Budaya Massa /Mass Culture OPINI | 16 June 2010 | 14:39
1512
0
Nihil
Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi sekaligus dikonsumsi secara massal, sehingga industri yang tercipta dari budaya massa ini berorientasi pada penciptaan keuntungan sebesar-besarnya. Budaya massa ini adalah sebagai akibat dari kritik atas budaya tradisional, dimana budaya tradisional ini muncul dan berasal dari masyarakat itu sendiri dan tidak terikat atau tergantung pada media massa. Budaya tradisional itu sendiri terbangun dari proses adaptasi dari interaksi kelas elit masyarakat dalam hal estetika, sangat mengagungkan kesusatraan dan tradisi keilmuan. Sedangkan pada budaya massa, sebagai kritik atas budaya tradisional, merujuk kepada proses pluralisme dan demokrasi yang kental, berusaha untuk menghilangkan kelas-kelas yang mendasarkan dirinya pada budaya modal, borjuasi dan elitisme, dengan mengedepankan kebersamaan dan egalitarianisme. Namun secara negatif, budaya massa juga banyak diartikan sebagai perilaku konsumerisme, kesenangan universal yang bersifat hanya seketika, mudah punah, dan memiliki makna yang dangkal dan tidak bersifat ganda, mengacu kepada pengertian produk budaya yang diciptakan semata-mata untuk pasar. Dengan kata lain dalam budaya massa, orientasi produk adalah trend atau mode yang sedang diminati pasar. Kesamaan atau keseragaman model dan etos adalah corak terpenting dalam kebudayaan massa. Dalam hal ini perilaku yang muncul adalah proses imitasi dan peniruan, dimana proses ini adalah hasil dari kecenderungan manusia untuk melakukan imitasi atas nilai dan bentuk-bentuk yang dipercaya atau dirasakan mempunyai kecocokan. Namun, pada konteks budaya massa, peniruan yang mengarah pada keseragaman ini dibentuk secara terperinci dan sistematis oleh sebuah otoritas politik ekonomi, yang di implementasikan oleh kekuatan komunikasi massa dengan institusi medianya serta kepentingan ekonomis dan ideologis orang-orang yang berada didalamnya. Dalam pembentukan budaya massa ini, komunikasi massa dan segala institusinya memiliki peranan yang sangat signifikan dan efektif dalam kaitannya untuk menajamkan opini dan mempengaruhi perilaku secara massal serta pembentukan homogenitas budaya dalam masyarakat. Melihat kenyataan bagaimana komunikasi massa yang direpresentasikan oleh media massa mengarahkan dan membentuk perilaku khalayak dan menjadikan khalayak sebagai pasar dari produk yang mereka ciptakan, untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan aspek ekonomis dari pemilik media massa ataupun kekuatan lain yang secara politis menarik keuntungan dari hal tersebut. Mursito mengatakan bahwa di hadapan khalayak, media massa memiliki kredibilitas yang tinggi. Masyarakat percaya bahwa apa yang dikemukakan media massa adalah reali-tas yang sepenuhnya berasal dari kebenaran fakta. Dengan perkataan lain, realitas media dianggap representasi fakta. Oleh karena itu media massa telah menjadi “ruang” bagi khalayak, sama kedudukannya dengan ruang kehidupannya sehari-hari (Jurnal Komunikasi Massa, Vol. 1, No. 1, Januari 2008, Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta). Hal ini jika dikaitkan dengan ciri-ciri khalayak budaya massa yang cenderung konsumtif, yang memiliki tujuan untuk kesenangan seketika dan sebagai pengalihan perhatian dari hal-hal yang dianggap beban hidup dan rutinitas, maka menjadi kunci tentang
definisi implementatif daripada budaya massa, dimana definisi ini menganggap bahwa sebuah isi berita atau informasi atau tayangan sebagai komoditas, dan penonton sebagai konsumen, serta bekerja berdasarkan mekanisme pasar. Selera masyarakat didefinisikan sebagai pasar. Konsekuensi dari orientasi ke pasar ini diterima oleh “kebudayaan”, yang dikonsepsikan sebagai budaya massa. Dalam konteks tayangan televisi di Indonesia, yang didominasi oleh televisi swasta atau komersil, orientasi pasar yang dikonsepsikan sebagai budaya massa ini sangat kental dan sangat nyata dilihat dan dirasakan. Hal ini juga dikatakan oleh Veven SP. Wardhana (Veven SP. Wardhana, 1997, Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta) bahwa televisi swasta (komersial) menjadi bagian dari kebudayaan massa. Sebagai bagian dari laku komersial dan budaya massa, maka liku-langkahnya pun sesuai dengan dinamika kapitalisasi, dimana produk yang ditayangkan adalah bertujuan untuk memuaskan sifat konsumerisme khalayak dalam budaya massa ini, memuaskan dahaga kesenangan sesaat dan menjadi alat untuk mengalihkan perhatian dari rutinitas yang dianggap sebagai beban hidup. Susilo (2005:11, Susilo, M. Edy, 2005, Paradoks Sinetron Religius, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 3, Nomor 3, September – Desember 2005, Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UPN “Veteran” Yogyakarta, Yogyakarta.) menulis bahwa televisi merupakan anak kandung dari kapitalisme. Televisi akan melahirkan program yang digemari khalayak, apapun macamnya. Selama tayangan tersebut masih mendatangkan keuntungan melimpah, acara tersebut akan selalu ditayangkan. Namun, bila masyarakat sudah mulai jenuh, tayangan tersebut dengan sendirinya akan ditinggalkan. Begitulah kondisi aktual yang terjadi pada penontondi Indonesia. Penonton kita mudah sekali menyukai program yang sejenis. Dulu ketika program Dunia Lain sukses, program sejenis yang hadir ikut memiliki angka penonton yang tinggi. Begitu juga ketika ada program-program ber-genre religius. Namun setelah itu, sudah bisa dan sangat mudah ditebak, pasar menjadi jenuh. Selangkah kemudian, program ini satu per satu gulung tikar dan diganti dengan program yang lebih menarik minat penonton lainnya. Menurut Veven SP. Wardhana (Wardhana, Veven Sp., 1995, Budaya Massa dan Pergeseran Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta), kisah-kisah nyata yang diangkat ke layar kaca bukanlah menekankan pada realitas atau informasi faktualnya, melainkan lebih pada dramatisasinya, bahkan melodramanya dan itu memang untuk kebutuhan refreshing psikologis penonton. Dalam hal ini, jika dikaitkan dengan budaya massa dan perilaku pasar televisi di Indonesia, maka akan dapat merujuk pada tayangan-tayangan “reality show” yang sedang marak dan menjadi trend pada khalayak penonton di Indonesia. Pengertian dari reality show itu sendiri adalah genre acara televisi yang menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran. Reality show umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi, seperti menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak lazim, memancing reaksi tertentu dari partisipan, dan melalui penyuntingan dan teknik-teknik pasca produksi lainnya. Reality show biasanya menggunakan tema seperti cinta, persaingan, kehidupan sehari-hari seorang selebritis, pencarian bakat, pencarian pasangan hidup, rekayasa jebakan, dan diangkatnya status seseorang dengan diberikan uang banyak, atau perbaikan kondisi barang kepemilikan seperti rumah atau perbaikan mobil (http://id.wikipedia.org/wiki/Reality_show). Tayangan reality show ini pada awalnya mirip dengan dokumentasi news. Hanya saja pada perkembangannya reality show ini bukan berita yang menjadi pokok tayangannya, melainkan keterkaitan emosi penonton dengan aktornya. Dengan kata lain, reality show merupakan kejadian asli tanpa rekayasa. Hanya saja, sebagai
kemasan tontonan maka reality show diracik sedemikian rupa hingga emosi penonton meluap. Perkembangan acara televisi, khususnya reality show tampaknya mampu menggeser fenomena tayangan mistis dan tayangan-tayangan berbau religius. Semua acara yang melibatkan orang biasa (bukan artis), kini dicap sebagai acara reality show. Siapa pun pemerannya asal punya cerita atau kisah yang menyentuh emosi penonton, maka ia layak tonton. Reality show diramu dengan penambahan-penambahan (rekayasa) tertentu agar alur ceritanya menjadi lebih sendu. Contoh dari reality show pada televisi komersil di Indonesia adalah seperti Hari Yang Aneh (ANTV), Bukan Sinetron (Global TV), Snapshot (Metro TV), Katakan Cinta (RCTI), Cinta Monyet (SCTV), Termehek-Mehek (TRANS TV), dan Mata Kamera (TV One).
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. [1] Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal.[1] Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme.[1] Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme.[1] Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori[1]. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak.[1] Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.[1]
[sunting] Etimologi Berdasarkan asau usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern.[1] Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme.[1] Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947.[1] Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.[1]
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir.[2] Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.[2] Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.[2] Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya.[1] Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya.[1] Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.[1]
Saturday, January 24, 2009
Pengertian Post-Modern Posted by guruIT at 6:48 PM Labels: Artikel Bahasa Indonesia Jean-Francois Lyotard (1984) dikenal sebagai tokoh yang pertama kali mengenalkan konsep Postmodernisme dalam filsafat. Istilah postmodern sudah lama dipakai di dunia arsitektur. Posmo menolak ide otonomi aesthetik dari modernis. Kita tidak dapat memisahkan seni dari lingkungan politik dan sosial, dan menolak pemisahan antara seni yang masuk akal dengan budaya populer. Posmo menolak hirarkhi, geneologik, menolak kontinuitas, dan perkembangan. Posmo berupaya mempersentasikan yang tidak dapat dipersentasikan oleh modernisme, demikian Lyotard. Mengapa modernisme tidak dapat mempresentasikan, karena logikanya masih terikat pada logika standart, sedangkan posmo mengembangkan kemampuan kreatif membuat makna baru, menggunakan logika yang tidak standart.
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara bertingkat seseorang akan kehilangan individualitas kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. Menurut Denzin, 1986; Murphy, 1989; Down, 1991; Gergen, 1991 (dalam Hasan Mustafa) bahwa dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan. Berdasarkan pandangan posmodernisme, pengikisan tingkat individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mengurangi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan-nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya. Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dan struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka
tidak menyukai musik “rap” tidak menjadi gaya hidup remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”. Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur pola sosial interaksi yang sedang terjadi dalam sebagian masyarakat.Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya. Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri. Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis. Akhirnya, postmodern bukannya memfokuskan pada inti (core) masyarakat modern, namun teoritisi postmodern mengkhususkan perhatian mereka pada bagian tepi (periphery). Seperti dijelaskan oleh
Rosenau (1992:8) bahwa perihal apa yang telah diambil begitu saja (taken for granted), apa yang telah diabaikan, daerah-daerah resistensi, kealpaan, ketidakrasionalan, ketidaksignifikansian, penindasan, batas garis, klasik, kerahasiaan, ketradisionalan, kesintingan, kesublimasian, penolakan, ketidakesensian, kemarjinalan, keperiferian, ketiadaan, kelemahan, kediaman, kecelakaan, pembubaran, diskualifikasi, penundaan, ketidakikutan. Dari beberapa pendapat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa teoritisi postmodern menawarkan intermediasi dari determinasi, perbedaan (diversity) daripada persatuan (unity), perbedaan daripada sintesis dan kompleksitas daripada simplikasi. Secara lebih umum, Bauman (1992:31) menetapkan kebudayaan postmodern antara lain: pluralistis, berjalan di bawah perubahan yang konstan, kurang dalam segi otoritas yang mengikat secara universal, melibatkan sebuah tingkatan hierarkis, merujuk pada polivalensi tafsiran, didominasi oleh media dan pesan-pesannya, kurang dalam hal kenyataan mutlak karena segala yang ada adalah tanda-tanda, dan didominasi oleh pemirsa. Lebih lanjut Bauman (1992:98) menjelaskan bahwa postmodernitas berarti pembebasan yang pasti dari kecenderungan modern khusus untuk mengatasi ambivalensi dari mempropagandakan kejelasan tunggal akan keseragaman … Postmodernitas adalah modernitas yang telah mengakui ketidakmungkinan terjadinya proyek yang direncanakan semula. Postmodernitas adalah modernitas yang berdamai dengan kemustahilannya dan memutuskan, tentang baik dan buruknya, untuk hidup dengannya. Praktik modern berlanjut sekarang, meskipun sama sekali tanpa objektif (ambivalensi) yang pernah memicunya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa postmodernitas mengkhawatirkan namun demikian masih menggembirakan. Atau dengan kata lain, postmodernitas penuh dengan sebuah inomic-tercerabut antara kesempatan yang ia buka dan ancaman-ancaman yang bersembunyi dibalik setiap kesempatan. Juga kebanyakan kaum postmodernis memiliki, sebagaimana kita akan ketahui, sebuah pandangan yang jauh lebih pesimistis atas masyarakat postmodern. Hal tersebut sesuai dengan pemikiran Jameson (1989) bahwa masyarakat postmodern tersusun atas lima elemen utama, antara lain: (1) masyarakat postmodern dibedakan oleh superfisialitas dan kedangkalannya; (2) ada sebuah pengurangan atas emosi atau pengaruh dalam dunia postmodern; (3) ada sebuah kehilangan historisitas, akibatnya dunia postmodern disifatkan dengan pastiche; (4) bukannya teknologi-teknologi produktif, malahan dunia postmodern dilambangkan oleh teknologi-teknologi reproduktif dan; (5) ada sistem kapitalis multinasional.
Estetika Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Estetika adalah salah satu cabang filsafat. Secara sederhana, estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Pembahasan lebih lanjut mengenai estetika adalah sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan filosofi seni.
Daftar isi [sembunyikan]
1 Etimologi 2 Penilaian keindahan o 2.1 Konsep the beauty and the ugly o 2.2 Sejarah penilaian keindahan
[sunting] Etimologi Estetika berasal dari bahasa Yunani, αισθητική, dibaca aisthetike. Kali pertama digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan. Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu: 1. Studi mengenai fenomena estetis 2. Studi mengenai fenomena persepsi 3. Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis
[sunting] Penilaian keindahan Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam membentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut memengaruhi penilaian terhadap keindahan. Misalnya pada masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah keagungan. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya. Pada masa maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang dan kemampuan mengabstraksi benda. [sunting] Konsep the beauty and the ugly
Perkembangan lebih lanjut menyadarkan bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar keindahan dan the ugly, suatu
karya yang sama sekali tidak memenuhi standar keindahan dan oleh masyarakat banyak biasanya dinilai buruk, namun jika dipandang dari banyak hal ternyata memperlihatkan keindahan. [sunting] Sejarah penilaian keindahan
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspak rohani Artikel bertopik seni atau biografi seniman ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
ihatkan keindahan. [sunting] Sejarah penilaian keindahan
Keindahan seharusnya sudah dinilai begitu karya seni pertama kali dibuat. Namun rumusan keindahan pertama kali yang terdokumentasi adalah oleh filsuf Plato yang menentukan keindahan dari proporsi, keharmonisan, dan kesatuan. Sementara Aristoteles menilai keindahan datang dari aturan-aturan, kesimetrisan, dan keberadaan. keindahan seharusnya memenuhi banyak aspek. aspek jasmani dan aspak rohani Artikel bertopik seni atau biografi seniman ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
estetika dan filsafat seni menciptakan materi yang memungkinkan seni untuk membawa kita di sekitar re-mistifikasi realitas, untuk menciptakan dunia yang palsu dan untuk menantang definisi “nyata”. lalu bagaimana membuat status khusus menciptakan kualitas estetika otonom seni, memberi kualitas kesesuaiannya, menekankan bahasa lain yg praxis dan menerangi realitas tanpa harus terganggu di dalamnya. kekuatan otonomi seni adalah kemampuannya untuk mengatasi kenyataan tertentu yang praxis menyatakan itu, kenyataan bukan hanya pribadi tetapi juga meluas di lingkungan, mewakili kemanusiaan di mana pun itu nasib berlangsung secara universal, jauh melampaui masyarakat kelas khusus. otonomi seni tidak datang untuk melayani kelas ini atau itu, tapi untuk melayani
universal, ketika kelas kebudayaan itu sendiri adalah bagian dari dunia universal dimana alam sebagai bingkai. tapi ini adalah benturan yang dinamis antara individu dan masyarakat, konten sosial selalu tetap sekunder pada nasib individu, estetika “asimilasi” di mana dinamika sosial dan membuatnya kisah individu yang mewakili kebudayaan. selalu faktor manusia, nasib pribadi, sosial dan pribadi (sering diabaikan saat bekerja) tapi sangat penting. marcuse bertentangan estetika marxis mengutuk konversi informasi sosial, sublimasi realitas, konversi dari konflik dan konflik sosial dan takdir pribadi dan tentu saja virtual otonomi. ini adalah tabrakan antara dua dunia yang terpisah masing-masing dengan dunia kita sendiri. sastra menciptakan suatu realitas yang unik, yang tetap berlaku bahkan ketika ia menolak realitas dibentuk. nilai hanya baik dan yang jahat baik dan jahat versus nilai sosial. marcuse berpendapat bahwa peningkatan kesenjangan tidak akan pernah berubah, bahkan dalam rilis baru. juga masyarakat yang tampaknya utopia terorganisir dengan prinsip ideal realitas baru, bahkan kemudian tidak mencapai akhir seni, dan kita bisa mengatasi tragedi itu, dan meredakan dionisia dan apollo. seni tidak dapat melepaskan diri dari sumber-sumber bantalan bukti dasarnya materialisme dialektika – kegigihan non identitas antara subjek dan objek, antara individu. seni, berdasarkan kebenaran sejarah universal trans berbicara dengan kesadaran, tidak hanya kesadaran dalam kelas, tetapi kesadaran orang sebagai “seks.” siapakah subyek dari kesadaran ini? mata estetika marxis – subjek adalah proletariat, satu-satunya kelas yang tidak menarik dalam melestarikan kebudayaan yang ada dan bebas untuk melepaskan semua umat manusia. marcuse sadar (bawah Llusian goldman) mengubah situasi sosial, integrasi dari kapitalisme monopoli kaum proletar dikembangkan, kesadaran diubah juga berpendapat bahwa meskipun perubahan sosial, kesadaran berubah, seni datang untuk membentuk pikiran individu bersatu dalam mengakui perlunya untuk rilis umum – apapun kelas mereka. seni itu subjek dimana otentik adalah anonim dari segi kelas. dia tidak cocok dengan subyek potensi aksi revolusioner (proletariat). sehingga seni akan membantu “masyarakat”, sambil mempertahankan otonomi dan kebenaran penting di pusatnya – untuk membawa kepada pentingnya sebuah kesadaran, bertentangan dengan hukum dan terbentur realitas. seni dapat berkontribusi pada perubahan kesadaran dan mendesak laki-laki dan perempuan yang dapat mengubah dunia. ini basis massa, kebutuhan istilah untuk perjuangan politik, yang harus disertai dengan perubahan dalam kesadaran. nilai tidak hanya perubahan dalam kesadaran politik tapi “sistem kebutuhan” baru. dibebaskan dari sistem aturan eksploitasi, kecerdasan sensitif, imajinatif. seni ini berbeda dengan pekerjaan produksi dan praxis seks politik, kualitas subjektif berdasarkan yang ahteranccandecia intrinsik. surealisme, tahap revolusioner, adalah contoh konflik esensial antara seni dan realisme politik. aliansi antara “masyarakat” seni adalah – bahwa orang akan berhenti dari konsep dan pencitraan yang dipaksakan dari atas, akan mengalami dimensi yang berbeda dan kualitas (seni murni) akan permintaan sendiri dalam subjektivitas mereka. internal agak subjektif (bertentangan dengan teori marxis) dapat menjadi dasar ruang internal dan eksternal yang membalikkan pengalaman di kepala, untuk penampilan dunia lain. dunia individu (bukan massa) yang berhubungan dengan mereka secara bebas.
bagaimana menemukan representasi yang valid dalam menciptakan seni? bagaimana bisa menjadi faktor kesadaran berubah? bagaimana seni menginspirasi gambar pembebasan dan mencapai kedalaman dimensi eksistensi manusia? bagaimana seni untuk mengekspresikan Lotansutam semua tertindas? klaim marcuse brikutnya seni sejati tidak hanya diungkapkan dalam bentuk dan gaya. seni sejati memiliki otonomi abstrak, ilusi, penemuan sesuatu yang baru, tetapi memilih teknik terputus dari, atau teknik tanpa isi, bentuk tanpa substansi, maka otonomi tersebut dalam seni mengambil dari power tersebut. tergantung pada budaya dan seni yang ada. (seperti dicatat sebelumnya, seni tergantung praxis, dunia materi, tapi masih terhubung tergantung pada peralatan technologi, cara sendiri dll) adalah seni mitra. dengan kebudayaan, realitas material. pemisahan seni tidak mutlak. seni tentu bagian dari praktek yang ada, hanya bagian itu berbicara melawan dia, terhadap praktek yang ada. estetika bentuk membuat konten akrab dan mengalami kekuatan keterasingan akrab, meningkatkan kesadaran dan memimpin persepsi baru. estetika bentuk yang bertentangan dengan isi, tetapi sebaliknya – bentuk menjadi konten, dan konten mendapatkan dalam bentuk (baru). akan melalui proses pembuatan bahan bahan sublimasi yang merupakan “titik transformasi estetika awal, menjadi sesuatu yang lain, suatu realitas lain dari subjek untuk aturan internal” membahas bentuk. gairah dan emosi, rasionalitas dan imajinasi tidak tunduk pada bagaimana menindas masyarakat dari mereka, tetapi mereka mencari jalan mereka, dunia seni, otonomi, membangun kembali dan memberikan kesadaran untuk mengalami representasi indrawi terhadap – sosial. melalui gaya, melalui konfigurasi estetika kemungkinan pembalikan nilai-nilai mereka yang ditetapkan norma-norma dan prinsip realitas – de sublimasi sublimasi berdasarkan aslinya. disintegrasi larangan tabu sosial, runtuhnya pengelolaan sosial menerima bentuk baru, kesetiaan keinginan manusia, kesadaran kota, wajah mencerminkan dunia yang transparan. adalah representasi dengan daya tarik asing kesadaran. ekspos dan dunia terungkap, itu mengungkapkan apa yang tersembunyi mata, dan mematahkan apa realitas bisa bertahan, dan sebagainya – ternyata mencela nilai estetika dan perayaan dari apa yang marah untuk ketidakadilan dan terorisme. terjadi pada sastra khususnya media bahasa tetapi tidak tergantung dari unsur ini atau itu, namun tergantung pada “kompleks” yang memberikan arti dan fungsi estetika. karya-karya tidak puas dengan hanya mencela kenyataan, tapi seni, kualitas yang indah, sebagai bentuk estetika, menjanjikan rilis, janji ditolak realitas dibentuk. pekerjaan tidak ada yang bisa, tentu saja, untuk memastikan melepaskan (tidak tanggung jawab), tetapi hanya “untuk melestarikan memori hal masa lalu,” representasi kembali realitas. terhadap konsep tradisional yang melihat seni sebagai ilusi, lihat marcuse memperingatkan bahwa peran seni, cara estetika, bukan untuk meninggalkan estetika (sebagai pemikir dan seniman di zaman modern yang melihat pendekatan anti – seni sebagai ekspresi disintegrasi masyarakat benar dari era modern realitas, penuh niat untuk makna) , tetapi sebaliknya “kita alami sekarang bukan penghancuran keseluruhan unit atau kesatuan, kita mengalami kehancuran makna yang kita alami hari ini dikendalikan oleh kekuatan yang kompleks, harmonisasi diatur dipaksa turun ….”
bentuk estetika justru karena kualitas dipisahkan, berdasarkan sebagai yang lain bisa menghadapi asimilasi (dipaksa ke bawah). pendekatan anti – seni yang ada, menurut marcuse, kurangnya kekuatan kognitif, anak tiri bentuk estetika. ini bukan transformatif, yang menghilangkan perbedaan antara sifat fenomena, dimana letak kebenaran seni – yang menentukan set politik. hedda – sublimasi seni seharusnya untuk melepaskan spontanitas – adalah seniman dan penampil / pengalaman seni … cara untuk mempromosikan pembebasan. menyerah pada bentuk adalah keberangkatan dari tanggung jawab, menschel seni dari cara itu menciptakan realitas lain, alam semesta harapan, dalam realitas didirikan ditegakkan. ini adalah seni memberi status otonom dan fungsi sosialnya (dalam bentuk estetika dan filsafat seni) filsafat seni You might also like: