TUGAS KEPERAWATAN GADAR
VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA Dosen : Ns, Arif Adi S, S.Kep,C.PT
Disusun oleh : Siti Nurjanah A/KP/VI (04.11.2805)
KONSENTRASI INTENSIVE CARE UNIT PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL YOGYAKARTA 2014
LAPORAN PENDAHULUAN VAP (Ventilator-Associated Pneumonia) 1. Pengertian VAP didefinisikan sebagai pneumonia nosokomial yang terjadi setelah 48 jam pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik baik itu melalui pipa endotrakeal maupun pipa trakeostomi. Sedangkan American College of Chest Physicians mendefinisikan VAP sebagai suatu keadaan dimana terdapat gambaran infiltrat baru dan menetap pada foto toraks disertai salah satu tanda yaitu, hasil biakan darah atau pleura sama dengan mikroorganisme yang ditemukan di sputum maupun aspirasi trakea, kavitasi pada foto torak, gejala pneumonia atau terdapat dua dari tiga gejala berikut yaitu demam, leukositosis dan sekret purulen (Ibrahim dkk, 2000). Menurut Fartoukh, 2003 VAP merupakan infeksi nosokomial akibat pemasangan ventilator yang paling sering terjadi di ICU yang sampai sekarang masih menjadi masalah perawatan kesehatan di rumah sakit seluruh dunia. Linch, 1997 dalam Tietjen, 2004 juga menyatakan bahwa pneumonia nosokomial menjadi penyebab kematian tertinggi mencapai 30 % angka mortalitasnya. Sedangkan Schaefer dkk, 1996 dalam Tietjen, 2004 mengungkapkan pasien dengan terpasang ventilator mekanik mempunyai resiko 6-21 kali lebih tinggi untuk terjadi pneumonia nosokomial dari pada pasien yang tidak terpasang ventilator.
Klasifikasi VAP adalah VAP awitan dini (terjadi dalam empat hari pertama pemberian ventilasi mekanis) dan awitan lambat (terjadi 5 hari atau lebih setelah pemberian ventilasi mekanis). Pasien VAP awitan dini prognosisnya lebih baik karena biasanya kuman masih sensitif terhadap antibiotik sedangkan VAP awitan lambat kondisi sakit pasien tampak lebih berat dan prognosisnya lebih buruk karena ada kuman patogen multidrugresistant (MDR). Pasien VAP awitan dini dan pernah mendapat antibiotik dalam 90 hari sebelumnya, berisiko tinggi mengalami kolonisasi dan infeksi kuman MDR hingga terapinya harus dianggap sama dengan pasien VAP awitan lambat. (Kollef dkk, 2005) 2. Etiologi VAP ditentukan berdasarkan 3 komponen tanda infeksi sistemik yaitu demam, takikardi, dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru ataupun perburukan di foto toraks dan penemuan bakteri penyebab infeksi paru. Beberapa kuman ditengarai sebagai penyebab VAP ( Farthoukh dkk, 2003). Bakteri penyebab VAP pada kelompok I adalah kuman gram negative (Enterobacter spp, Escherichia coli, Klebsiella spp, Proteus spp, Serratia marcescens, Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA). Bakteri penyebab kelompok II adalah bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin resistan Staphylococcus
aureus (MRSA). Bakteri penyebab kelompok III adalah Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp dan MRSA (Sirvent, 2003) P. aeruginosa, bakteri patogen yang paling sering ditemukan pada kasus
VAP,
resisten
Resistensinya terhadap
intrinsik piperasilin,
terhadap
berbagai
ceftazidim,
antimikroba.
cefepim,
golongan
karbapenem, aminoglikosida dan fluorokuinolon makin sering dilaporkan di Amerika Serikat. Beberapa isolat bakteri MDR tersebut hanya sensitif terhadap polymixin-B. Klebsiella spp. memiliki resistensi intrinsik terhadap golongan aminopenisilin misalnya ampisilin dan dapat menjadi resisten
terhadap
golongan
sefalosporin
dan
aztreonam
dengan
memproduksi extended-spectrum Blactamases (ESBLs). Bakteri lain yang juga memproduksi ESBL hingga resistensinya terhadap antimikroba juga meningkat adalah golongan E. coli dan Enterobacter spp. (Kollef dkk, 2005) Acinetobacter spp. patogenisitasnya lebih rendah dibandingkan P. aeruginosa tetapi infeksinya menjadi masalah karena meningkatnya resistensi terhadap berbagai antibiotik seperti golongan karbapenem. Antibiotik yang dapat menjadi pilihan pada kondisi tersebut adalah sulbactam. Bakteri MRSA dapat memproduksi penicillinbinding protein yang dapat menurunkan afinitasnya terhadap antibiotik golongan B-laktam tetapi masih cukup sensitif terhadap linezolid. S. pneumoniae dan H. influenzae sering ditemukan pada pasien VAP awitan dini dan biasanya berasal dari masyarakat (community acquired). Umumnya S. pneumoniae
masih sensitif terhadap golongan kuinolon, vankomisin, linezolid dan beberapa obat golongan sefalosporin meskipun mulai terdapat peningkatan temuan resistensi terhadap golongan makrolid, penisilin, sefalosporin, tetrasiklin dan klindamisin. Laporan resistensi H. influenzae terhadap berbagai antibiotik jarang ditemukan. (Ibrahim dkk, 2000) Pendekatan lain untuk mengetahui kuman patogen penyebab VAP adalah dengan mengelompokkannya menjadi tiga golongan yaitu endogen primer, endogen sekunder dan eksogen. Kuman penyebab VAP yang mennginfeksi saat masuk ICU merupakan endogen primer (S. pneumoniae, H. influenzae atau methycillin-sensitive S .aureus-MSSA). Infeksi endogen sekunder awitannya lambat dan terjadi pada pasien dengan kolonisasi bakteri di ICU (P. aeruginosa, Acinetobacter spp. dan atau MRSA). Infeksi eksogen terjadi karena kolonisasi bakteri sebelumnya sehingga penyebabnya sama dengan infeksi endogen sekunder. (Rello J, Paiva JA, Baraibar J, 2001) 3. Klasifikasi Menurut Torres dkk, 2004 berdasarkan derajat penyakit, faktor risiko dan onsetnya maka ada klasifikasi untuk mengetahui kuman penyebab VAP, sebagai berikut : a. Penderita dengan faktor risiko biasa, derajat ringan-sedang dan onset kapan saja selama perawatan atau derajat berat dengan onset dini. Bakteri penyebab : Kuman Gram negative (Enterobacter spp, Escherichia
coli,
Klebsiella
spp,
Proteus
spp,
Serratia
marcescens), Haemophilus influenza, Streptococcus pneumoniae dan Methicillin sensitive staphylococcus aureus (MSSA). b. Penderita dengan faktor risiko spesifik dan derajat ringan-sedang yang terjadi kapan saja selama perawatan. Bakteri penyebab : Semua bakteri penyebab kelompok I ditambah kuman anaerob, Legionella pneumophilia dan Methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA). c. Penderita derajat berat dan onset dini dengan faktor risiko spesifik atau onset lambat. Bakteri penyebab : Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter spp dan MRSA 4. Faktor Resiko Faktor risiko yang mempengaruhi kejadian VAP dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu pejamu , peralatan yang digunakan, dan faktor petugas yang terlibat dalam perawatan pasien. Faktor penjamu disini adalah kondisi pasien yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit dasar dari pasien misalnya penurunan kekebalan, penyakit paru obstruktif kronis, dan sindrom gangguan pernapasan akut. Faktor pejamu lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian VAP adalah posisi tubuh pasien, tingkat kesadaran, jumlah intubasi, dan obat-obatan, termasuk agen obat penenang dan antibiotik (Ernawati, 2006; Agustyne, 2007; Cindy, 2009). Selain dari hal diatas, Ttietjen dalam bukunya juga mencantumkan faktor usia dan status nutrisi sebagai faktor yang dapat berpengaruh terhadap kejadian infeksi nosokomial. Pada keadaan malnutrisi sering dikaitkan
dengan penurunan imunitas sehingga menimbulkan risiko ketergantungan terhadap ventilator, menigkatkan angka kejadian infeksi dan penyembuhan luka yang lama (Wiryana, 2007) Adapun peralatan yang menjadi faktor risiko VAP adalah termasuk selang endotrakeal, sirkuit ventilator, dan adanya selang nasogastrik atau orogastrik (Augustyne, 2007) Sementara faktor risiko VAP yang termasuk kategori petugas yang terlibat dalam perawatan pasien diantaranya kurangnya kepatuhan tenaga kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan, prosedur pemasangan ventilator mekanik, prosedur pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut, dan prosedur penghisapan lendir (suction) (Ernawati, 2006; Agustyne, 2007; Cindy, 2009). Selain itu, dalam satu studi, Torres menyatakan bahwa kontaminasi bakteri sekresi endotrakeal lebih tinggi pada pasien dalam posisi terlentang dibandingkan pada pasien dalam posisi semirecumbent. Apakah karena obat, proses patofisiologi, atau cedera, penurunan tingkat kesadaran yang mengakibatkan hilangnya refleks batuk dan muntah berkontribusi terhadap risiko aspirasi dan oleh karena itu peningkatan risiko untuk VAP ( Schleder, 2003). Reintubasi dan aspirasi selanjutnya dapat meningkatkan kemungkinan VAP 6 kali lipat ( Torres, 1995). 5. Patogenesis Saluran pernapasan normal memiliki mekanisme pertahanan terhadap infeksi seperti glotis dan larings, refleks batuk, sekresi
trakeobronkial, gerak mukosilier, imunitas humoral serta sistem fagositik yaitu makrofag alveolar dan neutrofil. Pneumonia terjadi bila sistem pertahanan tersebut terganggu, terdapat invasi mikroorganisme virulen atau mikroorganisme dalam jumlah sangat banyak. Sebagian besar VAP disebabkan oleh mikroaspirasi kolonisasi kuman pada mukosa orofaring. Intubasi
mempermudah
masuknya
kuman
ke dalam paru serta
menyebabkan kontaminasi dan kolonisasi di ujung pipa endotrakeal. Bronkoskopi serat optik, penghisapan lendir sampai trakea maupun ventilasi manual dapat mendorong kontaminasi kuman patogen ke dalam saluran napas bawah. Enterobacteriaceae umumnya ditemukan di saluran orofaring sedangkan P. aeruginosa lebih sering ditemukan di trakea. Koloni kuman gram negatif sering ditemukan di saluran pernapasan atas saat perawatan lebih dari lima hari. Berbagai peralatan medis seperti alat nebulisasi, sirkuit ventilator atau humidifier juga dapat menjadi sumber infeksi. (Shaw MJ, 2005) Ventilator-associated pneumonia dapat pula terjadi melalui cara lain diantaranya akibat makroaspirasi material/isi lambung pada beberapa pasien meskipun peran saluran cerna sebagai sumber kolonisasi asendens ke daerah orofaring dan trakeal masih menjadi kontroversi. Penelitian terhadap 130 pasien diintubasi menemukan kuman gram negatif dalam trakea 58% pasien yang mendapatkan pengobatan antasid dan antagonis H2 serta 30% pasien yang mendapatkan sukralfat. Sumber patogen lain
meliputi sinus-sinus paranasal, plak gigi, daerah subglotis antara pita suara dan endotracheal tube cuff. (Shaw MJ, 2005) 6. Diagnosis Diagnosis
VAP
ditegakkan setelah menyingkirkan
adanya
pneumonia sebelumnya, terutama pneumonia komunitas (Community Acquired Pneumonia). Bila dari awal pasien masuk ICU sudah menunjukkan gejala klinis pneumonia maka diagnosis VAP disingkirkan, namun jika gejala klinis dan biakan kuman didapatkan setelah 48 jam dengan ventilasi mekanik serta nilai total CPIS > atau = 6, maka diagnosis VAP dapat ditegakkan, jika nilai total CPIS <6 maka diagnosis VAP disingkirkan. (Luna CM,2003) Spesifisitas diagnosis klinis dapat ditingkatkan dengan menghitung clinical pulmonary infection score (CPIS) yang menggabungkan data klinis, laboratorium, perbandingan tekanan oksigen dengan fraksi oksigen (PaO2/FiO2) dan foto toraks (Tabel 5). Skor <6 menyingkirkan diagnosis VAP sedangkan skor lebih tinggi mengindikasikan kecurigaan VAP. Penghitungan CPIS sederhana tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya bervariasi. (Fartoukh M,2003 ; Torres A, 2004; Ioanas M, 2001) Tabel 5. Clinical pulmonary infection score (CPIS) Komponen Suhu 0 C Leukosit per mm3 Sekret tracea
Nilai 36,5 dan ≤ 38,4 38,5 dan ≤ 38,9 39,0 dan ≤ 36,0 4000 dan ≤ 11000 4000 dan 11000 Sedikit
Skor 0 1 2 0 1 0
Oksigenasi PaO2 / FiO2 mmHg
Foto toraks
Sedang Banyak Purulen 240 atau terdapat ARDS ≤ 240 dan tidak terdapat ARDS Tidak ada infiltrat Bercak / infiltrat difus Infiltrat terlokalisir
1 2 +1 0 2 0 1 2
7. Penatalaksanaan Tatalaksana VAP menghadapi tantangan yang besar karena luasnya spektrum klinis pasien, baku emas pemeriksaan yang belum disepakati dan berbagai kendala diagnostik lain. Pemberian antibiotik yang tepat merupakan salah satu syarat keberhasilan tatalaksana VAP. Penentuan antibiotik tersebut harus didasarkan atas pengetahuan tentang mikroorganisme, pola resistensi di lokasi setempat, pemilihan jenis obat berdasarkan pertimbangan rasional, dll. Pemberian antibiotik adekuat sejak awal dapat meningkatkan angka ketahanan hidup pasien VAP saat data mikrobiologik belum tersedia. Sebaliknya, pemberian antibiotik yang inadekuat menyebabkan kegagalan terapi akibat timbulnya resistensi kuman terhadap obat. Pemberian antibiotik yang direkomendasi beserta dosisnya berdasarkan data kuman penyebab dapat dilihat pada Tabel 6. (Ewig E,2002 ; Kollef MH, 2005 ; Afessa B, 2004 ; Chastre J,2002 ; Ibrahim EH,2000)
Tabel 6. Pemberian antibiotika yang direkomendasi sesuai dengan etiologi kuman Mikroba VAP awitan dini, tanpa faktor risiko spesifik Kuman gram negatif (nonpseudomonas) Enterobacter spp Escherichia coli Klebsiella spp Proteus spp Serratia marcescens Haemophilus influenza MSSA Streptococcus pneumoniae VAP awitan lambat Pseudomonas aeruginosa Acinetobacter baumanii
MRSA
Antibiotika Sefalosporin generasi II Nonpseudomonas generasi III atau kombinasi ß laktam Penghambat ß laktamase
Fluorokuinolon atau Klindamisin + aztreonam
Aminoglikosida atau siprofloksasin ditambah : Penisilin antipseudomonas Kombinasi ß laktam penghambat ß laktamase Ceftazidim / cefoperazon Imipenem Aztreonam Linezolid atau vankomisin Dikutip dari Kollef MH,2005
Pasien VAP yang mendapatkan pengobatan awal penisilin antipseudomonas ditambah penghambat ß-laktamase serta aminoglikosida menunjukkan angka kematian lebih rendah dibandingkan dengan pasien yang
tidak
mendapat
antibiotik
tersebut.
Piperasilin-tazobaktam
merupakan antibiotik yang paling banyak digunakan (63%) diikuti golongan fluorokuinolon (57%), vankomisin (47%), sefalosporin (28%) dan aminoglikosida (25%). (Michel F,2005 ; Lambotte O,2002)
Fernandes A, 2002 menyatakan bahwa siprofloksasin sangat efektif pada sebagian besar kuman Enterobacteriaceae, H. influenza dan S. aureus. Pemberian antibiotik dapat dihentikan setelah tiga hari pada pasien dengan kecenderungan VAP rendah (CPIS<6). Pemberian antibiotik intravena secara empiris pada pasien VAP awitan lambat atau memiliki faktor risiko patogen MDR dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Dosis Antibiotika Intravena Pasien VAP Dewasa Awitan Lambat atau Memilki Faktor Risiko MDR Antibiotik Sefalosporin antipseudomonas Cefepim Ceftazidim Karbapenem Imipenem Meropenem Kombinasi ß laktam penghambat ß laktamase Piperasilin-tazobaktam Aminoglikosida Gentamisin Tobramisin Amikasin Kuinolon antipseudomonas Levofloksasin Siprofloksasin Vankomisin Linezolid
Dosis 1 – 2 g tiap 8 – 12 jam 2 g tiap 8 jam 500 mg tiap 6 jam atau 1g tiap 8 jam 1 g tiap 8 jam 4,5 g tiap 6 jam 7 mg/kg/hari 7 mg/kg/hari 20 mg/kg/hari 750 mg tiap hari 400 mg tiap 8 jam 15 mg/kg tiap 12 jam 600 mg tiap 12 jam Dikutip dari Ewig et al.2002
Prinsip penatalaksanaan VAP berdasarkan panduan ATS / IDSA tahun 2004 adalah: tidak menunda terapi yang adekuat tetapi mengoptimalkannya. Pemilihan antimikroba empiris yaitu satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas melawan beberapa kuman patogen sekaligus,
baik bakteri maupun jamur (memiliki daya penetrasi yang baik terhadap sumber infeksi, mengacu pada pola kepekaan kuman yang ada di rumah sakit ataupun masyarakat, melanjutkan pemberian obat antimikroba berspektrum luas sampai diketahui pasti mikroorganisme penyebab dan kepekaannya terhadap antimikroba tersebut), mempersingkat terapi menjadi masa terapi efektif minimal untuk memperkecil kejadian resistensi serta menerapkan strategi pencegahan (preventif) dengan mengetahui faktor risiko yang ada.( Ewig et al, 2002) Awalnya penatalaksanaan VAP dilakukan berdasarkan prinsip terapi eskalasi (escalation therapy) yaitu memulai terapi dengan satu jenis antibiotik misalnya sefalosporin generasi ketiga selanjutnya meningkatkan terapi dengan pemberian antibiotik lain yang memiliki spektrum lebih luas misalnya golongan fluorokuinolon atau karbapenem bila pemeriksaan mikrobiologi
menunjukkan
resistensi
kuman
terhadap
antibiotik
sebelumnya atau bila kondisi klinis pasien memburuk. (Ibrahim EH,2001 ; Ewig E,2002 ; Kollef MH,2005 ; Rello J,2003) Saat ini dikenal prinsip terapi de-eskalasi yaitu strategi pemberian antibiotik adekuat (poten) sejak awal terapi kepada pasien yang memiliki faktor risiko tinggi, dengan menghindari penggunaan antibiotik kurang tepat yang dapat memicu timbulnya resistensi. Strategi tersebut dilakukan dengan memberikan terapi inisial tidak lebih dari empat jam sejak pasien dirawat di ICU dengan antibiotik berspektrum luas dan dosis tinggi untuk menurunkan mortalitas, mencegah disfungsi organ dan mempersingkat
lama perawatan di rumah sakit serta mengoptimalkan terapi de-eskalasi untuk meminimalkan resistensi dan meningkatkan cost-effectiveness. (Buisson CB, 2003 ; Chastre J,2002) Penilaian respons terapi harus dilakukan dengan hati-hati. Respons klinis dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya faktor pasien (usia, penyakit komorbid), faktor bakteri (pola virulensi dan resistensi kuman terhadap antimikroba) dan faktor lain yang mungkin terjadi selama episode VAP. Perbaikan klinis biasanya baru terjadi setelah 48-72 jam terapi sehingga antibiotik yang diberikan tidak boleh diganti dalam waktu tersebut kecuali bila terdapat perburukan progresif atau hasil pemeriksaan mikrobiologi menunjukkan hasil yang tidak sesuai. Penilaian respons terapi juga dapat dilakukan dengan melihat parameter lain misalnya pemeriksaan hasil laboratorium darah serial (hitung sel darah putih, oksigenasi, dll), foto toraks serial, pemeriksaan mikrobiologi spesimen saluran napas serial, CPIS serial, dll. (Ewig E,2002 ; Afessa B, 2004 ; Marik PE,2004) Terapi antibiotik empirik dapat dimodifikasi berdasarkan penilaian berbagai parameter tersebut. Modifikasi perlu dilakukan bila ditemukan kuman resisten/tidak diharapkan pada pasien yang menunjukkan respons terapi kurang baik. Terapi de-eskalasi dapat dilakukan pada pasien yang menunjukkan respons baik dan lebih difokuskan pada antibiotik tertentu bila
mikroorganisme
yang
dikhawatirkan
(P.
aeruginosa
atau
Acinetobacter spp.) tidak ditemukan pada pemeriksaan mikrobiologi atau
mikroorganisme masih sensitif terhadap antibiotik golongan lebih rendah. Pasien yang tidak menunjukkan respons baik perlu dievaluasi untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi lain yang menyerupai pneumonia (atelektasis, gagal jantung kongestif, emboli paru, kontusio/trauma paru), mikroorganisme yang resisten terhadap obat, infeksi organ lain/ekstraparu serta komplikasi pneumonia dan terapinya (empiema torasis, abses paru, kolitis, dll). (Ewig E,2002 ; Afessa B, 2004 ; Marik PE,2004) 8. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan fungsi paru paru: volume makin menurun ( kongesti dan kolaps alveolar) : tekanan saluran udara meningkat dan kapasitas pemenuhan udara menurun, hipoksemia. b. Analisis gas darah ( analysis blood gasses –ABGS) dan pulse oximetry : Abnormalitas mungkin timbul tergantung dari luasnya kerusakan paru –paru. c. Sinar x :
mengidentifikasi
distribusi
struktural;
dapat
juga
menyatakan abses luas/infiltrat, empiema(stapilococcus); infiltrasi menyebar atau terlokalisasi (bakterial); atau penyebaran /perluasan infiltrat nodul (virus). d. Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah :
diambil
dengan
biopsi jarum, aspirasi transtrakeal, bronkoskopifiberotik atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. e. Periksa darah lengkap : untuk mengetahui kadar leukosit dalam tubuh.
9. Pencegahan VAP Meskipun VAP memiliki beberapa faktor risiko, intervensi keperawatan banyak berperan dalam mencegah kejadian VAP. Ada dua cara pencegahan (Wiryana, 2007): a. Tindakan pencegahan kolonisasi bakteri di orofaring dan saluran pencernaan. Tindakan keperawatan yang perlu dilakukan antara lain : 1) Mencuci tangan Selalu mencuci tangan selama 10 detik harus dilakukan sebelum dan setelah kontak dengan pasien. Selain itu, sarung tangan harus dipakai bila kontak dengan atau endotrakeal sekresi oral (Porzecanski, 2006). 2) Suction Suction endotrakeal merupakan prosedur penting dan sering dilakukan untuk pasien yang membutuhkan ventilasi mekanis. Prosedur ini dilakukan untuk mempertahankan patensi jalan napas,
memudahkan
penghilangan
sekret
jalan
napas,
merangsang batuk dalam, dan mencegah terjadinya pneumonia (Smeltzer, 2002). 3) Oral dekontaminasi Oral dekontaminasi atau perawatan mulut juga merupakan salah satu tindakan mengurangi jumlah bakteri dalam rongga mulut pasien. yang dapat dilakukan dengan intervensi mekanis
dan farmakologis. Intervensi mekanik termasuk menyikat gigi dan pembilasan dari rongga mulut untuk menghilangkan plak gigi. Adapun intervensi farmakologis melibatkan penggunaan antimikroba ( Luna, 2003). Penggunaan antibiotik profilaksi sistemik tidak menurunkan kejadian VAP dan ketika agen-agen yang digunakan tidak tepat, dapat mengembangkan resistensi antibiotik (Mandell, 2007). 4) Perubahan posisi tidur Rutin mengubah pasien minimal setiap dua jam dapat meningkatkan drainase paru dan menurunkan resiko VAP. Penggunaan tempat tidur mampu rotasi lateral terus menerus dapat
menurunkan
kejadian
pneumonia
tetapi
tidak
menurunkan angka kematian atau durasi ventilasi mekanis (Pineda dkk, 2006).
b. Tindakan pencegahan untuk mencegah aspirasi ke paru-paru. Selain strategi untuk mencegah kolonisasi, strategi untuk mencegah aspirasi juga dapat digunakan untuk mengurangi risiko VAP. Strategi tersebut meliputi :
1) Menyapih dan ekstubasi dini Karena
adanya
suatu
selang
endotrakeal
merupakan
predisposisi pasien VAP, oleh karena itu pasien harus diobservasi setiap hari. Jika memungkinkan menyapih dan ekstubasi lebih dini dari ventilasi mekanis lebih dianjurkan (Wiryana, 2007). 2) Posisi semifowler Memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30° sampai 45° mencegah refluks dan aspirasi bakteri dari lambung ke dalam saluran napas. Cukup mengangkat kepala 30° tempat tidur dapat menurunkan VAP sebesar 34% (AACN, 2007). 10. Diagnosa Keperawatan a) Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan peningkatan produksi sekret b) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan sekresi tertahan, proses penyakitnya c) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan, pengesetan
ventilator
yang
tidak
tepat,
obstruksi
selang
endotracheal d) Cemas berhubungan dengan penyakit kritis, takut terhadap kematian e) Gangguan pemenuhan komunikasi verbal berhubungan dengan pemasangan selang endotracheal f) Resiko tinggi terjadinya infeksi saluran nafas berhubungan dengan
pemasangan selang endotracheal g) Resiko tinggi terjadinya trauma atau cedera berhubungan dengan ventilasi mekanis, selang endotracheal, ansietas, stress h) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan ventilasi mekanis, letak selang endotracheal i) Kerusakan
mobilitas
fisik
yang
berhubungan
dengan
ketergantungan ventilator j) Koping individu tidak efektif dan ketidakberdayaan yang berhubungan dengan ketergantungan pada ventilator.
ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian 1.
Hal-hal yang perlu dikaji pada pasien yang mendapat nafas buatan dengan ventilator adalah: 1) Biodata Meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, agama, alamt, dll. Pengkajian ini penting dilakukan untuk mengetahui latar belakang status sosial kebudayaan
dan
keyakinan
spritual
ekonomi, adat
pasien,
sehingga
mempermudah dalam berkomunikasi dan menentukan tindakan keperawatan yang sesuai. 2) Riwayat penyakit/riwayat keperawatan Informasi mengenai latar belakang dan riwayat penyakit yang sekarang dapat diperoleh melalui oranglain (keluarga, tim medis lain) karena kondisi pasien yang dapat bentuan ventilator tidak mungkin untuk memberikan data secara detail. Pengkajian ini ditujukan untuk mengetahui kemungkinan penyebab
atau
faktor
pencetus
terjadinya
gagal
nafas/dipasangnya ventilator. 3) Keluhan Untuk mengkaji keluhan pasien dalam keadaan sadar baik, bisa dilakukan dengan cara pasien diberi alat tulis untuk menyampaikan keluhannya. Keluhan pasien yang perlu dikaji
adalah rasa sesak nafas, nafas terasa berat, kelelahan dan ketidaknyamanan. 2. Sistem pernafasan a) Setting ventilator meliputi: 1) Mode ventilator
CR/CMV/IPPV (Controlled Respiration/Controlled Mandatory
Ventilation/Intermitten
Positive
Pressure Ventilation)
SIMV
(Syncronized
Intermitten
Mandatory
Ventilation)
ASB/PS (Assisted Spontaneus Breathing/Pressure Suport)
CPAP (Continous Possitive Air Presure)
2) FiO2: Prosentase oksigen yang diberikan 3) PEEP: Positive End Expiratory Pressure 4) Frekwensi nafas b) Gerakan nafas apakah sesuai dengan irama ventilator c) Expansi dada kanan dan kiri apakah simetris atau tidak d) Suara nafas: adalah ronkhi, whezing, penurunan suara nafas e) Adakah gerakan cuping hidung dan penggunaan otot bantu tambahan f) Sekret: jumlah, konsistensi, warna dan bau g) Humidifier: kehangatan dan batas aqua
h) Tubing/circuit ventilator: adakah kebocoran tertekuk atau terlepas i) Hasil analisa gas darah terakhir/saturasi oksigen j) Hasil foto thorax terakhir 3. Sistem kardiovaskuler Pengkajian kardiovaskuler dilakukan untuk mengetahui adanmya gangguan hemodinamik yang diakibatkan setting ventilator (PEEP terlalu tinggi) atau disebabkan karena hipoksia. Pengkajian meliputi tekanan darah, nadi, irama jantung, perfusi, adakah sianosis dan banyak mengeluarkan keringat. 4. Sistem neurologi Pengkajian meliputi tingkat kesadaran, adalah nyeri kepala, rasa ngantuk, gelisah dan kekacauan mental. 5. Sistem urogenital Adakah penurunan produksi urine (berkurangnya produksi urine menunjukkan adanya gangguan perfusi ginjal) 6. Status cairan dan nutrisi Status cairan dan nutrisi penting dikaji karena bila ada gangguan status nutrisi dn cairan akan memperberat keadaan. Seperti cairan yang berlebihan dan albumin yang rendah akan memperberat oedema paru. 7. Status psycososial
Pasien yang dirawat di ICU dan dipasang ventilator sering mengalami
depresi
mental
yang
dimanifestasikan
berupa
kebingungan, gangguan orientasi, merasa terisolasi, kecemasan dan ketakutan akan kematian. B. Intervensi Keperawatan Intervensi keperawatan gawat darurat pada pasien Ventilato Associated Pneumonia antara lain, adalah : 1. Kaji faktor penyebab dari situasi / keadaan individu / penyebab infeksi pada paru dan faktor resiko terjadinya pneumonia nosokomial R/ deteksi dini untuk memprioritaskan intervensi, menkaji status neurologi untuk menentukan perawatan kegawatan. 2. Lakukan triase (CABD) a. Circulation Keringat dingin, hipotermi, hipertermi, nadi lemah, tekanan darah menurun. b. Airway Kaji adanya sumbatan jalan napas. Terjadi karena penumpukan sputum. c. Breathing Kaji nilai pernapasan, sianonis. d. Disability
Kaji penurunan kesadaran. Terjadi karena suplai nutrisi ke otak kurang. 3. Lakukan suction R/ untuk mempertahankan patensi jalan napas, memudahkan penghilangan sekret jalan napas. Tekanan penghisapan tidak lebih 100-200 mmHg. Auskultasi bunyi nafas setelah penghisapan. 4. Mempertahankan humidifer dan suhu ventilator (35 – 37 0C) R/ Humidifikasi dengan cara ventilator dipertahankan untuk membantu pengenceran sekresi sehingga sekresi lebih mudah dikeluarkan. 5. Lakukan perawatan mulut atau perawatan trakeostomi R/ mengurangi jumlah bakteri dalam rongga mulut pasien atau pada trakeostomi. 6. Mempertahankan Posisi semifowler R/ Memberikan posisi pasien dalam posisi semifowler dengan kepala tempat tidur ditinggikan 30° sampai 45° mencegah refluks dan aspirasi bakteri dari lambung ke dalam saluran napas. 7. Periksa AGD 10-30 menit setelah pengesetan ventilator atau setelah adanya perubahan ventilator R/ AGD diperiksa sebagai evaluasi status pertukaran gas; menunjukkan konsentrasi O2 & CO2 darah. 8. Monitor tanda hipoksia dan hiperkapnea R/ Hipoksia dan hiperkapnea ditandai adanya gelisah dan
penurunan kesadaran, asidosis, hiperventilasi, diaporesis dan keluhan sesak meningkat. 9. Berikan
antibiotik
:
penisilin
antipseudomonas
ditambah
penghambat ß-laktamase serta aminoglikosida R/ pengobatan awal untuk menurunkan angka kematian. Pemberian antibiotik dapat dihentikan setelah tiga hari pada pasien dengan kecenderungan VAP rendah (CPIS<6). Terapi awal dapat diberikan pada semua penderita secara intravena dan ditukar secara oral bila penderita sudah memberikan respon klinis yang baik dan berfungsinya traktus intestinal. 10. Monitor selang / cubbing ventilator dari terlepas , terlipat, bocor atau tersumbat. R/ Mewasdai jika terjadi berkurangnya aliran udara napas. 11. Perubahan posisi tidur R/ Rutin mengubah pasien minimal setiap dua jam dapat meningkatkan drainase paru.
C. Evaluasi Hasil yang diharapkan dari asuhan keperawatan yang diberikan antara lain: 1) Menunjukkan pertukaran gas, kadar gas darah arteri, tekanan arteri pulmonal dan tanda-tanda vital yang adekuat. 2) Menunjukkan ventilasi yang adekuat dengan akumulasi lendir yang minimal.
3) Bebas dari cedera atau infeksi yang dibuktikan dengan suhu tubuh dan jumlah sel darah putih. 4) Dapat aktif dalam keterbatasan kemampuan. 5) Berkomunikasi secara efektif melalui pesan tertulis, gerak tubuh atau alat komunikasi lainnya. 6) Dapat mengatasi masalah secara efektif
DAFTAR PUSTAKA Doenges ME, Moorhouse MF, and Geissler AC. (1999). Nursing care plans. Guidelines for planning and documenting patient care. (3rd ed). Philadelphia: F.A Davis Company. Diakses 28 September 2014 dari http://noviandryani.blogspot.com/2011/11/askep-klien-dengan-ventilasi-mekanik.html Ewig E, Bauer T, Torres A. The pulmonary physician in critical care: nosocomial Pneumonia. Thorax 2002; 57:366-71. Diakses 27 September 2014 dari http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel06.pdf Fartoukh M, Maitre B, Honore S, Cerf C, Zahar JR, Buisson CB. Diagnosing pneumonia during mechanical ventilation. Am J Respir Crit Care Med 2003; 168:173-9.
Diakses
27
September
2014
dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl-dewisuprap-6104-2babii.pdf Ibrahim EH, Tracy L, Hill C, Fraser VJ, Kollef MH. The occurrence of ventilatorassociated pneumonia in a community hospital. Chest 2001; 120:555-61. Diakses
27
September
2014
dari
http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel06.pdf Kollef MH. The prevention of ventilatorassociated pneumonia. N Engl J Med 2005;
340:627-34
Diakses
27
September
2014
dari
http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel06.pdf Luna CM, Blanzaco D, Niederman MS, Matarucco W, Baredes NC, Desemery P, et al. Resolution of ventilator-associated pneumonia: prospective evaluation of the clinical pulmonary infection score as an early clinical predictor of outcome. Crit Care Med 2003; 31:676-82. Diakses 27 September 2014 dari http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl-dewisuprap-6104-2babii.pdf Sirvent JM, Vidaur L, Gonzalez S, Castro P, Batlle J, Castro A, et al., Microscopic
examination
of
intracellular
organisms
in
protected
bronchoalveolar mini-lavage fluid for the diagnosis of ventilator-associated pneumonia. Chest 2003; 123:518-23. Diakses 27 September 2014 dari http://www.majalahfk.uki.ac.id/assets/majalahfile/artikel/2010-01-artikel06.pdf Torres A, Ewig S. Diagnosing ventilatorassociated pneumonia. N Engl J Med 2004;
350:433-5.
Diakses
27
September
2014
dari
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/123/jtptunimus-gdl-dewisuprap-6104-2babii.pdf http://asuhankeperawatanonline.blogspot.com/2012/02/asuhan-keperawatan-padapasien-dengan_1306.html diakses 27 september 2014
http://cloteh-heri.blogspot.com/2013/11/asuhan-keperawatan-kegawatdarutatan.html diakses 27 september 2014
http://novi-andryani.blogspot.com/2011/11/askep-klien-dengan-ventilasimekanik.htm diakses 27 september 2014