BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Response Time 1. Penger gertian ian Response Time Response time merupakan suatu standart pelayanan yang harus
dimiliki oleh Instalasi Gawat Darurat (Widodo, 2015). Berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan minimal rumah sakit menyatakan ada beberapa indikator indikat or mutu
pelayanan rumah sakit khususnya pada
bagian Instalasi Instalasi Gawat Darurat salah salah satunya yaitu yaitu waktu tanggap atau respons time. Menteri Kesehatan Kesehatan pada pada tahun 2009 telah menetapkan
salah satu prinsip umum tentang penanganan pasien gawat darurat yang harus ditangani paling lama 5 (lima) menit setelah sampai di IGD (Kemenkes, 2009). Response Time adalah kecepatan penanganan pasien, dihitung
sejak pasien datang sampai dilakukan penanganan (Kemenkes, 2011). Waktu tanggap dikatakan tepat waktu dan tidak terlambat apabila waktu yang diperlukan tidak melebihi waktu rata-rata standar yang ada (Sarwono dkk, 2016). 2. FaktorFaktor-Fak Faktor tor Yang Yang Mempen Mempengaru garuhi hi Response Time
Pasien yang masuk ke IGD rumah sakit tentunya butuh pertolongan yang cepat cepat dan tepat untuk itu perlu perlu adanya standar standar dalam memberikan pelayanan gawat darurat sesuai dengan kompetensi dan
1
kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat (Kemenkes, (Kemenkes, 2009). Malara Malara T dkk, dkk, tahun tahun (2015) (2015) meng mengemu emukak kakan an faktor faktor-fa -fakto ktorr yang yang mempengaruhi Response time peraw perawat at dalam dalam pen penang angana anan n pasien pasien gawat gawat darurat antara antara lain: (1) ketersed ketersediaan iaan stretcher , (2) (2) kete keters rsed edia iaan an alat atau atau obat-oba obat-obatan tan dan dan (3) beban beban kerja. kerja. a. Kete Keters rseedia diaan stretcher ini sangat dibutuhkan dalam mobilisasi pasien yang dapat berpengaruh pada response time perawat. Tidak tersedianya stretcher saat dibutuhkan dapat berdampak buruk, karena pasien harus menunggu di depan pintu dan hal ini akan mempengaruhi
kondisi
pasien
dan
terlambat
mendapat
penanganan, selain itu pihak rumah sakit bisa saja mendapat komplain dari pihak keluarga pasien atau pasien. Ketersediaannya stretcher sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
kunjungan pasien yang banyak disaat bersamaan, jumlah stretcher yang tidak memadai, dan lain-lain. b. Alat atau atau obat-ob obat-obatan atan merupa merupakan kan salah salah satu satu komponen komponen yang yang dibutuhkan dalam penanganan pasien. Tidak tersedianya alat atau obat-obatan saat dibutuhkan akan mempengaruhi penanganan terhadap pasien dan dapat berdampak buruk terhadap kondisi pasien karena bisa menjadikan response time perawat melambat. Ketersed Ketersediaan iaan alat atau atau obat-obata obat-obatan n dipengaruh dipengaruhii oleh beberapa beberapa faktor, seperti managemen rumah sakit.
2
kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan response time yang cepat dan penanganan yang tepat (Kemenkes, (Kemenkes, 2009). Malara Malara T dkk, dkk, tahun tahun (2015) (2015) meng mengemu emukak kakan an faktor faktor-fa -fakto ktorr yang yang mempengaruhi Response time peraw perawat at dalam dalam pen penang angana anan n pasien pasien gawat gawat darurat antara antara lain: (1) ketersed ketersediaan iaan stretcher , (2) (2) kete keters rsed edia iaan an alat atau atau obat-oba obat-obatan tan dan dan (3) beban beban kerja. kerja. a. Kete Keters rseedia diaan stretcher ini sangat dibutuhkan dalam mobilisasi pasien yang dapat berpengaruh pada response time perawat. Tidak tersedianya stretcher saat dibutuhkan dapat berdampak buruk, karena pasien harus menunggu di depan pintu dan hal ini akan mempengaruhi
kondisi
pasien
dan
terlambat
mendapat
penanganan, selain itu pihak rumah sakit bisa saja mendapat komplain dari pihak keluarga pasien atau pasien. Ketersediaannya stretcher sendiri dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya
kunjungan pasien yang banyak disaat bersamaan, jumlah stretcher yang tidak memadai, dan lain-lain. b. Alat atau atau obat-ob obat-obatan atan merupa merupakan kan salah salah satu satu komponen komponen yang yang dibutuhkan dalam penanganan pasien. Tidak tersedianya alat atau obat-obatan saat dibutuhkan akan mempengaruhi penanganan terhadap pasien dan dapat berdampak buruk terhadap kondisi pasien karena bisa menjadikan response time perawat melambat. Ketersed Ketersediaan iaan alat atau atau obat-obata obat-obatan n dipengaruh dipengaruhii oleh beberapa beberapa faktor, seperti managemen rumah sakit.
2
c. Beban Beban kerja kerja merupa merupaka kan n salah salah satu satu fakt faktor or dari dari Response time, beban kerja yang berat ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah perawat yang tidak memadai, jumlah pasien yang banyak, dan beragamnya beragamnya pekerjaan yang yang harus harus dikerjakan, dikerjakan, menuntut keterampilan khusus, dan lain-lain (Malara T dkk, 2015). B. Kons Konsep ep Tr Tria iage ge 1. Penge engert rtia ian n Tr Tria iage ge
Kata triase berasal dari bahasa perancis trier , yang artinya menyusun menyusun atau memilah memilah (Habib (Habib dkk, dkk, 2016). 2016). Tatalaksan Tatalaksanaa aawal wal di IGD IGD adalah proses triase yaitu proses pemilahan pasien berdasar prioritas kegawata kegawatan n (Untoro (Untoro dan Adhitya, Adhitya, 2017). 2017). Triase Triase adalah adalah memilah memilah tingkat tingkat kegawatan pasien untuk menentukan prioritas penanganan lebih lanjut (Kemenkes, 2011). Triage juga diartikan sebagai suatu tindakan pengelompokkan penderita berdasarkan pada beratnya cidera yang diprioritaskan ada tidaknya gangguan Airway (A), Breathing (B), dan Circulation (C) dengan dengan memper mempertimba timbangka ngkan n sarana, sarana, sumber sumber daya daya manusia, manusia, dan dan probabilitas hidup penderita (Nurhasim, 2015). Penilaian kondisi medis triase tidak hanya melibatkan komponen topangan
hidup
dasar
yaitu
jalan
nafas
( airway), pernafasan
(breathing) dan sirkulasi (circulation) atau disebut juga ABC approach, tapi juga melibatka melibatkan n berbagai berbagai keluhan keluhan pasien pasien dan tanda-
tanda fisik. Penilaian kondisi ini disebut dengan penilaian berdasarkan kumpulan tanda dan gejala ( syndromic approach). Contoh sindrom
3
yang lazim dijumpai di unit gawat darurat adalah nyeri perut, nyeri dada, sesak nafas, dan penurunan kesadaran (Habib, 2016). Triase adalah proses pengambilan keputusan yang kompleks dalam rangka menentukan pasien mana yang berisiko meninggal, berisiko mengalami kecacatan, atau berisiko memburuk keadaan klinisnya apabila tidak mendapatkan penanganan medis segera, dan pasien mana yang dapat dengan aman menunggu. Setelah penilaian keparahan (severity) dan urgensi (urgency), maka beberapa sistim triase menentukan batas waktu menunggu. Yaitu berapa lama pasien dapat dengan aman menunggu sampai mendapatkan pengobatan di IGD (Habib, 2016). Triage memiliki fungsi penting di IGD terutama apabila banyak pasien datang pada saat yang bersamaan. Hal ini bertujuan
untuk
memastikan agar pasien ditangani berdasarkan urutan kegawatannya untuk keperluan intervensi (Hadi, 2016). 2. Tujuan Triage
a. Mengidentifikasi kondisi yang mengancam nyawa. b. Memprioritaskan pasien menurut kondisi keakutannya. c. Menempatkan pasien sesuai dengan keakutannya berdasarkan pada pengkajian yang tepat dan akurat. d. Menggali data yang lengkap tentang keadaan pasien (Kartika, 2012). Tujuan pada pelaksanaan triage di rumah sakit menyeleksi korban berdasarkan kegawat-daruratan pasien dan sebagai dasar dari pelayanan
4
darurat dan non darurat (Hardyanti & Chalidyanto, 2015). Triase menjadi komponen yang sangat penting di unit gawat darurat terutama karena terjadi peningkatan drastis jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit melalui unit ini. Berbagai laporan dari UGD menyatakan adanya kepadatan (overcrowding) menyebabkan perlu ada metode menentukan siapa pasien yang lebih prioritas sejak awal kedatangan. Ketepatan dalam menentukan kriteria triase dapat memperbaiki aliran pasien yang datang ke unit gawat darurat, menjaga sumber daya unit agar dapat fokus menangani kasus yang benar-benar gawat, dan mengalihkan kasus tidak gawat darurat ke fasilitas kesehatan yang sesuai (Habib, 2016). Bantuan yang diberikan pada pasien gawat darurat bertujuan untuk penyelamatan
nyawa
dan
mencegah
kecacatan
menggunakan
pendekatan proses keperawatan di IGD rumah sakit. Pelaksanaan pelayanan keperawatan gawat darurat dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan gawat darurat dengan cepat, tepat, dan cermat sesuai standar untuk
penyelamatan nyawa dan mencegah kecacatan
(Kemenkes, 2011). Triase rumah sakit bertujuan menetapkan kondisi yang paling mengancam nyawa agar dapat mengerahkan segala daya upaya dan fokus untuk melakukan pertolongan medis pada pasien sampai keluhan pasien dan semua parameter hemodinamik terkendali. Prinsip yang dianut adalah bagaimana agar pasien mendapatkan jenis dan kualitas pelayanan medik yang sesuai dengan kebutuhan klinis (prinsip
5
berkeadilan) dan penggunaan sumber daya unit yang tepat sasaran (prinsip efisien) (Habib, 2016). 3. Prinsip Triage
a. Triage harus dilakukan dengan segera dan singkat b. Kemampuan
untuk
menilai
dan
merespons
dengan
cepat
kemungkinan yang dapat menyelamatkan pasien dari kondisi sakit atau cedera yang mengancam nyawa dalam departemen gawat darurat c. Pengkajian harus dilakukan secara adekuat dan akurat d. Keakuratan dan ketepatan data merupakan kunci dalam proses pengkajian e. Keputusan dibuat berdasarkan pengkajian f. Keselamatan dan keefektifan perawatan pasien dapat direncanakan jika terdapat data dan informasi yang akurat dan adekuat g. Intervensi yang dilakukan berdasarkan kondisi keakutan pasien h. Tanggung
jawab yang paling utama dari proses triage yang
dilakukan perawat adalah keakuratan dalam mengkaji pasien dan memberikan perawatan sesuai dengan prioritas pasien. Hal ini termasuk intervensi terapeutik dan prosedur diagnostik. i. Tercapainya kepuasan pasien: 1) Perawat triage harus menjalankan triage secara simultan, cepat, dan langsung sesuai keluhan pasien. 2) Menghindari keterlambatan dalam perawatan pada kondisi yang kritis.
6
3) Memberikan dukungan emosional pada pasien dan keluarga. j. Penempatan pasien yang benar pada tempat yang benar saat waktu yang benar dengan penyedia pelayanan yang benar (Kartikawati, 2012). 4. Kategori dan Penentuan Prioritas
Salah satu peran dan fungsi perawat gawat darurat adalah melakukan triage, mengkaji dan menetapkan prioritas dalam spektrum lebih luas terhadap kondisi klinis pada berbagai keadaan yang bersifat mendadak mulai dari ancaman nyawa sampai kondisi kronis (Faidah dkk, 2013). Setiap Rumah Sakit memiliki konsep triage yang berbedabeda. Salah satu konsep triage yang dapat digunakan yaitu Patient Acuity Category Scale (PACS) (Kurniasari, 2016). Terdapat 4 sistem
klasifikasi triase yaitu prioritas 1 atau pasien kritis yang memerlukan resusitasi, prioritas 2 yaitu emergensi mayor atau urgen, prioritas 3 yaitu emergensi minor atau non urgen dan prioritas 4 yaitu non emergensi atau false emergency (Untoro & Adhtya, 2017).
Tabel 2.1 Kategori triage (Kartikawati, 2012) Kategori triage 1 2 3 4
Level kegawatdaruratan Resuscitation & Critically ill Patients Major Emergencies (Non-Ambulant) Minor Emergencies (Ambulant) Non-Emergencies
7
Tabel 2.2 Skala kategori kegawatdaruratan pasien versi Singapura (Kartikawati, 2012).
Kategori triage
Level kegawatdaruratan
1
Resuscitation & Critically ill Patients
2
Major Emergencies (non ambulant)
Target waktu dimana pasien harus dilihat (menit) 5 menit
45 menit
Persentase kasus yang harus dilihat Keluhan pasien sesuai dengan target waktu 90% Cardiac arest Trauma arest Major trauma Syok Near-Death Asthma Gagal napas Penurunan kesadaran Kejang Cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran Nyeri dada-termasuk IMA/Unstable Angina Perdarahan gastrointestinal dengan syok/ akan terjadi syok
85%
Chest pain - bukan karena IMA Overdosis obat - masih sadar Sakit perut yang berat
Diagnosis awal sementara
Syok traumatik Pneumothorax - Trauma/Tension Luka bakar wajah dengan gangguan jalan napas Cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran Luka terbuka dada Hipoglikemia Infark Miokard Akut dengan atau tanpa komplikasi Status asmatikus Status epilepsi Multiple trauma Gagal jantung derajat 4 Syok dengan sebab apapun juga Angina pektoris unstable Stroke dengan penurunan tingkat kesadaran Hyperosmolar Non-Ketotic Diabetes Diabetik Ketoasidosis Fraktur iga Multiple
8
Perdarahan saluran cerna dengan TTV normal Perdarahan vagina akut dengan TTV normal Penurunan tingkat kesadaran - tidak pingsan dan TTV normal Moderate Trauma - Non Ambulant Kondisi nyeri berat Cedera kepala, sadar, muntah Asama ringan/sedang Kejang - sadar pada saat datang di RS Infeksi pada dada dengan sesak Muntah dengan segala penyebab
3
Minor Emergencies (Ambulant)
60 menit
80%
Cedera leher/spinal Luka bakar pada mata Chest Pain-dengan penyebab yang tidak jelas Kehamilan ektopik Major Limb Fractures Asma Bronchial Appendisitis akut Perforated Viscus Kolik ureter akut Retensi urine, Ekserbasi peptic ulser akut Bronkhopneumonia Perdarahan saluran cerna-TTV normal Kolesistitis Sepsis berat tanpa disertai syok Psikotik akut CVA – sadar Pyelonephritis akut Kanker dengan komplikasi Intestinal Obstruction Overdosis obat – sadar Cedera kepala - sadar, tidak muntah Cedera kepala – sadar, tidak muntah Minor Acute Trauma Fraktur colles Nyeri perut – ringan Fraktur klavikula Sakit kepala Sprain ankle Sakit telinga/gangguan pendengaran Fraktur minor lain akut Migrain dan sakit kepala sejenisnya Benda asing pada mata Otitis media/eksterna
9
Perdarahan saluran cerna dengan TTV normal Perdarahan vagina akut dengan TTV normal Penurunan tingkat kesadaran - tidak pingsan dan TTV normal Moderate Trauma - Non Ambulant Kondisi nyeri berat Cedera kepala, sadar, muntah Asama ringan/sedang Kejang - sadar pada saat datang di RS Infeksi pada dada dengan sesak Muntah dengan segala penyebab
3
Minor Emergencies (Ambulant)
60 menit
80%
Cedera leher/spinal Luka bakar pada mata Chest Pain-dengan penyebab yang tidak jelas Kehamilan ektopik Major Limb Fractures Asma Bronchial Appendisitis akut Perforated Viscus Kolik ureter akut Retensi urine, Ekserbasi peptic ulser akut Bronkhopneumonia Perdarahan saluran cerna-TTV normal Kolesistitis Sepsis berat tanpa disertai syok Psikotik akut CVA – sadar Pyelonephritis akut Kanker dengan komplikasi Intestinal Obstruction Overdosis obat – sadar Cedera kepala - sadar, tidak muntah Cedera kepala – sadar, tidak muntah Minor Acute Trauma Fraktur colles Nyeri perut – ringan Fraktur klavikula Sakit kepala Sprain ankle Sakit telinga/gangguan pendengaran Fraktur minor lain akut Migrain dan sakit kepala sejenisnya Benda asing pada mata Otitis media/eksterna
9
Nyeri ringan – berat
4
Non-Emergencies
120 menit
75%
Trauma lama dengan gejala sisa. Sakit tenggorokan tanpa adanya masalah pernapasan Penyakit pernapasan bagian atas (minor). Prosedur tindakan bedah non-urgent Kelemahan tubuh yang berlangsung lama. Penyakit mata non-urgent Penyakit THT non-urgent Minor lll-Defined Conditions Permintaan tindakan non-urgent Permintaan general check-up dan surat keterangan Kasus-kasus ginekologi Masalah kulit non-urgent
10
Gastrointestinal Refluks Benda asing pada telinga, hidung, tenggorokan, mata, dan ekstremitas Gejala dysmenorrhoea Diare akut Vomiting Digigit ular, sengatan serangga dan hewan lain. Urtikaria Old scars Deformitas tulang, spinal atau anggota tubuh yang lain Kontraktur sendi Tindakan non-urgent: a. Pengambilan plate metal, screws b. Old Unreduced Dislocations c. Luka kronik d. Sprain kronik e. Benjolan pada tubuh f. Kista, bisul g. Tindakan sirkumsisi h. Patching of Earlobe i. Penghilangan tato j. Penghilangan kutil k. Penghilangan keloids l. Osteoarthritis pada lutut
Nyeri ringan – berat
4
Non-Emergencies
120 menit
75%
Trauma lama dengan gejala sisa. Sakit tenggorokan tanpa adanya masalah pernapasan Penyakit pernapasan bagian atas (minor). Prosedur tindakan bedah non-urgent Kelemahan tubuh yang berlangsung lama. Penyakit mata non-urgent Penyakit THT non-urgent Minor lll-Defined Conditions Permintaan tindakan non-urgent Permintaan general check-up dan surat keterangan Kasus-kasus ginekologi Masalah kulit non-urgent
Gastrointestinal Refluks Benda asing pada telinga, hidung, tenggorokan, mata, dan ekstremitas Gejala dysmenorrhoea Diare akut Vomiting Digigit ular, sengatan serangga dan hewan lain. Urtikaria Old scars Deformitas tulang, spinal atau anggota tubuh yang lain Kontraktur sendi Tindakan non-urgent: a. Pengambilan plate metal, screws b. Old Unreduced Dislocations c. Luka kronik d. Sprain kronik e. Benjolan pada tubuh f. Kista, bisul g. Tindakan sirkumsisi h. Patching of Earlobe i. Penghilangan tato j. Penghilangan kutil k. Penghilangan keloids l. Osteoarthritis pada lutut
10
Prioritas kegawatan pasien akan menentukan respon time di IGD, penentuan prioritas ini dikenal dengan sistem triase (Untoro dan Adhitya, 2017). Prioritas Masalah Keperawatan Gawat Darurat: (Kemenkes, 2011). a. Gangguan jalan nafas b. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas c. Pola nafas tidak efektif d. Gangguan pertukaran gas e. Penurunan curah jantung f. Gangguan perfusi jaringan perifer g. Gangguan rasa nyaman h. Gangguan volume cairan tubuh i.
Gangguan perfusi serebral
Prioritas kegawatan pasien akan menentukan respon time di IGD, penentuan prioritas ini dikenal dengan sistem triase (Untoro dan Adhitya, 2017). Prioritas Masalah Keperawatan Gawat Darurat: (Kemenkes, 2011). a. Gangguan jalan nafas b. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas c. Pola nafas tidak efektif d. Gangguan pertukaran gas e. Penurunan curah jantung f. Gangguan perfusi jaringan perifer g. Gangguan rasa nyaman h. Gangguan volume cairan tubuh
5.
i.
Gangguan perfusi serebral
j.
Gangguan termoregulasi
Proses Triage
Perawat
IGD
sebelum
menentukan
triage
juga
melakukan
pengumpulan data, untuk mengidentifikasi masalah dengan melakukan observasi keadaan umum pasien pada saat datang, pengukuran tanda-tanda vital, anamnesa keluhan dan melakukan pemeriksaan fisik perawat setelah mengetahui kondisi pasien selanjutnya adalah menentukan tingkat kegawatannya. Sistem tingkat kedaruratan triage mempunyai arti penting karena triage merupakan suatu poses mengkomunikasikan kondisi kegawatdaruratan pasien di IGD (Wachid, 2013). Pengkajian awal dimulai ketika perawat triage memeriksa pasien, perawat harus memeriksa dengan jelas. Dalam melakukan triage, perawat
11
harus memperhatikan pengontrolan infeksi dalam situasi apapun di mana kontak dengan darah dan cairan tubuh bisa terjadi. Membersihkan tangan dengan sabun atau pembersih tangan setiap kali kontak dengan pasien merupakan langkah penting untuk mengurangi penyebaran infeksi (Kartika, 2012). Triage seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan tepat waktu akan segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi kecacatan akibat kerusakan organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat (Hamarno, 2016). Proses pengumpulan data primer dan sekunder terfokus tentang status kesehatan pasien gawat darurat di rumah sakit secara sitemik, akurat, dan berkesinambungan. Pengkajian primer dan sekunder terfokus, sistematis, akurat, dan berkesinambungan memudahkan perawat untuk menetapkan masalah kegawatdaruratan pasien dan rencana tindakan cepat, tepat, dan cermat sesuai standar. Sistem triage yang dapat digunakan pada pengkajian keperawatan gawat darurat ialah melakukan pengumpulan data melalui primary dan secondary survey pada kasus gawat darurat di rumah sakit (Kemenkes, 2011). a. Primary survey adalah pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah aktual atau resiko tinggi dari kondisi life threatening
(berdampak
terhadap
kemampuan
pasien
untuk
mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan (Kemenkes, 2011). Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
12
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi (Prasetyantoro,
2013). Primary Survey: (Kemenkes, 2011).
A: Airway atau dengan kontrol servikal B: Breathing dan ventilasi C: Circulation dengan kontrol perdarahan D: Dissability pada kasus trauma, “ Defibrilation, Drugs, Differential Diagnosis” pada kasus non trauma
E: Exposure pada kasus trauma, EKG, “ Electrolite Imbalance” pada kasus non trauma. b. Secondary survey Secondary survey adalah pengkajian sekunder dilakukan setelah
masalah airway, breathing dan circulation yang ditentukan pada pengkajian
primer
sebelumnya.
Pengkajian
sekunder
meliputi
pengkajian obyektif dan subyektif dari riwayat keperawatan dan pengkajian head to toe. Pengkajian head to toe terfokus, adalah pengkajian komprehensif sesuai dengan keluhan utama pasien (Kemenkes, 2011). 1) Wawancara triage Pada saat wawancara yang waktunya relatif singkat, perawat menentukan keluhan utama dan riwayat luka atau sakit saat ini. Perawat triage melakukan pengkajian yang berfokus pada masalah dan melakukan pengukuran tanda-tanda vital dan kemudian
13
perawat menentukan tingkat kedaruratan triage dari keterangan yang didapatkan (Kartikawati, 2012). Tujuan wawancara triage ini adalah untuk menentukan keluhan utama, mendapatkan penjelasan dari tanda dan gejala yang terkait, menggolongkan tingkat kedaruratan pasien dan melakukan perawatan berdasarkan riwayat. Pertanyaan pertama yang diajukan kepada pasien adalah tentang alasan mengapa pasien datang ke UGD. Perawat selalu menggunakan pertanyaan terbuka, seperti “Apa yang Anda keluhkan saat ini?” atau “Apa yang Anda rasakan saat ini?”. Keluhan utama sebaiknya dicatat sesuai dengan katakata pasien. Jika pasien mengatakan beberapa masalah, perawat triage harus memfokuskan pasien untuk menentukan alasan utama kedatangannya di UGD. Jika pasien datang dengan menggunakan ambulans, keterangan tentang pasien dapat diperoleh dari petugas kesehatan sebelumnya, tetapi penting untuk dilakukan verifikasi kepada pasien dalam rangka untuk mencocokkan antara keterangan petugas kesehatan dengan pasien. Hal ini dilakukan jika pasien dalam keadaan sadar dan kooperatif (Kartikawati, 2012). Pada saat mengumpulkan data terkait dengan keluhan utama pasien, perawat bisa menggunakan beberapa pendekatan sistematis yang biasa digunakan diruang gawat darurat. Untuk pasien dengan keluhan nyeri bisa menggunakan singkatan PQRST. Setelah perawat mendapatkan keterangan yang cukup tentang keluhan utama, fokus perawat berpindah pada riwayat medis singkat.
14
Tabel 2.3 Panduan PQRST untuk pengkajian nyeri (Kartikawati, 2012) Singkatan P: Provokes, Palliative (penyebab) Q: Quality (kualitas)
R: Radiates (penyebaran) S: Severity (keparahan)
T: Time (waktu)
Pertanyaan Apa yang menyebabkan rasa sakit/nyeri, apakah ada hal yang menyebabkan kondisi memburuk/membaik, apa yang dilakukan jika sakit/nyeri timbul, apakah ini sampai mengganggu tidur Bisakah anda menjelaskan rasa sakit/nyeri, apakah rasanya tajam, sakit seperti diremas, menekan, membakar, nyeri berat, kolik, kaku, atau seperti ditusuk. (Biarkan pasien menjelaskan kondisi ini dengan katakatanya) Apakah rasa sakitnya menyebar, seperti apa penyebarannya, apakah sakitnya menyebar atau berfokus pada satu titik Seperti apa sakitnya, nilai nyeri dalam skala 1-10 dengan 0 berarti tidak sakit dan 0 yang paling sakit. (cara lain adalah dengan menggunakan skala FACES untuk pasien anak-anak lebih dari 3 tahun atau orang dengan kesulitan bicara) Kapan sakit mulai muncul, apakah munculnya perlahan atau tiba-tiba, apakah nyeri muncul secara terus-menerus atau kadang-kadang, apakah pasien pernah mengalami nyeri seperti ini sebelumnya, apabila “iya” apakah nyeri yang muncul merupakan nyeri yang sama atau berbeda.
2) Data Objektif Perawat triage melakukan pengkajian fisik terfokus berkaitan dengan keluhan utama pasien. Pemeriksaan fisik dibatasi tidak hanya pada tujuannya tetapi juga waktu, ruangan, dan kemungkinan keterbatasan yang ada. Inspeksi, palpasi, dan terkadang auskultasi dapat digunakan untuk mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan keluhan utama. Berikut ini merupakan parameter pengkajian
fisik pada saat triage sesuai
dengan keluhan utama (Kartikawati, 2012).
15
Tabel 2.4 Fokus pengkajian fisik pada triage (Kartikawati, 2012). Sistem Respirasi dan jantung
Gastrointestinal, perkemihan Muskuloskeletal
Endokrin
Neurologis
Psikiatrik
Kulit
Mata
Parameter pengkajian 1. Frekuensi pernapasan, irama, kedalaman 2. Cara bernapas, penggunaan otot bantu pernapasan 3. Warna kulit, suhu tubuh, kelembapan, turgor, membran mukosa 4. Asupan oksigen 5. Edema perifer 6. Suara napas 7. Tingkat kesadaran 8. Posisi yang nyaman Distensi abdomen, adanya memar, luka gores, abrasi, kondisi kulit halus/kasar 1. Sirkulasi, sensasi, edema 2. Fungsi motorik, kekuatan otot 3. Adanya luka, perubahan warna 1. Warna kulit, turgor, membran mukosa 2. Gula darah acak 3. Tingkat kesadaran 1. Bentuk wajah menggantung, adanya ptosis 2. Kekuatan genggaman 3. Kejelasan bicara dan artikulasi 4. Tingkat kesadaran 5. Perilaku 6. Ukuran bentuk dan kesetaraan pupil, serta respons pupil terhadap cahaya 7. Fungsi motorik/sensorik pada keseluruhan ekstremitas 8. GCS, status mental 9. Gula darah 10. Asupan oksigen 1. Penampilan umum, kebersihan 2. Gaya bicara 3. Perilaku: aneh, sesuai 4. Isi dan proses pemikiran 5. Daya ingat, orientasi 6. Potensi membahayakan diri sendiri dan orang lain 1. Deskripsi luka: ukuran, lokasi, kedalaman, penyebab, usia, perdarahan 2. Kontaminasi adanya benda asing 3. Tanda-tanda infeksi: umum atau lokal 4. Bintik merah, sengatan, lesi, gigitan 5. Inflamasi, drainase, trauma, benjolan, luka robek, fotofobia Akuitas visual: snellen chart, gelap atau terang, bentuk
16
Berdasarkan keluhan utama dan data subjektif serta objektif, perawat triage menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka dalam menentukan tingkat kedaruratan. Keputusan triage memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan kondisi pasien. Setelah tingkat
kedaruratan
ditentukan,
pemeriksaan
laboratorium
dan
radiografi dapat dimulai (Kartika, 2012). Pembuatan keputusan triase merupakan proses yang inheren kompleks dan dinamis. Karena sifat peran triase yang beragam, perawat diwajibkan untuk memiliki pengetahuan khusus serta pengalaman dengan berbagai macam penyakit dan cedera. Bila kode triase dipilih, ada tiga kemungkinan hasil: ( Departemen of Health and Ageing, 2009)
a. Under Triage, di mana pasien menerima kode triase yang lebih rendah dari tingkat urgensi sebenarnya (sebagaimana ditentukan oleh indikator klinis dan fisiologis objektif). b. Keputusan triase yang benar (atau yang diharapkan), di mana pasien menerima kode triase yang sepadan dengan tingkat urgensi sebenarnya (sebagaimana ditentukan oleh indikator klinis dan fisiologis objektif). Keputusan ini mengoptimalkan waktu untuk intervensi medis bagi pasien dan membatasi risiko keadaan yang memburuk c. Over-triase, di mana pasien menerima kode triase yang lebih tinggi dari tingkat urgensinya yang sesungguhnya. Keputusan ini berpotensi menghasilkan waktu tunggu yang singkat untuk
17
intervensi medis bagi pasien, namun risiko tersebut merupakan hasil yang merugikan bagi pasien lain yang menunggu, karena mereka harus menunggu lebih lama. Perawat Triase membuat keputusan urgensi dengan menggunakan informasi klinis dan historis untuk menghindari kesalahan under triage atau over triage ( Departemen of Health and Ageing, 2009). Apabila terdapat keragu-raguan dalam menentukan prioritas penderita, maka dianjurkan untuk melakukan Uptriage untuk menghindari penurunan kondisi penderita (Kartikawati, 2012). Proses pencatatan triage harus jelas, singkat, dan padat. Tujuan dokumentasi triage adalah mendukung keputusan triage, sebagai alat komunikasi antar petugas tim kesehatan di unit gawat darurat (dokter, perawat, ahli radiologi) dan sebagai bukti aspek mediko-legal. Pencacatan bisa dilakukan secara komputer atau manual dan mencakup bagian dasar dari pendokumentasian triage yang meliputi: waktu dan tanggal kedatangan di UGD, cara kedatangan, usia pasien, waktu atau jam wawancara triage, riwayat alergi (obat, makanan, latex), riwayat pengobatan yang sedang dijalani, tingkat kedaruratan, TTV, tindakan pertolongan pertama yang dilakukan, pengkajian nyeri, keluhan utama, pengkajian subjektif dan objektif, riwayat kesehatan, tes diagnostik yang dianjurkan, pengobatan yang diberikan pada saat triage, tanda tangan perawat yang melakukan triage, dan re-evaluasi (Kartikawati, 2017).
18
C. Konsep Kepuasan Pasien 1. Pengertian Kepuasan Pasien
Kepuasan adalah perasaan senang seseorang yang berasal dari perbandingan antara kesenangan terhadap aktivitas dan suatu produk dengan harapannya (Nursalam, 2016). Kepuasan pasien keluaran (outcome) layanan kesehatan. Dengan demikian, kepuasan pasien merupakan salah satu tujuan dari peningkatan mutu layanan kesehatan. Kepuasan pasien terhadap mutu layanan kesehatan dinyatakan oleh sikap terhadap kompetensi teknik dokter dan atau profesi layanan kesehatan lain berhubungan dengan pasien (Pohan, 2007). Kepuasan pasien adalah merupakan nilai subjektif terhadap kualitas pelayanan yang diberikan. Walaupun subjektif tetap ada dasar objektifnya, artinya walaupun penilaian itu dilandasi oleh hal dibawah ini: (Sabarguna & Rubaya, 2011). a. Pengalaman masa lalu b. Pendidikan c. Situasi psikologi waktu itu d. Pengaruh lingkungan waktu itu Kepuasan pasien adalah suatu tingkat perasaan pasien yang timbul sebagai akibat dari kinerja layanan kesehatan yang diperolehnya setelah pasien membandingkan dengan apa yang diharapkannya (Pohan, 2007). Kepuasan pasien selain dipengaruhi oleh pelayanan yang diberikan, juga ditentukan oleh pengalaman dan pemikiran perorangan, dan hal ini tidak dapat dengan mudah diupayakan untuk diubah, dan digiring ke
19
arah keadaan yang memuaskan, maka upaya yang jelas dari pihak rumah sakit dilakukan agar dapat memberikan pelayanan yang secara konsepsional dan terpadu menjamin kepuasan pada pasien (Sabarguna & Rubaya, 2011). 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Pasien
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan pasien, yaitu sebagai berikut: (Nursalam, 2016) a. Kualitas produk atau jasa Pasien akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menujukkan bahwa produk atau jasa yang digunakan berkualitas b. Harga Harga, yang termasuk di dalamnya adalah harga produk atau jasa. Harga merupakan aspek penting, namun yang terpenting dalam penentuan kualitas guna mencapai kepuasan pasien. Meskipun demikian elemen ini memengaruhi pasien dari segi biaya yang dikeluarkan, biasanya semakin mahal harga perawatan maka pasien mempunyai harapan yang lebih besar. c. Emosional Pasien yang merasa bangga dan yakin bahwa orang lain kagum terhadap konsumen bila dalam hal ini pasien memilih institusi pelayanan
kesehatan
yang
sudah
mempunyai
cenderung memiliki tingkat kepuasan yang lebih tinggi.
20
pandangan,
d. Kinerja Wujud dari kinerja ini misalnya: kecepatan, kemudahan, dan kenyamanan
bagaimana
perawat
dalam
memberikan
jasa
pengobatan terutama keperawatan pada waktu penyembuhan yang relatif cepat, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan pasien dan kenyamanan
yang
diberikan
yaitu
dengan
memperhatikan
kebersihan, keramahan dan kelengkapan peralatan rumah sakit e. Estetika Estetika merupakan daya tarik rumah sakit yang dapat ditangkap oleh pancaindra. Misalnya: keramahan perawat, peralatan yang lengkap dan sebagainya. f.
Karakteristik produk Produk ini merupakan kepemilikan yang bersifat fisik antara lain gedung dan dekorasi. Karakteristik produk meliputi penampilan bangunan, kebersihan tipe kelas kamar yang disediakan beserta kelengkapannya
g.
Pelayanan Pelayanan keramahan petugas rumah sakit, kecepatan dalam pelayanan. Institusi pelayanan kesehatan dianggap baik apabila dalam memberikan pelayanan lebih memperhatikan kebutuhan pasien, kepuasan muncul dari kesan pertama masuk pasien terhadap pelayanan keperawatan yang diberikan. Misalnya: pelayanan yang cepat, tanggap, dan keramahan dalam memberikan pelayanan keperawatan.
21
h.
Lokasi Lokasi, meliputi letak kamar dan lingkungan. Merupakan salah satu aspek yang menentukan pertimbangan dalam memilih intitusi pelayanan kesehatan. Umunya semakin dekat lokasi dengan pusat perkotaan atau yang mudah dijangkau, mudahnya transportasi dan lingkungan yang baik akan semakin menjadi pilihan bagi pasien.
i.
Fasilitas Kelengkapan fasilitas turut menentukan penilaian kepuasan pasien misalnya fasilitas kesehatan baik sarana dan prasarana, tempat parkir, ruang tunggu yang nyaman dan ruang kamar rawat inap. Walaupun hal ini tidak vital menentukan penilaian kepuasan pasien, namun institusi pelayanan kesehatan perlu memberikan perhatian pada fasilitas dalam penyusunan untuk menarik konsumen.
j.
Komunikasi Komunikasi, yaitu tata cara informasi yang diberikan pihak penyedia jasa dan keluhan-keluhan dari pasien. Bagaimana keluhan-keluhan dari pasien dengan cepat diterima oleh penyedia jasa terutama perawat dalam memberikan bantuan terhadap keluhan pasien.
k. Suasana Suasana, meliputi kemanan dan keakraban. Suasana yang tenang, nyaman, sejuk dan indah akan sangat memengaruhi kepuasan pasien dalam proses penyembuhannya. Selain itu tidak hanya bagi
22
pasien saja yang menikmati itu akan tetapi orang lain yang berkunjung akan sangat senang dan memberikan pendapat yang positif sehingga akan terkesan bagi pengunjung institusi pelayanan kesehatan tersebut. l.
Desain visual Desain visual, meliputi dekorasi ruangan, bangunan dan desain jalan yang tidak rumit. Tata ruang dan dekorasi ikut menentukan suatu kenyamanan. Menurut Leonard L. Barry dan pasuraman “ Marketing Service
Competing Through Quality” (New York Freepres, 1991) yang dikutip
Kotler (2000) dalam Nursalam (2016) mengidentifikasi lima kelompok karakteristik yang digunakan oleh pelanggan dalam mengevaluasi kualitas pelayanan jasa layanan, antara lain: a. Tangible (kenyataan), yaitu berupa penampilan fasilitas fisik, peralatan materi komunikasi yang menarik, dan lain-lain. b.
Empati, yaitu kesediaan karyawan dan pengusaha untuk memberikan perhatian secara pribadi kepada konsumen.
c.
Cepat tanggap, yaitu kemauan dari karyawan dan pengusaha untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa
dengan cepat serta
mendengar dan mengatasi keluhan dari konsumen d.
Keandalan, yaitu kemampuan untuk memberikan jasa sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya dan akurat dan konsisten.
23
e.
Kepastian, yaitu berupa kemampuan karyawan untuk menimbulkan keyakinan dan kepercayaan terhadap janji yang telah dikemukakan konsumen.
D. Konsep Pernapasan (Respirasi) 1. Anatomi Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem pernapasan dibentuk oleh beberapa struktur. Seluruh struktur tersebut terlibat dalam proses respirasi eksternal yaitu proses ) antara atmosfer dan darah serta pertukaran pertukaran oksigen (O₂ ) antara darah dan atmosfer. Respirasi ekternal karbondioksida (CO₂ adalah proses pertukaran gas antara darah dan atmosfer. Sedangkan respirasi internal adalah proses pertukaran gas antara darah sirkulasi dan sel jaringan. Respirasi internal (pernapasan selular) berlangsung di seluruh sistem tubuh (Djojodibroto, 2009). Fungsi dari respirasi adalah menjamin tersedianya O ₂ untuk kelangsungan
metabolime
sel-sel
tubuh
serta
mengeluarkan
) hasil metabolisme sel secara terus -menerus karbondioksida (CO₂ (Somantri, 2007). Secara umum suatu proses pernapasan memerlukan tiga subunit organ pernapasan, yaitu jalan napas atas, jalan napas bawah, dan unit pertukaran gas. Masing-masing sub unit terdiri atas berbagai organ. Jalan napas atas terdiri atas hidung, sinus, faring, dan laring. Jalan napas bawah terdiri atas trakea dan bronkus serta percabangannya. Unit pertukaran gas terdiri atas bagian distal bronkus terminal
24
(bronkiolus respiratorius), duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveoli yang kesemuanya disebut asinus (Tamsuri, 2008). a. Hidung Pada orang normal, udara masuk ke dalam paru melalui lubang hidung (nares anterior) dan kemudian masuk ke dalam rongga hidung. Rongga hidung dibagi menjadi dua bagian oleh sekat (septum nasal) dan pada masing-masing sisi lateral rongga hidung terdapat tiga saluran yang dibentuk akibat penonjolan turbinasi (konka). Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang banyak mengandung vaskuler dan juga ditumbuhi oleh bulu. Terdapat tiga fungsi utama hidung, yaitu sebagai penyaring, pelembap, dan penghangat udara yang dihirup. Saat menghirup napas (inhalasi), udara akan mengalami penyaringan terhadap
partikel-partikel
debu dan kotoran oleh bulu-bulu yang setiap saat lembap, sehingga kotoran udara akan menempel pada bulu hidung dan juga pada mukosa hidung. Bulu hidung ( vibrissae) efektif untuk menyaring debu atau partikel yang terkandung dalam udara dalam ukuran hingga 10 mm. b.
Sinus paranasalis Sinus paranasalis adalah rongga dalam tulang tengkorak yang terletak di dekat hidung dan mata. Terdapat empat sinus, yaitu sinus frontalis, etmoidalis, sfenoidalis, dan maksilaris. Sinus dilapisi oleh mukosa hidung dan epitel kolumnar bertingkat semu yang bersilia. Fungsi sinus adalah memperingan tulang tengkorak,
25
memproduksi mukosa serosa yang dialirkan ke hidung, dan menimbulkan resonansi suara sehingga memberi karakteristik suara yang berbeda pada tiap individu. c.
Faring Faring atau tenggorok adalah rongga yang menghubungkan antara hidung dan rongga mulut ke laring. Faring dibagi dalam tiga area, yaitu nasal, oral, dan laring. Faring nasal atau disebut nasofaring terletak di sisi posterior hidung, di atas palatum. Pada nasofaring terdapat kelenjar adenoid dan muara tuba eustachi. Faring oral atau disebut juga orofaring berlokasi dimulut. Area orofaring dibatasi secara superior oleh palatum, inferior oleh pangkal lidah, dan lateral oleh lengkung palatum. Tonsil terdapat pada orofaring. Faring laringeal atau disebut juga laringofaring terletak bagian inferior, pada daerah ini terdapat epiglotis, kartilago aritenoid, sinus piriformis. Fungsi faring adalah sebagai tempat lewatnya udara menuju paru atau lewatnya makanan menuju lambung.
d.
Laring Laring merupakan unit organ terakhir pada jalan napas atas. Laring disebut juga sebagai kotak suara karena pita suara terdapat di sini. Laring terletak di sisi inferior faring dan menghubungkan faring dengan trakea. Batas bawah dari laring sejajar dengan vertebra servikalis keenam. Bagian atas terdapat epiglotis yang dapat bergerak menutup pintu laring oleh epiglotis saat terjadi
26
proses menelan. Terdapat juga kartilago tiroid, kartilago aritenoid digunakan dalam gerakan pita suara, sedangkan pita suara itu sendiri merupakan ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara. Pita suara melekat pada lumen laring. Fungsi laring adalah memisahkan makanan dan udara, fonasi atau menghasilkan suara, dan inisiasi timbulnya batuk dari saluran napas bagian atas. Laring bertanggung jawab dalam mengatur dan memisahkan makanan yang ditelan dengan udara yang dihirup. Pengaturan ini dilakukan dengan menggunakan mekanisme penutupan jalan napas oleh epiglotis ketika terjadi proses menelan, sehingga makanan atau minuman yang tertelan tidak dapat memasuki jalan napas dan diteruskan ke esofagus. Kegagalan epiglotis untuk menutup pintu jalan napas berakibat masuknya makanan atau minuman ke dalam jalan napas (aspirasi). e.
Trakea Trakea disebut juga pipa udara, merupakan organ silindris sepanjang sekitar 10-12 cm (pada dewasa) dan berdiameter 1,5-2,5 cm. Terletak digaris tengah leher dan pada garis tengah sternum. Trakea memanjang dari kartilago krikoid pada laring hingga bronkus di torak. Trakea terdiri atas otot polos dengan sekitar 20 cincin kartilago inkomplet dan ditutupi oleh membran fibroelastik. Dinding posterior trakea tidak disokong oleh kartilago dan hanya terdapat membran fibrioleastik yang menyekat trakea dan esofagus.
27
f.
Percabangan Bronkial Percabangan bronkial adalah jalan napas berikutnya yang menghubungkan jalan napas atas hingga unit asinus. Bronkus primer berasal dari percabangan trakea menjadi dua cabang utama setinggi karina. Karina terletak sekitar iga kedua atau pada vertebra torakal kelima. Bronkus utama kiri kemudian bercabang menjadi dua cabang lobaris, satu cabang untuk menyuplai lobus paru kiri atas dan yang lain menyuplai lobus paru kiri bawah. Bronkus kanan dibagi dalam tiga cabang lobaris yang masing-masing menyuplai udara pada tiga lobus kiri paru, yaitu lobus atas, lobus tengah, dan lobus bawah. Pada bronkiolus, terdapat jaringan konektif elastik yang membantu kepatenan jalan napas. Bronkus dilapisi oleh epitel pseudostratifikasi kolumna bersilia. Sel goblet dalam epitelium menyekresi mukus. Silia dan mukus secara bersama-sama membantu melindungi paru dari debu, kuman, dan partikel lainnya.
g. Asinus Unit pernapasan terminal atau disebut juga asinus merupakan tempat terjadinya pertukaran gas. Unit ini terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris, dan alveolus. Duktus alveolaris berasal dari bronkiolus respiratorius. Alveoli muncul dari duktus alveolaris. Duktus alveolaris selanjutnya berdilatasi membentuk sakus alveolaris sehingga berbentuk seperti
28
buah anggur. Struktur yang paling penting dalam pertularan gas adalah alveolus. Pertukaran gas terjadi pada area membran kapiler. Udara dalam alveoli dipisahkan dengan kapiler darah oleh suatu membran setebal 1 mm. Oksigen harus melalui membran ini sebelum ditransfer ke dalam darah dan dibawa oleh hemoglobin. Pada saat yang sama karbondioksida meninggalkan darah untuk diekshalasi. h. Sirkulasi pulmonal Paru-paru mendapatkan suplai darah dari dua sirkulasi yang berbeda, yaitu sirkulasi pulmonal dan sirkulasi bronkial. Darah dari peredaran sistemi (yang rendah oksigen) akan dipompakan oleh ventrikel kanan menuju arteri pulmonalis kanan dan kiri melalui katup
pulmonal.
Kemudian,
darah
terus
dipompa
melalui
serangkaian pembuluh darah yang lebih kecil hingga mencapai kapiler pulmonal, tempat terjadinya pertukaran gas. Selanjutnya, darah akan melepaskan karbondioksida dan mengambil oksigen dan darah yang kaya oksigen dialirkan kembali ke dalam atrium kiri jantung melalui sitem vena pulmonalis, untuk selanjutnya diedarkan kembali melalui peredaran darah sistemik. 2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pernapasan
Faktor yang dapat memengaruhi pernapasan, antara lain tingkat perkembangan (usia), gaya hidup, status kesehatan, dan obat tertentu (narkotik) (Tamsuri, 2008).
29
a. Perkembangan Saat bayi lahir, terjadi perubahan sistem pernapasan menjadi terisi udara dan paru mengalami pengembangan. Selain itu, perubahan terjadi pula pada laju pernapasan. Tabel 2.5 Perubahan pernapasan sesuai usia (Tamsuri, 2008). Kelompok perkembangan Bayi baru lahir 1-11 bulan 2 tahun 4-12 tahun 14-18 tahun Dewasa Lansia
Frekuensi pernapasan (x/menit) 35 30 25 19-23 16-18 12-20 Meningkat secara bertahap
b. Gaya Hidup Latihan fisik atau aktivitas menyebabkan peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan dalam rangka menyuplai oksigen bagi tubuh. Kebiasaan
merokok dan jenis pekerjaan tertentu dapat
menimbulkan penyakit pernapasan. c. Status Kesehatan Pada orang sehat, sistem pernapasan memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan oksigen tubuh. penyakit pernapasan dapat memengaruhi kemampuan tubuh untuk menyuplai oksigen bagi tubuh. d. Obat-obatan Narkotik seperti morfin dan meperidin hidroklorida menurunkan frekuensi dan kedalaman pernapasan karena mendepresi pusat pernapasan pada medula
30
e. Lingkungan Ketinggian tempat, suhu (panas dan dingin), dan polusi dapat memengaruhi oksigenasi. Semakin tinggi suatu tempat, semakin ) pada pernapasan individu. Hal ini rendah tekanan oksigen (PaO₂ menyebabkan
orang
yang
berada
di
ketinggian
memiliki
pernapasan yang lebih cepat dan lebih dalam. 3.
Manifestasi Klinis
Gejala dan tanda ( symptomps and signs) dapat timbul jika suatu organ mengalami kelainan, dan sangat ditentukan oleh proses patologi yang mendasarinya. Gejala suatu penyakit dapat berupa kumpulan sindrom. Penyakit pada sistem pernapasan menimbulkan manifestasi klinis berupa gejala umum (sistemik) dan juga gejala respiratorik (Djoodibroto, 2009). a.
Gejala Umum Manifestasi sistemik akibat kelainan sistem pernapasan disebut gejala umum, yaitu suatu ungkapan yang mengarah kepada keadaan fisik secara umum ( general physical condition) seperti temperatur tubuh (berkaitan dengan demam), kebugaran (berkaitan dengan kelelahan), berat badan (berkaitan dengan penurunan berat badan), rasa sakit (berkaitan dengan nyeri kronik). Dalam keadaan sakit, constutional akan terpengaruh, tidak terkecuali sakit yang disebabkan oleh penyakit sistem pernapasan. Gejala konstitusional yang disebut juga sebagai coexixting symptoms dapat berupa demam, tidak nafsu makan, dan
turunnya berat badan. Penyakit infeksi sistem pernapasan selalu menimbulkan demam, upaya bernapas aktif ( labour breathing)
31
menyebabkan timbulnya kelelahan, penyakit tuberkulosis dan kanker paru selalu menyebabkan hilangnya nafsu makan dan penurunan berat badan (weight loss). Involuntary weight loss adalah turunnya berat badan sebanyak 5% dari berat badan awal dalam waktu selama 6 bulan. b. Gejala Respiratorik Terdapat 6 (enam) gejala respiratorik yang sering timbul, yaitu batuk, berdahak, hemoptisis, sesak napas ( breathlessness), napas berbunyi atau mengi (wheeze), dan nyeri pleuritik. 1) Batuk Batuk merupakan mekanisme refleks yang sangat penting untuk menjaga jalan napas tetap terbuka (paten) dengan cara menyingkirkan hasil sekresi lendir yang menumpuk pada jalan napas. Tidak hanya lendir yang akan disingkirkan oleh refleks batuk tetapi juga gumpalan darah dan benda asing. Namun, sering terdapat batuk yang tidak bertujuan untuk mengeluarkan lendir maupun benda asing, seperti batuk yang disebabkan oleh iritasi jalan napas. Jalan napas dapat menjadi hiperaktif sehingga hanya dengan iritasi sedikit saja sudah dapat menyebabkan refleks batuk. Daerah pada jalan napas yang peka terhadap rangsangan batuk adalah laring, karina, trakea, dan bronkus utama. Batuk merupakan gejala yang paling sering ditemukan pada infeksi jalan napas atas. Jika batuk tidak hilang selama tiga minggu sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk menentukan
32
kemungkinan adanya tuberkulosis, karsinoma bronkus atau penyakit
paru
lain.
Batuk
yang
sangat
berlebihan
dapat
menyebabkan penyebaran infeksi, cedera pada jalan napas atas, pneumotoraks,
patah
tulang
iga,
hemoptisis,
dan
dapat
memperberat gejala gagal jantung. 2) Berdahak Dalam keadaan normal, sistem pernapasan pada orang dewasa memproduksi lebih kurang 100 mL lendir per hari yang biasanya tertelan. Jika produksi lendir berlebihan pengeluarannya menjadi tidak efektif sehingga lendir yang tertumpuk berupa dahak atau sputum. Ekspektorasi diartikan sebagai pengeluaran dahak atau sputum
yang
meningkat
jumlahnya.
Produksi
dahak
dapat
meningkat karena adanya rangsangan pada membran mukosa secara fisik, kimiawi, maupun karena infeksi. Pada infeksi, dahak dapat bercampur dengan pus serta produksi inflamasi lain. Konsistensi dahak dapat digolongkan menjadi encer ( watery), kental sampai lengket. Penampakan dahak dapat mempermudah penegakkan diagnosis: dahak yang tampak seperti karat besi ( rust coloured ,
“ prunejuice”)
menunjukkan
infeksi
pneumonia
pneumukokus, dahak yang berwarna batu bata ( brick-red, “currant jelly”) menunjukkan infeksi pneumonia klebsilla, dahak yang berbau busuk atau dapat juga abses paru. Dalam mendeskripsikan dahak harus disebutkan perkiraan jumlah produksinya dalam 24 jam, tekstur dan warnanya. Pada bronkiektasis didapatkan produksi
33
dahak yang sangat banyak. Dahak yang berwarna hitam mungkin disebabkan oleh polusi udara atmosfer, dahak yang berwarna kuning disebabkan oleh infeksi bakteri, sel eosinofil dalam jumlah banyak yang ditemukan di dalam dahak menunjukkan alergi seperti asma,
dan
dahak
yang
berwarna
hijau
mengarah
pada
kemungkinan bronkiektasis. Pada dahak yang berasal dari saluran napas bawah akan didapati makrofag alveolar. Jika banyak dijumpai sel skuamosa, dahak diperkirakan berasal dari bagian atas laring. Jika banyak dijumpai sel polimorfonuklear, mungkin disebabkan oleh infeksi bakteri. Pengumpulan dahak untuk evaluasi sebaiknya menggunakan wadah yang steril. Pemeriksaan sitologik dahak dilakukan untuk mencari sel-sel keganasan. 3) Hemoptisis Dahak juga dapat bercampur dengan darah. Dahak yang berwarna coklat disebut “ rusty sputum” hemoptisis dapat dianggap sebagai gejala. Kata hemoptisis berasak dari kata hemo yang berarti darah dan ptisis yang berarti meludah. Hemoptisis sering merupakan
petunjuk
tentang
adanya
penyakit
yang
serius.
Penyebab hemoptisis sangat beragam, antara lain bronkiektasis, emboli paru, pneumonia, tuberkulosis, benda asing, kelainan pada jantung, trauma, katamenial, kriptogenik, iatrogenik, aspergilosis, dan abses paru. Gejala yang menyertai hemoptisis: nyeri dada, dispnea, demam, mual, muntah, takipnea, dan batuk. Pada
34
hemoptisis,
darah
yang
dibatukkan
berwarna
merah
(pada
hematemesis berwarna merah kehitaman). 4) Dispnea Dispnea sering disebut juga sebagai sesak napas, napas pendek, breaathlessnes atau shorthness of breath. Dipnea adalah gejala
subjektif berupa keinginan penderita untuk meningkatkan upaya mendapatkan udara pernapasan. Dispnea dapat ditentukan dengan melihat adanya upaya bernapas aktif dan upaya menghirup udara lebih banyak ( labored and distressful breathing). Dispnea sebagai akibat peningkatan upaya untuk bernapas dapat ditemui pada berbagai
kondisi
klinis
penyakit.
Penyebabnya
adalah
meningkatnya tahanan jalan napas seperti pada obstruksi jalan napas atas, asma, dan pada penyakit obstruksi kronik. 5) Nyeri dada Nyeri dada atau nyeri pleuritik yang terkait dengan pernapasan biasanya bersifat tajam dan diperberat dengan bernapas dalam atau batuk. Nyeri seringkali terlokalisasi pada satu area tertentu. Nyeri pleuritik dengan onset tiba-tiba dan seperti tertusuk dapat menunjukkan adanya pneumothorax atau embolus pulmonal, sedangkan
nyeri
umum
menunjukkan pneumonia.
35
yang
bersifat
tumpul
mungkin
4. Gangguan Respirasi
Secara garis besar, gangguan-gangguan respirasi dikelompokkan menjadi tiga yaitu gangguan irama/frekuensi pernapasan, insufisiensi pernapasan, dan hipoksia (Asmadi, 2008). a. Gangguan irama/frekuensi pernapasan 1) Gangguan irama pernapasan, antara lain: a) Pernapasan “cheyne-stokes” yaitu siklus pernapasan yang amplitudonya mula-mula dangkal, makin naik kemudian menurun dan berhenti. Lalu pernapasan dimulai lagi dengan siklus baru. Jenis pernapasan ini biasanya terjadi pada klien gagal jantung kongesti, peningkatan tekanan intrakranial, overdosis obat. b) Pernapasan “biot” yatu pernapasan yang mirip dengan pernapasan Cheyne-Stokes, tetapi amplitudonya rata dan disertai apnea. Keadaan pernapasan ini kadang ditemukan pada penyakit radang selaput otak. c) Pernapasan “Kussmaul” yaitu pernapasan yang jumlah dan kedalamannya meningkat sering melebihi 20 kali/menit. Jenis pernapasan ini dapat ditemukan pada klien dengan asidosis metabolik dan gagal ginjal. 2) Gangguan frekuensi pernapasan a) Takipnea/hiperapnea, yaitu frekuensi pernapasan yang jumlahnya meningkat di atas frekuensi pernapasan normal
36
b) Bradipnea, yaitu kebalikan dari takipnea dimana frekuensi pernapasan yang jumlahnya menurun di bawah frekuensi pernapasan normal. b. Insufisiensi pernapasan Penyebab insufisiensi pernapasan dapat dibagi menjadi 3 kelompok utama yaitu: 1) Kondisi yang menyebabkan hipoventilasi alveolus, seperti: a) Kelumpuhan otot pernapasan, misalnya pada poliomielitis, transeksi servikal b) Penyakit yang meningkatkan kerja ventilasi, seperti asma, emfisema, TBC, dan lain-lain, 2) Kelainan yang menurunkan kapasitas difusi paru: a) Kondisi
yang
menyebabkan
luas
permukaan
difusi
berkurang, misalnya kerusakan jaringan paru, TBC, kanker, dan lain-lain. b) Kondisi
yang
menyebabkan
penebalan
membran
pernapasan, misalnya pada edema paru, pneumonia, dan lain-lain. c) Kondisi yang menyebabkan rasio ventilasi dan perfusi yang tidak normal dalam beberapa bagian paru, misalnya trombosis paru 3) Kondisi
yang
menyebabkan
terganggunya
oksigen dari paru-paru ke jaringan yaitu:
37
pengangkutan
a) Anemia dimana bekurangnya jumlah total hemoglobin yang tersedia untuk transpor oksigen b) Keracunan
karbondioksida
dimana
sebagian
besar
hemoglobin menjadi tidak dapat mengangkut oksigen c) Penurunan aliran darah ke jaringan yang disebabkan oleh karena curah jantung yang rendah c. Hipoksia Hipoksia adalah kekurangan oksigen di jaringan. Istilah ini lebih tepat daripada anoksia. Sebab, jarang terjadi tidak ada oksigen sama sekali dalam jaringan. Hipoksia dapat dibagi ke dalam empak kelompok yaitu hipoksemia, hipoksia hipokinetik, overventilasi hipoksia, dan hipoksia histotoksik. 1) Hipoksemia Hipoksemia adalah kekurangan oksigen di darah arteri. Terbagi atas dua jenis yaitu hipotonik (anoksia anoksik) dan hipoksemia isotonik (anoksia anemik). Hipoksemia hipotonik terjadi di mana tekanan oksigen darah arteri rendah karena karbondioksisa
dalam
darah
tinggi
dan
hipoventilasi.
Hipoksemia isotonik terjadi di mana oksigen normal, tetapi jumlah oksigen yang dapat diikat hemoglobin sedikit. Hal ini terdapat pada kondisi anemia, keracunan karbondioksida. 2) Hipoksia hipokinetik (stagnant anoksia/anoksia bendungan) Hipoksia hipokinetik yaitu hipoksia yang terjadi akibat adanya bendungan atau sumbatan. Hipoksia hipokinetik dibagi
38