D. Tinjauan Pustaka 1. Bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis) a. Klasifikasi Ilmiah Divisi : Spermatophyta Sub-divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub-kelas : Dialypetalae Ordo : Malvales / Columniferae Famili : Malvaceae Genus : Hibiscus Species : Hibiscus rosa-sinensis L.
b. Morfologi Tanaman Bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) merupakan tanaman perdu dengan tinggi 1-4 m. Memiliki daun bertangkai, bulat telur, meruncing, kebanyakan tidak berlekuk, bergerigi kasar, dengan ujung runcing dan pangkal bertulang daun menjari. Daun penumpu berbentuk garis. Tangkai bunga beruas. Bunga berdiri sendiri, berada di ketiak batang, tidak atau sedikit menggantung. Kelopak berbentuk tabung. Daun mahkota bulat telur terbalik dengan panjang sekitar 5,5 -8,5 cm, merah dengan noda tua pada pangkalnya, berwarna daging, oranye, atau kuning. Panjang tabung benang sari kurang lebih sama seperti mahkotanya (Steenis C.G.G.J., 2008). c. Kandungan kimia Daun dan batang mengandung β-sitosterol, stigmasterol, tarakseril
asetat dan 3-siklopropan dan turunannya. Bunga mengandung sianidin
diglukosida, flavonoid dan vitamin, tiamin, riboflavin, niasin dan asam askorbat (Kumar & Singh, 2012). Pada bagian akar te rdapat flavonoid, tanin dan saponin (Hutapea, 2000). Nakamura dkk. (1990) menyebutkan pada bagian calyces dan petals mengandung sianidin-3-sophorosida. d. Kegunaan Bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) banyak ditemukan di Indonesia, biasanya tanaman ini digunakan se bagai tanaman pagar. Namun, fungsi tanaman ini tidak hanya sebatas penghias saja. Tanaman bunga kembang sepatu (Hibiscus rosa-sinensis L.) dipercaya masyarakat 6 dapat menyembuhkan berbagai penyakit, diantaranya adalah anti radang, diuretik dan peluruh dahak (ek spetoran). Terkadang juga digunakan untuk pewarna makanan karena mengandung senyawa pewarna antosianin (Delgado-Vargas & Paredes-Lopez, 2003). LANDASAN TEORI Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan cara ekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani dengan pelarut yang sesuai (Anonim, 1995). Salah satu kriteria ekstrak yang baik yakni ter dapat senyawa aktif, baik secara kuantitas dan kualitas sehingga memiliki aktivitas biologis tinggi. Pemilihan pelarut dalam proses penyarian adalah salah satu faktor yang berpengaruh dalam menghasilkan ekstrak yang baik. Cairan pelarut dalam proses pembuatan ekstrak adalah pelarut yang optimal untuk ekstraksi senyawa aktif, sehingga senyawa tersebut dapat terpisahkan dari bahan dan dari senyawa kandungan lainnya, serta ekstrak yang dihasilkan terkandung sebagian besar senyawa kandungan yang diinginkan (Anonim, 2000b ).
Pelarut yang optimal dapat menyari senyawa aktif dengan baik dan selektif (Anonim, 1986), sehingga ekstrak hasil penyarian memiliki aktivitas yang paling tinggi. Untuk didapatkan komposisi pelarut yang optimal perlu dilakukan suatu proses optimasi. Simplex Lattice Design (SLD) adalah salah satu metode yang umum digunakan dalam proses optimasi di berbagai bidang, beberapa di antaranya adalah dalam bidang, formulasi kimia, serta obat farmasi (Bondari, 2005).2 Komposisi pelarut menentukan efektivitas pelarut dalam melakukan ekstraksi. Jika ekstrak memiliki aktivitas yang tinggi maka ini menunjukkan bahwa pelarut sudah melakukan penyarian secara optimal. Rendemen ekstrak dihitung dengan cara membandingkan jumlah ekstrak yang diperoleh dengan simplisia awal yang digunakan. Rendemen ekstrak dapat digunakan sebagai parameter standar mutu ekstrak maupun parameter efisiensi ekstraksi. Dalam metode SLD terdapat rumusan perhitungan yang dapat menentukan komposisi pelarut optimal untuk ekstraksi, sehingga dihasilkan ekstrak dengan aktivitas paling tinggi dan rendemen yang tinggi. Dengan metode SLD ini, pelarut optimal dapat ditentukan secara teoritis dengan perhitungan matematis, sehingga tidak perlu dilakukan trial and error yang menyita waktu (Bondari, 2005). Optimalnya suatu pelarut dalam menyari ekstrak dapat dilihat dengan melakukan pengujian terhadap aktivitas biologisnya.
Metode perasan adalah