DAFTAR ISI Daftar Isi
………………………………………… ………………………………………………………………… ……………………………………………..1 ……………………..1
Skenario
………………………………………………………………………………………..2
Kata Sulit …………………………………………… …………………………………………………………………… …………………………………………....3 …………………....3 Pertanyaan dan Jawaban Jaw aban …………………………………………………………… ………………………………………………………………………….4 …………….4 Hipotesis ………………………………………………………………………………………….6 Sasaran Belajar ………………………………………… …………………………………………….………………………… ….……………………………………...7 …………...7 L.O 1. Memahami Memahami dan Menjelaskan Menjelaskan Penyakit Autoimun.......……………………………………7 Autoimun.......……………………………………7 1.1 Definisi 1.2 Etiologi 1.3 Patofisiologi 1.4 Klasifikasi L.O 2. Memahami Memahami dan Menjelaskan Menjelaskan Artritis Rheumatoid............. Rheumatoid.............……………………………… ……………………………… 15 2.1 Definisi 2.2 Epidemiologi 2.3 Etiologi 2.4 Patofisiologi 2.5 Kriteria Diagnosis 2.6 Diagnosis Banding 2.7 Komplikasi 2.8 Penatalaksanaan 2.9 Prognosis 2.10 Pemeriksaan Penunjang L.O 3. Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam dalam Sabar Menghadapi Penyakit………24 Penyakit……… 24 Daftar Pustaka................................................. Pustaka................................................................................... ............................................................. ................................................28 .....................28
1
Skenario 3
BENGKAK LUTUT KANAN
Seorang laki-laki berusia 45 tahun, masuk ke Rumah Sakit dengan keluhan bengkak dan nyeri pada lutut kanan sejak 6 hari yang lalu. Keluhan yang sama hilang timbul sejak 5 tahun yang lalu. Keluhan lainnya kadang-kadang timbul demam dan nafsu makan menurun. Pada pemeriksaan fisik didapatkan oedem dan calor pada patella joint dextra. Pemeriksaan fis ik lain tidak didapatkan kelainan. Dokter mendiagnosis pasien menderita Artritis Rheumatoid yang merupakan salah satu penyakit autoimun. Kemudian dokter menyarankan pemeriksaan laboratorium hematologi dan dirawat untuk follow up pemeriksaan serta terapi. Dokter menyarankan agar pasien bersabar dalam menghadapi penyakit karena membutuhkan penangan seumur hidup.
2
KATA SULIT
1. Artritis Rheumatoid Penyakit autoimun yang ditandai inflamasi sistemik kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama. 2. Hematologi Cabang ilmu kedokteran yang mempelajari darah dan jaringan pembuluh darah termasuk morfologi, fisiologi dan patologinya. 3. Patella Joint Dextra Patella : Tulang sesamoid atau pipih berbentuk segitiga yang terletak di depan lutut pada insersi musculi quadriceps femuris Joint : Sendi Dextra : Kanan 4. Oedem Pengumpulan cairan secara abnormal di ruang interselular tubuh 5. Calor Panas. Salah satu tanda utama peradangan 6. Penyakit autoimun Penyakit yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri
3
PERTANYAAN DAN JAWABAN A. Pertanyaan 1. Mengapa terjadi oedem dan calor pada patella joint dextra ? 2. Apa faktor penyebab artritis rheumatoid ? 3. Mengapa perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium hematologi? 4. Mengapa artritis rheumatoid memerlukan penanganan seumur hidup? 5. Mengapa kadang-kadang timbul demam dan nafsu makan menurun? 6. Terapi apa saja yang diberikan pada artritis rheumatoid? 7. Apa kemungkinan pemeriksaan hematologi yang memungkinkan positif? 8. Apa saja gejala yang timbul pada penderita artritis rheumatoid? 9. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dilakukan? 10. Apa saja yang dapat menyebabkan penyakit autoimun? 11. Bagaimana patogenesis secara singkat artritis rheumatoid? 12. Apa tujuan pemberian terapi pada artritis rheumatoid? B. Jawaban 1. Karena pada daerah yang mengalami infeksi mengalami kebengkakan oleh permeabilitas sel dan terjadi calor karena tubuh mengkompensasi aliran darah yang lebih banyak ke daerah infeksi untuk mengirim lebih banyak antibodi. 2. Usia, hormon, genetika, lingkungan, obesitas, kebiasaan merokok dan sistem kekebalan tubuh yang seharusnya melawan infeksi tetapi menyerang sel normal pada p ersendiaan. 3. Karena di pemeriksaan hematologi ada pemeriksaan HDL digunakan sebagai tes scrinning untuk memeriksa gangguan seperti anemia dan infeksi. Pemeriksaannya meliputi : sel darah putih, sel darah merah, hematokrit, jumlah limfo volume trombosit, hemaglobin, indeks eritrosit, dan pemeriksaan differential count (Hitung jenis leukosit). 4. Karena saat ini belum ada obat yang menangani artritis rheumatoid secara total. Namun, dengan perawatan yang tepat dan terapi yang bekelanjutan penyebaran dan peradangan dapat dihambat. 5. Hilang timbul tergantung pada tingkat peradangan, pada saat jaringan tubuh terkena peradangan penyakit jadi aktif, dan apabila peradangan mereda penyakit menjadi tidak aktif atau remisi. Remisi bisa terjadi secara spontan atau saat pengobatan. 6. Analgesik anti radang, NSAIDs, dan obat supresif long acting (DMRAD) 7. Pemeriksaan laju endap darah leukositnya naik akibat dari inflamasi jumlah sel darah merah dan komplemen CD4 turun, C-reaktive protein dan anti nukleus hasil nya positif. 8. Nyeri persendiaan, persendian bengkak, terbatasnya pergerakan sendi, sendi-sendi terasa panas, demam, anemia dan berat badan menurun. 9. Pemeriksaan hematologi, Mri, pemeriksaan cairan sendi, foto pola sendi, pemeriksaan imunoglobulin, x-ray, pemeriksaan laju endap darah (LED), pemeriksaan rheumatoid faktor, ACPA, pemeriksaan C-aktif protein. 10. Karena perbedaan toleransi imun, faktor genetik, hormon dan reaksi silang dengan antigen bakteri.
4
11. Antigen akan mengaktifkan sel T CD 4+ yang akan mengaktivasi sel B yang menyebabkan pembentukan faktor rheumatoid yang mengakibatkan pengendapan kompleks imun yang menyebabkan cedera sendi dan mengakibatkan kerusakan tulang dan tulang rawan. 12. Untuk menghambat penyebaran dan peradangan faktor-faktor artritis rheumatoif, Untuk mempertahankan faktor fungsional, mengendalikan keterlibatan sistemik.
5
HIPOTESIS
Penyakit autoimun adalah penyakit yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh sendiri salah satunya adalah artritis rheumatoid yang disebabkan oleh faktor usia,hormon dan genetik dengan gejala nyeri dan bengkak pada persendian.
6
SASARAN BELAJAR L.O.1. Memahami dan Menjelaskan Penyakit Autoimun 1.1 Definisi
Autoimun adalah respons imun terhadap antigen jaringan sendiri yang disebabkan oleh kegagalan mekanisme mempertahankan self-tolerance sel B, sel T atau keduanya. Sekitar 3.5% orang menderita penyakit autoimun, 94% berupa penyakit Graves (hipertiroidism), diabetes melitus tipe I, anemia pernisiosa, arthritis rheumatoid, tiroiditis, vitiligo, sklerosis multiple dan LES. Fenomena ini menyebabkan kerusakan jaringan atau gangguan fungsi fisiologis yang disebabkan oleh respons autoimun. Respons autoimun tidak selalu disertai penyakit atau penyakit yang menimbulkan mekanisme. Penyakit autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi.
1.2 Etiologi Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab penyakit autoimun - Faktor genetik Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun dapat pula hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara gen dengan autoimun juga melibatkan varian atau alel dari MHC.
-
Faktor lingkungan Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.
-
Hormon Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun. Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut 7
lebih ditentukan oleh hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita. Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16α -hidroksil dari 16α-hidrokslestron dan estriol serum dibandingkan dengan orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi imunostimulan terutama terhadap sel T. -
Infeksi Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit, pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta gangguan fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus hepatitis, CMV, virus coxsackie, retrovirus, dll.
-
Obat Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan pengobatan imunosupresif.
-
Agen fisik lain Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar matahari) merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi lebih bersifat menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada dibandingkan sebagai penyebab. Pemicu lain yang diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stress psikologis dan faktor diet.
1.3 Patofisiologi PATOGENESIS
Penyakit autoimun ditandai oleh pembentukan antibodi yang bereaksi t erhadap jaringan pejamu atau sel T efektor yang autoreaktif terhadap peptida diri
8
endogen. Karena respons sel B pada manusia umumnya memerlukan sel T penolong, respons autoantibodi sel B secara langsung menunjukkan gangguan control imunoregulator sel T. Pada beberapa keadaan dapat terbentuk antibodi melalui respons sel T dan B normal yang diaktifkan oleh organisme atau bahan asing yang mengandung antigen, terutama polisakarida, yang bereaksi silang dengan antigen diri serupa dalam jaringan tubuh. Fenomena ini disebut mimikri molekuler . Contoh antibody yang relevan secara klinis adalah antibody terhadap reseptor asetilkolin pada Miastenia gravis dan antibody anti-DNA antieritrosit, dan antitrombosit pada lupus eritematosus sistemik. Bagian unik pada regio variabel molekul immunoglobulin tempat antigen terikat disebut idiotipe. Antibody yang bereaksi secara spesifik dengan region tersebut disebut antibody anti-idiotipe. Antibody anti-idiotipe dapat terbentuk selama berlangsungnya proses respons imun normal. Misalnya, terbentuk antiidiotipe terhadap antitetanus selama imunisasi normal dengan toksoid tetanusdan berfungsi sebagai sintyal off untuk sel B yang mensekresikan antibody antitetanus. Antibody mungkin merupakan komponen penting pada jaringan imunoregulator normal. Antibody anti-idiotipe juga mungkin rekevan bagi dua jenis autoimunitas : (1) disfungsi antibody anti-idiotipe dapat menyebabkan hiperreaktivitas sel B akibat kegagalan pembentukan sinyal off untuk diferensiasi sinyal sel B dan (2) sebagai antibody antireseptor yang terbentuk pada penyakit autoimun [antibody anti-reseptor asetikolin pada Miastenia gravis, antibody anti reseptor insulin pada Diabetes Melitus tergantung insulin (DMTI, DM, Tipe I) dan antibody anti-reseptor tirotropin pada penyakit tiroid autoimun] mungkin merupakan antibody terhadap tempat ikatan antibody (idiotipe) autoantibodi. Factor genetik mungkin berperan menimbulkan penyakit autoimun, baik melalui seleksi terhadap hiperreaktivitas sel B inheren maupun kencendrungan membentuk autoantibodi, atau pada kasus keterkaitan antigen MHC dengan penyakit utoimun melalui penyajian peptida diri atau asing yang merangsang respons antiself yang tidak sesuai. Miastenia gravs, penyakit tiroid autoimun dan anemia pernisosa semuanya berkaitan dengan ekpresi HLA-B8(MHC kelas I) dan HLA-DR3 (MHC kelas II) dan juga berkaitan dengan petanda rantai berat
9
immunoglobulin tertentu. Terdapat juga keterkaitan erat antara jenis tertentu DR dengan timbulnya artritis rematoid. Sementara penyakit autimun spesifik-organ kemungkinana besar di sebabkan oleh efek kombinasi atau beberapa factor yang menimbulkan kerusakan organ atau sitem tertentu akibat kesalahan sasaran imun, penyakit autoimun generalisata seperti pada lupus eritematosus sistemik dapat dianggap sebagai penyakit dengan gangguan toleransi episodik terhadap molekul diri. Kejadian terakhir memperlihatkan bahwa, pada model penyakit autoimun pada mencit (mencit MRL) , penyebab penyakit autoimun adalah kecacatan pada molekul permukaan (fas/APO-1) pada sel T yang diperlukan agar limfosit T autoreaktif dimusnahkan di dalam timus. Molekul fas/APO-1 yang cacat mencegah seleksi egatif atas sel T autoreaktif, sehingga terjadi kelebihan sel T autoreaktif yang kemudian menyebar ke organ limfoid perifer. Diperkirakan bahwa sindroma mirip-lupus eritematosus multisystem pada anak mungkin merupakan analog dari penyakit autoimun pada murine MRL. Lupus eritematosus sistemik pada orang dewasa diperkirakan lebih meryupakan gangguan generalisata da;lam mempertahankan toleransi perifer. System imun perifer tidak memiliki kemampuan mempertahankan anergi terhadap antigen diri, bukan akibat gangguan toleransi sentral (timus). Sementara molekul yang berperan mempertahankan anergi/toleransi perifer terhadap antigen diri belum diketahui, data terakhir mengisyaratkan bahwa molekul CD28 sel T dan B7/BB1 sel B berperan mengatur proses ini.
PATOFISIOLOGI
•
Proses dasar: melibatkan perekrutan sel-sel Th yang bekerjasama dengan sel-sel B autoreaktif atau prekursor sel T sitotoksik untuk memacu respon imun perusak diri sendiri
10
•
Ketidak seimbangan imunologis dapat timbul dari beberapa kemungkinan: – Aktivitas berlebihan dari sel Th autoreaktif •
Perubahan Ag diri sendiri
•
Reaksi silang akibat kemiripan epitope
•
Mimikri molekuler: Ag diri sendiri sharing epitope yang identik dg virus/bakteri
– Perubahan-perubahan bentuk Ag diri sendiri akibat penempelan Ag suatu virus, obat atau bahan-bahan kimia seperti hydralazine – By-pass pengaktifan sel-sel Th autoreaktif •
Via aktivasi sel-sel B poliklonal oleh lipopolisakarida bakteri
– Defisiensi sel-sel T yang secara normal seharusnya menekan respon imun Pembebasan Ag diri sendiri yang ‘disembunyikan’ (misal pada kornea mata, sperma pada testis). Faktor genetik: Faktanya jelas. Diduga diperankan oleh gen-gen MHC/HLA Ada empat dasar mekanisme yang menyebabkan kejadian penyakit autoimun
1) Mediasi Antibodi Keberadaan antibodi spesifik melakukan perlawanan terhadap antigen tertentu (protein) mendorong kerusakan dan timbulnya tanda-tanda penyakit. Contohnya ; auto-immune mediated hemolytic anemia, dimana targetnya adalah permukaan sel darah merah ; myesthenia gravis dimana targetnya adalah acetylcholine receptor pada neuromuscular junction ; hypoadrenocorticism (Addisons’s) dimana targetnya adalah sel dari kelenjar adrenal (Aronson, 1999 : Mims, 1982).
2) Mediasi Immune Kompleks 11
Antibodi diproduksi melawan protein didalam tubuh, komplek ini dalam bentuk molekul besar yang bersikulasi keseluruh tubuh. Pada systemic lupus erythematosus (SLE), antibodi dibentuk justru merusak beberapa komponenkomponen didalam inti selnya ( sehingga anti-nuclear antibody test (ANA) dilakukan untuk SLE). Sebagian besar antibodi-antibodi yang diproduksi merusak double stranded DNA, dan membentuk komplek terlarut yang tersirkulasi yang akan memecah kulit dan menyebabkan peningkatan sensitivitas pada ultraviolet dan berbagai gejala lainnya. Karena darah tersa ring melalui ginjal, maka kompleks tersebut akan tertahan dalam glomeruli dan pembuluh darah yang menyebabkan ginjal kekuarangan protein sehingga mengalami glomeulonephritis. Kondisi ini juga merusak pembuluh darah lainnya, dan dimungkinkan terjadinya haemorhagi, sebagaimana akumulasi dari cairan synovial dan menyebabkan tanda-tanda arthritis dan kesakitan persendian. Rheumatoid arthritis diakibatkan dari immune complexes (kelompok antibodi IgM mengikat rheumatoid factor) merusak bagian dari sistem kekebalan hewan (bagian dari molekul Ig G). Bentuk komplek ini dideposit di ruang persendian synovial yang menyebabkan respon peradangan, pembengkakan persendian dan kesakitan. Kolagen dan cartilage dirusak dan seringkali digantikan dengan fibrin sehingga menyebabkan fuses dari persendian – ankylosis (Aronson, 1999).
3) Mediasi Antibodi dan sel T cell Sel T adalah salah satu dari dua tipe (yang satunya disebut sel B) sel darah putih yang memediasi reaksi immune. Ketika dihadapkan pada suatu antigen tertentu, sel T terprogram untuk mencari dan merusak protein tertentu itu pula dikemudian hari. Jika seekor hewan terekspose pada suatu antigen, maka menjadi lebih berkemampuan untuk memberikan respon lebih banyak dan lebih cepat dalam memberikan perlawanan terhadap antigen tertentu itu dikemudian hari. Inilah dasar pelaksanaan vaksinasi. Pada kejadian Thyroiditis (autoimmune hypothyroidism) tampaknya memberikan dampak mixed ethiology, dimana beberapa antigen yang menjadi target dan juga sekaligus hormon penting thyroglobulin yang diproduksi oleh tyroid menjadi dikenali. Autoantibodi terhadap antigen-antigen pada ephitel sel thyroid juga dikenali. Thyroid menjadi terinvasi oleh sejumlah besar sel T, sel B demikian pula sel Makrophage yang akan "menelan" dan menghancurkan sel-sel lainnya. Sel T yang terprogram secara spesifik terhadap thyroglobulin ini telah diidentifikasi (Aronson, 1999 : Salyers dan Whitt, 1994 : Madigan dkk, 1997).
4) Difisiensi complemen Ketika antigen dan antibodi bereaksi, maka akan mengaktivasi kelompok enzime serum (sistem komplemen) yang memberikan hasil akhir berupa lisis dari molekul antigen atau memungkinkan sel phagosite seperti macrophage untuk lebih mudah melakukan perusakan. Hewan yang mengalami defisiensi enzimes activated pada 12
awal sistem komplemen akan penderita penyakit autoimmune, seperti pada kasus penyakit SLE (Aronson, 1999 : Roitt, 1991).
1.4 Klasifikasi
Penyakit autoimun terdiri dari dua golongan, yaitu : 1. Khas organ (organ specific) dengan pembentukan antibodi yang khas organ. Contoh: Tiroiditis Hashimoto, dengan auto-antibodi terhadap tiroid; Diabetes Mellitus, dengan auto-antibodi terhadap pankreas; sclerosis multiple, dengan autoantibodi terhadap susunan saraf; penyakit radang usus, dengan auto-antibodi terhadap usus; penyakit Addison, Penyakit seliaka, Penyakit Crohn, pernicious anemia, Pemphigus vulgaris, Vitiligo, Anemia hemolitik autoimun, idiopatik purpura thrombocytopenic, Miastenia gravis. 2. Bukan khas organ (non-organ specific), dengan pembentukan autoantibodi yang tidak terbatas pada satu organ. Contoh: Systemic lupus erythemathosus (SLE), arthritis rheumatika, vaskulitis sistemik, cleroderma dengan auto-antibodi terhadap berbagai organ, sindrom Sjögren, dan dermatomiositis.
Organ spesifik
Non-organ spesifik
Penyakit
Organ
Tiroiditis Hashimoto Grave Disease Pernisious anemia IDDM
Tiroid
Antibodi terhadap Tiroglobulin
Tiroid Sel darah merah Pankreas
Reseptor TSH Intrinsik faktor Sel beta
Immunofluoresens Immunofluoresens
Infertilitas laki-laki
Sperma
Sperma
Aglutinasi immunofluoresens Immunofluoresens
Vitiligo
Tes diagnosis RIA
Melanosit
Rheumatoid arthritis
Kulit persendian Kulit ginjal sendi
IgG
IgG-latex Aglutinasi
SLE
Sendi organ
DNA RNA Nukleoprotein
DNA RNA Latex aglutinasi
13
Perbedaan antara penyakit imun organ spesifik dan non-spesifik :
Organ Spesifik
Non-organ spesifik
Antigen
Terdapat di dalam alat Tersebar di seluruh tubuh tubuh tertentu
Kerusakan
Antigen dalam tubuh
Penimbunan kompleks sistemik dalm ginjal, sendi dan kulit
Tumpang tindih
Dengan antibodi organ spesifik dan penyakit lain
Dengan antibodi organ spesifik penyakit lain.
nondan
Kriteria diagnosis Kriteria diagnostik yang dipakai adalah sebagai berikut: 1. Kekakuan pagi hari (lamanya paling tidak satu jam), Kekakuan di pagi hari selama lebih dari 1 jam; dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoartritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu berkurang dari satu jam. 2. Artritis pada tiga atau lebih sendi 3. Artritis sendi-sendi jari-jari tangan 4. Artritis yang simetris 5. Nodul rheumatoid, adalah massa subkutan yang ditemukan pada sekitar sepertiga orang dewasa pasien artritis reumatoid. Lokasi yang paling sering dari deformitas ini adalah bursa olekranon (sendi siku) atau di sepanjang permukaan ekstensor dari lengan; walaupun demikian nodula-nodula ini dapat juga timbul pada tempat-tempat lainnya. Adanya nodula-nodula ini biasanya merupakan suatu petunjuk suatu penyakit yang aktif dan lebih berat. 6. Faktor reumatoid dalam serum 7. Perubahan-perubahan radiologik (erosi atau dekalsifikasi tulang) Diagnosis artritis reumatoid dikatakan positif apabikla sekurang-kurangnya empat dari tujuh kriteria ini terpenuhi. Empat kriteria yang disebutkan terdahulu harus sudah berlangsung sekurang-kurangnya 6 minggu.
14
L.O.2. Memahami dan Menjelaskan Artritis Rheumatoid 2.1 Definisi
Penyakit sistemik kronik yang terutama menyerang sendi, biasanya poliartikular, ditandai perubahan akibat radang pada membran sinovial dan struktur artikular, adanya atrofi dan penipisan tulang. Pada stadium lanjut, terdapat deformitas dan ankilosis (Dorland, 2015) 2.2 Epidemiologi
Prevalensi RA relatif konstan yaitu berkisar antara 0,5-1% di seluruh dunia (Suarjana, 2009). Dalam ilmu penyakit dalam Harrison edisi 18, insidensi dan prevalensi RA bervariasi berdasarkan lokasi geografis dan diantara berbagai grup etnik dalam suatu negara. Misalnya, masyarakat asli Ameika, Yakima, Pima, dan suku-suku Chippewa di Amerika Utara dilaporkan memiliki rasio prevalensi dari berbagai studi sebesar 7%. Prevalensi ini merupakan prevalensi tertinggi di dunia. Beda halnya, dengan studi pada populasi di Afrika dan Asia yang menunjukkan prevalensi lebih rendah 10 sekitar 0,2%-0,4% (Longo, 2012). Prevalensi RA di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0,75% (Suarjana, 2009). Sedangkan, di Jerman sekitar sepertiga orang menderita nyeri sendi kronik mulai dari usia 20 tahun dan juga seperduanya berusia 40 tahun. Satu dari penyebab utama nyeri yang timbul, dengan konsekuensi yang serius, 15
merupakan RA . RA adalah penyakit inflamasi reumatik yang paling sering dengan prevalensi 0,5% sampai 0,8% pada populasi dewasa. Insidensinya meningkat seiring usia, 25 hingga 30 orang dewasa per 100.000 pria dewasa dan 50 hingga 60 per 100.000 wanita dewasa (Schneider, 2013). Studi RA di Negara Amerika Latin dan Afrika menunjukkan predominansi angka kejadian pada wanita lebih besar dari pada laki-laki, dengan rasio 6-8:1 (Longo, 2012). Gambar 3. Prevalensi global penyakit artritis reumatoid (Longo, 2012) Di Cina, Indonesia dan Filipina prevalensinya kurang dari 0,4% baik didaerah urban ataupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,2% di daerah rural dan 0,3% di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada penduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi RA sebesar 0,5% didaerah kotamadya dan 0,6% didaerah kabupaten. Di poliklinik reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, kasus baru RA 11 merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru pada tahun 2000 dan pada periode januari s/d juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus RA dari jumlah seluruh kunjungan sebanyak 12.346 orang (15,1%). Prevalensi RA lebih banyak ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki dengan rasio 3:1 dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima (Suarjana, 2009). Prevalensi RA yang hanya sebesar 1 sampai 2 % diseluruh dunia, pada wanita di atas 50 tahun prevalensinya meningkat hampir 5%. Puncak kejadian RA terjadi pada usia 20-45 tahun. Berdasarkan penelitian para ahli dari universitas Alabama, AS, wanita yang memderita RA mempunyai kemungkintan 60% lebih besar untuk meninggal dibanding yang tidak menderita penyakit tersebut (Afriyanti, 2011). Dari data presurvey di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung didapatkan bahwa penyakit RA menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar sejak tahun 2011. Pada presurvey ini dilakukan pengamatan data sejak tahun 2007 sampai dengan 2012. RA muncul pada tahun 2011 menempati urutan kedelapan dengan angka diagnosa sebanyak 17.671 kasus (5,24%) dan naik ke urutan keempat pada tahun 2012 dengan 50.671 kasus (7,85%) (Dinkes, 2011). Dan dari profil kesehatan di dinas kesehatan sejak tahun 2007-2011 didapatkan penyakit RA muncul menjadi salah satu dari 10 penyakit terbesar di kota Bandar Lampung pada tahun 2009 di urutan keempat dengan presentase sebesar 5,99%, tahun 2010 menjadi urutan ketiga sebesar 7,2% dan tahun 2011 pada urutan keempat dengan presentasi sebesar 7,11% (Dinkes, 2011). Di poliklinik penyakit dalam untuk pasien rawat jalan di RSUD Abdoel Meoloek, pada presurvey yang telah dilakukan peneliti pada tahun 2012 periode Januari-Desember terjadi 1.060 kasus 2.3 Etiologi Arthritis Reumatoid adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Etiologi penyakit ini tidak diketahui secara pasti tapi ada beberapa factor yang dianggap mencetuskan penyakit ini yaitu faktor genetik, hormon sex, protein heat shock(HSP) dan beberapa factor 16
resiko.
GENETIK
aktivitas enzim methyleneterahydrofolate reductase dan thiopurine metheltransferase untuk memetabolisme methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik. Kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembang AR lebih dari 30% Orang kulit putih denga AR dapat mengekspresikan HLA-DR1 atau HLA-DR4 mempunyai angkat kesesuaian sebedar 80%
HORMON SEKS
Prevalensi AR lebih tinggi pada perempuan disbanding laki-laki sehingga diduga hormone seks berperan dalam penyakit ini. Kemudian dilakukan observasi pada ibu hamil. Hasilnya ada perbaikan dari gejala penyakit AR selama kehamilan. Estrogen dan progesterone menstimulasi respon imun humoral (Th2) dan menghambat respon imun selular (Th1). pada AR Th1 yang dominan, estrogen dan progesterone memberikan efek yang berlawanan pada AR. Kontrasepsi oral dapat mencegah atau menurunkan insiden AR.
FAKTOR INFEKSI
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit. Organisme inni diduga menginfeksi sel host dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti menyebabkan penyakit.
FAKTOR RESIKO
Jenis kelamin perempuan, umur lebih tua, riwayat keluarga penderita AR, paparan salisilat dan rokok. Kopi lebih dari 3x sehari, khususnya kopi decaffeinated Makanan tinggi vit D, teh, dan penggunaan kontrasepsi oral dapat menurunkan resiko AR.
HSP (Heat Shock Protein)
HSP diproduksi sebagai respons stres. HSP tertentu pada manusia dan HSP Mycobacterium tuberculosis mempunyai 65% untaian asam amino yang homolog. Hal ini memfasilitasi reaksi silang antara l imfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (molecular mimicry).
2.4 Patofisiologi
17
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblast-like synovicytes (FLS) setelah adanya factor pencetus, berupa autoimun atau infeksi. Makrofag mengeluarkan zat-zat proinflamasi (TNF-α, IL-1, IL-6) yang akan memberikan beberapa dampak yang menyebabkan inflamasi yaitu 1) Mengaktifkan FLS untuk berproliferasi dan mampu bermigrasi dari sendi ke sendi sehingga menimbulkan arthritis simetris, 2) Mengaktifkan osteoclast bersama RANKL (hasil stimulus FLS) kemudian osteoclast akan membuat erosi pada tulang, 3) Menyekresikan enzim protease yang mendegradasikan tulang rawan (kartilago), kemudian degradasi tulang rawan akan memberikan umpan balik berupa sekresi enzim protease (terjadi siklus). Selain itu, dapat ditemukan Sel T CD 4+ (sekitar 50%) pada synovial. Sel T ini akan menyekresikan Interleukin 17 (IL-17). IL-17 menstimulasi aktivitas makrofag (mengaktifkan FLS) dan membantu mengekspresikan RANKL.
Kemudian juga ditemukan Sel Plasma pada membrane synovial walaupun hanya 5% dan Neutrofil serta kompleks imun pada cairan synovial. Sel Plasma berperan dalam inflamasi melalui pengeluaran antibodi. Sedangkan neutrophil menghasilkan enzim protease dan reactive oxygen species (ROS) yang akan mendegradasi tulang rawan dan erosi tulang. Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis) juga akibat dari inflamasi. Zat-zat proinflamasi (sitokin) meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan adhesi molekul mengakibatkan sel-sel imun bermigrasi ke sendi (atau tempat inflamasi). 2.5 Kriteria Diagnosis
18
2.6 Diagnosis Banding
Sejumlah kelainan sendi yang perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding arthitis septik seperti infeksi pada sendi yang sebelumnya mengalami kelainan, artritis terinduksi-kristal, artrhitis reaktif, artritis traumatik, dan artritis viral. Artritis terinduksi-kristal Gout dan pseudogout menyerupai gejala dan tanda artritis septik. Sehingga cairan sendi harus diperiksa menggunakan mikroskop cahaya polarisasi untuk melihat adanya kristal birefringen negatif (asam urat) atau birefringen positif (kalsium pirofosfat dihidrat) untuk menyingkirkan adanya penyakit kristal pada sendi. Tapi harus diingat bahwa adanya laporan tentang adanya kejadian yang bersamaan artritis septik dengan penyakit sendi karena kristal. Artritis reaktif Adanya respon inflamasi sendi terhadap adanya proses infeksi bakteri di luar sendi dikenal dengan artritis reaktif. Sering riwayat penderita adanya infeksi di bagian distal seperti pada saluran gastrointestinal (contoh : Shigella spp., Salmonella spp., Campilobacter spp., atau Yersinia spp.), saluran genitourinaria (contoh: chlamydia dan mycoplasma), dan saluran respirasi (contoh Streptococcus pyogenes). Sendi dalam keadaan inflamasi tetapi steril. Pada pemeriksaan PCR terdeteksi antigen mikroba di dalam sendi. Adanya antigen mikroba ini mencerminkan respon penyaringan alami dari sinovium dan dengan makin banyaknya antigen bakteri ini akan menstimulasi inflamasi.Penderita juga sering mengalami entesopati atau uveitis, lesi kulit atau membran mukosa. Preexisting joint infection. Penderita dengan penyakit sendi kronik yang mendasari seperti artritis rheumatoid, osteoartritis, dan penyakit jaringan ikat lainnya mengalami flare dan memberikan gambaran yang menyerupai artritis septik atau mengalami infeksi sehingga memberikan prognosis yang buruk karena sering terjadi keterlambatan diagnosis artritis septik. Sering pasien tidak mengalami demam dan gambaran klinis yang
19
indolen. Sehingga diagnosis artritis septik harus selalu dipikirkan bila terjadi inflamasi mendadak pada satu atau dua sendi pada pasien ini. Artritis traumatik Artritis traumatik merupakan artritis yang disebabkan ol eh adanya trauma baik trauma tumpul, penetrasi, maupun trauma berulang atau trauma dari pergerakan yang tidak sesuai dari sendi yang selanjutnya menimbulkan nekrosis avaskular. Nekrosis avaskular terjadi karena terhentinya aliran darah ke bagian kaput femoral dan selanjutnya tulang menjadi rapuh. Kartilago yang mengelilingi menjadi rusak dan menimbulkan keluhan dan gejala berupa pembengkakan, nyeri, instabilitas sendi, dan perdarahan internal. Analisa cairan sendi ditemukan banyak se-sel darah merah.
2.7 Komplikasi
Komplikasi Anemia
Keterangan Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit. 75% pasien AR karena penyakit kronik dan 25% OS memberi respons terhadap terapi besi. Kanker - Akibat sekunder dari terapi - Kejadian limfoma dan leukemia 2-3 kali lebih sering - Peningkatan resiko terjadinya berbagai tumor solid - Penurunan resiko kanker genitourinaria - Diperkirakan karena penggunaan OAINS Komplikasi - Efusi pericardial asimtomatik saat diagnosis ditegakkan kardiak - Dapat terjadi miokarditis - Blok atrioventrikular jarang ditemukan Penyakit tulang - Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa belakang leher menyebabkan instabilitas sumbu atlas (cervical spine - Hati- hati bila melakukan intubasi endotrakeal disease) - Ditemukan hilangnya lordosis servikal dan berkurangnya lingkup gerak leher - Subluksasi C4- C5 dan C5- C6 - Penyempitan celah sendi pada foto servikal lateral - Myelopati ditandai dengan kelemahan bertahap pada ekstremitas atas dan parestesia Gangguan mata Episkleritis jarang terjadi Pembentukan - Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena fistula - Terhubungnya bursa dengan kulit Peningkatan Efek dari terapi infeksi Deformitas - Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal sendi tangan - Deformitas boutonniere (fleksi PIP & hiperekstensi DIP) - Deformitas swan neck (kebalikan deformitas boutonniere) - Hiperekstensi ibu jari - peningkatan terjadi ruptur tendon Deformitas Frozen shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan karpal sendi lainnya dan tarsal Komplikasi - Nodul paru bersama kanker dan pembentukan lesi kavitas pernafasan - Dapat ditemukan inflamasi pada sendi cricoarynoid dengan gejala suara serak & nyeri pada laring 20
- Pleuritis pada 20% OS - fibrosis intestinal ditandai dengan ronki pada pemeriksaan fisik Nodul Pada permukaan ekstensor ekstremitas/ daerah penekanan reumatoid lainnya, daerah sclera, pita suara, sarkum atau vertebra Vaskulitis - Bentuk kelainan : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus, arteritis organ visera dan arteritis coroner - peningkatan resiko pada : penderita perempuan, titer RF tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat berbagai DMARD - Berhubungan dengan peningkatan resiko terjadinya infark miokard PIP (proximal interphalangeal), DIP (distal interphalangeal), RF (rheumatoid factor) Komplikasi Pleuroparenkimal Primer dan Sekunder dari Artritis Rhematoid Penyakit pleura - Efusi pleura, fibrosis pleura Penyakit jaringan interstisial paru - Pneumonia interstisial, pneumonia interstisial nonspesifik, organizing pneumonia, kerusakan alveolus difus, pneumonia eosinofilik akut, penyakit fibrobulosa apikal, amiloid, nodul rematik Penyakit pulmonar veskular - Hipertensi pulmonary, vaskulitis, perdarahan alveolar difus dengan kapilaritis Komplikasi vaskular pulmonal Infeksi oportunistik - Tuberculosis paru, infeksi mikobakterium atipik, nokardiosis, aspergilosis, pneumonia pada pneumositis jeroveci, pneumonitis sitomegalovirus Toksisitas obat - Metotreksat, aurum, D-penisilamin, sulfasalazin
2.8 Penatalaksanaan RA harus ditangani dengan sempurna. Penderita harus diberi penjelasan bahwa penyakit ini tidak dapat disembuhkan (Sjamsuhidajat, 2010). Terapi RA harus dimulai sedini mungkin agar menurunkan angka perburukan penyakit. Penderita harus dirujuk dalam 3 bulan sejak muncul gejala untuk mengonfirmasi diganosis dan inisiasi terapi DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs) (surjana, 2009).
Terapi RA bertujuan untuk : a. Untuk mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien b. Mempertahakan status fungsionalnya c. Mengurangi inflamasi 21
d. Mengendalikan keterlibatan sistemik e. Proteksi sendi dan struktur ekstraartikular f. Mengendalikan progresivitas penyakit g. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi
Terapi Farmakologik Artritis Reumatoid
Dalam jurnal “The Global Burden Of Rheumatoid Arthritis In The Year 2000”, Obatobatan dalam terapi RA terbagi menjadi lima kelompok, yaitu (Symmons, 2006) : 1. NSAID (Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) untuk mengurangi rasa nyeri dan kekakuan sendi. 2. Second-line agent seperti injeksi emas (gold injection), Methotrexat dan Sulphasalazine. Obat-obatan ini merupakan golongan DMARD. Kelompok obat ini akan berfungsi untuk menurukan proses penyakit 20 dan mengurangi respon fase akut. Obat-obat ini memiliki efek samping dan harus di monitor dengan hati-hati. 3. Steroid, obat ini memiliki keuntungan untuk mengurangi gejala simptomatis dan tidak memerlukan montoring, tetapi memiliki konsekuensi jangka panjang yang serius. 4. Obat-obatan immunosupressan. Obat ini dibutuhkan dalam proporsi kecil untuk pasien dengan penyakit sistemik. 5. Agen biologik baru, obat ini digunakan untuk menghambat sitokin inflamasi. Belum ada aturan baku mengenai kelompok obat ini dalam terapi RA. Terapi yang dikelompokan diatas merupakan terapi piramida terbalik, dimana pemberian DMARD dilakukan sedini mungkin. Hal ini didapat dari beberapa penelitian yaitu, kerusakan sendi sudah terjadi sejak awal penyakit, DMARD terbukti memberikan manfaat yang bermakna bila diberi sedini mungkin, manfaat penggunaan DMARD akan bertambah bila diberi secara kombinasi, dan DMARD baru yang sudah tersedia terbukti memberikan efek yang menguntungkan bagi pasien. Sebelumnya, terapi yang digunakan berupa terapi piramida saja dimana terapi awal yang diberikan adalah terapi untuk mengurangi gejala saat diganosis sudah mulai ditegakkan dan perubahan terapi dilakukan bila kedaaan sudah semakin memburuk (Suarjana, 2009). DMARD (Disease Modifying Anti-Rheumatic Drugs), pemilihan jenisnya pada pasien harus mempertimbangkan kepatuhan, berat penyakit, pengalaman dokter, dan penyakit penyerta. DMARD yang paling sering digunakan adalah MTX (Metrothexate), hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etarnecept. (Suarjana, 2009) *DMARD pilihan pertama * pilihan pertama pada pasien RA dan digunakan pada 60% pasien (Katzung, 2010) **waktu terpendek untuk mengevaluasi respon terapi. Waktu ini ditetapkan oleh peneliti. Dalam pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanannya. Rekomendasi evaluasi dasar yang direkomendasikan oleh ACR adalah pemeriksaan darah perifer lengkap, kreatini serum, dan transaminase hati (Surjana, 2009).
22
Dalam terapi farmakologi pasien RA, terapi kombinasi memiliki nilai yang lebih superior dibanding monoterapi. Kombinasi yang efektif dan aman digunakan berupa (Suarjana, 2009) : 1. MTX + hidroksiklorokuin, 2. MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalaxine 3. MTX + sulfasalazine + prednisolone, 4. MTX+ leflunomid 5. MTX+ infliximab 6. MTX+ etanercept 7. MTX+ adalimumab 8. MTX+ anakinra 9. MTX+ rituximab 10. MTX+ inhibitor TNF (lebih efektif dan lebih mahal) (Suarjana, 2009). Rekomendasi praktek klinik untuk terapi RA dengan bukti evidence paling baik adalah penderita RA harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan penyakit, NSAID diberikan dengan dosis rendah dan harus diturunkan setelah DMARD mencapai respon yang baik, krotikosteroid diberikan dalam dosis rendah dan pemberian dalam waktu pendek, terapi kombinasi lebih baik dibanding dengan monoterapi (Suarjana, 2009). NSAID yang diberikan pada RA digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Obat ini tidak merubah perjalanan penyakit. Penggunaan NSAID pada RA mempunyai resiko komplikasi serius yang dua kali lebih besar daripada penderita OA. Penggunaan obat ini harus dipantau dengan ketat (Suarjana, 2009). Penggunaan glukokortikoid kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Pemberiannya harus diimbangi dengan pemberian kalsium dan vitamin D. Pemberian secara injeksi cukup aman bila hanya mengenai satu sendi dan RA mengakibatkan disabilitas yang bermakna (Suarjana, 2009).
Terapi non-Farmakologik Artritis Reumatoid
Terapi non-farmakologi melingkupi terapi modalitas dan terapi komplementer. Terapi modalitas berupa diet makanan (salah satunya dengan suplementasi minyak ikan cod), kompres panas dan dingin serta massase 25 untuk mengurangi rasa nyeri, olahraga dan istirahat, dan penyinaran menggunakan sinar inframerah. Terapi komplementer berupa obat-obatan herbal, accupressure, dan relaxasi progressive (Afriyanti, 2009). Terapi bedah dilakukan pada keadaan kronis, bila ada nyeri berat dengan kerusakan sendi yang ekstensif, keterbatasan gerak yang bermakna, dan terjadi ruptur tendo. Metode bedah yang digunakan berupa sinevektomi bila destruksi sendi tidak luas, bila luas dilakukan artrodesis atu artroplasti. Pemakaian alat bantu ortopedis digunakan untuk menunjang kehidupan sehari-hari (Sjamsuhidajat, 2010)
2.9 Prognosis 23
Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain: Skor fungsional yang rendah, status sosial ekonomi renda, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat permulaan penyakit, RF atau anti-CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada nodul rheumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya. Sebanyak 30% penderita AR dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan respons yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun 1980-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderita AR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil ini mungkin akan menurun setelah penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.
2.10 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang Diagnostik untuk Artritis Reumatoid
Pemeriksaan penunjang C-reactive protein (CRP)
Temuan yang berhubungan Umumnya meningkat sampai 0,7 picogram/mL bisa digunakan untuk monitor per jalanan penyakit.
Laju endap darah (LED)
sering meningkat 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dL, anemia normokromik, mungkin juga normositik atau mikrositik Mungkin meningkat. Biasanya meningka Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat. Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif Faktor reumatoid (RF) dapat diulang setelah 6 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif pada beberapa penyakit seperti sLE, skleroderma, sindrom Sjogren's, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan penyakit.
Hemoglobin/hematocrit
Jumlah leukosit Jumlah trombosit Fungsi hati Faktor reumatoid (RF)
Foto polos sendi
Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. . Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya.
24
MRI
Anticyclic citrullinated peptide (anti-CCP)
Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos tampilan struktur sendi lebih rinci Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan RF. Tidak semua antibody (anti-CCP) laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP.
Anti-RA33
Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negative
Antinuclear antibody (ANA) Konsentrasi komplemen lmunoglobulin (lg) Pemeriksaan cairan sendi
Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR. Normal atau meningkat lg o-1 dan a-2 mungkin meningkat. Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif dan kadar glukosa rendah Tidak ada hubungan langsung dengan AR, kan untuk memonitor efek samping terapi. Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan jaringan ikat.
Fungsi ginjal Urinalisis
L.O.3 Memahami dan Menjelaskan Pandangan Islam dalam Sabar Menghadapi Penyakit
Allah SWT berfirman: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun. mereka Itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka dan mereka Itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Baqarah: 155-157).
Kesabaran dalam kondisi tertimpa musibah menjadi wajib jika kesabaran itu yang akan menghalangi seseorang berbuat dosa lantaran tertimpa musibah. Ibnu Qayyim AlJauziyyah berkata: “Sabar menjadi wajib sesuai kesepakatan Ulama, ia adalah setengah iman, karena iman memiliki dua bagian, bagian pertama sabar dan bagian kedua syukur”. (Madarijussalikiin, tingkatan sabar).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Rasulullah saw melewati seorang perempuan yang sedang menangis di hadapan kuburan, Rasul berkata: “Bertakwalah kepada Allah SWT dan bersabarlah”. Pergi sana, engkau tidak merasakan deritaku dan tidak mengetahuinya!”. Maka disampaikan kepada perempuan itu, bahwa lelaki tadi adalah Rasulullah saw. Maka ia mendatangi rumah Nabi, dan tidak menemukan adanya petugas yang menjaga rumah, maka ia berkata kepada Rasul: “Aku tidak mengenalmu (tadi)”. R asul bersabda: “Sesungguhnya sabar itu pada benturan pertama”. (HR. Bukhari) 25
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sungguh menakjubkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua urusannya merupakan kebaikan , dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika dia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya . (HR. Muslim)
“Allah tidak akan membebani seorang anak manusia di luar batas kemampuannya.” (Q.S Al Baqarah:286
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (Al-Mulk:2) “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah k amu dikembalikan.” ( Al-Anbiya’:35) “Dan apabila aku sakit, maka Dia (Allah) akan memberikan kesembuhan...” (Asy Syu’ara : 80) “Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Ad-Daulabi. Asy-Syaikh Al-Albani menyatakn sanad hadits ini hasan. Lihat Ash-Shahihah no.1633) “Tidaklah Allah menurunkan satu penyakit pun melainkan Allah turunkan pula obat baginya. Telah mengetahui orang-orang yang tahu, dan orang yang tidak tahu tidak akan mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhari. Diriwayatkan juga oleh Al-Imam Muslim dari Jabir radhiyallahu’anhu) “Semua penyakit ada obatnya. Jika sesuai antara penyakit dan obatnya, maka akan sembuh dengan izin Allah.” (HR Muslim 2204) Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
“sesungguhnya pahala yang besar didapatkan melalui cobaan yang besar pula. Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah akan memberikan cobaan kepadanya, barangsiapa yang ridho (menerimanya) maka Allah akan meridhoinya dan barangsiapa yang murka (menerimanya) maka Allah murka kepadanya.” [1] Sabar memiliki keutamaan yang sangat besar di antaranya: 26
1. Mendapatkan petunjuk. Allah Ta’ala berfirman: “Tidak ada sesuatu musibahpun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Al lah; Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah, niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [11] 2. Mendapatkan pahala yang sangat besar dan keridhaan Allah. Allah Ta’ala berfirman, “sesungguhnya hanya orang -orang yang bersabar diberikan pahala bagi mereka tanpa batas.” [12] 3. Mendapatkan alamat kebaikan dari Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila Allah menghendaki kebaikan pada seorang hamba -Nya maka Dia menyegerakan hukuman baginya di dunia, sedang apabila Allah menghendaki keburukan pada seorang hamba-Nya maka Dia menangguhkan dosanya sampai Dia penuhi balasannya nanti di hari kiamat.” [13] 4. Merupakan anugrah yang terbaik Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah menganugrahkan kepada seseorang sesuatu pemberian yang labih baik dan lebih lapang daripada kesabaran.” [14]
27
DAFTAR PUSTAKA Akib, Arwin AP,dkk.2007. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak , Edisi 2. Jakarta: IDAI Baratawidjaja, Karnen Garna. 2014. Imunologi Dasar edisi 11. Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Dorland WA, Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 702, 1003 Purwaningsih, Endang. 2013. Disfungsi Telomer Pada Penyakit Autoimun. Jakarta: Jurnal Kedokteran Yarsi. Vol 21, No. 1:041-049 Setiati, S et all. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Ed. VI . Jakarta: InternaPublishing Suarjana, I Nyoman. 2015. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid III, Ed. VI . Jakarta: InternaPublishing https://almanhaj.or.id/222-keutamaan-sabar-menghadapi-cobaan.html
http://digilib.unila.ac.id/2424/9/2.%20Bab%202.pdf https://muslim.or.id/547-rahasia-sakit.html
http://ojs.unud.ac.id/index.php/jim/article/viewFile/3880/2875
28