Penelitian dan Pengembangan llmu-llmu Agama
Lembaga Penelitian UIN Sunan Kaliiaga Yogyakarta
PENGELOLA PENERBITAN
Penanggungiawab: Fuad
Ketua Penyunting: Muh. Syamsuddin Penyunting Pelaksana: Muh. Isnanto, Maharsi, Syafiq Mahmadah Hanafi Sekretariat: Sri Jauharin Alfiyah, Tasik Intani, Sutatmi
STT: SK MENPEN RI NO: l99B/SK/DITJEN PPG/STTll994
ISSN: 0854 2732
L emb aga
Diterbitkan oleh: Penelitian UIN Sunan Kaly
aga Yo gyakarta
Alamat: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga J1. MarsdaAdisucipto, Telp. (0274) 550776,Fax. (0274) 5507'76 Yogyakarta 55281 e-mail: lemlit(@uin suka.ac.id
Penagama merupakan jumal penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu agama. Nama Jumal ini adalah hasil perubahan dari Jurnal Penelitian Agama yang pefiama kali diterbitkan oleh Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarla berdasarkan SK Rektor No. 74 Tahun 1992 tanggal 1 Agustus 1992 sebagai media komunikasi hasil penelitian antar peneliti, ilmuwan dan cendekiawan. Kemudian mulai terbitan No. 5 berdasarkan SK Rektor No. 125 Tahun 1993 tanggal 12 Nopember 1993 mengalami perubahan struktur pengelola penerbitan sesuai dengan ketentuan dari Depademen Penerangan RI. Nama Penagama rnulai digunakanpadaVol.
XVIIINo.
1
Tahun 2009.
Penagama terbit setiap 4 bulan sekali dan menerima setiap karya tulis sesuai dengan maksud jurnal tersebut di atas. Naskah yang dikirim agar diketik rapi sekitar 20-25 halaman, 2 spasi, sumber kutipan dirulis dalam bentuk in note dan mencantumkan daftar pustaka sebagai sumber referensi dan dilengkapi dengan biodata penulis. Redaksi berhak memperbaiki susunan kalimat tanpa mengubah isi karangan vang dimuat.
I
SN:0854-2732
|urnalPenelltlantlanPengembanganllmu-llmuAgama Vol. XlX, No.
1-,
Januari - APril 2010
PEMIKIRAN TEOLOGIS ALIRAN SALAFIYAH NGEMPLAK SLEMAN YgGYAKARTA) (sruDl poNDoK IHYA As siiriir*i'oi'o'ieolrH ur,tsuLgAgrANl Okrisal Eka Putra
RELIGIARU4SUBSISTENSI,DANKAPITALISMENEGARADALAMPENGEMBANGANPRoDUKSIPANGAN DI LOKSADO, KALIMANTAN SELATAN Moh Soehadha
WARGAMUHAMMADIYAHKoTAGEDEYoGYAKARTADANSEMANGATMULTIKULTURALISME Muh. Syamsuddin
DI AMBON BELAJAR DARI KEKERASAN BERNUANSA AGAUA Handi Hadiwitanto dan Carl Sterkens
ANTRoPoLoGIHUKuMQISAS(AnalisisPenerapannyadalamBudayaHukumlndonesia} Ali Sodgin
BANI UMAYYAH PBOBLEM PENULISAN SEJARATI ISLAM DAULAH Abu Sufyan dan Yazid Bin Mu'awiyah) (Studi Atas pencitraan Ntg.tit'ihtiif.ft Mu'awiyah Bin Nurul Hak
Dl DUNIA MAYA ISLAM ONLINE: ORMAS'ORMAS ISLAM INDONESIA Arif Mattuhin KEKERASANPADASINETRoNREMAJA(AnalisislsiceritaSinetronRemaiaYang Mengandung Kekerasan) ianian Sri ianityastuti, Yani Tri Wiiauanti dan M' Mahfud ANALISIS GENDER DALAM KAJIAN TAFSIR INDOI{ESIA penarsiran surat an-Nisa Datam Talsir Al-our'an Kontempore0
Girol-i"rp"r,it ksyadunnas
KEBERAGAIiIAAN FIKSIONIS PEREMPUAN ARAB PERAN SOSIAL PEREMPUAN MENUBUT PERSPEKTIF (Analisis Pada Unsur Tema Fiksi) ' Tatik M ar iY atut Tasni m ah
TASAWUF SUNAN KALIJAGA Syailan Nur
BOOK REVIEW
uiuCennlvaKAN
PERUBAHAN PERAN
ULAMA DALAM DUNIA MODERN Munawar Ahmad
(sH'FnilG Rotq
DAFTAR ISI
PEMIKIRAN TEOLOGIS ALIRAN SALAFIYAH (STUDI PONDOK IHYAAS SUNNAH DI DEGOLAN T]MBULMARTANI NGEMPLAK SLEMAN YOGYAKARTA) Okrisal Eka
Putra
............... ...............1-13
RELIGI AR UIT, SUBSISTENSI, DAN KAPITALISME NEGARA DALAM PENGEMBANGAN PRODUKSI PANGAN DI LOKSADO, KALIMANTAN SELATAN Moh Soehadha........... ....14-35 WARGA MUHAMMADIYAH KOTAGEDE YOGYAKARTA DAN SEMANGAT MULTIKULTURALISME Muh. Syamsuddin
36-56
BELAJAR DARI KEKERASAN BERNUANSA AGAMA DI AMBON Handi Hadiwitanto dan CarI
Sterkens
ANTROPOLOGT HUKUM QrSAS (Analisis Penerapannya dalam Budaya Hukum Indonesia) Ali Sodiqin
57-84
.85-108
PROBLEM PENULISAN SEJARAH ISLAM DAULAH BANI UMAYYAH (Studi Atas Pencitraan Negatif Khalifah Mu'awiyah Bin Abu Sufyan dan YazidBinMu'awiyah) Nurul Hak........... ........109-132
ISLAM ONLINE: ORMAS.ORMAS ISLAM INDONESIA DI DUNIAMAYA Arif Maftuhin...............
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRI]- 2O1O
133-149
BELAJAR DARI KEKERASAN BERNUANSA AGAMA DI AMBON Handi Ha.diwitantox dan CarI Sterkens** *Dosen biasa bidang teologi praktika di Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta **Asisten profesor di bidang teologi praktika dan empiris di Fakultas ilmu agama-&gama dan teologi di Radboud University Belanda
Abstract Religiously inspired violence as a social problem has never been able to be separated from other factors within society. Societal domain, namely economy, politics, social and culture are important factors which need to be examined in relation to religious groups and practices, because there is a strong interaction between religion as a social system and particular societal domnin. In particularly context of Ambon, research show that this kind of interaction can be a strong cause promoting religiously inspired violence. Obviously we can learn from this article not only about the cause of religiously inspired violence in Ambon, but also how to anticipate and acknowledge the potency of religion promoting the positive attitudes, such as solidarity and trust within the society. Keywords : Ambon, KonJtik, (Jmat Beragama
I.
Pendahuluan
Walaupun tulisan-tuli san i lmiah tentang kekerasan bernuansa agama sudah banyak (dan masih akan terus bertambah), tetapi di sisi lain sebenarnya tidaklah mungkin untuk menyedi akan sebuah teori komprehensi f yang dapat menj el askan
Hondi Hadiwitanto dan Corl Sterkens, Belojar dori Kekerosan Bernuonso Agoma di Ambon
masalah konflik serta kekerasan secara umum dari sudut pandang agama saja. Alasannya dapat sederhana tetapi dapat juga menjadi kompleks. Agama-sebagai sebuah konstruksi sosial
- terkait
amat dalam dengan lingkungannya dan terusmenerus berubah sesuai dengan perubahan lingkungan tersebut. Agama tidak dapat
dipisahkan dari konteks sosialnya. Karenaitu agamadan ideologi religius saling terkait dengan faktor ekonomi, politik, sosial serta budaya dan menjadi sulit bahkan
tidakmungkinuntukmengisolasi dan mengidentifikasi asal mulamotif melakukan kekerasan bernuansa agamadalam satu situasi tertentu. Paparan umum ini juga berlakuuntukkasus kekerasan antarumatberagamadi propinsi Malukuyangte{adi mulai tahun 1999 yanglalu. Peristiwa kekerasan tersebut hanya dapat dijelaskan dengan baikjika kita juga mempertimbangkan konteks budaya dan perubahan ekonomi, politik serta sosial yang ada di daerah tempat terjadinya kekerasan. Akan tetapi, hal ini tidak beratti bahwa agama tidak berperan sama sekali. Menjadi salah jika kita mengatakan bahwa agama hanya menjadi pemberi motivasi atau pembenaran pada kekerasan, karena hal itu berarti meremehkan kekuatan agama. Paling
tidak
bagi sebagian orang, agama itu sendiri merupakan suatu struktur yang berpotensi menimbulkan intoleransi dan pertumpahan darah. Dalam artikel ini, kami menganalisis kekerasan bemuansa agama yang te{adi
diAmbon yang didasarkan padaperkembangan ekonomi, politik, sosial danbudaya dalam propinsi Maluku. Sebagai tambahan kami juga kemudian melihat kontribusi dari strukturkeagamaan yang (berpotensi) memicu konflik di daerah tersebut. Kami berharap kita dapat belajar kembali melalui kasus dan analisis ini atas berbagai peristiwa kekerasan yang sedikit atau banyak meliba&an agama.
II.
MetodePenelitian
Artikelini merupakan sebuah usahapenelitian literaturterhadapkondisi sosial politik masyarakat Maluku, khususnyaAmbon baik sebelum maupun sesudah peristiwakonflik. Berdasarkanberbagai informasi tersebutkami mencobauntuk menganalisis dan membuat peta penyebab konflik dan kekerasan. Teori-teori agamaagana,teori peran agamadalam ruang publik, teori mengenai konflik bernuansa agama, atau juga teori identitas sosial menjadi 'pisau analisis' untuk mempertajam apa yang kami hipotesiskan di bagian pendahuluan. Tentu kami pahami bahwa
penelitian empiris baik secara kuantitatif maupun kualitatif akan menjadi sangat melengkapi diskusi dalam tulisan ini.
58
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 201O
Handi Hodiwitonto dan Cod Sterkens, Belaiar dori Kekeroson Bernuon: , Agoma di Ambon
III.
Hasil danAnalisis
a.
Latar belakang : Konflik sosial dan kekerasan bernuansa agama di Amhon
Walaupun dalam catatan sejarah Indonesia secara umum peristiwa kekerasan jarang antara masyarakat mayoritas Muslim dan minodtas Kristen relatif yang terjadi
disebutkan, tetapi sehnarnya kekerasan atau konflik sosial yang terkait dengan sukudan agamaterjadi setiaptahundi beberapadaerah. Dalamperistiwa-peristiwa tragisini simbol-simbol keagamaan seringkali digunakan danntmah-rumah ibadat seperti gereja, mesjid atau bangunan-bangunan publik yang terkait dengan suku atau kelompok agama tertentu dibakar atau dirusak. Ada banyak contoh konflik yang melibatkan komunitas religius, misalnya: konflik di Jakarta dan Jember (Jawa)
tahun 1992; konflik di Medan (Sumatera Utara) tahun 1994; dandi Pekalongan (Jawa Tengah) tahun I 995 . Pada peri ode 1992 sampai 1997 , t45 bangunan gerej a dirusak (Sidel 2006, L,73).Antara 1996 sampai 1998 terjadi konflik serius di Situbondo, Tasilanalaya, Solo dan Jakarta (Jawa). Tentu kita masih dapat menyebut
konflik-konflik lain yang terjadi di selunrh Indonesia Secara langsung maupun tidak langsung,banyakkonflikyangterjadi seperti contohdi atas melibatkan agamadan/ ataukomunitas agama. Konflik-konlik tersebut memuncak ketika Suharto mengundurkan diri sebagai presiden Republik Indonesia pada tanggal 2IMei 1998. Segera setelah Suharto tunrndarijabatan kepresidenannya, konflikbesarmeletus diAmbon. Padatanggal 19 Janumi 1999 (bertepatan dengan hari raya Idul Fitri) perkelahian terjadi antara anak-anak muda di terminal Batu Merah di pusat kotaAmbon. Secara kronologis, kenrsuhan di Ambon dapat diHasifikasikan menjadi suatu seri konflik Insiden pertama terjadi mulai dari Januari sampai dengan April 1999 di pusat kotaAmbon. Seri kedua konflik terjadi pada periode Juli sampai Desember 1999, bermula dari kerusuhan besar di Poka, pinggiran kota Ambon pada tanggal 24 Jult 1999' Kerusuhan besar ketiga di kotaAmbon terjadi sehari setelah haitayanatal,Z6 Desember 1999. Kerusuhan serius keempat te{adi bulan Juni 2000. Pemerintah Indonesia membujuk pemimpin-pemimpin dari pihak yang bertikai untuk berpartisipasi dalamkonferensi damai yangkemudian diikuti olehpenandatanganan pakta perjanjian damai Malino pada bulan Febru ai 2N2. ftkantetapi, pada bulan
Mei 2002, kerusuhan baru meletus kembali. Dalam kerusuhan di Ambon ini,
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL2OlO
59
Muh. Syomsuddin, Worgo Muhammodiyoh Kotogede Yogyokarto
...
pemerintah Indonesia baru mencabut status darurat sipil pada bulan Mei 2003. Namun beberapa kerusuhan susulan yang mengejutkan masih terus terjadi, misalnya pada tanggal 25 April Z\O4,terdapat 38 orang meninggal dalam kerusuhan setelah sebuah kelompok kecil pendukung kemerdekaan Maluku mengadakan upacara peringatan ulang tahun ke-54 proklarnasi RepublikMaluku Selatan. Konflik juga tidak berhenti hanya di kota Ambon. Berbagai kerusuhan dengan cepat menyebar ke seluruh penjuru pulau Ambon dan propinsi Maluku (termasuk kerusuhan di Maluku Utaray anglebih berdarah dari kerusuhan di Ambon). Korban yang jatuh dalam kerusuhan Maluku (1999-2000) keseluruhannya diperkirakan bequnilah antara 3000 sampai 4000orang. Jurnlahpengungsi dan orang-orangyang terpaksa pindah karena konflik tersebut diperkirakan antara 123 .000 sampai dengan 370.000 orang (Pemerintah Republik Indonesia & Agen Internasional 2000; ICG finternational Crisis Group] 2000). Pada saat ini situasi di Ambon dan Maluku dapat dikatakan sudah damai, tetapi tidak dapat dipungkiri akibat dari peristiwa tersebut masih membekas. Dalam tulisan ini sendiri kami tidak akan menggambarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Ambon dan Maluku secara kronologis. Apa yang hendak kami katakan di sini adalah peran agama yang muncul secara menyolok pada saat konflik te{adi. Sampai tahun 1999 umat Muslim dan Kristen hidup berdampingan relatif secara harmonis. Karena itu pada periode pertama (Januari-April 1999) kerusuhan di Ambon nampaknya asli Maluku dan terkait dengan perbedaan ekonomi dan sosial ^ntarapenduduk yang di tengah berlaku masyarakat, para pendatang. Tetapi ada anggapan umum yaitu penduduk asli Maluku secara umum memeluk agama Kristen, sedangkan kaum pendatang secara otomatis biasanya disamakan dengan pemeluk agama Islam. Mulai kerusuhan kedua dan seterusnya, perbedaan agama berada di garis depan, karena masing-masing individu kali ini secarajelas mengasosiasikan dirinya dengan kelompok agama tertentu Nama kelompok seperti 'pasukan merah' untuk umat Kristen dan 'pasukan putih' untuk umat Muslim makin sering digunakan dan dikombinasikan dengan isu-isu seperti suku, ras serta ketegangan antar golongan berdasarkan status ekonomi, aliran politik dan identitas sosial budaya. Perbedaan politik dan sosial-
budaya antaraumat Islam dan Kristen semakin sering ditonjolkan, sementara persamaan jarang sekali dimunculkan. Pada saat yang bersamaan perbedaan antar kelompok dalam agama yang sama menjadi tidak begitu penting, mereka hanya memperhatikan kesamaan di antara mereka. Kategori sosial jenis ini, yang oleh
60
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 201O
Bernuons : Agamo di Ambon Hondi Hodiwitonto dancol sterkens, Beloiar dari Kekeroson
psikologi dalam Tajfel (1984) disebut "depersonalisasi", adalah kunci mekanisme mengungkapkapkan 'identitas sosial'individu (Sterkens zffi7).KonflikdiAmbon identitaskelompokagama' Uutun m"rupakan efeklangsungdari upayapendefinisian kelompok agama memang menjadi semakin jelas di dalam
tetapi perbedaan antar konflik meningkat (Tanamal & dan melalui konflik. Hal ini mengakibatkan intensitas Trijono 2004,238ff;Pieris 2004,111, 128; Noorhaidi 2005, 1030. Ambon? apakah faktor-faktor yang relevan dalam konflik di
Jika demikian
Dan bagaimana semua itu terkait dengan agama?
b.
oleh Penafsiran terhadap konteks ekonomi, politik dan sosial'budaya komunitasagama
pada lingkaran Sumber dari banyak konflik bemuansa agama tidak terbatas kita harus melihat pada umat beragama saja. Karena itu dalam konflik di Ambon konteks ekonomi, politikdan sosial-budaya. Konteks tidakhanyapentinguntuk pada resolusi atas konflik antar memahami konflik, tetapi juga memberi kontribusi menafsiftan tersebut Bagaimana komunitas umat beragama di Ambon umat beragama
konteksmereka?Danbagaimanaperkembanganekonomi,politikdansosial-budaya mempengaruhi perbedaan agama di sana?
c.
Konteks ekonomi dalam konflik di Ambon telatr mempenganrhi Sejak masa kolonial Belanda, pemisahan agama di Ambon
perekonomran.PemerintahkolonialBelandamemilihraja-rajadanmembentuknegeri ^Sarani Hal ini (desa-desaKristen) lokal yangrelatif memilikipemerintahan sendiri' Kristen dalam dilakukan untuk membenttrk komunitas berbasis agama. Masyarakat dari pemerintah kolonial komunitas-komunitas Kristen ini memperoleh dukungan pegawai, guru, polisi atau dengan dapat bekerja pada kantor layanan publik seperti
(Koninklijk Nederlandscht"ntaru padaAngkatan Bersenjata Kolonial Belanda (desa-desaMusIndischLeger atau KNIL). Sebaliknya, penduduk negei Salam Kebanyakan umat lim) hampir tidak pernah dipekegakan oleh pemerintah kolonial. bekerja pada agenIslam pada masa itu adalah petani, pedagang, pengusaha atau Kristen di Ambon ug"n orgunisasi non-pemerintah. Jadi, sementara komunitas yang men gontrol memiliki hubun gan baik dengan pemerintah koloni al B elanda, dan cenderung ketersediaan lapangan kerja, komunitas Muslimjustru dipinggirkan kedua kelompok bergantung pada sektor swasta. Perbedaan penghasilan antara
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
6l
Hondi Hodiwitanto don Cod Sterkens, Belojor dori Kekeroson Bernuonso Agoma di Ambon
menjadi sumber kecemburuan sosial yang tidak dapat terhindarkan (Tanamal & Trijono 2004, 232-238; Sidel 2006, 1 69). Dalam perkembangan paska kolonialisme Belanda, faktor ekonomi tetap menjadi sumber potensial konflik di Ambon. Di bawah pemerintahan orde Baru (khususnya 1966-1988), Suharto mendeklarasikan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas kebijakannya. Keputusan-keputusan yang diambil tentujuga mempengaruhi kondisi perekonomian di propinsi Maluku, khususnya diAmbon. Padamasaitu ada banyak pendatang (sebagian adalah umat Islam) yang datang ke Maluku karena pemerintah juga menciptakan lapangan kerja baru bagi komunitas pendatang tersebut. Perubahan-perubahan ini membuat komunitas Kristen yang semula menikmati berbagai kemudahan mulai kehilangan sebagian kekuatan ekonomi dan politiknya.Hubunganpaffon-klienmasihterusmendominasimekanismeperekrutan tenaga kerja, namun kontrol kelompok Kristen telah banyak berkurang. Dapat dipahami di sini, kesenjangan ekonomi yang cenderung dipengaruhi oleh pemisahan berdasmkan agama menimbulkan ketegangan bemuansa agirma dan rasa saling tidak
percayaantarkelompokyangberbeda. Sebagai contoh, dalamkomunitas Kristen, timbul perasaan bahwa dominasi ekonomi oleh pendatang khususnya dari Buton, Bugis dan Makasar didalangi oleh pemerintah propinsi Maluku dalam upaya mengembangkan islamisasi di daerah tersebut. Di sisi lain jejaring Muslim mulai muncul, khususnya selamatahun 19f)-an, yang menawarkan akses padahubunganhubungan dengan pemerintah. Di sini kita dapat melihat bahwa ketegangan ekonomi adalah bom waktu di tengah masyarakatAmbon, ditandai dengan meningkatnya ketegangan antara komunitas Kristen dan Islam. Kurangnya pekerjaan bagi umat Islam selama pemerintahan Kolonial Belanda dan bagi umat Kristen di bawah pemerintahan Orde Baru, menyebabkan (tidak secara bersamaan) perasaan terpinggirkan bagi kedua pihak. Sementara itu, situasi ekonomi di Asia Tenggara sendiri tidak ada dalam keadaan yang cukup baik. Krisis ekonomi yang terjadi kemudian menunrnkan taraf hidup masyarakat, dan kemiskinan secara umum semakin
memicu ketegangan antara mereka yang diistimewakan dan mereka yang dipinggirkan.Apalagi ketikahal tersebut semakin dipandang dan dikaitkan dengan konteks hubungan antar agama. Ketika situasi ekonomi ini dikombinasikan dengan pemahaman agama yang ditafsirkan secara sempit, maka masalah ekonomi dapat menjadi pengaruh yang amatnegatif bagi penoalan hubungan antarumatberagama (Mc Terman 2003, 10; Thnamal & T rijono 2964; McC artney 2W, 73f; Van Klinken 2006 ; Loveband & Young 2007 ).
62
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 201O
Hondi Hodiwitanto dan Corl Sterkens, Belojar dari Kekeroson Bernuan
d.
t Agoma di Ambon
Konteks politik dalam konflik diAmbon
Sebuah tinjauan singkat terhadap konteks politik juga dapat membantu menjelaskan tentang asal mula konflik antar umat beragama. Untuk waktu yang lama, kepulauan Maluku terbagi menjadi dua daerah besar. Di Utara (termasuk
pulau Ternate dan Tidore) mayoritas penduduknya sejak lama sampai dengan sekarang adalah umat Islam, sementara itu di Selatan (termasuk pulau Ambon) mayoritas penduduknya adalah umat Kristen. Sejak sebelum kedatangan Belanda di kepulauan Malukutelah terjadi ketegangan sporadis antarkerajaan, klan atau kelompoksukudi sini. Biasanyakonflikyangtedadi adalahpersoalan mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan. Pemisahan berdasarkan agama yang dilakukan pada masa pemerintahan kolonial Belanda dalam tingkat tertentu adalah kelanjutan dari polarisasi politik antara klan-klan dan kelompok suku yang tenebar di kepulauan Maluku. Secara umum masyarakat Muslim dan Kristen di Maluku dapat hidup berdampingan karena diperkuat oleh pela (pakta), yaitu sebuah ikatan yang unik antar masyarakat desa yang melebihi ikatan pertalian agama (Tanamal & Trijono 2004,233; Pieris 2004,165). Tetapi secara faktual, pada masa pemerintahan kolonial Belanda, sebagian komunitas Kristen di Ambon lebih senang melihat diri mereka sebagai orang Belanda. Apalagi beberapa di antara mereka dapat berbicara bahasa Belanda dan bekerja untuk pemerintah Belanda. Sedangkan di sisi yang lain, komunitas Muslim adalah kelompok yang lebih terpinggirkan karena diabaikan oleh pemerintah Belanda. Hal ini kemudian menimbulkan sikap negatif (yang mendalam) terhadap komunitas Kristen. Secara umum komunitas Muslim tidak menyukai pemerintah Belanda dan memandang kekuasaan kolonial sebagai lambang kekafiran. Dan akibat hubungan khusus yang te{adi antara komunitas Kristen dan pemerintahBelanda,masyarakatMuslimjugakemudianmemiliki stereotipterhadap kelompok Kristen sebagai kelompok yang berorientasi kuat terhadap sosial politik Belanda. SedangkanmasyarakatMuslimsendiri lebihmemandangdiri sebagaikaum nasionalis lndonesia. Setelah Indonesia merdeka, isu nasionalisme yersrr,s separatisme menjadi makin
relevan. Prasangka bahwa kaum Kristen kurang memiliki kebanggaan terhadap bangsa Indonesia dan menjadi pendukung bagi kemerdekaan Republik Maluku Selatan makin meluas. Sebalikny4 kaum Muslim, secara umum dipandang mendukung
penuh negara kesatuan Republik Indonesia dan tunduk sepenuh hati pada pemerintahan Indoneisia di Jawa. Di bawah pemerintahan Orde Baru, pendatang
PENAGAMA, VOL XIX, NO. 1 JANUARI_APRIL 2O1O
63
j
I
I
HondiHodiwitantodan CorlSterkens, Belajardari Kekeroson BernuonsaAgamodiAmbon
Muslim dari Buton, Bugis dan Makasarjuga semakin mengubah keseimbangan kekuasaan antar suku, dan juga komunitas umat beragama. Pemerintah pusat kurang peka terhadap sensitivitas lokal dan kurang memperhatikan konsekuensi sosial dari
migrasi besar-besaran ini. Kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah yang sangat terpusat kurang memiliki prosedur demokrasi yang jelas dan sampai pada tingkatan tertentu mengabaikan suara penduduk lokal. Semakin banyaknya kaum
Muslim yang datang ke Ambon memperkuat kepercayaan diri penduduk Muslim Ambon, tetapi juga memberi kontribusi terhadap pemisahan kelompok-kelompok umat beragama yang semakin tajam. Beberapa kaum pendatang Muslim seringkali datang dengan keyakinan bahwa saudara mereka di pulau tersebut ditindas oleh umat Kristen. Kaum pendatang yang lebih radikal mencoba memperoleh kekuasaan politik sebagai "kewajiban menjalankan agamd' . Semua ini meningkatkan polarisasi
politik antar kelompok umat beragama. Komunitas Kristen yang terbiasa menikmati status istimewa di bawah pemerintahan Belanda, kini merasa terpinggirkan dan terdiskriminasi. Mereka memandang diri mereka sebagai warga negara kelas dua. Karena struktur kekuasaan dan kebijakan-kebijakan di Maluku tidak memiliki dukungan yang kuat dari semua penduduk maka kekuasaan politik yang ada menjadi rapuh. Kurangnya dukungan publik yang kokoh membuat situasi politik di Ambon tidak stabil sejak awalnya (bdk. Chaufel 1990; Pieris 2004,7-21,168,246ff; T?rnamal &Tiijono 2004,236: Noorhaidi 2005, 107; Sidel2006, 196ff; Van Klinken 2006). Setelah tumbangnya Orde Baru kekosongan kekuasaan menimbulkan rangkaian
kekerasan di Ambon. Bagi beberapa orang, desentralisasi politik setelah kejatuhan
Suharto,membangkitkankembalikeinginanuntukmemilikipemerintahanyanglebih otonom dan menebar ancaman terhadap kesatuan nasional. Setelah pengunduran diri Suharto, presiden B.J. Habibie (1998-1999) merespon secara positif tuntutan yang telah berlangsung lama untuk kekuasaan otonomi regional yang lebih besar dengan memberikan propinsi-propinsi di Republik Indonesia kekuasaan untuk menarik pajak dan menjalankan kekuasaan yang lebih luas. Mekanisme yang disebut
pemekaran(mengindikasikanotonomilokal)dimulaiketikadesentalisasimengijinkan pembagian propinsi-propinsi, kabupaten-kabupaten dan kotamadya-kotamadya untukmenjadi unit-unityang lebih kecil, khususnyapadatingkatan kabupaten dan kotamadya di daerah pinggiran. (bdk. Bell2001). PresidenAbdurrahman Wahid
(L999-2Wl) pun memperhatikan kebutuhan akan pemerintahan yang lebih otonom
64
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
Hondi Hodiwitanto danCod Sterkens, Belaior dari Kekeroson Bernuons , Agamo di Ambon
di daerah tefientu, terbukti dengan negosiasi yang dilakukan dengan perwakilan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh pada masa itu. Di Bulan Oktober 1998, padatingkatan lokal beredarrumor (tersebar dengan cepat melalui pamflet-pamflet di kotaAmbon) bahwa Gubernur Maluku berencana untuk mengganti pejabatpejabat tinggi pemerintah dengan mefeka yang beragama Islam, (sesuatu yang sebenarnya tidak pernah benar-benar terjadi). Pada tan ggal7 Juni 1999 berlangsung pemilihan umum dan hasilnya (yang diumumkan di Ambon pada tanggal 21 Juli)
ini membawa beberapa perubahan politik. Singkatnya, banyak pihak memandang sebagai saatyangmenentukan; siapaakanmemimpin siapadan siapaakanmenguasai siapa?
Nampaknya mulai berkembang suatu opini bersama bahwa konflik di Ambon bermula karena masalah lokal tanpa didalangi pihak luar. Kepentingan elit lokal cukup kuat untuk memicu kerusuhan ini, sedangkan pemerintah Indonesia tidak pejabat nxun-pu menangani situasi ini. Salah satu contohnya adalah ketika beberapa p"*"rirrtuh, baikdari TNI maupun kepolisian, dianggap cenderung memihak salah
konflik ini. Kerusuhan pertama kali adalah perkelahian tangan kosong tetapi kemudian senjata api (senjata otomatis) mulai sering digunakan. Selama konflik berlangsung, laskar Jihad datang ke Maluku (secara lebih khusus ke bagian utara) untuk membela saudara-saudara Muslim dan bertempur melawan orang-orjuga Sidel 2006,1840) lebih ang Kristen. Menurut laporan ICG 2N5;2007 (lih. satu golongan dalam
Di dari 3000 orang anggota laskar jihad datang dari Jawa ( Noorhaidi, 2005:197)' juga diduga pihak lain pemberontak separatis Kristen dari Republik Maluku Selatan sudut Jika datang ke Ambon dari pembuangan mereka di Belanda untuk bertempur. pandangpolitrkdigunakanmakakitadapatmelihatbahwakonflikdiMalukubukanlah mengenai cafa yang benar dalam menyembah Tuhan ataupun tentang perbedaan pandangantentangpewahyuan agama. Perangitu adalah mengenai pengaruhpolitik dan perebutan kekuasaan. Kekerasan terjadi untuk mempertahankan kepentingan kelompok dan keberadaan struktur pengayom serta nepotisme. Dalam hal ini, agama berfungsi sebagai pembenaran dan lebih jauh lagi legitimasi bagi konflik yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Padatingkatan tertentu agama secara sengaja dipilih dan ditonjolkan di antarabanyakjenis interaksi sosial. Suatu contoh yang
baik untuk mengilustrasikan hal ini adalah pandangan umum yang beredar bahwa penduduk asli Ambon adalah umat Kristen sedangkan pendatang adalah umat Islam (bdk. McTerman 2003; Panggabean 2a04,54;Tanamal & Trijono 2004,234ff;
PENAGAMA, VOL. XIX, NO.
1
JANUARI-APRIL 201O
65
Hondi Hodiwitonto don Corl Sterkens, Belojor dari Kekerasan Bernuonso Agomo di Ambon
Loveband &Young 2006;Van Klinken 2006). DalamkonteksAmbon, secarahistoris, kompetisi politik(sepertijugakompetisi ekonomi yang telah dipaparkan di atas) menjadi semakin kuat sejalan dengan aliran agama yang mendominasi. Dalam konteks seperti itu baik Muslim maupun Kristen makin memandang diri mereka sebagai korban dari kepentingan kelompoklain. Dan kemudian perbedaan agama menjadi semakin menguat ketika dibutuhkan motivasi untuk befiempur demi kepentingan ekonomi dan politik. Menguasai pihak lain, dalam pengertian religius, ditafsirkan sebagai kemenangan atas kejahatan. Memperoleh kekuasaan politik dapat dibaca sebagai kewajiban religius, dan memelihara kekuasaan tersebut menjadi bukti akan ketaatan religius. Sama juga halnyamenyerangpenguasapolitikyang dikontrol oleh aliran agamateltentudapat diartikan sebagai penyerangan terhadap yang suci. Dengan bantuan dari pemahaman sefia metafora-metafora religius, perjuangan meraih kekuasaan dapat menjadi sebuah
"perang menegakkan keadilan" bahkan sebuah perang suci. Sebagai contoh, kita dapat melihat retorika dari para ang gotalasknr jihnddi Ambon. Tujuan keberadaan
laskar tersebut selain untuk melindungi saudara Muslim mereka, juga untuk mendapatkan kekuasaan politik yang dipandang sebagai suatu kewajiban suci. Konflik tidak hanya muncul dari persaingan untuk mendapatkan sumber-sumber terbatas seperti kekayaan dan kekuasaan, tetapi juga muncul dari kompetisi untuk
memiliki kontrol atas sumber-sumber ini. Platvoet dan Van derToorn (1995, 353) menyatakan bahwa: 'dalam hal konflikidentitas, kebanyakan orang akan dengan senang hati mengorbankan yang kurang baik demi yang lebih baik - yang lebih baik adalah yang memungkinkan akses yang lebih mudah ke sumber-sumber terbatas,
seperti kekayaan, kebanggaan sosial dan kekuasaan." Bercampurnyapenafsiran yargdangkaltentangkebenaranyangsuci dankebenaran agamadengankepentingan politik akan membuka 'kotak pandora' yang sulit untuk ditutup kembali. (bdk. Juergensmey er 19961,199 8, 49, Appleby 2000, 60, 1 00 ; McTeman 2003, 45, 63ff ;
Noorhaidi 2005, 106f, 1610.
e.
Konteks sosial budaya dalam konflik di Ambon
Akhirnya, konteks sosial budaya juga dapat memberikan kontribusi pada persoalan konflik di Ambon. Secara lebih khusus kita akan melihat pada pembentukan kelompok-kelompok sosial yang relatif terbebas dari konstruksi identitas agamatetapi terkait dengan suku dan karakteristikbudaya. Pertama-tama,
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL2OlO
Hondi Hodiwitonto doncoil Sterkens, Belaior dari Kekeroson Bernuon'
'
Agamo
di Ambon
konflik di identitas kolektif berdasarkan suku dan budaya hanya belperan dalam Ambon atau secara umum di Maluku sejauh sistem tradisional mengenai solidaritas pada saat yang menjembatani tradisi agama yang berbeda-beda telah mulai luntur dan konflik dimulai. Dua institusi sosial budaya yang khas dalam konteks Maluku dan perlu didiskusikan secara lebih terinci adalah pela dan adat (hhatBerger Luckman, 1966:54). penduduk Maluku memiliki struktur sosial tradisional untuk menghindari konflik adalah suatu danmendorongkerjasamaantardesa, yaitu srstempela.Pela(pakta) dari ikatanpertemanan ataupersaudaraanyang dilembagakan antarapendudukasli yang benutentangpela dua desa atau lebih. Seperti juga institusi lain, pemahaman semalam membutuhkan deskripsi historis yang terinci. Institusi tidak tercipta dalam umum tetapi terbentuk melalui sejarah yang panjang. Dalam proses' yang secara dikenal sebagai pelembagaan sebuah hubun gan, berkembang antara keyakinansosial. Pada keyakinan individu, norma-norma dan nilai-nilai kelompok sefta struktur tidak satu sisi institusi terancam ketika keyakinan-keyakinan yang menyokongnya (lagi) dikenali oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang terlibat di
berpikir dan dalamnya. Sebaliknya individu-individu dan kelompok-kelompok bertindak berdasarkan kerangka institusi tertentu' penduduk desa yang berbeda S ebagai sebuah afxan, p el adij alankan antara suatu adat' dalam keadaan tettentu, dan seiring berjalannya waktu, pela ini menjadi mengimplikasikan tugas-tugas spesifik dan hak-hak istimewa dari penduduk Pela
sebagai desa yang terlibat, sebagai contoh, pengenalan yang saling menguntungkan
menghadapi mrtradagang, solidaritas pada saat dibutuhkan; struktur konsultasi untuk dan potensi perselisihan, dukungan yang saling menguntungkan dalamhal ekonomi
sosial; dan dalam situasi tertentu,larangan untuk saling menikah antarpenduduk intensitas dari desa yang terlibat. Sistem aliansi kuno antar desa ini dapat memiliki (pakta gandong pela yang bervariasi. Secara umum ada tiga tipe pela yang berbeda: terlalu foriunOungun ); peta keras dan pela tempat sirih. Pela gandong tidaklah sartn' PeIa mal tetapi solidaritas yang kuat antar desa didasarkan pada leluhur yang
diri keras drietapkan oleh para kepala desa yang bersumpah untuk memperlakukan pemikahan mereka satu dengan yang lain sebagai saudara sedarah' Konsekuensinya
sosial dan antar penduduk desa yang terlibat tidak diperbolehkan; ada kerjasama ekonomi yang menyeluruh; dan penduduk desa berjanji untuk saling mendukung musuh. Pelatempat sirihadalahaliansi yang jarangterjadi dan
dalammenghadapi
PENAGAMA, VOL, XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
61
Hondi Hadiwitanto don Corl Sterkens, Belojar dori Kekeroson Bernuonso Agamo di Ambon
lebih lemah, biasanya terbatas pada isu ekonomi saja. Dalam "pakta lemah" ini tidak ada larangan saling menikah, tetapi penduduk desa yang terlibat dapat saling dukung pada saat mereka membutuhkan atau mendeklarasikan pihak lain sebagai mitradagang. Perlu dicatat bahwa tidak satupun tipe-tipe pela ini yang terkait dengan agama. Pela tidak mengenal pertalian religius dan persetujuan ini dapat dilakukan antara penduduk desa yang beragama sama maupun antar desa yang berlainan agama. Secara tradisional sistem pela menekankan dan memperkuat kepentingan bersama dan berbagi nilai antara desa-desa Kristen (negeri sarani) dan desa-desa Muslim (negeri salam). Secara keseluruhan pelamenj amin hubungan yang harmonis antara umat Kristen dan Muslim karena pela bergantung pada pertemanan dan rasa saling percaya (Bartels 1979; 1997; bdk. Coolley L962,71ff;Tanamal &Trijono 2004, 236ff;Low ry & Littlej ohn 2W6} Akan tetapi pada akhir tahun 1990an, sistem pela tidak mampu mencegah kekerasan antar umat Kristen dan Muslim karena sistem itu sudah kehilangan banyak pengaruhnya. Sebab utama melemahnya pela tradisional adalah perubahan yang cepat pada populasi lokal. Di satu sisi, generasi yang lebih muda meninggalkan desa menuju kota besar untuk mencari kerja dan gaya hidup modern. Di sisi lain, migrasi dari pulau-pulau lain membawa orang-oran gyangtidak mengenal makna pela. Bagaimanapunjuga di masa lampau pela dibangun antara pemimpin-pemimpin desa lokal untuk alasan-alasan yang spesifik. Perjanjian ini nampaknya tidakrelevan bagr imigran dalam konteks yang benar-benar baru. Kita dapat melihat pada tahun 1980an dan 1990-an pernah terjadi konflik antara penduduk pribumi dan pendatang. Penduduk lokal bersedia menerima pendatang sebagai tamu, tetapi tidak untuk memiliki tanah dan menetap secara permanen. Pendatang diharapkan untuk mentaati aturan-aturan setempat dan menghormati penguasa-penguasa lokal. Akan tetapi temyata para pendatang tidak senang diperlakukan sebagai warga kelas dua dan berjuang untuk memperbaiki posisi mereka (Tockary 2402,70ff; Suparlan2ffiZ, 107ff).
Di beberapa tempat, migrasi tidak hanya memicu ketegangan antara penduduk lokal dan pendatang baru, tetapi jugamengganggu keseimbangan kekuasaan di antara
komunitas lokal. Kami mengutip satu contoh tentang bagaimana migrasi memicu ketegangan lokal dan akhimyamenjadi tidakterkendali. Padatahun 1975 sejumlah orang Makia, penduduk lokal dari sebuah kepulauan gunung berapi di pantai barat
PENAGAMA, VOL.
XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL
2O1O
Handi Hodiwitanto danCod Sterkens, Belojor dari Kekeroson Bernuans
'
Agoma
di Ambon
Halmahera (Maluku Utara), pindah dan menetap di Kao di Halmahera bagian tengah karena takut akan letusan gunung berapi. Persaingan memperebutkan kekuasaan wilayah antara para pendatang dan penduduk pribumi makin meningkat dengan
r
j
:
ditemukannya emas di daerah tersebut. Pada saat itu, solidaritas yang terjalin oleh pelatelahmelemah karena para pendatang baru kurang memahami sistem tersebut' Pada bulan Agustus 1999, pemerintah mengeluarkan sufat keputusan untuk membentuk kabupaten baru, yaitu Malifut di daerah ini dan dengan demikian Keputusan membefikan tanggung jawab ekonomi yang lebih besar pada tingkat lokal' ini memicu makin kerasnya kompetisi atas kontrol politik di daerah tersebut.
!
l
Keputusan ini juga memperkuat persaingan yang telah berlangsung berabad-abad
ingin antafa sultan-sultan Temate dan Tidore di daerah tersebut, yang masing-masing memaksimalkan jumlah dukungan terhadap mereka. Walaupun konflik di Halmahera sebenamyaterjadi antarapendatattg dan pribumi, tetapi konfliktersebut dapat dengan
mudah ditafsirkan sebagai konflik antara umat Kristen dan Muslim, karena kebanyakan pendatang beragama Islam dan sebagian besar penduduk lokal daerah Kao beragama Kristen. Konflik di Ambon yang berdekatan dengan Halmahera juga yang makin sering ditafsirkan sebagai konflik antar umat beragama itu memudahkan timbulnya konflik antar umat beragama di Halmahera. Sementara sistem pela yang melemah akhirnya dikalahkan oleh kepentingan pada tingkatan yanglebihtinggi. Institusi yang kedua adalah yang disebut den gan adnt.Kata" adaf' (kataArab untuk kebiasaan di suatu daerah) dapat memiliki beberapa arti. Arti yang paling umum mengacu pada keseluruhan norma-norma dan radisi lokal dmi suatu kelompok (sub) budaya tertentu. Adat dapat juga mengacu pada praktek-praktek sosial yang yang telah berlangsung lama di suatu budaya tertentu atau "cara para leluhut''. Arti pejabat ini paling sempit mengacu pada tuntunan tertentu untuk ritual-ritual. Dewasa pemerintahlndonesiaseringkalimenggunakanistilahiniuntukmenunjukpadabenmkbentuk seni tradisional, seperti tarian tradisional (tarian adat), arsitektur rumah tradisional (rumah adat), tetapi adat jugabisa menunjuk pada struktur sosial yang lebih abstrak seperti pertemuan desa, penguasa-penguilsa lokal, hukum tak tertulis, untuk dan sebagainya. Kami menggunak ankata"adal" di sini sebagai istilah umum menunjuk pada hukum tidak formal yang didasarkan pada hukum adat di masyarakat tertentu. Secara definisi, hukum adat mengacu pada kelompok atau daerah tertentu, sehingga kita tidak dapat berbicara tentang adat umum yang secara sah berlaku di
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 201O
69
i I
Handi Hadiwitonto don Corl Sterkens, Belojor dori Kekeroson Bernuonso Agomo di Ambon
seluruh kepulauan Indonesia. Tetapi sekalip:un adar bersifat konstektual, adat harus
ditempatkan pada tingkat abstraksi yang lebih tinggi dari sistempela.Sementan pela terbatas pada aliansi antar desa, adat terkait dengan daerah yang relatif lebih luas. Hukum adat diawasi oleh komunitas atau -seperti di Ambon daerah tersebut.
-
oleh raja di
Penggunaan hukum adat secara sistematis dapat ditelusuri kembali padajaman
kolonial. Pada masa itu adatberperan penting karena kebijakan peraturan yang tidaklangsung dari pemerintah kolonial lebih didasarkanpada sistem asli setempat daripada peraturan agama Islam atau hukum perdata Barat. Secara teoritis, adat terpisah dari agama, tetapi karena substansinyabergantungpadakomunitas lokal, seringkali te{adi interaksi antanadnt danagama. Tenrtama melalui interaksi dengan
pemerintah kolonial Belanda dan pedagang-pedagang dari Arab, adat secara berhrrut-turut dipengaruhi oleh Kekristenan dan kemudian Islam. Jika tradisi suatu agama menjadi dominan di suatu daerah tertentu, hal itu akan mempen garuhr adnt daerah tersebut. Sebagai contoh, di beberapa daerah di Maluku, adat bercampur dengan kekristenan, sementara adnt di daerah lain dipengaruhi oleh hukum Islam. Contoh lebih lanjut misalnya, pengaruh keyakinan agama terhadap hukum waris dan hukum perceraian. Sejumlah suku di kepulauan Indonesia secara tradisional membagi tanah baik untuk garis keturunan ayah maupun ibu, sementara masyarakat
Arab memiliki karakteristikmembagi warisan menurutgaris keturunan ayah (lih. Feener & Cammack 2007 untuk penjelasan yang lebih detil). Pertemuan antara adat dan agama berakibat pada pemisahan sosial yang tidak hanya berdasarkan adat tetapi juga berdasarkan agama. Perbedaan adat dan perbedaan agama saling memperkuat dan dapat menimbulkan benturan ketika kelompok-kelompok besar di kepulauan Indonesia bermigrasi dari satu pulau ke pulau lain. Kelompok pendatang di Ambon sebagian besm berasal dari Buton, Bugis dan Makasar. Kelompok-kelompok ini (sebagian besm Muslim) memiliki adat yang be$eda dari orang Ambon (yang sebagian adalah Kristen). Kaum pendatang melihat
dalamadntadasebuahkemungkinanuntukmenciptakankeamananregional, seperti jugapelatelah menjalankan fungsi ini dalam skalayang lebih kecil. Akan tetapi terbukti bahwa tiap kelompok suku itu sendiri memiliki hukum adat tidak tertulis yang sangatberbeda satu dengan yang lain. (Bowen 2003; bdk. Avonius 2004;
Ratnawati 2002; Cooley 1962).
70
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI.APRIL 201O
Handi Hadiwitanto dan Cod Sterkens, Belojar dori Kekeroson Bernuons,' Agomo di Ambon
f.
Kekerasan dalam konflik antar umat beragama
Setelah melakukan analisis dari sudut pandang ekonomi, politik dan sosial budaya kita masih dapat bertanya apa sebenarnya hubungan agama dengan
Dalam kasus di Ambon, termasuk masa lalu di Maluku, isu ekonomi, politik dan sosial budaya terkait erat dengan agama, membuat kita sulit untukmenyebutkan apapenyebabyangjelas dan spesifikdari konflikyangterjadi' Namun demikian agama memainkan peranan tersendiri pada peristiwa tersebut khususnya pada saat agama memberi kontribusi pembentukan identitas individu
kekerasan di Maluku
?
maupun kelompok. Konflik memang seringkali terjadi akibat persaingan memperebutkan sumber-sumber yang langka seperti kekayaan ekonomi dan kekusaan politilq dan hal ini juga terj adi di Ambon. Tetapi bukan hanya itu. Persaingan
dalampembentukan identitas dapatjugamenimbulkan hilangnyatoleransi antar kelompok. Adanya kenyataan bahwa agzrma menetapkan suatu identitas membuat agama menjadi sumber yang potensial memicu timbulnya kekerasan. Dari sudut pandangpembentukan identitas, persaingan memperebutkanuang, kekuasaan dan sumber-sumberkonkrityanglainbukanlahsuatukondisiyangmutlakmemicukonflik. Dengan metode yang disebut "eksperimen kelompok minimal" (disebut "minimal" karena tidak adanya konflik kepentingan ataupun riwayat permusuhan antara
kelompoktersebut),Tajfel (1982) membuktikan bahwaidentifikasi kelompokitu sendiri cukup untuk menimbulkan favoritisme dalam kelompok yang ada dan mendiskriminasikan kelompok lain. Kekerasan akan mudah sekali menjadi langkah berikutnya. Dengan kata lain, perkembangan identitas jenis apapun secara definisi bersifat khusus dan demikian menjadi alasan timbulnya konflik. Ketika substansi identitas ini cukup radikal, kemungkinan terjadinya benturan dengan kelompok lain menjadi lebih besar (Platvoet & Van derToorn 1995; Juergensmeyer 1998, 16ff; Appleby 2000, Almond et al. 2003;Mc Ternan 2003; Sterkens 2007)' Di Ambon, agama sangat berperan dalam cara individu dan kelompok memandang diri mereka. Agama amat berperan dalam pembentukan identitas. Pada dasarnya agama dapat dipahami sebagai sebuah upaya membangun makna secara kognitif dan konsisten, yang menjadi dasar bagi individu dan komunitas untuk mengarahkan dan menilai sikap serta perilaku mereka. Dari sudut pandang penganutnya, agama dipahami sebagai sebuah tanggapan (manusia) terhadap suatu realitas yang suci (bandingkan Berger & Luckman 2O0l; Sterkens 2008). Pada periode sebelumkonflikdankekerasanterjadi, orang dapatmengamati pendefinisian
PENAGAMA, VOL. XIX, NO.
1
JANUARI.APRIL 2O1O
Hondi Hadiwitonto don Corl Sterkens, Belojor dori Kekeroson Bernuonsa Agamo di Ambon
(kembali) yang kuat dari identitas agama dan pemyataan (kembali) tentang otoritas agama. Pernyataan semacam ini relatif dapat dipandang sebagai penyebab independen dari konflik, bahkan pernyataan tertentu tersebut cenderung dapat memicu kekerasan dalam suasana yang sangat tidak pasti dan penuh kecemasan (Sidel 2001 ,1-13). Karena itu terpisah dari penyebab konflik secara ekonomi,
politik dan sosial-budaya, konflik di Ambon tidak terjadi tanpa kualifikasi agama yangmampumenjadikankonflikkecilrrrcnjadikekerasanyangmeluasantarkomunitas umatberagama. Ketikakonflikdimulai identitas agamayang 'kuat' telah berkembang dan berfungsi sebagai kekuatan terpisah yang mendominasi berbagai hubungan.
Sementarabeberapapihakmenilai kekerasan diAmbonitu dianggaptidakbersifat religius (bagaimana mungkin &mikian?), umat Islam dan Kristen justru menggunakan
simbol dan konsep-konsep agama untuk merujuk pada diri mereka sendiri dan kelompok lain selama konflik kekerasan itu berlangsung. Di Ambon hal ini te{adi dengan sangat cepat. Pertanyaan yang muncul, kualifikasi agama macam apa yang menjadiisudiAmbon?Bagaimanaorangmendefinisikandirimerekadalamhubungan dengan sebuah realitas yang mereka anggap suci? Dan pandangan macam apa (baik teoritis maupun praktis) yang berperan dalampemahaman mereka sendiri tentang agama?
Kami mengacu pada dua karakteristik umum religius yang relevan dengan konflik kekerasan dan menghubungkan ketiganya dengan konteks Ambon. Pertama, kami melihatcara sebuah komunitas agarrl,a menafsirkan kitab sucinya untuk mengembangkan nilai-nilai dan dasarnormatif. Dan kedua, kami mendiskusikan klaim tentang kebenaran agama serta implikasrnya terhadap hubungan dengan tradisi agamalain.
g.
Kitabsucidanpenafsirannya
Di dalam kitab suci, baik dalam Al-Qur' an maupun dalam Alkitab kita dapat menemukan tulisantulisan yang mendeskripsikan kekerasan maupun tulisan yang secara alamiah memiliki sifat tersebut. Sebagai contoh, beberapa kisah di dalam Alkitab Perjanjian Lama menceritakan tentang pemusnahan musuh-musuh orang Yahudi. Sementara di dalamAlkitab Perjanjian Baru, terutama tulisan-tulisan apokaliptik
-
mengandung beberapa referensi pada penghancuran oftIng-orang yang
berbuat tidak adil dan orang-orang yang tidak percaya (Tesalonika 2:I-2). Dalam Al'Quran komunitas agurma yang lain dipandang negatif menurut keyakinan religius
72
PENAGAMA, VOL. XIX, NO.
.I
JANUARI-APRIL 2O1O
I
Hondi Hadiwitonto don Cod Sterkens, Belojar dori Kekercson Bernuon: t Agomo di Ambon
Islami (QS,60:1). Citraagamadalamkitabsuci cukupkerasdan dapatmenimbulkan suatu perasaan yang saling bertentangan di antara komunitas agama. Di satu sisi agama dapat dianggap mempromosikan kekerasan, tetapi di sisi yang lain agama sangatmengutukkekerasan. Pertentangan dalamkitab suci ini membuatpenafsiran terhadap tulisan-tulisan tersebut menjadi penting. Kitab suci harus dibaca sesuai dengankonteksnyadandipahami latarbelakangnya. Akantetapi tokoh agamayang bertanggung-jawab menafsirkan teks dapat membuat penafsiran kitab suci sebagai suatu alat yang siap disalahgunakan dalam konteks saat ini. Bahkan suatu bacaan tertentu dengan penafsiran tertentu dapat pula mempenganrhi perkembangan identitas agama seseonrng ketika tokoh tersebut dikenal luas oleh publik. Karena kitab suci berpotensi melegitimasi tindakan kekerasan, cara komunitas agama menafsirkan
npmiliki konsekuensi yang serius. Batrkan ketika sebuah teks menganjurkan tindakan anti kekerasan atau mengandung penafsiran anti kekerasan, teks tersebutjuga masih dapat ditafsir*an sebalikny4 yaitu mengundang sikap anti toleransi dan sikap agresi (Juergensmeyer 1998, 182; Ariaraj ah20A2, 59f; Steenbrink 2ffi2U203-208; McTernan 2003, 1 58tr; Collins 2W4, 10f, 3 1tr). Sebagai contoh dalam konflik di Ambon, beberapa orang menggunakan teks dariAl'Quran,yaifu "aL-'otnrbi'l-mn'rufwa-l+nhy'anal-munknr"(terjemahan teks kitab suci rnerekajelas
harafiahnya : "menyeru pada kebaikan dan mencegah kemungkaran/tral yang salah")
(QS,3:104,lihatQS,3:ll0danlihatpulaQS,g:71). Selamakerusuhanterjadi,ayat temebutmenjadi sloganuntukmenyatakanbahwa seranganterhadap orang Kristen adalah tindakan yang benar melawan kejahatan. Umat Islam juga menggunakan istllahjihnd"yangdidefinisikan srcarasempitsebagai "membelaiman dan kehendak
Allah terhadap umat dari musuh-musuh mereka" (Pieris 20O4,246f; bdk. Sidel 2ffi,lg6f). Di sisi yang lain, beberapa orang Kristen menggarnbarkan diri mereka sebagai Laskar Kristus dan menyatakan pemahaman bahwa mereka berkewajiban untuk membelaKristus dan komunitas religius mereka sekalipun dengan kekerasan.
Dalam retorika ini, kelompok lain dipandang secara otomatis sebagai musuh yang mengancam keberadaan komunitas mereka. Umat agama lain adalah orang-orang kafiryangmelarnbangkan kejahatan. Komunitasreligius salingmemandang dengan istilah in-group dmt out-group,bnar dan salah. Dan sesungguhnya, memilih bacaan secara selektif serta menafsirkan teks kitab suci dengan cara tertentu (secara sempit) dapat mendukung pemikiran ini. Secara lebih spesifik, pendekatan fundamentalis terhadap kitab suci dapatberperarl (lebih) meningkatkan eskalasi konflik.
PENAGAMA, VOL. XIX. NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
13
Hondi Hadiwitonto dan Col Sterkens, Belojar dari Kekerosan Bernuonso Agoma di Ambon
Tetapi apakah fundamentalisme itu dalam kaitannya dengan penafsiran kitab suci? Fundamentalisme secara umum dipandang sebagai sistem makna yang bergantung secara eksklusif terhadap kitab suci sebagai otoritas tertinggi. Dengan demikian, fundamentalisme adalah suatu bentuk agama yang spesifik yang
didefinisikan sebagai suatu sistem kognitif terbaik yang menganugerahkan makna personal terhadap kehidupan. Kaum fundamentalis tidak berbeda dengan penganut agama lain dalam hal apakah suatu makna dikonstruksi, tetapi mereka berbeda dalam hal bagaimana suatu makna ditarik dari kitab suci. Sesuatu yang khas dari sistem kepercayaan otoriter fundamentalisme adalah prinsip intratekstual (intratextuality).Intratekstual terkait dengan proses membaca kitab suci. Dalam persepsi pembaca fundamentalis tidak ada faktor di luar teks yang mempengaruhi proses penafsiran. Kepercayaan-kepercayaanyang muncul disimpulkan langsung berdasarkan dan dari kebenaran mutlakyang adadalamkitab suci, tanpapengaruh dari teks lain atau konteks masa kini. Asumsi -asumsi yang terkait erat dengan intratekstual ini adalah : kitab suci rnerupakan pewahyuan langsung dariAllah (dengan sedikit atautanpacampurtangan manusia); dankebenaran mutlakdalampewahyuan ini dapat digunakan sebagai kerangka dan pembenaran untuk berbagai pikiran serta tindakan. (Hood dkk. 2005). Singkatnya, pembacaan kitab suci intratekstual tidak menerapkan wawasan penafsiran yang fundamental; tidak memperhatikan korelasi penting antara kitab suci dengan konteksnya, dan juga tidak mencari relevansi teks dalam kitab suci yang terbatas dan penuh penafsiran tersebut dalam kerangka kehidupan masa kini. Menemukan makna "sebuah teks" dari masa lalu bagr orang di masa kini memerlukan prosedur yang lebih rumit yang kita sebut intertekstual (intertextualiry). Untuk menarik makna bagi kehidupan dan jaman kita saat ini, seseorang harus menemukan hubungan-hubungan antara kitab suci - konteksnya dengan orang modem - konteks masakini. Hal ini bukanlah sekedarmenemukan korelasi antara teks dan situasi kontemporer tetapi juga korelasi timbal-balik tekskonteks. Kurangnya kemauan atau kompetensi untuk membaca dan menafsirkan kitab suci dengan pikiran terbuka akan menghasilkan salah paham dan krisis dalam komunikasi antarumatberagama (bdk. Schillebeeckx 1990; Juergensmeyer 1998,
l85f).
74
PENAGAMA, VOL XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 201O
Hondi Hodiwitanto don Corl Sterkens, Belojar dori Kekeroson Bernuans.' Agama di Ambon
h.
Klaim tentang kebenaran dan implikasinya bagi hubungan dengan tradisi agamayangberbeda Dal am konteks dimana pembacaan kitab suci dil akukan sec ara intratekstual,
pengikutdominandari suatutradisi agamadapatmemahamiteks kitab sucinyasecara absolut. Di sini absolutismeberartibahwakebenaranhanyadidapatkan dalamtradisi tertentu, dan (hampir) tidakmungkinbagi agama-agamalain untukbelbicaramengenai tujuan yang utama dan hal yang terdalam dalam kehidupan. Klaim kebenaran dalam
tradisi-tradisi agama secarainffinsikdihubungkan dengan penghakiman mengenai (kebenaran dari) tradisi-tradisi agama yang lainnya. Karena itu banyak ahli dalam menghadapi pertanyaan tentang klaim kebenaran dan pluralisme agama,
membedakannya dengan menggunakan 3 model klasik yaitu : ekslusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Model-model ini memiliki dasm yang kuat pada sejaratt teologi agama-agama. Istilah pluralisme sendiri menjadi sasaran dari perdebatan yang makin berkembang, dengan pertanyaan utama : adakah model teologi tentang pluralisme yang lebih terinci? Ada beberapa subdivisi yang dapat dibicarakan. Knif ter (2002) menggambarkan 4 kemungkinan pendekatan bagi komunitas agama terhadap hubungan antara klaim kebenman mereka sendiri dengan pluralisme agam4 yaitu: model penggantian (replacement model), model pemenuhan fulfilment model),model persetujuan bersama (mutuality model) dan model penerimaan (acceptance model).Dua model terakhir adalah subdivisi dari apa yang disebut sebagai pandangan pluralis (Anthony, dkk, 2005). Keempat model tersebut memberikan jawaban yang befbeda terhadap pertanyaan: bagaimana seseorang berbicara dari posisi tradisi agamanya sendiri, sementara di sisi lain ia menyadari sepenuhnyarealitas dari pluralisme agama? Pertanyaan ini memberikan 3 kriteria, yang juga dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antara tradisi agama; keterlibatan seseorang dengan agamanya; pengenalan pluralisme agama; dan refleksi terhadap sifat berlawanan yang muncul dari dua kriteria yang pertama (Mk. Sterkens
2OOl,47-73). Menurut model penggantian (atau ekslusivisme), kebenaran hanya terdapat pada agamamerekasendiri. Orang-orangdalamkategori ini mengasumsikanbahwa
hanya tradisi agama mereka sajalah yang secara ekslusif merupakan representasi
dari sebuah kebenaran absolut. Tidak diragukan lagi, keyakinan semacam ini membahayakan komunikasi yang terbuka dan saling menghormati antar komunitas agama. Dalam model pemenuhan (inklusivisme) agama-agama lain diterima dan
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 201O
75
Hondi Hodiwitonto dan Corl Sterkens, Belajor dori Kekerasan Bernuonso Agomo di Ambon
-Ihergal. tetapi hanyajika agama larn tersebut memiliki tanda-tandapewahyuan ilahi :eluill dengan standar agama mercka. Tradisi keagamaan mereka sendiri digunakan :ntuk mengkonfirmasi (atau menolak) adanya kebenaran pada tradisi agama lain. Karena kriteria untuk menentukan kebenaran adalah agama mereka sendiri, maka hubungan antar agama menjadi rumit karena tradisi{radisi agama lain tidak dikenali berdasarkan dasar pemikiran ag:rma tersebut. Model ketiga, yaitu model persetujuan bersama, menekankan hubungan antara keuniversalan dari realitas yang tertinggi dengan kehadiran-Nyayangkhas pada semuaagama. Model ini mencari elemen-
elemen umum yang mendasar, dimana berb agu agamamengekspresikan elemen tersebut secara berbeda-beda, dan kepada elemen-elemen tersebut mereka bisa
memberikan kontribusi. Model ini mengenali berbagai ekspresi unikdari kebenaran ilahi dalam pewahyuaan yang berbeda-beda. Model yang terakhir, yaitu model penerimaan, memahami pertredaan antar agama sebagai sarana untuk berrumbuh dan berke mb an g. Pe rtre,J.u:r an tar a g ama memun gkinkan mereka menemukan kebenaran 1'an,e Can"rln r.Ieh €ama mereka sendiri. Mereka tidakberfokus pada mencari kesamaan. seMrknr a model ini mencoba untuk menerima riasm pemikiran agarn lain tanpa ber"r,.rpa) a uni.ik iirru;;i kesamaan (Ikitter 2002). Jelaslah setiap individu dalam suatu tradisi agamamemiliki pilihan model yang berbeda. Mungkin tidaklah penting untuk mencapai konsensus tentang sikap
terhadap agama lain, tetapi menjadi jelas bahrva beberapa keyakinan tentang kebenaran agama (dan konsekuensinl'a terhadap penilaian akan agama-agama lain) cenderung menimbulkan sikap intoleransi. Semakin mutlakklaimkebenaran tersebut dan semakin kuat oran-e rne)'akini klaim tenebut maka semakin mungkinjugamereka bersikap intoler.rr. Reli:si o:entrisrne adalah contoh penting dari sikap intoleran sepefii itu. Religiosentrisme dapu didefinisikan sebagai suatu sikap positif yang eksklusif terhadap kelompok agamanya sendiri (srkap positif di dalam kelompowin-group), dikombinasikan dengan sikap negatif terhadap kelompok agama lain (sikap negatif terhadap kelompok lainlout-groap). Secara tradisionl sikap keagamaan dalam pluralisme agama didefinisikan sebagai jejaring ide kognitif (misalnya: tidak ada kebenaran dalam agama lain) dan evaluasi afektif (misalnya: agama lain kurang bemilai karenatidakadakebenaran di dalamnya), dan padaakhimyamenimbulkan perilaku teftentu (misalnya: agama lain tidak perlu diperlakukan secara hormat). Definisi ini telah lama menjadi definisi standar dari sikap keagamaan @shbein &Ajzen rg74). Studi yang lebih baru menunjukkan bahwa hubungan antara komponen kognitif dan
PENAGAMA, VOL.XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL2OlO
Hondi Hodiwitonto dan Cod Sterkens, Belajar dori Kekeroson Bernuons Agoma di Ambon
afektif di satu sisi dan perilaku yang dapat diamati di sisi yang lain bersifat lebih kompleks. Perilaku tidak dapat langsung ditarik sekedar dari penilaian afektif (Wulff Lgg7),karena itu prilaku tidak hanya mengacu pada aksi yang dapat diamati. Suatu sikapjugamengacupadadisposisisi perilaku atau kecenderungan melakukan aksi tertentu. Kesadarantentangkecenderungan melakukan aksi tertentu dalamperilaku yang dapatdiamati (dalamkasuskita, kekerasan) padagilirannyadikendalikanoleh keadaan dan persepsi mereka tentang keadaan tersebut. Dengan kata lain, agama tertentudan sikapsikap yang terkaitseperti "religiosentrisme" tidak selalu secara otomatis memicuperilakukekerasan, tetapi dalamkeadaan tertentu sikap-sikap tersebut akanmemicukonflik. Dalamcontoh kita, hal ini hanyalah aplikasi dari wawasan psikologis umum bahwa dalam lingkungan yang kompetitif orang yang memiliki sikap rcligiosentis lebih cendenrng menunjukkan sikap bermusuhan.
IV. Simplan Dalam artikel ini kami mendeskripsikan beberapa sumber kekerasan bemuansa agama di Maluku, dan secara lebih khusus di kotaAmbon. Dalam sebuah pembedaan ideat-typical (dalam arti katakaranganWeber) (Burger, 1976:133) antara ekonomi, politik dan sumber-sumber budaya etnis, kami menunjukkan beberapa asal-usul dari konflik. Kesenjangan ekonomi dan resesi ekonomi menimbulkan ketegangan antaranp1ekayangnrcndapathakistimewadanyangterpinggirkandalammasyarakat Ambon. Dalam sebuah tinjauan historis singkat kami juga menunjukkan bahwa
kompetisi ekonomi berkembang sejalan dengan jalur agama. Tetapi ini belum semuanya. Suatu keadaan politik tertentu sepertt kekosongan kekuasaant keinginan untuk mendapatkan otonomi regional yang lebih besar, dan kontroversi regional tentang mendapatkan pengaruh sebagai konsekuensi dari pemekaran daerah memberikan kontibusi terhadap meningkatnya ketegangan. Sejarah menjelaskan mengapa pendisribusian kekuasaan politik di Ambon didasarkan, dan sampai saat ini masih, padakomitmen keagamaan. Perbedaan sosial-budaya, terutama antara kaum etnis imigran dan komunitas lokal, membuat hubungan antar agama menjadi lebih rumit. Secara lebih khusus kami memperhatikan melemahnya sistem solidaritas pela disatu sisi, danjalinan antara adat dan tradisi religius di sisi lain. Selain dari sumber-sumbertersebut, kami mendiskusikan beberapa kualifikasi keagamaan yang spesifik; pendekatan fundamentalis terhadap kitab suci; klaim kebenaran agama dan implikasinya terhadap hubungan dengan tradisi agama lain; serta pengaruh kuat
PENAGAMA, VOL XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL20lO
HandiHadiwitantodonCorl Sterkens, Belojordari Kekeroson BernuonsoAgamodiAmbon
dari kepenumpinan agama. Perhatian khusus terhadap kualifikasi keagamaan amat diperlukan dalamkonteks konflikdiAmbon, karcnateori identitas sosial mengajarkan bahwa identif,kasi kelompok (religius) yang kuat itu sendiri sudah cukup untuk memicu
konflik. Isu yang menank adalah bagaimana kita mengevaluasi gabungan aksi dari sebab. sebab yang berbeda. Haruskah kita melihat semua itu sebagai sesuatu yang pada dasarnya bersifat kumulatif? Hal ini berarti bahwa akumulasi dari alasan-alasan yang
secararelatif berdiri sendiri-sendiri menimbulkan ledakan kekerasan saatmereka mencapai titik di mana mereka tidak dapat lagi berbalik. Atau haruskah kita melihat alasan-alasan ini sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan? Kami mencoba mengambil jalan tengah. Walaupun kami membedakan sebab-sebab yang telah
disebutkan di atas sebagai upaya memperjelas persoalan, tetapi kami juga menggambarkan sikap kesalingtergantungan di antara mereka, khususnya dengan menghubungkan penyebab-penyebab tersebut dengan agama. Bahkan jika pembedaan diperlukan untukmembuat situasi yang kompleks menjadi lebihjelas, faktor-faktoryangberbedaharus diperlakukan bersama-samadan dianalisis dalam kesalingterkaitan dan kesalingtergantungan yang luas.
Akhimya kami melihat bahwa dalam konteks Indonesia akan sangat bermanfaat untukmengaplikasikan kemauan, energi dan konsep-konsep keagamaan yang ada pada setiap komunitas religius untukmengelola solidaritas yang melampaui batasbatas agama itu sendiri.
Daftar Pustaka Anderson, P.N., Religion and Violence: From Pawn to Scapegoat. In: Ellens, J. Harold (ed.).The Destructive Power of Religion. Volence in Judaism, Christianity, and Islam. Vol2, Westport: Pragers, 2004. Almond G.A., Appleby R.S., Sivan E., Strong Religion. The Rise of Fundamentalisms around the World (TheFundamentalism Project). Chicago: The University of Chicago Press, 2003. Anthony F.-V., Hermans C., Sterkens C.,Interpreting Religious Pluralism. Comparative Research among Christian, Muslim andHindu Students inTamil Nadu, Indi a. In: J ou rnal of Emp iric aI The olo gy, 2005 .
Appleby R.S., Ihe Ambivalence of the Sacred. Religion, Volence and Reconciliation,Boston: Rowman & Littlefield Publishers, 2(D0.
78
PENAGAMA, VOL XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
l l
Hondi Hodiwitonto dan Col Sterkens, Belojar dori Kekeroson Bernuan' ' Agama di Ambon
Ariarajah, Wesley, Religion and Violence. AProtestant Christian Perspective. In
Dialo gue,vol XXIX, Colombo, 2002. Bel I GF., The New Indonesian Laws Relatin g to Re gional Autonomy : Good Intentions, Confusing I-aws". In: Asian-Pacific krw and Policy Joumalz,2ffiI '
tsartels D., Guarding the Invisible Mountain. Intervillage Alliances, Religious Syncretism, and Ethnic ldentity among Ambone se Christians and Mus lims inthe Moluccc.s, Comell University, 1997. Berger P.L., Luckmann Th., The S o c ial C on struc tion of Re ality. A Tre ati s e in the Sacioto gy of Knowledge.Harmondsworth: Penguin Books, 196612001.
Bertrand I-, Nationalism and Ethnic Conltict in Indonesia (Cambridge AsiaPacific Studies). Cambridge: Cambridge University Press, 2004. Bowen J.R ., Islam, Lcw and Equality in Indonesia. An Anthropology of Public Reasoning.Cambridge: Cambridge University Press, 2003.
Buiks P., van Tillo G, Het Sociologisch Perspectief. Een Otmoeting met de S o siolo gi s che b enade rin g sw ij ze. As s en : v an G o rc um, 1990. Burger Th., MaxWeber's Theory of Concept Formation: History, Inws, and IdealTypes. Durham, N.C., 1976. Casanova J ., Public Religions in the ModernWorld. Chicago: University of ChicagoPress, 1994. Chauvel R. ,Nationnlists, Soldiers and Separatistis. The Ambonese Islandsftom Colonialism to Rev olt. Leiden: KITLV Press, 1 990.
Collinsf., DoesTheBiblelustifuViolence? Minneapolis:FortressPress,2004. Cooley F.L, Ambonese Adat: A General Description (Cultural Report Series 10). New Haeven: Yale University Press, 1962.
Cutura J., Watanabe M., Decentralization and Volent Conflicts: The Case af North Maluht, Indone sia. Harv ar:d: Harvard University, 2004. DeBoerM-C.,Paul andApocalypticEschatology.In: McGinnB, CollinsJ.J., Stein S.J. (ed.). The Continuum History of Apocalypticism. New York/ London: Continuum,zffi3 Ellens J.H., Jihad in the Qur'an. Then and Now. In: Ellens J.H. (ed.). The Destruc-
tive Power of Religion. Volence in Judaism, Christianity and Islam. Volume 3. Models and Cases of Violence in Religion Westport/ [.ondon: Praeger,2W.
PENAGAMA" VOL.
XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL2OlO
79
Hondi Hodiwitonto don Cod Sterkens, Beloior dori Kekeroson 8r"rnuanso
Agama
di Ambon
Feener R.M., Cammack M.E. (ed.), Islamic I'aw in Contemporary Indonesia' Ideas and Institutions.Cambridge Mass.: Harvard University Press, 2007.
Fishbein M., Ajzen 1., Belief, Attitude, Intention and Beha.viour An Introduction t o The o ry and Re s e arclr. Readin g : Addi son-wesley, I 97 5. Governmentof the Republic of Indonesia andlnternationalAgencies,The Malulat Crisis. Report of the Joint Assessment Mission.Jakarta: GOI, 2000Habermas I ., Justification and Application. Remnrks on Discourse Ethics' Cambridge: Cambridge Univenity Press, 1993' Habermas t. (ZOOl).The DividedWest. Cambndge/Ivlalden: Polity Press. Edited andtanslatedby Ciaran Cronin fromthe German: Der gespalteneWesten-
Franlfi.rt am Main: Suhrkamp Verl ag' 2004' HerbertD., Getting BylnBabylon: Macintyre,Milbank, andaChristian Response to Religious Diversity in the Public Arena. In: Sndies in Christinn ethics. Vol. 10,1997. Herbert D., Religion and
civil
society. Rethingking Public Religion in the
con-
temporary World.Aldershot: Ashgate, 2007' Predictors of Hermans c , Anthony F.v. , sterkbns c . [Forthcoming] . Interreligious Religious Conflict. In: Berlin. [Forthcoming], 2008' Revised and Hofstede G, Cultures and Organirytions. Software of the Mind' .
Expandedsecondedition-NewYork:McGraw-Hill'2005' FundnnenHood R.w., Hill P.c., willamson w.P.,The Psychology of Religious talism.New York / London: Guilford Press, 2005' In Godwe Doubt. Confessions of a Failed Atheist' London: Hodder & Stoughton,2AOl . Murder ICG flntemational Crisis Group] Asia Report ,Indonesia: Overcoming Brussels/ 2000)' and Chaos in Maluku (Asia Report - 19 December
Humphrys
J .,
Jakarta,2000. Asia: DamICG [International crisis Group] Jemaah Islamiyah in south East
Brussels/ aged but stiu Dangerous (AsiaReport 63 - 26 August 2003)' Jakarta,2OO3. ICG [International crisis Group] Weakening Indonesia's MuiahidinNetworl
-
from ,2005-
sels/Jakarta
80
PENAGAMA,VOL.XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL2OlO
Hondi Hodiwitonto dan Corl Sterkens, Belajor dori Kekeroson Bernuon'
'
Agoma
di Ambon
ICG [International Crisis Group] Indonesin: Decentralisation and Local Power Struggles in Maluku (Asia Briefing 64-22 May 2007). Brussels/ Jakarta,2jol. Jackson, Karl D., Traditional Authority, Politics and Rebellion. A Study of Indonesian Political Behnvlor. Berkely: University of Califomia Press, 1980. Juergensmeyer M., The New CoIdWar? Religious Nationalism Confronts The Secular St(ute,1993.
KnitterP.F., IntroducingTheologies of Religions. NewYork: Orbis Books,2002. Lowry C., Littlejohn S., Dialogue andtheDiscourse of Peacebuilding in Maluku, Indonesia. In: Conflict Resolution Quarterly 23 (2006-4),2006. LovebandA., Young K., Migration, Provocateurs and Communal Conflict' The Cases of Ambon andWest Kalimantan. In: Coppel C.A. (ed.).Violent ConJlict s in Indone sia. Analy sis, Repre sentation, Re solulrlon (Routlede Contemporary Southeast Asia Series). London / New York: Routledge,
2W6. McTernan O.,. Violence in God's Name. Religion in an Age of Conflict.New York: Orbis Books, 2003. Noorhaidi, Laskar Jihad. Islam, Militancy and the Quest for Identity in PostN ew O rde r In do ne si a. Utrecht : Universiteit Utrecht, 2005. Panggabean S.R., Approaches to Ethnic and Religious Conflict Resolution. In:
Trijono, Lambang (ed.). The Making of Ethnic and religious Conflicts in SouthAsia. Cases andResolutions.Yogyakarta: CSPS Books, 2004. Panggabean S.R., Educating to handle conflict and avoid violence. In: Coppel C.A. (ed.). Violent Conflicts in Indonesia, Analysis, Representation, Resoluition (Routlede Contemporary SoutheastAsia Series). London / New York: Routledge, 2ffi6. Pieris J., Tragedi Maluku. Sebuah Kasus Peradaban Jakarta: Yayasan Obor, 2004. Platvoet J. & van derToorn K. (1995). Pluralism and Identity. An Epiloque. In: Platvoet J. & van der Toom K. (ed.). Pluralism and ldentity. Studies in Ritual B ehaviour,E.J.Brill, Iriden, 1 995. Ratnawati T., In Search of Harmony in Moluccas. APolitical History Approach. In: Jamal M., Pahler K. (ed.). Communal Conflicts in Contemporary In-
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
8l
HondiHodiwitantodonCorlSte ens. k(alor doriKekeroson BernuonsoAgomadiAmbon
done sitt.
Komi
Hi dar. atul &h. I
A,ienauer Stiftung, Pusat Bahasa dan Buday IAIN Syarif
lt(:rl.
Rawls J..Jttstite.rsF.rinrr-r-s..\Restaternent.Cambridge:TheBelknapPressof Han ard L nir er'n Press. 2001.
SchillebeecLr E.. Ciwrch; rhe Hunnn Story of God. New York. [Translated by John Bou den from the Dutch]: Mensen als verhaal van God, 1990. Scott \\'.R.. The -\dole>cence of Instirutional Theory. In: Administrative Science Quarterlv 3l (1987-'l), 1987. Seli_sman A
.. The Problent of Trust. New Jersey: Princeton University Press,1997
.
Idenriry'and\\olence.ThelllusionofDestiny.NewYork/London:W.W. N orton & Compan,v, 2006. Sidel J.T. (2006). Riots, Pogroms, Jihad. Religious Violence in Indonesia. New Sen-A...
York: Cornell University Press.
SteenbrinkK.,Muslims andThe ChristianOther. Nasarain Qur'anic Readings.In: Wijsen, F. & Nissen, P. (ed.). Missionis aMust.InterculturalTheology andThe Mission of The Church. Rodopi: Amsterdam,2002. Steenbrink K., Does Compari son Help? The Di sastrous Decade of Yugoslavia Seen from an Indonesian Perspective. In: Jamal M., Pahler K. (ed.). Commu-
nal Conflict s in Contemporary Indone sia. Konrad Adenauer Foundation, Pusat Bahasa dan Budaya IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta, 2006. Sterkens C., Reflection on theLimits of 'Religious'Explanations of Violence. A Social Psychological Perspective.In: Timmerman C., HutsebautD. et. al.
(ed.). Faith-based Radicalism. Christianity, Islam and Judaism between Constructive Activism and Destructive Fanaticism (Gods, Humans and Religions 10). Brussels/BemlBeriin/Oxford: P.I.E.PeterLang,
2001. Sterkens C., Religion as a Socially Constructed Cognitive Body of Knowledge. An
attempt to define Religion within the Modern Context from a Social Scientific Perspective . In; studia P hil o s ophi c a e t The olo gic a, 2008 . Sterkens C.,AnthonyF.V.,AComparative Study of Religiocentrism among Christian, Muslim andHindu Students inTamil Nadu,India. In'. Joumal of Empirical Theolo gy 21 (2008- 1), 2008'
82
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
Hondi Hodiwitanto don Cod Sterkens, Belajor dari Kekeroson Bernuan: i Agama di Ambon
Streib H., Religious Praxis - De-Institutionalized. Theoretical andEmpirical Considerations. In: Streib H. (ed.). Religion inside and outside Traditional
Institutions @mpirical Studies in Theology 15).I€iden/Boston: Brill, 2007. Suparlan P., Ethnicity andlts Potential for Social Disintegration in Indonesia.In:
Jamal M., Pahler K. (ed.). Communal Conflicts in Contemporary Indonesin.KonradAdenauerFoundation, Pusat Bahasa dan Budaya IAIN Syari f Hidayatullah : I akafta, 2ffi2. Tanamal P. & Trijono L., Religious Conflict in Maluku: In Search of Religious Community Peace. In: Trijono L. (ed.). The Making of Ethnic and religious Conflicts in SouthAsia. Cases and Resolutions.Yogyakarta: CSPS Books, 2004. Tayob A.I., Reading Religion andThe Religious in Modem Islqm. Nijmegen: Radboud Universiteit Nijmegen, 2004'. Tockary R. (2002). A Short Note on Ethno-Religious Conflicts in Indonesia. In: Jamal M., Pahler K. (ed.). Communal ConJlicts in Contemporary Indonesia. Konrad Adenauer Foundation, Pusat Bahasa dan Budaya IAIN Syarif Hidayatullah: Jakarta. p. 67 -7 3.
TomagolaT.A., The bleeding Halmahera of North Moluccas. In: Proceedings of the PoliticalVolence inAsia. June 2000 (Centre forDevelopment and Environment). Univenity of Oslo: Oslo, 2000. Van
Dijk K., The Good, the Bad and the Ugly Explaining the Unexplainable: Amuk Massa in Indonesia. In: Colombijn F., Lindblad J.T. (eds.). Roots of Violence in Indonesia. KITLV Press. Leiden, 2002.
van der Ven J.A., Formation of the Moral Sef (Studies in Practical Theology). Grand Rapids/Cambridge: Eerdmans, 1998. van Klinken G, The Maluku Wars: 'Communal Contenders'in
a Failing State. In: Coppel C.A. (ed.). Wolent ConJlicts in Indonesia. Analysis, Representation, Resoluition (Routlede Contemporary Southeast Asia Series). London / New York: Routledge, 2006.
Whitehead J.D. , Whitehead E., Method in Ministry. Theological Reflection and Chri st ian M ini s t ry . Franklin : Sheed and Ward, 1 995.
WulffD.M., Psychology of Religion. Classic and Contemporary. Second Revised Editioru. New York, 1997.
PENAGAMA, VOL. XIX, NO. 1 JANUARI-APRIL 2O1O
83
Hondi Hodiwitanto don Corl Sterkens, Belojar dori Kekeroson Bernuonsa Agomo di Ambon
Bagian yang lebih luas dari artikel ini diterbitkan dalam Bahasa Inggris dalam
:
Sterkens C., Hadiwitanto H. (2009). From social to religious conflict in Ambon.
An
analysis of the origins of religiously inspired violence. Dalam: Sterkens C.,
Machasin M., Wijsen F. (eds.). Religion, Civil Society and Conflict in Indone s in. ZiirichlMtinster [etc. ] : Lit Verlag. P. 59- 86.
84
PENAGAMA, VOL.
XIX, NO. 'I JANUARI-APRIL 201O