BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak. (Muttaqin, 2008), cedera kepala biasanya diakibatkan salah satunya benturan atau kecelakaan. Sedangkan akibat dari terjadinya terjadin ya cedera kepala yang paling fatal adalah kematian. Akibat trauma kepala pasien dan keluarga mengalami perubahan fisik maupun psikologis, asuhan keperawatan pada penderita cedera kepala memegang peranan penting terutama dalam pencegahan komplikasi. Komplikasi dari cedera kepala adalah infeksi, perdarahan. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma-trauma. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas dan mortilitas penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya pemilihan fungsi (Tarwoto, 2007). Cedera tulang belakang merupakan cedera pada tulang belakang baik langsung (kecelakaan ataupun jatuh) maupun tidak langsung (infeksi bakteri atau virus) yang dapat menyebabkan kecacatan menetap atau kematian (PERDOSSI, 2006). Price (2003) menyatakan bahwa cedera tulang belakang dapat mengakibatkan terjadinya paralisis, paraplegia, depresi refleks neurologis, edema dan hipoksia jaringan. Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di dunia kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita p enderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut (Depkes, 2012).
1
B. Rumusan Masalah
Bagaimana asuhan keperawatan gawat darurat pada klien dengan cedera kepala, cedera tulang belakang dan prosedur evakuasi dalam kegawatdaruratan. C. Tujuan 1. Tujuan Umum
Terciptanya pengetahuan mahasiswa mengenai segala hal yang berkaitan dengan konsep gawat darurat pada cidera kepala, Tulang belakang, ekstrikasi, dan evakuasi. 2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengenali dan menyebutkan berbagai tanda dan macam-macam klasifikasi dalam cidera kepala dan Tulang belakang b. Mahasiswa dapat membuat tindakan keperawatan dalam mengatasi atau memecahkan masalah cidera kepala dan Tulang belakang c. Mahasiswa mampu melakukan teknik prosedur ekstrikasi ek strikasi dan evakuasi
D. Sistematika Penulisan
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang, tujuan dan sistematika penulisan
BAB II
: TINJAUAN TEORI Bab ini berisi tentang tinjauan teori, asuhan k eperawatan gawat darurat dari cidera kepala, cidera tulang belakang, ekstrikasi dan evakuasi
BAB III
: PEMBAHASAN Bab ini berisi tentang kesimpulan
2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Cedera Kepala
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011). Cedera kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001). Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekannya subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca, 2008). Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu lintas.( Mansjoer, dkk, 2000 ).
B. Etiologi Cedera Kepala
1. Trauma benda tajam Menyebabkan cedera setempat dan menimbulkan cedera lokal. Kerusakan lokal meliputi Contusio serebral, hematom serebral, kerusakan otak sekunder yang disebabkan perluasan masa lesi, pergeseran otak atau hernia. 2. Trauma oleh benda tumpul dan menyebabkan cedera menyeluruh (difusi) Kerusakannya menyebar secara luas dan terjadi dalam 4 bentuk : cedera akson, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multiple pada otak koma terjadi karena cedera menyebar pada hemisfer cerebral, batang otak atau kedua-duanya. 3
3. Etiologi lainnya: - Kecelakaan kendraan bermotor, sepeda, atau mobil, jatuh - kecelakaan saat berolahraga, anak dengan ketergantungan - kecelakaan akibat kekerasan.
C. Manifestasi Klinis Cedera Kepala
Manifestasi klinisnya yaitu: 1. Pada cedera otak, kesadaran seringkali menurun 2. Pola nafas menjadi abnormal secara progresif 3. Reson pupil mungkin tidak ada atau secara progresif mengalami deteriorasi 4. Sakit kepala dapat terjadi dengan segera atau terjadi bersama peningkatan tekanan intracranial 5. Muntah dapat terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial 6. Perubahan perilaku, kognitif, dan fisik pada gerakan motorik dan berbicara dapat terjadi dengan kejadian segera atau secara lambat. Amnesia yang berhubungan dengan kejadian ini biasa terjadi.
( E liz li zabeth J.C J .Co or wi n, 2009 2009 )
D. Patofisiologi Cedera Kepala
Suatu sentakan traumatic pada kepala menyebabkan cedera kepala. Sentakan biasanya tibatiba dan dengan kekuatan penuh, seperti jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor, atau kepala terbentur. Jika sentakan menyebabkan suatu trauma akselerasi-deselerasi atau coupcountercoup, maka kontusio serebri dapat terjadi. Trauma akselerasi-deselerasi dapat terjadi langsung dibawah sisi yang terkena ketika otak terpantul kearah tengkorak dari kekuatan suatu sentakan (suatu pukulan benda tumpul, sebagai contoh), ketika kekuatan sentakan mendorong otak terpantul kearah sisi berlawanan tengkorak, atau ketika kepala terdorong kedepan dan berhenti seketika. Otak terus bergerak dan terbentur kembali ke tengkorak (akselerasi) dan terpantul (deselerasi).
4
Kerusakan Otak Akibat Trauma
Otak merupakan jaringan yang konsistensinya kenyal menyerupai agar-agar dan terletak didalam cranium atau ruang tengkorak, yang secara absolut tidak dapat bertambah volumenya, terutama pada orang dewasa. Otak terdapat didalam liquor cerebro-spinalis. Apabila terdapat hubungan langsung antara otak dengan dunia luar (fraktur basis krania dengan cairan otak keluar dari hidung dan telinga), maka ini merupakan keadaan yang berbahaya karena akan dapat menimbulkan peradangan pada otak. Otak dapat mengalami pembengkakan (edema), baik karena trauma langsung (primer) ataupun setelah trauma (sekunder). Pembengkakan otak ini dikenal sebagai edema serebri, dan karena tengkorak merupakan ruangan yang tertutup rapat, maka edema ini akan menimbulkan peninggian tekanan dalam rongga tengkorak (peninggian tekanan intrakranial). 1. Cedera Langsung (Primer)
Apabila otak menumbuk bagian dalam tengkorak, maka mungkin terjadi perdarahan dalam jaringn (kontusio serebri), robekan jaringan otak (laserasi serebri) ataupun perdarahan karena putusnya pembuluh darah.
5
2. Cedera Otak Sekunder
Cedera otak sekunder dapat berupa:
Edema serebri
Ischemic jaringan otak
Infark jaringan otak
6
Cedera otak sekunder dapat disebabkan:
Hypovolemia Pada trauma, maka hypovolemia biasanya disebebkan karena perdarahan yang kemudian akan menyebabkan terjadinya syok. Hypovolemia ini bila ringan akan dikompresi oleh tubuh, sehingga otak masih tetap mendapatkan darah. Namun apabila hypovolemia sudah cukup berat, maka darah yang ke otak pun akan berkurang. Hypovolemia yang berat akan menyebabkan perfusi darah ke otak yang sangat berkurang sehingga dapat menyebabkan iskemia otak (jaringan otak kurang mendapatkan darah), bahkan infark otak (kematian jaringan otak)
Hypoksia Kurangnya oksigen dalam darah akan menyebabkan otak menerima oksigen yang kurang. Seperti hipovolemia, hipoksia akan menyebabkan iskemia otak, yang bila berat menjadi infark otak.
Hyperkarbia Pengaruh kadar CO2 dalam darah sangat penting pada trauma kapitis. Peningkatan CO2 darah
akan
menyebabkan
menyebabkan edema
vasodilatasi
serebri.
pembuluh
Penguraian
kadar
darah
otak,
CO2 darah
yang
kemudian
(hipokarbia)
akan
menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak, sehingga mungkin terjadi iskemia jaringan otak, yang mungkin menjadi infark. Kadar CO2 dalam darah yang ideal dalam trauma kapitis adalah 26-32%. Ini tidak mungkin dideteksi tanpa alat khusus, sehingga dalam penanganan penderita dalam trauma kepala yang penting adalah jangan sampai penderita ada gangguna ventilasi.
E. Klasifikasi Cedera Kepala 1. Cedera Kepala Menurut Penyebabnya
a. Trauma Tumpul Kekuatan benturan akan menyebabkan kerusakan yang menyebar. Berat ringannya cedera yang terjadi tergantung pada proses akselerasi deselerasi, kekuatan benturan dan kekuatan rotasi internal. Rotasi internal dapat menyebabkan perpindahan cairan 7
dan perdarahan petekie karena pada saat otak “bergeser” akan terjadi “pergesekan” antara permukaan otak dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat dipermukaan otak dengan tonjolan-tonjolan yang terdapat di permukaan dalam tengkorak laserasi jaringan otak sehingga mengubah integritas vaskuler otak. b. Trauma Tajam Disebabkan oleh pisau atau peluru, atau fragmen tulang pada fruktur tulang tengkorak. Kerusakan tergantung pada kecepatan gerak (velocity) benda tajam tersebut menancap ke kepala atau otak. Kerusakan terjadi hanya pada area dimana benda tersebut merobek otak (lokal). Obyek dengan velocity tinggi (peluru) menyebabkan kerusakan struktur otak yang luas. Adanya luka terbuka menyebabkan risiko infeksi. c. Coup dan Countracoup Pada cedera coup kerusakan terjadi segera pada daerah benturan sedangkan pada cedera contracoup kerusakan terjadi pada sisi yang berlawanan dengan cedera coup.
2. Scalp wounds (trauma kulit kepala)
Kulit kepala harus diperiksa adakah bukti luka atau perdaragan akibat fraktur tengkorak. Adanya objek yang berpenetrasi atau benda asing harus diangkat atau ditutupi dengan kain steril, perawatan untuk tidak menekan area luka. Laserasi pada kulit cenderung menyebabkan perdarahan hebat dan harus ditangani dengan pengaplikasian penekanan l angsung. Kegagalan mengontrol perdarahan dapat menyebabkan terjadinya syok. Semenjak beberapa laserasi tidak dapat dideteksi dengan mudah, periksa kulit kepala dengan menggunakan sarung tangan, sisihkan rambut untuk memfasilitasi inspeksi. Palpasi tengkorak dan catat adanya fragmen tulang. Jangan memberikan tekanan pada tulang tengkorak atau jaringan otak yang
8
tidak stabil jika fraktur ditemukan, sejak jaringan otak dan area sekitarnya dikelilingi oleh pembuluh-pembuluh darah dapat menyebabkan cedera lebih lanjut. Rambut disekitar laserasi kulit kepala harus dicukur dan luka dibersihkan, didebridemen, dan diinspeksi keseluruhan areanya sebelum ditutup.
3. Fraktur Tengkorak
Fraktur kalvaria (atap tengkorak) apabila tidak terbuka (tidak ada hubungan otak dengan dunia luar) tidak memerlukan perhatian segera. Patah tulang kalvaria dapat berbentuk garis (linear) yang bisa non impresi (tidak menekan ke dalam) atau impresi (menekan ke dalam). Bila patah terbuka (ada hubungan dengan dunia luar) perlu dioperasi segera. 4. Fraktur Basis Kranii
Fraktur basis kranii cukup serius, karena hal ini dapat menimbulkan kontak antara cairan serebrospinal (CSS) dalam ruang subarakhnoid dan sinus yang mengandung udara dari wajah. Hubungan ini memungkinkan CSS mengalir keluar melalui sinus tersebut ke hidung atau telinga dan juga memberikan kesempatan bakteri masuk dan mengisi drainase sinus 9
tersebut untuk mengkontaminasi cairan spinal. Oleh karena itu bila terjadi fraktur basis kranii mungkin keluar dari hidung atau telinga. Dalam keadaan ini harus berhati-hati memasang Naso Gastric Tube, karena dapat masuk ke rongga tengkorak dan juga harus hatihati dalam melakukan suction karena dapat menghisap CSS dan isi otak. Yang juga harus diwaspadai pada fraktur basis kranii adalah perdarahan yang hebat. Bila penderita tidak sadar, maka perdarahan mungkin menganggu jalan nafas. Yang terpenting adalah keadaaan intrakranialnya. Fraktur Basis Cranii dapat berbahaya terutama karena perdarahan yang ditimbulkan sehingga menimbulkan ancaman terhadap jalan nafas. Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang disertai adanya kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya. a. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum:
Keluar darah dari telinga dan likuorrhoe
Parase N. VII dan VIII sering dijumpai
b. Fraktur basis kranii posterior
Unilateral/bilateral orbital hematom (Brills hematom)
Gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum
Perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti: Anosmia, anostia akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna
Tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)
Diagnosa bantu : 50% fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis. 5. Pendarahan intracranial
Perdarahan intracranial adalah Perdarahan yang tiba-tiba dalam jaringan otak merupakan bentuk yang menghancurkan pada stroke hemoragik dan dapat terjadi pada semua umur dan juga akibat trauma kepala seperti kapitis,tumor otak dan lain-lain. Klasifikasi perdarahan intracranial akibat trauma kapitis dan manifestasi klinis :
10
a. Perdarahan epidural
Perdarahan epidural akibat trauma krapitis tengkorak bias retak. Fraktur yang paling ringan ialahfraktur linear. Jika gaya destruktifnya lebih kuat, bisa timbul fraktur yang berupa bintang(stelatum), atau fraktur impresi yang dengan kepingan tulangnya menusuk ke dalam ataupun fraktur yang merobek dura dan sekaligus melukai jaringan otak (laserasio).Pada perdarahan epidural akibat pecahnya arteri dengan atau tanpa fraktur linear ataupun stelata, manifestasi neurologic akan terjadi beberapa jam setelah trauma kapitis. Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran yang menurun secara progresif. Pupil padasisi perdarahan pertama-tama sempit, tetapi kemudian menjadi lebar dan tidak bereaksiterhadap penyinaran cahaya. Inilah tanda bahwa herniasi tentorial sudah menjadikenyataan. Gejalagejala respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan tahap-tahap disfungsi rostrokaudal batang otak. Pada tahap kesadaran sebelun stupor ataukoma, bisa dijumpai hemiparesis atau seranagan epilepsi fokal. Hanya dekompresi bisa menyelamatkan keadaan. b. Perdarahan subdural.
11
Hemoragi subdural mungkin sekali selalu disebabkan oleh trauma kapitis walaupun mungkin traumanya tak berarti (trauma pada orang tua) sehingga tidak terungkap oleh anamnesis. Yang sering berdarah ialah ³bridging veins´, karena tarikan ketika terjadi pergeseran rotatorik pada otak. Perdarahan subdural paling sering terjadi pada permukaan lateral dan atas hemisferium dan sebagian di daerah temporal sesuaidengan bridging veins. Karena perdarahan subdural sering oleh perdarahan vena, maka darah yang terkumpul berjumlah hanya 100 sampai 200 cc saja. Keluhan bisa timbul langsung setelah hematom subdural terjadi atau jauh setelah mengidap trauma kapitis. Masa tanpa keluhan itu dinamakan ³latent interval´ dan bias berlangsung berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan adakalanya bias lebih dari duatahun. Namun demikian latent interval itu bukannya berarti bahwa si penderita samasekali bebas dari keluhan. Sebenarnya dalam latent interval kebanyakan penderitahematoma subdural mengeluh tentang sakit kepala atau pening. Tetapi apabila disampingitu timbul gejala-gejala yang mencerminkan adanya proses desak ruang intracranial, baru pada saat itulah terhitung mula tibanya manifestasi hematom subdural. Gejala-gejala tersebut bisa berupa kesadaran yang menurun, ´organic brain syndrome´, hemiparesisringan, hemihipestesia, adakalanya epilepsy fokal dengan adanya tanda-tanda papiledema. 6. Perdarahan intraserebral.
Perdarahan intraserebral akibat trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja. Perdarahan semacam itu sering terdapat di lobus frontalis dantemporalis. Yang tersebut belakangan berkorelasi dengan dampak pada oksiput dan yang pertama berasosiasi dengan tamparan dari samping. Kebanyakan perdarahan dari intralobus temporalis justru ditemmukan pada sisi dampak.Jika penderita dengan perdarahan intra serebral luput dari kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologic sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
12
7. Cedera Penetrasi
Menembus trauma pada kepala termasuk luka tembak yang mensuk, luka rudal, dan luka impalement karena kecepatannya yang tinggi, peluru memiliki efek menghancurkan pada area yang luas dari jaringan otak rapuh. Tingkat trauma bergantung pada lokasi luka dan ukuran dan kecepatan yang tembus. Prosedur Diagnostik : -
Observasi langsung
-
CT Scan
-
Radioterapi tengkorak
8. Menurut Berat-ringannya Trauma
1. Cedera kepala ringan
Nilai GCS 13-15
Amnesia kurang dari 30 menit
Trauma sekunder dan trauma neurologis tidak ada
Kepala pusing beberapa jam sampai beberapa hari
2. Cedera kepala sedang
Nilai GCS 9-12
Penurunan kesadaran 30 menit-24 jam
Terdapat trauma sekunder
Gangguan neurologis sedang
3. Cedera kepala berat
Nilai GCS 3-8
Kehilangan kesadaran lebih dari 24 jam sampai berhari-hari.
Terdapat cedera sekunder, kontusio, fraktur tengkorak, perdarahan dan hematoma intracranial.
13
F. Komplikasi Cedera Kepala
Komplikasi yang sering dijumpai dan berbahaya menurut
Markam (1999) pada cedera
kepala meliputi: a. Koma Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut koma. Pada situasi ini secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainnya memasuki vegetatife state. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya.Penderita pada vegetatife state lebih dari satu tahun jarang sembuh. b. Kejang/Seizure Penderita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurang-kurangnya sekali kejang pada masa minggu pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy c. Infeksi Fraktur tulang tengkorak atau luka terbuka dapat merobekkan membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk infeksi meningen ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke system saraf yang lain. d. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala mengalami masalah kesadaran. e. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada khasus cedera kepala resiko perkembangan terjadinya penyakit. Alzheimer tinggi dan sedikit terjadi Parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan cedera.
14
G. Pemeriksaan Diagnostik Cedera kepala
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan: Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri. 2. MRI Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif. 3. Cerebral Angiography Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti: perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma. 4. Serial EEG Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis 5. X-Ray Mendeteksi
perubahan
struktur
tulang
(fraktur),
perubahan
struktur
garis
(perdarahan/edema), fragmen tulang. 6. BAER Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil 7. PET Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak 8. CSF, Lumbal Punksi Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. 9. ABGs Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial. 10. Kadar Elektrolit: Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial. 11. Screen Toxicologi Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.
15
H. Asuhan Keperawatan Cedera Kepala 1. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada ganguuan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik, dan pengkajian psikososial. 1. PENGKAJIAN AWAL Airway
: Klien terpasang ETT ukuran 7,5 dengan pemberian oksigen 15 liter permenit.
FIO2 = 81 %, terdapat sumbatan atau penumpukan sekret, adanya suara nafars tambahan yaitu ronchi +/+. Breathing : Frekuensi nafas 20x/menit, irama nafas abnormal, nafas tidak spontan. Circulation :Perubahan frekuensi jantung (bradikardi), keluar darah dari hidung dan telinga,
perubahan tekanan darah 2. ANAMNESIS
Identitas klien meliputi nama, umur ( kebanyakan terjadi pada usia muda ), jenis kelamin ( banyak laki-laki, karena ngebut-ngebutan dengan motor tanpa pengaman helm ), pedidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk rumah sakit, nomor register, diagnosa medis. Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat kesadaran.
3. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian,dan trauma langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi tingkat kesadaran menurun ( GCS <15 ), konvulsi, muntah, takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah, luka dikepala, paralisis, akumulasi sekret pada saluran pernafasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta kejang. Adanya penurunan tingkat kesadaran dihubungkan dengan perubahan didalam intrakranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsif, dan 16
koma. Perlu ditanyakan pada klien atau keluarga yang mengantar klien ( bila klien tidak sadar ) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan penggunaan alkohol yang sering terjadi pada beberapa klien yang suka ngebut-ngebutan.
4. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya,
diabetes
melitus,
penyakit
jantung
,anemia,
penggunaan
obat-obatan
antikoagulan, konsumsi alkohol berlebih.
5. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Mengkaji adanya anggota terdahulu yang menderita hipertensi dan diabetes melitus.
6. PENGKAJIAN PSIKO,SOSIO,SPIRITUAL
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketautan akan kesadaran, rasa cemas. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, dan tidak kooperatif. Karena klein harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi kilen, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Cedera otak memerlukan dana pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klein dan keluarga.
7. PENGKAJIAN FISIK
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat bergguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem ( B1-B6 ).
17
-
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera otak umumnya mengalami penurunan kesadran ( cedera otak ringan GCS 13-15, cedera otak sedang GCS 9-12, cedera otak berat GCS <8 ) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda vital. -
B1 ( Breathing )
Sistem pernafasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral akibat trauma kepala. Akan didapatkan hasil:
Inspeksi
: Didapatkan klien batuk. Peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan.
Palpasi
: Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila melibatkan trauma pada rongga thoraks.
Perkusi
: Adanya suara redup sampai pekak pada keadaan melibatkan trauma
pada thoraks.
Auskultasi : Bunyi nafas tambahan seperti nafas berbunyi, ronkhi pada klein dengan pengingkatan produksi sekret dan kemampuan batuak yang menuurn sering didapatkan pada klien cedera kepala dengan penurunan tingkat kesadaran koma.
Klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat diruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil pada klien dengan cedera otak berat dan sudah terjadi disfungsi pernafasan. -
B2 ( Blood )
Pada sisitem kardiovaskuler didapatkan syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien cedera otak sedang sampa cedera otak berat. Dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, bradikardi, takikardi, dan aritmia. -
B3 ( Brain )
Cedera otak menyebabakan berbagai defisit neurologi terutama disebabkan pengaruh peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya perdarahan baik bersifat intraserebral hematoma, subdural hematoma, dan epidural hematoma. Pengkajian tingkat kesadaran dengan menggunakan GCS. -
B4 ( Bladder )
Kaji keadaan urin meliputi waran, jumlah, dan karakteristik. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi urine dapat terjadi akibat menurunnya perfusi ginjal. Setelah cedera 18
kepala, klien mungkin mengalami inkontinensia urinw karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kerusakan kontrol motorik dan postural. -
B5 ( Bowel )
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual, muntah pada fase akut. Mual sampai muntah dihubungkan dengan adanya peningkatan produksi asam lambung. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. -
B6 ( Bone )
Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan pada seluruh ekstremitas. Kaji warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. ( Arif M uttaqin, 2008 )
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.
Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah, edema serebral.
2.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler ( cedera pada pusat pernafasan otak).
3.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
4.
Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.
5.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi atau kognitif.(
Doengose, 2000 )
3. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN Diagnosa 1
: Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah,
edema serebral. Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, GCS, tingkat kesadaran, kognitif,
dan fungsi motorik klien membaik. Kriteria Hasil :
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK 19
Tingkat kesadaran membaik. GCS klien meningkat. Intervensi
:
1. Tentukan faktor-faktor yang menyebabkan penurunan perfusi jaringan otak dan peningkatan TIK. R/ : Penurunan tanda atau gejala neurologis atau kegagalan dalam pemulihannya setelah serangan awal, menunjukkan perlunya klien dirawat diperawatan intensif. 2. Pantau atau catat status neurologis secara teratus dan bandingkan dengan nilai GCS R/ : Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan TIK dan bermanfaatdalam menentukan lokasi, perluasan dan perkembangan kerusakan saraf pusat. 3. Turunkan stimulasi eksternal dan berikan kenyamanan, seperti lingkungan yang tenang. R/ : Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk mempertahankan atau menurunkan TIK. Diagnosa 2
: Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler.
Tujuan
: Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien mampu mempertahankan
pola pernafasan efektif melalui pemasangan ETT. Kriteria Hasil :
Pola nafas kembali efektif Nafas spontan. Intervensi
1.
:
Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan pernafasan. R/ : Perubahan daoat menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi / luasnya keterlibatan oyak. Pernafasan lambat, periode apnea dapat menandakan perlunya ventilasi mekanik.
2.
Diposisikan head up (300).
20
R/ : Untuk menurunkan tekanan vena jugularis 3.
Berikan oksigen. R/ : Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat pernafasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi mekanik.
Diagnosa 3
: Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan d engan prosedur invasif.
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan, klien bebas dari tanda-tanda infeksi. Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi yaitu kalor (panas), rubor (kemerahan), dolor (nyeri tekan), tumor (membengkak), dan fungsi ulesa. Intervensi
1.
:
Berikan perawatan aseptik,pertahankan teknik cuci tangan yang baik. R/ : Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
2.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan. R/ : Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan peegahan teradap komplikasi selanjutnya.
3.
Pantau suhu tubuh secara teratur. R/ : Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan segera.
4. IMPLEMENTASI
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. 5. EVALUASI
Evaluasi adalah tahap penilaian dari tindakan yang telah direncanakan. Untuk malsalah kegawatdaruratan hipoglikemi ini adalah kesadaran klien dapat kembali seperti semula, cairan dalam tubuh terpenuhi dan tanda-tanda vital klien normal.
21
I. Pengertian Cedera Tulang Belakang
Tulang Belakang (vertebrae) adalah tulang yang memanjang dari leher sampai ke selangkangan. Tulang vertebrae terdri dari 33 tulang: 7 buah tulang servikal, 12 buah tulang torakal, 5 buah tulang lumbal, 5 buah tulang sacral. Diskus intervertebrale merupakan penghubung antara dua korpus vertebrae. Sistem otot ligamentum membentuk jajaran barisan (aligment) tulang belakang dan memungkinkan mobilitas vertebrae. Di dalam susunan tulang tersebut terangkai pula rangkaian syaraf-syaraf, yang bila terjadi cedera di tulang belakang maka akan mempengaruhi syaraf-syaraf tersebut (Mansjoer, Arif, et al. 2000). Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997).
J. Etiologi Cedera Tulang Belakang
1. Kecelakaan lalu lintas 2. Kompresi atau tekanan pada tulang belakang akibat jatuh dari ketinggian 3. Kecelakaan sebab olah raga (penunggang kuda, pemain sepak bola, penyelam, dll) 4. Luka jejas, tajam, tembak pada daerah vertebra 5. Gangguan spinal bawaan atau cacat sejak kecil atau kondisi patologis yang menimbulkan penyakit tulang atau melemahnya tulang. (Harsono, 2000).
K. Patofisiologi Cedera Tulang Belakang
Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma (kecelakaan mobil, jatuh dari ketinggian, cedera olahraga, dll) atau penyakit (Transverse Myelitis, Polio, Spina Bifida, Friedreich dari ataxia, dll) dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak. 22
Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan cepat kemudian berhenti secara mendadak, atau pada waktu terjun dari jarak tinggi, menyelam yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis. Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran
tersbut
disebut
hematorasis
atau
neuralgia
radikularis
traumatik
yang
reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik 23
dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaan astomosis anterial anterior spinal.
24
L. Manifestasi Klinis Cedera Tulang Belakang
Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih
dan
gangguan
defekasi
(Price
&Wilson
(1995).
Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu (Price &Wilson (1995). Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu (Aston. J.N, 1998). Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa (Aston. J.N, 1998). Tanda dan gejala trauma spinal 1. Nyeri leher atau punggung 2. Nyeri gerak leher dan punggung 3. Nyeri tekan leher posterior atau middle punggung 4. Deformitas kolumna spinalis (pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medulla spinalis 25
5. Guarding pada leher dan punggung 6. Paralisis, paresis, baal atau kesemutan pada ekstremitas pada pasca keja dian 7. Tanda dan gejala syok neurologic 8. Priapismus (1jam pada awal kejadian) 9. Inkontinensia feses dan urine (buku Btcls)
M. Pemeriksaan Penunjang Cedera Tulang Belakang
Sinar x spinal
: menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
CT scan
: untuk menentukan tempat luka/jejas
MRI
: untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
Foto rongent thorak
: mengetahui keadaan paru
AGD
: menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
(Tucker,Susan Martin . 1998)
N. Penatalaksanaan Cedera Tulang Belakang
1. Lakukan imobilisasi secara manual 2. Evaluasi airway, breathing, circulation terlebih dahulu 3. Periksa fungsi motorik, sensorik, dan sirkulasi keempat ektremitas 4. Periksa leher dan pakaikan cervical collar 5. Imobilisasi seluruh tubuh menggunakan long spinal board 6. Reevaluasi ABC dan fungsi motorik, sensorik, dan sirkulasi keempat ektremitas (buku Btcls)
O. Komplikasi Cedera Tulang Belakang
1. Syok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma. 2. Mal union, gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).
26
3. Non union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai. 4. Delayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur. 5. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID). Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur. 6. Emboli lemak Saat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memasok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain. 7. Sindrom Kompartemen masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera. (Mansjoer, Arif, et al. 2000).
P. Cedera Tulang Belakang yang Spesifik 1. dislokasi dan patah tulang belakang serviks
Dislokasi tulang belakang serviks terjadi ketika satu tulang belakang tergusur, utama, vertebra lain. Ini adalah cedera yang tidak stabil dan mungkin terjadi bersamaan dengan fraktur serviks. trauma yang menyebabkan dislokasi serviks atau fraktur juga dapat merusak sumsum tulang belakang, yang mengakibatkan defisit neurologis ireversibel yang menghancurkan. tanda dan gejala
a. Berbeda dengan tingkat SCI b. nyeri tekan serviks dan kejang otot c. Ekimosis dan pembengkakan leher d. Kelemahan dan mati rasa ekstremitas e. Sensitivitas berkurang (atau tidak ada) dalam ekstremitas.
27
intervensi terapeutik
a. atur pasien seolah-olah luka pada sumsum tulang belakang ada b. mempersiapkan dan membantu penerapan traksi rangka atau rompi halo atau dengan fiksasi internal.
2. Lesi spinal cord tidak lengkap
Pasien dengan lesi spinal cord yang tidak lengkap mempertahankan beberapa derajat motor atau sensorik di bawah tingkat cedera. Namun, SCI adalah proses dinamis, tingkat cedera sepenuhnya mungkin tidak terlihat pada jam awal setelah peristiwa traumatis. Untuk alasan ini, pemeriksaan neurologis berulang sering harus dilakukan untuk mendeteksi perkembangan deficit.
prosedur diagnostik
a. diagnosis didasarkan terutama pada presentasi klinis dan pemeriksaan neurologis b. Radiografi tulang belakang harus diperoleh untuk menentukan fraktur atau kerusakan pada vertebra c. Radiograf polos normal dan CT scan tidak mengesampingkan kerusakan tulang belakang d. CT atau MRI mungkin diperlukan untuk lebih menggambarkan kerusakan tulang atau kabel.
28
intervensi terapeutik
a. tujuan
pengobatan
dini
terkait
dengan
pencegahan
cedera
sekunder
dan
perkembangan lesi yang tidak lengkap ke lesi yang lengkap b. pemeliharaan jalan nafas dan perfusi jaringan yang adekuat merupakan prioritas tertinggi c. Dengan adanya hipotensi, pertama pertimbangkan pendarahan okultisme sebagai penyebabnya d. mencegah hipotermia.
3. lesi spinal cord lengkap
lesi sumsum tulang belakang yang lengkap dapat terjadi pada tingkat manapun. pasien kehilangan semua motor dan fungsi sensorik di bawah tingkat cedera tidak ada kesempatan untuk memulihkan funtion jika belum kembali dalam waktu 24 jam setelah cedera. Tanda dan gejala
a. Hilangnya fungsi motorik di bawah tingkat cedera dengan kelumpuhan lembek pada semua otot sukarela b. Hilangnya fungsi sensorik di bawah tingkat cedera, termasuk kehilangan rasa sakit, sentuhan, suhu, tekanan, getaran, dan proprioception. c. Hilangnya refleks di bawah pelajaran d. syok neurogenik yang mungkin terjadi e. Kehilangan fitting usus dan kandung kemih f.
fungsi kandung kemih ileus paralitik
g. priapisme prosedur diagnostik
a. diagnosis didasarkan terutama pada presentasi klinis dan pemeriksaan neurologis b. Radiografi tulang belakang harus diperoleh untuk menentukan fraktur atau kerusakan pada vertebra c. Radiograf polos normal dan CT scan tidak mengesampingkan kerusakan tulang belakang 29
d. CT untuk memvisualisasikan anatomi tulang, termasuk fraktur e. MRI mat menunjukkan kompresi sumsum tulang belakang.
4. disleksia otonom
Juga dikenal sebagai hyperreflexia, disleksia otonom adalah kondisi yang berpotensi mengancam jiwa yang dapat terjadi pada pasien dengan cedera tulang belakang yang dapat berada di atas tingkat T6. Masukan sensorik yang kuat, seringkali ketidaknyamanan rasa sakit di bawah tingkat cedera, menyebabkan respons simpatik refleks yang besar. Hasil aliran simpatik yang tidak terkontrol ini menghasilkan vasokonstriksi dan tekanan darah yang meningkat drastis. Penyebab umum disrefleksia autonim pada pasien darurat meliputi :
a. sakit b. distensi kandung kemih (retensi urin dan kateter urin yang tersumbat) c. prosedur diagnostik invasif d. kontak dengan benda keras atau tajam e. patah tulang atau trama lainnya f.
sembelit, distensi usus atau iritasi
g. Penyebab yang kurang umum 1) Sebuah. bisul dekubitus 2) pakaian ketat atau ketat atau dressing 3) kuku kaki yang tumbuh ke dalam 4) kram menstruasi 5) persalinan 30
Tanda dan gejala
a. Tekanan darah mendadak meningkat, mungkin setinggi 200/100 mmHg b. Menumbuknya sakit kepala akibat vasodilatasi pembuluh intrakranial c. piloerection d. berkeringat dan disiram di atas tingkat cedera e. Kulit dingin dan berkeringat di bawah tingkat cedera f. bradikardi (usaha refleksif untuk menurunkan tekanan darah) g. hidung tersumbat h. Rasa cemas i. penglihatan kabur atau bercak di bidang visual. intervensi terapeutik
a. Pengobatan harus dimulai dengan cepat untuk mencegah komplikasi b. Tempatkan pasien dalam posisi tegak c. Identifikasi rangsangan yang menyinggung dan hentikan atau hapus secepat mungkin 1) Sebuah. id kateter urin ada di tempat, periksa pipa berdenting, drainase yang diblokir, atau lokasi kantong drainase di atas tingkat kandung kemih. 2) Jika tubing tidak kinked atau kateter urin tidak terpasang, masukkan atau ganti kateter 3) Jika prosedur sedang dilakukan, hentikan prosedur sampai gejala mereda. d. Obat-obatan diindikasikan jika pemicu atau rangsangan yang menyinggung tidak dapat diidentifikasi atau dihapus atau jika episode berlanjut setelah pengangkatan rangsangan. e. Pantau tekanan darah dan denyut jantung sesering setiap 5 menit f.
Obat tambahan mungkin diperlukan untuk mencegah episode berulang.
Q. Trauma Pada Leher
leher terlindungi dari cedera sampai tingkat tertentu oleh tulang belakang posterior, kepala lebih superior, dan dada inferior. Ini meninggalkan aspek anterior dan lateral yang paling rentan terhadap trauma tumpul dan tembus pandang. 31
trauma leher menyumbang 5% sampai 10% dari semua trauma serius, dan 3500 orang meninggal setiap tahun akibat trauma leher. Tingkat kematian adalah 2% sampai 6% dan paling umum terjadi pada pria, remaja, dan orang dewasa muda. Etiologi trauma leher bervariasi dan meliputi: 1. kecelakaan kendaraan bermotor 2. Peledakan terkait olahraga seperti dari tali jemuran 3. pukulan dari kaki atau tangan 4. Mencekik dari genggaman manual yang digantung 5. menembus trauma leher berisi konsentrasi besar struktur penting relatif terhadap ukurannya yang kecil. Karena kompromi jalan napas selalu menjadi perhatian trauma leher, luka-luka ini dianggap berpotensi mengancam nyawa. leher dapat dibagi menjadi tiga zona anatomi yang dapat digunakan untuk mengantisipasi struktur mana yang cenderung terluka. 1. menembus leher luka
Cedera tembus biasanya akibat luka tembak, tusukan, tusukan, atau penyimpangan. kedalaman luka, jumlah gaya yang digunakan, jenis instrumen penetrasi, dan lokasi dan sudut penetrasi akan menentukan tingkat cedera. Cedera leher yang tembus terjadi pada 5% sampai 10% kasus trauma dan sebanyak 30% pasien mengalami cedera bersamaan di luar zona leher. Tanda dan gejala
a.Tanda dan gejala spesifik akan tergantung pada struktur mana yang telah terluka b.disfagia dan suara serak (tersangka luka endotrakeal atau esofagus) c. perdarahan oronasopharyngeal d.defisit neurologis jika ada cedera pembuluh darah vaskular atau tulang belakang e.distres pernapasan f. emfisema subkutan g.Mengembangkan hematoma di leher
32
prosedur diagnostik
a.radiograf leher anterior posterior dan lateral untuk mengidentifikasi cedera tulang dan kehadiran benda asing b.CT atau heliks CT leher untuk menentukan anatomi luka c.esofagografi jika terjadi cedera esofagus d.laringoskopi untuk visualisasi langsung luka e.angiografi serebral untuk mengidentifikasi kerusakan vasculer f. baseline hematokrit, jenis, dan crossmatch disamping pemeriksaan laboratorium trauma rutin intervensi terapeutik
a. Mendapatkan dan mempertahankan jalan nafas paten sangat penting pada pasien dengan leher membatasi jumlah perdarahan eksternal namun hematoma yang meluas dapat menghalangi trakea yang kompresibel. b. Cedera tulang belakang serviks bersamaan jarang terjadi pada cedera leher tembus. Jika kerah leher rahim dianggap perlu, catat di bawah kerah untuk luka yang berpotensi mengancam nyawa. c. Resusitasi cairan dan penanganan hipotensi mengikuti panduan umum untuk merawat pasien trauma. d. sering menilai status neurologis untuk mendeteksi defisit karena cedera vask ular e. siapkan pasien untuk kemungkinan penjelajahan bedah luka tembus f. berikan imunisasi tetanus berdasarkan status imunisasi pasien. 2. laring yang retak
Penyebab paling umum dari laring yang retak adalah trauma tumpul, sering terjadi saat laring menyerang kemudi dalam kecelakaan kendaraan bermotor. Penyebab lainnya termasuk pukulan langsung ke leher saat berolahraga atau pertengkaran, penggumpalan manual, gantung, atau cedera jemuran. Laring yang retak adalah luka langka, terjadi kurang dari 1% trauma tumpul. Insidennya terus menurun karena penggunaan sabuk pengaman dan pengekangan. tanda dan gejala
a. Perubahan kualitas suara (suara serak, disfonia atau aphonia) 33
b. nyeri atau nyeri tekan di leher anterior c. Ekchymosis leher anterior d. hemoptisis e. disfagia f. stridor g. meneteskan air liur h. emfisema subkutan atau krepitus i. dyspnea prosedur diagnostik
a. Riwayat dan presentasi klinis penting dalam melakukan diagnosa b. Radiografi tulang belakang dada dan leher rahim untuk menyingkirkan luka lain yang menyengat c. CT scan d. endoskopi atau esofagoskopi e. laringoskopi langsung intervensi terapeutik
a.Mendapatkan dan memberi tahu jalan napas paten adalah prioritas tertinggi b.mengantisipasi trakeostomi dini atau kemungkinan krikotirotomi c.admininister udara yang dilembabkan, oksigen tambahan bisa diberikan jika pasien hipoksia d.angkat kepala tempat tidur sampai 30 sampai 45 derajat e. batasi pasien tanpa mulut f. menginstruksikan pasien untuk "menyuarakan istirahat" g.Penggunaan kortikosteroid sytemic (untuk mengurangi peradangan) kontroversial h.Berikan obat antireflux i. Intervensi bedah mungkin diperlukan.
34
R. Asuhan Keperawatan pada Cedera Tulang Belakang 1. PENGKAJIAN
·
PENGKAJIAN PRIMER
Data Subyektif 1. Riwayat Penyakit Sekarang a. Mekanisme Cedera b. Kemampuan Neurologi c. Status Neurologi d. Kestabilan Bergerak 2.
Riwayat Kesehatan Masa Lalu a. Keadaan Jantung dan pernapasan b. Penyakit Kronis Data Obyektif 1. Airway adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera spinal sehingga mengganggu jalan napas 2. Breathing Pernapasan dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada 3. Circulation Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg), Bradikardi, Kulit teraba hangat dan kering, Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang mana suhu tubuh bergantung pada suhu lingkungan) 4. Disability Kaji Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak, kehilangan sensasi, kelemahan otot 5. Exposure Adanya deformitas tulang belakang 6. Five Intervensi a. Hasil AGD menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi b. CT Scan untuk menentukan tempat luka atau jejas c. MRI untuk mengidentifikasi kerusakan saraf spinal 35
d. Foto Rongen Thorak untuk mengetahui keadaan paru e. Sinar – X Spinal untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (Fraktur/Dislokasi) 7. Give Comfort Kaji adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak 8. Head to Toe a. Leher : Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera b. Dada : Pernapasa dangkal, penggunaan otot-otot pernapasan, pergerakan dinding dada, bradikardi, adanya desakan otot diafragma dan interkosta akibat cedera. c. Pelvis dan Perineum : Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses, terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism) d. Ekstrimitas
:
terjadi
paralisis,
paraparesis,
paraplegia
atau
quadriparesis/quadriplegia 9. Inspeksi Back / Posterior Surface Kaji adanya spasme otot, kekakuan, dan deformitas pada tulang belakang
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas 2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal 3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis 4. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular ditandai dengan paralisis dan paraplegia pada ekstremitas. 5. Kerusakan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motorik ditandai dengan kehilangan kontrol dalam eliminasi urine. 6. Risiko decera berhubungan dengan penurunan kesaradaran.
36
3. RENCANA TINDAKAN
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi ditandai dengan dispnea,terdapat otot bantu napas Tujuan keperawatan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama 2x15 menit, diharapkan pola napas pasien efektif dengan kriteria hasil: a. Pasien melaporkan sesak napas berkurang b. Pernapasan teratur c. Takipnea tidak ada d. Pengembangan dada simetris antara kanan dan kiri e. Tanda vital dalam batas normal (nadi 60-100x/menit, RR 16-20 x/menit, tekanan darah 110-140/60-90 mmHg, suhu 36,5-37,5 oC) f. Tidak ada penggunaan otot bantu napas Intervensi Mandiri : 1. Pantau ketat tanda-tanda vital dan pertahankan ABC R/ : Perubahan pola nafas dapat mempengaruhi tanda-tanda vital 2. Monitor usaha pernapasan pengembangan dada, keteraturan pernapasan nafas bibir dan penggunaan otot bantu pernapasan. R/ : Pengembangan dada dan penggunaan otot bantu pernapasan mengindikasikan gangguan pola nafas 3. Berikan posisi semifowler jika tidak ada kontra indiksi R/ : Mempermudah ekspansi paru 4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang servikal Kolaborasi : 1. Berikan oksigen sesuai indikasi R/ : Oksigen yang adekuat dapat menghindari resiko kerusakan jaringan 2. Berikan obat sesuai indikasi R/ : Medikasi yang tepat dapat mempengaruhi ventilasi pernapasan
37
2. Perfusi jaringan perifer tidak efektif berhubungan dengan penyumbatan aliran darah ditandai dengan bradikardi, nadi teraba lemah, terdapat sianosis, akral teraba dingin, CRT > 2 detik, turgor tidak elastis, kelemahan, AGD abnormal Tujuan Keperawatan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x5 menit diharapkan perfusi jaringan adekuat dengan kriteria h asil : a. Nadi teraba kuat b. Tingkat kesadaran composmentis c. Sianosis atau pucat tidak ada d. Nadi Teraba lemah, terdapat sianosis, e. Akral teraba hangat f.
CRT < 2 detik
g. GCS 13-15 h. AGD normal Intervensi : 1. Atur posisi kepala dan leher untuk mendukung airway (jaw thrust). Jangan memutar atau menarik leher ke belakang (hiperekstensi), mempertimbangkan pemasangan intubasi nasofaring. R/ : Untuk mempertahankan ABC dan mencegah terjadi obstruksi jalan napas 2. Atur suhu ruangan R/ : Untuk menurunkan keparahan dari poikilothermy. 3. Tinggikan ekstremitas bawah R/ : Meningkatkan aliran balik vena ke jantung. 4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang servikal 5. Sediakan oksigen dengan nasal canul untuk mengatasi hipoksia R/: Mencukupi kebutuhan oksigen tubuh dan oksigen juga dapat menurunkan terjadinya sickling. 6. Ukur tanda-tanda vital R/: Perubahan tanda-tanda vital seperti bradikardi akibat dari kompensasi jantung terhadap penurunan fungsi hemoglobin 38
7. Pantau adanya ketidakadekuatan perfusi : Peningkatan rasa nyeri Kapilari refill . 2 detik Kulit : dingin dan pucat Penurunanan output urine R/: Menunjukkan adanya ketidakadekuatan perfusi jaringan 8. Pantau GCS R/: Penurunan perfusi terutama di otak dapat mengakibatkan penurunan tingkat kesadaran 9. Awasi pemeriksaan AGD R/: Penurunan perfusi jaringan dapat menimbulkan infark terhadap organ jaringan 3. Nyeri akut berhubungan dengan gangguan neurologis Tujuan keperawatan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 15 menit diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil : a.
Tanda-tanda vital dalam batas normal (Nadi 60-100 x/menit),(Suhu 36,5-37,5),( Tekanan Darah 110-140/60-90 mmHg),(RR 16-20 x/menit)
b.
Penurunan skala nyeri( skala 0-10)
c.
Wajah pasien tampak tidak meringis
Intervensi: 1. Kaji PQRST pasien : R/: pengkajian yang tepat dapat membantu dalam memberikan intervensi yang tepat. 2. Pantau tanda-tanda vital R/: nyeri bersifat proinflamasi sehingga dapat mempengaruhi tanda-tanda vital. 3. Berikan analgesic untuk menurunkan nyeri R/ : Analgetik dapat mengurangi nyeri yang berat (memberikan kenyamanan pada pasien) 4. Gunakan servikal collar, imobilisasi lateral kepala, meletakkan papan di bawah tulang belakang. R/ : Stabilisasi tulang belakang untuk mengurangi nyeri yang timbul jika tulang belakang digerakkan. 39
S. Konsep Evakuasi Dan Transport Klien Gawat Darurat
Istilah evakuasi dapat diartikan luas atau sempit, istilah evakuasi korban diartikan sebagai upaya memindahkan korban ke pusat pelayanan kesehatan atau tempat rujukan lainnya agar korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih lanjut. Evakuasi korban merupakan kegiatan memindahkan korban dari lokasi kejadian menuju ke tempat aman, sehingga akhirnya korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih lanjut. Upaya ini dalam situasi dan keadaan tertentu sangat penting, misalnya saat evakuasi korban gawat darurat, ketika korban harus mendapatkan perawatan dan pengobatan dirumah sakit sehingga evakuasi korban harus dilakukan nsecara cepat dan dan waspada serta diusahakan tidak memperburuk keadaaan korban atau menambah cidera baru. 1. Syarat korban untuk dapat dievakuasi a. Penilaian awal sudah dilakukan lengkap, dan keaadan umum korban dipantau terus. b. Denyut nadi dan napas korban stabil dan dalam batas normal. c. Perdarahan yang ada sudah diatasi dan dikendalikan. d. Patah tulang yang ada sudah ditangani e. Mutlak tidak ada cidera. f. Rute yang dilalui memungkinkan dan tidak membahayakan penolong dan korban.
2. Hal-hal yang harus diperhatikan dan erat hubungannya dengan proses ekstriksi dan transportasi a. Setelah menemukan korban dan melakukan pertolongan pertama, langkah selanjutnya adalah membawa korban ke fasilitas kesehatan. b. Nyeri pinggang (low back pain) merupakan hal yang paling sering dikeluhkan oleh tenaga medis dilapangan: perhatikan cara mengangkat.
3. Prinsip Mengangkat: a. Jangan menambah cidera kepada korban. b. Hindari pemindahan korban jika tidak stabil. c. Jangan membahayakan diri penolong. d. Jelaskan apa yang akan anda lakukan kepada korban. e. Jangan pernah lakukan sendiri. 40
f. Satu komando/aba-aba.
4. Dasar-dasar pengangkatan: a. Rencanakan setiap gerakan dalam melakukan pengangkatan dan pemindahan korban perlu mendapatkan perhatian yang serius. Jangan sampai akibat cara melakukan yang salah cidera atau keadaan korban bertambah parah, atau bahkan penolong mengalami cidera. Pada korban luka berat atau terhimpit oleh benda berat atau bangunan, sangat memerlukan resusitasi secepatnya. Oleh karena itu, dalam mengevakuasi korban, tim penolong harus memiliki keterampilan melakukan resusitasi sebagai life saving yang dilakukan bersamaan dengan pembebasan korban dari himpitan benda berat dan membawa korban ke tempat pelayanan yang telah disiapkan. Khusus pada pembebasan korban yang terisolasi di suatu tempat reruntuhan harus selalu dibarengi dengan prosedur resusitasi, tetapi prosedur ini mengalami beberapa kesulitan seperti posisi korban dan ruangan yang sangat terbatas untuk melakukan manuver oksigenisasi. Oleh karena itu harus mempunyai keterampilan dan alat khusus untuk membebaskannya. Selama pembebasan (evakuasi) korban dari himpitan, tim penolong harus dapat menstabilkan tulang belakang, mengimobilisasi korban untuk kemungkinan adanya fraktur tulang panjang, mengontrol rasa nyeri, dan mencegah kematian mendadak akibat hiperkalemia atau hipotermia.
Indikasi pemindahan korban -
Kebakaran atau suatu keadaaan yang memungkinkan terjadinya kebakaran.
-
Ledakan atau suatu keadaan yang memungkinkan terjadinya ledakan
-
Ketidakmampuan penolong untuk melindungi penderita dari lingkungan yang berbahaya, misalnya bangunan yang tidak stabil, mobil terguling
-
Bocornya bahan bakar
-
Cuaca yang berbahaya
-
Ketika kesulitan dalam memberikan pertolongan karena lok asi atau posisi penderita
41
T. Evakuasi Korban 1. Evakuasi Oleh Satu Penolong
Sebelum melakukan pemindahan harus sudah dipastikan bahwa korban tidak mengalami cidera spinal, cidera tulang tengkorak, dan gegar otak. Teknik memindahkan penderita dapat dibagi atas pemindahan darurat dan non darurat. Jenis a.
Pemindahan Darurat
1) Tarikan baju korban (shirt drag) Bagian kemeja yang ditarik adalah bagian punggung belakang. Jika terlalu depan, terdapat risiko kemeja lepas dan mencekik korban. 2) Tarikan bahu/ lengan (shoulder drag) Tempatkan kedua tangan pada masing-masing ketiak korban. Tarik korban perlahan. Teknik menarik ketiak ini adalah teknik drag paling aman bagi korban sebab korban dipegang langsung oleh penolong sehingga risiko terlepas lebih kecil. 3) Tarikan selimut (blanket drag) Tempatkan bahan tertentu sebagai alas, seperti kai n selimut, kardus dan sebagainya. 4) Mengusung melalui lorong sempit (fire fighter drag) Tangan korban diikat dan digantungkan di leher penolong. Cegah kepala korban agar tidak terseret di tanah dengan menggunakan satu tangan atau menggantungkannya 5) Gendong punggung (piggy back carry) Untuk korban sadar tetapi tidak dapat berdiri, dapat dipindahkan dengan mengendong korban di belakang penolong. Posisi tangan penolong dapat menopang pantat atau pengunci kedua lengan korban. 6) Mengangkat depan/memapah (craddle carry) Korban yang sadar tetapi lemas, tidak dapat berjalan, dan tangan hanya dapat menggantung pasif ke leher penolong, sebaiknya dipindahkan dengan cara membopong.
42
b.
Pemindahan non Darurat
1. Pengangkatan Ekstremitas Biasanya digunaka untuk memindahkan penderita dari kursi atau tempat tidur ke tandu atau lantai. Jangan dilakukan pada penderita dengan cedera anggota gerak.
2. Pengangkatan dengan LSB ( Long Spine Board ) Biasanya digunakan untuk mengangkat sekaligus memfiksasi penderita yang dicurigai cedera servikal atau tulang belakang. Pemindahan penderita ke atas LSB menggunakan teknik yang disebut log roll. 3. Direct Gound Lift
43
2. Evakuasi Oleh Dua Penolong
a. Korban diangkat dengan menggunakan tangan sebagai tandu. b. Mengusung korban dengan menggunakan kursi sebagai tandu. c. Mengusung Korban Oleh 3 Penolong.
U. Alat Ekstriksi dan Transportasi.
Extrication (ekstrikasi) adalah teknik-tehnik yang dilakukan untuk melepaskan penderita dari jepitan dan kondisi medan yang sulit dengan mengedepankan prinsip stabilisasi ABCD. Ekstrikasi dapat dilakukan setelah keadaan aman bagi petugas penolong, dan seringkali memerlukan hal-hal yang bersifat rescue untuk mempermudah pertolongan yang akan dilakukan dan membebaskan benda-benda yang mempersulit pelaksanaan ekstrikasi contohnya memotong pintu kendaraan, membuka kap kendaraan, mengangkat korban dari dasar atau tepi jurang, menolong korban terjun payung yang tersangkut di gedung atau pohon yang tinggi dan sebagainya. 1. Kendrik Ekstrication Device (KED) Alat untuk mempermudah mengeluarkan korban dari dalam mobil atau tempat pada saat korban dalam posisi duduk. 2. Long Spine Board Alat ini biasanya terbuat dari kayu/fiber yang tidak menyerap cairan. Biasanya ada lubang dibagian sisinya untuk tali pengikat. Indikasi: untuk pasien yang dicrigai cidera tulang belakang. Jangan meletakan psien di atas LSB terlalu lam (>2 jam). Short Spine Board: Sama seperti LSB hanya panjangnya lebih pendek (sekitar 1 meter). 3. Scoop Strecher Hanya untuk memindahkan pasien (dari brankard ke tempat tidur atau sebaliknya). Bukan alat untuk imobilisasi pasien, bukan alat transportasi, dan jangan mengangkat scoop strecher hanya pada ujungnya saja karena dapat menyebabkan scoop stretcher melengkung ditengah bahkan sampai patah.
44
V. Pedoman Tata Tertib Pengangkutan Beregu
Dalam sebuah operasi pertolongan, kita sering ditugaskan sebagai satu kesatuan kelompok atau sebuah regu sehingga untk menyeragamkan sikap dan tindakan dalam pelaksanaan pertolongan pertama dalam pengangkutan beregu maka perlu diperhatikan pedoman pelaksanaan angkutan beregu sebagai berikut: 1. Tiap regu terdiri dari sekurang-kurangnya 6 orang. 2. Pembagian masing-masing anggota regu adalah seperti tabel dibawah. 3. Posisi korban saat diangkut adalah berbaring di atas tandu ata posisi lain sesuai kondisi dan indikasi korban dengan kaki menghadap ke depan, kecuali saat: - Melewati pagar/tembok penghalang. - Melewati gorong-gorong. - Naik tebing (jalan naik). - Melewati sungai yang arusnya berlawanan. - Melewati jalan sempit dengan angkutan tanpa alat (ATA). - Memasukan korban ke ambulans. 4. Saat berjalan sebaiknya langkah penolong disamakan sehingga teratur dan ritmis. 5. Untuk itu dalam mengawali setiap perjalanan langkah harus seragam dan bersamaan.
W. TRANSPORTASI
Transportasi penderita adalah proses pemindahan penderita dari tempat kejadian setelah penderita stabil, selain penderita harus stabil kendaraan yang akan digunakan pun harus sesuai dan tidak menyulitkan penderita maupun penolong. Transportasi ini adalah merupakan suatu hal yang komplek (menyangkut fasilitas rumah sakit, daya tamping rumah sakit, dan jenis ambulance), maka diharuskan adanya koordinasi yang jelas dan pasti antara komando atau rumah sakit perujuk dengan rumah sakit penerima.
45
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Cedera kepala adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho, 2011).Cidera tulang belakang adalah cidera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga dsb yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu atau lebih tulang vertebra sehingga mengakibatkan defisit neurologi ( Sjamsuhidayat, 1997). Baik cedera kepala maupun cedera tulang belakang dapat sangat membahayakan nyawa jika penanganannya tidak dilakukan dengan cepat, benar dan tepat. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem khusus untuk menangani korban cedera kepala dan cedera tulang belakang. Proses evakuasi dan ekstrikasi adalah metode yang dapat digunakan untuk memindahkan pasien secara cepat, tepat dan benar. Evakuasi korban diartikan sebagai upaya memindahkan korban ke pusat pelayanan kesehatan atau tempat rujukan lainnya agar korban mendapatkan perawatan dan pengobatan lebih lanjut. Extrication (ekstrikasi) adalah teknik-tehnik yang dilakukan untuk melepaskan penderita dari jepitan dan kondisi medan yang sulit dengan mengedepankan prinsip stabilisasi ABCD. Ekstrikasi dapat dilakukan setelah keadaan aman bagi petugas penolong, dan seringkali memerlukan hal-hal yang bersifat rescue untuk mempermudah pertolongan yang akan dilakukan dan membebaskan benda-benda yang mempersulit pelaksanaan ekstrikasi. Pembelajaran keperawatan gawat darurat mengenai cedera kepala, cedera tulang belakang, ekstrikasi dan evakuasi diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan mahasiswa untuk diterapkan dalam menjalankan tugas sebagai perawat nantinya.
46
DAFTAR PUSTAKA
Corwin, J. Elzabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologis. Edisi revisi 3. Jakarta. EGC Elsevier. 2013. Emergency Care. ENA Hudak and Gallo, (1994), Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB Lippincott company, Philadelpia. Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pas ien, EGC, Jakarta. Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Binarupa Aksara, Jakarta. Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth edition, JB Lippincott Company, Philadelphia. Tim AGD Dinkes. 2012. Module BTCLS (Basic Trauma Cardiac Life Support) AGD Dinkes. Jakarta : AGD Dinkes Provinsi DKI Jakarta. https://dokumen.tips/documents/transportasi-dan-evakuasi-klien-gawat-daruratpdf.html diakses pada 11 Februari 2018 pukul 20.00 http://www.alamy.com/stock-photo-traumatic-brain-injury-closed-head-injury-coup-andcontrecoup-7710392.html diakses pada 12 Februari 2018 pukul 20 http://www.alamy.com/stock-photo-whiplash-closed-head-injury-with-resulting-brain-injury7711880.html diakses pada 12 Februari 2018 pukul 20.15 https://dailyhealthpost.com/this-is-what-brain-stroke-survivor-looks-like/ diakses pada 12 Februari 2018 pukul 20.20
47