersiar juga di twitter dan facebook.
Aktiflah untuk update status ataupun tweet Update info harus rutin dan berkelanjutan. Jangan lupa mention instansi atau orang-orang penting dan yang terkait dengan update kita. Jika sedang tidak ada artikel baru kita bisa update yang lain yang bermanfaat dengan tetap menyelipkan link situs / blog kita. Buatlah kuis kebudayaan berhadiah Kuis tentang pengetahuan budaya berhadiah dapat memotivasi masyarakat pengguna jejaring sosial untuk mempelajari budaya nasional dan lebih sering membuka situs – situs budaya. Hal ini sangat menarik minat masyarakat dan merupakan cara yang paling efektif untuk memaksa masyarakat mempelajari dan mengenal budaya nasional.
Sebarkanlah semangat melestarikan budaya nasional Selain memperkenalkan dan mensosialisasikan kembali kebudayaan nasional, kita dapat juga memotivasi generasi muda untuk menggunakan kebudayaan nasional dalam event – event yang mereka adakan. Misalnya dalam event sekolah, kampus, maupun masyarakat kita menampilkan tari – tarian asal Indonesia ketimbang boyband ataupun dance dari luar. Inilah tugas kita untuk mengenalkan dan menanamkan kecintaan pada budaya nasional pada generasi muda. Dimulai dari dunia maya dengan menyebarkan dan membiasakan masyarakat membaca informasi tentang kebudayaan nasional akan dapat mempengaruhi alam bawah sadar mereka. Bahwa kebudayaan nasional jauh lebih baik dan lebih patut untuk dibanggakan sebelum kebudayaan lainnya. Dengan terbangunnya lagi rasa cinta budaya bangsa maka aksi – aksi untuk melestarikan budaya nasional di dunia nyata akan banyak dilakukan. Semakin banyak generasi muda yang peduli dan mau meningkatkan kemampuannya dalam menggunakan chanel digital secara efektif untuk menyebarkan semangat mengenali dan mencintai kebudayaan nasional maka semakin mudah bagi Indonesia mengembalikan keutuhan budayanya dan kebhinekaannya. Ancaman lunturnya kebudayaan nasional di Indonesia dapat diimbangi dengan gencarnya menyebarkan gerakan ―kenali dan cintai budaya nasional‖ melalui media jejaring sosial. Hal ini sangat potensial mengingat hampir sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini menggunakan internet dan aktif di jejaring sosial. Kita hanya perlu mengenalkan dan menyadarkan masyarakat akan keberadaan kebudayaan tersebut. Dengan membangun kembali pengetahuan dan kecintaan terhadap budaya nasional mealui dunia maya, maka masyarakat sendirilah yang akan sadar dan melestarikannya dalam kehidupan nyata.
DAFTAR PUSTAKA Organisation.org awordoftweet.com wikipedia.com
Negara Hijau Ini ―Mengemis‖ Penghijauan Oleh: IBNI SABIL A‘IFA ZAENAL MANAN - UNIVERSITAS INDONESIA
Ringkasan Esai: Sangat memilukan kondisi bangsa ini, semakin terdikte atau lebih tepatnya ―tertindas‖ keinginan bangsa lain. Negara hijau dengan julukan populer paru-paru dunia ini sekarang dipaksa menjadi pengemis dalam penghijauan tubuhnya sendiri. Konsep REDD yang diusung menjadi kesepakatan dunia dalam menangani perubahan iklim serta pemanasan global mulai berbau politik yang menyebabkan negara berkembang semacam Indonesia terus dipaksa ―memubadzirkan‖ buminya dengan kepentingan yang mayoritas hanya untuk bangsa-bangsa maju. Mubadzir karena saat hutan hijau kita mampu diolah dengan cermat, telah sangat cukup untuk memakmurkan rakyat pribumi. —————————————————-
Saya sedikit akan memulai esai ini dengan cerita, cerita yang sewaktu itu saya banggakan. Pernah sewaktu saya menginjak tahun kedua berkuliah, saya mengikuti suatu forum se-Asia yang membahas mengenai karbon (sebutan untuk senyawa kimia yang sekarang tenar menjadi kambing hitam akan munculnya global warming). Setelah mengikuti forum tersebut, saya membentuk tim penelitian dan mengajukan sebuah proposal penelitian bertopik karbon, khususnya dalam kepentingan mengestimasi jumlahnya di Provinsi Riau. Saya dan tim cukup bangga waktu itu karena proposalnya disetujui untuk mendapat pendanaan, tetapi itu waktu dulu (artinya sekarang tidak begitu). Mengapa tidak bisa lagi membanggakan? Karena sekarang mata saya terbuka, terutama mata hati bahwa kebanggaan dari penelitian ini hanyalah prestasi semu. Meredam Kegagalan Pembangunan Global (Gagalnya Rezim Global) OK, saya mencoba mengawali kronologisnya seperti ini. Krisis energi global adalah persoalan ekonomi politik yang sangat dekat dengan persoalan penguasaan akses ekonomi, alokasi sumber ekonomi, dan distribusi manfaat atas sumber-sumber ekonomi. Hal yang perlu ditekankan dari pengertian tersebut adalah soal siapa yang memperoleh manfaat (keuntungan), siapa yang menanggung biaya eksternalitas, diantaranya adalah biaya kerusakan/pencemaran lingkungan. Saya bisa katakan bahwasanya krisis lingkungan global adalah soal tatanan sosial-ekonomi yang tidak adil.
Secara umum sebagian besar penduduk negara-negara kaya (yang cenderung di belahan bumi utara) dapat menikmati tingkat kesejahteraan yang tinggi berkat penghisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara selatan atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya. Gaya hidup dan pola konsumsi mereka harusnya bertanggungjawab atas kerusakan lingkungan hidup dan tatanan sosial akibat eksploitasi yang berlebihan di negara-negara yang menjadi sumber penghisapan. Perubahan iklim merupakan hasil persamaan yang kompleks dari gagalnya model pembangunan skala global. Karena itu setiap upaya untuk menghindari pemanasan global dan perubahan iklim serta upaya-upaya beradaptasi pada kondisi atmosferik yang berubah juga tidak sederhana. Melihat kembali persoalan hubungan antar bangsa, negara, dan individu yang terjadi selama berabad-abad dan tidak kunjung berubah, tidaklah layak menafikan kondisi ketidak adilan yang masih terus menerus terjadi. Dalam REDD, Hutan = Tempat Sampah Pemanasan Global Isu pemanasan global menjadi runyam karena ternyata skema mekanisme pembangunan bersih tidak secara spesifik bicara soal reduksi karbon dari sektor kehutanan, dan sampai hari ini tidak mampu diaplikasikan di sektor kehutanan. Hutan hijau Indonesia tak ubahnya hanya ―tempat sampah‖ CO2 oleh nagara penyumbang perusakan bumi. Padahal hutan bagi masyarakat Indonesia, menjadi bagian dari kehidupan, mulai dari kayu, daun, sumber air, energi dan pangan, terutama teruntuk rakyat sekitar hutan. Kemudian muncullah tawaran mekanisme baru, yaitu REDD (reducing emissions from deforestation
and
degradation),
yang
diharap
mampu
menjembatani
mekanisme
pembangunan bersih (clean development mechanism) dengan penanganan kerusakan hutan (deforestasi). Program REDD sendiri menawarkan kewajiban negara-negara ―Utara‖ untuk membayar kompensasi kepada negara-negara ―Selatan‖ guna mengurangi penggundulan hutannya, dan atau negara-negara Selatan juga dapat menjual kemampuan serap karbon yang dimiliki hutannya kepada Utara. Dengan skema tersebut, diharapkan kontribusi emisi dari deforestasi (khususnya pada hutan hujan tropis) yang mencapai 20 persen dari total emisi karbon di atmosfer dapat dikurangi. Tapi ada beberapa hal terpelenceng dan merugikan dari konsep REDD. Pertama, REDD terlalu menyederhanakan fungsi ekosistem hutan, yakni hanya sebagai penyerap karbon dioksida (carbon sinks) dan mengabaikan fungsi penting lain hutan sebagai daerah tangkapan air (water catchment areas), sebagai ruang hidup dan penghidupan masyarakat (livelihood) di sekitar kawasan hutan, hingga fungsi sosio-kultural yang tak mungkin bisa dipisahkan dari
sendi-sendi kehidupan masyarakat setempat. Mengabaikan fungsi hutan secara luas tentu akan merugikan negara-negara pemilik hutan, baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik. Kedua, REDD pada prinsipnya menawarkan kepada negara-negara yang memiliki hutan (termasuk Indonesia) untuk menjaga atau lebih tepatnya ―mengunci‖ kawasan hutannya dengan imbalan ―recehan‖. Tawaran ini dengan sendirinya akan membatasi akses dan partisipasi masyarakat lokal terhadap hutan, setelah hutan berubah menjadi global common goods. Ketiga, REDD akan berpotensi mengaburkan proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus kejahatan kehutanan, mengingat kesanggupan mereka (penjahat kehutanan) memenuhi kewajiban untuk membayar (willingness to pay) sesuai dengan skema REDD. Dengan begini, posisi Departemen Kehutanan pun akan dilematis dan kontraproduktif dengan usaha nasional dan internasional dalam antisipasi perubahan iklim. Keprihatinan REDD justru lebih condong pada melanggengkan industri kehutanan agar tetap eksis memanfaatkan kayu melalui mekanisme insentif yang ditawarkan. Saya sendiri geograf yang belajar cukup banyak mengenai kompleksitas ekosistem hutan. Konsep REDD sangat rawan memicu ketiga celah tadi dan bahkan masih mungkin berefek domino pada kemunculan kerugian, kecurangan, atau kerusakan yang lain. Mereka “Mencuci Tangan” dengan REDD Sistem klasifikasi hutan untuk REDD dapat diarahkan pada sistem klasifikasi hutan pada Tataguna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang terdiri dari hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung dan hutan konversi. Klasifikasi ini dirinci lebih jauh ke dalam kelas hutan tidak terganggu, terganggu atau sudah menjadi hutan tanaman industri dan bukan tutupan hutan (tebang habis yang tidak diikuti oleh penanaman hutan industri). Selain itu juga harus ditambahkan areal di luar kawasan hutan yang berada di bawah pemerintah daerah yang kondisi masih berupa hutan. Dengan pengkatagorian ini memungkinkan untuk memasukkan semua hutan baik yang ada di dalam maupun luar kawasan ke dalam skema REDD dengan melibatkan semua pihak baik pusat maupun daerah. Dengan model klasifikasi ini maka yang terjadi adalah masyarakat yg selama ini berada dalam ―kawasan hutan‖ berdasarkan aturan TGHK (luas kawasan hutan = 120 juta ha) akan ―terusir‖ dari kawasan tersebut. Demi mengejar targetan REDD tersebut maka Pemerintah Pusat melalui Dephut, BPN, DepTan beserta Pemerintah Daerah akan secara ―liar‖ menetapkan tatabatas hutan (target mereka sampai tahun 2009 akan menetapkan tatabatas hutan terpadu sampai dg 30%). Ini akan berdampak pada tersingkirnya masyarakat di ―kawasan hutan‖. Secara tegas dalam IFCA (Indonesia Forest Climate Alliance) memandatkan untuk
menegosiasikan ―kebun kayu‖ (HTI), perkebunan kelapa sawit dan kawasan konservasi ke dalam skema REDD. Dan ini berarti tidak ada tempat lagi untuk rakyat sekitar hutan. Sebab yang paling diuntungkan adalah para pebisnis sektor hutan, sektor perkebunan, dan sektor konservasi. Perubahan Iklim Selesai dengan REDD? ―Rendahnya martabat Bangsa Indonesia di pentas global ini ditunjukkan melalui proposal REDD-I (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation in Indonesia)‖. Pernyataan tersebut banyak diungkap oleh berbagai pihak, termasuk saya yang setuju dengan pernyataan di atas. Mekanisme REDD menegaskan negara hijau ini untuk ―mengemis‖ kepada negara-negara Utara dalam memperbaiki kondisi hutan kita sendiri, maka tak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Indonesia. Mengapa demikian? Karena negara-negara Utara juga memiliki tanggung jawab besar daripada ―membagi‖ uang receh kepada negara-negara berkembang, seperti Indonesia, untuk menjaga kelestarian hutannya, sementara mereka terus memproduksi karbonnya dalam jumlah yang lebih besar. Mengulas kembali pernyataan saya di atas, pertama REDD tidak lebih dari upaya menutup akses masyarakat lingkar hutan untuk mengambil manfaat dari hutan berdasar hukum adat yang mereka warisi secara turun-temurun. Kedua, REDD tak lebih dari kesempatan menyubsidi sektor privat dan korporasi, yang pada hakikatnya merekalah yang bertanggung jawab atas deforestasi di Indonesia. Ketiga, REDD akan menjadi alat konsolidasi (konotasi negatif) perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor kehutanan. Keempat, REDD merupakan wujud penyederhanaan dan kedangkalan pikir. Hutan bukan sekedar penyerap karbon, tetapi juga sebagai ekosistem yang kompleks, dan memiliki nilai penting bagi kehidupan umat manusia, lebih dari sekadar transaksi ekonomis jual-beli karbon. Ada persoalan besar dengan REDD yang paling mendasar dari skema yang berbasis pasar/ market adalah masalah ideologi. Seperti diketahui Protokol Kyoto mengatur berbagai cara agar emisi karbon negara-negara industri dikurangi sebanyak 5% dari tingkat emisi yang mereka keluarkan pada tahun 1990. Protokol ini mengatur salah satu pengurangan tersebut dengan mekanisme perhitungan tertentu yang pada intinya memberi nilai moneter pada karbon tersebut yang kemudian dapat ditransfer dalam bentuk kompensasi atas karbon yang mereka keluarkan. Karena hutan adalah penyerap karbon maka skema ini mengatur bila satu daerah bisa secara meyakinkan mengurangi atau mencegah deforestasi maka dia akan medapat kompensasi dana. Secara teknis mereka dapat menghitung berapa banyak karbon yang diserap atau dicegah tidak terlepaskan ke atmosfir dengan tetap menjaga hutan tersebut tidak rusak/ditebang, dan
inilah yang dijual ke pasar. Pihak industri (minyak, penerbangan, dll.) sangat suka ide ini, karena daripada mereka harus mengurangi emisi mereka sendiri. Dilihat dari keadilan iklim, ini sangat tidak adil, karena skema ini membiarkan tingkat pihak industri tersebut terus melakukan polusi atmosfer kita yang pada akhirnya akan menjadi masalah sosial secara global karena perubahan iklim. Hanya karena mereka bisa membayar, mereka dapat melakukan ini. Disamping itu, tanah/hutan yang akan dipakai oleh skema ini akan menjadi semacam area ―status-quo‖ dimana masyarakat tidak boleh menebang atau memanfaatkannya. Persoalannya adalah mengapa tanah/hutan orang lain digunakan untuk melayani polusi yang dilakukan oleh orang lain? Lebih lanjut lagi, siapa yang akan menentukan tanah/hutan mana untuk skema ini? Bukan hanya itu, ternyata menurut pemaparan Meneg KLH Rachmad Witoelar, taksiran kompensasi untuk hutan di Indonesia hanya kurang lebih sebesar Rp 95.000,- per hektar per tahun. Bahasa kasar untuk mengumpamakan ―pelecehan‖ ini mungkin ibarat untuk uang jaga atau membeli kopi saja tak akan mencukupi, apalagi diandalkan sampai mencukupi kebutuhan masyarakat yang tidak lagi diizinkan mengelola hutan. Padalah menurut perhitungan Suparmoko (seorang ahli kehutanan), jika hutan Indonesia dikelola baik-baik akan mampu menghasilkan US$ 191,25/ha/tahun untuk hutan primer, US$ 185,44/ha/tahun untuk hutan sekunder, US$ 301,85/ha/tahun untuk hutan konservasi, dan US$ 301,85/ha/tahun untuk hutan lindung. Melihat angka ini, saya sendiri merasa sangat dibodohi konsep REDD yang dulu pernah saya banggakan. Sudah saatnya bangun dan sadari bahwa negara hijau ini tidak harus mengemis untuk menghijaukan buminya. Indonesia kita, mampu hijau dan bermanfaat dengan mandiri. Masyarakat adat sekitar hutan yang sejak dahulu terus mewarisi budaya mereka untuk melestarikan hutan adalah orang-orang terbaik yang akan menjaga dan mengelola potensi besar hutan ini. Bukan orang-orang ambisius dengan harta, tapi masyarakat sekitar hutan ini secara nurani telah menyatu dengan hutan, cukup hormati hak mereka dan terus saling membantu mengelola hutan kita, maka tidak akan ada lagi permasalahan yang terlalu rumit, apalagi hanya soal harus kembali hijaunya sang paru-paru dunia. Referensi http://basapindo.blogspot.com/ (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.15 WIB) http://siklus.lmb.its.ac.id/?p=666 (diakses 4 Oktober 2012, pukul 15.10 WIB) www.rareplanet.org (diakses 5 Oktober 2012, pukul 10.10 WIB)
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
15 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Lagu Daerah, Riwayatmu Kini Oleh: DIAN NISITA - UNIVERSITAS INDONESIA Rangkuman : Lagu – lagu daerah kini kian tergerus oleh lagu-lagu kontemporer yang dianggap lebih modern. Hal ini mengakibatkan lagu-lagu warisan nenek moyang tersebut kurang mendapatkan perhatian, kemudian ditinggalkan. Kasus klaim Rasa Sayange oleh negara Malaysia merupakan suatu bukti dimana lagu-lagu daerah Indonesia sangat mudah untuk direbut oleh negara lain. Musisi dan peneliti telah melakukan berbagai usaha untuk melestarikan keberadaan lagu-lagu daerah, baik dengan mengaransemen ulang maupun dengan menciptakan peta lagu. Kini, giliran pemerintah untuk memaksimalkan apa yang telah dirintis oleh musisi dan peneliti dalam rangka mempertahankan eksistensi lagu-lagu daerah sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia. Pemerintah, sebagai pemegang kekuasaan, seharusnya dapat melakukan lebih banyak tindakan untuk melestarikan lagu-lagu daerah. Pelestarian tersebut dilakukan dengan memberikan kesadaran kepada masyarakat akan berharganya lagu-lagu daerah tersebut melalui berbagai hal, diantaranya adalah melaksanakan Festival Lagu Daerah di tingkat daerah, mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan mematenkan lagu-lagu daerah tersebut, serta mengeluarkan kebijakan bagi musisi pendatang untuk menyelipkan minimal satu buah lagu daerah ke dalam album baru yang akan diluncurkan. ————— Rasa sayange Rasa sayang sayange Lihat Ambon dari jauh Rasa sayang sayange ……… Lagu daerah Maluku ini marak terdengar di penjuru negeri. Bukan karena kesadaran dari masyarakat untuk mendengungkannya, namun karena mencuatnya kasus klaim Malaysia atas lagu daerah Indonesia bagian Timur ini pada tahun 2007 silam. Kasus ini berhasil membangkitkan semangat bangsa Indonesia untuk mempertahankan lagu tersebut sebagai bagian dari budaya Indonesia.
Hidup segan, mati tak mau. Peribahasa tersebut sangat tepat untuk disematkan pada lagu-lagu ciptaan nenek moyang Indonesia. Di tengah maraknya karya anak bangsa dalam bidang musik, sebagaimana terlihat dengan banyaknya penyanyi maupun band baru yang bermunculan, tidak ada satupun yang tampil dengan membawakan lagu daerah sebagai single utama mereka. Tak ayal, hal ini juga merupakan dampak akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap keberadaan musik-musik tradisional tersebut. Bahkan, tidak terdapat data pasti mengenai jumlah lagu daerah di Nusantara, padahal telah terdapat catatan bahwa bahasa daerah di Indonesia berjumlah 742 bahasa[1] dan suku bangsa di Indonesia berjumlah 1.128 suku[2]. Lalu bagaimana dengan lagu daerah Indonesia? Masyarakat meninggalkan lagu-lagu daerah karena dianggap ‗jadul‘ atau ketinggalan zaman. Mereka lebih menikmati musik kontemporer yang justru minim akan makna jika dibandingkan dengan lagu-lagu daerah. Yap, jika syair lagu daerah ditelaah dengan baik, maka akan tampak bahwa lagu-lagu tersebut mengandung nilai pendidikan yang sangat kental, contohnya adalah lagu daerah Jawa Tengah berjudul Dhondhong apa Salak dengan salah satu bagian liriknya : ……. Adik ndherek Ibu tindak menyang pasar Ora pareng rewel ora pareng nakal Ibu mengko mesthi mundhut oleh-oleh Kacang karo roti, adik diparingi Dalam bahasa Indonesia, lirik lagu tersebut berarti : …… Adik ikut Ibu pergi ke pasar Tidak boleh rewel tidak boleh nakal Ibu nanti pasti beli oleh-oleh Kacang dan roti, Adik akan diberi Lirik yang sangat sederhana, namun mengandung nasehat yang sangat besar maknanya. Tentunya hal ini sangat kontras dengan industri musik Indonesia sekarang ini yang lebih banyak dihiasi dengan lagu-lagu bertemakan perselingkuhan atau patah hati. Lagu-lagu berbahasa asing pun saat ini kian menjamur di masyarakat, khususnya kaum muda. Padahal, kaum muda merupakan lapisan masyarakat yang memberikan kontribusi besar bagi keberlangsungan bangsa. Mereka merasa bangga ketika berhasil menciptakan ataupun menyanyikan lagu berbahasa asing dengan fasih, namun kebanggaan tersebut tidaklah tampak
ketika harus melantunkan lagu dalam bahasa daerah. Tidak perlu mengkritik masyarakat kota, anak-anak muda yang tinggal di wilayah perbatasan dan jauh dari keramaian kota, seperti di Desa Mungguk Gelombang, Kalimantan Barat, bahkan tidak mengenal lagu daerah mereka, yaitu Cik Cik Periook. Mereka lebih mengenal dan hafal lirik lagu-lagu populer, seperti lagulagu yang dibawakan oleh girlbands maupun boybands.
Tantangan dan Usaha Pelestarian Lagu Daerah Tantangan tidak akan pernah berhenti menghantam dan kita tidak akan pernah tahu kapan ia datang. Menilik kembali kasus klaim Rasa Sayange beberapa tahun silam, tentu menjadi ‗sentilan‘ bagi bangsa Indonesia, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk mengingat kembali apa yang terlupakan dan mengantisipasi peristiwa yang sama agar tidak terulang kembali. Lagu Rasa Sayange mungkin merupakan salah satu lagu daerah yang cukup akrab di telinga kita karena sering diperdengarkan, khususnya saat mata pelajaran seni musik, sehingga kita dapat segera mengenalinya sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia ketika lagu tersebut diakui milik negara lain. Namun bagaimana dengan nasib lagu-lagu daerah lain yang kurang akrab di telinga kita? Sebutlah lagu Sintren dari Cirebon, Sayangkene dari Maluku, atau Dung Dung Sera dari Riau. Tidak semua orang mengenal lagu-lagu tersebut. Jika salah satu dari ketiga lagu daerah tersebut diklaim oleh negara lain, sanggupkah kita melakukan pembelaan seperti yang kita lakukan saat terjadinya kasus klaim Rasa Sayange? Sebagai contoh, lagu Dung Dung Sera kemudian diklaim oleh negara Singapura, apakah kita layak melakukan pembelaan jika kita sendiri tidak pernah mendengar lagu tersebut? Peribahasa berkata ―tak kenal maka tak sayang‖. Mampukah kita menunjukkan rasa sayang terhadap lagu tersebut jika kita bahkan tidak mengenalnya? Kesadaran untuk melestarikan lagu-lagu daerah telah ditunjukkan oleh Hokky Situngkit (34) yang berhasil menciptakan peta lagu dengan membedah lagu secara mekanika statistika[3]. Dalam peta lagu tersebut terdapat kluster Sumatera, Melayu, Maluku, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Bali. Lagu daerah yang berhasil dipetakan adalah lagu Rasa Sayange dan memberikan hasil bahwa lagu tersebut memang termasuk kluster Maluku, bukan Melayu. Maka klaim lagu Rasa Sayange yang merupakan budaya Malaysia dapat dipastikan salah. Keberadaan lagu-lagu daerah yang mulai punah juga disadari oleh beberapa musisi ternama tanah air. Mereka kemudian mengangkat kembali lagu-lagu daerah tersebut, seperti Ten 2 Five yang mengaransemen ulang lagu daerah dalam balutan musik jazz, Addie MS yang
menyajikannya dalam bentuk orkestra, dan Trisum yang memberikan nuansa baru berupa balutan melodi gitar dalam lagu – lagu tersebut. Namun usaha para musisi tersebut belumlah cukup untuk dapat mengangkat eksistensi lagu daerah dalam masyarakat secara penuh. Indonesia memiliki sangat banyak lagu daerah yang tidak mungkin dapat diabadikan hanya oleh beberapa musisi. Muchlis BA dan Azmy BA, dalam bukunya Lagu-Lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan, mencatat terdapat 201 lagu daerah dari seluruh wilayah Indonesia. Namun jumlah ini bukanlah jumlah mutlak, masih sangat dimungkinkan terdapat banyak lagu daerah yang belum teridentifikasi keberadaannya. Penelitian yang dilakukan oleh Hokky dan aransemen ulang para musisi akan lagu -lagu daerah tersebut sudah seharusnya mendapat apresiasi dan dukungan dari pemerintah. Dengan adanya konsep peta lagu, maka lagu-lagu daerah Indonesia tidak akan dengan mudah diklaim oleh negara lain. Aransemen ulang yang dilakukan oleh para musisi juga menjadikan lagu – lagu daerah lebih modern dan sesuai dengan selera musik masyarakat masa kini. Pemerintah, khususnya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, seharusnya memberikan dukungan terhadap usaha pelestarian lagu-lagu daerah tersebut. Pemerintah cenderung acuh terhadap keberadaan lagu-lagu daerah yang terancam punah. Seharusnya pemerintah dapat bekerjasama dengan para budayawan untuk melacak lagu-lagu daerah yang hampir hilang dari wilayah di Sabang hingga Merauke, kemudian memadukannya dalam sebuah lembar daftar lagu-lagu daerah Indonesia dan memublikasikannya sehingga masyarakat dapat dengan mudah mengakses data tersebut. Pendokumentasian sangat diperlukan untuk membuktikan bahwa lagu-lagu daerah tersebut memang ada dan akan tetap ada. Selain itu, pemerintah juga perlu mematenkan lagu-lagu tersebut agar tidak kembali diklaim oleh negara lain. Festival Lagu Daerah yang pernah diselenggarakan pada awal 2012 perlu digiatkan, khususnya di tingkat daerah, dimana unsur budaya asli masih kental sehingga benar-benar mencerminkan kebudayaan daerah tersebut. Suatu kebijakan juga perlu dibentuk bagi para musisi pendatang agar menyelipkan setidaknya satu lagu daerah yang diaransemen ulang sesuai aliran musik musisi tersebut dalam setiap album yang akan dikeluarkan. Dengan demikian, para musisi, khususnya musisi pendatang, tidak melulu menyanyikan lagu-lagu ‗galau‘, namun juga turut melestarikan lagu-lagu daerah Indonesia dengan talenta yang mereka miliki.
Penutup
Tidak ada yang dapat melestarikan keberadaan suatu budaya selain masyarakat yang hidup dalam budaya tersebut. Oleh karena itu, tidak ada yang dapat melestarikan lagu-lagu daerah Indonesia selain bangsa Indonesia itu sendiri. Lagu-lagu daerah semestinya menjadi suatu hal yang dibanggakan, bukan ditinggalkan. Untaian lirik yang sarat unsur budaya dan nilai pendidikan tersebut dapat memberikan suatu kebanggan tersendiri bagi bangsa. Jika kita, yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia, hanya diam melihat lagu-lagu daerah tersebut perlahan-lahan hilang, jangan heran jika dalam beberapa tahun ke depan kita akan mendengar lagu ini berkumandang : ………. Rasa sayange Rasa sayang sayange Lihat Malaysia dari jauh Rasa sayang sayange ……..
Daftar Pustaka
Buku BA, Muchlis dan Azmy, BA. 2007. Lagu-lagu Rakyat untuk Sekolah Dasar dan Lanjutan.
Depok : Musika.
Internet ―169
Bahasa
Daerah
Terancam
Punah‖
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB ―Indonesia
Miliki
1.128
Suku
Bangsa‖
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455 diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB ―Hokky
Memetakan
Lagu
Asli
Agar
Tidak
Diklaim
Asing‖
http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agartak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB
―169
[1]
Bahasa
Daerah
Terancam
Punah‖
http://nasional.kompas.com/read/2008/08/11/21544654/169.bahasa.daerah.terancam.punah diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.45 WIB ―Indonesia
[2]
Miliki
1.128
Suku
Bangsa‖
http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455 diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 19.51 WIB ―Hokky
[3]
Memetakan
Lagu
Asli
Agar
Tidak
Diklaim
Asing‖
http://kampus.okezone.com/read/2012/03/09/373/589935/hokky-memetakan-lagu-asli-agartak-diklaim-asing diakses pada 3 Oktober 2012 pukul 20.18 WIB
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Rintihan Pantura Oleh: MUHAMMAD ISOMUDDIN - Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nur Jati Cirebon Ringkasan; Budaya merupakan harta kekayaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Tumbuh berkembangnya bangsa ini, tidak terlepas dari budaya yang membentuk karakter bangsa. Arus modernitas melintas tepat di garis khatulistiwa bangsa, menimbulkan tantangan dan ketegangan terhadap kebudayaan sendiri. Mencoba merangkai Indonesia lewat puzzle kecil bernama kota Cirebon. Kota yang punya empat keraton, tak membuat nuansa erotis sensual kentara. Permasalahan ekonomi yang menjepit pewaris kebudayaan, melakukan penyelewengan dengan menjual warisan kebudayaan. Sapaan modernitas sudah terdengar oleh bangsa ini. Menggiring pada bentuk masyarakat konsumtif dan ada paradoks dari kebudayaan. Teks sudah diganti dengan praksis, bentuk asli dirubah menjadi imitasi, nilai guna diganti dengan nilai liyan : prestice,status. Ini realita yang penulis temukan di kota Cirebon. Budaya sedang kebingungan di persimpangan jalan. Harus segera menentukan arah kemana budaya akan dibawa. Penyusunan strategi dan langkah konkret merupakan keniscayaan bagi penempatan posisi kebudayaan. Berangkat dari daerah, mengalisis sampai bertindak secara nyata untuk
memperjelas rupa budaya. Dan dipersembahkan untuk Indonesia yang berbudaya luhur dalam menciptakan karakter bangsa. ———
Perbincangan mengenai Indonesia tidak akan lepas dari atmosfer kebudayaan yang menyelimutinya. Budaya menjadi sebuah cerita indah dan panjang tak membosankan, melebihi dari apa yang ada dalam cerita negeri dongeng. Beberapa tahun ini, budaya menjadi barang langka untuk disaksikan di dunia nyata. Seolah cerita panjang tentang kebudayaan menjadi riwayat akhir sebuah perjalanan selama ini, menjelma negeri dongeng tersendiri— penuh keilusian untuk ditarik ke dunia nyata. Sapaan modernitas merasupi bangsa Indonesia sehingga tak sadar akan warna bajunya sendiri. Bila memang demikian, Indonesia bukan lagi sebuah bangsa yang kaya akan budaya tapi bangsa yang kaya akan ―cerita budaya‖. Berangkat dari rangkaian Indonesia yang begitu kompleks, saya mencoba merangkai puzzle kecil dari Indonesia yaitu kota Cirebon. Kota persinggahan lintas pantura ini, mempunyai segudang kebudayaan—lengkap dengan keperihatinannya. Ada empat keraton yang berada di tengah kota Cirebon, yang seharusnya kental dengan aura keerotisan kebudayaan. Justru nuansa kebudayaan terasa mampat dan monoton. Tuan rumah dari tari topeng, sintren, batik, tembang pantura dan naskah kuno kini terselip ditumpukan bata gapura keraton. Kesulitan untuk meraba keberadaanya sekarang. Fakta mencuat ke permukaan minggu ini di harian kabar Cirebon, maraknya penjualan naskah kuno Cirebon ke luar negeri. Untuk merestorasi kertas naskah kuno menjadi lembaran uang kartal. Perhatian pemerintah tak begitu melirik untuk menjaga naskah kuno, malah lebih memilih jilidan proposal siluman dari pengintaian media. Permasalahan ekonomi merupakan aspek urgen dalam penempatan posisi kebudayaan. Terlihat dari rentetan peristiwa, tradisi ditumbalkan untuk sesajen pemberhalaan uang. Di sisi lain, ada bentuk yang lebih halus namun menikam yaitu penjajahan budaya dilakukan oleh kita sendiri tanpa disadari mengamini sebagai suatu keniscayaan. Penyingkiran budaya dilakukan secara massal dengan merayakan pencitraan dalam menciptakan masyarakat konsumtif. Dimana kebudayaan direduksi dari bentuk asli ke bentuk imitasi, dari teks ke simbolik. Budaya tradisonal menghadapi tantangan industri kebudayaan yang begitu besar. Era modern yang menjunjung tinggi teknologi dan ilmu pengetahuan untuk sebuah kemajuan. Pemuda yang notabene sebagai pewaris tunggal dari kebudayaan, bertanggung jawab akan keberlangsungan dan eksistensi budaya tersebut. Telah ternarik peran pemuda ke dalam poros
arus modernitas. Percepatan dan pemadatan rupa kehidupan, dilipat-lipat sampai tidak bisa dilipat dan tidak memperlihatkan wujud asli dari apa yang dilipat. Apa yang disebut sebagai deru mesin kapitalisme mutakhir yaitu differensiasi. Pembedaan-pembedaan telah diproduksi secara massal untuk membangun identitas dan gaya hidup. Konsumerisme dilepas secara bebas dengan melabelkan yang other terhadap produknya. Kini kemodernan merupakan kiblat baru bagi masyarakat yang ingin mencicipi perubahan. Ada banyak pembangunan hypermart, diskotik, café, hotel diamini sebagai gairah kemajuan suatu daerah. Pembungkusan menarik yang ditawarkan dengan menonjolkan hal liyan dari apa yang disuguhkan. Gaya hidup dan life style membangun bangunan kokoh segitiga kasta. Dari sebuah sabda iklan oleh sang produser yang menjelma Tuhan dan mewajibkan untuk mengimaninya. Pemuda lebih mengikuti apa yang sekarang menjadi trend, dengan siklus pergantian dan tempo yang cepat, seolah mewajibkan diri untuk segera update. Tak ada pendirian kukuh hanya untuk mendapatkan apa yang dikatakan Heiddeger sebagai sublasi (pemberian pengakuan). Model kehidupan yang mengalir mengikuti arus bukan mengalir pada alur. Terlihat begitu kentara di kota Cirebon sebagai persinggahan supir pencinta tembang pantura. Ada kelucuan orientasi pemuda yang mengkiblatkan pada titik gerbang rujukan, yaitu Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Kalau boleh kita sebut tiga kota tersebut sudah terbingkai sebagai: pragmatis, hedonis dan tradisionalis. Ditarik dengan menelan mentah-mentah apa yang sedang menjadi trend di kota tersebut. Berpengaruh besar dalam sosio-kultural kota Cirebon, khususnya para pemuja yang kehilangan orientasi asal. Dengan dalih membentuk Cirebon, tapi tak melihat bentuk yang sudah ada yang dimiliki Cirebon sendiri. Tidak adanya pijakan dari tanah sendiri, akultarasi lintas budaya ini hanya akan menciptakan formalism disoriented. Mengambil bentuk dari pada etos dalam melihat budaya lain, akan menimbulkan pengagung permukaan tanpa kedalaman. Terkecoh dengan kutang perempuan dari isi yang kurang padat. Gaya hidup sudah seperti rukun dalam menjalani kehidupan dari sabda iklan Tuhan. Ketika praktik kebudayaan secara sosial dicumbu sebagai bagian dari gaya hidup. Menggiring pada bentuk paradoks antara yang inti dan luar, filosofis dan praksis. Masuk dalam bingkai nihilism, terperangkap kesubjektifan palsu melalui dunia citra. Ada kerancuan representasi dari sebuah apresiasi terhadap budaya. dengan dalih ingin membudayakan apa yang dimiliki oleh kulturnya. Dengan memakai kaos bertuliskan ―I love Cirebon”, “I love batik”
dan lainya, seolah-olah dengan memakai itu sudah
merepresentasikan masyarakat berbudaya. Gimana tidak keliru, cinta batik kok pakai kaos?
Kenapa tidak dengan memakai batiknya saja. mungkin ini yang dinamakan sebuah simulasi oleh Jean Baudrillard, simbol mendahului dari apa yang disimbolkan. Berbicara bahasa jawa Cirebon jarang ditemui di tempat-tempat umum. Ada keminderan yang mendera di masyarakat. Jika berbicara bahasa jawa berkonotasi orang desa dan katro, lebih suka memakai bahasa Indonesia ala Jakarta. Apalagi musik tarling pantura, hampir tidak ada pemuda yang menyanyikannya. Lebih menggauli musik Mtv dan boy band berbehel dan pamer BB. Tak ada café menggelar live musik pantura, cuma ditemukan di acara nikahan atau pesta rakyat. Bahkan sampai di kampus sekelas negeri pun tidak ada. katanya sih, mengumbar nafsu, padahal kita tahu pejabat kampus pun nafsu akreditasi toh. Tersubordinasinya kultur Cirebon menempatkan titik terbawah dari garis vertikal status sosial. Membentuk sebuah oposisi biner antara tradisional dan modern. Tradisional yang bersifat tua, kuno, Statis, lambat dan modern yang bersifat muda, baru, dinamis, cepat. Sudah menghegemoni dikalangan pemuda, tradisi terlihat sebagai wabah virus lepra yang melumpuhkan dan lebih mengambil bentuk kemodernan sebagai vitamin perubahan. Anak muda terjangkiti ―kepikunan dini‖ atas dirinya sendiri yaitu tradisi asal sebagai identitas otentik. Perlu adanya kesadaraan dan pengakuan bahwa kebudayaan kita sekarang sedang kebingungan di persimpangan jalan. Harus sigap dan cepat menentukan arah kemana akan dibawanya budaya ini. Tindakan perubahan dengan wacana yang mengawang-awang di langit harus ditarik ke bumi untuk tindakan yang konkret. Mendirikan dan menjalankan pusat-pusat kebudayaan di daerah perlu diadakan untuk mengkat kebudayaan lokal. Indonesia tidaklah berarti tanpa adanya budaya yang berada di daerah-daerah. Menjadi Indonesia bukanlah memuja Indonesia. Namun, bertindak mengangkat daerah untuk dipersembahkan kepada Indonesia. Strategi pemerintah pun penting dalam menyusun strategi kebudayaan untuk memunculkan kearifan lokal yang masih terselip dalam taradisi dan untuk meminimalisir penyelewengan budaya seperti penjualan naskah kuno. Mengubah karakter masyarakat yang konsumtif menjadi produktif, peniru menjadi pencipta, pengikut menjadi kreator. Perlu ditanamkan secara dini dan aplikatif di lingkungan sekolah. Agar pembagunan karakter yang diharapkan bisa terwujud ketika tulisan ini lapuk. Kebudayaan tradisional tidaklah asketis dan konservatif terhadap dunia modern dan tidak juga mendistorsi kebaruan secara binal. Namun menempatkan pada satu tatanan yang menjadi akar untuk menumbuhkan karya baru sehingga dapat berdiri tegak dari terpaan angin kumbang.
Turut ambil aktif dalam tindakan penciptaan dan tindakan kreatif, bukan menjadi mayoritas yang diam dikuasi oleh segelintir elite. Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa revitalisasi kebudayaan bukan sekedar menggali puing-puing tradisi untuk diagung-agungkan semata, melainkan kearifan lokal yang tersimpan dalam warisan budaya Indonesia digunakan sebagai pencerahan dalam mengubah karakter masyarakat konsumtif. Menjadi Indonesia yang berbudaya tidaklah mustahil dan bukan angan-angan yang terlalu muluk. Karena memang bangsa ini sudah mempunyai riwayat sejarah budaya nyata. Kita tinggal meneruskan dan mengolahnya dalam mengahadapi budaya modern. Pada umur Indonesia ke 100 tahun akan menjadi kiblat dari cerminan dunia.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
―Rekonstruksi Sistem Pendidikan Indonesia dengan Penerapan Sistem Focus on Subject‖ Oleh: RAHMAT HIDAYAT - UNIVERSITAS HASANUDDIN
Ringkasan Esai Berbicara mengenai kehebatan serta kemajuan sebuah bangsa, kita tidak akan terlepas dari yang namanya peranan penting sebuah ―PENDIDIKAN‖. Pendidikan di semua negara merupakan suatu hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat dalam negara tersebut. Tanpa adanya pendidikan, yakinlah bahwa negara tersebut tidak akan pernah mengalami yang namanya perkembangan. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem yang betul-betul bagus untuk menata proses pendidikan yang akan berjalan. Sistem pendidikan yang diterapkan oleh masing-masing negara itu berbeda-beda, termasuk Indonesia. Jika kita memperhatikan sistem pendidikan yang berlangsung di Indonesia sekarang ini, sepertinya perlu dievaluasi keberhasilannya. Sudah banyak sistem yang telah dicoba oleh bangsa kita, akan tetapi sistem tersebut belum bisa membuat negara kita maju dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem baru yang bisa memperbaiki kondisi pendidikan di negeri kita yang tersayang.
——————Sistem yang saya maksudkan di sini adalah sistem pembelajaran focus on subject, maksudnya adalah di dalam menempuh sebuah pendidikan, kita tidak boleh melakukan pemaksaan kepada orang lain untuk mempelajari dan menekuni pelajaran yang mereka tidak inginkan atau sukai. Seharusnya kita memberikan kebebasan kepada seluruh pelajar untuk memilih bidang yang mereka sukai sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga dengan begitu, mereka tidak akan tertekan dalam hal proses belajar mengajar, mereka akan belajar dengan nyaman dan tanpa beban karena apa yang mereka pelajari adalah bidang yang memang mereka inginkan yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Sehingga, akhirnya nantinya akan lahir pelajar-pelajar yang ahli di masing-masing bidangnya. Jadi, dengan begitu, dengan penerapan sistem ini, setiap siswa atau pelajar akan difokuskan untuk belajar sedikit saja yang penting mereka ketahui secara mendalam tentang apa yang mereka pelajari. Lagi pula, secara logika untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih. Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Banyak orang yang mengatakan bahwa kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) di sebuah negara merupakan salah satu faktor yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi serta perkembangan sebuah negara menuju negara maju. Semakin banyak penduduk sebuah negara, maka negara tersebut juga akan cepat mengalami perkembangan. Akan tetapi, jika kita bercermin ke negara kita yang tercinta yaitu Indonesia, hal tersebut tidak kita dapatkan. Indonesia memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang sangat banyak, tetapi sampai sekarang negara kita masih berada pada posisi negara berkembang. Menurut saya, kuantitas SDM dari sebuah negara memang tidak bisa kita abaikan begitu saja, akan tetapi hal yang paling penting dari semua itu adalah kualitas yang dimiliki oleh masyarakat yang ada di negeri tersebut. Contohnya seperti negara China, selain memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak, kualitas masyarakatnya juga sangat bagus yang tidak jauh berbeda dari negara-negara Eropa dan Amerika. Di negara ASEAN sendiri, kita bisa lihat bagaimana Singapore yang hanya sebuah negara kecil yang memiliki jumlah penduduk yang sangat sedikit dibandingkan Indonesia, akan tetapi Singapore lebih baik dan lebih maju dibandingkan Indonesia, begitupun dengan negara yang lainnya seperti Jepang, Korea dan yang lainnya. Apa sebenarnya yang membuat mereka bisa seperti itu? tidak lain jawabannya adalah karena kualitas masyarakat atau SDM-nya yang sangat bagus dibandingkan dengan Indonesia. Di sini, saya tidak
mengatakan bahwa kualitas SDM atau masyarakat Indonesia itu sangat tidak bagus, akan tetapi kualitas tersebut masih perlu diperbaiki lagi dan ditingkatkan supaya kita tidak tertinggal dari negara-negara lainnya yang sudah maju. Indonesia memiliki potensi yang sangat bagus untuk dikembangkan, apalagi kita didukung oleh Sumber Daya Alam (SDA) yang banyak dan melimpah. Banyak negara luar yang mengatakan bahwa Indonesia adalah surganya dunia. Jadi, apa lagi yang kurang dari negeri kita yang tercinta ini, tinggal kita sebagai penghuninya yang harus cerdas dalam memanfaatkan semua itu. Kualitas SDM sebuah negara tidaklah langsung tercipta begitu saja, akan tetapi dibutuhkan sebuah proses yang panjang dalam pembentukannya. Singapore yang dulunya tidak mendapatkan perhatian dunia internasional, sekarang sudah menjadi salah satu negara yang dianggap berhasil memajukan negaranya, serta menjadi representative dari komunitas ASEAN di mata dunia internasional. Oleh karena itu, untuk menjadikan negara kita ini maju dan berhasil, maka yang perlu kita lakukan adalah meningkatkan kualitas SDM yang kita miliki. Dan menurut saya, cara yang paling bagus untuk meningkatkan kualitas SDM dari negara kita adalah dengan memperbaiki sistem PENDIDIKAN yang selama ini kita jalani dan terapkan di negara ini. Pendidikan sangat berperan penting dalam hal pembentukan karakter dan kualitas masyarakat sebuah negara. Jika kita memang tidak ingin ketinggalan dari negara lainnya, dan ingin bersaing di kancah internasional, maka Indonesia perlu mengevaluasi sistem pendidikan yang selama ini telah diterapkan. Kita mencari alternatif baru atau memperbaiki sistem yang sudah ada, intinya sistem pendidikan di Indonesia harus segera dibenahi. Dan menurut saya, tidak masalah ketika kita mengadopsi ataupun belajar dari pengalaman negara-negara lain dalam hal sistem pendidikan yang diterapkan di negaranya. Pendidikan merupakan satu hal yang sangat penting untuk peradaban bangsa setiap Negara di dunia ini. Hal ini disebabkan karena pendidikan merupakan hal yang sangat dinamis dan sangat peka terhadap perubahan berdasarkan perkembangan zaman. Pendidikan di Indonesia mengalami beberapa perkembangan sejak zaman perkembangan Hindu Budha sampai dengan zaman pasca reformasi sekarang. Perkembangan pendidikan di Indonesia mulai dari masa perkembangan Hindu Budha sampai paska kemerdekaan berkembang secara stimultan. Dari mulai perkembangan sastra yang dibawa oleh Hindu Budha, pesantren oleh masa perkambangan Islam, sampai sekolah yang dibawa oleh masa colonial Belanda sampai sekarang. Pendidikan di Indonesia mempunyai system semi disentralisasi. Yang dimaksud dengan semi disentralisasi adalah setengah disentralisasi setengah sentralisasi. Dalam konsep manajemen sekolah seluruh kegiatan yang berhubungan dengan sekolah diserahkan
sepenuhnya oleh sekolah, akan tetapi dalam system evaluasi masih menganut sentralisasi dimana ujian Negara diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Kurikulum di Indonesia telah mengalami pergantian beberapa kali hingga pada saat ini kurikulum yang bertahan adalah Kurkulum Tingkat Satuan Pendidikan. Kurikulum ini disinyalir sebagai kurikulum yang paling baku diterapkan di Indonesia. Ketika Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) digulirkan, banyak pihak yang merasa senang bahwa sekolah mendapatkan kesempatan untuk menentukan sendiri arah atau model pendidikan disekolahnya. Namun, kemudian harapan itu sirna kembali ketika ternyata masih ada ujian nasional atau UAN yang membuat model pendidikan yang diberikan sekolah harus kembali lagi seragam. Tak terbayangkan memang ketika KTSP ini harus dilakukan disekolah-sekolah negeri yang satu kelas muridnya bisa sampai 40-50 orang, sementara gurunya hanya satu orang. Sungguh jauh panggang dari api atau bagai punguk merindukan bulan.
Sesuatu yang harus kita perbaiki adalah paradigma pemikiran. Baik itu dari para pengambil kebijakan (para pejabat di kementerian), para pelaksana di tingkat managerial (Para pejabat di tingkat dinas baik propinsi maupun kabupaten) sampai pada para pelaksana di lapangan (para guru). Tenaga kependidikan merupakan ujung tombak usaha perwujudan tujuan pendidikan. Tugas pokok mereka adalah menyelenggarakan kegiatan mengajar, melatih, meneliti, mengembangkan, mengelola, dan/atau memberikan pe1ayanan teknis dalam bidang pendidikan. Mereka terdiri dari tenaga-tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti dan pengembang dalam bidang pendidikan, pustakawan, laboran, dan teknisi sumber belajar. Semuanya itu harus berfungsi sebagaimana yang telah menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Jika semuanya bisa berjalan sesuai dengan koridornya, maka yakinlah, bahwa pendidikan di Indonesia bisa menjadi pendidikan yang terbaik di dunia. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki pendidikan yang ada di negeri ini, seperti yang saya sebutkan tadi bahwa tidak ada salahnya ketika kita mencoba meniru, mengadopsi serta belajar dari pengalaman negara lain dalam memajukan pendidikannya. Sudah banyak negara di luar sana yang telah berhasil mengembangkan pendidikan dengan metode yang mereka gunakan, dan salah satunya adalah negara Finlandia. Finlandia telah diakui oleh dunia internasional sebagai sebuah negara yang berhasil memajukan pendidikan di negaranya. Sedikit saya berikan gambaran pendidikan di Finlandia sebagai bahan acuan atau pelajaran bagi kita untuk memperbaiki sistem pendidikan di negara kita. Di Finlandia hanya ada guru-guru dengan kualitas terbaik dengan pelatihan terbaik pula. Profesi guru sendiri adalah profesi yang sangat dihargai, meski gaji mereka tidaklah fantastis. Lulusan sekolah
menengah terbaik biasanya justru mendaftar untuk dapat masuk di sekolah-sekolah pendidikan, dan hanya 1 dari 7 pelamar yang bisa diterima. Persaingannya lebih ketat daripada masuk ke fakultas hukum atau kedokteran! Jika kebanyakan negara percaya bahwa ujian dan evaluasi bagi siswa merupakan bagian yang sangat penting bagi kualitas pendidikan, Finlandia justru beranggapan sebaliknya, testing itulah yang menghancurkan tujuan belajar siswa. Terlalu banyak testing membuat kita cenderung mengajarkan kepada siswa untuk semata lolos dari ujian, ungkap seorang guru di Finlandia. Kita belajar di sekolah hanya ingin dapat nilai akademik yang bagus dan memuaskan. Faktor pemahaman dan penerapan menjadi elemen yang diremehkan, pokoknya yang penting nilai kita bagu. Pada usia 18 tahun, siswa mengambil ujian untuk mengetahui kualifikasi mereka di perguruan tinggi dan dua pertiga lulusan melanjutkan ke perguruan tinggi. Siswa diajar untuk mengevaluasi dirinya sendiri, bahkan sejak pra-TK. Hal ini membantu siswa belajar bertanggung jawab atas pekerjaan mereka sendiri. Semua siswa dibimbing menjadi pribadi yang mandiri, mencari informasi secara independent. Karena dengan adanya banyak pendiktean membuat para siswa akan merasa tertekan dan suasana belajar menjadi tidak menyenangkan. Bagaimana dengan siswa yang kurang cepat tanggap ? Mereka akan mendapatkan bimbingan yang lebih intensif. Inilah yang membuat Finlandia berhasil menyandang gelar Negara dengan pendidikan paling berkualitas di dunia. Seorang guru yang bertugas menangani masalah belajar dan perilaku siswa membuat program individual bagi setiap siswa dengan penekanan tujuan-tujuan yang harus dicapai, contohnya: Pertama, masuk kelas, kemudian datang tepat waktu, berikutnya membawa buku, dsb. Kalau mendapat PR siswa bahkan tidak perlu untuk menjawab dengan benar, yang penting mereka berusaha. Dari sini, dapat dilihat sangat tercermin kalau guru di sana tidak menuntut anak didiknya untuk mengerjakan dengan hasil yang harus benar, para guru Finlandia menghargai setiap usaha dari siswanya. Para guru sangat menghindari kritik terhadap pekerjaan siswa mereka. Menurut mereka, jika kita mengatakan ―Kamu salah‖ pada siswa, maka hal tersebut akan membuat siswa malu. Dan jika mereka malu maka ini akan menghambat mereka dalam belajar. Setiap siswa diperbolehkan melakukan kesalahan. Mereka hanya diminta membandingkan hasil mereka dengan nilai sebelumnya, dan tidak dengan siswa lainnya. Setiap siswa diharapkan agar bangga terhadap dirinya masing-masing. Adanya ranking hanya membuat guru memfokuskan diri pada segelintir siswa tertentu yang dianggap terbaik di kelasnya. Dari gambaran ini, kita bisa belajar bahwa ternyata, negara yang tak diunggulkan bisa menjadi yang terbaik di dunia,
tentu semua itu karena adanya kemauan & usaha yang keras serta kesolidan dari berbagai pihak. Selain di Finlandia, Indonesia juga bisa belajar dari negara-negara lain yang memiliki sistem pendidikan yang sangat bagus. Menurut saya, kita harus bertindak dari sekarang, kita bisa belajar dari sistem yang diterapkan di Finlandia. Selain itu, dalam hal proses pembelajaran siswa tidak boleh dipaksa untuk mempelajari pelajaran yang tidak mereka sukai, setiap siswa memiliki kelebihan tersendiri di bidang tertentu. Kita tidak bisa memaksakan semua siswa harus suka belajar matematika, karena ada siswa yang tidak memiliki keahlian sama sekali di bidang matematika, akan tetapi orang tersebut memiliki keahlian di bidang seni misalnya. Oleh karena itu, sistem pendidikan yang selama ini hanya melakukan pembagian jurusan ketika SMA, mungkin mulai sekarang, sistem pembagian jurusan itu sudah dilakukan di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama). Di sini, siswa bebas menentukan kelas jurusan apa yang ingin mereka masuki sesuai dengan minat dan bakatnya. Dengan begitu, saya sangat yakin bahwa siswa akan belajar dengan santai serta siswa tidak akan mengalami yang namanya stres Karena bidang yang mereka pilih adalah bidang yang mereka memang sukai, mereka pilih tanpa ada paksaan dari siapapun. Pendidikan di Indonesia seharusnya memang seperti itu, kita mengarahkan setiap siswa untuk focus ke bidangnya masing-masing, sehingga dengan begitu, nantinya kita akan lahirkan para pelajar yang ahli di bidangnya masing-masing. Untuk apa kita memaksa seseorang untuk belajar sesuatu yang tidak dia inginkan, hal tersebut sama saja kita membunuh kreativitas siswa tersebut, serta secara perlahan kita akan membuatnya menjadi gila. Selain itu, untuk apa kita mempelajari banyak hal kalau ternyata ilmu yang kita dapatkan mengenai pelajaran tersebut hanya kulitnya saja, tanpa kita mempelajari secara mendalam ilmu yang kita pilih. Akan tetapi, ketika kita sudah bagi dari awal, maka kita akan focus ke bidang kita masingmasing untuk bukan hanya sekedar mempelajari kulitnya, akan tetapi kita akan bisa memahami sampai isi terdalamnya. Sistem seperti inilah yang banyak diterapkan di negaranegara maju seperti Amerika dan China. Mereka memang mempersiapkan masyarakatnya untuk dididik di satu bidang, yang nantinya diharapkan orang tersebut akan menjadi orang yang ahli di bidangnya yang dapat memberikan kontribusi untuk bangsa dan negaranya. Tidak ada kemustahilan di dunia ini, dalam hal ini, saya secara pribadi sangat mengharapkan Indonesia dapat belajar dari pengalaman Finlandia tersebut serta negara-negara maju lainnya khususnya dalam bidang pendidikan.
let’s we move together and we change our nation to be better than before.. Never say give up!
DAFTAR PUSTAKA -
Wahyudi blog
-
www.kompasiana.com
-
www.ilmu pendidikan.net
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Budaya Didik yang Belum ‗Mendidik‘ Oleh: WAN ULFA NUR ZUHRA - UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rangkuman: Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Pertanyaannya adalah, sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Di negeri ini, guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya. Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik, tanpa proses dialektika. Anak-anak Indonesia perlu diajarkan menjadi kritis sejak dini. Mereka harus dibiasakan menanyakan segala hal. Peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama, bukan kesepakatan sepihak dari guru atau dosen. ——
Pertengahan Februari tahun 2010 lalu, saya berkesempatan bertemu dan sedikit diskusi dengan Butet Manurung, perempuan yang merelakan waktunya untuk memberi pendidikan bagi anak-anak Suku Anak Dalam di Jambi. Saat itu kami berdiskusi tentang bagaimana perbedaan pola pikir anak-anak di kota dengan anak-anak di Suku Anak Dalam. ―Anak rimba itu lebih kritis daripada anak kota,‖ begitu Butet membuka diskusi. Sebuah statement yang membuat saya—sebagai anak yang tinggal di Kota—sedikit malu. Lalu Butet ceritakan pengalamannya mengajar anak-anak rimba. Mereka, anak-anak rimba selalu menanyakan segala hal. Termasuk pertanyaan ―Untuk apa kami belajar perkalian? Kami kan sudah bisa penjumlahan.‖ Butet lalu menjelaskan tentang konsep perkalian, tapi tetap saja anak-anak itu tidak mau belajar perkalian. Alasan mereka cukup logis, ―Kami sudah bisa penjumlahan, kalau banyak, ya kami jumlahkan saja.‖ Butet pun memutuskan untuk tak mengajarkan perkalian. Sampai suatu hari, anak-anak itu merasa kesulitan menghitung ketika berbelanja di Pasar— karena jumlah item belanjaan yang banyak. Mereka ingat penjelasan Butet tentang perkalian, lantas mereka setuju untuk diajarkan perkalian oleh Butet. Bandingkan pemikiran mereka dengan pemikiran anak-anak Kota. Pernahkah anak-anak di Kota bertanya megapa harus pakai seragam sekolah? Mengapa harus datang tepat waktu? Mengapa harus belajar ini itu? Bahkan saya tak pernah bertanya pada orang tua saya, mengapa saya harus sekolah? Semua itu sudah seperti ritual yang memang harus dilakukan. Mungkin hal ini terlihat sepele, tapi menurut saya ini esensial. Ketika seorang anak bertanya tentang sesuatu, berarti ia berpikir, dan berpikir adalah awal ditemukannya ilmu pengetahuan. Tanpa berpikir, James Watt tak akan pernah bisa menciptakan mesin uap. Tan Malaka pernah mengatakan bahwa pendidikan adalah membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan. Bayangkan apa jadinya peradaban manusia tanpa adanya pendidikan. Pendidikan yang saya maksud tak hanya pendidikan formal, tapi juga pendidikan nonformal. Pada dasarnya, manusia memang harus dididik. Indonesia memiliki lembaga pendidikan formal. Bukan cuma Indonesia, seluruh Negara di Dunia ini pastilah punya lembaga pendidikan formal. Tujuannya apa? Untuk menciptakan manusia-manusia yang bermutu. Pertanyaannya adalah, sudahkah lembaga pendidikan di Indonesia benar-benar membangun proses berpikir, membudayakan dialektika, dan menghaluskan perasaan? Barangkali boleh saya bilang ‗Tidak‘. Menurut Tan Malaka, proses pembelajaran itu harus menyenangkan, meminimalkan proses ceramah, dan tidak sekedar mendistribusikan pengetahuan, namun proses pembelajaran
semestinya memproduksi pengetahuan. Bagaimana Indonesia bisa memproduksi pengetahuan kalau peserta didik hanya dijadikan mesin penghafal? Guru atau dosen hanya menjadi mesin distribusi, mentransfer pengetahuan yang sudah ada kepada seluruh peserta didik. Kemudian, pengetahuan yang sudah didistribusikan tersebut haruslah dihafal oleh peserta didik. Di akhir semester, digelar ujian. Peserta didik harus menuliskan kembali pengetahuan yang sudah dihafalnya. Seluruh pemikiran ilmuwan Barat dilahap bulat-bulat, tanpa filter, tanpa kritik, tanpa proses dialektika. Ya bagaimana bisa mengkritik, kalau budaya yang diciptakan sekolah dan perguruan tinggi hanyalah budaya menghapal? Di kampus atau sekolah, guru dan dosen bertindak seperti diktator. Semua aturan dalam proses belajar- mengajar diatur secara sepihak. Contoh sederhana, peserta didik dilarang makan selama proses belajar-mengajar, dilarang datang terlambat, dilarang mengeluarkan baju, dilarang pakai sendal, dilarang memanjangkan rambut, dilarang ini, dilarang itu. Tak ada kesepakatan sebelumnya, aturan itu dibuat begitu saja, dan pastinya larangan itu tak berlaku bagi si dosen atau guru itu sendiri. Tak apa jika mereka datang terlambat, tak apa jika mereka makan di kelas, pakai sandal, mengangkat telepon, dan sebagainya. Pokoknya ya begitu, tak boleh protes, tak boleh mengkritik. Peserta didik pun ikut saja aturan-aturan sepihak itu. Alasannya hanya satu, agar mendapat nilai bagus. Tan Malaka meyakini, peserta didik haruslah diberi kepercayaan dan kemerdekaan untuk mengatur segala urusannya di sekolah sesuai aturan yang disepakati bersama. Apa yang diyakini Tan Malaka itu, tak pernah saya rasakan hingga saat ini saya duduk di perguruan tinggi. Saya tak pernah diajarkan untuk berpikir merdeka dan merdeka dalam berpikir. Menurut Tan Malaka, guru haruslah bertindak sebagai motivator dan fasilitator, bukan diktator. Apa yang dilakukan Butet Manurung, agaknya sudah mencerminkan guru seperti dimaksud Tan Malaka. Dalam hal menghaluskan perasaan, Tan Malaka berpendapat perasaaan siswa harus diasah untuk memiliki keberpihakan pada kaum tertindas. Siswa juga harus dididik untuk memiliki penghargaan yang sama pada pekerjaan kasar dan kerja otak. Selain itu, siswa harus didorong untuk memiliki keberanian berbicara. Tahun 2005, telah dilakukan perubahan acuan dasar penyelenggaraan dan satuan pendidikan. PP 19/2005 pasal 19 menyebutkan bahwa ―Satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif,
menyenangkan,
menantang,
memotivasi
peserta
didik
untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik dan psikologis peserta didik‖.
Namun, pada prakteknya, belumlah sesuai dengan acuan tersebut. Di sekolah, guru masih mendominasi pembelajaran melalui ceramah. Maklum saja, pengalaman belajar guru-guru itu memang ceramah. Guru juga masih melanggar prinsip guru sebagai fasilitator dan motivator. Dominasi guru dalam pembelajaran membuat peserta didik hanya menjadi objek dalam belajar. Yang saya paparkan hanyalah masalah dalam proses pembelajaran. Ada banyak lagi masalah dalam pendidikan di negeri ini sebenarnya, mulai dari dana pendidikan hingga usaha komersialisasi pendidikan. Perlu adanya pembenahan besar-besaran pada konsep pendidikan kita, pada praktek pembelajaran di kelas. Bagaimana caranya? Saya serahkan kepada petinggi-petinggi negeri ini yang pastilah memiliki ilmu jauh lebih banyak dari saya. Tak cukup hanya dengan perubahan undang-undang. Mereka harus memikirkan dampak pada tataran praktek di kelas. Memikirkan dengan serius!
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Bersua Dengan Bhinneka Oleh: HAPSARI KUSUMANINGDYAH - UNIVERSITAS INDONESIA Rangkuman: Konflik yang terjadi atas nama perbedaan memunculkan sejumlah kegelisahan tersendiri akan makna persatuan dalam keberagaman. Bhinekka Tunggal Ika yang selama ini menjadi semboyan kehidupan berbangsa dan bernegara dicari keberadaanya, secuil perayaan Imlek di kampung Sudiroprajan dianggap penulis sebagai salah contoh peristiwa yang merefleksikan Bhinekka Tunggal Ika. Perayaan ini menggambarkan sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah etnis untuk saling bertemu dalam kedamaian, bila dianalogikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebuah tujuan superordinat juga perlu di desain guna mencipta sebuah tujuan yakni persatuan. ——————–
Perkenalan saya dengan Bhinneka Tunggal Ika bermula di bangku sekolah dasar ketika menghafal lima sila Pancasila berserta isi gambar Burung Garuda merupakan sebuah kewajiban. 15 belas tahun lalu saya masih mempertanyakan apa pentingnya pelajaran tentang
―persatuan‖ ini, yang disajikan secara membosankan dan di kemas dalam narasi panjang yang tak tahu rimbanya dengan kehidupan. Namun kini saya sangat rindu akan makna pelajaran ini, ketika sering sekali saya dengar berita mengenai konflik antar suku, etnis, dan agama. Konflik Syiah dan Sunni di Sampang di Madura, Teror Bom di Solo, Kampanye berbumbu sentimen agama menjelang Pilkada DKI, tawuran antar pelajar sekolah hingga konflik-konflik berbau sentimen suku, etnis, agama dan antar golongan. Semua peristiwa ini membuat saya sangat rindu, rindu untuk bersua dengan ―Bhinekka Tunggal Ika‖ yang sebenarnya. Adalah seorang siswa taman kanak-kanak yang membantu saya untuk berjumpa dan melihat apa itu Bhinnekka Tunggal Ika. Wahyu, bocah TK berusia 4 ini mungkin tidak tahu, apa itu arti persatuan dalam keberagaman, toleransi antar suku,ras, dan agama. Namun di sudutsudut
rumanhnya,di
tiap
gang
sempit
dikampungnya
di
Sudiroprajan
ada
semerbak aroma keberagaman dan keharmonisan yang berusaha dijaga oleh penduduknya yang mayoritas etnis Jawa dan Tiong Hoa. Wajahnya sangat sumringah saat menyambut Imlek, walaupun dia tidak secara langsung merayakan Imlek karena Bapak Ibunya merupakan seorang muslim turunan Jawa. Sepupu kecil saya ini selalu membawa cerita gembira tiap Imlek tiba. Dialah yang menceritakan tentang senangnya mendapat angpaou merah, melihat arak-arakan parade kebudayaan, pertunjukkan Liong dan Barongsai yang meriah, dan gunungan kue keranjang. Seluruh narasinya tentang Imlek ini menjadi indah walaupun disajikan terbata-bata karena naratornya saja baru baru belajar bicara. Narasi Wahyu tentang Grebeg Sudiroprajan merupakan secuil kisah romantis tentang persatuan. Sebuah perayaan yang ihwalnya milik orang Tiong Hoa namun turut di semarakkan oleh orang Jawa. Tidak hanya di isi oleh Barong Sai dan Liong saja, namun juga di percantik dengan pertunjukkan tari Manggala Yudha. Semua berbagi, menari dalam persatuan, bahkan Gunungan yang merupakan ciri khas perayaan adat Jawa pada akhirnya menurut untuk dikawinkan dengan kue keranjang. Ceritanya tidak berhenti sampai situ saja, namun berlanjut ketika saban hari yang dia sambangi adalah teman-teman mainnya yang bermata sipit, budhe dan buliknya yang beragama Katholik hidup damai walau tinggal satu atap dengan bapak ibunya yang muslim. Semua cerita bocah kecil tentang perbedaan itu merupakan sebuah gambaran kecil, sebuah subsistem dari sebuah kehidupan kampung di Sudiroprajan di kota Solo yang merefleksikan semboyan Bhineka Tunggal Ika Sebuah Persatuan Bukan Kesatuan Sebuah pesan singkat dalam sebuah frasa Bhinekka Tunggal Ika ternyata menyeret sebuah narasi panjang bernama ―persatuan‖. Nilai bernama ―persatuan‖ ini sudah berusaha di
doktrinasi kepada para anak-anak sejak dini, melalui mata pelajaran kewarganegaraan. Didalamnya terdapat instruksi untuk menghafalkan kelima sila beserta berbagai pasal tentang kenegaraan dan terkadang stuktur mengenai pemerintahan. Namun esensi nilai persatuan ini seakan kabur, karena di kubur oleh kesalahan pemaknaan akan kata persatuan itu sendiri. Segala nilai persatuan pada akhirnya di reduksi ke dalam kata keseragaman dan kesamaan yang berarti bahwa hanya ada satu nilai yang benar dan di legitimasi. Dahulu sewaktu masih duduk di bangku sekolah dasar Bapak Guru mengajarkan kami untuk mengasihi ―sesama‖. ―Sesama‖ yang sama agama, sama sukunya, sama bahasanya, sama pemikirannya, sama kelompoknya. Saya ingat bagaimana Bapak Guru menceritakan baiknya agama dan suku kami namun tidak pernah menyingung perihal kebaikan dari kelompok lain. Kami tidak diedukasi untuk tahu atau mengerti ada agama lain di luar agama kami, yang saya ingat hanya kalimat ―YANG LAIN KAFIR‖. Semua yang makna persatuan jadi kabur karena berisi ajaran tentang dominasi, hegemoni, kesenangan akan subordinasi, dan minimnya pengetahuan akan eksistensi kelompok lain. Padahal Menurut Fromm dalam bukunya The Art of Love konsep persatuan dan konsep kesetaraan dapat dibahas dalam konteks cinta kasih antar sesama. Cinta inilah di cirikan dengan minimnya ekslusivitas karena adanya perasaan kesetaraan merasa sama-sama menjadi manusia. Inilah yang mendasarkan manusia untuk saling mengambil tanggung jawab, menolong, membantu, dan menghargai sesama manusia (Fromm,1956). Bahkan konsep kesetaraan dan persatuan ini mendapatkan tempat dalam konteks religiusitas bahwa kita samasama hamba Tuhan sama-sama manusia yang di ciptakan olehnya. Kesetaraan sekarang telah berubah menjadi keseragaman bukannya persatuan ― atau rasa menjadi satu‖(Fromm,1956).
Anasir Perjalanan Bangsa Runyam segala runyam, karena semboyan bangsa jadi kabur dan tak tahu rimbanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal ihwal semboyan Bhinekka Tunggal Ika lebih tua dibandingkan ihwal negara kita, karena 800 tahun yang lalu jauh sebelum Pancasila lahir, kalimat itu telah tertulis dalam sebuah kitab Purusadha Santa atau yang lebih di kenal dengan kitab Sutasoma di zaman Majapahit. Semboyan ini bukanlah sekedar rangkaian frasa atau gantungan kaki burung garuda, tapi juga sebuah refleksi sejarah Nusantara. Hubungan antara agama Budha dan Hindhu yang harmonis saat itulah yang mengilhami sang penulis Empu Tantular untuk menggambarkan bagaimana persatuan dapat di bangun dalam pondhasi yang beragam.
Bahkan sebelum teori multikulturaisme yang popular dari Kanada 50 tahun yang lalu lahir, semboyan ―Bhinekka Tunggal Ika‖ yang isinya hampir sama sudah mbrojol terlebih dahulu ke Bumi Nusantara. Semboyan ini telah di tempa oleh ratusan peristiwa sejarah, pergantian dinasti kerajaan, peperangan, kolonisasi dan akhirnya berhasil mencuri perhatian para panitia persiapan kemerdekaan Indonesia. Semboyan ini adalah sebuah refleksi panjang perjalanan sebuah bangsa yang dulunya berasal dari chauvinis-chauvinis kecil kerajaankerajaan, dari pecahan berbagai suku, budaya dan agama yang beragam. Beban sebuah Konflik Sebagai sebuah landasan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara Bhinekka Tunggal Ika seharusnya dapat hadir dalam keseharian kita, untuk itu memerlukan usaha para manusiamanusia Indonesia untuk menjaganya. Namun nyata sangat sulit hanya untuk bersua dengan Bhinekka Tunggal Ika di ―alam‖Indonesia. Tumpukan kesedihan mulai tumpah ketika banyak sekali konflik terjadi atas nama perbedaan mencuat. Larangan beribadah bagi umat minoritas beragama tertentu seperti Ahmadiyah, konflik suku yang tak berkesudahan di Poso dan Papua, saling serang mulai dari pelajar hingga mahasiswa, sampai cerminan pesta demokrasi yang di gentayangi dengan isu SARA. Selain menyita perhatian, konflik-konflik ini seakan lingkaran setan yang tak ada habisnya diulang dan di bumbui dengan korban, kematian, darah, isak tangis, kerugian fisik dan psikologis. Berapa harga yang harus kita bayar untuk konflik atas nama perbedaan, berapa rumah yang harus dibakar? Berapa pemuda yang harus meregang nyawa karena paradigma primordial kesukuan, kegamaan,keanggotaan, atau apapun itu namanya. Konflik-konflik ini merupakan sampah tersendiri bagi arus kemajuan bangsa, hitung saja berapa energi yang kita habiskan untuk memikirkan hal-hal yang kontraproduktif ini. Mencipta Sebuah Tujuan Superordinat Seorang psikolog sosial bernama Sherif tahun 1961 pernah melakukan sejumlah eksperimen mengenai dinamika kelompok (Forsyth,2010). Ada 2 kelompok yang di desain oleh untuk saling bermusuhan dalam sebuah setting tertentu yakni kompetisi dan sabotase. Namun di tengah jadwal yang telah di rencanakan,eksperimen hampir di hentikan karena hasilnya melebihi apa yang di harapkan. Kedua kelompok ini telah berkonflik sedemikian hingga hingga memunculkan tindakan kekerasan. Pada akhirnya sebuah resolusi di ciptakan yakni dengan membuat sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok. Eksperimen terhadap kelompok ini adalah salah satu contoh bagaimana sebuah konflik dapat di desain karena adanya rekayasa dan manipulasi akan ―perbedaan‖ namun juga tidak menutup kemungkinan untuk diselesaikan dengan sebuah tujuan bersama yakni tujuan superordinat.
Kembali ke narasi Wahyu, bahwa sebuah tujuan superordinat bagi kedua belah kelompok dapat mempererat hubungan antara dua kelompok. Misalnya antara etnis Jawa dan etnis Cina di kampung Sudiroprajan yang akhirnya memiliki sebuah tujuan bersama. Merayakan Imlek dengan menggabungkan kedua unsur budaya, dan mengajak segenap etnis yang berada disana untuk turut memeriahkan Imlek. Dari sebuah bingkai kecil kehidupan di kampung Sudiroprajan membawa sebuah pesan besar akan persatuan. Persatuan akan sebuah bangsa yang tersusun atas enigma-enigma suku bangsa yang berbeda, walaupun berbeda sebenarnya kita semua sama, sama-sama manusia, manusia Indonesia!
Daftar Pustaka Forsyth, D. R. (2010). Group Dynamics. Belmont: Cenggage Learning. Fromm, E. (1956). The Art of Loving. New York: Harper & Row Publisher. Purwadi, D. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa: Sejarah Kehidupan Kraton dan Perkembangannya di Jawa. Yogjakarta: Media Abadi.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Melihat Indonesia Lebih Dekat Oleh: UTOMO PRIYAMBODO - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Ringkasan Esai: Berdasarkan pengamatan terhadap teman-teman sekampus saya, saya menemukan fakta bahwa teman-teman kampus yang ketika kecil tumbuh dan besar di lingkungan perkampungan, pedesaan, dan daerah-daerah sejenisnya yang mayoritas dihuni ‗‖rakyat‖, memiliki sikap dan pemikiran yang lebih nasionalis dibandingkan teman-teman kampus yang ketika kecil tumbuh dan besar di perumahan-perumahan kota yang justru terkesan bersikap dan berpermikiran kapitaslis. Kata ―rakyat‖ di sini secara khusus ditujukan untuk lapisan masyarakat kelas bawah. Dalam sistem pendidikan yang ada di Indonesia ini, saya merasa bahwa mata pelajaran kewarganegaraan yang diajarkan di tiap-tiap instansi pendidikan masih sangat kurang berperan untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada tiap-tiap diri peserta didiknya.
Pelajaran itu, bagi saya sendiri, hanya menjadi pelajaran sampingan yang sifatnya formalitas. Semakin lama, semakin banyak peserta didik yang justru meremehkannya. Menurut saya, untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme, rasa cinta kepada bangsa dan negara Indonesia, kita haruslah terlebih dulu mengenal bangsa dan negara ini. Unsur utama suatu bangsa dan negara adalah rakyatnya. Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan tiap instansi pendidikan di negeri ini memiliki kurikulum yang memungkinkan adanya kegiatan-kegiatan bagi peserta didiknya untuk dapat melihat kehidupan rakyat Indonesia secara lebih dekat. Mulanya memang hanya sekedar melihat, tapi kemudian mengenal, lalu sayang, dan akhirnya cinta. —————————Ketika dulu masih kecil, saya sering merasa malu dengan lokasi rumah saya yang berada di daerah perkampungan. Kebetulan, teman-teman sekolah saya yang lain, kebanyakan rumahnya berada di daerah perumahan, di kompleks, atau yang sejenisnya. Saat mengisi kolom alamat biodata pribadi, hampir semua teman mengisinya dengan nama jalan, nama kompleks, ataupun nama perumahan. Sedangkan saya ketika itu harus secara malu-malu mengisinya dengan rangkaian tulisan berkata pertama ―Kampung‖. Kenyataannya, rumah saya memang berada di sebuah kampung bernama Kampung Kebantenan, Jatiasih, pinggir kota Bekasi. Sejak awal, ibu saya telah mencontohkan kepada saya untuk menuliskan ―Kampung‖ atau bila disingkat ―Kp.‖ sebagai kata pertama tulisan di setiap kolom alamat biodata saya. Baik itu untuk biodata TK, SD, maupun biodata kuliah saya sekarang, meski kini tak perlu lagi dicontohkan oleh beliau karena saya sudah terbiasa menuliskannya sendiri. Namun, perasaan malu itu kian lama kian hilang seiring bertambahnya usia saya, juga (mungkin) kedewasaan saya. Kini saya justru merasa beruntung karena sejak kecil saya tumbuh dan besar di daerah perkampungan. Kenapa? Karena banyak pengalaman yang saya peroleh selama saya tumbuh dan besar di sana yang kemungkinan besar tidak akan saya dapatkan bila saya tinggal di daerah kompleks perumahan, atau yang sejenisnya. Salah satunya adalah tentang beragam dan banyaknya fenomena sosial yang saya jumpai dan alami selama saya tinggal di lingkungan rumah saya yang merupakan daerah perkampungan itu. Bila teman-teman saya yang orang kompleks atau perumahan hanya akan menjumpai rumah-rumah dan orang-orang yang tak jauh beda kondisi sosialnya dengan keluarga mereka; di lingkungan rumah saya, sehari-harinya saya selalu melihat fenomena-fenomena sosial yang mencerminkan kehidupan rakyat dengan sebenar-benarnya makna rakyat. Di daerah perkampungan rumah saya, kasta sosial-ekonomi-pendidikan masing-masing keluarga sangatlah beragam. Ada yang termasuk kelas atas, kelas menengah, dan banyak
kelas bawah. Keluarga saya termasuk yang beruntung karena tidak temasuk kelas bawah. Tapi, saya memiliki teman-teman sekitar rumah yang kebanyakan berasal dari keluarga kelas bawah alias kurang mampu. Saya senang dan bahagia bergaul dengan mereka. Walaupun ketika kecil dulu, saya suka malu bila terlihat oleh teman-teman sekolah, saya sedang bermain dengan teman-teman lingkungan rumah yang biasa disebut anak-anak kampung. Namun, seperti yang telah saya utarakan sebelumnya, sekarang saya justru merasa beruntung telah mendapatkan pengalaman hidup tumbuh dan besar di dekat rakyat Indonesia dengan sebenar-benarnya makna rakyat. Apa maksud dari rakyat dengan sebenar-benarnya makna rakyat? Definisi rakyat secara formal adalah penduduk suatu negara[1] dan itu mencakup semua orang tanpa terkecuali. Namun, kata rakyat, sebenarnya lebih sering ditujukan secara khusus untuk lapisan masyarakat kelas bawah. Oleh sebab itu, bila kita mengamati penduduk yang tinggal di sebuah kavling perumahan ataupun kompleks, dapat kita simpulkan sendiri bahwa mayoritas bahkan semua orang yang tinggal di sana adalah masyarakat lapisan kelas menengah ke atas. Mereka bukanlah rakyat yang dimaksudkan, bukan rakyat dengan sebenarbenarnya makna rakyat. Mengapa saya merasa beruntung pernah hidup lama di dekat rakyat? Sebab atas pengalaman hidup itulah saya merasa terbentuk menjadi seorang yang mudah untuk bersimpati dan berempati kepada rakyat Indonesia –dengan sebenar-benarnya makna rakyat. Jiwa nasionalisme saya mendapat rangsangan lebih untuk memajukan bangsa dan negara ini sebab saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri bahwa masih banyak rakyat Indonesia yang memerlukan bantuan. Masih banyak rakyat Indonesia yang hidupnya kesulitan. Masih banyak rakyat Indonesia yang taraf sosial, ekonomi, dan pendidikannya rendah. Ya, banyak keluarga di dekat rumah saya di sana yang butuh diberdayakan. Banyak teman-teman masa kecil saya di sana yang putus sekolah. Ketika sekarang saya tengah berkuliah; kebanyakan dari mereka justru telah bekerja sejak usia remaja dan bahkan sudah berkeluarga meski dengan status pekerjaan yang belum dapat menjamin masa depan. Seperti yang pernah ditulis oleh seorang Soe Hok Gie, ―Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat‖.[2] Saya sangat menyepakati pernyataan tersebut. Apalagi saya telah merasakan sendiri dampak dari pengalaman semacam itu. Contoh serupa, ketika di kampus, teman-teman kuliah saya yang sejak kecil tumbuh dan besar di lingkungan perumahan atau kompleks, terlihat lebih senang bergaul dengan sesama ―anak gaul kota‖ dan cenderung hura-hura. Sedangkan teman-teman lain yang sejak kecil seperti
saya tumbuh dan besar di lingkungan rakyat, sekalipun bisa saja mengikuti gaya hidup anak gaul kota dengan menghamburkan harta orang tua, justru lebih senang bergaul secara lebih sederhana dengan teman-teman yang berasal dari wilayah-wilayah daerah. Ketika temanteman saya yang ―anak gaul kota‖ tadi memiliki cita-cita untuk bekerja di perusahaan asing swasta dengan gaji puluhan juta; teman-teman yang ketika kecil seperti saya dan teman-teman yang berasal dari daerah tadi justru berniat untuk bekerja membangun perusahan milik negeri sendiri saja, atau di perusahaan-perusahan yang memungkinkan mereka untuk membangun dan kembali ke daerah setelah lulus nanti. Saya tidak bermaksud tinggi hati menceritakan hal di atas. Namun, itu adalah fakta di antara teman-teman saya, meski tidak bisa juga menggeneralisasi semua teman. Sebab ada juga anak gaul kota tapi tetap nasionalis, atau anak daerah tapi kapitalis (maaf). Tapi, sebagian besar pembagian klasifikasi di atas adalah benar yang saya temukan. Dua orang jurnalis, Ahmad Yunus dan Farid Gaban, melakukan sebuah rangkaian perjalanan mengelilingi Indonesia untuk memotret fenomena kehidupan rakyat dan alam di segenap daerah. Mereka menamakan rangkaian perjalanan tersebut ―Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa‖. Hasil rangkaian perjalanan tersebut diabadiakan dalam sebuah buku oleh Ahmad Yunus. Buku itu berisi ringkasan tulisan, foto, dan video catatan perjalanan mereka berdua.[3] Berdasarkan pengakuan mereka berdua, rasa cinta mereka kepada Indonesia menjadi semakin bertambah setelah melakukan ekspedisi tersebut. Sebab, mereka telah melihat sendiri bagaimana kenyataan kehidupan rakyat di segenap penjuru tanah air, di berbagai pelosok daerah di Indonesia. Kenyataan itulah yang membuat mereka pun menghimbau para pembaca buku itu untuk pergi melihat Indonesia secara lebih dekat, melihat fenomena rakyat juga alamnya. Saya ingin mengutip sebuah pepatah yang sering kita dengar bersama, ―Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta.‖ Begitu benar isi pepatah itu menurut saya. Jika kita tak mengenal bangsa dan negara ini bagaimana mungkin kita bisa mencintainya? Lengkapnya lagi, bagaimana mugkin kita bisa mengenal sesuatu jika kita tak pernah mengamatinya, melihatnya. Dan unsur utama sebuah bangsa dan negara adalah rakyatnya. Saya yakin bila semua warga negara ini mau melihat Indonesia secara lebih dekat dengan melihat, mengenal, dan membiasakan diri untuk dekat dengan rakyat Indonesia, niscaya rasa cinta yang ada pada diri tiap-tiap warga kepada bangsa dan negara ini akan muncul dan bertambah. Siapapun dan apapun profesi warga negara tersebut. Baik itu pelajar, pengusaha, pejabat pemerintahan, maupun lainnya. Sehingga, bangsa dan negara ini pun akan menjadi
bangsa dan negara yang sejahtera sebab selalu diperhatikan dan dicintai oleh segenap warga negaranya. Melihat Indonesia lebih dekat tidaklah harus ekspedisi keliling Indonesia seperti yang dilakukan dua jurnalis di atas. Tidak juga harus memiliki pengalaman masa kecil seperti saya yang hidup tumbuh dan besar di lingkungan perkampungan yang banyak berpenduduk ―rakyat‖. Jika kebetulan Anda adalah orang kota, Anda tak perlu juga jauh-jauh pergi ke desa-desa atau ke kampung-kampung untuk melihat ―rakyat‖, untuk melihat Indonesia lebih dekat. Sebab, di kota-kota besar banyak juga terdapat rakyat. Coba saja ke kawasan pemukiman penduduk kelas bawah di kolong-kolong jembatan kota atau di pinggir rel kereta api stasiun kota. Tak mengapa hanya melihat-lihat saja ketika di sana, belum sempat atau belum mampu membantu. Dari sekadar melihat-lihat itulah, niscaya kian lama akan bertumbuh dan bertambah rasa simpati dan empati kita kepada rakyat Indonesia. Akan semakin tumbuh rasa cinta kita kepada bangsa dan negara ini. Dalam kaitannya dengan sistem pendidikan di Indonesia, saya masih merasa kurang dengan sekadar adanya mata pelajaran kewarganegaaran. Menurut saya, itu hanyalah terkesan sebagai sebuah mata pelajaran formalitas dalam kurikulum pendidikan yang sudah turun temurun. Bagi saya pribadi, efek mata pelajaran tersebut untuk meningkatkan rasa nasionalisme dalam diri saya sangatlah sedikit. Apalagi, berdasarkan pengamatan saya, semakin beranjak usia, peserta didik semakin menganggap remeh mata pelajaran tersebut. Bahkan di kalangan mahasiswa, mata kuliah kewarganergaraan hanya dianggap sebagai mata kuliah sampingan sekaligus mata kuliah ―paket A‖ sebab saking mudahnya untuk mendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah tersebut. Oleh sebab itu, saya sangat menganjurkan pemerintah beserta tiap-tiap instansi pendidikan di negeri ini untuk membuat sebuah kurikulum pendidikan baru yang memungkinkan adanya jadwal praktik kegiatan di luar kelas tiap minggu atau minimal tiap bulan bagi para peserta didiknya untuk mengunjungi dan melihat kehidupan rakyat secara lebih dekat –melihat Indonesia lebih dekat. Seperti yang telah saya utarakan, tak perlu jauh-jauh berpergian, seperti halnya kegiatan study tour dan lainnya. Cukup ke lingkungan rakyat yang terdekat dengan gedung sekolah yang bersangkutan. Agar peserta didik lebih terkesan dengan kunjungan kegiatan tersebut, para pendidik dapat secara kreatif mengadakan kegiatan sederhana dengan penduduk di lingkungan rakyat tersebut untuk para peserta didiknya agar dapat berinteraksi dengan rakyat. Akan menjadi
nilai plus lagi apabila kegiatan yang diadakan tentunya dapat bermanfaat juga bagi penduduk setempat. Jikapun para pendidik tak punya cukup waktu untuk mempersiapkan kegiatan untuk dapat melibatkan para peserta didik dengan rakyat, kunjungan untuk sekadar melihat-lihat kehidupan rakyat pun menurut saya sudah lebih bagus daripada sekadar hadir di kelas mata pelajaran kewarganegaraan. Mata pelajaran yang materinya yang semakin sering ditemui semakin membuat ngantuk dan diremehkan peserta didik. Dalam proses menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia, tahapan awalnya cukup dilakukan dengan melihat-lihat terlebih dulu kehidupan rakyatnya secara lebih dekat, lalu mengenal, kemudian sayang, dan akhirnya cinta. Inilah cara mudah lagi sederhana, tapi mampu menggugah rasa nasionalisme kepada bangsa dan negara. Silakan dicoba!
___________________________________________________________________________ [1] Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. [2] Gie, Soe Hok. 1989. Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: LP3ES. [3] Yunus, Ahmad. 2011. Meraba Indonesia: Ekspedisi “Gila” Keliling Nusantara. Jakarta: Serambi.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Kotak Pandora Bernama Toleransi Oleh: DANIEL HERMAWAN - UNIVERSITAS PARAHYANGAN
Rangkuman: Dewasa ini, keberagaman masih dianggap sebuah jurang pemisah dalam masyarakat Indonesia. Perbedaan suku, agama, ras, etnis, dan bahasa memberikan persepsi bahwa kita berbeda dan kita tak mungkin bersatu. Semboyan ―Bhinneka Tunggal Ika‖ seolah masih menjadi utopia dan hiasan dinding sekolah semata tanpa realisasi praktik nyata di lapangan. Jika gejala perpecahan akibat keberagaman ini terus terjadi, bukan mustahil 50 hingga 100 tahun ke depan, nama Indonesia mungkin sudah tinggal dalam catatan sejarah. Maka dari itu,
kita harus membuka kotak Pandora bernama toleransi untuk menyelamatkan dan melakukan revitalisasi terhadap makna keberagaman itu sendiri.
I. Prolog Keberagaman itu masih berupa teka-teki silang yang membutuhkan jawaban sebelum akhirnya berlanjut pada pertanyaan selanjutnya. Aku masih terpaku pada pertanyaan di kolom mendatar: Apakah arti ―Bhinneka Tunggal Ika‖? Aku ingin menjawab ―persatuan‖ pada kolom yang kosong itu, namun sayang jumlah kotak yang ada tidak memadai. Aku bertanya dalam hati, apakah pertanyaan ini tidak memiliki jawaban atau lebih tepatnya belum terjawab oleh pembuat teka-teki silang ini? Memahami keberagaman secara holistik mungkin masih menjadi mata kuliah sulit bagi masyarakat Indonesia. Ibarat mengkaji lukisan Monalisa dengan senyum misteriusnya, kita masih bertanya-tanya apakah penghormatan terhadap keberagaman itu nyata adanya? Sebagai bangsa yang masih balita dalam memahami keberagaman, respon kita terhadap lukisan agung bernama persatuan itu masih destruktif. Ada yang merusak, menodai, atau bahkan membakar karya seni agung itu karena tidak tahu betapa berharganya nilai kebanggaan terhadap keberagaman itu. Keberagaman itu tetaplah menjadi pertanyaan yang tidak akan pernah bisa dijawab, sampai kita mau membuka kotak Pandora bernama toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
II. Refleksi Sembilan belas tahun yang lalu, aku terlahir sebagai orang keturunan di Indonesia. Aku tinggal di lingkungan masyarakat Sunda yang sangat kental. Tak heran, sejumlah budaya Sunda melekat kuat dalam diriku, salah satunya adalah Bahasa Sunda. Aku tumbuh, berkembang, dan mengukir prestasi di Bumi Parahyangan ini. Sekolahku pun terletak dekat dengan lingkungan masyarakat pribumi. Setiap pagi, aku berjalan kaki ke sekolah melewati rumah warga sekitar. ―Eta aya si Cina. Cina!‖ (Itu ada si Cina. Cina!) Kalimat itulah yang ku dengar dengan nada mengejek dan menghina etnisku. Ku percepat langkahku menuju sekolah dengan rasa sesak di dada. Beranjak dewasa, aku aktif mengikuti berbagai kegiatan, seminar, dan lomba. Tatkala aku menuju meja pendaftaran, beberapa bibir mencibirku. ―Haiya, ada orang Cina mau ikutan
seminar!‖ Selentingan yang membuatku merasa terasing di negeriku sendiri. Mungkinkah aku bukan bagian dari Indonesia yang katanya ―Bhinneka Tunggal Ika‖? Setiap kali pelajaran PKn pada masa SD, SMP, dan SMA, aku selalu diberikan makna ―Bhinneka Tunggal Ika‖ itu berbeda-beda, tetapi satu juga. Mungkinkah buku paket pelajaranku yang sudah usang ataukah ada revisi terbaru dari penerbit mengingat ―Bhinneka Tunggal Ika‖ itu selama ini belum pernah ku rasakan. Konsep kebanggaan terhadap keberagaman itu seolah teori belaka, tanpa ada praktik nyata di lapangan. Aku selalu mendengar di surat kabar, televisi, bahkan radio sekalipun memberitakan tatkala terjadi kerusuhan besar, warga keturunan sepertiku adalah target utama. Masih segar di ingatan orang tuaku, tatkala mempersiapkan semua kemungkinan terburuk yang terjadi akibat kerusuhan besar di tahun 1998. Meskipun kami berdomisili di Bandung, orang tuaku sadar tatkala kerusuhan itu meluas, bukan mustahil kami akan menjadi target selanjutnya. Aku bertanya apakah aku anak tiri dari ibu bernama Indonesia? Apakah aku tidak mempunyai kesempatan, kebebasan, dan hak yang sama di tanah air tercinta ini? Aku sempat berpikir warga keturunan sepertiku mungkin ibarat air dan minyak dengan warga pribumi. Sampai kapanpun mungkin takkan bisa bersatu dan semboyan ―Bhinneka Tunggal Ika‖ yang ku pelajari 12 tahun silam itu mungkin sebuah khayalan belaka. Aku berharap ini hanyalah mimpi buruk. Tatkala aku terbangun, aku berharap mendapatkan jawaban dari teka-teki yang selama ini belum terisi tentang arti dari ―Bhinneka Tunggal Ika‖.
III. Solusi dan Aksi Tatkala bangsa kita masih menganggap mayoritas adalah prioritas, penghormatan terhadap keberagaman itu sendiri takkan pernah terjadi. Masyarakat minoritas tetap tersisih dan mungkin terpaksa hijrah ke negara lain tatkala eksistensi mereka terancam oleh kepentingan kaum mayoritas yang tidak mementingkan kepentingan bersama. Kebanggaan terhadap keberagaman akan terjadi tatkala kita melihat kembali kebangsaan kita di masa lampau. Menyaksikan Piagam Jakarta diubah menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyiratkan betapa pentingnya pluralisme di Indonesia. Mempelajari zaman penjajahan, di mana semangat kedaerahan membuat bangsa kita mudah diadu domba yang pada akhirnya membuat sekutu dengan mudah masuk dan menjarah kekayaan bangsa Indonesia. Kemerdekaan yang diperoleh bangsa kita dengan tetesan darah dan keringat ini bukankah diraih oleh kita bersama? Maka dari itu, mengawali kebanggaan terhadap keberagaman haruslah dimulai dari sekarang. Menyaksikan maraknya radikalisme organisasi masyarakat
berbasis agama, terorisme, dan tawuran yang membabi buta akibat bangsa yang haus akan kebhinekaan yang sejati. Sudah saatnya kita membuka kotak Pandora untuk menemukan jawaban teka-teki itu. Tatkala kotak itu terbuka, ternyata hanya ada cermin didalamnya. Ya, jawaban dari pluralisme itu terletak pada diri kita masing-masing. Kita takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan ini tatkala kita masih menganggap diri kita berbeda dengan masyarakat Indonesia lainnya. Kita harus mengendurkan ego dan memperkokoh toleransi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Mustahil membangun kebanggaan terhadap keberagaman, tatkala perbedaan golongan masih menjadi sekat pembatas bagi bangsa Indonesia. Ketika kita membuka hati untuk berjalan beriringan sebagai rekan seperjuangan, kita akan sadar bahwa kemajuan sebuah bangsa adalah kemajuan bersama. Ibarat kepingan puzzle, kehadiran setiap suku, agama, etnis, dan golongan akan menjadi elemen penting yang saling melengkapi untuk menjadikan gambaran yang utuh tentang Indonesia. Ibarat menemukan jawaban dari mahakarya seni, kita akan sadar bahwa Indonesia adalah bangsa yang bernilai sangat tinggi di mata dunia. Nilai keberagaman berpadu toleransi yang tergambar jelas pada setiap sendi kehidupan masyarakatnya tidak dapat ditiru dan dibeli dengan uang oleh masyarakat manapun di dunia ini. Ketika kita mengetahui nilai dari Indonesia, maka kita akan sadar untuk menjaganya tetap utuh dan terawat hingga anak cucu kita kelak. Tidak perlu ada lagi yang merasa dianaktirikan dan tidak ada lagi perpecahan karena kita semua disatupadukan dalam kanvas bernama toleransi yang membuat warna kuas yang kita sapukan di tiap sudutnya tetap melekat. Bukan saling meniadakan satu dengan yang lainnya, melainkan memberikan warna yang beragam dan kontras untuk lukisan indah bernama keberagaman Indonesia.
IV. Epilog Kini aku sadar bahwa jawaban dari teka-teki itu telah terpecahkan. Ku tuliskan ―toleransi‖ dalam kotak kosong yang tersedia. Semua kotak terisi penuh dengan baik dan aku bisa melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya. Ya, aku sadar ternyata teka-teki bernama keberagaman ini takkan pernah terjawab sebelum aku memahami hakikat dari ―Bhinneka Tunggal Ika‖ itu sendiri. Jawaban ―persatuan‖ yang ku berikan tidaklah salah, hanya saja tidak tepat. Tatkala berbicara tentang keberagaman, maka aku harus mengkaji proses yang ada didalamnya. Dalam hal ini,
toleransi adalah proses yang harus kita tempuh sebelum akhirnya menghasilkan persatuan sebagai dampaknya. Tatkala kita bisa lulus dalam mata kuliah sulit bernama keberagaman ini, yakinlah bahwa keindahan warna Indonesia akan semakin terasa dan kehidupan berbangsa dan bernegara akan semakin indah tanpa adanya jurang pemisah.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Teori Sampah Indonesia Oleh: SABHRINA GITA ANINTA - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG Rangkuman: Masalah lingkungan Indonesia kebanyakan disebabkan oleh masyarakat Indonesia sendiri. Masyarakat cederung tidak peduli tentang banyak hal sepele yang dapat merusak lingkungan. Contoh sederhana adalah penggunaan gelas plastik dalam bertamu atau suguhan pesta. Sampah plastik merupakan salah satu ancaman lingkungan yang sering diabaikan orang. Satu contoh kecil tersebut dapat menggambarkan estimasi bagaimana perilaku masyarakat Indonesia keseluruhan terhadap lingkungan. Hal ini karena ketidakpedulian masyarakat pada umumnya, yang lebih disebabkan karena ketidaktahuan. Masyarakat Indonesia harus diedukasi mengenai masalah ini, dengan terlebih dahulu diyakinkan bahwa ini memang sebuah masalah: lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat yang tinggal di dalamnya. Edukasi ini harus dilakukan dengan tepat dan terus-menerus sebagai bagian dari ikhtiar kita membangun Indonesia yang tidak akan pernah berhenti, sampai Indonesia tidak ada lagi.
Perayaan Idul Fitri tahun ini membawa banyak cerita. Momen yang diperingati umat Islam ini mengungkap banyak realita masyarakat yang sebelumnya tidak tampak. Isu yang paling sederhana, paling dekat, dan bisa benar-benar diperhatikan, adalah penyajian makanan dan minuman untuk menjamu sanak kerabat yang bertamu. Orang-orang yang cenderung kedatangan tamu akan menghindari cara paling merepotkan untuk menyajikan dan membereskan minuman dan makanan ke tamu-tamu yang berdatangan setiap hari.
Pada hari-hari libur lebaran, ibu saya meminta saya membeli satu kardus air minum kemasan. Perdebatan yang agak alot antara masalah kepraktisan dan sampah yang tak terurai sempat terjadi sebelum akhirnya saya mengalah untuk pergi membeli barang tersebut. Namun dalam perjalanan, ternyata tidak mudah mendapatkan satu kardus air minum kemasan bahkan di minimarket. Tiga minimarket sudah saya lewati dan semuanya kehabisan air minum kemasan merek apa pun. Jika satu minimarket melingkupi setidaknya dua wilayah perumahan yang kisaran penduduknya bisa mencapai 10 KK, berapa banyak orang di sepanjang jalan yang memiliki pemikiran sama dengan ibu saya? Air minum kemasan praktis sekaligus bermasalah. Gelas-gelas kemasan berbahan plastik berisi air siap minum disajikan bersama sedotannya langsung ke para tamu dan dibereskan dengan langsung dibuang. Jika tidak dengan air minum kemasan, perayaan pesta juga cenderung menggunakan gelas plastik tipis yang langsung dibuang setelah dipakai. Dari sisi pengguna, ini sangat praktis karena tuan rumah tidak perlu mencuci peralatan makan yang digunakan. Namun, masalah baru datang ketika sampah gelas plastik menumpuk di tempat pembuangan akhir. Plastik yang menumpuk merupakan masalah karena bahan plastik tidak mudah diuraikan oleh mikroorganisme tanah. Paling cepat, plastik akan lenyap dalam waktu sepuluh ribu tahun. Ketika dibakar, plastik akan melepaskan gas metana lebih banyak dan memerparah efek rumah kaca yang meningkatkan suhu global saat ini. Kegiatan daur ulang yang sudah banyak dilakukan tidak cukup berbanding lurus dengan konsumsi saat lebaran. Sampah plastik pun menumpuk. Peristiwa kecil ini sudah cukup menggambarkan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap lingkungan. Gambaran kecil tentang perlakuan masyarakat perkotaan Indonesia terhadap gelas plastik dapat memberikan gambaran besar perilaku masyarakat Indonesia terhadap lingkungan. Estimasi dapat diberlakukan bahwa di setiap kilometer persegi wilayah Indonesia dengan karakteristik masyarakat yang telah digambarkan, bahwa orang Indonesia yang membuang sampah sembarangan lebih banyak dari yang membuang sampah di tempat sampah. Kepraktisan yang menjadi permintaan global di tengah hiruk pikuk kebutuhan yang semakin bermekaran jenisnya jelas menang jika dibandingkan dengan usaha menjaga lingkungan yang membawa paradigma ―lebih merepotkan‖. Apalagi jika dampak langsungnya tidak dirasakan. Jika isu ketidakpedulian ini bisa terjadi terhadap kasus sesepele sampah, maka hal tersebut bisa terjadi di berbagai aspek lingkungan lain yang lebih penting. Namun, ketidakpedulian ini tidak bisa menjadi parameter bahwa sebagian besar masyarakat tidak mengerti. Pengertian seseorang terhadap masalah yang terjadi di lingkungan hidup tidak menjamin kepeduliannya. Pernah seorang ibu yang saya tegur setelah saya mengambil
bungkus plastik yang dibuangnya ke bawah kursi angkutan umum merasa tidak enak setelah sekian lama dan mengambil bungkus plastik itu dari saya untuk dibuangnya sendiri. Ada lagi seorang teman yang memberikan jawaban jelas, ―Kan nanti ada yang membersihkan,‖ atau ―Mending dibuang di dalam angkot daripada di jalan raya‖. Padahal cukup sulit mencari tempat sampah di Indonesia. Dengan kata lain, siapa pun yang nanti membersihkan itu akan menambah sampah di tempat lain. Mereka mengerti, tapi mereka tidak peduli. Padahal, kepedulian ini penting, seperti teori yang akan dijabarkan berikut. Ketika suatu area sudah cenderung dipenuhi sampah yang berserakan, orang akan mudah tidak merasa bersalah membuang sampah di tempat tersebut. Para ahli ilmu sosial merumuskan perilaku manusia yang satu ini dalam teori jendela pecah. Jika suatu perilaku menyimpang dibiarkan terjadi cukup sering, kemerosotan lingkungan akibat penyimpangan ini akan terus meningkat tanpa bisa dikembalikan atau dihentikan dan pada akhirnya orangorang akan cenderung mengabaikan lingkungan sekitarnya. Ini biasa terjadi untuk perbuatanperbuatan menyimpang yang sanksi sosialnya tidak terlalu besar. Hal ini dapat diamati di dalam angkutan umum; tidak akan sulit mencari sampah yang diselipkan di sudut-sudut tertentu atau kerusakan, bahkan vandalisme di bagian kursi atau bingkai jendela. Contoh lain adalah sampah-sampah yang umum tampak di pasar tradisional yang digelar di jalan raya atau alun-alun kota. Orang mungkin berpikir bahwa ―nanti akan ada‖ orang yang membersihkan, repot harus mencari tempat sampah, atau mengapa saya harus menjadi orang yang peduli? Padahal, suatu bentuk penyimpangan, misalnya coretan iseng atau sampah di sembarang tempat, jika dibiarkan dalam jumlah banyak dapat mendukung timbulnya tindakan menyimpang yang lain, misalnya mencuri. ―Satu jendela pecah yang diperbaiki menunjukkan bahwa suatu perilaku tidak dapat ditoleransi, namun satu jendela pecah yang dibiarkan,‖ Wilson dan Kelling menulis, ―adalah tanda bahwa tidak ada yang peduli sehingga memecahkan lebih banyak kaca tidak akan merugikan siapa pun‖. Hal ini berlaku juga ketika konteks ―jendela pecah‖ disubstitusi dengan ―membuang sampah sembarangan‖. Ketika berada di lingkungan yang banyak sampahnya, orang akan berpikir bahwa tidak apa-apa menambah beberapa sampah tambahan, terutama jika lokasi tersebut bukan lokasi yang sering didatanginya. Melihat basis teori jendela pecah dan realita masyarakat sekarang, bukan tidak mungkin tempat dengan banyak sampah akan menghasilkan perilaku menyimpang yang lebih parah. Tempat dengan banyak sampah, dinding yang dicoret-coret dengan nama geng yang dibiarkan, atau fasilitas rusak akan mengundang aktivitas sekumpulan pelaku penyimpangan dan berujung pada tindakantindakan immoral. Beberapa contoh yang dapat disebutkan adalah perusakan dan vandalisme
lebih lanjut, tawuran, membuang lebih banyak sampah di tempat tersebut, dan lain-lain. Dari sini dapat dikatakan bahwa lingkungan dapat memengaruhi perilaku masyarakat sehingga sudah selayaknya dijaga. Lingkungan harus dijaga demi membentuk masyarakat yang lebih baik. Ketidakpedulian masyarakat dalam menjaga lingkungan, yang bisa diambil dari contoh sampah ini, lebih banyak disebabkan oleh ketidaktahuan dan ketidakmengertian masyarakat. Karena itu, usaha edukasi, tidak hanya sosialisasi, harus dilakukan dengan benar dan tidak boleh hanya sekali. Pembelajaran membutuhkan pengulangan untuk memperkuat melekatnya konsep-konsep penting yang menjadi inti dari masalah—bahkan kebohongan yang diulangulang bisa menjadi kebenaran. Edukasi masyarakat penting karena kita harus memasukkan elemen masyarakat ketika memanajemen lingkungan. Memberitahu masyarakat bahwa sesuatu adalah masalah merupakan usaha yang cukup sulit. Apalagi jika masyarakat merasa bahwa hal yang sebenarnya merupakan masalah bukan suatu masalah. Daya tahan tubuh masyarakat Indonesia kebanyakan terhadap penyakit lebih tinggi dari masyarakat negara lain yang memang lingkungan hidupnya lebih bersih. Otomatis, orang-orang Indonesia tidak akan merasa terganggu hanya dengan beberapa sampah plastik saja di sekitarnya. Dapat juga dikatakan bahwa usaha membersihkan daerah sekitarnya tidak terjaga sebagai suatu kebiasaan yang dianggap perlu. Hal ini juga yang sering dibiarkan tertanam di anak-anak kita: nanti kan juga kotor lagi? Standar kenyamanan sebagian besar masyarakat Indonesia yang tidak terlalu tinggi merupakan salah satu dari sekian banyak faktor yang membuat negara kita tercinta menomorsekiankan masalah lingkungan. Edukasi masyarakat memang tidak mudah, namun bukan tidak mungkin. Satu hal yang harus disadari oleh semua orang bahwa ini adalah tanggung jawab seluruh elemen dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua sedang berada di sebuah perahu yang sama, perahu Indonesia. Jika salah seorang penumpang melubangi perahu, seluruh penumpang akan ikut tenggelam. Apa yang dapat kita lakukan adalah memberitahu penumpang yang sedang berusaha melubangi perahu tersebut dampak perbuatannya, dan membujuknya untuk tidak melakukannya. Ini jelas membutuhkan pengetahuan tentang kondisi kapal. Kondisi lingkungan Indonesia. Dari analogi kapal tersebut, dapat dikatakan bahwa orang yang mengedukasi masyarakat tentang lingkungan haruslah orang yang tepat, dan pemberitahuan dilakukan dengan cara yang tepat. Kaum cendekia yang mendalami tentang isu-isu lingkungan tersebut memiliki tanggung jawab untuk memberitahu masyarakat di sekitarnya mengenai apa yang harus dilakukan dengan lingkungan sekitar kita. Dosen teknik lingkungan perlu membagi dan memfasilitasi penyebaran ilmu tentang pengolahan limbah air agar rumah-rumah tidak boros
air. Mahasiswa-mahasiswi ilmu alam dapat memberi tahu para pedagang kaki lima ketika mereka membeli dagangannya betapa pentingnya menjaga daerah berjualannya tetap bersih dari sampah. Siswa-siswi sekolah dapat mengajak orang tuanya memisah sampah di rumah dan mengatur agar kompleks rumah mereka tidak menjadi kontributor terbesar Tempat Pembuangan Akhir. Hal-hal ini hal-hal sederhana yang jika dilakukan oleh semua orang, dampaknya akan besar. Tak lupa pula bahwa cara mengedukasi masyarakat harus tepat. Kita tidak dapat menjelaskan pemanasan global kepada tukang mie tek-tek jika kita menggunakan istilah-istilah semacam metana dan penipisan ozon. Mereka akan lebih mengerti jika kita memakai analogi terkait kehidupan sehari-hari mereka. Mungkin ―efek rumah kaca‖ bisa diganti ―efek panci mie kuah‖. Hal ini hanya bisa kita lakukan dengan benar jika kita mengerti kehidupan sosial mereka dan tingkat edukasi mereka. Masalah lingkungan berikatan erat dengan masalah sosial sehingga sudah selayaknya memerhatikan aspek masyarakat. Mereka yang mempelajari sains tidak seharusnya membatasi diri terhadap ilmu-ilmu sosial dan kemasyarakatan agar apa yang mereka pelajari dapat berguna langsung bagi masyarakat. Di sinilah saat ketika tugas para cendekia menjadi nyata: mempelajari bidang mereka secara mendalam dan memahami cara mengajarkannya atau mengaplikasikannya kepada masyarakat. Sistem pendidikan di negara kita tercinta masih mengotakkan kedua aspek tersebut dengan kurang memerhatikan kedalaman ilmu sekolah pendidikan maupun mengabaikan aspek sosial pembelajaran ilmu alam. Namun, memberi pemahaman kepada masyarakat dan pemerintah adalah tugas semua elemen negara. Semua harus menyadari bahwa dengan kekuatan yang besar, timbul pula tanggung jawab yang besar. Dengan ilmu yang tinggi, timbul tanggung jawab untuk untuk menyebarkan dan meresapkannya ke setiap bagian masyarakat untuk kebaikan bangsa. Edukasi masyarakat bisa dimulai dari diri sendiri; jangan serta merta melempar tanggung jawab itu kepada para cendekiawan. Kita bisa memperkaya diri dengan ilmu yang tepat dan terpercaya mengenai isu-isu lingkungan, juga memberikan contoh yang baik; satu tauladan lebih baik dari seribu arahan. Usaha mengedukasi masyarakat penting dimulai ketika karakter dan pola pikir baru dibentuk; anak-anak dari kecil perlu diajari untuk mencintai alam sehingga timbul kesadaran untuk merawatnya sampai dewasa. Selain meninggalkan lingkungan yang lebih baik bagi anak cucu kita, kita juga harus meninggalkan generasi muda yang lebih baik bagi lingkungan kita. Masyarakat memiliki kekuatan utama dalam melestarikan lingkungan. Masyarakatlah yang paling dekat dengan lingkungan. Sayangnya, banyak yang termakan pesimisme karena ketidakpedulian pemerintah sehingga banyak yang tidak mau berusaha. Padahal usaha-usaha
penting dalam melestarikan lingkungan akan lebih membawa signifikansi jika dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Apakah kita harus selalu menunggu pemerintah untuk peduli baru kita berjalan? Negara adalah pemerintah, wilayah, dan rakyat. Negara adalah gambaran ketiga elemen penyusunnya, tidak hanya pemerintah. Edukasi masyarakat mengenai lingkungan harus terus dilakukan. Terus diulang agar meresap ke setiap kepala yang mendengarnya secara berulang. Sesuatu yang diulang dan selalu dilakukan dapat membantu pengertian semua orang, menjadikan hal tersebut suatu budaya, kunci kekuatan suatu bangsa. Ini adalah ikhtiar yang akan selalu berlangsung tanpa henti, terus dilakukan, sampai Indonesia tidak ada lagi. Mungkin saya akan terus membeli sekardus gelas plastik setiap lebaran menjelang. Terus menerus, sampai saya bisa membawa pulang ke rumah alat yang bisa mengubah air keran menjadi air layak minum, atau membantu memperbaiki sistem PDAM. Namun, hari itu, hari ketika ibu saya tidak akan mendebat saya tentang sekardus gelas plastik, pasti akan datang.
Sudah cukup banyak solusi untuk segala masalah lingkungan, baik dari hasil inovasi generasi muda maupun percontohan dari berbagai etnis atau golongan masyarakat. Di media massa ada berita mengenai tentang alat pengubah asap rokok menjadi oksigen dan pasta gigi ramah lingkungan berbahan cangkang kerang. Banyak ulasan mengenai etnis-etnis yang memanajemen hutan tempat tinggalnya melalui kearifan lokalnya, salah satunya suku Baduy. Warga lokal yang terlambat menyadari pentingnya menjaga lingkungannya juga belajar. Banyak kisah mengenai kiprah aktivis-aktivis lingkungan yang tak kenal menyerah mencari solusi memertahankan jasa ekologis yang kita pakai. Semua itu memerlukan implementasi tindakan dan peraturan yang didasari pemahaman, atau tinggal wacana. Semua elemen negara harus memahami bahwa dalam mengelola lingkungan, aspek keterpaduan harus dipahami. Lingkungan merupakan kumpulan interaksi sehingga harus dikelola secara holistik, dan ini membutuhkan pengertian semua pihak yang terlibat. Kepedulian dan pengetahuan seluruh elemen masyarakat menjadi kunci di sini.
Referensi The Economist. 2008. ‖Can the can‖. http://www.economist.com/node/12630201 diakses tanggal 28 September 2012 Weber, B. 2012. ―James Q. Wilson Dies at 80; Originated ‗Broken Windows‘ Policing Strategy‖. The New York Times. http://www.nytimes.com/2012/03/03/nyregion/james-q-
wilson-dies-at-80-originated-broken-windows-policing-strategy.html?_r=1&pagewanted=all diakses tanggal 28 September 2012 Anonim.
2010.
BemFKUnud.com.
―Dioxin
–
Dampak
Negatifnya
dan
Cara
Menghindarinya‖.
http://www.bemfkunud.com/2010/02/28/dioxin-dampak-negatifnya-dan-
cara-menghindarinya/ diakses tanggal 29 September 2012
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Modernitas dan Demokrasi Selebar Lima Kaki Oleh: AZHAR IRFANSYAH - UNIVERSITAS GADJAH MADA Rangkuman: Jalan raya merupakan ruang kontestasi dengan beragam dinamika. Di pinggiran dinamika itu trotoar hadir sebagai ruang demokratis yang menyangga aspirasi kaum pejalan kaki. Namun laju modernitas membuat keberadaan trotoar seolah-olah tak relevan lagi, sehingga kini trotoar menjadi ruang yang semrawut. Kehadiran negara pun menjadi dilema yang lain dalam upaya demokratisasi jalan.
—————————Trotoar merujuk pada tepi jalan selebar lima kaki yang sedikit ditinggikan dan—idealnya— eksklusif bagi pejalan kaki. Istilah ini dibawa oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda dari lema trottoir, sedangkan secara etimologis berasal dari bahasa Perancis, trotter yang artinya ―berlari kecil‖. Modernisasi transportasi telah menciptakan kendaraan bermotor. Ketika kendaraan bermotor baik yang beroda empat maupun dua mulai menjadi konsumsi publik, kondisi jalan-jalan kota berubah. Pejalan kaki yang dulunya dapat lenggang kangkung di tengah-tengah jalan kota kini dalam keadaan terancam. Kendaraan bermotor menguasai jalanjalan. Rangka besi dengan berbagai model dari berbagai merk itu melaju puluhan kilometer per jam, membuat pejalan kaki harus menyingkir demi keselamatan. Untuk melindungi para pejalan kaki yang berada di pinggir jalan inilah trotar dibangun. Lantaran fungsi idealnya inilah trotoar menjadi wujud demokratisasi di jalan raya. Trotoar menjadi jalur aspirasi dari warga-warga yang tak menggunakan kendaraan bermotor. Selain itu trotoar juga menjadi representasi kelas bawah karena kebanyakan warga tanpa kendaraan
bermotor ini berasal dari kelas bawah strata sosial kota. Dari trotoar mereka berjalan kaki, menyajikan perlawanan yang puitis terhadap modernitas.[1] Trotoar menyangga kaum tak berpunya yang puitis ini agar tak terhempas dari kontestasi ruang di jalan raya, sekalipun ruang mereka hanya selebar lima kaki. Namun trotoar yang merupakan penawar bagi, meminjam istilah Theodor Adorno, dilaektika negatif modernisasi ini kini diabaikan dan terlupakan. Di hadapan kemajuan teknologi mutakhir, keberadaan trotoar jadi terlalu remeh-temeh untuk diperhatikan. Padahal melalui rimba trotoar yang sering dianggap remeh temeh sifat-sifat modernisasi dapat kita cermati secara lebih mendetail. Dari trotoar misalnya, istilah Edmund Leach yang menyebut modernitas sebagai ―runaway world‖ akan lebih mudah dipahami. Saat kita berada di jalan raya menggunakan kendaraan bermotor, kita melebur dalam kecepatan modernitas. Tetapi saat kita berjalan di tepian trotoar kita hanya menjadi penonoton dari kecepatan modernitas, sambil berharap kecepatan itu tak melibas kita. Dalam keadaan inferior karena tak ikut berpartisipasi dalam menggunakan teknologi akhirnya modernitas dapat kita persepsikan dengan cara yang berbeda. Teknologi yang kita rasakan manfaatnya saat kita gunakan jadi penuh mudharat saat kita tak memilikinya. Inilah wajah lain dari teknologi modern. Teknologi yang pada awalnya menjadi instrumen untuk mengatasi berbagai krisis dalam hubungan manusia dengan alam, sehingga dapat disebut sebagai kekuatan emansipatoris, kini justru tampak tak terkontrol. Teknologi justru berubah menjadi kekuatan yang dominatif terhadap manusia.[2] Menurut Giddens, perubahan sifat dari teknologi ini seiring dengan perubahan sifat modernitas. Giddens membagi modernitas dalam dua periode: periode modernitas sederhana dan modernitas refleksif. Kini kita telah memasuki modernitas refleksif yang penuh dengan kondisi ketidakpasitan. Dunia tempat kita tinggal sekarang lebih tak menentu dari dunia yang dialami oleh generasi sebelumnya. Ketidakmenentuan pada era ini disebut oleh Giddens sebagai manufactured risk, resiko yang bersumber dari keterlibatan manusia dalam mencoba untuk mengubah alur sejarah dan menguasai alam.[3] Kendaraan bermotor adalah salah satu bentuk dari resiko ini. Konteks-konteks kelembagaan modernitas kemudian menjadi sumber dari manufactured risk. Beberapa konteks kelembagaan modernitas yang sesuai dengan keberadaan trotoar yaitu polarisasi ekonomi dan ancaman teknologi terhadap ekosistem.[4] Polarisasi ekonomi telah membuat teknologi menjadi eksklusif, sedangkan teknologi sendiri menghasilkan residu yang dapat membahayakan kelangsungan hidup ekosistem. Kendaraan bermotor misalnya, tak bisa diakses oleh mereka yang tak memiliki uang untuk membelinya. Eksklusifitas dari teknologi
ini membuat para pengguna teknologi menjadi kurang peka terhadap nasib mereka yang tidak mampu mengakses teknologi. Padahal distribusi resiko dari dari residu teknologi terbagi ke semua penghuni ekosistem, termasuk pada mereka yang tidak menggunakan teknologi. Polusi yang dihasilkan kendaraan bermotor misalnya, harus dihirup juga oleh pengguna trotoar yang tidak memanfaatkan kendaraan bermotor. Trotoar, dan juga jalan, akhirnya membentang sebagai metode fenomenologis untuk mempersepsikan kontestasi asimetris antara the haves dan the haves-not. Atau mungkin bukan hanya antara the haves dan the haves-not, melainkan antara satu melawan semua. Kontestasi ini ditingkahi prilaku manusia yang secara ―rasional‖ mengutamakan kepentingannya sendiri. Prilaku ini akhirnya menyebabkan gagalnya skema kepemilikan bersama atas jalan dan trotoar.
Gagalnya Kepemilikan Bersama dan Dilema Kehadiran Negara Akhirnya jalan raya dan trotoar sama-sama habis terbagi oleh egoisme kita yang tak ada batasnya, keduanya menuju kekacauan tanpa ada solusi teknis. Status ―milik bersama‖ jalan raya dan trotoar membuat semua orang seakan-akan sah saja menyelenggarakan kepentingannya secara suka-suka. Negara sebagai pengelola ruang milik bersama berupaya membatasi sikap suka-suka ini dengan menebar rambu-rambu dan polisi di jalan raya. Namun, terutama bagi pengguna kendaraan bermotor, seringkali rambu-rambu ini hanya dipatuhi selama kepatuhan itu menguntungkan atau tidak merugikan pengguna jalan secara pribadi. Lampu merah misalnya, dipatuhi karena para pengendara tak mau tertabrak atau ditilang oleh polisi. Ketika rambu-rambu itu dianggap tak relevan dengan nasib pengguna jalan, rambu-rambu itu hanya sekedar penanda bisu di tengan jalan. Rambu batas kecepatan atau dilarang parkir misalnya, seringkali dilanggar karena tak berkonsekuensi langsung terhadap nasib pelanggarnya. Di trotoar keadaannya lebih semrawut lagi. Inferioritas pejalan kaki telah membuka berbagai tafsir baru atas trotoar. Tafsir-tafsir ini hanya berdasar pada kepentingan diri sendiri. Pengendara motor akan menafsirkan trotoar sebagai jalan pintas yang bisa digunakan saat macet, pedagang kaki lima akan menafsirkan trotoar sebagai lahan usaha yang murah, lalu pemilik toko di pinggir jalan raya akan menafsirkan trotoar sebagai lahan parkir yang serba guna. Oleh tafsir-tafsir baru ini pejalan kaki menjadi termarjinalisasi, padahal tafsir pejalan kaki terhadap trotoar ini sudah dijadikan tafsir resmi negara dalam UU 22/2009.
Jika persoalannya memang tak adanya konsekuensi langsung atas pelanggaran-pelanggaran rambu-rambu, maka seharusnya ada solusi teknis untuk mencegah jalan raya jatuh dalam kekacauan: menambah kehadiran negara hingga tingkat yang paling maksimum. Namun seandainya memproyeksikan kehadiran negara ke jalan raya ini biayanya bisa dijangkau, kita akan ngeri membayangkan kekuasaan aparatur negara merajalela di jalanan. Hardin sebagai penganjur ekonomi liberal menganggap keterlibatan negara juga akan membawa mudharat. Ini karena ada sentimen lama dalam masyarakat, quis custodiet ipsos custodes? Lalu siapa yang akan mengawasi para pengawas? Pasalnya negara dari rezim yang satu ke rezim yang lain juga kerap memegang tafsirnya sendiri atas jalanan. Rezim pemerintah kolonial Hindia Belanda misalnya, menafsirkan jalan raya sebagai modernisasi yang diimpor dari Eropa dan difungsikan untuk kemaslahatan pemerintah kolonial. Tak masalah jika kaum pribumi tak mendapatkan faedah dari pembangunan jalan raya. Pandangan ini dipelihara karena kaum pribumi—yang ribuan dari mereka harus mati dalam kerja paksa membangun jalan raya— dianggap tak punya saham sama sekali dalam pengadaan jalan raya di Hindia Belanda. Pembangunan Jalan Raya Pos Daendels misalnya, dimulai saat kebanyakan kaum pribumi bahkan bersepatu saja belum. Sejak awal, pembangunan Jalan Raya Pos Daendels memang bukan untuk pribumi melainkan untuk menerapkan strategi Belanda membendung invasi Inggris. Setelah merdeka dari kolonialisme Belanda dan Jepang, rezim pascakemerdekaan dibawah kepemimpinan Sukarno juga memegang tafsirnya sendiri atas jalan. Jalan bagi rezim Sukarno adalah mercusuar untuk ditunjukkan pada dunia sebagai manifestasi ―citra pembangunan Sukarno‖. Kota-kota besar dibangun agar dapat dijadikan simbol kebanggaan. Namun hal ini membawa dampak negatif, pembangunan jalan-jalan hanya terpusat pada kotakota besar saja, di Jakarta misalnya. Demi proyek mercusuarnya, Sukarno memang pernah menanamkan bahwa ―Membangun Jakarta sama dengan membangun tanah air, membangun negara, dan membangun masyarakat.‖[5] Cara pandang inilah yang kemudian menciptakan kesenjangan antara pusat dan daerah, kesenjangan ini pada titik kulminasinya berujung pada pemberontakan PRRI-Permesta yang menuntut pemerataan pembangunan. Pergantian rezim pascakemerdekaan Sukarno ke rezim orde baru Suharto juga membawa perubahan pada tafsir atas jalan. Di era Suharto, jalan merupakan sasaran pembangunan penting bersamaan dengan proyek-proyek pemerintah lainnya. Jalan-jalan diaspal untuk mempermudah tranpostasi antar wilayah sekaligus membukan orde ekonomi.[6] Jika di era Sukarno jalanan dibangun untuk dimercusuarkan, jalanan di era Suharto dibangun untuk membuka akses ekonomi. Kesenjangan antara pusat dan daerah di era Sukarno pun terulang lagi meskipun dengan filosofi yang berbeda. Jalan-jalan yang membawa manfaat ekonomi dan investasi diaspal
berkali-kali, sedang jalan yang dianggap tidak potensial secara ekonomi dibiarkan dalam kondisi berlubang-lubang.[7] Setiap rezim yang mewujud dalam negara juga tak objektif dalam menafsirkan jalanan. Tafsir yang searah oleh rezim dalam negara juga membawa dampak yang merugikan sebagian masyarakat. Memproyeksikan kehadiran negara ke jalanan tidak mengubah arah dari kekacauan. Namun perlu diingat bahwa membuat semua tak merasa dirugikan itu mustahil. Bahkan dalam keadaan yang paling demokratis pun keinginan semua orang dalam suatu masyarakat tak mungkin terpenuhi. Maka itu penerapan hukum yang sifatnya memaksa tak selamanya berarti buruk atau malah dibutuhkan oleh suatu masyarakat. Semua tergantung pada: apakah penerapan hukum tersebut disepakati secara bersama-sama atau hanya keinginan segelintir elit? Jika penerapan hukum itu memang disepakati bersama maka unsur-unsur paksaan dibutuhkan. Anjuran John Adams bahwa suatu masyarakat harus mengusung pemerintahkan yang berasaskan hukum dan bukan hanya sekumpulan elit[8] sangat relevan dalam hal ini. Pada pembentukan kesepakatan dan pelaksanannya itulah letak fungsi demokrasi, dan di ruang pinggiran bernama trotoar fungsi demokrasi itu diuji. Demokrasi bukan hanya soal penyelenggaraan pemilu berkala dan deliberasi dalam parlemen saja. Manifestasi fungsi demokrasi justru berada di luar penyelengaraan prosedur formal. Penyediaan trotoar sebenarnya sudah merupakan wujud dari demokrasi itu sendiri. Melalui trotoar aspirasi mereka yang berada di pinggiran dapat tetap mengalir. Sayangnya, seperti ditulis oleh Marco Kusumawijaya, sekalipun telah membangun kota-kota besar secara fisik masyarakat Indonesia hingga kini belumlah mengenal budaya berkota.
Sehingga trotoar dalam
penggunaanya sering tidak pada fungsi yang telah disepakati, yaitu sebagai ruang pejalan kaki. Hal ini menandakan demokrasi kita belum sampai ke trotoar.
[1] Marco Kusumawijaya, Jalan. Ditulis sebagai pengantar dalam Hani Rihana, Negara di Persimpangan Jalan Kampusku, 2007, Penerbit Kanisius & IMPULSE, Yogyakarta. 16 [2] Suharko, Karakteristik dan Sumber resiko dalam Era Modernisasi Reflektif, Jurnal Sosial Politik Vol. I No.2, November 1997. 66 [3] Ibid. 69 [4] iIbid 72
[5] Abidin Kusno, Behind Post Colonial Architecture, Urban Space, and Political Culture in Indonesia, 2000, Routledge, London. 102 [6] Hani Raihana, Negara di Persimpangan Jalan Kampusku, 2007, Penerbit Kanisius, Yogkakarta. 43 [7] Ibid. 44 [8] Garrett Hardin, The Tragedy of The Commons, Science Vol 162 No. 3859, 13 Desember 1968. Dapat diakses di http://www.sciencemag.org/content/162/3859/1243.full (diakses pada 1 Oktober 2012)
Merawat Indonesia dengan Dialog Oleh: NABILAH MUNSYARIHAH - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Ringkasan: Keberagaman di Indonesia adalah akumulasi budaya dari berbagai daerah. Jika kehidupan masyarakat di daerah-daerah harmonis, wajah Indonesia pun akan menjadi ayu. Tapi konflik di Indonesia muncul silih berganti. Konflik, diantaranya, disebabkan oleh diskursus yang tidak disemai dengan sehat. Indonesia membutuhkan ruang dialog yang tidak elitis. Tulisan ini mempertemukan kegelisahan dengan sebuah ikhtiar untuk menepisnya. Inilah sopotong sumbangsih Jombang dalam mewarnai dialog kemajemukan Indonesia. Dimulai oleh sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Staramuda. ———————– 5 Oktober 94 tahun silam, kongres Boedi Oetomo (BO) tidak banyak berarti tanpa 1200 orang yang menyatakan diri sebagai anggota dari pelbagai penjuru Jawa. Berkat iuran anggota dari daerah, BO bisa beroperasi. Sampai akhirnya iuran itu tak sederas pada mulanya, BO menyerahkan kebebasan pada pengurus di daerah. Dalam kongres tadi, kemajuan berpikir Tjipto Mangoenkoesoemo lahir mendahului zamannya. Ia mengharap BO menjadi partai politik berdasarkan ‗persaudaraan nasional tanpa pandang bangsa, jenis kelamin, atau kepercayaan‘.[1] Pemikiran ini kelak menjadi milik banyak pemuda modern. Ada dua pelajaran berharga dari BO, pentingnya daerah dan pemikiran radikal kaum muda. Orang daerah merasa senantiasa menjadi pinggiran dari Jakarta. Taukah, bahwa sejatinya, Jakarta adalah pinggiran dari Eropa dan Amerika – pusat dunia?[2] Saya tersentak membaca analisis tajam Daniel Dakhidae itu dalam salah satu edisi Jurnal Prisma. Saya merasa tiba-tiba terhubung dengan seluruh dunia. Saya lantas menerawang, tanpa Jombang, Manokwari, pulau We, atau hilang salah satu saja di antaranya, gagal negara ini disebut sebagai Indonesia. Setiap daerah punya sumbangsih besar terhadap wajah Indonesia. Sebab ternyata, pilar-pilar penting Indonesia ada di daerah, bukan di pusat. Patut disayangkan, wajah Indonesia hari ini adalah kekerasan di Sampang, pelanggaran HAM di Papua, dan penggusuran lahan petani di Kulon Progo. Isu HAM dan SARA, seperti Syiah, Ahmadiyah, Gereja Yasmin, mengeruhkan rupa damai Indonesia. Kita sering kali hanya reaktif terhadap fenomena, tapi tidak aktif merawat. Kita sibuk dengan urusan pribadi, seolah Indonesia bisa mengurus dirinya sendiri. Lantas ketika ada darah atau api menyeruak di suatu lokasi, barulah kita teriak, Pancasila dinodai! Indonesia butuh dirawat, bukan hanya ditilik sesekali. Apalagi dititipkan pada politisi.
Mempersiapkan Indonesia Dimensi mempersiapkan Indonesia tidak hanya waktu, melainkan juga ruang. Persiapan Indonesia tidak berhenti dilakukan PPKI di masa lalu. Tetapi terus bergulir dengan tenagatenaga pendorong dari daerah. Saya percaya bahwa tenaga itu bukan saja soal pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi, melainkan juga iklim harmonis dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang menjadi catatan besar, sebagian dari kita ternyata tidak betah bersebelahan dengan tetangga beda agama. Tidak sepakat ada rumah ibadah lain di sekitar kompleks perumahan kita.[3] Kita ini ternyata menyangkal nilai kebhinekaan sejak satu centimeter dari halaman rumah. Seorang kenalan kristian pernah bercerita, di desanya dulu semua umat beragama saling bertandang saat hari raya tiba. Muslim bertandang ke rumah pemeluk kristen ketika natal. Umat kristen bersilaturrahim ke rumah tetangga muslim ketika lebaran. Suatu saat, ada seorang pemuka agama Islam masuk ke desanya, berceramah haram muslim mengucapkan selamat natal. ―Tahun-tahun sebelumnya rumah kami selalu ramai, tiba-tiba saja tahun itu sepi. Kasihan ibu saya sudah capek menyiapkan makanan,‖ kisahnya. ―Nabila, apa memang Islam melarang laki-laki dan perempuan bersentuhan?‖ Pertanyaan ini terlontar dari seorang teman ketika kami berdua sedang menunggu kendaraan pulang dari sebuah acara lintas iman. Teman saya yang ini seorang Hindu berdarah Bali. Ia merasa tersinggung ketika seorang teman muslimnya tidak mau bersalaman dengannya. ―Memang tanganku kotor ya?‖ responnya spontan ketika itu. Ia mengaku tak keberatan bila temannya menjalankan perintah agamanya, ―Tapi mereka tidak memberikan pemahaman yang cukup. Hanya menghindar begitu saja.‖ Inilah akar dari selisih paham antarumat beragama di Indonesia, banyak perbedaan yang dilarutkan dalam diam. Perdsoalan lantas membeku sulit dipecah, rumit sukar diurai. Saya mafhum bahwa banyak orang merasa belum selesai mempelajari ajaran agamanya sehingga merasa tidak perlu memahami ajaran agama orang lain. Atau justru, ada yang merasa telah selesai menempuh pendidikan agamanya dengan congkak menyalahkan ajaran orang lain. Ada juga yang senggol bacok lantaran berebut lahan lalu kolektivisme identitas masing-masing pihak menggumpal. Pecahlah kekerasan atas nama (kelompok) agama. Pandangan masyarakat pun dibuat bias, ini konflik tentang agama atau bisnis? Pemerintah dan media berlagak seperti aktor dalam sinetron. Terus bermain peran, tapi tak menjawab apa-apa. Terkadang, pemerinta sendiri mencederai kebhinekaan atas nama hegemoni kelompok tertentu.
Indonesia sudah makan asam garam hidup dalam kemajemukan, tapi konflik tak kunjung bisa diredam. Seolah selalu saja ada oknum yang ambil untung sehingga berniat merawat konflik, seperti yang tampak di Papua. Sampai sini, kita sadar ada yang salah dalam mempersiapkan Indonesia. Kita terima Pancasila sebagai formula paling manjur dalam meredam gelagat phobia terhadap kelompok yang berbeda. Tapi detik ini, kita semua sedih karena Pancasila seolah lumpuh kesaktiannya. Pancasila mandek dalam ruang kelas dan diskusi kaum terpelajar. Nan jauh di sana, nilai Pancasila justru terlaksana di desa-desa dalam kesederhanaan dan kearifan warganya tanpa umuk dilabeli pengamalan Pancasila. Di kota, Pancasila usang, menggantung di tembok sekolah dan perkantoran. Lebih dari sosok garuda, kita membutuhkan kehadiran Pancasila dalam akal budi yang menjelma dalam kesantunan berbalut keberanian untuk berbicara dan bersikap. Pancasila hadir dalam banyak dialog. Tapi, forum dialog antaragama seringkali diisi oleh elit agama yang sudah selesai dengan kesalahpahaman. Almarhum Gus Dur dan Romo Mangunwijaya, keduanya sosok yang sudah berhasil menciptakan harmoni dalam dirinya. Tetapi, umat di bawahnya, belum cukup paham dalam memaknai dan menghadapi perbedaan. Maka, energi fanatisme umat bisa menggelinjang sewaktu-waktu. Saya pernah menduga, konflik dan toleransi itu sebenarnya hanya terjadi di tubuh elit masyarakat. Tetapi konflik lebih mudah diikuti akar rumput daripada sikap toleran. Toleransi itu tak cukup didapat dari pelajaran sekolah. Sebab, toleransi lahir dari pengalaman menghadapi perbedaan. Orang yang hidup dalam homogenitas, relatif tak punya pengalaman dalam menyikapi perbedaan. Toleransi merupakan keterampilan untuk merendahkan hati, mengonfirmasi ketidakjelasan, dan menyiapkan diri untuk berdialog. Sepakat atau tidak sepakat bukanlah tujuan, melainkan saling mengerti itulah yang ingin dicapai. Maka, dalam perspektif dialogis, sidang isbat tiap jelang lebaran memang tak harus ada persamaan pendapat. Sebab, masing-masing keputusan telah membawa argumentasinya sendiri. Tapi sayangnya, kasak-kusuk di facebook dan twitter terus berlanjut, menyinidir orang yang berbeda pendapat tentang cara menentukan awal bulan. Kasus ini mungkin tidak berujung fatal, tetapi ini menampakkan dengan jelas ada penyakit yang mengakar dalam cara pandang kita melihat perbedaan. Maka, mempersiapkan Indonesia adalah menghidupkan ruang-ruang dialog di akar rumput.
Dia-lo-gue: Ikhtiar Staramuda Jombang
Mengenal Jombang dari kulitnya adalah segera terbesit seribu satu nama orang asal Jombang yang berhasil mewarnai wajah Indonesia. Bermacam respon pertama orang ketika mendengar Jombang, ada yang sebut Gus Dur, yang lain sebut Rian si Jagal, lain lagi sebut Ponari. Demikian Jombang, terdiri dari unsur ijo (hijau) dan abang (merah). Hijau mewakili santri dan merah mewakili abangan. Sejarah Jombang terendus dari catatan tentang Klentheng Tridharma di kecamatan Gudo berdiri 1700an dan Gereja Kristen Jawi Wetan di kecamatan Mojowarno berdiri 1893.[4] R.A. Kartini juga pernah menulis dalam suratnya, ia tertarik dengan persekutuan Mojowarno untuk belajar menjadi perawat.[5] Tepat di depan gereja, persekutuan Mojowarno mendirikan sebuah rumah sakit. Di waktu yang hampir bersamaan, Abdussalam seorang bekas prajurit Diponegoro, membabat alas di desa gedhangan dan mendirikan pesantren selawe. Keturunan Abdussalam ini yang kini memegang kepemimpinan atas empat pesantren besar di Jombang, yaitu Tebuireng, Tambakberas, Denanyar, dan Rejoso. Sejak awalnya, Jombang tak pernah berwajah tunggal. Tak ada catatan tentang pelanggaran HAM dan SARA yang pernah terjadi di Jombang. Relasi kelompok-kelompok agama dan etnis juga terawat baik. Para keturunan Tioghoa, yang mendominasi pusat pertokoan di sepanjang jalan A.Yani dan jalan KH. Abdurrahman Wahid (dulu jalan Merdeka), memiliki sumbangsih besar terhadap pembangunan pesantren. Atas dasar kepercayaan, mereka memberikan penundaan pembayaran kepada pesantren yang membeli bahan bangunan di toko mereka. Gedung-gedung pesantren itu berdiri di atas pondasi harmoni antara Jawa dan Tinghoa. Setengah jam dari kampung saya di Jombang, saya menemui sebuah desa yang memberikan kehidupan bagi tiga komunitas beragama sekaligus rumah ibadahnya. Survei CSIS tidak berlaku di desa ini. Di dusun Ngepeh, Desa Rejoagung, Kecamatan Ngoro, kaum muslim, Kristen, dan Hindu berpadu jadi satu. Gereja, masjid, dan pura menanungi umat tanpa tebar kebencian. Mereka guyub dalam satu komunitas bernama Budi Luhur untuk menjaga harmonisasi masyarakat. Inilah wajah ayu Indonesia. Tapi sejulah tamsil ini bukan berarti mennjukkan isu antariman di Jombang telah paripurna. Sebagai bagian dari Jombang, saya tak pungkiri pernah mengalami fase fanatik yang amat mendalam. Mungkin karena saya lahir dan dididik di balik dinding pesantren. Saya butuh waktu untuk memahami bahwa stereotipe buruk terhadap Kristen itu salah. Bahwa orang Cina itu najis karena mereka makan babi itu pandangan yang sesat. Sampai akhirnya saya duduk semeja selama tiga tahun di SMA dengan seorang Protestan. Dalam sejumlah obrolan, kami tak segan mengonfirmasi stereotipe masing-masing. Kami tetap berkawan sebab kami saling
memberikan pemahaman. Di titik itulah saya menemukan bahwa toleransi adalah seperangkat pengalaman. Sahabat saya ini sangat membantu saya dalam melihat dunia yang penuh warna berbeda. Juni lalu saya berkenalan dengan sekelompok anak muda yang menamakan dirinya Staramuda Community. Mereka menjadi garda depan penjaga harmonisasi antariman di Jombang. Komunitas ini baru mei lalu dideklarasi. Setiap bulan, Staramuda menggelar nonton film bertema lintas agama untuk menjadi bahan pantikan diskusi. Nonton bareng bulan lalu, mereka mengundang puluhan santri putri Rejoso ke dalam ruang multimedia Gereja Katolik St. Maria. Pembedah film diundangkan dari tokoh-tokoh muda di sekitar Jombang yang memiliki keterbukaan. Staramuda beruntung disambut dengan baik oleh sejumlah gereja dan tokoh pesantren. Di setiap bedah film, pembedah terdiri dari paling tidak dua unsur yang berbeda yang menawarkan perspektif mereka sendiri. Sejumlah anak muda dari pesantren, gereja dan kampus turut silih berganti meramaikan diskusi. Proses dialog juga tak pernah berlangung alot. Semuanya sama-sama belajar berdialog dengan sehat, menghindari pernyataan yang menyudutkan pihak lain. Diskusi Staramuda selalu dilengkapi dengan kacang dan ketela rebus, tak ketinggalan juga tawa yang renyah. Saya merasa mewah ada komunitas diskusi seperti ini di kota sekecil Jombang. Saya tak mau melewatkan kemewahan ini sebagai penonton, maka saya bergabung dengan Staramuda. Sekelompok pemuda ini yang dengan telaten mengetuk pintu-pintu pesantren, gereja, dan klenteng untuk duduk bersama saling memberikan pemahaman dan berbagi pengalaman. Suatu hari, Staramuda menyisir wilayah selatan Jombang. Salah satunya, menemui Pendeta Wimbo, pemimpin GKJW Mojowarno. ―Kami menyambut baik komunitas ini. Karena kadang anak yang ada di desa seperti ini tidak tahu bagaimana cara menyambung perkawanan dengan yang di kota.‖ Seketika saya menyadari, jika Staramuda diseriusi, ia menjadi simpul penting bagi Jombang. Tak hanya antariman, tapi juga menggerus dinding rural-urban yang selama ini kokoh berdiri. Salah satu hal yang menarik dari Staramuda, komunitas ini hanya boleh dipimpin oleh golongan minoritas. Ini dilakukan untuk menghindari dominasi dan hegemoni mayoritas. Ketuanya sekarang seorang Tionghoa, Adi Sudjatmika, biasa dipanggil Acong. Keluarga Acong mengelola sebuah toko. Tapi ia sendiri tak merasa nyaman beraktivitas dalam bisnis keluarga. ―Aku lebih suka kerja sosial atau kuliah,‖ akunya dalam suatu obrolan. Untuk ukuran Jombang, Acong adsalah Tionghoa yang nyeleneh.
Syawal lalu, Acong bersama Lugis, mewakili Staramuda, berangkat ke GOR Sampang. Mereka bergabung dengan relawan lain untuk membantu umat Syiah korban kekerasan. Mereka juga mengawal bantuan yang berhasil dihimpun Staramuda dari warga sekitar Jombang. Bantuan justru berbondong-bondong datang dari Gereja. Esoknya, sejumlah pegiat Staramuda akan menyusul ke Sampang. Tapi ternyata, kondisi di GOR tidak kondusif. Acong terus memperbarui informasi bahwa mereka mendapat tekanan dari pemerintah daerah. Acong menyesalkan pemerintah membuat SOP bagi relawan. Ini semacam alat untuk membatasi gerak advokasi relawan terhadap korban. Satu hal yang paling menghambat Acong, ia tak bisa berbahasa Madura. Sementara, para korban juga tak fasih berbahasa Indonesia. Pengalaman Acong dan Lugis memberikan kami pemahaman bahwa korban konflik antarkelompok agama tidak mendapatkan perhatian yang sama seperti korban bencana alam. Dalam kasus Sampang ini misal, masyarakat tidak langsung tergerak membantu karena ada proses identifikasi diri. ‗Jangan-jangan yang mau saya bantu berbeda pandangan keimanan dengan saya‘. Saya melihat banyak komunitas yang serupa semangatnya dengan Staramuda di berbagai kota. Inilah yang saya sebut pilar-pilar dari daerah. Seberapapun kecil komunitas itu, ia merupakan simpul-simpul penopang Indonesia. Komunitas ini yang membantu masyarakat hidup dalam ruang publik yang sehat. Komunitas hanya sebuah wadah untuk terjadi dialog. Tetapi, sejatinya dialog bisa terjadi di mana saja. Melibatkan orang ketiga, kedua, dan pertama; dia, lo, dan gue. Dialog bukan berdebat. Watak khas dari dialog ialah kelapangan hati untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan kehendak. Dalam terminologi Pancasila, kita menyebutnya musyawarah. Peredebatan, seperti debat calon presiden, mencari argumentasi yang paling unggul. Sementara dialog memberikan ruang yang longgar, agree to disagree, mufakat untuk tidak sependapat. Inilah semangat yang ingin dipelajari bersama dalam ruang-ruang diskusi Staramuda. Tak sependapat berdasar pada keyakinan tidak membuat lepas persaudaraan. Perlu digaris bawahi, dialog lebih pas digunakan untuk menggali wacana, bukan mengambil keputusan praksis. Musyawarah untuk mufakat biasanya digunakan untuk yang terakhir disebut. Namun belakangan, manusia Indonesia lebih suka menggantinya dengan pemungutan suara. Tidak banyak orang yang menganggap harmonisasi dalam dialog ini adalah kegiatan yang layak diseriusi. Dialog ini tidak mendatangkan keuntungan pragmatis. Sebagian lagi masih
tabu membicarakan ajaran agama satu dengan lainnya. Buat apa kan sudah lakum dinukum wa liya din? Kebutuhan dan minat setiap individu dalam memahami agama lain bisa jadi berbeda-beda. Dulu saya mengira pendeta belajar Alquran untuk mencari celah ajaran Islam. Tapi itu berubah setelah bertemu Romo Siga di salah satu diskusi Staramuda. Saya jadi paham bahwa dengan mempelajari agama lain, kita semakin rendah hati menemukan nilai kebenaran yang kita yakini juga dimiliki kelompok lain. Saya juga menemukan ajaran Budha yang indah, jika kamu menghina agama orang lain, kamu menghina agamamu sendiri. Sebab agama tak pernah mengajarkan energi kemarahan. Ini perlu direnungkan oleh seluruh umat beragama. Saya menyesal komunitas seperti Staramuda harus ada. Staramuda menjadi relevan hari ini lantaran wacana harmonisasi dalam masyarakat kita belum mapan. Saya bercita-cita, Staramuda dan komunitas serupa di seluruh Indonesia dibubarkan suatu hari nanti. Ketika masyarakat secara otomatis telah mampu merawat harmoni setulus menghirup udara di pagi hari. Referensi: Dakhidae, Daniel. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma Karim, AG, dkk. 2012. State of Local Democracy (SoLD) Assessment in Indonesia Yogyakarta: JPP UGM dan IDEA. Simbolon, T. Parakitri. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Toer, Pramoedya Ananta. 2003. Panggil aku kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara. Hasil dari
penelitian
CSIS
yang
disadur
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-
Orang-Indonesia-Rendah
[1] Parakitri. T. Simbolon. 2007. Menjadi Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal. 252. [2] Daniel Dakhidae. 2010. Elegia Pusat yang Terpinggirkan. Jakarta: Jurnal Prisma [3] dari
Hasil
penelitian
CSIS
yang
disadur
http://www.tempo.co/read/news/2012/06/05/173408521/Survei-Toleransi-Beragama-
Orang-Indonesia-Rendah [4] Abdul Gaffar Karim dkk. 2012. State of Local Democracy (SoLD) Assessment in Indonesia Yogyakarta: JPP UGM dan IDEA. Hal. 104
[5] Pramoedya Ananta Toer. 2003. Panggil aku kartini saja. Jakarta: Lentera Dipantara.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Pendidikan Alternatif di Yogyakarta Oleh: DEWI KHARISMA MICHELLIA - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Entah apa yang ada di pikiran seorang guru SD ketika menyuruh muridnya mencari materi pelajaran di internet. Entah pula apa yang ada di pikiran seorang guru dan kepala sekolah SMA ketika membiarkan anak didiknya mengakses kunci jawaban Ujian Nasional demi mendapati kelulusan 100% untuk sekolahnya. Bimbingan belajar dengan trik-trik instan, tanpa menekankan pada logika ilmu pengetahuan, bermunculan bak cendawan di musim hujan. Joki-joki menanti siapa saja yang sedia membayar sekian juta dan dengan cara apa pun membantu mereka mendapatkan jurusan favorit. Gedung-gedung pendidikan dan fasilitas pendidikan meniru standardisasi global. Mahasiswa, pelajar, ataupun cendekiawan pada umumnya barangkali kehilangan orientasi, tentang apa yang mereka cari di institusi pendidikan. Banyak masalah terjadi. Paragraf di atas barangkali hanya contoh-contoh yang terlihat di permukaan. Seperti batu es di lautan, yang terlihat hanya bagian permukaannya. Padahal, bisa jadi permasalahan ini berantai dengan minimnya wawasan masyarakat tentang negara, bangsa, dan Nusantara-nya, atau kealpaan kita tentang landasan yang membangun negara Indonesia. Frustrasi dan anakronisme yang terjadi lantaran permasalahan-permasalahan ini ternyata masih memiliki jalan keluar. Ada beberapa pendidikan alternatif bagi masyarakat untuk mengelola tradisi lokalnya dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya.
Pada mulanya mungkin hanyalah amanat ibu saya sebelum beliau tutup usia bahwa saya harus menjadi seorang dokter, dan berkuliah di alma mater ibu. Amanat itu mengantarkan saya ke Yogyakarta. Dan ternyata Bali jauh berbeda dari Jawa. Di Bali, tak ada transportasi dengan kereta api, transportasi publik juga tak beroperasi. Beberapa saat, saya menjadi the others, tak
ada sanak famili, tak fasih bahasa Jawa. Namun kini, agaknya kota ini telah menahan saya, bahkan hanya dengan tawaran nasib ke depan yang masih belum jelas. Gelar diploma yang kelak saya peroleh dari universitas tak akan mampu mengantarkan saya ke cita-cita saya menjadi jurnalis, kecuali saya mengambil kuliah lain lagi tahun depan. Meski sayalah yang secara sadaar memilih jurusan ini lantaran merasa lelah mengejar impian ibu. Tiga tahun lewat, saya akhirnya bisa lepas dari bayang-bayang amanat ibu, dan saya tahu apa yang saya inginkan. Namun hari ini, jurang antara saya dan cita-cita saya adalah syarat gelar minimum sarjana. Adalah mudah untuk sekadar mengambil alih program dari diploma ke sarjana, bila yang saya butuhkan hanya sebatas gelar. Tetapi untuk apa? Harold Ross, pencetus The New Yorker dan membidani tokoh-tokoh jurnalistik seperti John Hersey yang menulis laporan berita Hiroshima malah tak pernah merampungkan pendidikan tinggi. Saya paham kami berbeda zaman. Terlahir di zaman yang penuh standardisasi global, ketika seorang Ph.D. di Amerika saja bisa menjadi pengangguran, saya terkadang merasa mengalami anakronisme. Suatu sensasi, seolah seharusnya beberapa orang tak terlahir pada zaman tertentu. Meski antipati, bagaimanapun saya telah banyak belajar dari zaman yang seperti ini. Dua tahun menjadi bagian pers mahasiswa, saya berkesempatan mampir ke diskusi, seminar, festival, pameran lukisan, penampilan teater, monolog puisi teatrikal, peluncuran buku, demonstrasi jalanan, dan mengobrol dengan banyak narasumber mumpuni dalam bidangbidang sosial budaya, politik, pertanian, hukum, atau apa pun. Bagi saya, Yogyakarta—dan pers mahasiswa khususnya—adalah tempat saya bertumbuh. Saya tak akan mendapatkan pengalaman itu hanya dari kelas-kelas perkuliahan yang telah ditentukan silabusnya. Perubahan adalah semacam keniscayaan. Silabus-silabus pendidikan kini persis menuruti tuntutan pasar kerja, alih-alih mengejar wacana globalisasi. Saat ini, universitas negeri hanya menyediakan jatah waktu tiga tahun untuk penerimaan mahasiswa, dan tuntutan waktu maksimal empat tahun untuk merampungkan gelar sarjana. Gagal tiga kali dalam tes masuk, berarti tak ada kesempatan untuk berkuliah murah; lulus lebih dari jatah waktu empat tahun juga menjadi tak umum. Sementara itu, universitas swasta bukan main mahalnya; mengambil satu sks (satu semester umumnya 18-24 sks) bisa ditagihi Rp160.000 – Rp250.000, belum lagi ada biaya tambahan pada tiap semester yang besarannya sekitar Rp2-7 jutaan. Tak ada yang menyalahkan saat kepala yayasan universitas-universitas swasta itu berdalih kuliah di Jepang atau Amerika Serikat lebih mahal 80 kali lipat. Padahal kita sudah sama-sama mengetahui perbedaan kemampuan negara berkembang dan negara maju.
UGM yang dulunya dijuluki ―universitas kerakyatan‖ pun turut menjadi semakin mahal; mengikuti alur pikir UU BHMN sejak 2000, berlanjut ke UU Dikti yang diresmikan pada Juli 2012. Dalihnya sama, untuk membangun fasilitas, universitas tak mesti ketergantungan pada subsidi pemerintah. Imbasnya, program internasional dibuka—yang mirisnya kelas-kelas itu justru melulu diisi masyarakat lokal—dan semakin banyak mahasiswa baru berasal dari keluarga menengah ke atas, ber-gadget, bermobil, dan berpakaian mentereng. Dengan keadaan ini, angka 2%-an dari jumlah generasi muda Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi sepertinya tak akan bertambah. Dalam Pernyataan Umum tentang Hak-Hak Asasi Manusia, pada pasal 4, termaktub bahwa ―Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan, perbudakan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.‖; namun saya lihat pendidikan tinggi justru mencetak lulusan-lulusan yang siap kerja (istilah halus dari diperbudak). Saya meragukan apakah teman-teman saya menikmati perkuliahannya, ataukah sebatas berniat lulus dengan IPK bagus dan mendapat pekerjaan bergengsi. Sekat-sekat interdisipliner semakin kentara jelas. Di zaman ini tak perlu mengharapkan kemunculan polymath yang memiliki prekositas semacam Aristoteles atau Goethe, atau yang paling dekat—Tan Malaka, Hatta, dan Sjahrir. Mahasiswa-mahasiswa di jurusan perkuliahan IPA menghadapi keadaan yang amat ekstrim. Senin hingga Jumat, mereka mendapat lima tugas mengerjakan laporan tak diketik, wajib dikerjakan dalam tulisan tangan. Belum lagi sederet praktikum dan membantu dosen meriset. Mana punya waktu belajar seni dan sosial humaniora, terkecuali mereka sudi menelantarkan separuh mata kuliahnya dan ber-Indeks Prestasi tak bagus-bagus amat. Berbeda dengan penerapan sistem NKK/BKK pada era ‘70-an, di sini terlihat injeksi normalisasi kampus dilakukan dengan upaya sehalus mungkin. Atau karena kita memang dituntut menjadi semakin mondial? Mungkinkah praktik-praktik riset dan tugas yang menggunung itu ditujukan untuk menandingi penemuan-penemuan teknologi mutakhir Jepang, Jerman, dan Amerika Serikat? Pernah ada yang berujar kepada saya, mulailah dari Yogyakarta untuk mengukur taraf minimum pendidikan dan budaya Indonesia karena kota ini semacam miniaturnya Indonesia. Ia menambahkan, alasannya adalah karena pemuda/i sepenjuru Indonesia merantau ke kota ini. Maka, kalau mahasiswa-mahasiswa di UGM, misalnya, sudah marak bawa mobil dan meninggalkan masyarakatnya, maka di Jakarta atau Bandung akan lebih parah lagi keadaannya. Di atas telah saya paparkan sedikit mengenai apa yang kini terjadi di Yogyakarta. Meski kemudian saya mendapati, sejumlah representasi pelajar luar kota Yogya
itu tak bisa dijadikan parameter. Karenanya, bila ditarik secara umum, perspektif ini tak layak diterima karena Yogya, Bandung, dan Jakarta bukan tolak ukur bangsa Indonesia. Saya mafhum bangsa kita selalu melupakan banyak hal; hutang negara kepada Bank Dunia, politik Nasakom, tragedi G-30-S 1965, perjuangan reformasi 1998, pembukaan UUD 1945, dan bahkan Pancasila. Termasuk juga perjuangan seorang Djuanda Kartawidjaja saat mendeklarasikan kepada dunia bahwa laut Indonesia, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia, menjadi satu kesatuan wilayah NKRI. Deklarasi Djuanda ini menegaskan posisi Indonesia yang menganut prinsip-prinsip kepulauan (Archipelagic State). Intinya, sejak dahulu kepulauan nusantara sudah merupakan satu kesatuan; dan dipertegas demi mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat. Namun apa yang terjadi saat ini? Apakah kita benar masih memiliki rasa persatuan ataukah peduli dengan saudara setanah air? Pendidikan saja tak tersebar merata ke seluruh Indonesia. Jangankan ke Sabang atau Papua, di Denpasar saja—yang dekat dengan Jawa, tempat saya dibesarkan, tak ada toko buku bekas semacam Shopping-nya Yogya atau Palasari-nya Bandung. Perpustakaan sekolah saya tak menyediakan lengkap karya sastrawan dunia dan Indonesia; akibatnya, sewaktu SMA saya lebih mengenal Gabriel García Márquez yang lebih komersil daripada Y.B. Mangunwijaya yang sulit ditemukan di pasaran. Dan bila ukurannya adalah tenaga pengajar, saya yakin tiap sekolah di Indonesia memiliki guru bahasa Indonesia dan guru Sejarah yang membuat muridnya mengantuk di kelas dan membenci dua mata pelajaran penting itu. Meski setidaknya saya beruntung keadaan SD-SMP di tahun 1990-2000-an tak seganjil apa yang dihadapi cohort 2000-an. Pernah suatu kali, adik sepupu saya yang kelas 1 SD menerima surel dari gurunya yang hanya berisi PR hitungan. Menjelang kelas 2-3 SD, ia mengerjakan segala tugas sekolah yang di zaman saya baru saya peroleh di kelas 4-6 SD. Lagi-lagi, ia mengerjakan tugas dengan bantuan internet. Saya yakin ini pun terjadi karena tuntutan pendidikan dari pemerintah. Di lain pihak, niat baik pemerintah mengadakan Ujian Nasional (UN)—bahkan dari level SD—untuk memeratakan standar pendidikan Indonesia juga tak berjalan mulus. Sewaktu mengikuti UN SMA, saya menjadi saksi bagaimana jawaban-jawaban ujian telah disebar jauh-jauh hari sebelum ujian; bahkan oleh guru SMA bersangkutan, bahkan meski ada dua jenis soal yang digunakan (A dan B). Tujuannya satu, agar sekolah tersebut terakreditasi baik lantaran mampu meluluskan muridnya 100%. Murid-murid yang menjadi peringkat tiga besar di kelas bertugas mengoreksi kunci jawaban saat ujian berlangsung. Selepas SMA, kami dianjurkan ikut bimbingan-bimbingan belajar untuk menghafal rumus cepat demi persiapan
SNMPTN. Lembaga bimbingan itu juga menawarkan paket emas, perak, reguler dalam tarif berbeda dengan jaminan diterima di jurusan bergengsi. Menjelang SNMPTN, lagi-lagi saya menjadi saksi korupsi dalam sistem pendidikan. Agak linglung dengan suasana pendaftaran tes, saya bertemu orang asing yang menawarkan jasa perjokian. Karena suka tantangan, saya coba mengobrol iseng dengan mereka. Joki-joki itu mengumpet di dalam mobil, menawarkan jasanya yang berkisaran harga Rp 17 juta – 175 juta. Jaminannya, pengguna jasa akan berkuliah di jurusan favorit; dan bila tidak, uang akan dikembalikan 100%. Saya tak tergiur, terlepas dari iming-iming mereka. Saya masih pesimis apakah kegiatan Indonesia Mengajar yang menjadi prestise bagi pengajar fresh graduate dapat mengubah sistem karut-marut ini. Tetapi paling tidak saya mengapresiasi Anies Baswedan; karena kegiatan itu diinisiasi di wilayah-wilayah terpencil Indonesia yang mungkin para pelajarnya memiliki semangat yang lebih murni untuk belajar. Di Yogyakarta, Ainun Chomsun menginisiasi gerakan Akber (Akademi Berbagi) yang meluas hingga ke Jakarta. Meski yang disasar adalah masyarakat middle-class atau yang melek teknologi karena mediumnya melalui Twitter, ide Ainun memberi harapan bahwa pendidikan tak mengenal sekat-sekat dan tak saklek. Follower akun Twitter Akber Jogja dapat mengajukan kelas apa pun yang mereka minati, dan siapapun yang berkompeten dapat mengajukan diri menjadi pengajar dengan medium Twitter. Tiap kelas dibatasi untuk 25 orang pendaftar tercepat. Boediono Darsono, pemimpin redaksi detik.com, ketika itu menjadi tutor pertama kelas Akber Jogja di Twitter. Begitu juga Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM menyasar pedagang pasar dalam kegiatan Sekolah Pasar lantaran pertumbuhan waralaba asing yang tak terkendali. Masih soal ekonomi rakyat, Center for Extension and Empowerment Studies (CEES) membuka kelas kedaulatan pangan dengan bahwa sagu, ketela, dan ubi-ubian dapat menjadi alternatif pangan selain beras. Kenyataannya, kedelai untuk bahan dasar tempe-tahu pun masih mengimpor dari Amerika. Meski terbuka untuk masyarkat umum, kelas ini secara khusus diperuntukkan bagi wirausahawan restoran dan pengusaha pangan di wilayah Yogyakarta. Kelas-kelas untuk masyarakat juga dibuka oleh Institute for Multiculturalism & Pluralism (IMPULSE). Baru-baru ini, mereka mengadakan kelas-kelas kritik ideologi. Hal ini dilandasi pemikiran bahwa Indonesia nampaknya memang sedang krisis semangat kebhinnekaan. Lihat saja akun Anda Bertanya Habib Rizieq Menjawab di Facebook, ada parodi tentang laskar 2D (ber-Intelligent Quotient dua digit) untuk menyebut laskar-laskar Forum Pembela Islam. Seringkali memang, tindak-tindak kekerasan dilakukan dengan membawa-bawa nama agama. Di luar negeri, Indonesia lebih dikenal sebagai negara teroris. Dari sini kelihatan, keadaan
masyarakat Indonesia yang minim toleransi atas sesama bisa jadi neraca gagalnya pendidikan—utamanya pendidikan karakter. Selain itu, ada juga pelatihan-pelatihan antikorupsi oleh Pusat Studi Anti Korupsi (PUSKAT) UGM yang bekerja sama dengan tim redaksi situs web Infokorupsi. Anies, rektor Universitas Paramadina, pun sudah mulai memasukkan kurikulum antikorupsi pada mata kuliah umum di universitas binaannya. Setelah mengikuti pelatihan jurnalisme media rakyat (citizen journalism for anti-corruption) yang diadakan PUSKAT UGM pada Januari 2010 lalu, saya pun mulai belajar tentang perkembangan media rakyat. Meskipun, secara umum, permasalahan di lingkup pendidikan tak bisa lepas dari budaya kita yang, istilahnya, masih seperti layangan. Nirwan Dewanto, melalui Kebudayaan Indonesia: Pandangan 1991, mengingatkan kembali tentang polemik kebudayaan antara Radjiman Wediodiningrat dengan Tjipto Mangunkusumo yang bahkan telah terjadi sejak 1908. Paradoks yang muncul mengenai apakah perkembangan kebudayaan perlu melalui tahapan ataukah dapat berkembang secara revolusioner dan terjadi dengan instan. Bagi Radjiman, nasionalisme maupun kebudayaan Jawa harus dipertahankan, sementara bagi Djipto Jawa sudah hilang kedaulatan, dan sebagai entitas baru adalah Indonesia yang perlu memanfaatkan pengetahuan Barat dan unsur-unsur budaya lain[1]. Namun kita juga perlu melihat konteks. Di tahun 1908, teknologi belum seperti sekarang. Bila dulu budaya bertransmisi ke masyarakat dengan bantuan literatur, kini masyarakat mengadopsi budaya dari televisi dan media digital lainnya. Generasi muda lebih dekat dengan budaya pop Korea daripada budaya wayang Indonesia. Ini mengingatkan saya bahwa dalam hal ini pun, kita masih dapat mengupayakan pendidikan alternatif. Sejak 2001, masih di Yogyakarta, ada gerakan Combine Resource Institution (CRI) yang menggiatkan media rakyat. Rakyat diajak belajar memanfaatkan teknologi dengan cerdas; istilahnya, melek media. Mereka akan belajar mendapatkan akses informasi secara mandiri tanpa perlu melalui alur birokrasi. Program terbaru yang dilakukan adalah Lumbung Komunitas; di mana masyarakat dituntun untuk mengelola pengetahuan lokal dan mengenal desa mereka sendiri. Pada akhirnya, semua usaha-usaha pendidikan alternatif itu membuat saya yakin masih akan ada harapan untuk Indonesia.
[1] Dewanto, Nirwan (1996), Senjakala Kebudayaan, Penerbit Yayasan Bentang Budaya
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Komunikasi, Harga Kebhinekaan Oleh: YOHANES HALIM FEBRIWIJAYA - INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
Rangkuman : Kebhinekaan Indonesia merupakan suatu kekayaan yang tidak ternilai harganya. Namun di balik kekayaan tersebut, tersimpan suatu bahaya, yang disebabkan oleh perbedaan latar belakang. Karena Indonesia terdiri dari begitu banyak suku, banyak pula tembok penghalang untuk memanfaatkan kebhinekaan yang ada menjadi suatu kekuatan, dan bukan pemecah, untuk dapat mencapai tujuan negara Indonesia. Untuk dapat menghilangkan tembok-tembok penghalang tersebut, perlu adanya suatu usaha komunikasi antar kelompok, yang pada dasarnya membutuhkan keberanian untuk dapat melewati batas-batas nyaman kelompok tersebut. Dengan komunikasi yang baik, dapat terbentuk kesatuan, yang mendukung Sekitar tujuh tahun lalu, saya mendaftar ke klub basket di SMA saya. Saya sangat bersemangat waktu itu, selain karena saya memang menyukai olahraga basket, saya juga menemukan jagoan-jagoan basket di SMP-SMP yang saya temui ternyata juga memasuki tim basket. Kegembiraan saya ditambah dengan adanya jagoan-jagoan dari SMP lain yang berasal dari luar kota. Kami yang lolos seleksi itu, konon digadang-gadang menjadi angkatan emas, karena sejak 3 tahun sebelumnya, ―Belum pernah muncul talenta-talenta sebagus dan sebanyak ini.‖ —————————– Selama setengah tahun, kami bersama mengikuti latihan bersama, dan selama setengah tahun itu kami berbagi kebahagiaan. Namun di akhir semester pertama, muncullah pernyataan yang mengejutkan dari salah seorang teman saya,‖ Tim ini memang bagus, tapi entah kenapa, aku tidak menikmati permainan bersama tim ini.‖ Seminggu kemudian, mundurlah dia. Dan sejak itu, teman-teman dekatnya di tim juga mundur, menyisakan kami. Dan entah kebetulan atau tidak, teman-teman dekatnya adalah mereka yang berasal dari SMP negeri, atau yang bukan Tionghoa. Dan kenaifan kami untuk tidak menyadari hal ini, ternyata malah menjadi bumerang bagi kami, karena sebenarnya kami secara tidak sadar sudah membuat pemisah. Dulu, saya berpikir, bahwa kami memiliki begitu banyak perbedaan, sehingga sulit bersatu. Namun belakangan, muncul pemikiran sebaliknya, bahwa sebenarnya kami memiliki lebih
banyak lagi kesamaan. Kami hanya berbeda suku saja, atau paling banter berbeda golongan, karena asal SMP kami berbeda. Saya tertegun menyadari, dua perbedaan kecil dan biasa saja ini sangat signifikan mempengaruhi cara kami berelasi. Saya kemudian menyadari, tantangan besar di balik kebhinekaan bangsa kita, yang terdiri dari 1128 suku bangsa[1], 6 agama yang diakui, beberapa ras dan banyak golongan. Betapa ‗Bhineka Tunggal Ika‘ adalah motto yang sangat hebat menyadari hal ini, mengingat 2 kelompok orang yang berbeda suku saja bisa bertengkar hebat karena masalah sepele! Kesatuan Bangsa Slogan ‗Bhineka Tungggal Ika‘ ini adalah perekat bangsa Indonesia, yang memang luar biasa kekayaan budayanya. Slogan ini mengajak untuk melihat, meskipun banyak perbedaan, ada kesatuan,yaitu sebagai bangsa Indonesia. Slogan ini muncul pada sayembara lambang negara pada 8 Februari 1950[2], bersamaan dengan logo Pancasila. Pancasila adalah dasar negara, dengan ‗Bhineka Tunggal Ika‘, sebagai perekat bangsa, adalah bagian tidak terpisahkan. Bangsa, menurut Ernest Renan adalah ‖ hasil dari masa lalu yang terdiri dari usaha-usaha, pengorbanan,dan keterikatan yang sungguh-sungguh… untuk bersama memiliki kejayaan di masa sebelumnya, dan semangat yang sama untuk memiliki kejayaan di masa sekarang; untuk melakukan hal-hal besar bersama dan ingin terus melakukannya. ―[3] Definisi tentang bangsa menurut Ernest Renan ini adalah definisi yang digunakan oleh Ir. Soekarno untuk menjelaskan ideologinya tentang bangsa[4]. Hal ini menunjukkan bahwa Bung Karno memiliki suatu cita-cita bahwa nantinya orang-orang yang tetap tinggal di Indonesia setelah merdeka ―telah melakukan hal besar bersama dan ingin melakukannya lagi.‖ Beliau ingin semangat kemerdekaan Indonesia adalah semangat kebersamaan, meskipun berbeda-beda tapi tetap satu membangun bangsa Indonesia. Hal ini tentu mensyaratkan bahwa sebelum seseorang membangun bangsa, dia harus disadarkan dulu bahwa bangsa yang dia bangun adalah bangsa yang majemuk, dengan berbagai perbedaan, namun berusaha bersama untuk mencapai satu tujuan yang besar. Tujuan ini tidak dapat tercapai tanpa realisasi dari ‗Bhineka Tunggal Ika‘. Tanpa ‗Bhineka Tunggal Ika‘, tanpa kesatuan Indonesia, tidak akan ada kekuatan untuk mencapai tujuan bersama tersebut. Komunikasi Namun alih-alih bersatu, di kacamata saya, rakyat Indonesia masih terpecah-pecah dan ketakutan menghadapi ke-Bhineka-an tersebut. Itu terbukti dengan masih seringnya terjadi perseteruan antar suku, antar agama di berbagai tempat. Beberapa waktu yang lalu bahkan terjadi perseteruan antara kelompok Islam Sunni dan Islam Syiah. Hal ini menunjukkan,
masih tingginya tingkat kecurigaan antar sesama umat Muslim sendiri, dan saya yakin, lebih besar lagi jurang yang terjadi antar agama, yang mengakibatkan konflik di Poso. Dan, menurut pengalaman saya, tingkat kecurigaan yang tinggi adalah indikator dari kurangnya komunikasi. Karena, kurangnya komunikasi akan mengakibatkan prasangka, dan prasangka tanpa komunikasi akan menimbulkan stigma yang kuat, namun mungkin tidak benar terhadap objeknya. Perlu suatu usaha untuk membuka komunikasi dan membongkar tembok-tembok kebisuan masyarakat. Saya sendiri menjadi saksi tidak adanya komunikasi tersebut, karena sejak dini pun bibit-bibit ketakutan dan kecurigaan sudah muncul, bahkan mungkin sudah ditanamkan. Pada saat saya kelas 6 SD, saya mengikuti sebuah lomba siswa teladan. Pada tingkat kecamatan, lomba tersebut diadakan di sebuah SDN dekat sekolah saya. Ketika itu saya berkenalan dengan beberapa orang, dan sayapun berbincang. Ketika mengetahui saya tidak bisa mengucapkan huruf R dengan baik, entah kenapa pandangan mereka berubah. Kemudian kami dipanggil ke ruangan untuk memulai ujian, dan kamipun menghentikan perbincangan kami. Pada saat istirahat, saya mengalami sakit perut. Saya pun ke WC. Tanpa saya duga, tiba-tiba dari jendela meluncur batu-batuan kecil. Saya pun berteriak,‖Oi, ada orang di dalam.‖ Kemudian ada suara dari pintu WC, ―Coba ngomong R dulu yang bener.‖ Saya yakin tidak ada orang yang mengajarkan dia untuk berbuat demikian, namun hinaan sehari-hari terhadap orang Tionghoa, mungkin dilakukan oleh temannya, mungkin oleh orangtuanya, bahkan mungkin gurunya yang membuat dia berbuat demikian. Pernah pula di suatu saat, saya menjadi relawan di Pengalengan, Jawa Barat. Pada waktu mendekati maghrib, saya iseng mendengarkan anak-anak kecil belajar mengaji. Saya terkejut sekali ketika di speaker maghrib sang pengajar mengatakan ―..dan tidak akan pergi ke gereja.‖ Saya membayangkan, kalau mereka sudah besar, mungkin anak-anak kecil itu nanti akan takut sekedar berteduh di gereja saat hujan. Mungkin, hal-hal kecil seperti inilah yang membuat orang-orang dewasa di Indonesia menjadi paranoid. Contohnya, pernah suatu ketika, saya mengobrol dengan seseorang di kereta api. Dia merekomendasikan sebuah buku karangan Nucholish Madjid. Saya sebenarnya tertarik, namun karena tadinya kami sedang membahas buku karangan penulis berkebangsaan Jepang, saya bertanya, ‖ Kenapa tiba-tiba Nurcholish Madjid, mas?‖ Orang ini tiba-tiba sedikit emosi sambil mengutarakan dia tidak sedang mencoba berdakwah. Kecanggungan komunikasi, buat saya adalah penyebab ketiga hal diatas. Mungkin kalau si anak terbiasa bergaul dengan orang Tionghoa, tidak mungkin dia melempari batu hanya karena saya tidak bisa mengatakan huruf R. Mungkin, orang yang mengajar di kelas mengaji
itu tidak menyadari bahwa pengajarannya berpotensi memicu keretakan bangsa karena di kampung tersebut semuanya Muslim, dan tidak menduga akan ada seorang Kristen mendengar. Mungkin orang di kereta api tersebut juga tidak terbiasa berbicara dengan orang Kristen sehingga takut dikira melakukan dakwah. Fobia terhadap pluralisme Akhirnya, masalah komunikasi ini menjadi suatu penghalang besar untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Penolakan terhadap kebhinekaan dan slogan ‗Bhinneka Tunggal Ika‘ ini mengakibatkan ekstrim sebaliknya dari kebhinekaan, yaitu dorongan untuk menjadikan segala sesuatu seragam dalam konteks yang terbatas, di ‗daerah kekuasaan‘ orang/kelompok tersebut, bahkan dapat memicu megalomania. Contohnya, Hitler, yang hanya menerima keberadaan ras Arya sebagai ‗manusia super‘, menganggap ras lain sebagai ‗manusia yang lebih rendah‘ yang layak diperbudak dan dikuasai[5]. Tidak jauh dari kita, ikatan primordialisme kesukuan yang sangat kuat menimbulkan keengganan beberapa suku untuk bercampur/menikah dengan suku lain, dan bidang-bidang pekerjaan tertentu masih dikuasai oleh suku-suku tertentu. Tidak salah rasanya jika kita menyebut komunikasi antar golongan masih menjadi hambatan kita untuk dapat memahami arti ‗Bhinneka Tunggal Ika‘, karena dengan komunikasi yang baik, tembok-tembok eksklusif kesukuan tersebut akan hilang dengan sendirinya. Belajar dari sejarah Dengan alasan apapun, hal-hal di atas menegaskan bahwa komunikasi adalah hal yang penting, dan kegagalan berkomunikasi telah memicu masalah-masalah besar, seperti permasalahan Sunni-Syiah, kerusuhan di Poso, yang telah berujung kepada kerugian baik moril, maupun materiil. Karena, komunikasi dalam hal-hal kecil berperan penting dalam pembentukan mentalitas ‗Bhinneka Tunggal Ika‘. Hal kecil seperti perbedaan suku, agama, ras, dan golongan dapat diatasi dengan hal kecil pula, yaitu komunikasi. Belajar dari sejarah, melakukan hal kecil, seperti berbincang dengan orang yang berbeda suku, agama, ras atau golongan akan mencegah masalah yang lebih besar. Dan lebih utama, biarlah ‗Bhineka Tunggal Ika‘ memampukan kita untuk bersama membangun bangsa Indonesia yang lebih baik. Merdeka!
[1] Dikutip dari http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=57455, diakses pada 2 November 2012, 19.08
[2] Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2010/01/27/063221646/Lambang-GarudaPancasila-Dirancang-Seorang-Sultan, diakses 4 September 2012 pukul 01.13 [3] diterjemahkan secara bebas dari ―Ernest Renan‖,karangan Richard M. Chadbourne , 1968, Ardent
Media,
halaman
101,
diakses
dari
Google
Books
dengan
link
http://books.google.co.id/books?id=aRmcVxoIvMkC&printsec=frontcover&hl=id&source=g bs_ge_summary_r&cad=0#v=onepage&q&f=false pada 3 November 2012 pukul 01.23
[4]
http://filsufgaul.wordpress.com/2012/03/09/pengaruh-pemikiran-ernest-renan-terhadap-
nasionalisme-soekarno/ diakses pada 3 November 2012 pukul 2.30 [5] http://econ161.berkeley.edu/tceh/Nietzsche.html diakses tanggal 3 November 2012 pada pukul 12.13
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Kritik Frasa ‗Yang Maha Esa‘ Sila Pertama Pancasila untuk Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi Oleh: ROBBI IRFANI MAQOMA -vUNIVERSITAS INDONESIA
Rangkuman Jika dianalisa secara historis terdapat kontradiksi antara redaksi dan maknawi dalam sila pertama pancasila. Sila yang seharusnya menjadi pemersatu dan fondasi moral bangsa malah menimbulkan diskriminasi sana sini. Analisa ini membawa pada satu gagasan untuk merubah frasa ‗yang maha esa‘ menjadi ‗yang berkebudayaan‘. Gagasan ini mengarah pada satu tujuan: menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni dan bebas diskriminasi. ——————————
Pancasila merupakan kerangka di mana negara ini berdiri. Dalam hiearki perundangundangan pancasila menempati norma teratas atau biasa disebut Grundnorm(Norma dasar) bahkan sebelum pembukaan Undang-undang dasar ataupun batang tubuh Undang-undang
dasar itu sendiri. Artinya pancasila adalah suatu nilai yang memang sudah berada dalam masyarakat Indonesia dan menjiwai segala aktifitas orang-orang Indonesia. Mari sama-sama kita resapi sejenak sila pertama dari fondasi berdirinya negara kita ini: “Ketuhanan yang maha esa” Sila ini merupakan sila yang paling pertama dibacakan. Sila ini yang menurut Muhammad Hatta menjiwai empat sila dibawahnya. Sila pertama berupa ketuhanan yang maha esa merupakan fundamen utama sebagai pengunci karakter bangsa kita sebenarnya[1]. Pada awal perumusan ini, sila ―ketuhanan yang maha esa‖ sebelumnya adalah ―ketuhanan yang berkebudayaan‖. Artinya nilai-nilai ketuhanan yang dipegang erat oleh seluruh masyarakat Indonesia merupakan nilai yang menjadi dasar moral. Ia tidak bersifat menyerang tetapi saling toleransi. Toleransi dalam hal ini diwujudkan untuk saling menghargai antara tuhan masing-masing yang diyakini benar menurut diri atau kelompok masing-masing[2]. Sejarah mencatat bahkan sebelum ditulis ketuhanan yang maha esa, terdapat perdebatan panjang yang kita kenal dengan istilah pencantuman tujuh kata setelah kata ketuhanan. Tujuh kata tersebut adalah “dengan menjalankan syariat islam bagi para pemeluknya”. Ketika kembali pada ruh sila pertama yakni ketuhanan yang toleransi maka jelas telah menyimpang. Toleransi yang diartikan dengan suatu sikap menghargai suatu aspek yang berbeda malah dimaknai sebagai toleransi golongan non-islam kepada golongan islam. Seakan-akan fondasi negara ini dimaknai sebagai sarana pengikat golongan tertentu saja. Ketuhanan itu hanya milik golongan agamaitu saja. Saya melihat ada indikasi marjinalisasi terhadap penganut agama lain apabila tujuh kata itu diterapkan. Untungnya tujuh kata ini mendapat protes keras oleh golongan nasionalis karena dianggap dapat mengganggu ketentraman nasional. Sehingga pada akhirnya tujuh kata tersebut dipangkas menjadi tiga kata saja, yang maha esa. Namun benarkah konsepsi ketuhanan yang ada di seluruh agama di Indonesia adalah yang esa? Saya mulai dengan konsepsi ketuhanan dalam keyakinan yang dianut oleh orang Indonesia asli. Jauh sebelum munculnya Hindu, Buddha, Islam ataupun Kristen. Nenek moyang kita telah menganut kepercayaan akan adanya zat yang gaib. Kepercayaan ini menyebar hampir di seluruh wilayah di nusantara dalam istilah yang berbeda-beda. J. Esink menyatakan masyarakat Indonesia pada zaman ini melakoni konsepsi dualisme keyakinan tertentu yang dihubungkan dengan alam seperti Bapa Angkasa-Ibu Pertiwi, Kaja-Kelod, Kiri-Kanan. Dua kekuatan yang diyakini ini menyelaras dan menciptakan harmoni semesta. Selain itu ada keyakinan yang mengasosiasikan gunung sebagai simbol penyembahan kepada sang pencipta.
Itupun terjadi karena dilatarbelakangi kepercayaan bahwa gunung-gunung menjadi tempat para dewa berada. Konsepsi ketuhanan yang maha esa sebagai satu-satunya pencipta dunia ini dianut oleh agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu(Confusianis) dan beberapa agama asli nusantara seperti keyakinan Kacaktyan pada Jawa Kuna[3]. Adanya perbedaan keyakinan ketuhanan ini masih bertahan sampai sekarang. Data dari kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003 mencatat masih ada kepercayaan asli Meskipun kini kepercayaan asli Indonesia hanya dianut oleh minoritas warga Indonesia. Oleh karena itu saya berpendapat bahwa keberagaman konsepsi tuhan itu tidak bisa dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa konsep ketuhanan seluruh agama di Indonesia adalah ‗yang maha esa‘. Konsepsi tersebut hanya berlaku untuk sebagian kepercayaan saja, bukan keseluruhan. Lagipula sila ―ketuhanan yang maha esa‖ tidak bisa diresapi hanya dengan mengambil sebagian kata seperti hanya meyakini ‗ketuhanan‘ atau ‗yang maha esa‘ saja. Hal itu dapat mencederai keyakinan pada pancasila itu sendiri ataupun keyakinan terhadap ‗ketuhanan‘. Bahkan ada beberapa golongan di Indonesia yang tidak meyakini adanya tuhan. Akan terasa sangat membingungkan untuk meresapi pancasila ke dalam hati jika substansi ketuhanan yang ada hanya dipatok pada keesaannya. Seandainya saja kita menganut konsep tuhan yang tidak esa, bagaimana bisa kita dapat meyakini kebenaran pancasila sebagai falsafah yang benarbenar ada dari, oleh dan untuk bangsa? Mungkin sebagai seorang yang awam atas suatu falsafah kenegaraan, saya belum memenuhi kompetensi untuk emgkritisi hal ini. Tetapi kritik yang saya utarakan ini memakai pendekatan peresapan dari hati. Melalui pendekatan tersebut saya berkesimpulan kalau ini adalah hal yang salah. Pancasila sebagai norma dasar haruslah mempunyai keselarasan antara arti redaksi dengan makna sebenarnya. Saya kira perbedaan ‗ketuhanan yang maha esa‘ dengan ‗ketuhanan yang berkebudayaan‘ adalah jelas. Bagi saya ‗ketuhanan yang maha esa‘ adalah menjalani kehidupan dengan dasar nilai-nilai ketuhanan yang bersifat esa. Sedangkan ‗ketuhanan yang berkebudayaan‘ adalah membudayakan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan sehari-hari. Terbebas dari bagaimana konsep tuhan yang bisa saja diyakini secara berbeda oleh setiap penganut keyakinan tertentu di Indonesia. Saya berpendapat bahwa perubahan redaksi pada sila pertama adalah perlu. Kalimat ‗Ketuhanan yang berkebudayaan‘ adalah kalimat yang relevan untuk dipakai untuk membingkai empat sila pancasila lainnya. Kalimat tersebut relevan dengan fakta bahwa sampai saat ini tidak semua agama di Indonesia menganut konsep ketuhanan yang maha esa. Frasa ‗yang maha esa‘ menjadi arti yang sangat sempit karena bisa berpotensi menisbikan
kemajemukan agama yang sudah ada di Indonesia. Sedangkan Kalimat ‗ketuhanan yang berkebudayaan‘ juga dapat menjadi fasilitas dasar yang sangat dipakai untuk mengembangkan demokrasi karena tidak bergantung pada salah satu sifat ketuhanan, melainkan nilai-nilai. ketuhanan itu sendiri dan pengakuan keberagaman keyakinan yang ada di negeri ini melalui toleransi[4]. Menuju Negeri Tanpa Diskriminasi Menurut saya ini adalah akar dari permasalahan mengapa begitu banyak diskriminasi terhadap pemeluk keyakinan yang minoritas di negara ini. Orang-orang boleh bebas memeluk kepercayaan dijamin oleh negara hanya ketika ia memeluk agama mayoritas. Hal ini terbukti dari pengakuan 6 agama saja di Indonesia yakni Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu dan Kong Hu Cu. Pengakuan ini berimbas pada banyak hal, salah satunya adalah data kependudukan. Warga pemeluk agama minoritas selain yang diakui negara dipaksa mencatut agama yang tidak diyakininya jika ingin memperoleh KTP. Inikah semangat ketuhanan yang toleran yang ada dalam sila pertama pancasila? Merupakan langkah yang sangat tepat apabila perubahan redaksi sila pancasila diberlakukan. Perubahan redaksi ini bukanlah menghilangkan makna dan semangat yang terkandung di dalamnya melainkan hanya sekedar perubahan frasa dari ‗yang maha esa‘ menjadi ‗yang berkebudayaan‘. Jiwa untuk menghayati konsep ketuhanan yang benar-benar khas Indonesia adalah tidak melulu yang esa tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Soekarno, ketuhanan yang berkebudayaan. Perubahan redaksi ini tidak mengakibatkan bubar atau runtuhnya suatu negara karena perubahan tersebut dilandasi oleh penghayatan nilai ketuhanan yang telah ada jauh sebelum republik ini berdiri. Sebaliknya apabila tidak dilakukan perubahan akan terjadi penyimpangan nilai luhur yang terkandung secara maknawi dalam sila pertama pancasila karena kesalahan penafsiran. Artinya, diskriminasi keyakinan ketuhanan yang ada selama ini seakan selaras dengan pancasila. Oleh karena itu perubahan ini menurut saya menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan untuk menciptakan Indonesia, negara yang berlandaskan ketuhanan meski berada dalam konsepsi yang berbeda. Perbedaan tersebut bukanlah bersifat serang-menyerang, caci maki atapun ragam diskriminasi. Namun perbedaan tersbut didasari oleh toleransi sehingga akhirnya berujung pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmoni.
DAFTAR PUSTAKA
Notonagoro, Pancasila Dasar Falsafah Negara. Jakarta: Pancuran Tujdjuh, 1974. Yudi Latif, Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011
[1] Pada awalnya sila Ketuhanan berada pada posisi keempat. Namun Soekarno pada saat itu menjelaskan bahwa urutan pasal hanya bersifat sequential, bukan urutan proritas.
[3] Disampaikan oleh K.P. Sena Adiningrat Sidang Mahkamah Konstitusi dalam rangka Permohonan Uji Materi Undang-undang Nomor 1/PNPS/ 1965, di Jakarta, 23 Maret 2010.
[4] Pada alasan yang melatarbelakangi pencetusan prinsip pancasila Soekarno mengatakan ia menggali sejarah sampai zaman Hindu dan pra-Hindu dan melihat berbagai macam saf yang terkristalisasi pada lima prinsip pancasila tersebut(Soekarno, 1958; II 8-15). Oleh karena itu dasar yang dicetuskan Soekarno adalah ‗Ketuhanan yang berkebudayaan‘ bukan ‗Ketuhanan yang maha esa‘. Hal ini didasari karena Soekarno bukan melihat adanya keseragaman konsepsi tuhan dalam masyarakat Indonesia melainkan adanya keragaman keyakinan yang menumbuhkan serta memelihara rasa toleransi oleh para penganutnya.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Identitas, Nyala Api dalam Kebhinekaan Oleh: SITA MAGFIRA - UNIVERITAS SANATA DHARMA
Prolog: Esai ini berangkat dari pengalaman subjektif penulis tentang masalah identitas dan kebhinekaan. Memiliki latar kesukuan yang beragam, lama hidup di perantauan, dan belajar agama yang berbeda dengan agama yang dibawa sejak lahir, penulis merasa bahwa identitas suku, agama, dan rasnya menjadi kabur. Identitas yang kabur tersebut jelas membawa
pengalaman yang tak menyenangkan. Di sisi lain, identitas yang kabur justru jadi menenangkan sebab penulis membaca bahwa perasaan superior akan identitas suku, agama, dan ras itu ibarat api dalam sekam yang mengancam kebhinekaan. Kekaburan identitas bisa dimaknai sebagai hal yang menjauhkan dari keinginan untuk berselisih demi membela identitas suku, agama, dan ras. Namun, sebab manusia telah mengenal dan diperkenalkan tentang identitas suku, agama, dan rasnya sejak ia belajar mengenal sekitarnya, tak mudah untuk menghilangkan perasaan superior akan identitas itu. Tawaran sekaligus tantangannya adalah bagaimana menghadirkan kerendahan hati sebagai kawan dari rasa unggul tentang identitas tersebut. ———————Menyoal kebhinekaan, sejak Sekolah Dasar saya sudah lekat dengan persoalan-persoalan tentangnya. Bukan hanya lewat pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) dimana guru mengajarkan ide-ide tentang keberagaman lewat pertanyaan sederhana, ―Jadi, bhineka tunggal ika itu artinya berbeda-beda tetapi tetap apa, anak-anak?‘ yang akan dijawab serentak oleh saya dan teman-teman yang duduk manis, ―Tetapi tetap satu, bu.‖ Tapi juga lewat orang-orang terdekat saya. Satu yang paling membekas adalah peringatan: ―Jangan minum dari termos air milik temanmu yang Kristen. Nanti Allah marah.‖ Saya tidak paham kenapa Allah bisa marah hanya karena saya minum dari termos milik teman yang Kristen. Namun, saya patuh-patuh saja. Saat itu saya selalu memilih menahan haus jika pilihan lainnya adalah harus minum dari termos teman yang Kristen karena uang jajan dan bekal air di termos saya telah habis. Seiring bertambahnya usia, saya jadi paham bahwa pernyataan tersebut muncul sebab perkara haramnya (menurut Islam) makanan yang dikonsumsi kawan-kawan yang Kristen. Ditambah lagi, di tahun 1999, saat saya masih duduk di bangku kelas 3 Sekolah Dasar, kerusuhan besar antara Islam dan Kristen pecah di Poso (meski kemudian ada pembacaan bahwa konflik tersebut tidaklah semata-semata konflik antar-agama). Kebetulan, saya lahir dan menetap di Palu (yang berjarak 221 km dari Poso). Kebetulan lagi, keluarga besar ibu saya menetap di Poso serta jadi korban langsung dari konflik itu. Peringatan yang membekas itu datang dari adik-adik ibu saya. Sangat mungkin ada hubungan antara situasi konflik di Poso saat itu dan peringatan yang diberikan ke saya. Saya makin lekat dengan soal-soal tentangnya setelah memutuskan meninggalkan Palu untuk melanjutkan SMA. Pulau Jawa adalah menjadi tujuan dengan pertimbangan klasik bahwa pulau Jawa adalah tempat yang baik untuk belajar dibandingkan dengan Palu yang ada di wilayah Indonesia Timur. Semarang jadi titik nol perantauan saya. Di sana, ada begitu banyak hal yang berbeda dengan apa yang ada di Palu. Saya belajar Bahasa Jawa serta belajar
kebiasaan-kebiasaan baru. Singkatnya, saya menyerap dan beradaptasi dengan sangat cepat terhadap banyak hal baru itu. Meski, tentu saja, awalnya saya sempat mengalami keterkejutan budaya. Setamat SMA, saya pindah ke Yogyakarta untuk melanjutkan pendidikan. Yogyakarta menambah pengalaman saya tentang keberagaman. Di Yogyakarta saya bertemu dan bertukar pikiran dengan begitu banyak manusia. Suku mereka beragam, agama mereka tak satu, dan masih banyak pembeda-pembeda lainnya. Tahun ini masuk tahun keempat saya di Yogyakarta. Meski mengamini bahwa manusia yang berbeda-beda bisa hidup bersama di kota ini, buat saya masih ada api dalam sekam terkait perbedaan itu. Contoh sederhananya, beberapa teman yang bersuku Jawa masih suka, meski dengan bercanda, berkata kepada saya, ―Basa Jawamu wagu, kaya nang FTV (Bahasa Jawamu aneh, seperti di FTV).‖ Siapapun yang pernah menyaksikan FTV (Film Televisi) yang menjadikan Yogyakarta atau Solo sebagai latar tempatnya pastilah paham bagaimana aktris dan/atau aktornya menggunakan Bahasa Jawa. Terkesan dipaksakan dan, karena itu, di mata temanteman yang penutur asli Bahasa Jawa, aneh. Padahal, saya sudah menggunakan Bahasa Jawa sejak SMA. Satu-satunya alasan saya menggunakan Bahasa Jawa dalam keseharian, khususnya saat bergaul dengan teman-teman yang penutur asli Bahasa Jawa, adalah masalah kenyamanan dan keinginan untuk makin akrab. Komentar-komentar seperti itu di titik-titik tertentu bisa diartikan sebagai cara teman-teman menegaskan perbedaan saya dengan mereka. Contoh lainnya, saat saya bergaul dengan teman-teman yang berasal dari Palu dan berkuliah di Yogyakarta. Jika sudah berkumpul, tak jarang sentimen-sentimen kesukuan hadir dalam percakapan mereka. Tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka tidak peka sebab tetap menggunakan Bahasa Jawa saat berbincang dengan mereka (dan itu membuat mereka sebal.), tentang bagaimana mereka menyayangkan (meski selalu diungkapkan dengan nada bercanda) bahwa anak-anak kecil di Yogyakarta yang alih-alih menggunakan Bahasa Indonesia malah menggunakan Bahasa Jawa dalam kesehariannya (mereka bahkan menduga bahwa anak-anak itu pastilah mendapat nilai jelek untuk pelajaran Bahasa Indonesia!), tentang bagaimana kawan-kawan yang bersuku Jawa suka berlaku superior di hadapan mereka, dan beberapa hal lainnya. Fenomena berikut adalah contoh yang paling mengganggu saya. Begini. Di Yogyakarta ada begitu banyak teman-teman yang berasal dari Papua. Kebetulan, di Yogyakarta saya berdomisili di daerah yang sama dengan banyak teman-teman dari Papua. Saya sering melihat mereka berkumpul bersama-bersama, entah di tempat bermain futsal, entah di warung makan. Seorang kawan pernah berkata, ―Orang-orang Timur (merujuk ke teman-teman dari Papua
itu) kok bergaulnya sama mereka-mereka saja ya?‖ saat kami berkendara dan melintas di depan kawan-kawan dari Papua yang sedang berkumpul. Entah apa alasan di balik keadaan itu, apakah kawan-kawan dari Papua memang sengaja mengasingkan diri mereka, atau justru ada yang salah dengan cara pandang kawan-kawan bersuku lainnya terhadap kawan-kawan dari Papua sehingga mereka tampak seperti tidak berbaur? Faktanya, term ‗orang-orang timur‘ yang merujuk pada mereka yang berasal dari Timur, khususnya yang berkulit legam dan berambut keriting, eksis di Yogyakarta dan seringnya diikuti dengan ide-ide yang kurang elok tentang term itu. Saya pikir term tersebut bisa jadi sama mengganggunya dengan term ‗kulit hitam‘ atau ‗negro‘ yang pernah eksis di Amerika Serikat. Terkait isu keagamaan, saya jadi ingat bahwa 4 hari sebelum saya menulis esai ini, saya terlibat pembicaraan dengan seorang bapak. Ia adalah seorang staf administrasi di universitas saya. Dari berkas yang saya berikan padanya, ia jadi tahu di fakultas apa saya belajar. Ia lantas menyebut nama salah seorang dosen dan bertanya apakah saya diajar olehnya. Ketika saya katakan bahwa benar saya diajar oleh dosen tersebut, ia lalu berkata, ―Kasihan dia (dosen saya).‖ Saya yang tidak paham konteks jelas bertanya, ―Kasihan kenapa, bapak?‖ Bapak itu lalu menjelaskan bahwa dosen saya itu dulunya adalah seorang Islam tapi kemudian pindah agama. Itulah kenapa ia mengasihani dosen saya. Menurutnya, pilihan untuk berpindah agama adalah pilihan yang sangat salah. Terlanjur sering saya mendengar pernyataan tentang Yogyakarta sebagai miniatur Indonesia. Jika benar Yogyakarta adalah miniatur Indonesia dan saya masih melihat ada api dalam sekam terkait masalah kebhinekaan di sini, bisa jadi memang begitulah keadaan keberagaman Indonesia yang sebenarnya. Benar bahwa Negara ini mengakui ada beragam suku, agama, dan ras. Benar juga bahwa suku, agama, dan ras yang beragam itu bisa hidup bersama di satu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, ada nyala yang selalu siap terbakar dalam diri kebhinekaan Indonesia itu. Lihatlah betapa banyak konflik berbau SARA yang terjadi di Indonesia. Konflik Poso yang saya sebut di paragraf pertama esai ini adalah salah satunya. Dalam tulisan berjudul Tiga “Teori” Kekerasan Poso yang dirilis Suara Pembaharuan pada 2 Desember 2005, Arianto Sangadji menyatakan konflik Poso sendiri bisa dibaca sebagai konflik yang sarat manipulasi terhadap identitas etno-religius. Satu dari tiga ―teori‖ yang diajukannya terkait kekerasan di Poso adalah pertarungan politik lokal (pergantian bupati Poso akhir 1998 hingga 1999). Ada pertarungan antar politisi saat itu untuk meraih kekuasaan politik dan birokrasi dengan memanipulasi identitas suku dan agama. Jika argumen Sangadji benar, ada fakta yang terkuak. Fakta bahwa identitas suku, agama, dan ras memang bisa dengan mudah ditunggangi kepentingan lain. Tak hanya di Poso. Saya pikir masih banyak
contoh kasus penunggangan isu identitas suku, agama, dan ras oleh kepentingan-kepentingan lain. Yang terbaru misalnya, ribut-ribut terkait identitas suku, agama, dan ras dalam Pilkada DKI Jakarta. Ya, persoalan identitas membuat manusia seakan ―rela‖ menyerahkan dirinya pada medan pertempuran (entah kata, entah fisik) untuk menghadapi manusia lain yang berbeda identitas suku, agama, dan rasnya. Alhasil, pernyataan saya tentang api dalam sekam di tubuh kebhinekaan Indonesia kemungkinan besar benar. Lalu apa itu yang saya maksud sebagai api dalam sekam? Ia adalah perasaan superior dalam diri kebanyakan orang tentang suku, ras, dan agamanya sendiri. Sesuatu yang jujur tidak saya miliki, apalagi setelah saya merantau selama 7 tahun. Betapa saya cemburu ketika mendengar orang lain bisa berkata ―Saya Jawa!‖, ―Saya Batak!‖, ―Saya Bugis!‖ dan sebagainya dengan yakin. Sejak dari darah, kesukuan saya sudah tidak murni. Ayah Tidore. Mama Palembang, Poso, dan Gorontalo. Saya lahir di Palu yang mayoritas sukunya adalah Kaili. Tanpa sempat belajar banyak tentang tanah kelahiran, saya sudah merantau ke pulau Jawa. Jika perasaan superior tentang suku hadir karena rasa memiliki yang absolut, maka sepertinya saya memang pantas untuk tidak memilikinya. Saya merasa saya setengah-setengah. Saya Tidore, Palembang, Gorontalo, dan Poso tersebab darah, meski bahkan tidak pernah ke Tidore, Palembang, dan Gorontalo. Saya tidak pernah menjadi Kaili, tapi lahir di Palu dan tetap merasa memiliki ikatan emosional, meski tidak terlalu kuat, dengan tanah kelahiran saya itu. Saya merasa saya Jawa sebab belajar banyak darinya meski tidak pernah menjadi Jawa. Ada sentimentalia tersendiri di dalam diri saya terkait keadaan ini. Terlebih lagi jika menjadi bagian dari acara yang meminta saya untuk menampilkan pertunjukan yang bisa mewakili identitas kesukuan. Saya bahkan pernah menangis karena tidak bisa melakukannya. Saya menangis karena jadi ingat pernyataan-pernyataan sinis tentang anak muda yang telah melupakan akar budayanya. Pernyataan yang muncul karena mereka dipandang tak acuh pada tradisinya dimana tradisi kerap kali diasosiasikan dengan peninggalan budaya (baju adat, misalnya) dan kesenian tradisional (seperti tari-tarian dan nyanyi-nyanyian tradisional). Jujur saja, saya juga ingin berkata dengan lantang mengenai identitas kesukuan saya, jika perlu lewat pertunjukan kesenian. Sayangnya, saya tidak pernah bisa melakukannya. Hal yang sama juga berlaku dalam soal agama. Keyakinan bahwa Islam adalah agama terbaik seperti yang selama ini diajarkan oleh orang-orang terdekat saya sempat goyah. Alasannya, saya yang kebetulan belajar di sebuah universitas swasta Katolik jadi paham bahwa ajaran agama lain juga penuh cinta kasih seperti ajaran agama saya. Jika dengan ajaran Katolik saja ajaran Islam sudah sama baiknya, tidak menutup kemungkinan begitu pula dengan ajaran
agama-agama yang lain. Saya bahkan sering tertawa sendiri mengingat peristiwa masa kecil yang diceritakan di awal esai ini. Saya tak lagi takut berbagi makanan dan minuman dengan teman-teman yang Kristen. Saya yakin Tuhan tidak mungkin marah karena berbagi makanan dengan mereka. Apalagi sebab Tuhan yang Maha Mengetahui pastilah tahu bahwa saya sering teringat kepadaNya saat melihat sahabat-sahabat saya itu khusyuk berdoa sebelum menyantap makanan. Boleh jadi, saya tidak sendiri. Ada beberapa orang yang seperti saya. Yang setengahsetengah. Yang merasa memiliki tak hanya satu suku, agama, dan ras tertentu, tapi nyatanya tidak pernah benar-benar memiliki. Saya mengibaratkan keadaan ini dengan keadaan memiliki terlalu banyak rumah yang tak satupun dikenali dengan baik jalan pulang menuju mereka. Tapi mungkin memang ada kelompok yang ditakdirkan untuk tidak pulang ke salah satu rumah. Jadi orang-orang yang terus berjalan untuk menemukan rumah-rumah baru, untuk mengidentifikasikan diri dengan suku, agama, dan ras yang lain tanpa pernah benar-benar menjadi salah satunya. Sebetapa melelahkannya perjalanan itu. Jika saya merasakan sentimentalia dan kegundahan, bisa jadi beberapa orang seperti saya juga merasakan hal yang sama. Tapi ada yang selalu berhasil menenangkan sentimentalia dan kegundahan saya. Ia adalah keyakinan bahwa identitas yang kabur ini justru membuat saya tidak akan mau menghabiskan waktu untuk menghancurkan yang-lain karena persoalan identitas. Identitas yang kabur memang membuat saya tak bisa menari dan bernyanyi tradisional demi menunjukan (apa yang dinamakan orang) kebanggaan akan akar budaya bangsa. Namun, setidaknya identitas yang kabur ini membuat saya turut dalam menciptakan perdamaian Indonesia sebab merasa tidak butuh untuk ribut karena perkara identitas. Keadaan saya merupakan akumulasi dari pengalaman subjektif sebagai manusia. Jelas, tidak semua manusia memiliki pengalaman yang sama dengan saya. Sebagai sesuatu yang sudah dikondisikan bertahun-tahun, perasaan superior akan identitas suku, agama, dan ras masingmasing pastilah tertanam jauh di alam bawah sadar banyak manusia. Ia tidak bisa begitu saja hilang dan memang tidak ada yang mengharuskannya untuk hilang. Menurut saya yang paling mungkin dilakukan adalah mencari kawan bagi perasaan superior itu. Opsi yang saya ajukan adalah kerendahan hati untuk menerima yang-lain. Sebab, pada akhirnya, berpikir bahwa diri sendiri itu unggul itu tak masalah selama tetap memberi ruang dalam diri bagi kerendahan hati.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
Sekuntum Puisi untuk Indonesia Oleh: RESPATI WASESA AFFANDI - IISIP
Prol og: Esai ini sekadar menceritakan gambaran sederhana kehidupan pengamen-pengamen kecil di sebuah kota metropolitan, di dekat Ibu Kota Negara. Juga tentang nilai-nilai kehidupan dan semangat mereka untuk menjaga kebersamaan dalam menghargai perbedaan. Mereka sangat menginspirasi. Bagi saya, sekelumit cerita ini perlu dikabarkan: Indonesia mesti sanggup menumbuhkan putik dan memekarkan bunga bangsa meski di tempat paling gersang, bernama jalanan.
Suatu Siang di Pinggir Kalimalang Wajah Riski (10) nampak semringah keluar dari Saung Kalimalang. Ia girang karena berhasil menyelesaikan sebuah karya puisi. ―Malam Menjelang Pagi‖, begitu judul yang dia tulis. Kemudian menyusul Khaidil (11), Wahyu (13) dan Fatimah (12). Siang itu saya bertugas mendampingi beberapa anak jalanan menulis puisi dengan tema religi. Puisi mereka nantinya diterbitkan di salah satu media lokal di Bekasi, di rubrik Sastra Kalimalang. ―Bang, Jenong tidak bisa menulis,‖ ucap Riski pada saya. Iya, betul. Satu dari teman mereka ada yang tidak bisa menulis dan membaca. Jenong (20) namanya. Ia malah paling dewasa di antara teman-temannya, kira-kira sepantaran saya. Beberapa kali dia mengayunkan tangan ke pelipis, telapak kusam itu mengusap keringat. Saya paham. ―Riski, coba kamu bantu Jenong. Jenong yang mengeja, kamu yang menuliskannya.‖ Mata kami saling bertatapan. Mengapa yang susah semakin susah/yang mapan semakin mapan/aku ingin semua manusia sama di hadapanMu, Tuhan. Jenong akhirnya bisa juga menyelesaikan sebuah puisi. Itulah nukilannya. Kemudian saya lanjutkan membaca puisi Fatimah, ―….kutulis puisi ini hanya untukMu, Tuhan/ karena pena
ini digerakkan olehMu juga… Puisi Wahyu seolah melengkapi, ―…susah payah kami lalui bersama, suka duka kami hadapi bersama, kebersamaan menguatkan kami. Terima kasih, Tuhan...‖ Saya kagum pada mereka, terutama karena ketulusan dan kepolosan dalam mengungkapkan kecintaan terhadap Tuhan dan rasa kemanusiaan serta kesetia-kawanannya yang tinggi. Mereka menulis sambil mondar-mandir tidak karuan. Ada yang bertelanjang dada dan juga beberapa dari mereka keluar saung kemudian nyemplung ke kali. Saking lincahnya pula mereka kadang ada yang tertampar buku karena memang digantungkan dengan menggunakan tali dan jepitan dari atap saung. Hujan buku ini mengingatkan kami agar tidak sombong akan ilmu. Tak terasa hari petang, matahari pun perlahan turun. Anak-anak jalanan yang pulang dari mengamen semakin banyak berdatangan. Kami pun duduk di bantaran (sungai) Kalimalang. Kalau sudah datang apalagi berkumpul, pasti mereka ribut dan cerewet, tapi saya malah menikmati. Mereka juga ternyata pintar menghibur diri dan orang lain. Mereka terlihat ramah, terasa sopan mengucapkan salam.
Dari Mimpi ke Puisi Perkenalan saya dengan anak jalanan bermula dari Ane Matahari, seorang seniman dan tokoh musikalisasi puisi. Setahun yang lalu, pria berusia 40 tahunan ini mengutarakan keinginannya untuk mendirikan perpustakaan di pinggir Kalimalang, dekat Kampus Universitas Islam ‗45‘. Saya sempat ragu, sebab ia terbiasa hidup di jalanan dan tak pernah tertarik dengan buku. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang, barulah saya sadar setelah mengetahuinya. Ane Matahari ternyata pernah belajar di Institut Kesenian Jakarta dan kemudian dengan penuh kesadaran memilih turun ke jalan. Dia tak mau berdiam diri. Berkat keuletan serta bimbingannya, anak-anak jalanan berhasil menyabet sederet prestasi dan menelurkan karya berupa album musikalisasi puisi. Bahkan, beberapa orang anak jalanan itu sudah mau kembali ke rumah tanpa rasa minder. Menikmati kehidupan, layaknya anak-anak seusia mereka. ―Saya fokus kepada persoalan mentalitas dan moralitas anak-anak. Kadangkala, orangtua mereka tanpa sadar melakukan perbuatan tidak baik tersebab himpitan permasalahan rumah tangga. Kalau sudah memiliki landasan moral, mereka akan bisa menyadarkan keluarga dan lingkungan sekitar. Saya terus menggali potensi mereka, terutama melalui puisi dan musik. Materi inilah yang dijadikan bahan untuk edukasi kreatif bagi pertumbuhan rohani.. Ini art therapy dan perpustakaan adalah pemantiknya,‖ begitu ungkap Ane suatu kali.
Semua orang bebas bermimpi. Perpustakaan di bantaran Kalimalang berdiri gagah meski terbuat sekadar dari rakitan bambu. Buku perpustakaan tersebut sumbangan masyarakat. Buku apa saja. Mimpi kami dengan pemuda lain akhirnya bisa terwujud. Sejak itu, anak-anak jalanan yang biasa mandi dan main di Kalimalang bernaung di saung. Mereka mulai gemar membaca buku, majalah, komik, dan buku pengetahuan lainnya sambil tiduran. Ada juga yang hanya memainkan gitar kecil, sementara matanya menerawang ke perempatan lampu merah yang tidak begitu jauh jaraknya dari saung. Saya sering mengamati mereka diam-diam. Kadang pura-pura sibuk menatap layar laptop sembari mencuri pandang saat mereka asyik duduk dan membaca di saung. Bila seorang anak membaca, yang lain akan ikut membaca. Namun, mereka tak semua bisa karena sebagian mereka memang tidak mengenyam bangku sekolah. Kekurangan tersebut justru menjadi kelebihan. Satu di antara mereka, yang bisa membaca, biasanya berlagak ingin menceritakan isi buku pada teman lainnya. Ceritanya dibesar-besarkan. Nah, di sinilah, yang tidak bisa membaca, penasaran dan mendesak si pencerita mengajari membaca. Proses itu berjalan dari minggu ke bulan hingga akhirnya mereka pun satu persatu berangsur bisa.Sangat alamiah. Kami menyebutnya Perpustakaan Pinggir Kali atau Saung Kalimalang karena memang bukan perpustakaan laiknya di kampus ataupun sekolah-sekolah. Ini hanya tempat, bagaikan kata di dalam pantun, ―Kalau ada sumur di ladang, bolehlah kami menumpang…‖ Untuk itulah, kami mesti memberi: berbuat sesuatu supaya bermanfaat bagi masyarakat. Hajat dan hak orang banyak, termasuk milik mereka yang papa. Saung inilah yang akhirnya mengantarkan saya menjadi pengais kata-kata. Sebuah media lokal menawari dan memercayai kami menggarap serta mengisi satu halaman penuh koran setiap minggunya sebagai ruang ekspresi budaya. Halaman itu bernama Sastra Kalimalang. Dari situ, kami kerap mengajak anak jalanan, tukang ojek, anggota satpam, PSK, napi atau pun pedagang asongan dan pedagang kaki lima agar ikut terlibat menuliskan puisi-puisi bagi negeri tercinta. Dari merekalah saya menemukan rupa kata yang tidak hanya sekadar kata, tapi makna menubuh di dalam-Nya. Mengeja puisi, membaca negeri Apakah Tuhan adalah Ibu?/ atau Tuhan adalah Ayah?/ katanya Tuhan itu indah/tetapi, mengapa orang berperang karena Tuhan?/ jangan-jangan Tuhan kesepian/ Ia tak berayah, juga tak beribu/ Ia terus mengalir dalam darah di tubuh kita/ Tuhan itu dekat sekali. (1) Tulisan di atas ialah penggalan puisi ―Yang Maha Indah‖ karya Khaidil dan telah dimuat di halaman Sastra Kalimalang, Radar Bekasi (Jum‘at: 27/1). Bocah berbadan kurus dan berambut pirang ini biasa mengamen di lampu merah tepatnya di perempatan Jalan Cut
Mutia-Chairil Anwar Kota Bekasi. Ketika membaca secara seksama satu persatu karya mereka di rumah, saya amat menikmatinya. Wajah mereka membayang ketika saya menuliskannya kembali. Mereka selalu jadi ingatan, dan malah berlaga dengan kekerapan insiden tawuran antarpelajar maupun tindakan anarkis mahasiswa di Bekasi. Sepintas, tergambar pula sebaya mereka di seantero pelosok negeri yang tidak sekolah: mereka belum dilunasi janji kemerdekaan bernama pencerdasan. Dari media massa pernah diberitakan bahwa setiap tahun ada sekitar 880 ribu anak bangsa berpotensi buta aksara. Tapi, anak jalanan di hadapan saya ini, meski tak sekolah, bukanlah generasi pendendam. Mereka bukan pembenci Indonesia. Kalau datang ke Perpustakaan Pinggir Kali, kita akan melihat bendera merah putih lusuh berukuran kecil terpasang rapi di dinding bambu: itu pemberian mereka. Sebuah rasa dan sikap nasionalisme itu sendiri. Bisa jadi ada perasaan mereka ingin mengibarkan Sang Saka seperti anak-anak sekolah mengibarkannya di hari Senin, meski tanpa upacara. Berarti mereka menaruh harapan besar pada bangsa ini. Kadang-kadang saya malah iri melihat mereka begitu ceria berenang di kali, naik ke atas untuk memainkan ukulele, bongol dan kecrek, atau sibuk menyiram pohon yang mereka tanam di bantaran kali.—hal yang tentu tidak pernah dinikmati anak sekolahan. Pengetahuan yang mereka dapatkan memang bukan melalui paparan teori dan hafalan buku-buku. Tapi, bukankah ilmu juga berangkat dari kenyataan hidup? Di jalan raya, ketika orang menciptakan ruang privasi dalam kendaraan masing-masing, sebaliknya, mereka kian paham makna kebersamaan. Mereka makin menghargai perbedaan: ternyata setiap orang mempunyai hak mengapresiasi atau tidak terhadap ekspresi mereka. Gambaran itu menjadi semakin jernih ketika saya menyaksikan seorang anak jalanan tengah memakan mie instan di samping Saung. Dua orang temannya menghampiri kemudian mengatakan ingin ikut makan karena lapar dan hasil mengamen belum mencukupi. Tanpa muka cemberut, anak itu membiarkan semangkuk mie instannya dimakan bertiga. Ini tentu bukan persoalan ada atau tidaknya uang, tapi persoalan paham atau tidaknya ketika menghadapi rasa lapar. Mereka ternyata mengerti. Barangkali kehidupan memang telah mengajarkan jalannya sendiri-sendiri bagi manusia. Begitupun saya dan anak jalanan. Sikap mereka memperjelas betapa pentingnya merawat kebersamaan dan menghargai keberanekaragaman. Puisi-puisi mereka pun akhirnya selalu mengingatkan saya pada tragedi kemanusiaan di Bekasi—tragedi yang meruntuhkan bangunan toleransi. Di Ciketing, serombongan orang menyerbu umat yang tengah menunaikan ibadah. Hal serupa berulang pada penyegelan gereja
jamaah Filadelfia di Tambun Utara. Di Kranji, satu orang tewas dibakar massa dalam insiden bentrokan Betawi-Ambon: melihat video amatir yang merekam kejadian ini, setiap manusia waras pasti tersinggung rasa kemanusiaannya. Benar kata Anies Baswedan, bangsa ini harus tegas, berhenti bicara minoritas dan mayoritas dalam urusan kekerasan. Negara mesti bertanggung jawab melindungi warganya tanpa pandang siapa dan berapa mereka (2). Kekerasan antarkelompok masyarakat di negeri ini sesungguhnya telah merusak tenunan kebangsaan kita. Dari tahun ke tahun tali kebersamaan itu semakin rantas, padahal pendahulu kita sudah merajutnya susah payah. Permusuhan dengan membawa panji agama seolah-olah membenarkan bahwa ‗aku‘ boleh menundukkan ‗yang lain‘ di luar aku. Bukankah kemerdekaan ini terselenggara atas berkat rahmat-Nya dan didorong oleh keinginan luhur untuk hidup bersama? Saya percaya, mencintai Tuhan dan sesama manusia adalah juga ikhtiar menjadi Indonesia. Persatuan yang diajarkan Bapak Bangsa bukanlah ‗satu‘ dalam hitungan angka. Satu, jika boleh disebut, mungkin seperti yang pernah diucapkan Uskup Soegijapranata: kemanusiaan itu satu (3). Kata kemerdekaan, perikemanusiaan dan perikeadilan dalam Pembukaan UUD 1945 menggambarkan dengan gamblang betapa ‗kita‘ sebenarnya sangat nasionalis, tapi amat humanis. Rasa cinta itulah yang akan merawat Indonesia tetap ada di dalam hati setiap warganya.
Begitulah, dari akar jalanan saya telah dituntun melihat batang tubuh Indonesia dengan dahan, ranting, cabang dan daunnya yang terus meruyak. Pohon itu tetap tegap berdiri gagah dan selalu menumbuhkan putik serta memekarkan kuntum-kuntum bunga bangsa: sementara, angin terlalu kencang dan hujan teramat deras.
Catatan 1. Puisi-puisi tersebut telah dimuat di Harian Radar Bekasi, halaman 6, Rubrik Sastra Kalimalang, Jumat (27/1/12). Sastra Kalimalang terbit setiap Jumat dan dikelola oleh Komunitas Sastra Kalimalang yang berkegiatan di Saung Kalimalang. 2. Kalimat Anies Baswedan di dalam opininya yang berjudul ―Tenun Kebangsaan..‖ dan dimuat di Harian Kompas, 11 September 2012. 3. Kalimat yang diucapkan Soegijapranata dalam film Soegija garapan Garin Nugroho.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
JIKA AKU MENJADI MENTERI PENDIDIKAN oleh: GIGAY CITTA ACIKGENC – UNIVERSITAS INDONESIA
Ringkasan Tujuan akhir pendidikan adalah mencetak generasi yang mampu menghadapi tantangan zaman belum tercapai. Jam sekolah yang tinggi dan materi yang berjejal membuat pelajar ogah – ogahan sekolah. Sistem evaluasi pilihan ganda tidak memberi insentif bagi peserta didik untuk cinta membaca. Berangkat dari pengalaman mencicipi pendidikan di tanah eropa, ide – ide segar lahir dan cita – cita baru terpatri di nurani. Menepis setiap kepentingan politis demi pendidikan yang dapat mengubah sendi – sendi kehidupan adalah misi utama jika saya kelak menyandang titel Menteri Pendidikan.
Program pertukaran pelajar yang pernah saya ikuti dua tahun silam meninggalkan jejak abadi di bilik memori. Hari – hari di sekolah yang saya jalani selama satu tahun ajaran membuka pintu kesempatan untuk saya merasakan perbedaan sistem pendidikan di Italia dan di Indonesia. Pengalaman sekali seumur hidup ini sukses membuat saya mencetuskan sebuah cita – cita baru: Menteri Pendidikan Republik Indonesia. Dan setelah saya pulang ke tanah air, imajinasi posisi panglima tertinggi di sektor pendidikan formal tersebut semakin tumbuh di benak saya.
Sekolah yang Menyenangkan Tatkala saya menjadi murid di sebuah SMA negeri di kota Roma, ada percik antusiasme yang membuncah sebelum saya berangkat ke sekolah. Terpaan angin dingin bumi eropa setiap pagi ketika sedang menunggu bus tidak menyurutkan semangat saya untuk hadir di ruang kelas. Kemampuan bahasa Italia saya yang belum seberapa juga tidak menciutkan nyali saya untuk mengikuti ujian lisan maupun tulis yang sebenarnya tidak wajib mengingat sekembalinya saya ke Indonesia saya tetap akan mengulang kelas tiga SMA. Akan tetapi, mata pelajaran yang menarik serta sistem evaluasi yang bebas dari model pilihan ganda mengaburkan kendala bahasa dan cuaca yang menghadang saya.
Sesuai dengan usia saya yang saat itu berumur 17 tahun, saya ditempatkan di kelas IV Liceo Scientifico Stanislao Cannizzaro. Kelas IV disana setara dengan kelas 2 SMA di negara kita. Dan seperti yang tertulis di nama sekolah saya, saya masuk di sekolah Ilmu Alam. Yang unik, selain belajar Matematika, Fisika, dan Kimia, alokasi jam Sastra Italia, Sastra Latin, Sastra Inggris, Filsafat, Sejarah, dan Sejarah Seni tidak dianak-tirikan. Tak hanya kemampuan berhitung yang diasah, namun kami dilatih pula untuk mengenal keping – keping masa lalu yang acap kali di Indonesia tidak diselami lebih dalam kecuali jika Anda mahasiswa Ilmu Sejarah. Selama satu tahun tersebut, jendela wawasan saya diperlebar dan keran pengetahuan yang terbuka dari berbagai disiplin ilmu membanjiri isi kepala saya. Saya memaknai kutipan populer Carpe Diem di jam Literatur Latin. Carpe Diem yang ditulis oleh Horace – yang artinya adalah Seize the Day – mengingatkan saya untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan hidup yang saya dapat hari ini. Lalu, di sesi Literatur Italia saya mengapresiasi fungsi moral dongeng Pinocchio dan Cinderella serta menganalisis faktor internal novel abad 17 karya Robinson Crusoe di jam Literatur Inggris. Saya juga membedah lukisan School of Athens karya Michelangelo dan mencoba memahami filsafat politik dari pemikiran filsuf asal Britania Raya, John Locke. Saya tiba di Italia dengan kemampuan berbahasa sebatas ‗Halo! Nama saya Gea. Saya datang dari Indonesia‘. Tiga bulan awal saya benar – benar merasa seperti alien. Ketika berada di kelas, menahan kantuk adalah kegiatan utama karena saya sama sekali tidak menangkap materi pelajaran atau obrolan yang sedang mereka bicarakan. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, saya membuktikan sendiri keajaiban otak manusia dalam beradaptasi dengan bahasa baru. Di bulan Desember 2011, saya mulai bisa berkomunikasi dua arah dan memberanikan diri untuk mengikuti ujian Literatur Italia dengan sub topik Il Purgatorio karya Dante. Sepanjang satu tahun ajaran 2010/2011 itu, saya tidak pernah bertemu ujian dengan soal pilihan ganda. Yang saya hadapi adalah selembar kertas folio kosong. Saya tidak pernah menyilang jawaban, saya merangkai jawaban. Apa yang saya dan teman – teman pahami adalah yang akan kami tuangkan dalam bentuk tulisan. Beruntung sekali para guru sangat menghargai partisipasi saya setiap kali ada ujian. Mereka menilai ujian saya berdasarkan perkembangan tata bahasa Italia saya. Apresiasi ini pula yang membuat saya berangkat ke sekolah dengan perasaan senang, bukan paksaan atau pun sebuah keharusan.
Letup Semangat yang Lenyap
Perbedaan kontras sangat terasa ketika saya kembali dan mengulang kelas 3. Jam sekolah yang tinggi, materi yang padat dan diujikan dalam bentuk Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan meredupkan percik api semangat yang dulu pernah saya rasakan. Saya kehilangan waktu luang dan kebebasan melukiskan pikiran dalam bentuk tulisan. Di Italia, saya hanya berada di sekolah dari pukul 8.30 sampai pukul 13.30. Dan untuk lulus SMA, murid – murid disana diperbolehkan menulis apa saja dalam bentuk karya ilmiah yang nantinya akan dipresentasikan. Host-brother saya kala itu menulis tentang badut dan kaitannya dengan karya pelukis Picasso. Selain karya ilmiah yang bisa dipersiapkan di rumah, ujian di dalam ruangan (sit-in test) juga diselenggarakan oleh pemerintah. Teman saya menulis sebuah esai dengan tema you are what you eat (Kamu adalah apa yang kamu makan). Bukan berlebihan jika saya mengatakan masyarakat kita hari ini adalah produk kurikulum nasional. Pendidikan adalah salah satu faktor pembentuk karakter umum suatu masyarakat. Meskipun ada perubahan, kurikulum dulu dan kini sebetulnya memiliki napas yang sama: materi pelajaran yang membeludak, jam sekolah yang tinggi, sistem evaluasi model pilihan ganda, dan ujian yang terstandardisasi (standarised-test). Kalau hari ini masih banyak orang yang tidak malu melakukan tindak pidana korupsi, bisa jadi karena pelaksanaan EBTA/EBTANAS sampai yang namanya diubah menjadi Ujian Nasional tidak dianggap sebagai tempat bersemainya benih – benih generasi koruptif. Pelaksanaan Ujian Nasional yang rentan kecurangan adalah rahasia umum. Banyak murid yang saking takutnya atau saking malasnya akhirnya membeli soal dari pihak yang tak bertanggungjawab. Karena mereka dituntut untuk memenuhi nilai minimum kelulusan, tidak semuanya mampu menomorsatukan kejujuran. Soal pilihan ganda yang diujikan memudahkan para murid untuk menghalalkan praktik sontek – menyontek. Model evaluasi yang melihat nilai sebagai indikator kelulusan dan keberhasilan siswa memproduksi peserta didik yang belajar dengan berorientasi pada nilai (score-oriented), bukan berorientasi pada spirit pembelajar sejati (learning-oriented) yang seharusnya menjadi landasan setiap orang yang pernah mengecap pendidikan formal. Karena sifatnya berorientasi pada nilai, alhasil pola belajar – mengajar di kelas mau tidak mau berfokus pada bagaimana nanti kami (baca: siswa) bisa lulus Ujian Nasional. Akibatnya, yang kami pelajari di sekolah adalah skill menjawab soal dengan cepat dan tepat. Dan yang dikejar oleh para tenaga pengajar, kepala sekolah, dan Menteri Pendidikan adalah kenaikan angka statistik kelulusan.
Introspeksi Diri
Parameter keberhasilan pendidikan nasional yang diukur oleh nilai batas minimum yang mampu dilewati siswa adalah potret kesuksesan yang semu. Buktinya semakin banyak orang yang bisa sekolah, berita tawuran antarpelajar, demo mahasiswa yang berujung kericuhan masih santer terdengar. Apa pasal ini bisa terjadi? Di kelas tidak ada cukup ruang untuk melatih cara berkomunikasi yang santun melalui media diskusi tukar opini. Dua jam mata pelajaran tidak cukup efektif untuk mempertajam radar berimajinasi dan bereksplorasi. Selama 12 tahun kami dijejali soal – soal yang tidak akan kami hadapi di kehidupan nyata. Kami tidak dibekali cara berpikir kritis karena kami tidak dibiasakan menulis. Dari ulangan harian sampai Ujian Nasional yang berbentuk pilihan ganda tidak mendorong kami untuk mencintai riset pustaka alias merangsang kami untuk gemar membaca. Sehingga, akhirnya tidak terbentuk pola pikir yang kreatif dan berpikiran terbuka (open-minded) dalam menyelesaikan
masalah.
Pengenalan
pentingnya
leadership
(kepemimpinan)
dan
entrepreneurship (kewirausahaan) ? Di sekolah – sekolah swasta mungkin dua hal ini diselipkan. Akan tetapi, di sekolah negeri yang notabene untuk rakyat semua kalangan? Belum tentu. Kita perlu berbenah. Sebagai lembaga negara yang memegang tongkat kekuasaan, Kementrian Pendidikan Nasional harus tahu diri. Kita tidak boleh mengabaikan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2012 yang menyatakan bahwa jumlah pengangguran secara nasional pada Februari 2012 mencapai 7,6 juta orang dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2012 sebesar 6,32 persen. (sumber: http://www.pikiranrakyat.com/node/203205 Selasa, 25 September 2012, 11.56 ). Alokasi dana APBN sebesar 20% jangan lagi digunakan untuk proyek yang tidak berdampak langsung terhadap kualitas peserta didik. Sistem perekrutan guru dan lulusan bergelar sarjana pendidikan wajib ditinjau ulang. Belajar dari negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia, Finlandia, guru – guru disana merupakan lulusan dengan nilai yang menduduki peringkat 1 sampai 5. Dengan model evaluasi berupa esai tentu dibutuhkan kompetensi sumber daya manusia yang lebih mumpuni agar tulisan yang dibuat benar – benar dapat melihat sejauh mana pemahaman siswa.
Jika Aku Menjadi Menteri Pendidikan Saya ingin merampingkan materi yang terlalu detil dan memotong jam sekolah yang memakan waktu lama supaya percik api antusiasme yang pernah saya rasakan juga hadir di setiap individu. Saya ingin sedari dini warisan budaya seperti batik, wayang, upacara sakral, kesenian daerah diperkenalkan di sekolah. Setidaknya jika ada yang mengklaim, kita tidak hanya berteriak saling menyalahkan tetapi nyatanya kita tidak meruwat budaya Indonesia.
Saya bermimpi profesi guru kembali kepada hakikatnya sebagai pendidik, bukan sekadar pengajar yang hanya mempersiapkan siswa untuk lulus ujian. Saya ingin nadi budaya baca – tulis dan rasa ingin tahu selalu berdenyut di pelosok pedesaan hingga jantung perkotaan. Saya tidak mau institusi modern mematikan potensi berpikir kritis anak – anak hanya karena tidak ada yang memicu kebiasaan berargumentasi di ruang kelas. Harapan saya pendidikan di tanah air tidak lagi menjadi ajang transfer ilmu yang menjadikan murid adalah cetak biru sang guru. Peserta didik harus mampu mentransformasi ilmu pengetahuan sehingga tujuan akhir pendidikan untuk mencetak generasi yang mampu menjawab tantangan zaman dapat tercapai. Reformasi kurikulum hanya dapat diwujudkan oleh orang nomor satu di jajaran aparatur Kementrian Pendidikan Nasional. Saya belum tahu bagaimana caranya mecuri atensi presiden agar kelak beliau bersedia mengamanahi saya posisi yang menjadi poros utama penyelenggaraan pendidikan formal oleh negara. Akan tetapi, paling tidak mulai dari hari ini saya telah menghimpun gagasan perubahan yang layak diperjuangkan. Dengan titel Ibu Menteri, saya juga ingin mengajak masyarakat untuk menghapus citra ‗Anak IPA lebih pintar dari anak IPS‘. Nosi ‗Setiap Anak itu Unik‘ harus disebarluaskan. Kelebihan di bidang olahraga, musik, seni rupa, jangan lagi diremehkan. Orang tua harus diberi pencerahan bahwa nilai di atas kertas bukan ukuran absolut keberhasilan anaknya. Ujian Nasional digantikan oleh tugas akhir berupa proyek sosial atau karya ilmiah agar siswa menyadari bahwa kesuksesan yang nyata tidak mendewakan angka semata. Namun, berawal dari ketekunan dan kerja keras, bukan dari tak-tik menjawab soal pilihan ganda dengan tangkas. Imaji orang yang terpelajar dinilai berhasil karena pencapaiannya dalam bentuk materi; kaya raya, rumah dua, mobil merk ternama, harus pelan – pelan digeser menjadi imaji individu yang keberadaannya membawa manfaat sebanyak – sebanyaknya bagi sekitar.
Tidak ada Komentar
Tempo Institute
14 Januari 2013
Naskah 30 Besar KEM 2012
Permalink
SURAT UNTUK ABDURRAHMAN WAHID ~ Dari Seorang Anak Kampung tentang Gejolak Tanah Kelahiran ~ oleh: FERRY RACHMADANI SAPUTRA - UNIVERSITAS GADJAH MADA
Ringkasan:
Madura sedang krisis. Tragedi 26 Agustus 2012 telah menunjukkan betapa tak mudahnya merawat toleransi dan keberagam(a)an. Darah tumpah di tanah Sampang. Di saat momen itu masih menyisakan pilu, terdengar sayup-sayup nama ―Gus Dur‖ ke permukaan. Gus Dur mulai dirindukan saat gejolak itu melibatkan sekelompok masyarakat yang mayoritas di antaranya adalah Nahdlatul Ulama. Dalam esai ini, seorang anak kampung dari Madura mengungkapkan kegelisahannya kepada Gus Dur secara imajiner. Surat ini memang tak berarti apa-apa untuk menyelesaikan kasus itu, tapi setidak-tidaknya ia mencerminkan satu hal: bahwa masih ada pemuda yang peduli pada negerinya, pada tanah kelahirannya, pemuda yang benar-benar ingin berikhtiar—meski tak seberapa—untuk suatu perubahan penting di masa mendatang.
Gus Dur, percakapan kita hari ini adalah percakapan dua hati yang berbeda. Kau adalah seorang pejuang, pemikir, pemimpin, yang setiap hari merenungkan kebersatuan negeri ini. Sedangkan aku bukanlah siapa-siapa. Aku bukanlah seorang pemikir sepertimu. Aku hanyalah seorang anak kampung yang ingin berbagi kegelisahanku melihat kondisi keberagaman kita hari ini. Maukah kau sejenak mendengarku, Gus? Aku ingin bercerita dalam sunyi. Keberagaman hari ini terasa berbeda dengan keberagaman saat engkau masih hidup beberapa tahun lalu. Waktu itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ketika aku tahu namamu dari cerita orang-orang kampung. Mungkin kau perlu tahu, Gus, aku lahir di tanah Madura, tempat di mana Nahdlatul Ulama (NU) menjadi urat nadi kami. Dulu, ketika engkau masih hidup sehat, aku selalu melihat betapa orang-orang kampungku menaruh kagum padamu. Engkau menjadi panutan di saat mereka sedang rapuh. Kau layaknya ikon bagi sekian umatmu di sini. *** Sekarang, Gus, situasi telah berubah. Jika kau hidup sekarang, semakin jarang kau temui masyarakat yang meniru jejak perjuanganmu. Entahlah, mungkin mereka terlampau merindukanmu, atau mereka tak lagi menemukan sosok lain penggantimu. Di sana sini, pergolakan semakin marak di kampungku. Kami hidup di tengah-tengah masyarakat yang begitu sentimen pada perbedaan, masyarakat yang rentan dibakar emosi hanya karena persoalan ideologi. Di sini, Gus, kau menyaksikan betapa gagasanmu tentang toleransi ternyata masih menyisakan persoalan tersendiri. Dan, hari ini, Gus, lebih dari seribu hari setelah engkau pergi, seharusnya kami bisa melihat kondisi keberagaman dengan lebih baik. Kondisi yang selalu engkau perjuangkan hingga di
sisa-sisa akhir hidupmu. Tapi, apa lacur, sepertinya kami harus memendam mimpi itu dalamdalam. *** Di sini, di Sampang, salah satu daerah di pulau Madura, angkara murka dan kesewenangan masih kuat merajalela. Padahal, di tempat ini, sebagaimana tempat-tempat lain di Madura, NU selalu menjadi bagian penting dalam diri mereka, menjadi benteng terakhir saat toleransi tak menemukan jalan keluarnya. Tapi orang-orang tak hirau, Gus. Di Sampang hari ini, di wilayah yang katanya memiliki puluhan pesantren itu, ratusan orang dibunuh, puluhan dikucilkan, dan sekian ratus lainnya terluka. Mereka dibunuh karena mereka menolak mengakui sebuah ideologi yang berbeda dari ideologi masyarakat umumnya. Mereka dibunuh karena mereka berbeda. Gus… kau tahu, siapa yang peduli pada mereka, pada orang-orang minoritas itu? Tidak ada. Tidak ada, Gus. Ada sekian banyak orang yang memberi rasa simpati, sekian ratus orang yang berbicara di forum-forum, tapi tak ada satupun dari mereka yang mampu menggerakkan emosi kita untuk benar-benar peduli pada mereka. Aku sejujurnya tak tahu, Gus, apakah aku adalah epigonmu, ataukah aku terlampau merindukan sosokmu di tengah kecamuk perbedaan di negeri ini. Yang aku tahu, mereka, orang-orang itu, benar-benar mati, justru karena konflik ideologi yang engkau perangi selama ini. Tapi, Gus, ingin kukabarkan kepadamu bahwa mereka telah banyak terbunuh oleh gerakan yang selama ini engkau pimpin, gerakan yang konon selalu memegang teguh toleransi dan keberagamaan: Nahdlatul Ulama. Ketika darah tumpah di Sampang, hatiku selalu bergemuruh: di manakah NU yang aku kenal waktu kecil? Gus, aku memang pemuda NU. Aku lahir di keluarga dan lingkungan yang sepenuhnya menjunjung NU sebagai ideologi kami. Tapi, aku benar-benar kecewa, Gus. Sampai saat ini, NU seakan buta pada konflik yang jelas-jelas melibatkan nama mereka di sana. Madura sedang krisis, Gus. Madura tak lagi menemukan sandaran figural saat tampuk kepemimpinan yang dulunya engkau pegang sedang berada di ‗entah siapa‘. Aku hanya khawatir, mereka, orang-orang awam yang hanya tahu peristiwa-peristiwa kekerasan semacam itu di stasiun televisi, akan semakin tak peduli pada NU, semakin apatis pada perbedaan, semakin meninggalkan namamu di belakang rumah-rumah mereka. Gus, kau boleh saksikan sendiri. Tepat pada 14 September lalu, di Cirebon, Bogor, Nahdlatul Ulama berkumpul mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) demi cita-cita umat. Sayang, pada Munas itu, hanya kekecewaan yang aku rasakan. Aku kecewa bukan karena NU tak lagi
berbicara tentang negara dan masyarakat, bukan lantaran mereka tak membahas soal air, migrasi, investasi asing, dan sebagainya. Semua ini sudah mereka bahas panjang lebar dalam forum itu. Bukan. Bukan itu yang membuat aku kecewa, Gus. Aku kecewa karena tak satupun dari rekomendasi mereka menawarkan resolusi tegas tentang tragedi berdarah di Sampang. Mereka tak lagi hirau pada semangat inti yang justru engkau perjuangkan selama ini di NU. *** Entahlah, semakin hari, aku semakin merasa (ingin) menjadi Indonesia daripada NU, daripada Madura. Madura tak seramah dahulu. Ideologiku juga tak (lagi) memberiku semangat, seperti semangat yang pernah aku miliki saat kau masih hidup dulu. Dan, aku pun mulai sadar, justru karena Indonesialah, engkau mampu menjadikan NU hingga seperti sekarang ini. Engkau berjuang, bukan karena NU semata, tapi karena Indonesia, karena cita-cita kesatuan dan persatuan negeri ini. Gus, ajarkan kami tentang keindonesiaan itu, tentang semangat menghargai the others, melampaui identitas. Meski aku degil pada sejarah, aku masih mencintai negeri ini, negeri Indonesia. Gus… aku tak tahu berapa banyak lagi yang akan terbunuh besok, di tempat yang sama, atau di kasus-kasus yang berbeda. Aku tak dapat menghitung berapa banyak lagi darah yang tumpah hanya demi sebuah nafsu dan perbedaan. Aku tak tahu lagi, dengan cara apa aku menyelamatkan mereka yang ketakutan dan terkucilkan. Aku tak tahu, dengan cara apa kami bisa mengusir semua konflik berdarah ini. Yang aku tahu, Gus, besok kau tak akan lagi di atas sana. Engkau akan turun dari nirvana, menemui mereka yang sengsara, menasehati mereka yang semena-mena. Yang aku tahu, Gus, engkau akan mengayomi kembali mereka yang minoritas, mereka yang pernah menjadi korban perbedaan negeri ini. Gus Dur… apakah kau mendengar kami di sana? Maukah kau mendengar kami? Anak-anak muda masih membutuhkan semangatmu di sini, Gus, di tengah krisis yang menjadikan perbedaan sebagai ‗perjudian‘ di antara mereka. Madura, 28 Agustus 2012 ***