[1] M. Ali Hasan, Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Masail Fiqhiyah II), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1997), hlm. 40.
[2] http://jalius12.wordpress.com/2009/10/06/konvensional/ diposkan pada hari selasa tanggal 5 november 2013.
[3] W.J.S Poerwadarmita, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hlm. 522.
[4]http://www.bankirnews.com/index.php?option=com_content&view=article&id=905:definisi diposkan pada hari selasa tanggal 5 november 2013.
[5] Muhammad Zuhri, Riba Dalam Al-qur'an dan Masalah Perbankan (Sebuah Tilikan Antisipatif), (Jakarta: 1997, PT. RajaGravindo), hlm. 144.
[6] Ibid., hlm. 145-147.
[7] Kasmir, Dasar – Dasar Perbankan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002), hlm. 31-37
[8] http://iisnoeraisyah.blogspot.com/2012/01/bank-syariah-dan-bank-konvensional.html Diposkan oleh Iis Noer 'Aisyah di 03.59.00 tanggal 4 November 2013.
[9] Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 1999), hlm. 155-157.
Bank Konvensional
PEMBAHASAN
A. Pengertian Bank Konvensional
Bank menurut undang-undang pokok perbankan tahun 1967 adalah lembaga keuangan yang usahanya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang.[1] Kata konvensional berasal dari kata konvensi. Istilah konvensi awalnya digunakan untuk menyatakan atau mengkomunikasikan segala sesuatu yang didasarkan kepada kesepakatan. Kesepakatan itu dilakukan oleh sejumlah atau banyak orang, Jumlahnya yang meliputi sebuah lembaga, daerah tertentu atau yang berskala internasional.[2] Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional berarti "menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan".[3] Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.[4]
Dalam perekomian modern, pada dasarnya bank adalah lembaga perantara dan penyalur dana antara pihak yang berlebihan dengan pihak yang kekurangan dana.
Tugas bank adalah menerima simpanan dan memberi pinjaman. Dengan begitu, bank berperan melancarkan transaksi perdagangan dan pembayaran serta memberi perlindungan keamanan uang dari berbagai gangguan, seperti perampokan.[5]
Bank dapat dikatakan membeli uang dari masyarakat pemilik dana ketika ia menerima simpanan, dan menjual uang kepada masyarakat yang memerlukan dana ketika ia memberi pinjaman kepada mereka. Dalam kegiatan ini muncul apa yang disebut bunga bahwa bunga adalah harga uang.
Dari sini, masyarakat yang menyediakan dana dengan imbalan bunga, menyimpan harta / dananya di bank dan oleh bank disalurkan pada pihak lain, baik perseorangan maupun badan usaha, dengan memungut jasa pemakaian dana disebut bunga. Ongkos administrasi dan ongkos sewa.
Terdapat dua alasan, paling tidak mengapa bank perlu membayar bunga pada penyimpan dana:
1) Dengan menyimpan uang di bank, penebung telah mengorbankan kesempatan atas keuntungan yang mungkin diperoleh dari pemakaian dana itu, andaikata ia melakukannya.
2) Dengan menyimpan uang di bank, penabung telah mengorbankan kesempatan pemakaian dana untuk keperluan konsumsi. Salah satu prinsip ekonomi adalah "nilai uang sekarang lebih berharga daripada nilainya di masa mendatang". Dalam hal tabungan berjangka, dengan menyimpan uang di bank, penabung mengorbankan sebagian likuiditasnya, seperti berjaga-jaga menghadapi keperluan mendadak.
3) Faktor inflasi juga menjadi pertimbangan perlunya imbalan kepada penabung.[6]
Untuk pengembangan dirinya, ia hanya mengandalkan modal dari saham anggota yan termasuk lembaga ini. Karena itu, semua beban yang harus di tanggulangi diatas, dibayar oleh bank dengan "bunga" yang ditarik dari nasabah pemakai jasa bank (peminjaman), yang lazim disebut "bunga debet". Kalau demikian, sebenarnya bunga debet bukan keuntungan bersih bank; tetapi keuntungan yang harus dikurangi untuk berbagai biaya, seperti, pengelolaan gedung, cadangan resiko, cadangan inflasi. Sisanya merupakan keuntungan yang akan dibagikan kepada para penyimpan, dan bank itu sendiri.
Disini penabung ditempatkan sebagai mitra usaha bank dalam aspek penyediaan modal. Sebaliknya, pemakai jasa ditempatkan sebagai mitra usaha yang diperkirakan mendapatkan keuntungan melalui penggunaan dana yang dipinjam dari bank.
Dalam praktek, kekayaan bank yang diperdagangkan itu tidak seluruhnya milik bank. Yang dimiliki bank tidak lebih dari 10 persennya saja. Sedangkan 90 persen adalah kekanyaan yang dimiliki masyarakat. Dengan konstelasi ini maka bank pada hakekatnya merupakan lembaga keuangan yang dimiliki masyarakat, sehingga masyarakat mempunyai kepentingan luas terhadap usaha bank.
Dalam situasi tertentu, karena tingginya minat masyarakat mendapatkan dana dari bank, kadang-kadang situasi semacam ini dapat mengganggu likuiditas, sehingga dana yang ketika itu seharusnya dibayarkan kepada deposan tidak dapat dilaksanakan. Agaknya, hal ini terkait dengan minimnya "saham" bank yang 10 persen itu. Karena itu terdapat undang-undang agar setiap memegang jaminan kas sebasar 20 persen dari demand deposito, untuk menanggulangi situasi diatas. Keterangan ini memberi gambaran bahwa bank bukan lembaga penumpukan kekayaan, tetapi justru lembaga yang melancarkan arus perputaran dana dari pihak yang berkelebihan kepada pihak yang membutuhkan. Kerugian bank yang ditimbulkan oleh keadaan semacam itu adalah, ia tidak memperoleh bagian keuntungan, sekaigus harus membeyar bunga kepada deposan. Maka kelancaran perputaran dana merupakan kebutuhan semua pihak, baik bank maupun masyarakat.
B. Produk – Produk Bank Konvensional
Dalam praktiknya ragam produk tergantung dari status bank yang bersangkutan yang memberikan pelayanan yang berbeda. Kegiatan bank konvensional secara lengkap meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Menghimpun Dana (Funding)
Simpanan Giro
Simpanan Tabungan
Simpanan Deposito
2. Menyalurkan Dana (Lending)
Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Kredit Perdagangan
Kredit Produktif
Kredit Konsumtif
Kredit Profesi
3. Memberikan Jasa – Jasa Bank Lainnya (Services)
Kiriman Uang
Bank Card
Bank Garansi
Bank Draft
Kliring
Letter of Credit
Inkaso
Melayani Pembayaran
Cek Wisata
Safe Deposit Box
Bank Notes
Menerima setoran
Bermain didalam pasar modal.[7]
C. Keunggulan Bank Konvensional
Keunggulan Bank konvensional adalah sebagai berikut :
1. Dukungan peraturan perundang – undangan yang mapan sehingga bank dapat bergerak lebih pasti.
2. Banyaknya bank konvensional menggairahkan persaingan.
3. Nasabah telah terbiasa dengan sistem bunga tidak dengan metode bagi hasil yang relatif baru.
4. Bank konvensional lebih kreatif membuat produk – produk baru.
5. Metode bunga telah lama dikenal masyarakat.
D. Kelemahan Bank Konvensional
Bank konvensional memiliki beberapa kelemahan diantaranya sebagai berikut :
1. Adanya praktek sfekulasi tanpa perhitungan.
2. Kredit bermasalah.
3. Praktik curang.
4. Faktor manajemen.[8]
E. Larangan Melakukan Kegiatan bank Konvensional
Bank umum yang telah diberikan izin oleh Bank Indonesia khusus untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip syariah, baik kantor pusat, kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang dari bank tersebut, dilarang melakukan kegiatan perbankan secara konvensioal. Demikian ditentukan oleh pasal 32/34/1999. Ketentuan ini merupakan penegasan dari ketentuan Undang-undang No. 10 Tahun 1998.
Pasal 32 ayat (2) dari SK DIR BI 32/34/1999 tersebut tidak memperkenankan bank yang bersangkutan untuk merubah kegiatan usahanya menjadi bank konvensional. Dengan kata lain tidak dimungkinkan suatu bank BUS dikonversi menjadi suatu bank konvensional.
Pasal 33 ayat (1) mementukan bahwa kantor pusat suatu BUS dilarang membuka kantor cabang dan atau kantor dibawah kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensional.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa suatu BUS, sama sekali tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan selain kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan kata lain, suatu BUS tidak dapat memlilki conventional window, yaitu tidak boleh melukan kegiatan perbankan konvensional sekalipun kegiatan perbankan konvensional itu melalui suatu cabang khusus yang dimaksudkan untuk melakukan kegiatan perbankan konvensional saja. Dengan kata lain BUS hanya boleh memiliki single window saja yang hanya melakukan kegiatan usaha perbankan syariah saja.
Asas bahwa BUS hanya boleh memiliki single window atau tidak boleh memiliki convensional window, sudah selayaknya diterapkan. Karena kalau tidak demikian halnya, maka pada BUS, dilihat dari kaca mata syariah (agama Islam), pelaksanaan kegiatan usaha yang halal akan tercampur dengan kegiatan usaha yang halal. Bahkan, apabila harus dipertimbangkan secara umum dilihat dari kaca mata syariah, bagi bank umum yang membuka convensional islamic window (dengan membuka cabang khusus yang dimaksudkan hanya untuk melaksanakan kegiatan perbankan syariah saja), apakah memang ada jaminan di dalam operasionalisasinya bahwa cabang khusus syariah tersebut akan menggunakan dana yang dikerahkan hanya berdasarkan prinsip syariah saja dan tidak tercampur dengan dana dari kantor cabang lain atau dari kantor pusatnya yang diperoleh bukan berdasarkan prinsip Syariah, tetapi berdasarkan pemberian bunga yang dilarang oleh syariah. Apabila hal itu terjadi, maka cabang khusus syariah tadi telah mencampuradukan antara dana halal dan dana haram bagi kegiatan pembiayaannya yang berdasarkan Prinsip Syariah.[9]
PENUTUP
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Konvensional berarti "menurut apa yang sudah menjadi kebiasaan". Dimana dapat kita ambil kesimpulan bahwa bank konvensional adalah yang operasionalnya menerapkan metode bunga, karena metode bunga sudah ada terlebih dahulu yang menjadi kebiasaan.
Demikianlah mengenai bank konvensional, semoga makalah ini dapat menjadi sumbangsih pengetahuan bagi para pembaca yang budiman, adapun makalah ini masih ada kekurangan dan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat dihapkan bagi makalah ini. Billahitaufik wal hidayah wassalamu'alaikum Wr. Wb