2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
DEFINISI
Kusta atau morbus Hansen adalah penyakit granulomatosa kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium oleh Mycobacterium leprae, leprae, yang melibatkan kulit, sistem saraf perifer, saluran pernapasan bagian atas, mata, dan testis. Secara prinsip dapat diperoleh selama masa kanak-kanak / dewasa muda.
2.2
EPIDEMIOLOGI
Sampai saat ini epidemiologi penyakit kusta belum sepenuhnya diketahui secara pasti. Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropis dan subtropis. Dapat menyerang semua umur, frekuensi terti nggi pada kelompok umur antara 15-35 tahun dan lebih sering mengenai laki-laki daripada wanita.
Gambar 2.1 Prevalensi Lepra di Dunia.
Berdasarkan data resmi dari Departemen Kesehatan di negara-negara endemik, deteksi tahunan global kusta telah menunjukkan penurunan sejak tahun 2001. Deteksi kasus baru pada tahun 2004 adalah 407.791 namun, telah jatuh ke 228.474
3
pada tahun 2010, dan 219.075 pada tahun 2011. 2011. Terjadi lebih dari 46% penurunan kasus baru. Indonesia Eliminasi Kusta mengklaim telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kurang dari 1 per 10 000 orang pada pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi global kusta adalah 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang mempengaruhi 0,91 dari 10 000 orang pada tahun 2008, menurut Departemen Kesehatan Indonesia. Hingga saat ini Indonesia menempatkan negara sebagai insiden tertinggi ketiga kusta di dunia. Hal ini berhubungan dengan kemiskinan, tinggal di pedesaan, dan penyakit HIV. Kebanyakan individu memiliki kekebalan alami dan tidak terlindung dari penyakit tersebut.
2.3
ETIOLOGI
Mycobacterium
leprae adalah
bakteri
yang menyebabkan penyakit
kusta. Kusta ditandai dengan lesi pada kulit dan kerusakan saraf, dengan kecenderungan memburuk bila tanpa pengobatan. Beberapa gejala kusta termasuk lesi pada kulit, mati rasa di kaki, dan kelemahan otot. Mikroorganisme yang bertanggung jawab untuk untuk penyakit penyakit ini, Mycobacterium ini, Mycobacterium leprae, leprae, adalah, adalah, bakteri gram positif tahan asam yang berbentuk batang dengan lapisan lilin tebal. Oleh karena itu lapisan ini tidak dapat diwarnai dengan metode gram biasa dan dapat diwarnai dengan carbolfuschin. carbolfuschin. M. leprae memiliki leprae memiliki panjang 1-8 mikron dan diameter 0,20,5 mikron. M. leprae le prae memiliki waktu multiplikasi sekitar 14 hari, untuk itu it u pembiakan secara in vitro vitr o membutuhkan waktu yang lama. Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Diagnosis M. Diagnosis M. leprae dapat leprae dapat didiagnosis dengan biopsy dan skin dan skin scrapping .
3
pada tahun 2010, dan 219.075 pada tahun 2011. 2011. Terjadi lebih dari 46% penurunan kasus baru. Indonesia Eliminasi Kusta mengklaim telah berhasil mengurangi tingkat kejadian kurang dari 1 per 10 000 orang pada pertengahan tahun 2000-an. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa kusta masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Prevalensi global kusta adalah 0,2 dari 10.000 orang, sedangkan prevalensi kusta di Indonesia hampir lima kali lebih tinggi, yang mempengaruhi 0,91 dari 10 000 orang pada tahun 2008, menurut Departemen Kesehatan Indonesia. Hingga saat ini Indonesia menempatkan negara sebagai insiden tertinggi ketiga kusta di dunia. Hal ini berhubungan dengan kemiskinan, tinggal di pedesaan, dan penyakit HIV. Kebanyakan individu memiliki kekebalan alami dan tidak terlindung dari penyakit tersebut.
2.3
ETIOLOGI
Mycobacterium
leprae adalah
bakteri
yang menyebabkan penyakit
kusta. Kusta ditandai dengan lesi pada kulit dan kerusakan saraf, dengan kecenderungan memburuk bila tanpa pengobatan. Beberapa gejala kusta termasuk lesi pada kulit, mati rasa di kaki, dan kelemahan otot. Mikroorganisme yang bertanggung jawab untuk untuk penyakit penyakit ini, Mycobacterium ini, Mycobacterium leprae, leprae, adalah, adalah, bakteri gram positif tahan asam yang berbentuk batang dengan lapisan lilin tebal. Oleh karena itu lapisan ini tidak dapat diwarnai dengan metode gram biasa dan dapat diwarnai dengan carbolfuschin. carbolfuschin. M. leprae memiliki leprae memiliki panjang 1-8 mikron dan diameter 0,20,5 mikron. M. leprae le prae memiliki waktu multiplikasi sekitar 14 hari, untuk itu it u pembiakan secara in vitro vitr o membutuhkan waktu yang lama. Diagnosis dini sangat penting untuk mencegah komplikasi lebih lanjut. Diagnosis M. Diagnosis M. leprae dapat leprae dapat didiagnosis dengan biopsy dan skin dan skin scrapping .
4
Gambar 2.3 Mycob Mycobacte cteri um L eprae pada Pewarnaan Ziehl-Neelsen
Secara skematik struktur M. struktur M. leprae terdiri dari : A. Kapsul Di sekeliling organisme terdapat suatu zona transparan elektron dari bahan berbusa atau vesikular, yang diproduksi dan secara struktur khas khas bentuk M. bentuk M. leprae. Zona transparan ini terdiri dari dua lipid, phthioceroldimycoserosate, yang dianggap memegang peranan protektif pasif, dan suatu phenolic glycolipid , yang terdiri dari tiga molekul gula hasil metilasi yang dihubungkan melalui molekul fenol pada lemak ( phthiocerol ). ). Trisakarida memberikan sifat kimia yang unik dan sifat antigenik yang spesifik terhadap M. terhadap M. leprae.
B. Dinding sel Dinding sel terdiri dari dua lapis, yaitu: a. Lapisan luar bersifat transparan elektron dan mengandung lipopolisakarida yang terdiri dari rantai cabang arabinogalactan yang diesterifikasi dengan rantai panjang asam mikolat , mirip mir ip dengan yang ditemukan pada Mycobacteria pada Mycobacteria lainnya. b. Dinding Dinding dalam terdiri dari peptidoglycan dari peptidoglycan:: karbohidrat yang dihubungkan melalui peptida-peptida yang yang memiliki rangkaian rangkaian asam-amino yang mungkin spesifik untuk M. leprae walaupun peptida ini terlalu sedikit untuk digunakan sebagai antigen diagnostik.
C. Membran Tepat di bawah dinding sel, dan melekat padanya, adalah suatu membran yang khusus untuk transport molekul-molekul kedalam dan keluar organisme. Membran
5
terdiri dari lipid dan protein. Protein sebagian besar berupa enzim dan secara teori merupakan target yang baik untuk kemoterapi. Protein ini juga dapat membentuk ‘antigen protein permukaan’ yang diekstraksi dari dinding sel M. sel M. leprae yang sudah terganggu dan dianalisa secara luas.
D. Sitoplasma Bagian dalam sel mengandung granul-granul penyimpanan, material genetik asam deoksiribonukleat (DNA), dan ribosom ri bosom yang merupakan protein yang penting dalam translasi dan multiplikasi. Analisis DNA berguna dalam mengkonfirmasi identitas sebagai M. sebagai M. leprae dari mycobacteria yang diisolasi dari armadillo liar, dan menunjukkan bahwa M. leprae, leprae, walaupun berbeda secara genetik, terkait erat dengan M. dengan M. tuberculosis dan M. dan M. scrofulaceum. scrofulaceum. Pertumbuhan optimal kuman ini yaitu, 30°C lebih rendah dari suhu tubuh menyebabkan kuman tersebut sering tumbuh pada kulit dan saraf perifer. Kuman ini memunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune respon, yang menyebabkan reaksi inflamasi kronik. Pertumbuhannya sangat lambat dengan waktu membelah diri (doubling time) selama 14 hari sehingga membutuhkan jangka waktu lama dalam pemberian terapi antibiotik, biasanya dalam beberapa tahun.
6
Gambar 2.3 Struktur Molekular Mycobacteri um Leprae.
Cara penularan belum diketahui secara pasti, transmisi mungkin termasuk infeksi droplet hidung, kontak dengan tanah yang terinfeksi, vektor serangga. Sekret bersin dari pasien LL yang tidak diobati mengandung 1010 organisme. 20% pasien
asimptomatik
yang
tinggal
di
daerah,
kemungkinan
memiliki
Mycobacterium leprae pada hidungnya, telah diidentifikasi dengan PCR. Portal masuknya M. leprae kurang dipahami tetapi hal ini berkaitan dengan inokulasi melalui kulit (gigitan, goresan, luka kecil, tato) atau inhalasi ke dalam saluran hidung atau paru-paru. Penyebaran infeksi didapat apabila terdapat kontak dalam jangka waktu yang lama dengan pasien Lepra Lepromatous, yang terdapat Micobacterium leprae di sekret hidung dan lesi kulit. Masa inkubasi lepra tipe tuberkuloid adalah 5 tahun sedangkan, tipe lepromatosa 20 tahun atau lebih.
2.4
PATOGENESIS
Meskipun cara masuk M. Leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering adalah melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin. Penularan melalui kontak langsung antar kulit yang erat dan lama merupakan anggapan klasik. Anggapan kedua ialah secara inhalasi dan melalui mukosa nasal, sebab M. Leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet. Pe ngaruh M. Leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang. Bila basil M. Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe klinis bergantung kepada sistem imunitas seluler (SIS) penderita. SIS yang baik akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah memberikan gambaran lepromatosa. Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama lain sel Kupffer di hati, sel alveolar di paru , sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit. Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman masuk, akibatnya akan bergantung pada SIS. Apabila SIS-nya tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosit
7
ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus di fagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteliod yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel . Apabila SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Sebagai proteksi awal sebelum bakteri masuk ke dalam kulit, terutama kompartemen imunologik bakteri tersebut harus melewati beberapa sawar, salah satunya adalah berbagai mekanisme non-spesifik seperti sistem fagositosis yang diperankan terutama oleh sel makrofag. Bakteri yang ditangkap oleh akan melalui beberapa proses yang bertujuan untuk mengeliminasi bakteri, sehingga pada 95% individu yang terinfeksi oleh M. Leprae tidak menimbulkan gejala klinis atau minimal hanya subklinis saja. Setelah berbagai sawar nonspesifik tersebut gagal, maka barulah akan bekerja mekanisme imunitas spesifik, melalui aktivasi sel-sel imunokompeten oleh stimulasi antigan M. Leprae. Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular, dengan demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas yang kemudian dapat merusak jaringan. Kelainan kulit yang terjadi lebih ekstensif. Lesi kulit terdiri dari nodus yang infiltratis dan plak. Kelainan saraf dapat simetris. Pada kusta tipe TT kemampuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag sanggup menghancurkan kuman. Sayangnya setelah semua kuman difagositosis, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi akan terjadi reaksi berlebihan dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan sekitarnya. Tipe ini biasanya menyerang kulit dan saraf perifer. Jumlah lesi kulit terbatas dengan kulit kering dan hipoanestesia. Kelainan saraf biasanya asimetris.
8
Gambar : Prinsip mekanisme imunitas non spesifik dan spesifik
Gambar : Imunitas selular dan humoral pada respon imun spesifik
Sel Schwann(SS) merupakan target utama untuk infeksi oleh M. leprae sehingga menyebabkan cedera pada saraf, demielinasi, dan akibatnya, cacat. Pengikatan M. leprae ke SS menyebabkan demielinasi dan hilangnya konduktansi aksonal. Telah ditunjukkan bahwa M. leprae dapat menyerang SS melalui ikatan spesifik protein laminin dari 21 kDa PGL-1. PGL-1, sebuah glycoconjugate khas utama pada permukaan M.leprae., mengikat laminin-2, yang menjelaskan kecenderungan bakteri untuk saraf perifer . Identifikasi M. leprae- SC reseptor yang ditaget,iaitu dystroglycan (DG), menunjukkan peran molekul ini dalam de generasi saraf awal . Mycobacterium leprae induced demyelination adalah hasil dari ligasi
9
bakteri langsung ke reseptor neuregulin, erbB2 dan Erk1 / 2 aktivasi, dan sinyal MAP kinase berikutnya dan proliferasi.
Gambar : Mekanisme delayed type hypersensitivity yang diduga berkaitan dengan adanya lesi pada kulit sebagai reaksi terhadap lepromin
3.5 KLASIFIKASI
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spektrum determinate pada penyakit morbus hansen yang terdiri atas :
TT: Tuberkuloid polar, bentuk yang stabil.
Ti : Tuberkuloid indefinite
BT : Borderline tuberkuloid
BB : Mid Borderline
BL : Borderline lepromatous
Li : Lepromatosa indefinite
LL : Lepromatosa polar, bentuk yang stabil.
Tipe 1 (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa 100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan 50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe
10
yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik ke arah TT maupun LL.Zona spektrum kusta menurut berbagai klasifikasi dapat dilihat dibawah. Klasifikasi
Zona Spektrum Kusta
Ridley & Jopling
TT
Madrid
Tuberkuloid
Borderline
WHO
Pausibasilar
Multibasilar (MB)
BT
BB
BL
LL Lepromatosa
(PB) Puskesmas
PB
MB
Tabel : Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasi
Menurut WHO : o
Multibasilar berarti banyak mengandung basil, yaitu tipe LL, BL dan BB dengan indeks bakteri lebih dari 2+.
o
Pausibasiler berarti mengandung sedikit basil, yaitu tipe TT, BT dan I dengan indeks bakteri kurang dari 2+
Klasifikasi Klinis: Tipe TT (Tuberkuloid-Tuberkuloid) = Tipe PB
Terdapat pada individu dengan reaksi imunitas seluler baik.
Mengenai kulit maupun saraf.
Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat.
Batas jelas.
Pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang mengalami regresi atau penyembuhan di tengah.
Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi, bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis.
Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal.
11
Tipe BT (Borderline Tuberkuloid)
Menyerupai tipe TT, yakni berupa makula anestesi atau plak yang sering disertai lesi satelit di pinggirnya.
Jumlah lesi satu atau beberapa.
Gambaran hipopigmentasi.
Kekeringan kulit atau skuama tidak jelas seperti pada tipe TT.
Gangguan saraf tidak seberat pada tipe TT dan biasanya asimetrik.
Ada lesi yang terletak dekat saraf perifer yang menebal.
Tipe BB (Borderline-Borderline)
Tidak stabil.
Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan jarang dijumpai.
Lesi dapat berbentuk makula infiltrat.
Permukaan lesi mengkilat, batas kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetrik.
Lesi sangat bervariasi baik ukuran, bentuk, maupun distribusinya.
Lesi punched out , yaitu hipopigmentasi yang oval pada bagian tengah, batas jelas yang merupakan ciri khas tipe ini.
Tipe BL (Borderline-Lepromatous)
Dimulai dengan makula.
Awalnya hanya dalam jumlah sedikit, kemudian dengan cepat menyebar ke seluruh badan.
Makula lebih jelas dan lebih bervariasi bentuknya.
Walau masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetrik dan beberapa nodus tampak melekuk pada bagian tengah.
Lesi bagian tengah sering tampak normal dengan pinggir di dalam infiltrat lebih jelas dibanding pinggir luarnya.
Beberapa plak tampak seperti punched out .
12
Tipe LL (Lepromatous-Lepromatous)
Individu dengan imunitas seluler rendah.
Jumlah lesi sangat banyak, simetrik, permukaan halus, lebih eritem, mengkilat, berbatas tidak tegas dan tidak ditemukan gangguan anestesi dan anhidrosis pada stadium dini. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping
telinga, sedangkan badan mengenai bagian belakang yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah.
Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis, dan keratitis.
Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung.
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis, yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis.
Kerusakan saraf dermis menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia.
Tipe Indeterminate
Satu/dua makula hipopigmentasi.
Belum didapatkan gejala lain.
Setelah bertahun-tahun dapat berubah bentuk ke tipe lain.
Bagan diagnosis klinis menurut WHO (1995): PB
1. Lesi kulit (makula datar, -1-5 lesi papul
yang meninggi,
MB
>5 lesi
-hipopigmentasi/eritema
-distribusi lebih simetris
-distribusi tidak simetris
-hilangnya sensasi kurang
nodus)
-hilangnya sensasi jelas
jelas
13
2. Kerusakan saraf
Hanya satu cabang saraf
- banyak cabang saraf
(hilangsenses/kelemahan otot yg dipersarafi) 2.6
GAMBARAN KLINIK
2.6.1
Dasar diagnosis
Menurut WHO penyakit kusta dapat didiagnosa berdasarkan gejala klinik yang timbul. Pada negara atau daerah yang endemik, seseorang dapat dinyatakan terkena lepra apabila terdapat salah satu dari tiga gejala kardinal antara lain (WHO, 2000): 1. Bercak kulit yang mati rasa Bercak hipopigmentasi atau eritematosa (achromi), mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rangsang panas, sentuhan maupun nyeri. Lesi tidak gatal ataupun nyeri yang dapat muncul dimanapun pada anggota tubuh. 2. Penebalan saraf tepi Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu: a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa (anestesi) b. Ganguan fungsi motoris (atrophy): tidak mampu mencubit, menggenggam, tidak mampu dorsi-fleksi pergelangan tangan dan tidak mampu menutup mata sepenuhnya. c. Gangguan fungsi
otonom (anhidrosis): kulit kering, retak, edema,
pertumbuhan rambut yang terganggu. 3. Ditemukan kuman tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit atau saraf. Bila belum dapat ditemukan salah satu dari tiga gejala diatas, maka perlu dilakukan pengamatan dan pemeriksaan ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis dapat ditentukan.
14
Tabel 2.3 Klasifikasi WHO berdasarkan manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan bakteriologi.
Tabel 2.4 Perbedaan PB dan MB secara Klinis
15
Tabel 2.5 Klasifikasi Ridley dan Jopling
Gambar 2.9 Gambaran Klinik TT, LL, dan IL.
16
Tabel 2.6 Perbedaan Gambaran Klinik LL, BL, dan BB.
Sifat
Lesi Bentuk
Jumlah
Distribusi Permukaan Batas Anestesia BTA Lesi kulit Sekret hidung Tes Lepromin
Lepromatosa (LL)
Borderline Lepromatosa (BL)
Mid Borderline (BB)
Makula Infiltrat difus Papul Nodus Tidak terhitung, praktis tidak ada kulit sehat Simetris Halus berkilat
Makula Plakat Papul
Tidak jelas Biasanya tidak jelas
Agak jelas Tak jelas
Plakat Dome shape (kubah) Punched-out Dapat dihitung, kulit sehat jelas ada Asimetris Agak kasar, agak berkilat Agak jelas Lebih jelas
Banyak (ada globus) Banyak (ada globus) Negatif
Banyak
Agak banyak
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Sukar dihitung, masih ada kulit sehat Hampir simetris Halus berkilat
Gambar 2.10 Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy.
17
Gambar 2.11 Lesi Kulit pada BB Leprosy.
Gambar 2.12 Borderline Leprosy : Wajah Sedikit Berminyak dan Kehilangan Alis Mata.
Karakteristik Tuberkuloid (TT) Lesi Tipe
Makula ; makula dibatasi infiltrat
Jumlah
Borderline Tuberculoid (BT)
Indeterminate (I)
Makula dibatasi infiltrat saja; infiltrat saja Beberapa atau satu dengan lesi satelit Asimetris
Hanya Infiltrat
Satu atau dapat beberapa Distribusi Terlokalisasi & asimetris Permukaan Kering, skuama
Kering, skuama
Batas
Jelas
Jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
BTA lesi kulit
Hampir selalu negative
Negatif atau hanya 1+
Satu atau beberapa Bervariasi Dapat halus agak berkilat Dapat jelas atau dapat tidak jelas Tak ada sampai tidak jelas Biasanya negatif
18
Tes lepromin
Positif kuat (2+)
Positif lemah
Dapat positif lemah atau negatif
Tabel 2.7 Perbedaan Gambaran Klinik TT, BT, dan IL.
Gambar 2.13 Lesi Tuberculoid leprosy, soliter, anesthetic, annular
Gambar 2.15 Lesi Kulit pada Tuberculoid Leprosy
Gambar 2.14 Borderline Tuberculoid Leprosy, gambaran anular inkomplit dengan papul satelit
2.6.2 Deformitas pada Kusta
Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. Leprae, yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarn ya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan saraf, umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf. Gejala-gejala kerusakan saraf:
N. ulnaris o
Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis
o
Clawing kelingking dan jari manis
o
Atrofi hipotenar dan otot introseus serta kedua otot lumbrikalis medial
N. medianus
19
o
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk dan jari tengah
o
Tidak mampu aduksi ibu jari
o
Clawing ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah
o
Ibu jari kontraktur
o
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
N. radialis o
Anestesia ujung jari manus, serta ujung proksimal jari telunjuk
o
Tangan gantung (wrist drop)
o
Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan
N. poplitea lateralis o
Anesthesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis
o
Kaki gantung ( foot drop)
o
Kelemahan otot peroneus
N. tibialis posterior o
Anestesi telapak kaki
o
Claw toes
o
Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis
N. facialis o
Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus
o
Cabang bukal, mandibular dan servical menyebabkan kehilangan ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir
N. trigeminus o
Anestesi kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata
o
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
20
Gambar 2.16 Salah Satu Gejala Kerusakan Saraf ( Crawling H and) .
Kerusakan mata pada kusta juga dapat terjadi secara primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang dapat membuat
paralisis
N.Orbicularis
palpebrarum
sebagian
atau
seluruhnya,
mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya menyebabkan kerusakan bagian bagian mata lainnya. Secara sendiri-sendiri atau bergabung akhirnya dapat menyebabkan kebutaan. Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dapat mengakibatkan kulit kering dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada tubulus semineferus testis.
2.7.3
Kusta histoid
Kusta histoid merupakan variasi lesi pada tipe lepromatous yang ditandai dengan adanya nodus yang berbatas tegas, dapat juga berbentuk plak. Bakterioskopik positif tinggi. Umumnya timbul sebagai kasus relapse sensitive atau relapse resistent. Relapse sensitive terjadi bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Dapat terjadi karena kuman yang
21
dorman aktif kembali atau pengobatan yang diselesaikan tidak adekuat, baik dosis maupun pemberiannya,disebut juga resisten sekunder. Relaps resistents terjadi, bila penyakit kambuh setelah menyelesaikan pengobatan sesuai dengan waktu yang ditentukan, tetapi tidak dapat diobati dengan obat yang sama karena kuman telah resisten terhadap obat MDT, disebut juga resisten primer.
2.7.4 Pemeriksaan Saraf Tepi
a. N. Auricularis Magnus Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
Gambar 2.17 Pembesaran Saraf
b. N. Ulnaris Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
22
Gambar 2.18 Pemeriksaan Saraf Ulnaris
c. N. Peroneus Lateralis Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
Gambar 2.19 Pemeriksaan Saraf Peroneus Lateralis
d. N. Tibialis Posterior Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan, meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
2.7.5
Pemeriksaan Fungsi Saraf
a. Tes sensorik Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin. - Rasa raba
23
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup. - Rasa tajam Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya, kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba. - Suhu Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin. Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan pasien diminta menentukan panas atau dingin. b. Tes Otonom Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu : 1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan) 2. Tes Pilokarpin 3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan n. peroneus.
2.8
PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Pemeriksaaan Bakterioskopik
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama – tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 – 6 tempat yaitu kedua cuping telinga bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa
24
menghiraukan ada atau tidaknya lesi di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae. Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skalpel steril. Setelah lesi tersebut di desinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin darah yang akan mengganggu sediaan. Kerokan dioleskan di kaca objek, difiksasi di atas api kemudian diwarnai dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen : 1. Buatlah sediaan diatas kaca objek, keringkan pada suhu kamar 2. Tuangkan karbol fuchsin, panaskan di atas api kecil 3-4 menit hingga keluar uap (semua bakteri akan berwarna merah). 3. Bilas dengan air mengalir. 4. Celupkan dalam larutan H2SO4 1% atau HCL pekat selama 2 detik (bakteri tahan asam tetap berwarna merah). 5. Celupkan dalam alkohol 60% hingga tak ada lagi warna merah yang mengalir pada sediaan. 6. Bilas dengan air 7. Tuangkan biru metilen,diamkan 1-2 menit (bakteri tahan asam tidak mengikat warna biru). 8. Cuci dengan air
keringkan,
lalu amati dengan mikroskop.
Hasil positif jika didapatkan basil tahan asam tampak merah pada sediaan dan dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus ( fragmented ), butiran ( granular ). Secara teori penting dibedakan solid dan nonsolid, untuk membedakan antara yang hidup dan yang mati, sebab bentuk hidup itulah yang berbahaya. Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP). 1 + Bila 1 – 10 BTA dalam 100 LP 2+ Bila 1 – 10 BTA dalam 10 LP 3+ Bila 1 – 10 BTA rata – rata dalam 1 LP 4+ Bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP 5+ Bila 101 – 1000BTA rata – rata dalam 1 LP 6+ Bila> 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
25
Gambar 2.20 Indeks Bakteri
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non solid. IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid Syarat perhitungan :
Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk mendapat 100 BTA harus mencari dalam 1.000-10.000 lapangan
Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.
26
2. Tes Lepromin
Tes Lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra tapi tidak untuk diagnosis. Tes ini berguna untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. leprae. 0,1 ml lepromin dipersiapkan dari ekstrak basil organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca setelah 48 jam/ 2hari (reaksi Fernandez) atau 3 – 4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae, yaitu respon imun tipe lambat ini seperti mantoux test (PPD) pada tuberkolosis. o
Tes Mitsuda (reaksi lambat) : menggunakan basil kusta yang mati, hasilnya diperiksa setelah 3-4 minggu. Interpretasi:
o
o
-
tidak ada reaksi/ kelainan
o
+/- papel + eritema < 3 mm
o
+1 papel + eritema 3 – 5 mm
o
+2 papel + eritema > 5 mm
o
+3 ulserasi
Tes Fernandez (reaksi awal) : menggunakan fraksi proteim M. leprae, hasil diperiksa setelah 48 jam. Interpretasi: o
-
tidak ada kelainan
o
+/- indurasi + eritema < 5 mm
o
+ 1 indurasi + eritema 5 – 10 mm
o
+ 2 indurasi + eritema 10 – 15 mm
o
+ 3 indurasi + eritema 15 – 20 mm
3. Pemeriksaan Histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS (Sistem Imun Selular) tinggi, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus
27
difagosit, makrofag akan berubah bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat berubah menjadi sel datia Langhans. Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
4. Pemeriksaan Serologik
Kegunaan pemeriksaan serologik adalah untuk membantu diagnosis kusta yang meragukan, apabila tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
A. Uji FLA-ABS ( Fluorescent leprosy Antibodi-Absorption test ) Uji ini menggunakan antigen bakteri M. leprae secara utuh yang telah dilabel dengan zat fluoresensi. Hasil uji ini memberikan sensitivitas yang tinggi namun spesivisitasnya agak kurang karena adanya reaksi silang dengan antigen dari mikrobakteri lain.
B. Radio Immunoassay (RIA) Uji ini menggunakan antigen dari M. leprae yang dibiakkan dalam tubuh Armadillo yang diberi label radio aktif.
C. Uji MLPA ( Mycobacterium leprae particle agglutination)
28
Uji ini berdasarkan reaksi aglutinasi antara antigen sintetik PGL-1 dengan antibodi dalam serum. Uji MLPA merupakan uji yang praktis untuk dilakukan di lapangan, terutama untuk keperluan skrining kasus seropositif.
D. Antibodi monoklonal (Mab) epitop MLO4 dari protein 35-kDa M.leprae menggunakan M. leprae sonicate (MLS) yang spesifik dan sensitif untuk serodiagnosis kusta. Protein 35-kDa M. leprae adalah suatu target spesifik dan yang utama dari respon imun seluler terhadap M. leprae, merangsang proliferasi sel T dan sekresi interferon gamma pada pasien kusta dan kontak.
E. Uji ELISA ( Enzyme Linked Immuno-Assay) Uji ELISA pertama kali digunakan dalam bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda. Dalam perkembangan selanjutnya, selain digunakan sebagai uji kualitatif untuk mengetahui keberadaan suatu antibodi atau antigen dengan menggunakan antibodi atau antigen spesifik, teknik ELISA juga dapat diaplikasikan dalam uji kuantitatif untuk mengukur kadar antibodi atau antigen yang diuji dengan menggunakan alat bantu berupa spektrofotometer. Prinsip uji ELISA adalah mengukur banyaknya ikatan antigen antibodi yang terbentuk dengan diberi label (biasanya berupa enzim) pada ikatan tersebut, selanjutnya terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang tertentu. Pemeriksaan ini umumnya menggunakan plat mikro untuk tempat terjadinya reaksi.
Terdapat tiga metode ELISA, antara lain: A. Direct ELISA Pada direct ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
29
B. Indirect ELISA Pada indirect ELISA, antigen melekat pada fase solid dan bereaksi dengan antibodi primer, kemudian dilakukan penambahan antibodi sekunder yang dilabel enzim dan terjadi reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder yang dilabel enzim, kemudian ditambahkan substrat sehingga terjadi perubahan warna yang dapat diukur dengan spektrofotometer.
C. Sandwich ELISA. Pada sandwich ELISA, prinsip kerjanya hampir sama dengan direct ELISA, hanya saja pada sandwich ELISA, larutan antigen yang diinginkan tidak perlu dipurifikasi. Dalam bidang penyakit kusta, uji ELISA dapat dipakai untuk mengukur kadar antibodi terhadap basil kusta, misalnya antibodi anti PGL-1, antibodi anti protein 35kD, dan lain-lain. Kelas antibodi yang diperiksa juga ditentukan, misalnya IgM anti PGL-1, IgG anti PGL-1 dan sebagainya. Untuk antibodi anti PGL-1 biasanya IgM lebih dominan dibandingkan IgG. Pemeriksaan ELISA dikembangkan menggunakan reagen poliklonal atau monoklonal yang tela h terbukti sangat spesifisik terhadap residu gula dari PGL-1 dan memungkinkan deteksi titer anti PGL-1 pada pasien kusta atau kontak serumah. Untuk menentukan nilai ambang (cut off ) dari hasil uji ELISA ini, biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu yang sakit kusta dan yang tidak sakit kusta. 2.9
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS), sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral a.
Reaksi tipe 1
30
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading ) seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Antigen yang berasal dari kuman yang telah mati (breaking down leprosy bacilli) akan bereaksi dengan limfosit T disertai perubahan sistem imun selular yang cepat. Jadi pada dasarnya reaksi tipe I terjadi akibat perubahan keseimbangan antara imunitas dan basil. Dengan demikian, sebagai hasil reaksi tersebut dapat terjadi upgrading /reversal. Pada kenyataannya reaksi tipe I ini diartikan dengan reaksi reversal oleh karena paling sering dijumpai terutama pada kasus-kasus yang mendapatkan pengobatan, sedangkan down grading reaction lebih jarang dijumpai oleh karena berjalan lebih lambat dan umumnya dijumpai pada kasus-kasus yang tidak mendapat pengobatan. Meskipun secara teoritis reaksi tipe I ini dapat terjadi pada semua bentuk kusta yang subpolar, tetapi pada bentuk BB jauh lebih se ring terjadi daripada bentuk yang lain sehingga disebut reaksi borderline. Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat. Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa, lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup. b.
Reaksi tipe II Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral, yaitu reaksi
hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang melibatkan komplemen. Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II sering disebut sebagai Erithema Nodosum Leprosum (ENL) dengan gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat, ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris, terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan paha, dan daerah perineum. Selain itu, didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise. Perlu juga memperhatikan keterlibatan organ lain seperti saraf, mata, ginjal, sendi, testis, dan limfe.
31
Tabel 2.8 Perbedaan RR dan ENL secara Klinik.
No.
1
Gejala/tanda
Tipe I (reversal)
Kondisi umum
Baik atau demam ringan
Tipe II (ENL)
Buruk, disertai malaise dan febris
2
Peradangan di
Bercak kulit lama
Timbul nodul
kulit
menjadi lebih meradang
kemerahan, lunak, dan
(merah), dapat timbul
nyeri tekan. Biasanya
bercak baru
pada lengan dan tungkai. Nodul dapat pecah (ulserasi)
3
Waktu terjadi
Awal pengobatan MDT
Setelah pengobatan yang lama, umumnya lebih dari 6 bulan
4
Tipe kusta
PB atau MB
MB
5
Saraf
Sering terjadi
Dapat terjadi
Umumnya berupa nyeri tekan saraf dan atau gangguan fungsi saraf 6
Keterkaitan
Hampr tidak ada
Terjadi pada mata,
organ lain
KGB, sendi, ginjal, testis, dll
7
Faktor pencetus
Melahirkan
Emosi
Obat-obat yang
Kelelahan dan stress
meningkatkan kekebalan
fisik lainnya
tubuh
kehamilan
Tabel 2.9 Perbedaan RR dan ENL Berdasarkan Derajat Keparahan
Gejala/
Tipe I
Tipe II
tanda Ringan
Berat
Ringan
Berat
32
Kulit
Bercak :
Bercak :
Nodul :
Nodul : merah, panas,
merah,
merah, tebal,
merah,panas,
nyeri yang bertambah
tebal,
panas, nyeri
nyeri
parah sampai pecah
panas,
yang
nyeri
bertambah parah sampai pecah
Saraf
Nyeri pada
Nyeri pada
Nyeri pada
Nyeri pada perabaan
tepi
perbaan (-)
perabaan (+)
perabaan (-)
(+)
Keadaan
Demam (-)
Demam (+)
Demam (+)
Demam (+)
-
-
+
umum Keterliba tan
Terjadi peradangan
organ
pada :
lain
mata : iridocyclitis
testis : epididimoorchitis
ginjal : nefritis
kelenjar limpa : limfadenitis
gangguan pada tulang, hidung, dan tenggorokan
* bila ada reaksi pada lesi kulit yang dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat 2.9.1
Fenomena Lucio
Fenomena lucio merupakan reaksi kusta yang sangat berat yang terjadi pada kusta tipe lepromatosa non nodular difus. Gambaran klinis berupa plak atau infiltrat difus, bewarna merah muda, bentuk tidak teratur dan terasa nyeri. Lesi terutama di ekstremitas, kemudian meluas ke seluruh tubuh. Lesi yang berat tampak lebih eritematous disertai purpura dan bula kemudian dengan cepat terjadi nekrosis serta ulserasi yang nyeri. Lesi lambat menyembuh dan akhirnya terbentuk jaringan parut.
33
Gambaran histopatologi menunjukkan nekrosis epidermal iskemik dengan nekrosis pembuluh darah superfisial, edema, dan proliferasi endhotelial pembuluh darah lebih dalam. Didapatkan banyak basil M.Leprae di endotel kapiler. Walaupun tidak ditemukan infiltrat PMN seperti pada ENL namun dengan imunofluoresensi tampak deposit imunoglobulin dan komplemen di dalam dinding pembuluh darah.
Gambar 2.22 Fenomena Lucio (Ulcerasi Rekuren Berat karena Vaskulitis Cutaneus yang Dalam).
2.10
Diagnosis Banding
Beberapa hal penting dalam menentukan diagnosis banding lepra:
Ada Makula hipopigmentasi
Ada daerah anestesi
Pemeriksaan bakteriologi memperlihatkan basil tahan asam
Ada pembengkakan/pengerasan saraf tepi atau cabang-cabangnya.
1. Tipe I (makula hipopigmentasi) : tinea versikolor, vitiligo, pitiriasis rosea, atau dermatitis seboroika atau dengan liken simpleks kronik. 2. Tipe TT (makula eritematosa dengan pinggir meninggi) : tinea korporis, psoriasis,lupus eritematosus tipe diskoid atau pitiriasis rosea 3. Tipe BT,BB,BL (infiltrat merah tak berbatas tegas) : selulitis, erysipelas atau psoriasis. 4. Tipe LL (bentuk nodula): lupus eritematous sistemik, dermatomiositis, atau erupsi obat. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk makula saja, infiltrat saja atau keduanya. Penyakit kusta hampir serupa dengan
34
penyakit kulit lainya leh karena itu mendapat julukan the greatest imitator dalam ilmu penyakit kulit. Secara inpeksi mirip dengan penyakit lainnya. Tabel 3.10 Diagnosis Banding
Morbus Hansen
Pitiriasis
Pitiriasis alba
vesikolor Definisi
Penyakit infeksi yang Penyakit
Bentuk
disebabkan
jamur
dermatitis yang
Mycobacterium leprae
superfisial
tidak
yang kronik
dan
spesifik belum
diketahui penyebabnya Etiologi
Gejala Klinis
Mycobacterium leprae
Lesi 1 atau multiple Hipopigmentasi/eritema Sensory loss Penebalan saraf tepi
Malassezia
Didiuga
furfur
Streptococcus
Bercak
Lesi bulat, oval
berskuama
atau plakat tak
halus
teratur
yang
berwarna putih, kekuningkuningan, kemerahan
Warna
merah
muda
dengan
skuama halus Setelah eritema
sampai coklat menghilang, hanya dijumpai
hitam
depigmentasi
Gatal
dengan skuama halus
Pemeriksaan
Ziehl Neelsen : basil KOH 20% :
Mikroskopis
tahan asam
hifa
pendek
dan
spora-
spora
bulat
-
35
yang
dapat
berkelompok (meatball and spaghetti appeareance) Lampu wood
Kuning keemasan
Gambar 2.23 Kiri = Lepra, Kanan = Tinea
Gambar 2.24 Kiri= Pitiriasis Versikolor, Kanan = Lepra
36
Gambar 2.25 Kiri = Sifilis Sekunder, Kanan=Lepra
2.11
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita. Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin, klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan. Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.
2.11.1 Terapi Obat a. Obat Utama :
1. DDS Merupakan obat pertama yang dipakai sebagai monoterapi. Seringkali dapat menyebabkan resistensi (pertama kali dibuktikan tahun 1964). Resistensi terhadap
37
DDS ini yang memicu dilakukannya MDT. Dapson, diamino difenil sulfon bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi atau menghambat pertumbuhan bakteri. Dapson merupakan antagonis kompetitif dari para-aminobezoic acid (PABA) dan mencegah penggunaan PABA untuk sintesis asam folat oleh bakteri. Efek sampingnya antara lain nyeri kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS, nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.
2. Rifampisin Dosis antikusta adalah 10 mg/kg BB. Rifampicin bersifat bakterisid. Rifampicin bekerja dengancara menghambat DNA- dependent RNA polymerase pada sel bakteri dengan berikatan pada subunit beta. Dipakai sebulan sekali dalam MDT karena efek sampingnya. Efek samping yang perlu diperhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala gastrointestinal, flu-like syndrome, erupsi kulit, dan warna kemerahan pada keringat, air mata, dan urin.
3. Klofazimin (lamprene) Pada kasus kusta yang dimonoterapi dengan DDS dapat terjadi relaps/kambuh. Clofazimin, merupakan bakteriostatik dan dapat menekan reaksi kusta. Clofazimin bekerja dengan menghambat siklus sel dan transpor dari NA/K ATPase. Dosis yang dapat
digunakan adalah 1x50 mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari , atau 3 x 100 mg selama seminggu. Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat diberikan.
38
4. Protionamid. Dosis diberikan 5-10 mg/kg BB. Obat ini jarang dipakai. Distribusi dalam jaringan tidak merata, sehingga kadar hambat minimal sukar ditentukan.
b. Obat alternatif:
1. Ofloksasin Berdasarkan in vitro merupakan kuinolon yang paling efektif terhadap M. leprae. Dosis tunggal dalam 22 dosis akan membunuh hingga 99,99%. Efek samping adalah mual, diare, gangguan saluran cerna, gangguan saraf pusat (insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan halusinasi). Penggunaan pada anak dan ibu hamil dapat menyebabkan artropati. 2. Minosiklin Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidal lebih tinggi daripada klaritromisin tapi lebih rendah daripada rifampisin. Dosis 100 mg. Efek samping antara lain hiperpigmentasi, simtom saluran cerna dan SSP. 3. Klaritromisin Kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal M. leprae. Dosis harian selama 28 hari dapat membunuh 99% dan selama 56 hari sebesar 99,99%. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus, dan diare. Tabel 2.11 PB dgn lesi tunggal diberikan ROM (Rifampicin Ofloxacin Minocyclin) dosis tunggal.
Dewasa (50-70 kg) Anak-anak *(5-14 tahun)
Rifampicin
Ofloxacin
Minocyclin
600 mg
400 mg
100 mg
300 mg
200 mg
50g
*
Tidak dianjurkan untuk wanita hamil atau anak-anak kurang dari 5 tahun
Tabel 2.12 Tipe PB dengan lesi 2-5.
Dapson
Rifampisin
Dewasa
100 mg
600 mg
50-70 kg
Setiap hari
39
Sebulan sekali di bawah pengawasan Anak
50 mg
450 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Sebulan sekali di bawah pengawasan
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
setiap hari dan rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT ) adalah rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9 bulan. setelah minum 6 dosis maka dinyatakan RFT (Released From Treatment). Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakan RFC (Release From Control). Pengobatan MDT untuk pausibasilar adalah Rifampisin 600 mg setiap bulan, dengan pengawasan dan Dapson/DDS 100 mg setiap hari. Pengonsumsian Rifampisin diberikan setiap hari pertama penggunaan blister baru dan dilakukan didepan petugas. Selama pengobatan diberikan pemeriksaan klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah 6 bulan (pada akhir pengobatan). Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun secara klinis dan bakterioskopis. Apabilanegatif, dinyatakan RFC. Anjuran terbaru dari WHO mengatakan RFC tidak diperlukan, walau ada perdebatan untuk mengawasi adanya reaksi dan relaps. Tabel 2.13 Tipe MB yaitu dengan lesi kulit > 5.
Dapsone
Rifampisin
Dewasa
100 mg
600 mg
50 mg
50-70 kg
Setiap Hari
Sebulan sekali di
Setiap
Sebulan
bawah
hari
sekali di
pengawasan
Clofazimin DAN
300 mg
bawah pengawasan
40
Anak
50 mg
450 mg
50 mg
10-14 tahun *
Setiap hari
Sebulan sekali di
Setiap
Sebulan
bawah
hari
sekali di
DAN
pengawasan
150 mg
bawah pengawasan
*
Menyesuaikan dosis tepat untuk anak kurang dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25 mg
sehari, rifampisin 300 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan, klofazimin, 50 mg diberikan dua kali seminggu, dan klofazimin 100 mg diberikan sebulan sekali di bawah pengawasan.
Pasien akan dibagikan 12 strip obat, dimana setiap strip dihabiskan dalam 28 hari. Walaupun begitu, 12 strip tersebut dapat dihabiskan minimal selama 18 bulan. Pengobatan hari pertama dilakukan dengan pengawasan oleh petugas : kombinasi Klofazimin, Rifampisin, dan Dapson/DDS. Pengobatan hari ke-2 sampai hari ke-28 dilakukan tanpa pengawasan. Obat yang dikonsumsi pada periode ini adalah Klofazimin dan Dapson. Pengonsumsian Klofazimin dapat dilakukan dengan 3 cara : (1) 50 mg/ hari, (2) 100 mg/2 hari, (3) 3x100 mg per 1 minggu. Selama pengobatan dilakukan pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan secara bakterioskopis setiap 3 bulan. Setelah pengobatan selesai, maka disebut RFT ( Release from treatment). Setelah RFT dilakukan tindak lanjut secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama 5 tahun. Apabila negatif, maka dinyatakan bebas dari pengamatan atau RFC ( Release from control ). Namun, yang dilakukan sekarang, apabila secara klinis sudah tidak ada keluhan, maka dapat dihentikan pemberian obat, tanpa memperhatikan bakterioskopis. 2.11.2 Pengobatan Situasi Khusus
1. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi rifampisin (karena efek-samping atau resisten rifampisin). Dilakukan pengobatan selama 24 bulan : -
6 bulan pertama : Setiap hari mengonsumsi 50 mg Clofazimin ditambah dengan dua dari antara (1) Ofloxacin 400 mg, (2) minosiklin 100 mg, dan (3) claritromisin 500 mg
41
-
18 bulan berikutnya : setiap hari konsumsi 50 mg Clofazimin, ditambah dengan 100 mg minosiklin ATAU ofloksasin 400 mg. apabil tersedia, ofloxacin dapat diganti dengan moksifloksasin 400 mg.
2. Pasien yang tidak dapat mengonsumsi klofazimin (efek samping) Dapat diganti dengan ofloksasin 400 mg, atau monisiklin 100 mg, atau moksifloksasin 400 mg dalam regiemen MB 12 bulan. Dapat juga diganti regimen MDT 12 bulan dengan konsumsi rifampisin 600 mg + ofloksasin 400 mg + minosiklin 100 mg setiap bulan selama 24 bulan. 2. Pasien yang tidak dapat konsumsi dapson/DDS Pada regimen pengobatan MB, DDS distop segera. Pada regimen pengobatan PB, klofazimin dapat digunakan untuk menggantikan DDS, dengan dosis yang sama dengan dosis pada regimen pengobatan MB.
2.11.3 Relaps
Risiko relaps dapat terjadi pada pasien dengan IB sebelum pengobatan sebesar >3. WHO menyarankan agar pasien dengan IB yang tinggi dapat diterapi lebih dari 12 bulan, dengan mempertimbangkan kontrol gejala klinis dan bakteriologisnya. Beberapa studi menyebutkan bahwa mengulang regimen secara total dapat menyembuhkan kasus relaps tersebut. Relaps yang lebih sering terjadi adalah relaps sensitif (persisten) dibandingkan dengan relaps resisten. 2.11.4 Pengobatan Reaksi Kusta
1.
Reaksi tipe 1 (reversal) Gejala klinis reaksi reversal adalah sebagian atau seluruh lesi yang telah ada
bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat
Tabel 2.14 Dosis Prednisone Harian Menurut Minggu Pemberian .
Minggu pemberian
Dosis prednisone harian yang dianjurkan
1-2
40 mg
3-4
30 mg
42
5-6
20 mg
7-8
15 mg
9-10
10 mg
11-12
5 mg
Kalau tanpa neuritis, maka tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif juga dapat diberikan. 2.
Reaksi tipe 2 (ENL) Prednison merupakan obat yang paling sering dipakai. Dosis dan lama
pengobatan bergantung kepada derajat keparahan reaksi, namun tidak melebihi 1 mg/kg BB dan 12 minggu. Dapat ditambahkan analgetik-antipiretik dan sedatif. Apabila tidak membaik dengan kortikosteroid, dapat digunakan klofazimin dengan dosis 3x100 mg per hari dengan lama maksimum 12 minggu, dengan tappering menjadi 2 x 100 mg selama 12 minggu dan 1 x 100 mg selama 12-24 minggu. Perlu diperhatian bahwa untuk membaik diperlukan 4-6 minggu untuk klofazimin mengontrol ENL. 2.11.5 Kecacatan
Penderita kusta yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT mempunyai risiko tinggi terjadinya kerusakan saraf. Penderita dengan reaksi kusta terutama reversal juga mempunyai faktor risiko yang lebih tinggi. Kerusakan saraf berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan berkurangnya kekuatan otot. Terdapat keluhan sehari-hari seperti susah memasang kancing baju, memergang pulpen, atau mengambil benda kecil, atau kesulitan berjalan. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan adalah dengan diagnosis dini, mengenali reaksi kusta, identifikasi pasien dengan risiko tinggi.
43
Tabel 2.15 Derajat Kecacatan
Cacat pada tangan dan kaki Tingkat 0
Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
Tingkat 1
Ada
gangguan
sensibilitas
TANPA
kerusakan
atau
deformitas Tingkat 2
Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata Tingkat 0
Tidak ada kelainan/kerusakan
Tingkat 1
Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus sedikit berkurang
Tingkat 2
Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea keruh) dan/atau visus sangat terganggu
Pada pasien tingkat 1 dapat dilakukan langkah pencegahan seperti penggunaan sepatu, karena pada pasien dengan baal di kaki dapat menyebabkan luka-luka yang dapat menyebabkan infeksi sekunder pada kaki. Alat pelindung diri la in yang dapat digunakan juga adalah sarung tangan untuk tangan, dan kacamata untuk melindungi mata. Selain itu, kebersihan dan kelembaban kulit telapak tangan dan kaki juga harus dijaga untuk mencegah penyakit kulit yang dapat terjadi. 2.11.6 Rehabilitasi Sosial, Psikologis, dan Vokasional
Latar belakang sosial dan budaya memainkan peranan penting dalam proses penyakit serta pengobatan yang akan dilalui pasien. Pasien mungkin susah menerima kenyataan dan beberapa kalangan masyarakat mungkin akan menunjukkan penolakan terhadap pasien lepra. Untuk itu, ilmu pengetahuan, kepercayaan dari keluarga, dukungan teman, dokter, serta peranan dokter bedah plastik dalam mengobati lesi-lesi yang mungkin mengarah kepada stigma negatif masyarakat akan berperan penting dalam proses penyembuhan pasien.