MAKALAH MIKOLOGI Aspergillus flavus
Oleh :
Sulfiah (093204055)
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI 2012
BAB I PENGANTAR TB, asma, kanker paru – paru, dan pneumonia adalah kasus paru – paru yang umum ditemui di rumah-rumah sakit di Indonesia. Masyarakat awam pun relatif familiar dengan penyakit di atas. Namun sebenarnya ada salah satu penyakit paru yang kejadiannya tidak terlalu sering namun kerap terjadi karena terdapat penyakit paru lain yang mendasarinya, yaitu aspergilosis, penyakit infeksi paru akibat jamur. Di antara jutaan jamur di muka bumi ini, jenis Aspergillus sp. paling sering menimbulkan infeksi paru. Jamur ini merupakan jamur rumahan yang sporanya sangat banyak bertebaran di udara dan di dalam rongga pernapasan manusia yang sehat. Pada saat kekebalan tubuh rendah, pertumbuhan jamur akan merajalela dan Aspergillus mampu menginvasi arteri dan vena, sehingga lokasinya bisa menyebar hingga ke seluruh tubuh. Spesies Aspergillus merupakan jamur yang umum ditemukan di materi organik. Meskipun terdapat lebih dari 100 spesies, jenis yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia ialah Aspergillus flavus, Aspergillus niger, Aspergillus fumigatus dan Aspergillus clavatus yang semuanya menular dengan transmisi inhalasi. Umumnya Aspergillus akan menginfeksi paru-paru. Aspergillus dapat menyebabkan banyak penyakit pada manusia, bisa jadi akibat reaksi hipersensitivitas atau invasi langsung. Makalah ini akan membahas tentang Aspergillus flavus yang menyebabkan infeksi pada paru-paru manusia.
BAB II KAJIAN TEORI Aspergillus flavus Klasifikasi: Super kingdom
: Eukaryota
Kingdom
: Fungi
Sub kingdom
: Dikarya
Phylum
: Ascomycota
Subphylum
: Pezizomycotina
Classis
: Eurotiomycetes
Sub classis
: Eurotiomycetidae
Ordo
: Eurotiales
Familia
: Trichocomaceae
Genus
: Aspergillus
Spesies
: Aspergillus flavus
Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus. Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA. Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan. Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium. Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia. Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut
berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar
Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisasisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi. Sifat morfologis Aspergillus flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam. Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang (400-800 μm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al. 2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua.
Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi (grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini.
Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus
Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban sebagai variabel yang paling penting. Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang mengkontaminasi produk agrikultur. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 3538°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80)
dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum pembentukan aflatoksin=0,83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi. Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi
Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus
Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada aw 0,86 dan 0,96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0,80. Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion. Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi. Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang lainya. Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus. Penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan magnesium) dan
unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30°C dengan Rh ≥ 95%. Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O 2 dan N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.
Aflatoksin Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip. Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu. Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis. Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan. Aflatoksin memiliki karakteristik seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Aflatoksin
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina Rumus Molekul Berat Molekul Titik leleh (0C)
B1
C17H12O6
312
B2
C17H14O6
314
268-269 286-289
G1
C17H12O7
328
244-246
G2
C17H14O7
237-240
M1
C17H12O7
330 328
M2
C17H14O7
330
293
299
B2A
C17H14O7
330
240
G2A
C17H14O8
346
190
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan. Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi. Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut: hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA — > demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1, AFG1. Gambar 4. Skema produksi aflatoksin
Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Efek posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil koenzim-A. Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin
secara biologis maupun dalam kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan yang membatasi pertumbuhan. Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan. Kapang-kapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses pelapukan atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi, meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet. Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 5).
Gambar 5. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin
Di Indonesia, aflatoksin sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan. Residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu, telur, dan daging ayam.
Gambar 6. A. flavus pada kacang tanah
Morfologi Dalam media Czapek dox agar, koloni berbentuk granular, datar, awalnya berwarna kuning tapi dengan cepat menjadi hijau gelap kekuningan seiring usia. Kepala konidiofor tipe radial, berdiameter hampir 300 – 400 μm. Konidiofor panjang dan kasar, semakin dekat dengan vesikel akan semakin kasar. Konidia berbentuk bulat atau lonjong (berdiameter 3 – 6 μm), hijau pucat dan terlihat berbentuk echinulate. Beberapa strain memproduksi sclerotia.
Siklus hidup 1.
Mycelium dan Sclerotia Mycelium jamur merupakan struktur yang cukup dominan ditemukan dalam tanah. Sclerotia juga bisa terbentuk yang membuatnya bisa bertahan hidup cukup lama dalam tanah
Gambar 7. Hifa dari A. flavus
2.
Konidiofor Sementara A. flavus masih muda dan bertumbuh, mycelium membentuk banyak konidofor. Konidiofor tumbuh secara tunggal dari badan hifa
Gambar 8. Konidiofor dari A. flavus
3.
Konidia Konidiofor yang matang akan membentuk konidia pada ujungnya. Konidia berbentuk bulat dan unisel dengan dinding yang kasar. Konidia bisa tumbuh, menyebar di udara, menempel pada tubuh serangga, pada tanaman, pada hasil panen.
Gambar 9. Konidia
4.
Mycelia saprofit A. flavus biasanya tumbuh dan hidup sebagai saprofit di dalam tanah. Pertumbuhannya sangat didukung dengan adanya sisa – sisa tanaman dan hewan dalam jumlah besar.
Gambar 10. Diagram infeksi A. flavus
Epidemiologi
Aspergillus
flavus
berbeda, tergantung pada spesies inang. Gambar ke kiri menunjukkan siklus hidup dari jamur pada jagung. Jamur baik sebagai miselium atau sebagai struktur tahan dikenal sebagai sclerotia. Para sclerotia baik berkecambah untuk menghasilkan hifa tambahan atau mereka menghasilkan konidia (spora aseksual), yang dapat tersebar di dalam tanah dan udara. Spora ini dibawa ke telinga jagung oleh serangga atau angin mana mereka berkecambah dan menginfeksi kernel jagung. Tidak seperti kebanyakan
jamur,
Aspergillus
menyukai kondisi kering panas.
Gambar 11. siklus hidup dari Aspergillus flavus pada jagung
flavus
Penyakit yang ditimbulkan 1.
Aflatoxicosis Keracunan akibat aflatoksin yang tertelan mengakibatkan kerusakan hati secara langsung yang diikuti kematian Gejala : Sakit perut
Rasa seperti terbakar
Koma
Demam
Muntah
Batuk
Kanker
2.
Aspergillosis Ada 2 jenis aspergillosis. Salah satunya allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA), kondisi di mana jamur menyebabkan gejala alergi pada sistem pernapasan tapi tidak menginvasi dan menghancurkan jaringan. Jenis aspergillosis
yang
lain
adalah
aspergillosis
invasif,
penyakit
yang
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh manusia. Pada kondisi ini jamur menginvasi ke seluruh tubuh dan merusak jaringan tubuh. Gejala : Demam
Sakit pada bagian dada
Sakit kepala
Nyeri tulang
Menggigil
Kencing berdarah (Hematuria)
Peningkatan
3.
produksi
Penurunan pengeluaran urine
lendir hidung
Meningitis
Batuk
Penglihatan berkurang sampai buta
Sesak nafas
Sinusitis
Penurunan berat badan
Radang pada jantung
Aspergilloma Ini adalah gangguan paru – paru yang paling umum disebabkan oleh A.flavus. Aspergilloma merupakan bola jamur yang berisi mycelia dari A.flavus, yang menyebabkan infeksi sel, fibrin, otot dan jaringan, biasanya menyebabkan lubang pada paru – paru.
Obat yang digunakan 1.
Amphotericin B
Amfoterisin B merupakan antibiotik polyene yang dihasilkan oleh galur Streptomyces nodosus. Obat ini bisa bertindak sebagai fungistatik maupun fungisidal dengan mengikat sterol (misalnya ergosterol) dalam membran sel yang Farmakologi
berujung pada kematian sel. Formulasi yang lebih baru amfoterisin lipid, ternyata sama efektif dengan formulasi lama namun lebih kurang nefrotoksik. Hidrasi yang adekuat bisa mengurangi nefrotoksisitas, dan pasien mentolerir cairan harus diberikan sebelum dan sesudah hidrasi.
Kontraindikasi
Riwayat hipersensitif
Dosis & Cara
Amfoterisin : 0,25 mg/kg BB dengan infusi lambat selama 2-
Pemberian
6 jam. Dosis maksimal 1,5 mg/kg BB per hari. Obat antineoplastik bisa meningkatkan potensi toksisitas ginjal, bronkospasma, dan hipotensi. Kortikosteroid,
digitalis,
dan
tiazid
berpotensi
cidofovir,
pentamidin,
hipokalemia. Siklosporin,
aminoglikosida,
tacrolimus, dan vancomisin bisa meningkatkan risiko Interaksi
toksisitas ginjal. Antifungi azol mengurangi efikasi amfoterisin. Zidovudin
bisa
menambah
nefrotoksisitas
dan
mielotoksisitas. Amfoterisin bisa meningkatkan toksisitas flutikason. Amfoterisin bisa meningkatkan aktivitas daunorubisin dan doksorubisin. Demam, sakit kepala, anoreksia, kehilangan bobot badan, Efek Samping
gangguan
gastrointestinal,
dispepsia, anemia. Nama dagang
Fungizone
malaise,
nyeri
epigastrik,
2.
Itraconazole
Itrakonazol, antifungi sintetik triazol, memiliki aktivitas yang lebih besar melawan Aspergillus dibandingkan dengan flukonazol atau ketokonazol. Obat ini bersifat fungistatik dengan memperlambat pertumbuhan sel jamur melalui inhibisi Farmakologi
cytochrome
P-450–dependent
synthesis
of
ergosterol, suatu komponen vital dalam membarn sel jamur. Formulasi per oral (kapsul, suspensi) biasa dgunakan untuk terapi antifungi jangka panjang. Formulasi kini juga telah tersedia. Karena tidak larut dalam air, suspensi per oral dan intravena
dilarutkan
dengan
hydroxypropyl-beta-
cyclodextrin. Kontraindikasi
Hipersensitif, menyusui, gagal ginjal, gagal ventrikular kiri Kapsul: 200-400 mg/ hari dengan makanan atau cola Infeksi yang mengancam jiwa: 200 mg 3 x sehari untuk 3 hari pertama, selanjutnya 200 mg dua kali sehari Suspensi oral: 200-400 mg/hari saat perut kosong
Dosis & Cara Pemberian
IV: 200 mg dua kali sehari untuk 2 hari, selanjutnya 200 mg/hari Anak: dosisnya belum ada, namun direkomendasikan untuk anak 3-16 tahun, 5-10 mg/kg/ hari per oral untuk profilaksis Aspergillus pada anak dengan chronic granulomatous disease (gunakan suspensi per oral)
Peringatan
Hati-hati penggunaan itrakonazol pada insufisiensi hepatik; pasien dengan factor risiko jantung. Karena menghambat enzim cytochrome P-450 hepatik, maka itrakonazol meningkatkan kadar banyak obat lain; toksisitas jantung serius bisa terjadi saat pemberian bersamaan dengan
Interaksi
cisapride, dofetilide, pimozide, atau kuinidin; mempengaruhi metabolisme
beberapa
obat
golongan
benzodiazepine
sehingga memperpanjang sedasi; pemberian bersamaaan dengan lovastatin atau simvastatin meningkatkan risiko
rhabdomyolysis; monitor kadar siklosporin, takrolimus, dan digoksin (itrakonazol meningkatkan kadar dan perlu dilakukan pengaturan dosis); penyerapan itrakonazol per oral perlu suasana lambung asam (penghambat H2 dan PPI sebaiknya tidak diberikan secara bersamaan). Efek Samping
Nama dagang
3.
Sakit kepala, nyeri abdomen, nausea, pusing, dispepsia, ruam, pruritus, rambut rontok, dan edema. Sporanox, Forcanox, Fungitrazol, Furolnok, Itzol, Nufatrac, Sporacid, Unitrac
Voriconazole
Vorikonazol, digunakan untuk pengobatan primer invasive aspergillosis dan pengobatan penyelamatan dari infeksi spesies Fusarium atau Scedosporium apiospermum. Obat ini Farmakologi
merupakan
antifungi
menghambat
triazol
cytochrome
yang
bekerja
P-450–mediated
dengan
14
alpha-
lanosterol demethylation yang sangat esensial dalam biosintesis ergosterol jamur. Hipersensitif, jangan diberikan dalam bentuk IV dengan CrCl <50 mL/menit (mengurangi eksresi IV); pemberian Kontraindikasi
bersamaan dengan rifampisin, rifabutin, carbamazepin, barbiturat, sirolimus, pimozide, kuinidin, cisapride, atau alkaloid ergot. Pemberian
cara
infusi
dengan
kecepatan
maksimal
3mg/kg/jam selama 1-2 jam. Terapi inisial dengan loading Dosis & Cara
dose: 6 mg/kg IV tiap 12 jam untuk 2 dosis, diikuti dengan
Pemberian
dosis pemeliharaan: 4 mg/kg IV tiap 12 jam. Bila pasien tidak
mampu
menerima
pengobatan,
maka
dosis
pemeliharaan dikurangi hingga 3 mg/kg tiap 12 jam. Penginduksi Interaksi
CYP-450
(misalnya
rifampin)
tampak
menurunkan kadar steady state peak plasma hingga 93%; meningkatkan kadar serum obat yang dimetabolisme oleh
CYP-450 2C19 atau 2C9, yang sebagian diantaranya kontraindikasi ( sirolimus, pimozide, quinidine, cisapride, alkaloid ergot); monitoring yang sering harus dilakukan pada penggunaan
bersama
dengan
siklosporin,
tacrolimus,
warfarin, inhibitor HMG CoA, benzodiazepin, penghambat kanal kalsium. Gangguan penglihatan, demam, kedinginan, sakit perut, Efek Samping
nyeri
abdomen, takikardia, gangguan tekanan darah,
vasodilatasi,
gangguan
gastrointestinal,
halusinasi, pusing, dan ruam. Nama Dagang
Vfend
mulut
kering,
Daftar Pustaka Anonim. 2007. Taxonomy browser (Aspergillus flavus), http://www.ncbi.nlm.nih. gov/Taxonomy/Browser/wwwtax.cgi?id=5059, diakses pada tanggal 6 april 2012. Anonim. 2008. Aspergillosis (Aspergilus). http://www.cdc.gov/nczved/dfbmd/ disease listing/aspergillosis_gi.html, diakses pada tanggal 6 april 2012. Anonim. 2008. Deuteromycetes. mikrobia.files.wordpress.com/2008/05/07-0852.doc, diakses pada tanggal 7 april 2012. Anonim. 2008. Aspergillus flavus. http://pathport.vbi.vt.edu/pathinfo/ pathogens/Af.html, diakses pada tanggal 6 april 2012. Ellis,
D.
2006.
Aspergillus
flavus.
http://www.mycology.adelaide.edu.au
/images/flavus.gif, diakses pada tanggal 6 april 2012. Fekete.
2009.
Conidia
of
Aspergillus
flavus
mold.
http://enfo.agt.bme.hu/drupal/en/node/2780, diakses pada tanggal 7 april 2012. Maryam, R. 2002. Mewaspadai Bahaya Kontaminasi Mikotoksin pada Makanan. http://tumoutou.net/702_04212/romsyah_m.htm, diakses pada tanggal 6 april 2012. Meta. 2009. Deuteromycetes. http://deuteuro4.blogspot.com/, diakses pada tanggal 6 april 2012. Sari. 2009. Fungi. http://princessary.webnode.com/products/fungi/, diakses pada tanggal 7 april 2012.