1
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PARAPARESE A. Konsep Teori 1. Defenisi Paraparese adalah kelemahan otot kedua ekstremitas bawah pada fungsi motoric dan sensorik pada segmen torakal, lumbal atau sacral medulla spinalis (Smeltzer & Bare, 2002). Paraplegia adalah cedera saraf tulang belakang yang disebabkan karena kecelakaan yang merusak sensorik dan fungsi motorik di bagian tubuh. Paraplegia mengalami kelumpuhan pada kedua tungkai kaki dan mati rasa pada bagian perut hingga ujung kaki akibat cedera pada sumsum tulang belakang. Para penderita paraplegia juga memiiki masalah lain seperti impotensia, BAK, BAB, selain itu emosional, depresi, dan stres karena mereka tidak bisa berjalan lagi. Perbedaan kuadraplegi, paraplegia, tetraplegia, paralisis dan parese (Smeltzer & Bare, 2002), (Kowalak, 2011). a. Kuadriplegik mengacu pada kehilangan gerakan dan sensasi pada keempat ekstremitas dan badan yang dikaitkan dengan cedera pada medulla spinalis cervikalis. b. Paraplegia mengacu pada kehilangan gerak dan sensasi ekstremitas bawah dan semua atau sebagian badan sebagai akibat cedera pada torakal, lumbal atau sacral. c. Paralisis merupakan hilangnya kekuatan untuk memindahkan tubuh berhubungan dengan injury atau penyakit pada syaraf yang mengatur otot dalam melakukan perpindahan tubuh. d. Plegia yaitu kehilangan kekuatan. e. Paresis yaitu kelemahan yang berarti pada otot yang terkena. f. Paraparese yaitu kelemahan tonus otot pada ekstremitas bawah. g. Tetraparese yaitu kelemahan tonus otot yang melibatkan salah satu segmen servikal medulla spinalis dengan disfungsi kedua lengan dan kedua kaki. 2. Etiologi Penyebab paraparese menurut Smeltzer & Bare (2002) adalah sebagai berikut: a. Faktor trauma tulang belakang, paling banyak terjadi karena jatuh dari ketinggian. b. Faktor infeksi myelin
2
c. Tumor atau neoplasma pada medulla spinalis d. Abses tuberculosa e. Spina bifida thoracoumbal f. Proses degenerasi medulla spinalis. 3. Klasifikasi a. Paraparese spastik: terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN) sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertonus. b. Paraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN) sehingga menyebabkan penurunan tonus otot atau hypotonus.
Gambar 1: Medulla spinalis
4. Patogenesis dan Gejala Klinis
3
Lesi yang terjadi pada medulla spinalis dapat menimbulkan gejala klinis: a. Gangguan fungsi motoric 1) Lesi pada medulla spinalis merusak kornu anterior medulla spinalis sehingga menimbulkan kelumpuhan LMN pada otot-otot yang dipersyarafi oleh kelompok motoneuron ynag terkena lesi dan menyebabkan nyeri punggung yang terjadi secara tiba-tiba. 2) Gangguan motoric dibawah lesi: dapat terjadi kelumpuhan UMN karena jaras
kortikospinal lateral segmen thorakal terputus. Gerakan reflex tertentu yang tidak dikendalikan oleh otak akan tetap utuh atau bahkan meningkat. Misalnya, reflex lutut tetap ada dan bahkan meningkat. Meningkatnya reflex ini menyebabkan kejang tungkai. Reflex yang tetap dipertahankan menyebabkan otot yang terkena menjadi memendek sehingga terjadi kelumpuhan jenis spastik. Otot yang spastik teraba kencang dan keras dan sering mengalami kedutan. b. Gangguan fungsi sensorik Karena lesi total juga merusak kornu posterior medulla spinalis maka akan terjadi penurunan atau hilang fungsi sensitabilitas di bawah lesi. Penderita tidak dapat merasakan adanya rangsangan taktil, rangsang nyeri, rangsang thermal. c. Gangguan fungsi autonomy karena terputusnya jaras ascenden spinothalamicus maka penderita kehilangan kontrol vesika urinaria dan kehilangan kontrol saat defekasi (disfungsi kandung kemoh dan usus). 5. Komplikasi a. Gangguan penghubung dari lokasi pusat hambatan yang lebih tinggi di otak. b. Infeksi dan sepsis dari berbagai sumber meliputi saluran kemih, saluran pernapasan dan decubitus.
6. Penatalaksanaan a. Penanganan awal cedera medulla spinalis, yaitu: 1) Mempertahankan usaha bernapas 2) Mencegah syok 3) Imobilisasi leher (neck collar dan long spine board)
4
4) Selain itu, fokus selanjutnya adalah mempertahankan tekanan darah dan pernapasan, stabilisasi leher, mencegah komplikasi (retensi urine atau alvi, komplikasi kardiovascular atau respiratorik, dan thrombosis vena-vena profunda) b. Penanganan lanjut trauma medulla spinalis dapat dilakukan dengan: 1) Farmakoterapi Pemberian kortikosteroid dosis tinggi, khususnya metilprednisolon, telah ditemukan unruk memperbaiki prognosis dan mengurangi kecacatan bila diberikan dalam 8 jam cedera. 2) Hipotermia Teknik pendinginan atau penyebaran hipotermia ke daerah cedera dari medulla spinalis, untuk mengatasi kekuatan autodestruktif yang mengikuti tipe cedera ini, cara ini keefektifannya masih diselidiki. 3) Tindakan pernapasan Oksigen diberikan untuk mempertahankan PO2 arteri tinggi, karena anoksemia dapat menimbulkan atau memperburuk deficit neurologic medulla spinalis. Intubasi endotrakea diberikan bila perlu, perawatan ekstrem dilakukan untuk menghindari fleksi atau ekstensi leher, yang dapat menimbulkan tekanan pada cidera servikal diaphragma pacing (stimulasi listrik terhadap saraf frenik) dapat dipertimbangkan unituk pasien dengan lesi servikal tinggi tetapi biasanya dilakukan setelah fase akut. 4) Traksi dan Reduksi skelet Penatalaksanaan cidera medulla spinalis memerlukan imobilisasi dan reduksi dislokasi (memperbaiki posisi normal) dan stabilisasi kolum vertebra. 5) Fraktur servikal dikurangi dan spinal servikal disejajarkan dengan beberapa bentuk 6) a) b) c) d)
traksi seklet seperti tong seklet atau callipers, atau dengan menggunakan alat halo. Intervensi pembedahan, pembedahan diindikasikan bila : Deformitas pasien tidak dapat dikurangi dengan traksi Tidak ada kestabilan tulang servikal Cedera terjadi pada daerah toraks atau lumbal Status neurologic pasien memburuk. Pembedahan dilakukan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompresi medulla. Laminektomi (eksisi cabang posterior dan prossesus spinosus vertebra) diindikasikan pada adanya defisit neurologic progresif, dicurigai adanya hematoma epidural, atau cedera penetrasi yang memerlukan debridemen pembedahan,
atau memungkinkan visualisasi langsung dan eksplorasi medulla. Penderita menghadapi ketidakmampuan fisik sepanjang hidup sehingga memerlukan tindak lanjut dan perawatan terus menerus dari professional kesehatan seperti psikiatris, perawat rehabilitasi, ahli terapi okupasi.
5
7. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium b. Hematologi 1) Hemoglobin dapat menurun karena destruksi sum-sum tulang vertebra atau perdarahan. Peningkatan leukosit menandakan selain adanya infeksi juga karena kematian jaringan. 2) Kimia klinik: fungsi pembekuan darah sebelum terapi antikoagulan. 3) Juga dapat terjadi gangguan elektrolit karena terjadi gangguan dalam fungsi 4) 5) 6) 7)
perkemihan dan fungsi gastrointestinal. Radiognostik CT Scan untuk melihat adanya edema, hematoma, iskemia dan infark MRI menunjukkan daerah yang mengalami fraktur, infark hemoragik. Rontgen menunjukkan daerah yang mengalami fraktur dan kelainan tulang.
8. PATHWAY Trauma medulla spinalis, infeksi myelin, trauma medulla spinalis Lesi mendesak medulla spinalis Merusak daerah jaras kortikospinalis lateral Kelumpuhan UMN pada otot-otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi T2-T4: kelumpuhan anggota gerak bawah, hilangnya rasa pada kedua putting susu T5-T8: kelumpuhan pada anggota gerak bagian bawah dan kehilangan rasa pada daerah tulang dada T9-T11: Kelumpuhan pada kaki dan kehilangan rasa pada daerah umbilicus T12-L1: Kelumpuhan pada daerah dibawah paha L2-L5: kelumpuhan pada keldua kaki S1-S2: Kelumpuhan pada kedua kaki S3-S5: Kehilangan kontrol pada kandung kemih dan usus. Kehilangan sensasi pada daerah perineum
6
Hambatan mobilitas fisik Retensi urin Konstipasi Disfungsi seksual Kerusakan Integritas Kulit Ketidakefektifan koping
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN a. Pengkajian 1) Biodata Pasien dan Penanggung Jawab Pasien 2) Keluhan Utama Biasanya didapatkan laporan kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, inkontinensia defekasi dan berkemih 3) Riwayat penyakit saat ini Biasanya terjadi riwayat trauma, pengkajian yang didapat meliputi hilanya sensibilitas, paralisis, ileus paralitik, retensi urine, hilangnya refleks 4) Riwayat penyakit sebelumnya Adanya riwayat infeksi, tumor, cedera tulang belakang, DM, jantung, anemia, obat antikoagulan, alkohol. 5) Riwayat Keluarga Riwayat kelurga dengan penyakit yang sama. 6) Pola fungsional kesehatan a) Aktifitas / Istirahat Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf). b) Sirkulasi Hipotensi, Hipotensi postural, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat. c) Eliminasi Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emesis berwarna seperti kopi tanah /hematemesis. d) Integritas Ego Takut, cemas, gelisah, menarik diri. e) Makanan /cairan f) Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik) g) Higiene Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
7
h) Neurosensori Kesadaran: GCS Fungsi motorik: Kelumpuhan, kelemahan Fungsi sensorik: Kehilangan sensasi / sensibilitas. Refleks fisiologis: Kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Kehilangan tonus otot /vasomotor. Tabel 1: Kekuatan otot (Potter & Perry, 2009) Tingkat Fungsi Otot Tidak ada kontraktilitas Kontraktilitas ringan, tidak ada gerakan Rentang gerak penuh, tanpa gravitasi Rentang gerak penuh, dengan gravitasi Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, terdapat sedikit tahanan Rentang gerak penuh, melawan gravitasi, tahanan penuh
Tingkat 0 1 2 3 4
Skala % Normal 0 10 25 50 75
5
100
Skala Lovett 0 (nol) T (trace/mimimal) P (poor/buruk) F (fair/cukup) G (good/baik) N (normal)
Refleks patologis: reflek patologis ynag sering diperiksa adalah ekstensor plantar respons atau reflek Babinski. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal. i) Nyeri /kenyamanan Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral. j) Pernapasan Pernapasan dangkal, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis. k) Keamanan Suhu yang berfluktuasi, jatuh. 2. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul a. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan b. Retensi Urin berhubungan dengan cedera medulla spinalis c. Konstipasi berhubungan dengan gangguan neurologis d. Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan neurologis e. Ketidakefektifan koping berhubungan dengan ketidakmampuan beradaptif dengan situasi yang dialami.
8
3. Intervensi Keperawatan (Nanda, 2015), NOC (2008), NIC (2004) NO 1
DIAGNOSA Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakmampuan berjalan
TUJUAN Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mampu melakukan mobilisasi secara bertahap dengan kriteria: Joint Movement: Pasien mampu melakukan ROM secara pasif atau aktif dengan melakukan gerakan fleksi, ekstensi, hiperekstensi, abduksi, adduksi, rotasi dalam, rotasi luar, gerakan memutar. Body Mechanics Perfomance: Mempertahankan kekuatan otot yang normal Mempertahankan fleksibilitas sendi yang normal
2
Retensi urin 1. setelah dilakukan tindakan keprawatan berhubungan dengan salaam 3x24 jam diharapkan pasien gangguan neuromuskular dapat mengontrol pola berkemih dengan kriteria: Urinary Elimination Pola eliminasi urun kembali normal seperti semula.
RENCANA KEPERAWATAN Lower Extremity Monitoring 1. Inspeksi hyiene kulit 2. Kaji adanya edema pada ekstremitas 3. Kaji kuku terhadap adanya penebalan jamur 4. Kaji warna kulit, suhu, hidrasi, tekstur 5. Kaji status mobility misalnya berjalan tanpa pendamping, atau menggunakan alat bantu atau tidak bisa berjalan atau menggunakan kursi roda. 6. Inspeksi adanya kelaiann pada tungkai 7. Kaji capilar refill time 8. Kaji reflex tendon Exercise Therapy: Joint Mobiltity 1. Kaji adanya keterbatasan pergerakan sendi dan kekuatan otot pasien 2. Jelaskan kepada pasien dan kelaurga tentang pentingnya latihan 3. Kaji dan pantau areaynag nyeri selama melakukan latihan ROM aktif 4. Lindungi pasien dari cedera selamaalatihan 5. Lakukan ROM paif atau aktif sesuai kemampuan pasien 6. Tentukan jadwal melakukan latihan ROM 7. Libatkan keluarga dalam latihan 8. Kaji respon pasie setelah melakukan latihan ROM 9. Beri pujian setiap tindakan yang dilakuakn pasien. Self care Assistence : Toileting 1. Sediakan alat bantu untuk berkemih (misal : kateter). 2. Monitor integritas kulit pasien terutama di daerah bokong. Urinary Catheterization (0580) 1. Jelaskan prosedur dan rasional dilakukan pemasangan kateter. 2. Siapkan alat alat pemasangan kateter. 3. Pertahankan teknik aseptic. 4. Gunakan kateter yang paling kecil. 5. Hubungkan kateter dengan drainase bag.
9 6. 7.
Amankan atau rekatkan kateter di kulit. Monitor intake dan output.
Tube Care : Urinary (1876) 1. Pertahankan system drainase kateter tertutup. 2. Bersihkan kulit disekitar area pemasangan kateter. 3. Bersihkan saluran kateter bagian luar disekitar meatus. 4. Atur posisi pasien dan saluran kateter untuk meningkatkan drainase urin. 5. Kosongkan urin bag bila penuh. 6. Monitor distensi bladder. 7. Buka kateter sesegara mungkin bila pasien sudah dapat berkemih dengan normal. Urinary Bladder Training 1. Tentukan interval pertama pasien untuk berkemih. 2. Tentukan jadwal untuk memulai dan mengakhiri proses berkemih. 3. Tentukan interval berkemih jika tidak dalam waktu 1 jam lebih baik jika kurang dari 2 jam. 4. Ingatkan pasien untuk berkemih sesuai dengan jadwal yang ditentukan.
3
Konstipasi berhubungan 2. Setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan gangguan selama 3x24 jam Bowel Elimination neuromuscular 1.Pola eliminasi teratur 2.Pasien mengontrol eliminasi bowel 3.konsistensi feces lemberk serta warna feces normal 4.Otot sfingter ani normal seperti semua
Bowel management 1. catat kapan terakhir BAB 2. Kaji pergerakan bowel seperti frekuensi,, konsistensi, volume, warna 3. berikan informasi tentang manfaat makan makanan yang banyak mengandung serat 4. Berikan retal suppositoria 5. Beriakn air hangat setelah makan 6. pastikan cairan yang diminum cukup sesuai kebutihan tubuh
4
Disfungsi seksual berhubungan dnegan gangguan neurologis
Sexual Counseling 1. Diskusika tentang dampak trauma yang dialami terhadap pola seksualiats 2. Dukung pasien dalam menyampaiakn ketakutannya terhadap perasalah seksualitas 3. Gunakan humor atau dukung pasien dengan hal yang lucu untuk mengurangi kecemasan yang dialami
Setelah dilakuakan tindakan keperawatan seama 3x24 jam pasien dapat mempertahankan pola seksualitas yang normal dengan kriteria Sexual Functioning 1.
Menggunakan alata bantu sesuai
10
2. 5
Ketidakefektifan koping berhubungan dnegan ketidakmamapuan beradapatasi dengan situasi yang dialami
kebutuhan Melakukan aktifitas seksual dengan partner seperti sebelumnya.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien dapat memiliki harapan yang positif terhadap truma yang dialami dengan kriteria:
Coping enhancement 1. Kaji pengaruh masalah yang dialmi terhadap situasi pasien saat ini 2. Dukung pasien untuk menjelaskan perubahan peran yang dialami 3. Lakukan pendekatan yang tenang dan terapeutik 4. Dengarkan keluhan pasien secara tenang. Pastiakn untuk tidak memotong pembuicaraan dan bersifat menggurui pasien 5. Dukung pasien untuk mengemukakan harapan nya 6. Dukung pasien untuk mengemukakan kemampouan yang dimiliki. 7. Berikan pujian untuk setiap hal positif yang dikemukakan pasien 8. Libatkan keluarga
4. Implementasi Implementasi dilakukan sesuai intervensi keperawatan berdasarkan prioritas. 5. Evaluasi a. Pasien dapat melakukan aktifitas fisik secacra bertahap dengan alat bantu sampai mandiri b. Kemampuan berkemih secara normal c. Kemampuan defekasi kemmabi normal. d. Fungsi seksual kembali normal e. Pasien dpaat beradapatasi terhadap dampak trauma yang dialamu dan melakukan hal yang positif sesuai kemampuan.
11
Gerakan Range of Motion Menurut Potter & Perry, (2009), ROM terdiri dari gerakan pada persendian sebagai berikut : 1.
Leher, Spina, Servikal Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperektensi Fleksi lateral Rotasi
Penjelasan Menggerakan dagu menempel ke dada, Mengembalikan kepala ke posisi tegak, Menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin, Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh mungkin kearah setiap bahu, Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler,
Rentang rentang 45° rentang 45° rentang 40-45° rentang 40-45°
Penjelasan Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi di atas kepala, Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala, Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin, Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang, Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala, Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh,
Rentang rentang 180°
Penjelasan Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu, Meluruskan siku dengan menurunkan tangan,
Rentang rentang 150°
rentang 180°
2. Bahu Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperektensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar Sirkumduksi
rentang 180° rentang 45-60° rentang 180° rentang 320° rentang 90° rentang 90° rentang 360°
3. Siku Gerakan Fleksi Ektensi
4. Lengan bawah
rentang 150°
12
Gerakan Supinasi Pronasi
Penjelasan Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas, Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan menghadap ke bawah,
Rentang rentang 70-90° rentang 70-90°
5. Pergelangan tangan Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi
Penjelasan Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan bawah, Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan, lengan bawah berada dalam arah yang sama, Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh mungkin, Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari, Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari,
Rentang rentang 80-90°
Penjelasan Membuat genggaman, Meluruskan jari-jari tangan, Menggerakan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin, Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain, Merapatkan kembali jari-jari tangan,
Rentang rentang 90° rentang 90° rentang 30-60°
Penjelasan Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak tangan, menggerakan ibu jari lurus menjauh dari tangan, Menjauhkan ibu jari ke samping, Mengerakan ibu jari ke depan tangan, Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama.
Rentang rentang 90°
rentang 80-90° rentang 89-90° rentang 30° rentang 30-50°
6. Jari- jari tangan Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi
rentang 30° rentang 30°
7. Ibu jari Gerakan Fleksi Ekstensi Abduksi Adduksi Oposisi
8. Pinggul
rentang 90° rentang 30° rentang 30° -
13
Gerakan Fleksi Ekstensi Hiperekstensi Abduksi Adduksi Rotasi dalam Rotasi luar Sirkumduksi
Penjelasan Mengerakan tungkai ke depan dan atas, Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain, Mengerakan tungkai ke belakang tubuh, Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh, Mengerakan tungkai kembali ke posisi media dan melebihi jika mungkin, Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain, Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain. Menggerakan tungkai melingkar
Rentang rentang 90-120° rentang 90-120°
Penjelasan Mengerakan tumit ke arah belakang paha, Mengembalikan tungkai kelantai,
Rentang rentang 120-130° rentang 120-130°
Penjelasan Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas, Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke bawah,
Rentang rentang 20-30°
rentang 30-50° rentang 30-50° rentang 30-50° rentang 90° rentang 90° -
9. Lutut Gerakan Fleksi Ekstensi
10. Mata kaki Gerakan Dorsifleksi Plantarfleksi
rentang 45-50°
11. Kaki Gerakan Inversi Eversi
Penjelasan Memutar telapak kaki ke samping dalam, Memutar telapak kaki ke samping luar,
Rentang rentang 10° rentang 10°
Penjelasan Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, Meluruskan jari-jari kaki, Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain, Merapatkan kembali bersama-sama,
Rentang rentang 30-60° rentang 30-60° rentang 15°
12. Jari-Jari Kaki Gerakan Fleksi Ekstensi Abduksi Adduksi
DAFTAR PUSTAKA
rentang 15°
14
Docthwrman, J. M. & Bulecheck, G. N. (2004). Nursing Interventions Classification. St Louis, Mossouri, Elsevier inc. Herdman, T. H. & Kamitsuru, S. (2015). Diagnosis Keperawatan: Definisi & Klasifikasi. Edisi 10. Jakarta: EGC Kowalak, P. J., Welsh, W., & Mayer, B. (2011). Buku Ajar Patofisologi. Jakarta: EGC Moorhead, S., Jonson, M., Mass, M. L., & Swanson, E. (2008). Classification. Mosby. Elsevier inc
Nursing Outcomes
Potter, P. A. & Perry, G. A. (2010). Fundamental of Nursing. Ed. 7. Volume 2. Singapore. Elsevier Inc Smeltzer, S. C, & Bare, B. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2, Edisi 8. Jakarta: EGC
15