WS PMKP KARS-LPM UNAIR Surabaya, 4-5 Mei 2018
BUDAYA KESELAMATAN
dr. Nico A. Lumenta, K.Nefro, MM, MHKes Komisi Akreditasi Rumah Sakit KARS
POKOK BAHASAN
• Pendahuluan • Dimensi Budaya Mutu dan Keselamatan (Quality & Safety) • Budaya Keselamatan dalam Standar TKRS • Patient Safety Culture KARS
(Maksud TKRS 13 dan TKRS 13.1) Budaya keselamatan dapat keselamatan dapat diartikan sbb: “Budaya keselamatan di RS adalah sebua lingkungan yang kolaboratif karena 1)staf klinis memperlakukan satu sama lain secara hormat dengan melibatkan serta 2)memberdayakan pasien dan keluarga. Pimpinan mendorong 3)staf klinis pemberi asuhan bekerja sama dalam tim yang efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional dlm 4)asuhan berfokus pada pasien. Budaya keselamatan juga keselamatan juga merupakan hasil dari nilai-nilai, sikap, persepsi, kompeten dan pola perilaku individu maupun kelompok yg menentukan komitmen thd, serta kemampuan manajemen pelayanan kesehatan maupun keselamatan. Budaya keselamat dicirikan dengan komunikasi yg berdasar atas rasa saling percaya dengan persepsi yan sama tentang pentingnya keselamatan dan dgn keyakinan akan a kan manfaat langkah2 pencegahan. Tim belajar dari KTD (kejadian tidak diharapkan) dan KNC K NC (kejadian nyaris cedera). S klinis pemberi klinis pemberi asuhan menyadari keterbatasan kinerja manusiadlm manusia dlm sistem yg kompleks dan ada proses yg terlihat dari belajar serta menjalankan perbaikan melalui brifing
KARS
Keselamatan & mutu berkembang dalam suatu lingkungan yg mendukung kerjasa dan rasa hormat thd sesama tanpa melihat jabatan mereka dalam RS. Direktur RS menunjukkan komitmennya ttg budaya keselamatan danmendorong budaya keselam untuk seluruh staf RS. Perilaku yg tidak mendukung budaya keselamatan adalah: perilaku yg tidak layak (inappropriate) seperti kata2 atau bahasa tubuh yg merendahkan atau menyinggung perasaan sesama staf, misalnya mengumpat dan memaki; perilaku yg mengganggu (disruptive) a.l. perilaku tidak layak yg dilakukan secara berulang, bentuk tindakan verbal atau nonverbal yg membahayakan atau mengintimidasi staf lain, dan “celetukan maut” adalah komentar sembrono di dep pasien yg berdampak menurunkan kredibilitas staf klinis lain. Contoh mengoment negatif hasil tindakan atau pengobatan staf lain di depan pasien, misalnya “obatn salah, tamatan mana dia...?”, melarang perawat utk membuat laporan ttg KTD, memarahi staf klinis lainnya di depan pasien, kemarahan yg ditunjukkan dgn melempar alat bedah di kamar operasi, serta membuang rekam medis di ruang ra perilaku yg melecehkan (harassment) terkait dengan ras, agama, dan suku termas gender; pelecehan seksual. KARS
Hal-hal penting menuju budaya keselamatan: 1) Staf RS mengetahui bhw kegiatan operasional RS berisiko tinggi dan bertekad utk melaksanakan tugas dengan konsisten serta aman. 2) regulasi serta lingkungan kerja mendorong staf tdk takut mendapat hukuman bila membuat laporan ttg KTD dan KNC. 3) direktur RS mendorong tim keselamatan pasien melaporkan insiden keselamatan pasien ke tingkat nasional sesuai dengan peraturan perUUan. 4) mendorong kolaborasi antar staf klinis dengan pimpinan untuk mencaripenyelesaian masalah keselamatan pasien. Komitmen organisasi menyediakan sumber daya, seperti staf, pelatihan, metode pelaporan yg aman, dsb-nya untuk menangani masalah keselamatan Masih banyak RS yg masih memiliki budaya untuk menyalahkan suatu pihak yg akhirnya merugikan kemajuan budaya keselamatan. Just culture adalahmodel terkini mengenai pembentukan suatu budaya yg terbuka, adil dan pantas, menciptakan budaya belajar, merancang sistem2 yg aman, serta mengelola perilaku yg terpilih (human error, at risk behavior, dan reckless behavior). Model ini melihat peristiwa2 bukan sbg hal2 yg perlu diperbaiki, tetapi sbg peluang2 utk memperbaiki pemahaman baik thd risiko dari sistem maupun risiko perilaku. KARS
Ada saat2 individu seharusnya tidak disalahkan atas suatu kekeliruan; sbg contoh, ketika ada komunikasi yg buruk antara pasien & staf, ketika perlu pengambilan keputusan secara cepat, dan ketika ada kekurangan faktor manusia dlm pola proses pelayanan. Namun, terdapat juga kesalahan tertentu yg merupakan hasil dari perilaku yg sembrono dan hal ini membutuhkan pertangg-jwban. Contoh dari perilaku sembrono mencakup kegagalan dlm mengikuti pedoman kebersihan tangan, tdk melakukan time-out sebelum mulainya operasi, atau tdk memberi tanda pd lokasi pembedahan. Budaya keselamatan mencakup mengenali dan menujukan masalah yg terkait dgn sistem yg mengarah pada perilaku yg tidak aman. Pada saat yg sama, RS harus memelihara pertangg-jwban dgn tidak mentoleransi perilaku sembrono. Pertangg-jwban membedakan kesalahan unsur manusia (seperti kekeliruan), perilaku yg berisiko (contohnya mengambil jalan pintas), dan perilaku sembrono (spt mengabaikan langkah2 keselamatan yg sudah ditetapkan).
Direktur RS melakukan evaluasi rutin dgn jadwal yg tetap dgn menggunakan bbrp metode, survei resmi, wawancara staf, analisis data, dan diskusi kelompok. Direktur RS mendorong agar dapat terbentuk kerja sama utk membuat struktur, proses, dan program yg memberikan jalan bagi perkembangan budaya positif ini Direktur RS harus menanggapi perilaku yg tidak terpuji dari semua individu dari semua jenjang RS, termasuk manajemen, staf administrasi, staf klinis, dokter tamu atau dokter part time, serta anggota representasi pemilik
Governing board/ representasi pemilik
Direktur/Direksi RS
Kepala Bidang/Divisi
Kepala Departemen/Unit/Instalasi
KARS
RS
PEMILIK (Pemerintah/Swasta)
DIREKTUR/DIREKS I RS KEPALA BIDANG/DIVISI → Medis, Keperawatan, penunjang medis, administrasi dan lainnya
KEPALA UNIT/DEPARTEMEN/INSTALASI PELAYANAN
Budaya Keselamatan & Etika KARS
Kepemimpinan RS dalam SNARS Ed 1
Pokja – Pokja
Etika Budaya SDM RS Manajemen/ Pengelolaan *Kepemimpinan yg efektif ditentukan oleh sinergi yg positif antara Pemilik RS, Direktur RS, Para Pimpinan di RS dan Kepala unit kerja & unit pelayanan. KARS *Direktur RS secara kolaboratif mengoperasionalkan RS bersama dgn para pimpinan, kepala unit kerja & unit pelayanan utk mencapai visi misi yg ditetapkan dan memiliki tangg-jwb dlm pengelolaan manajemen peningkatan mutu dan keselamatan pasien, manajemen kontrak serta
Penerapan Standar - Kegiatan Pelayanan RS
PEMILIK :Organisasi ,wewenang pemilik ,tanggung jawab dan resposibility pemilik dan reperesentasi pemilik, PMKP.(menyetuju,menerima dan menindak lanjuti laporan )(TKRS 1,1.1,1.2,1.3 .)
DIREKSI :Kualifikasi dan U T W.(TKRS 2).
KEPALA BIDANG /DIVISI:Identifikasi dan perencanaan jenis pelayanan, kualifikasi,informasi dan data pelayanan utk masy,komuniksi efektif (TKRS 3 ,3.1,3.2,) KARS
MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA :rekrutmen .retensi,pengembangan ,diklat (TKRS 3.3 )
MANAJEMEN PMKP:Regulasi ,program,laporan,prioritas pengukuran (TKRS 4,4.1,5 )
MANAJEMEN KONTRAK
KARS
MANAJEMEN SUMBER DAYA ,Pengadaan,penggunaan.Informasi rantai distribusi (TKRS 7,7.1)
ORGANISASI DAN TANGGUNG JAWAB STAF KLINIS :organisasi ,RS,Unit Pelayanan , staf klinis medis,keperawatan, (TKRS 8 )
UNIT PELAYANAN :Pedoman pengorganisasian,identifikasi dan koordinasi pelayanan,program PMKP,data dan informasi untuk Evaluasi kinerja unit dan individu,(TKRS 9,10,11,11.1.11.2) KARS
MANAJEMEN ETIS :Regulasi,Kerangka kerja, Penanganan dilema etis klinis /non klinis /sistem pelaporan (TKRS 12,12.1,12.2 ),
BUDAYA KESELAMATAN: Regulasi,pelaksanaan,monitoring,tinda kan memperbaiki budaya keselamatan (TKRS 13,13.1 )
KARS
PASIEN
UU 44/2009 ttg RS, Peraturan Per UU an lainnya
Quality & Safety Std Yan Fokus Pasien ARK, HPK, AP, PAP, PAB, PKPO MKE
C P C
Asuhan Pasien / Patient Care
• • • • • •
Standar Manajemen PMKP, PPI, TKRS, MFK, KKS, MIRM Sasaran KP ProgNas
• • •
KARS
Regulasi : Kebijakan Pedoman, Panduan SPO Program Indikator : Ind. Area Klinis Ind Klinis Ind SKP Ind Upaya Manajemen
Dokumen Implementasi
PASIEN Tata Kelola Asuhan Pasien yang Baik
Quality & Safety
• Good Clinical Asuhan Pasien / Patient Care Tata Kelola Klinis yang Baik
Governance • Good Hospital Governance &
Ps 36 UU 44/2009
•
Tata Kelola RS yang Baik
KARS
Std Nas Akreditasi RS Ed 1
Asuhan pasien (Patient care)
(Patient Centered
→ Risiko Klinis
Care)
Etik
• • • •
Asuhan Asuhan Asuhan Asuhan
Medis Keperawatan Gizi Obat
•Mutu Kebutuhan •Patient Pasien Safety
EBM VBM KARS
“Safety is a fundamental principle of patient care and a critical component of Quality Management.” (World Alliance for Patient Safety, Forward Programme, WHO, 2004)
• Evidence Based Medicine • Value Based Medicine
(Kompas, 28 Mei 2016)
3
2
3
(People)
(System)
1 1 (Structure) 1
Fisik & Tehnik prima
1. System – Structure – People
Strategi & Taktik utk memenangkan pertandingan
2. Strategy, Visi-Misi-Tujuan KARS
3. Culture &
Berbagai Definisi Budaya • Culture : a way of thinking, behaving, or working that exists in a place or organization (Merriam Webster) • Budaya terbentuk dari elemen2 : kebijakan, prosedur, kondisi2 kerja, struktur untuk pembuatan keputusan dan tipe2 perilaku yang didukung. (The Just Culture Community, Outcome Engineering, 2009)
Dalam Definisi Budaya, ada pembagian dalam aspek : Antropologi, Sosial dan Organisasi • “A pattern of shared basic assumptions that the group learned as it solved its problems of external adaptation and internal integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way you perceive, think, and feel in relation to those problems.“ (Barnes, V, US Nuclear Regulatory Commission) • Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. • Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. (Wikipedia Bahasa Indonesia) KARS
Dimensi Budaya Mutu dan Safety dalam Standar Akreditasi RS
KARS
Good Patient Care Patient Centered Care Asuhan Pasien Terintegrasi PPA sebagai Tim, Kolaborasi Interprofesional + Kompetensinya Berpartner dgn Pasien DPJP sebagai Clinical Leader MDR - Multidisciplinary Round BPIS
RS institusi yg kompleks dan high risk : asuhan multi PPA, multi budaya, multi regulasi, legal, finance, SD Risk Register Matrix Grading FMEA Situational Awareness RCA
Dimensi Budaya Quality dan Safety dalam Standar Akreditasi RS
• • • • • • •
Just Culture Reporting Culture Learning Culture Informed Culture Flexible Culture Generative Culture (MaPSaF) 7 Standar KP, 6 SKP, 7 Langkah KPRS, 13 Program WHO-PS
Good Corp Governance → Leadership Good Clinical Governance Standarisasi Input-Proses-Output-Outcome Pengukuran Mutu KARS
u tura competence Kesadaran budaya (Cultural awareness) • adalah kemampuan seseorang untuk melihat ke luar dirinya sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk. • Dapat menilai apakah hal tsb normal dan dapat diterima pada budayanya atau mungkin tidak lazim atau tidak dapat diterima di budaya lain. • Perlu memahami budaya yang berbeda dari dirinya dan menyadari kepercayaannya dan adat istiadatnya dan mampu untuk menghormatinya Kompetensi budaya adalah tingkat tertinggi dari kesadaran budaya • Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil suatu keputusan dan kecerdasan budaya. • Kompetensi budaya merupakan pemahaman thd kelenturan budaya (culture adhesive). • Penting karena dengan kecerdasan budaya seseorg memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan pengambilan KARS keputusan pada suatu situasi tertentu.
Cultural competence Is a set of congruent behaviors, attitudes, and policies that come together in a system, agency or among professionals and enable that system, agency or those professions to work effectively in cross-cultural situations.
Adalah suatu perangkat kesamaan perilaku, sikap dan bersama secara harmonis dlm suatu sistem, badan atau para profesi utk bekerja secara efektif dlm situasi yg lintas-budaya /
Is a developmental process Suatu proses pertumbuhan yg berkembang melampaui suatu that evolves over an kerangka waktu yg lama extended period. (Collins Dictionary KARS of Medicine © Robert M. Youngson 2004)
Patient-centered care: the key to cultural competence The Golden Rule
(Epner, DE & Baile, WF : Patient-centered care: the key to cultural competence. Annals of Oncology, vol 23, supl 3, 2012)
* In the final analysis, we should treat our patients as we would want others to treat us during periods of vulnerability and fear.
* Dalam analisis final, kita harus mperlakukan pasien2 kita sebagaimana kita ingin diperlakukan oleh orang lain, selama periode yg penuh dgn krisis maupun ketakutan
* The key to cultural competence is patient centeredness built on respect, sensitivity, composure, partnership, honesty, astuteness, curiosity, and tolerance. All people really care about is being cared about
* Kunci menuju kompetensi kultural adalah patient centeredness (focus kpd pasien) yg dibangun atas respek (rasa hormat), sensitivitas, kesabaran, kemitraan, kejujuran, kecerdikan, rasa ingin tahu, dan toleransi. Semua orang benar2 peduli ttg asuhan KARS
Why is it important to be culturally competent? • • • • • • •
Increased respect Increased creativity Decreased unwanted surprises Increased participation from cultural groups Increased trust and cooperation Overcome fear of mistakes and conflict Promotes inclusion and equality
Manchester Patient Safety Framework – MaPSaF Levels of maturity with respect to a safety culture (Tingkat kematangan dalam budaya keselamatan)
(E.Manajemen risiko merupakan bagian integral dari semua yg kami lakukan)
(A.Mengapa membuang waktu utk keselamatan) . Why waste our time on safety?
(C.Kita sudah punya sistem utk mengelola risiko yg teridentifikasi) (B.Kita berbuat sesuatu bila terjadi insiden) . We do something when we have an incident
. We have systems in place to manage all identified risks
(D.Kami selalu waspada thd risiko yg mungkin muncul)
. We are always on the alert for risks that might emerge
(Kita selalu waspada thd risiko yg mungkin timbul)
. Risk management is an integral part of everything that we do
(Manajemen risiko merupakan bagian integral dari semua kegiatan yg kita kerjakan)
A.
B. C.
D.
E.
Pathological: organisasi dgn sikap yg berlaku “mengapa membuang waktu kita pada keselamatan” dan hanya sedikit atau tidak ada investasi dalam meningkatkan keselamatan. Reactive: organisasi yg hanya memikirkan keamanan setelah insiden terjadi. Bureaucratic: organisasi yg sangat berbasis kertas dan keselamatan melibatkan kotak centang utk membuktikan kepada auditor dan penilai bahwa mereka berfokus pada keselamatan. Proactive: organisasi yg menempatkan nilai tinggi pada peningkatan keselamatan, aktif berinvestasi dalam peningkatan keselamatan berkelanjutan dan memberi penghargaan kpd staf yg meningkatkan masalah terkait keselamatan. Generative: nirwana dari semua organisasi keselamatan di mana keselamatan merupakan bagian integral dari semua yg mereka lakukan. Dalam organisasi generatif, keselamatan benar2 ada dalam hati dan pikiran semua orang, mulai dari manajer senior hingga staf garis depan.
BUDAYA KESELAMATAN Dalam TKRS 13 dan 13.1
Budaya keselamatan 1)staf klinis memperlakukan satu sama lain secara hormat dengan 2) melibatkan dan memberdayakan pasien dan keluarga 3)staf klinis pemberi asuhan bekerja sama dalam tim yang efektif dan mendukung proses kolaborasi interprofesional 4)asuhan berfokus pada pasien.
KARS
Clinical Team Leader
Perawat/ Bidan
Apoteker
Nurisionis Dietisien
Psikologi Klinis
Terapis Fisik Profesional Pemberi Asuhan : mereka yg secara langsung memberikan asuhan kpd pasien, a.l. dokter, perawat, bidan, ahli gizi, apoteker, psikolog klinis,
Teknisi Medis Penata Anestesi
Lainnya
PPA Tugas Mandiri, Tugas Kolaboratif,
Konsep d 1 E R S A S N
Patient Centred Care (Std HPK)
Asuhan Terintegrasi
Konsep Inti Core Concept
❑
❑
Perspektif Pasien
❑
Perspektif PPA
• Conway,J et al: Partnering with Patients and Families To Design a Patient- and Family-Centered Health Care System, A Roadmap for the Future. Institute for Patient- and Family-Centered Care, 2006 • Standar Akreditasi RS v.2012, KARS
Integrasi Intra-Inter PPA (AP 4, SKP 2, TKRS 3.2, MKE 5) ❑
Integrasi Inter Unit
(PAP 2, ARK 3.1, TKRS 3.2, MKE 5) ❑
Integrasi PPA-Pasien
(HPK 2, 2.1, 2.2, AP 4, MKE 6)
→Horizontal & Vertical Integration
Asuhan Terintegrasi ❑
Integrasi Intra-Inter PPA (AP 4, SKP 2, TKRS 3.2, MKE 5)
1 E d S A R S N
❑
Integrasi Inter Unit
(PAP 2, ARK 3.1, TKRS 3.2, MKE 5) ❑
Integrasi PPA-Pasien
(HPK 2, 2.1, 2.2, AP 4, MKE 6)
→Horizontal & Vertical Integration
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
(HPK, ARK, PAP, MKE) (PAP, AP) (AP, PAP, MKE) (AP,PAP) (MKE) (ARK, PAP) (PMKP) (ARK) (PAP)
-2,400 years ago “Primum, non nocere” (“First, do no harm”)
Hippocrates (460-335 BC).
Standar TKRS.13 Direktur RS menciptakan dan mendukung budaya keselamatan di seluruh area di RS sesuai peraturan perundang-undangan.
KARS
Elemen Penilaian TKRS.13 1. Direktur RS mendukung terciptanya budaya keterbukaan yg dilandalasi akuntabilitas. (W) 2. Direktur RS mengidentifikasi, mendokumentasikan dan melaksanakan perbaikan perilaku yg tidak dapat diterima. (D,O,W ) 3. Direktur RS menyelenggarakan pendidikan dan menyediakan informasi (seperti bahan pustaka dan laporan) yg terkait dengan budaya keselamatan RS bagi semua individu yg bekerja dalam RS.(D,O,W ) 4. Direktur RS menjelaskan bagaimana masalah terkait budaya keselamatan dalam RS dapat diidentifikasi dan dikendalikan.(W ) 5. Direktur RS menyediakan sumber daya untuk mendukung dan mendorong budaya keselamatan di dalam RS.(D,O,W) KARS
BUDAYA KESELAMATAN
Standar TKRS.13.1 Direktur RS melaksanakan, melakukan monitor, mengambil tindakan untuk memperbaiki program budaya keselamatan di seluruh area di RS
KARS
Elemen Penilaian TKRS 13.1
1. Direktur RS menetapkan regulasi pengaturan sistem menjaga kerahasiaan, sederhana dan mudah diakses oleh fihak yg mempunyai kewenangan untuk melaporkan masalah yg terkait dengan budaya keselamatan dalam RS secara tepat waktu (R) 2. Sistem yg rahasia, sederhana dan mudah diakses oleh fihak yg mempunyai kewenangan untuk melaporkan masalah yang terkait dengan budaya keselamatan dalam RS telah disediakan (O, W) 3.
Semua laporan terkait budaya keselamatan rumah sakit telah di investigasi secara tepat waktu. (D,W)
4.
Ada bukti bahwa iidentifikasi masalah pada sistem yang menyebabkan tenaga kesehatan melakukan perilaku yg berbahaya telah dilaksanakan. (D, W) KARS
Elemen Penilaian TKRS 13.1
5.
Direktur RS telah menggunakan pengukuran/ indikator mutu untuk mengevaluasi dan memantau budaya keselamatan dalam rumah sakit serta melaksanakan perbaikan yang telah teridentifikasi dari pengukuran dan evaluasi tersebut.(D,W )
6.
Direktur RS menerapkan sebuah proses untuk mencegah kerugian/dampak terhadap individu yang melaporkan masalah terkait budaya keselamatan tersebut. (D,O,W)
KARS
Patient safety culture has been defined as : “the values shared among organization members about what is important, their beliefs about how things operate in the organization, and the interaction of these with work unit and organizational structures and systems, which together produce behavioral norms in the organization that promote safety”
"Nilai-nilai yg dianut di antara staf RS ttg apa yg penting, kepercayaan mereka ttg bagaimana segala sesuatu beroperasi dalam RS, dan interaksi ini dengan unit kerja dan struktur organisasi dan sistem, yg bersama-sama menghasilkan norma perilaku dalam RS yg mempromosikan keselamatan"
DIMENSIONS OF PSC Through a qualitative meta-analysis the seven subcultures of patient safety culture were identified as: 1. Leadership culture 2. Teamwork culture 3. Culture of evidence-based practice 4. Communication culture 5. Learning culture 6. Just culture 7. Patient-centered culture
1. Leadership: Leaders acknowledge the healthcare environment is a high-risk environment and seek to align vision/mission, staff competency, and fiscal and human resources from the boardroom to the frontline
Pemimpin mengakui lingkungan yan kes adalah lingkungan berisiko tinggi dan berusaha menyelaraskan visi / misi, kompetensi staf, dan sumber daya fiskal dan manusia dari ruang rapat ke garis depan.
2. Teamwork: A spirit of collegiality,
Semangat kolegialitas, kolaborasi, dan kerja sama ada di kalangan eksekutif, staf, dan praktisi independen. Hubungan terbuka, aman, hormat, dan fleksibel.
collaboration, and cooperation exists among executives, staff, and independent practitioners. Relationships are open, safe, respectful, and flexible.
3. Evidence-based: Patient care practices are based on evidence. Standardization to reduce variation occurs at every opportunity. Processes are designed to achieve high reliability.
Praktik asuhan pasien didasarkan pada bukti. Standardisasi utk mengurangi variasi terjadi pada setiap kesempatan. Prosesnya dirancang utk mencapai kehandalan yg tinggi.
4. Communication: An environment exists where an individual staff member, no matter what his or her job description, has the right and the responsibility to speak up on behalf of a patient.
Lingkungan ada di tempat anggota staf individu, tidak peduli apa deskripsi pekerjaannya, memiliki hak dan tangg-jwb untuk berbicara atas nama pasien.
5. Learning: The hospital learns from its mistakes and seeks new opportunities for performance improvement. Learning is valued among all staff, including the medical staff.
RS belajar dari kesalahannya dan mencari peluang baru untuk peningkatan kinerja. Belajar dihargai di antara semua staf, termasuk staf medis.
6. Just: A culture that recognizes errors as system failures rather than individual failures and, at the same time, does not shrink from holding individuals accountable for their actions.
Budaya yg mengenali kesalahan sbg kegagalan sistem daripada kegagalan individu dan, pada saat yg sama, akuntabilitas individu atas tindakan tidak mengecil
7. Patient-centered: Patient care is centered around the patient and family. The patient is not only an active participant in his own care, but also acts as a liaison between the hospital and the community.
Asuhan pasien berpusat di sekitar pasien dan keluarga. Pasien bukan hanya peserta aktif dalam asuhannya sendiri, tapi juga bertindak sbg penghubung antara RS dan masyarakat.
Culture of Safety Typology Subculture
Properties
Leadership
Accountability .Change management. Commitment. Executive rounds. Governance.Open relationships. Physician engagement. Priority. Resources. Role model. Support . Vigilance. Visibility . Vision/mission.
Teamwork
Alignment. Deference to expertise wherever found. Flattened hierarchy. Multidisciplinary/mutigenerational. Mutual respect. Psychological safety . Readiness to adapt/flexibility . Supportive. Watch each other’s back.
Evidence-based
Best practices. High reliability/zero defects. Outcomes driven. Science of safety. Standardization: protocols, checklists, guidelines. Technology/automation.
Communication
Assertion/speak-up . Bottom-up approach, Hand-offs . Linkages between executives and front line/resolution/feedback . Safety briefings/debriefings. Structured techniques: SBAR, time-out, read-back ,Transparency.
Learning
Awareness/informed . Celebrate success/rewards . Data driven, Education/training including physicians ,. Learn from mistakes/evaluation, Monitor/benchmark. Performance improvement . Proactive . Root-cause analyses, Share lessons learned.
Just
Blame-free. Disclosure . Non punitive reporting . No at-risk behaviors, Systems—not individuals. Trust
Patient- Centered
Community/grassroots involvement . Compassion/caring . Empowered patients/families. Exemplary patient experiences. Focus on patient . Formal participation in care. health promotion, Informed patients/families . Patient stories
Culture of Safety Typology Subculture
Properties
Leadership
Akuntabilitas. Manajemen perubahan. Komitmen. Ronde eksekutif. Governance. Hubungan terbuka. Keterlibatan dokter. Prioritas. Sumber daya. Panutan. Dukungan. Kewaspadaan. Visibilitas. Visi Misi.
Teamwork
Penjajaran. Tergantung keahlian dimanapun ditemukan. Hirarki yang rata. Multidisiplin / mutigenerasional. Saling menghormati. Keselamatan psikologis. Kesiapan untuk beradaptasi / fleksibel. Mendukung. Perhatikan punggung masing-masing.
Evidence-based
Praktik terbaik. Keandalan tinggi / nol cacat. Gerakkan berbasis hasil. Ilmu keselamatan. Standardisasi: protokol, daftar periksa, pedoman. Teknologi / otomasi.
Communication
Tegas / angkat bicara. Pendekatan bottom-up, Hand-off. Kaitan antara eksekutif dan garis depan / resolusi / umpan balik. Briefing / pembekalan keselamatan Teknik terstruktur: SBAR, time-out, read-back, Transparansi.
Learning
Kesadaran / informasi. Rayakan kesuksesan / penghargaan. Gerak berbasis data, Pendidikan / pelatihan termasuk dokter,. Belajar dari kesalahan / evaluasi, Monitor / benchmark. Peningkatan performa . Proaktif Analisis akar penyebab, Bagikan pelajaran yang dipetik.
Just
Bebas dari menyalahkan Pengungkapan. Pelaporan tanpa hukuman Tidak ada perilaku berisiko, Sistem bukan individu. Kepercayaan
PatientCentered
Keterlibatan masyarakat / akar rumput. Kasih sayang / perhatian Memberdayakan pasien / keluarga. Pengalaman teladan pasien. Fokus pada pasien. Partisipasi formal dalam perawatan. promosi kesehatan, informasi
The Relationship Between Patient Safety Culture and Patient Safety
Patient Safety Culture as a measure of patient Safety
CULTURAL FEATURES • Feature of a positive patient safety culture - All employees identifying and resolving safety issues - Employees looking for opportunities to help others and intervene when needed - Reinforcement of safer behaviors by everyone - Employees accepting accountability for safety of the patients - Employee openness to coaching and feedback - Desire to provide resources to improve patient safety - Willingness to share, communicate and learn - Employees are encouraged to raise issues and suggestions • Less desirable patient safety culture traits could include e.g. - Concerns about safety are consistently not addressed - No learning is achieved from adverse events - Employees are reluctant to report incidents - No one is held accountable for their safety responsibilities - Safety management representation is kept out of key decision-making processes
CULTURAL FEATURES • Fitur budaya keselamatan pasien yang positif - Semua karyawan mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah keselamatan - Karyawan mencari kesempatan untuk membantu orang lain dan melakukan intervensi bila diperlukan - Penguatan perilaku yang lebih aman oleh semua orang - Karyawan menerima akuntabilitas untuk keselamatan pasien - Keterbukaan karyawan terhadap pembinaan dan umpan balik - Keinginan untuk menyediakan sumber daya untuk meningkatkan keselamatan pasien - Kesediaan untuk berbagi, berkomunikasi dan belajar - Karyawan didorong untuk mengangkat isu dan saran • Karakter budaya keselamatan pasien yang kurang diinginkan dapat mencakup mis. - Kekhawatiran tentang keselamatan secara konsisten tidak ditangani - Tidak ada pembelajaran yang dicapai dari kejadian tidak diharapkan - Karyawan enggan melaporkan insiden KP - Tidak ada yang akuntabel ttg tanggung jawab keselamatan mereka - Representasi manajemen keselamatan berada diluar proses pengambilan keputusan utama
(Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. : Patient Safety 2030.
(Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. : Patient Safety 2030.
THE ROLE OF LEADERSHIP IN DEVELOPING A SAFETY CULTURE
MANAGEMENT & CULTURE A robust safety culture is the combination of attitudes and behaviours that best manages the inevitable dangers created when humans, who are inherently fallible, work in extraordinarily complex environments.c Budaya keselamatan yg kuat adalah kombinasi dari sikap dan perilaku yg paling baik dalam mengelola bahaya yg tak terelakkan yg tercipta saat manusia, yg secara inheren tidak dapat diterima, bekerja di lingkungan yg sangat kompleks. Leaders are the keepers and guardians of psychological safety. they must build a robust safety culture, and a learning organisation. Pemimpin adalah penjaga dan penjaga keamanan psikologis. mereka harus membangun budaya keselamatan yang kuat, dan organisasi belajar. Management is in charged with establishing the right possibilities and direction, vision and systems, which in turn will be reflected in the quality and safety culture. Pemimpin adalah penjaga dan penjaga keamanan psikologis. mereka harus membangun budaya keselamatan yang kuat, dan organisasi belajar.
The essential role of leadership in developing a safety culture In any health care organization, leadership’s first priority is to be accountable for effective care while protecting the safety of patients, employees, and visitors. Dalam setiap organisasi Yan kesehatan, prioritas utama kepemimpinan adalah bertanggung jawab atas asuhan yang efektif sekaligus melindungi keselamatan pasien, karyawan, dan pengunjung. Competent and thoughtful leaders contribute to improvements in safety and organizational culture. Pemimpin yg kompeten dan bijaksana berkontribusi terhadap perbaikan keselamatan dan budaya organisasi. The Joint Commission’s Sentinel Event Database reveals that leadership’s failure to create an effective safety culture is a contributing factor to many types of adverse events – from wrong site surgery to delays in treatment. Database Kejadian Sentinel JC mengungkapkan bhw kegagalan kepemimpinan utk • menciptakan budaya keselamatan yg efektif merupakan faktor penyebab berbagai jenis efek samping - dari operasi situs yg salah hingga keterlambatan dalam pengobatan.
The Joint Commission Center for Transforming Healthcare telah menemukan budaya keselamatan yang tidak memadai sbg faktor kontributor yang signifikan terhadap KTD. Kepemimpinan yang tidak adekuat dapat berkontribusi pada KTD dengan berbagai cara, termasuk namun tidak terbatas pada contoh-contoh ini: Tidak cukupnya dukungan terhadap pelaporan insiden keselamatan pasien (IKP) Kurangnya umpan balik atau tanggapan terhadap staf dan pihak lain yang melaporkan kerentanan keamanan Membiarkan intimidasi staf yang melaporkan IKP Menolak secara konsisten utk memprioritaskan dan menerapkan rekomendasi keselamatan Tidak mengatasi kelelahan staf
Steps for Leaders to Follow to Achieve Patient Safety and High Reliability Langkah-langkah bagi Pemimpin untuk Mencapai Keselamatan Pasien dan Kehandalan Tinggi 1. Address strategic priorities, culture, and infrastructure. a. Establish patient safety as a strategic priority. b. Assess organizational culture. c. Establish a culture that supports patient safety. d. Address organizational infrastructure. e. Learn about patient safety and methods for improvement. 2. Engage key stakeholders. a. Engage the Board of Trustees. b. Engage physicians. c. Engage staff. d. Engage patients and families. 3. Communicate and build awareness. a. Begin patient safety walkroundsTM. b. Implement safety briefings. c. Improve communication using SBAR. d. Implement crew resource management strategies. 4. Establish, oversee, and communicate system-level
1.Pernyataan prioritas strategis, budaya, dan infrastruktur. a.Menetapkan keselamatan pasien sebagai prioritas strategis. b.Mengkaji budaya organisasi. c.Pernyataan budaya yang mendukung keselamatan pasien. d.Pernyataan infrastruktur organisasi. e.Belajar ttg keselamatan pasien dan metode untuk perbaikan. 2. Melibatkan pemangku kepentingan utama. a. Libatkan Dewan Pembina. b. Libatkan dokter. c. Libatkan staf d. Libatkan pasien dan keluarga. 3. Komunikasi dan membangun kesadaran. a.Mulai ronde keselamatan pasien b.Implementasi briefing keselamatan. c.Perbaiki komunikasi dgn SBAR. d.Terapkan strategi pengelolaan sumber SDM 4. Menetapkan, mengawasi, dan komunikasi pd
5. Establish aims beyond benchmarks. a. Oversee and communicate system-level aims. 6. Track/measure performance over time, strengthen analysis. a. Measure harm over time as a system-level measure. b. Improve analysis of adverse events. c. Strengthen incident reporting mechanisms. 7. Support staff and patients/families impacted by medical errors. a. Provide support to staff and patients/families impacted be medical errors and harm. b. Ensure the safety of the staff. 8. Align system-wide activities and incentives. a. Align system measures, strategy, and projects. b. Align incentives. 9. Redesign systems and improve reliability. a. Redesign care processes to increase reliability. b. Implement rapid response teams. c. Introduce simulation. d. Implement a computerized order entry system
5. Menetapkan tujuan di luar tolok ukur. a.Mengawasi dan mengkomunikasikan tujuan tingkat sistem. 6. Melacak / mengukur kinerja dari waktu ke waktu, memperkuat analisis. a.Mengukur bahaya dari waktu ke waktu sebagai ukuran tingkat sistem. b. Perbaiki analisis efek samping. c. Memperkuat mekanisme pelaporan kejadian. 7. Dukung staf dan pasien / keluarga yang terkena dampak kesalahan medis. a.Memberikan dukungan kepada staf dan pasien / keluarga yang terkena dampak adalah kesalahan medis dan bahaya. b.Pastikan keselamatan staf. 8. Sejajarkan seluruh aktivitas dan insentif sistem. a.Menyelaraskan ukuran, strategi, dan proyek sistem. b. Selaraskan insentif. 9. Merancang ulang sistem dan meningkatkan kehandalan. a.Mendesain ulang proses perawatan untuk meningkatkan kehandalan. b. Melaksanakan tim respon cepat. c. Perkenalkan simulasi. d. Terapkan sistem entri pesanan terkomputerisasi
EXECUTIVE SUMMARY
Namun, tidak ada solusi sederhana untuk meningkatkan keselamatan, dan tidak ada intervensi tunggal yang diimplementasikan secara terpisah akan sepenuhnya menangani masalah ini. Laporan ini menyoroti empat pilar strategi keselamatan: 1. Pendekatan sistem. Pendekatan untuk mengurangi kerugian harus diintegrasikan dan diterapkan pada tingkat sistem. 2. Fokus pd budaya. Sistem dan organisasi kesehatan harus benar-benar mengutamakan kualitas dan keselamatan melalui penglihatan yang inspiratif dan penguatan positif, bukan melalui kesalahan dan hukuman. 3. Pasien sebagai mitra sejati. Organisasi kesehatan harus melibatkan pasien dan staf dalam keselamatan sebagai bagian dari solusi, tidak hanya sebagai korban atau pelaku kejahatan. 4. Bias menuju tindakan. Intervensi harus didasarkan pada bukti kuat. Namun, ketika bukti kurang atau masih muncul, penyedia layanan harus melanjutkan dengan hati-hati, mengambil keputusan yang beralasan daripada tidak bertindak. (Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. Patient Safety 203 0. London, UK: NIHR Imperial Patient Safety
• The NIHR Imperial Patient Safety Translational Research Centre (PSTRC) • is part of the National Institute for Health Research and • is a collaboration between Imperial College London and • Imperial College Healthcare NHS Trust
(Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. Patient Safety 203 0. London, UK: NIHR Imperial Patient Safety
EXECUTIVE SUMMARY
Tidak ada solusi sederhana untuk meningkatkan keselamatan, dan tidak ada intervensi tunggal yg diimplementasikan secara terpisah akan sepenuhnya menangani masalah ini. Laporan ini menyoroti empat pilar pil ar strategi keselamatan: 1. Pendekatan sistem. Pendekatan untuk mengurangi kerugian harus diintegrasikan dan diterapkan pada tingkat sistem. 2. Budaya berperan. Sistem berperan. Sistem dan organisasi kesehatan harus benar2 mengutamakan mutu dan keselamatan melalui visi yg inspiratif dan penguatan positif, bukan melalui kesalahan dan hukuman. 3. Pasien sebagai mitra sejati. Organisasi sejati. Organisasi kesehatan harus melibatkan pasien dan staf dalam keselamatan sebagai bagian dari solusi, tidak hanya sebagai korban atau pelaku kejahatan. 4. Bias menuju tindakan. Intervensi tindakan. Intervensi harus didasarkan pada bukti kuat. Namun, ketika bukti kurang atau masih akan muncul, penyedia layanan harus melanjutkan dengan hati2, mengambil keputusan yg beralasan daripada tidak bertindak. (Yu A, Flott K, Chainani N, Fontana G, Darzi A. Patient Safety 203 0. London, UK: NIHR Imperial Patient Safety
KARS
KARS
Menetapkan visi yang meyakinkan untuk keselamatan. Visi organisasi mencerminkan prioritas bahwa, jika sejalan dengan misinya, membangun fondasi yang kuat untuk pekerjaan organisasi. Dengan menanamkan visi untuk keselamatan pasien dan tenaga kerja total di dalam organisasi, pemimpin kesehatan menunjukkan bahwa keselamatan adalah nilai inti.
KARS
Bangun kepercayaan, rasa hormat, dan inklusi. Membangun kepercayaan, menunjukkan rasa hormat, dan mempromosikan inklusi - dan menunjukkan prinsip2 di seluruh organisasi dan dengan pasien dan keluarga - sangat penting bagi kemampuan seorang pemimpin untuk menciptakan dan mempertahankan budaya keselamatan. Untuk mencapai bahaya nol, para pemimpin harus memastikan bahwa tindakan mereka konsisten setiap saat dan di semua tingkat organisasi. Kepercayaan, rasa hormat, dan inklusi adalah standar yang tidak dapat dinegosiasikan yang harus mencakup ruang Dewan, departemen klinis C-suite, dan keseluruhan KARS staf
Memilih, mengembangkan, dan melibatkan Dewan Pembina. Dewan Pembina memainkan peran penting dalam menciptakan dan memelihara budaya keselamatan. CEO bertanggung jawab untuk memastikan pendidikan anggota Dewan mereka mengenai ilmu keselamatan dasar, termasuk pentingnya dan proses untuk menjaga pasien dan angkatan kerja tetap aman. Dewan harus memastikan bahwa metrik yang secara bermakna menilai keamanan organisasi dan budaya keselamatan tersedia dan dianalisis secara sistematis, dianalisis, dan hasilnya ditindaklanjuti. KARS
Prioritaskan keamanan dalam pemilihan dan pengembangan pemimpin. Merupakan tangg-jawab CEO, bekerja sama dengan Dewan, untuk memasukkan akuntabilitas keselamatan sebagai bagian dari strategi pengembangan kepemimpinan bagi organisasi. Selain itu, mengidentifikasi dokter, perawat, dan pemimpin klinis lainnya sbg juara keselamatan adalah kunci untuk menutup kesenjangan antara pengembangan kepemimpinan administratif dan klinis. Harapan untuk merancang dan mengirimkan pelatihan keselamatan yg relevan untuk semua pemimpin eksekutif dan klinis harus ditetapkan oleh CEO dan kemudian menyebar ke seluruh organisasi. KARS
Memimpin dan menghargai budaya yang adil. Pemimpin harus memiliki pemahaman menyeluruh tentang prinsip dan perilaku budaya yang adil, dan berkomitmen untuk mengajar dan memberi model mereka. Kesalahan manusia adalah dan selalu akan menjadi kenyataan. Dalam kerangka budaya yang adil, fokusnya adalah pada menangani masalah sistem yang berkontribusi pada kesalahan dan kerugian. Sementara dokter dan tenaga kerja bertanggung jawab untuk secara aktif mengabaikan protokol dan prosedur, melaporkan kesalahan, penyimpangan, nyaris rindu, dan kejadian buruk dianjurkan. Tenaga kerja didukung saat sistem mogok dan terjadi kesalahan. Dalam budaya sejati, semua anggota angkatan kerja - baik yang bersifat klinis maupun non-klinis - diberi wewenang dan tidak takut untuk menyuarakan kekhawatiran tentang ancaman terhadap keselamatan KARS pasien dan tenaga kerja.
Menetapkan harapan perilaku organisasi. Pemimpin senior bertanggung jawab untuk membangun kesadaran keselamatan bagi semua dokter dan angkatan kerja dan, mungkin yang lebih penting lagi, memodelkan perilaku dan tindakan ini. Perilaku ini meliputi, namun tidak terbatas pada, transparansi, kerja tim yang efektif, komunikasi aktif, kesopanan, dan umpan balik langsung dan tepat waktu. Komitmen budaya ini harus dipahami dan diterapkan secara universal untuk keseluruhan angkatan kerja, terlepas dari peringkat, peran, atau departemen KARS
References - Botwinick, L., Bisognano, M., & Haraden, C. (2006). Leadership guide to patient safety. Cambridge, MA: Institute for Healthcare Improvement. Retrieved from www.ihi.org/knowledge/Pages/ IHIWhitePapers/LeadershipGuide toPatientSafetyWhitePaper.aspx - Institute of Medicine (IOM). (2000). To err is human: Building a safer health system. Washington, DC: National Academy Press. Retrieved from http://www. iom.edu/Reports/1999/To-Err-isHuman-Building-A-Safer-HealthSystem.aspx - Institute of Medicine (IOM). (2001). Crossing the quality chasm: A new health system for the 21st Century. Washington, DC: National Acade mies Press. Retrieved from http://iom.edu/ Reports/2001/Crossing-the-QualityChasm-A-New-Health-System-forthe-21stCentury.aspx - Leape, L.L., Berwick, D.M., & Bates, D.W. (2002). What practices will most improve safety? Evidence-based medicine meets patient safety. Journal of the American Medical Association, 288(4), 501–507. - The Joint Commission. (2009). Joint Commission Standards. Retrieved February 16, 2009, from http://www.jointcommission.org/