BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Sejarah pemungutan pajak selalau mengalami perubahan dar masa ke masa sesuia dengan perkembangan masyarakat dan negara baik dibidang kenegaraan maupun diruang sosial dan ekonomi. Pada mulanya pajak belum merupakan suatu pungutan, tetapi hanya merupakan pemberian sukarela oleh rakyat kepada taja dalam memelihara kepentingan negara, seperti dalam menjaga kemanan negara, menyediakan jalan umum, membayar gaji peagwai dan infrastruktur ataupun kepentingan sosial lainnya. Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran dalam bentuk natura, maka ia diwajibkan melakukan pekerjaan-pekerjaan demi kepentingan umum untuk beberapa hari lamanya dalam satu tahun. Orang-orang yang memiliki status sosial yang tinggi termasuk orsang-orang yang kaya, dapat membebaskan diri dari melakukan pekerjaan untuk kepentingan umum tadi, yaitu dengan cara membayar uang ganti rugi. Prosentase pembayaran ganti rugi tersesebut dapat ditentukan sesuai dengan jumlah uang yang diperlukan untuk mebayar orang lain yang menggantikan melakukan pekerjaan tersebut yang seharusnya dilakukan sendiri oleh orang kaya yang memiliki status sosial yang yang tinggi dan orang kaya tadi. 1 Setelah terbentukya negara-negara nasional dan tercapainya pemisahan antara rumah tangga negara dan rumah tangga pribadi, pajak mendapat tempat yang lebh mantap diantara berbagai pendapatan negara. Dengan bertambah luasnya tugas-tugas negara, maka dengan sendirinya negara memerlukan biaya yang cukup besar untun memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakatnya. Sehubungan dengan itu maka pembayaran pajak yang apda awalnya bersifat sukarela berubah menjadi suatu pembayaran yang ditetapkan secara sepihak leh negara oleh negara dalam bentuk yang ditetapkan oleh undang-undang. undang-undang. Pajak merupakan iuran rakyat yang masuk kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dalam penerapan pemungutannya dapat dipaksakan dengan
1
Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Pajak Pendapatan 1944, Jakarta : PT Eresco
1
tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Pajak tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah dalam rangka penyelengaraan negara demi kepentingan umum. Pembangunan selalu menjadi agenda utama program dari pemerintah daerah demi mencapai perkembangan daerah. Namun untuk mencapai pembangunan tersebut dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk pembangunan daerah tidak semua pembiayaan diberikan kepada daerah. Sehingga daerah harus mencari sumber lain yang tidak menyalahi ketentuan dalam perundang-undangan yang berlaku. Sumber lain yang menjadi sumber pendapatan daerah antara lain pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan daerah, dan sumber pendapatan lain ya. Usaha yang lain yang ditempuh ole h pemerintah daerah untuk mengatur pendapatan daerah untuk menjalankan pembangunan daerah adalah membenahi kebijakan fiskal dan moneter daerah. Kebijakan fiskal ditempuh oleh pemerintah untuk mencapai pertumbuhan dan juga sebagai langkah untuk menstabilkan perekonomian. Hal ini dapat terwujud apabila peraturan dan kebijakan fiskal disusun sesuai kebutuhan masing-masing. Tanpa mengesampingkan asas-asas yang berlaku dalam pemungutan penerimaan negara yang salah satunya adalah Pajak. Pajak daerah yang ditangani oleh pemerintah daerah propinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, pajak atas pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan, yang ditangani oleh pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri dari pajak hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan dan pajak parkir, sedangkan yang termasuk pajak pusat adalah pajak bumi dan bangunan dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Lahirnya otonomi daerah merupakan salah satu pemicu perkembangan dalam perolehan hak atas tanah dan pembangunan. Berawal dari Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah hingga lahirnya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Tentang Pemerintahan Daerah. Menciptakan perubahan sistem dari sentralisasi menjadi desentralisasi.
2
Mengenai biaya perolehan hak atas tanah dan pembangunan atau yang disebut Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan salah satu jenis pajak pusat yang dikenakan kepada setiap orang pribadi atau badan yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan. Untuk memperoleh pendapatan BPHTB seperti yang diharapkan, maka perlu merencanakan terlebih dahulu Anggaran BPHTB sebagai pedoman pelaksanaan operasional yang digunakan dalam jangka waktu tertentu yang akan datang. Bertujuan agar dapat dengan mudah merealisasikan pemungutan BPHTB sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, akan diketahui dengan jelas sisi perbedaan antara target yang dianggarkan dengan hasil realisasi yang diperoleh dalam jangka waktu tertentu. 2 Namun dalam mewujudkan pengembangan daerah melalui pembangunan daerah tersebut. Saat ini lahir masalah yang menuntut pemerintah daerah untuk bertindak lebih dalam mendapatkan pendapatan daerah yang lebih. Hal ini disebabkan bantuan pemerintah pusat yang semakin kecil kepada pemerintah daerah. Maka dari itu perlu dikaji lebih dalam mengenai factor-faktor yang menyebabkan alokasi dana yang diberikan pemerintah tersebut menjadi semakin kecil. Serta dicari suatu cara yang solutif atas permasalahan tersebut. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dijabakan diatas, tentu dapat tedapat bebrapa hal yang perlu dibenahi. Maka dari itu, mengenai permasalahan tersebut dapat ditentukan hal-hal yang bisa dijadikan sebagai rumusan masalah, yaitu : 1. Faktor apakah yang melatar belakangi bantuan pemerintah pusat ke daerah menjadi semakin kecil ?
2
www,http///, Makalah Hukum Pajak : Kebijakan Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Pembangunan 1 Agustus, 2011
3
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian
Didalam Undang-undang No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan pasal 1 angka 1 . “Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.” Sedangkan “Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan ” sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2000. Mengenai hak atas tanah dan atau bangunan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 20 Tahun 2000 disebutkan “Hak atas tanah dan atau bangunan merupakan hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.”3 Selanjutnya mengenai pengertian tentang pajak, terdapat beberapa pengertian menurut ahli tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BBPHTB) atau yang selanjutnya disebut sebagai pajak, yaitu :
Menurut Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro S.H.
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. 4 Definisi tersebut kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment . 3
UU No. 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
4
Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Eresco, Bandung, 1992
4
Menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja
“Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dpungut oleh penguasa bedasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.5 Dengan mencantumkan istilah iuran wajib, ia mengharapkan terpenuhinya ciri, bahwa pajak dipungut dengan bantuan dari dan kerjasama dengan Wajib Pajak, sehingga perlu pula menghindari penggunaan istilah “paksaan”. Bilamana suatu kewajiban dilaksanakan menurut Undang-undang, bila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka Undang-undang menunjuk cara pelaksanaanya yang lain. Penerimaan pendapatan negara salah satunya bersumber dari penerimaan pajak. Dalam hal ini pajak BPHTB yang cukup besar jumlahnya dan sangat berpengaruh bagi pembangunan di Indonesia. Salah satu pajak yang menjadi sumber utama dalam pembangunan di Indonesia adalah Pajak pusat. Pajak pusat merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang dipungut oleh pemerintah yang dilakukan di daerahdaerah untuk menunjang pembangunan dan belanja negara. Menurut Erly Suandi dalam buku “Perpajakan” menyebutkan bahwa “Pajak pusat adalah Pajak yang wewenang pemungutannya ada pada pemerintaha pusat yang pelaksanaannya dilakukan oleh departemen keuangan melalui Direktorat Jendral Pajak,. Pajak pusat diatur oleh Undang-undang dan hasilnya akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). ”.6 Pajak
pusat
dirancang
secara
khusus
oleh
pemerintah
yang
dalam
pelaksanaannya akan diselenggarakan di daerah-daerah yang dilakukan oleh inspeksi pajak setempat untuk membiayai pengeluaran negara pada umumnya. Pajak pusat/pajak negara yang berlaku saat ini adalah sebagai berikut :
Pajak Penghasilan (PPh)
: Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan ini diatur dalam Undang-undang No 7 / 198, sebagaimana telah 5
Dr, Soeparman S. Disertasi Pajak Bedasarkan Asas Gotong Royong” Universitas Padjajaran, Bandung, 1964 6 Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat, Hal, 36
5
diubah dengan Undang-undang no 7 / 199, Undang-undang no 10 / 1994, Undang-undang no Undang-undang no 17 / 2000 dan terakhir dengan Undangundang no 36 tahun 2008
Pajak Pertambahan nilai (PPN) Pajak Penjualan atas Barang Mewah : Pajak yang dikenakan atas konsumsi barang kena pajak dan Pajak yang dikenakan kepada setiap orang atau badan yang mempunyai hak/manfaat atas bumi atau memiliki, menguasai/memperoleh manfaat atas bangunan, di atur dalam Undang-undang no 8 / 1983 sebagaimana yang telah diubah dengan Undangundang no 11 / 1994, selanjutnya Undang-undang no 18 / 2000 dan terakhir dengan Undang-undang 42 / 2009
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB)
: Pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang diatur dalm Undang-undang no 20 / 1997 sebagaimana yang telah diubah dengan Undangundang no 20 / 2000
Bea Meterai
: Pajak yang dikenakan atas dokumen yang disebut dalam
undang-undang (kertas, benda meterai, tanda tangan, pemateraian kemudian, pejabat pos), diatur dalam Undang-undang no 13 / 1985. 7 Selain Pajak Pusat, terdapat pajak lain yang dipergunakan dalam pembangunan yaitu Pajak daerah. Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah untuk digunakan dalam menunjang otonomi daerah. Pajak daerah menjadi pendapatan asli daerah yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan ketentuan Undang-undang (UU). Pajak Daerah sendiri merupakan pajak yang dipungut oleh daerah sesuaai peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah tersebut. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam Undang-Undang Pajak ada 7 (tujuh) jenis pajak Kabupaten/Kota. Walaupun demikian, Daerah Kabupaten/Kota dapat tidak
7
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat, Hal, 37
6
memungut salah satu atau beberapa jenis pajak yang telah ditetapkan, apabila potensi pajak di Daerah Kabupaten/Kota tersebut dipandang kurang memadai yaitu antara lain :
Pajak Hotel
: Pajak yang dikenakan atas bangunan yang khusus disediakan
bagi orang untuk dapat menginap/istirahat, memperoleh pelayanan dan atau fasilitas lainnya yang dapat dipungut bayaran termasuk bangunan lainnya yang menyatu, dikelola dan dimiliki oleh pihak yang sama, kecuali untuk pertokoan dan perkantoran.
Pajak Restoran
:Pajak yang dikenakan atas tempat menyantap makanan
dan/atau minuman yang disediakan dengan dipungut bayaran, tidak termasuk usaha jasa boga.
Pajak Hiburan
: Pajak yang dikenakan atas semua jenis pertunjukan,
permainan, permainan ketangkasan, dan/atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun, yang ditonton atau dinikmati oleh setiap orang dengan dipungut bayaran, tidak termasuk penggunaan fasilitas untuk berolahraga.
Pajak Reklame
: Pajak atas penyelenggaraan reklame yang terdiri dari
benda, alat, perbuatan atau media menurut bentuk susunan dan corak ragamnya untuk tujuan komersil, dipergunakan untuk memperkenalkan, menganjurkan, atau memujikan suatu barang, jasa atau orang yang ditempatkan atau dapat dilihat, dibaca, didengar dari suatu tempat oleh umum, kecuali yang dilakukan oleh pemerintah.
Pajak Penerangan Jalan
: Pajak yang dikenakan atas penggunaan tenaga
listrik, dengan ketentuan bahwa di wilayah daerah tersebut tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh pemerintah daerah.
Pajak Pengambilan Bahan Galian C
: Pajak atas kegiatan pengambilan bahan
galian golongan C sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pajak Parkir
: Pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan tempat parkir diluar
badan jalan oleh orang pribadi atau badan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk
7
penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. Selain
pajak
diatas,
daerah
memiliki
sumber
pendapatan
lain
dalam
penyelenggaraan pemerintahan didaerah. Salah satunya adalah Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Pembangunan (BPATP). Sampai saat ini BPATP mengalami perkembangan yang cukup pesat yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak (WP) telah menyadari untuk membayar pajak khususnya bea perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. B. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB)
BPHTP adalah amanat yang tertuang dalam Undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sekaligus kebijakan nasional yang harus dilaksanakan. Sesuai dengan manfaat pajak sendiri yakni selain sebagai sumber utama penerimaan daerah, dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, pajak yang telah diperdakan ini juga semata-mata untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat daerah. Mengenai BHTB tersebut terdapat beberapa pengertian : 1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. 2. Perolehan hak atas tanah dan/atau banguna adalah pebuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan orang pribadi atau badan. 3. Hak atas anah adalah hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undangundang no 5 tahun 1960 tentang dasar pokok-pokok Agraria dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 8 Dalam penyelenggaraannya, pemerintahan daerah membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Biaya tersebut sebagian besar didapatkan dari pajak yang dipungut oleh negara. Biaya yang menjadi sumber besar pendapatan tersebut dialokasikan dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah APBD yang disalurkan ke setiap daerah. Namun disaat bantuan biaya dari pemerintah yang semakin kecil maka pemerintah daerah kini
8
Erly Suandy, Hukum Pajak Edisi 5, Salemba Empat.
8
harus bekerja ekstra untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Salah satu yang menjadi agenda wajib dari pemerintah daerah dalam mempergunakan bantuan dana dari pemerintah adalah melakukan pembangunan didaerah. Ketika bantuan pemerintah pusat kedaerah semakin kecil, pemerintah pusat harus melakukan pemaksimalan sumber daya didaerah untuk menutupi kekurangan pendapatan daerah atas adanya pengurangan bantuan dari pemerintah pusat tersebut. Salah satu solusinya adalah meningkatkan Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Pembangunan (BPATP). Penerimaan pendapatan negara yang cukup banyak dalam pembangunan di Indonesia yang berasal dari BPHTB dengan mengalami progress dan dalam pencapaian pendapatan negara yang berkembang dengan grafik pendapatannya yang meningkat tidak didapatkan begitu saja. Anggaran merupakan bagian sub penting untuk mendapatkan pendapatan negara guna menutupi segala aspek kebutuhan sosial bagi masyarakatynya. Anggaran yang disusun berdasarkan prosedur yang ada dengan target yang ingin dicapai, menuntut penyusunan anggaran dirancang dengan baik dan pelaksanaan pemungutan yang baik, sehingga dalam pelaksanaannya sesuai dengan yang diharapkan. Setelah pelaksanaan tersebut kemudian maka dilakukan evaluasi mengenai anggaran yang harus ditargetkan apakah sudah memenuhi batasan yang telah ditetapkan dalam tujuan pelaksanaan. Hal ini sebagai bentuk konsekuensi tahun selanjutnya agar dilakukan peningkatan bukan malah sebaliknya terjadinya penurunan. Sama halnya dengan pelaksanaan pemungutan BPHTB dilakukan evaluasi. Apabila hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan yang sudah ditargetkan maka harus dilakukan peningkatan kinerja. Anggaran (target) dan pelaksanaan pemungutan (realisasi) yang akan dikaji lebih mendalam sehinga dapat dilakukan pengasumsian pengertian mengenai target dan realisasi tersebut. Hal ini dilakukan untuk mendapat target yang ingin dicapai sesuai dengan yang akan terealisasi. Permasalahan bantuan pemerintah pusat ke daerah yang semakin kecil, maka daerah harus menempuh kebijakan dalam menentukan biaya perolehan hak atas tanah dan pembangunan. Dalam menempuh kebijakan ini pemerintah daerah membuat ketetapan dalam bidang moneter dan fiskal daerah. Itu dilakukan untuk menutupi celah dalam keuangan daerah yang berkurang yang merupakan cara yang solutif. Namun sebelum melakukan perubahan kebijakan dalam bidang moneter dan fiskal daerah, perlu diperhatikan prosentase anggaran BPHTB untuk mengetahui faktor yang menyebabkan
9
bantuan pemerintah pusat ke daerah berkurang. Hal tersebut perlu selain untuk mengetahui alasan bantuan pemerintah pusat dikurangi, perlu juga untuk mengetahui anggaran BPHTB pada setiap daerah. Selain itu untuk menemukan apakah ada faktor lain yang tidak diketahui misalnya pelaksanaan pemungutan BPHTB yang bermasalah. Maka perlu juga dilakukan analisis perbedaan antara anggaran BPHTB dengan pendapatan yang didapatkan atas BPATP apakah sebanding dengan pelaksanaan pemungutan dalam BPHTB. 9 Menghadapi masalah yang sedang dialamai di bidang BPHTB. Muncul wacana untuk membuat pengaturan mengenai BPHTB untuk menjadi Peraturan Daerah (Perda). BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan. BPHTB merupakan penyempurnaan atas bea balik nama harta tetap atas tanah dan bangunan, dan bukan merupakan pajak jenis baru. BPHTB digolongkan sebagai pajak tidak langsung dan merupakan pajak pemerintah pusat dan pajak negara. Dalam pembagian hasil menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2000 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yaitu Pasal 23 bahwa dalam pembagiannya pendapatan dari BPHTP 20% untuk Pemerintah Pusat dan 80% untuk Pemerintah Daerah/ Kabupaten/ Kota. Untuk itu menjadi pertanyaan besar mengapa bantuan pemerintah pusat ke daerah semakin berkurang. Ternyata salah satu faktor mengapa bantuan pemerintah pusat ke daearah berkurang adalah adanya kebijakan pembebasan pajak. Kebijakan ini diberl akukan pada pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah sederhana dengan harga di bawah Rp 70 juta dan maksimal seluas 36 meter persegi. Tetapi pada kenyataannya kebijakan ini belum tentu meningkatkan jumlah permintaan rumah sederhana. Karena kebijakan yang ditempuh oleh Menteri Keuangan tersebut dinilai belum selaras dengan program Kementerian Perumahan dalam memberikan kredit pemilikan rumah (KPR) yang memanfaatkan dana Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maksimal Rp 80 juta. Masyarakat penerima manfaat FLPP untuk kategori kelompok berpenghasilan Rp 2,5 juta untuk MBR dan kelompok berpenghasilan Rp 4,5 juta untuk kategori Masyarakat Berpenghasilan Menengah (MBM) masih dikenakan tingkat suku bunga KPR. Kebijakan ini seharusnya
9
Brotodihardjo, Santoso. 2008. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung
10
disinkronkan dulu dengan fakta yang terjadi di lapangan. Sebab dengan keadaan ekonomi saat ini pengembang dalam melakukan pembangunan perumahan terlebih dahulu melihat keadaaan pasar. Kalau ada permintaan tentu pengembang akan membangun sesuai permintaan. Selain itu, pemerintah juga diharapkan memberi kemudahan perizinan pembangunan perumahan kepeada pengembang atau distributor perumahan. Selama ini perizinan yang dilakukan membutuhkan waktu lama dan mahal, Sehingga kebijakan fiskal dan moneter oleh pemerintah daerah sangat perlu untuk dilakukan untuk mengatasi masalah BPHTB yaang terjadi saat ini. C. SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG UNDANG MENGENAI BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN
Pasal 1 Dalam Undang-undang ini, yang dimaksud dengan : 1.
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
2.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
3.
Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
4.
Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
5.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
11
6.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
7.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
8.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
9.
Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. 11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar. 12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
12
Sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 20 Tahun 2000 yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Sedangkan hal-hal yang menjadi bagian dari Pasal 2 ayat (2), Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
pemindahan hak karena: 1. jual beli; 2. tukar-menukar; 3. hibah; 4. hibah wasiat; 5. waris; 6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; 7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan; 8. penunjukan pembeli dalam lelang; 9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; 10. penggabungan usaha; 11. peleburan usaha; 12. pemekaran usaha; 13. hadiah. 14. pemberian hak baru karena: 15. kelanjutan pelepasan hak; 16. di luar pelepasan hak.
Sedangkan pada Pasal 2 ayat (3) UU No, 20 Tahun 2000 yang menjadi Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah:
hak milik; 1. hak guna usaha; 2. hak guna bangunan; 3. hak pakai; 4. hak milik atas satuan rumah susun; 5. hak pengelolaan.
13
Maka dalam penanganan masalah pajak BPHTB perlu dipahami lebih dalam tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan BPHTB termasuk objeknya, cara pemungutannya, anggarannya dan juga pelaksanaan pemungutannya. Hal itu perlu agar diketahui tidak terjadi salah mengambil langkah dalam penyelesaiannya. Karena bukan perkara mudah untuk diatasi dan juga jika terjadi salah mengambil langkah maka rakyat yang akan menjadi korbannya. Untuk menghindari dampak negatif bagi masyarakayt umum, maka dalam merealisasikan pemungutan BPHTB, Pemerintah pusat dan daerah diharapkan mampu memberi kemudahan dalam administrasi perizinan pembangunan perumahan dan halhal lain yang berkaitan dengan hak atas tanah kepada para pengembang perumahan. Karena selama ini realitanya perizinan dalam pengurus atas tanah dan pembangunan membutuhkan waktu lama dan mahal. Kebijakan tersebut merupakan sebagai langkah lanjutan dalam mengatasi masalah dan perlu dilakukan pembebasan kebijakan fiskal seperti penghapusan PPN, PPH, BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) dalam beberapa bagian pembangunan. Selain itu dalam penyusunan anggaran dan pelaksanaan BPHTP harus ada sinergi agar target yang tinggi sesuai dalam pelaksanaannya, sehingga bisa dilakukan pembandingan antara anggaran dan pelaksanaan. Dari pembandingan tersebut bertujuan untuk memberikan masukan dan manfaat dalam menentukan kebijakan. Serta, bahan evaluasi dalam menyusun anggaran dan juga dorongan melakukan pemungutan pajak yang lebih baik terutama untuk pemungutan BPHTB itu sendiri.
14
PENUTUP A. Kesimpulan
Pajak BPHTB merupakan sumber penting dalam pendapatan negara terutama untuk dana-dana yang akan dialokasiakn kepada daerah-daerah. Karena prosentase pengalokasian dana kedaerah hanya sebagian kecil yaitu 20% untuk pusat dan 80% nya merupakan bagian dari daerah. Sehingga dengan demikian maka pemerintah daerah membutuhkan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam menjaga konsistensi dalam pembangunan infrastruktur daerah. Demi mendapatkan hasil yang maksimal atas pajak BPHTN, Pemerintah harus mampu memberikan stimulan dan insentif kepada pengembang perumahan maupun masyarakat miskin agar program pembangunan dan perumahan bisa terwujud secara maksimal, sebagai salah s atu upaya dalam pembanguna atas pajak BPHTB. Sedangkan proses di bidang hak atas tanah maka perizinan atas tanah serta pembangunan semestinya tidak melalui administrasi yang rumit agar tidak mejadi maslah baru dalam penyelesaian masalah BPHTB saat ini. Terjadinya pengurangan bantuan dari pemerintah pusat kedaerah juga tidak sepenuhnya menjadi masalah dan pugas pemerinth dalam penyelesaiannya, akan tetapi adanya kebijakan pembebasan pajak merupakan salah satu faktor yang menyebabkan semakin minimnya alokasi dana bantuan pemerintah pusat ke daearah. Pada kenyataannya kebijakan pemerintah belum mampu meningkatkan jumlah permintaan rumah sederhana secara signifikan, karena kebijakan yang ditempuh oleh Menteri Keuangan tersebut dinilai belum selaras dengan program Kementerian Perumahan dalam memberikan kredit pemilikan rumah.
15