BAB I PENDAHULUAN 1.1.Pendahuluan
Osteoarthritis menurut American College of Rheumatology Rheumatology merupakan sekelompok kondisi heterogen yang mengarah kepada tanda dan gejala sendi. Osteoarthritis merupakan penyakit degenerative dan progresif yang mengenai dua per tiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan prevalensi 60,5% pada pria dan 70,5% pada wanita. Seiring bertambahnya jumlah kelahiran yang mencapai usia per-tengahan dan obesitas serta peningkatannya dalam populasi masyarakat osteoarthritis akan berdampak lebih buruk di kemudian hari. Karena sifatnya yang kronik progresif, osteoarthritis berdampak sosio ekonomik yang besar di Negara maju maju dan di Negara berkembang. berkembang. Penyakit ini ditandai oleh adanya abrasi rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru yang irregular pada permukaan persendian. Nyeri menjadi gejala utama terbesar pada sendi yang mengalami osteoarthritis. Rasa nyeri diakibatkan setelah melakukan aktivitas dengan penggunaan sendi dan rasa nyeri dapat diringankan dengan istirahat. Trauma dan obesitas dapat meningkatkan resiko osteoarthritis. Namun baik penyebab maupun pengobatannya belum sepenuhnya diketahui. Penyakit ini menyebabkan nyeri dan disabilitas pada pasien sehingga mengganggu aktifitas sehari-hari dan menimbulkan dampak sosial ekonomi yang berat. Orang lanjut usia di Indonesia yang menderita cacat karena osteoarthritis diperkirakan mencapai dua juta. Prevalensi osteoarthritis usia 49-60 tahun di Malang mencapai 21,7%, yang terdiridari 6,2% laki-lakidan 15,5% perempuan. Insidensi osteoarthritis meningkat seiring dengan usia dengan adanya bukti pada gambaran fotopolos. Insidensi osteoartritis di Amerika pada usia 18-24 tahun, 7% lakilakidan 2% perempuan menggambarkan osteoarthritis pada tangan. Pada usia 55-64 tahun, 28% laki-laki dan perempuan terkena osteoarthritis lutut dan 23% osteoarthritis panggul. Pada usia antara 65-74, 39% laki-laki dan perempuan menggambarkan osteoarthritis pada lutut dan 23% menggambarkan osteoarthritis pada panggul. Pada usia diatas 75 tahun, sekitar 100% laki-laki dan perempuan mempunyai gejala-gejala osteoartritis. Kejadian osteoartritis di Norwegia pada tahun 2008, 80% berusia lebih dari 55 tahun. Angka keseluruhan prevalensi osteoartritis di Norwegia adalah 12,8% dan lebih tinggi pada perempuan (14,7%)
di banding laki laki (10,5%). Prevalensi osteoarthritis panggul adalah 5,5%, osteoarthritis lutut 7,1% dan osteoarthritis tangan 4,3%. (pratiwi, 2015)
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Oesteoartritis
Osteoatritis merupakan gangguan pada sendi yang bergerak, gangguan ini dapat ver-sifat kronik, berjalan progresif lambat, tidak meradang yang seakan-akan proses penuaan dari rawan sendi yang mengalami kemunduran atau degenerasi disertai dengan pertumbuhan tulang baru permukaan persendian (Carter, 1995). Penyebab pasti belum jelas di ketahui, namun berikut ini faktor predisposisi yang dapat mengakibatkan osteoatritis lutut: umur, gangguan mekanik, kecacatan genu valgus atau genu varus, kegemukan, penyakit endo-krin, penyakit sendi lain, jenis kelamin. (M.Irfan, 2006)
Osteoartritis adalah suatu kelainan sendi kronis dimana terjadi proses pelemahan dan disintegrasi dari tulang rawan sendi yang disertai dengan pertumbuhan tulang dan tulang rawan baru pada sendi. Kelainan ini merupakan suatu proses degeneratif pada sendi yang dapat mengenai satu atau lebih sendi. Di Indonesia, prevalensi osteoartritis mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun, dan 65% pada usia >61 tahun.5 Untuk osteoartritis lutut prevalensinya cukup tinggi yaitu 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. (pratiwi, 2015) Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki angka kejadian penyakit rematik yang cukup tinggi. Data dari Riskesdas pada tahun 2007, prevalensi penderita penyakit rematik di Sumatera Barat menduduki peringkat ketujuh di Indonesia dan berada diatas rata – rata prevalensi nasional yakni mencapai 33%.6
(Mutiwara, Najirman, &
Afriwardi, 2016)
Diagnosis osteoartritis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan gambaran radiologis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik terhadap pasien osteoartritis lutut biasanya memberikan keluhan - keluhan yang sudah lama tetapi berkembang secara perlahan – lahan seperti nyeri sendi yang merupakan keluhan utama pasien datang ke dokter, hambatan gerak sendi, kaku pagi, krepitasi, pembesaran sendi (deformitas) dan perubahan gaya berjalan. (Mutiwara, Najirman, & Afriwardi, 2016)
Gambaran berupa penyempitan celah sendi yang asimetris, peningkatan densitas tulang subkondral, kista tulang, osteofit pada pinggir sendi dan perubahan anatomi sendi dapat ditemukan pada pemeriksaan radiologi.7 Perubahan – perubahan yang terlihat pada gambaran radiologis osteoartritis lutut dikelompokkan menjadi lima derajat oleh Kell gren dan Lawrence berdasarkan adanya osteofit, penyempitan ruang sendi dan adanya sklerosis tulang subkondral. (Mutiwara, Najirman, & Afriwardi, 2016) Adanya nyeri akan menyebabkan otot sekitar sendi lutut khususnya quadriceps, hamstrings dan illiotibial band akan menjadi spasme dan lemah. Kelemahan ini dapat me-nyebabkan terjadinya ketidakseimbangan dan kelainan pada struktur persendian akibatnya persendian menjadi tidak stabil sehingga mudah terjadi cidera atau trauma yang akhirnya akan menyebabkan nyeri. Pada Osteoarthritis juga akan terjadi gangguan sirkulasi lokal yaitu adanya penuru-nan mikrosirkulasi, yang menyebabkan penum-pukan sisa metabolisme yang juga akan me-nimbulkan nyeri. Pada saraf yang teriritasi akan terjadi hipersensitifitas saraf simpatis yang me-rangsang terjadinya vasokonstriksi pembuluh kapiler, hal ini juga berakibat tertumpuknya sisa metabolisme yang berlanjut dengan timbulnya iritasi serta menyebabkan nyeri. (Suriani & Lesmana, 2013)
2.2 Etiologi
Penyebab dari OA untuk sekarang masih belum jelas tetapi faktor resiko OA dapat diketahui dari: a. Umur Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoarthritis faktor ketuaan adalah yang terkuat (Soeroso, 2007). Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. (Nurarif & Kusuma, 2015) b. Jenis kelamin Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis. ( Soeroso, 2006 )
c. Ras/ suku Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan Asia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli (Indian) dari pada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan. (Soeroso J. et all, 2007). d. Faktor keturunaan Faktor herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis. (Soeroso, 2007) e. Berat badan Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula). Pada kondisi ini terjadi peningkatan beban mekanis pada tulang dan sendi (Soeroso, 2007). f. Riwayat trauma Trauma pada suatu sendi yang terjadi sebelumnya, biasa mengakibatkan malformasi sendi yang akan meningkatkan resiko terjadinya osteoartritis. trauma berpengaruh terhadap
kartilago
artikuler,
ligamen
ataupun
menikus
yang
menyebabkan
biomekanika sendi menjadi abnormal dan memicu terjadinya degenerasi premature. (Shiddiqui, 2008). Kelainan yang dapat ditemukan pada tulang rawan sendi, tulang, membran synofial, kapsul sendi, badan lepas (loos bodies), efusi, nodus heberden dan bouchard. (Chairuddin, 2003). Klasifikasi
Osteoporosis diklasifikasikan menjadi (yuliana elin,2009): 1. Tipe primer ( indiopatik) tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan osteoatritis 2. Tipe sekunder seperti akhibat trauma,infeksi dan pernah fraktur. (Nurarif & Kusuma, 2015)
2.4 Manifestasi klinis
1. Nyeri sendi, keluhan utama, dan cenderung memiliki onset yang perlahan. 2. Hambatan gerak sendi, gangguan ini biasanya semakin berat dengan pelan-pelan, sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. 3. Nyeri bertambah dengan aktifitas, membaik dengan istirahat, terasa paling nyeri pada akhir hari, dan seiring dengan memburuknya penyakit, menjadi semakin parah, sampai pada tahap dimana pergerakan minimal saja sudah menimbulkan rasa nyeri dan bisa mengganggu tiduir. 4. Kekakuan paling ringan pada pagi hari namun terjadi berulang-ulang sepanjang hari dengan periode istirahat. 5. Krepitasi rasa gemerepak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit. 6. Pembesaran sendi (deformitas) 7. Perubahan gaya berjalan 8. Tanda-tanda peradangan, tanda-tanda peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemeraahan). (Nurarif & Kusuma, 2015) 2.5 Penatalaksanaan
Pengelolaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA yang di derita. Penatalaksanaan OA terbagi atas tiga hal yaitu: 1. Terapi Non-Farmakologis a. Edukasi Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar persediaannya akan terpakai. b. Terapi fisik atau rehabilitasi Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat di pakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. c. Penurunan Berat Badan Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat OA. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila berat badan berlebih.
2. Terapi farmakologis Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul, mengkoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi. a. Obat antinflamasi non steroid (AINS), inhibitor siklooksigenase-2 (COX2), dan Asetaminofen. Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS dan inhibitir (COX-2) dinilai lebnih efektif dari pada penggunaan Asetaminofen. Namun karena resiko toksisitas obat AINS lebih tinggi dari pada Asetaminofen, Asetominofen tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara laon untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara mengombinasikannya dengan menggunakan inhibitor COX-2. b. Chondroproective Agent Chondroproective Agent adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan dari kartilogo pada pasien OA. Obat-obatan yang termasuk dalam obat ini adalah: tetrasiklin, asamhialuronat, kondroitin sulfat, glikosominoglikan, vitamin c dsb 3. Terapi Pembedahan Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil, untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktifitas sehari-hari. 2.6 Patofisiologi
Perubahan yang terjadi pada Oste-oarthritis adalah ketidakrataan rawan sendi disusul ulserasi dan hialngnya rawan sendi sehingga terjadi kotak tulang dengan tulang dalam sendi disusul dengan terbentuknya kista subkodral,osteopit pada tepi tulang dan reaksi radang pada membrane sinovial. Pembekakan sendi, penebalan membran sinovial dan kapsul sendi, serta teregangnya ligament menyebab-kan ketidakstabilan dan deformitas. Otot di-sekitar sendi menjadi lemah karena efusi sino-vial dan disuse atropy pada satu sisi dan spsme otot pada sisi lain. Perubahan biomekanik ini disertai dengan biokimia dimana terjadi gang-guan metabolisme kondrosit,gangguan biokimia matrik akibat erbentuknya enzem metallopro-teinase yang memecah proteoglikan dan kolo-gen. Meningkatkan aktivitas subtami p singga meningkatkan nocereseptor dan menimbulkan nyeri. Ada empat tahapan kerusakan rawan sendi yang saling tumpang tindih, yaitu:
1. Tahap awal, terjadi penurunan kadar proteoglikan sedang kolagen masih normal.
Meskipun kadar proteoglikan berkurang, justru sintesa awal sel rawan meningkat. Hal ini terlihat dari meningkatnya aktivitas dari mitosis sel rawan yang bertambah. Hal ini membuktikan bahwa sel rawan berperan dalam menjaga keseimbangan antara akti-vitas produksi dengan aktivitas destruksi yang diperankan oleh enzim tadi yang dalam keadaan normal aktivitasnya rendah, jadi proteoglikan yang menururn tadi karena destrksinya melebihi produksi, penurunan ini menimbulkan rawan sendi menjadi lunak secara lokal. Warna matrik menjadi keku-ningan kemudian timbul retakan dan terbentuknya celah. 2. Tahap ke dua, celah semakin dalam, tetapi belum sampai ke perbatasan daerah
sub-kondral, jumlah sel rawan ini mulai menurun begitu juga kadar kolagen. 3. Tahap ke tiga, celah tadi akan semakin dalam sampai daerah subkondral, kista
dapat menjadi sangat besar dan pecah sehingga permukaan menjadi tidak teratur. 4. Tahap ke empat, serpihan rawan sendi yang terapung dalam cairan sendi akan di
fagosit sel-sel membran synovial dan terjadilah reaksi radang. Selanjutnya kondrosit mati, proteoglikans dan kolagen tidak di produksi lagi dan matrik memucat. (Irfan & Gahara, 2006)
2.7 Tanda dan gejala klinis
1. Subklinis, tidak ditemukan gejala tanda klinis. Hanya secara patologis dapat ditemukan peningkatan jumlah air, pemben-tukan bulla / blister dan fibrilasi ser abut – serabut jaringan ikat collagen pada tulang rawan sendi. 2. Manifestasi Klinis, timbul adanya nyeri pada saat bergerak (pain of motion) dan rasa kaku pada permukaan gerak, telah terjadi kerusakan sendi yang lebih luas, pada foto Rontgen tampak penyempitan ruang sendi (joint space) dan sclerosis tulang subkondral. 3. Decompesasi, stadium ini disebut juga surgical sta te. Ditandai dengan timbul rasa nyeri pada saat istirahat (pain of rest) dan pembatasan lingkup gerak sendi lutut (ROM = Range of Motion). (Suriani & Lesmana, 2013)
Gangguan Gerak dan Fungsi pada Osteoartritis Sendi Lutut
1. Nyeri, nyeri pada osteoartritis sendi lutut disebabkan oleh penekanan permukaan sendi yang telah mengelupas rawan senidinya, sisa inflamasi berupa zat algogen yang
merupakan zat iritan nyeri, regangan jaringan lunak yang kontraktur, iritasi jaringan lunak oleh osteofit. 2. Kekakuan, kekakuan pada osteoartrisis disebabkan oleh fragmentasi dan terbelah-nya kartilago persendian, lesi permulaan disusul oleh proses pemusnahan kartilago secara progresif. 3. Krepitasi, krepitasi atau bunyi “krek” pada sendi l utut disebabkan oleh permukaan sendi yang kasar karena degradasi rawan sendi 4. Instabilitas, instabilitas sendi lutut dise-babkan oleh penyempitan sela sendi, jarak permukaan sendi menurun, ligamen lebih panjang dari sebelumnya (terulur). 5. Kelemahan otot, adanya inaktivitas akibat imobilisasi dan keterbatasan gerakan, penurunan jumlah motor unit dan aktivitas neurotransmitter, gangguan sirkulasi pada otot serta berkurangnya kualitas otot akibat proses degenerasi dan penuaan akan menyebabkan kelemahan otot 6. Deformitas, akibat kendornya kapsul ligamen atau penurunan elastisitas jaringan lunak sekitar persendian 7. Gangguan jalan,jongkok dan duduk, akibat dari Osteoartheritis juga bisa menye babkan aktivitas seperti gangguan jalan, jongkok dan duduk. (Suriani & Lesmana, 2013)
Efektifitas latihan lutut terhadap penurunan intensitas nyeri
Pengaruh latihan lutut, usia, jenis kelamin, berat badan, kecemasan dan aktifitas lain terhadap penurunan intensitas nyeri pasien osteoartitis lutut. Variabel
Minggu 1
Minggu 2
independen
Estimasi
sig
Latihan
297
579
Usia
162
Jenis
Estimasi
Minggu 3
Minggu 4
sig
Estimasi
sig
Estimasi
sig
-508
346
-712
212
-1873
004
664
-315
397
344
375
265
502
223
741
057
933
1486
042
945
194
Aktivitas
-673
183
-738
157
-056
057
-1062
055
Kecemasan
831
103
656
202
-201
702
367
501
IMT
679
024
649
036
674
040
841
013
lutut
kelamin
Sumber data primer 2014
Berdasarkan Tabel 6 dapat dilihat bahwa secara statistik variabel latihan lutut efektif menurunkan intensitas nyeri secara signifikan pada minggu ke-4 dengan p = 0.004. (Marlina, 2015) 2.7 Diagnosa
a. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan peradangan sendi b. Hambatan mobilitas fisik c. Gangguan citra tubuh d. Defesiensi pengetahuan 2.8 Tujuan 2.9 Kriteria Hasil (NOC)
A. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan peradangan sendi 1. Mampu mengontrol nyeri (tau penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik non farmakologi untu mengurangi nyeri, mencari bantuan) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala intensitas, frekuensi dan tujuh tanda nyeri) nyatakan rasa aman setelah nyeri berkurang 4. Nyatakan rasa aman setelah nyeri berkurang B. Hambatan mobilitas fisik 1. Px meningkat dalam aktivitas fisik 2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas 3. Memferbalisasikan persaam\n dalam meningkatakan kekuatamn dankemampuan berpindah 4. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi (walker) C. Gangguan citra tubuh 1. Body image positif 2. Mamou mengidentifikasi kekuatan personal mendiskripsikan secara factual berubah fungsi tubuh 3. Mempertahankan interaksi soasial D. Defesiensi Pengetahuan 1. Pasien dan keluarga mengatakan memahami tentang penyakit, kondisi, prognasis, dan program pengobatan 2. Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang dijelaskan secara benar
3. Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya 2.10 Intervensi NIC
A. Gangguan rasa nyaman (nyeri akut) berhubungan dengan peradangan sendi 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komperensif termasuk lokal, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presifitasi 2. Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan 3. Gunakan teknik komunikasi terapetik untuk mengetahui pengalaman nyeri pasien 4. Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. Evaluasi bersama pasien dan tim kesehatan lain te ntang ketidefektifsn kontrol nyeri masa lampau 7. Bantu pasien untuk mencari dan menemukan dukungan 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruang, pencahayaan dan kebisingan 9. Kurang faktor resifitasi nyeri 10. Pilih lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi interpersonal) 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 12. Ajarkan teknik nonfarmakologi 13. Berikan anagetik untuk mengurangi rasa nyeri 14. Evaluasi efektifan kontrol nyeri 15. Tingkat istirahat 16. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keperluan dan tindakan nyeri tidak berhasil 17. Monitor penerimaan pasien dengan manjemen nyeri B. Hambatan mobilitas fisik 1. Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 2. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan mencegah terhadap cidera, ajarkan pasien tenaga kesehatan lain tentang teknik ambulsi 3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
4. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara mandiri sesuai kemampuan 5. Dampingi dan bantu klien saat mobilisasi dan bantu memenuhi kebutuhan ADLs ps 6. Berikan alat bantunjika klien membutuhkan 7. Ajarkan klien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika perlu C. Ganggaun Citra Tubuh 1. Respon klien terhadap tubuhnya 2. Monitor frenkuensi mengkritik dirinya 3. Jelaskan tentag pengobatan, perawatan, kemajaun dan prognisis penyakit 4. Dorong klien mengunggkapkan perasaannya 5. Indentifikasi arti pengurangan alat bantu 6. Fasilitasi kontak dengan individu lain dan kelompok lain D. Defesiensi Pengetahuan 1. Berikan penilaian tentang tingkast pengetahuan pasien tentang proses penyakit yang spesifik 2. Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang tepat 3. Gambarkan tanda dan gejala yang bisa munvul pada penyakit, dengan cara yang tepat 4. Gambarkan proses dari penyakit, dengan cara yang tepat 5. Identifikasi kemungkinan penyebab, dengan cara yang tepat 6. Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi dengan cara yang tepat 7. Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan untuk mencegah komolikasi dimasa yang akan datang dan atau proses pengontrolan penyakit 8. Diskusikan pilihan terapi atau penanganan 9. Dukung pasien untuk mengesplorasi atau mendapatkan second opinion dengan cara yang tepat atau didindikasikan 10. Rujuk pasien pada grup atau agensi dikomunitas lokal, dengan cara yang tepat 11. Intruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat
2.11 Pemeriksaan Diagnostik
Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk lebih mendukung adanya Osteoartritis, antara lain sebagai berikut : a. Foto polos sendi (Rontgent) menunjukkan penurunan progresif massa kartilago sendi sebagai penyempitan rongga sendi, destruksi tulang, pembentukan osteofit (tonjolan-tonjolan kecil pada tulang), perubahan bentuk sendi, dan destruksi tulang. b. Pemeriksaan cairan sendi dapat dijumpai peningkatan kekentalan cairan sendi. c. Pemeriksa artroskopi dapat memperlihatkan destruksi tulang rawan sebelum tampak di foto polos. d. Pemeriksaan Laboratorium: Osteoatritis adalah gangguan atritis local, sehingga tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk menegakkan diagnosis. Uji laboratorium adakalanya dipakai untuk menyingkirkan bentuk-bentuk atritis l ainnya. Faktor rheumatoid bisa ditemukan dalam serum, karena factor ini meningkat secara normal paa peningkatan usia. Laju endap darah eritrosit mungkin akan meningkat apabila ada sinovitis yang luas.
DAFTAR PUSTAKA
Irfan, M., & Gahara, R. (2006). BEDA PENGARUH PENAMBAHAN LONG AXIS OSCILLATED TRACTION PADA INTERVENSI MWD DAN TENS TERHADAP PENGURANGAN RASA NYERI PADA CAPSULLAR PATTERN AKIBAT OSTEOATRITIS LUTUT. Jurnal Fisioterapi Indonusa , 1-11. M.Irfan. (2006). BEDA PENGARUH PENAMBAHAN LONG AXIS OSCILLATED TRACTION PADA INTERVENSI MWD DAN TENS TERHADAP PENGURANGAN RASA NYERI PADA CAPSULLAR PATTERN AKIBAT OSTEOATRITIS LUTUT. Jurnal Fisioterapi Indonusa , 1-11. Marlina, T. T. (2015). EFEKTIVITAS LATIHAN LUTUT TERHADAP PENURUNAN INTENSITAS NYERI. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, , 1-13.
Mutiwara, E., Najirman, & Afriwardi. (2016). Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Derajat Kerusakan Sendi pada Pasien Osteoartritis Lutut di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. , 1-5.
Nurarif, A. H., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda NIC_NOC. Jogjakarta: Medication.
pratiwi, a. i. (2015). DIAGNOSIS AND TREATMENT OSTEOARTHRITIS. J MAJORITY , 1-8. Suriani, S., & Lesmana, S. I. (2013). LATIHAN THERABAND LEBIH BAIK MENURUNKAN NYERI DARIPADA LATIHAN QUADRICEP BENCH PADA OSTEOARTHRITIS GENU. Jurnal Fisioterapi , 1-9. Diguilo, Mary.Keoerawatan Medical Bedah.ed.1.2007.yogjakarta Nic Noc jilid 1. Mediaction: Yogyakarta