Konsep Medis Subdural Hematoma (SDH)
A. Definisi
Subdural hematoma adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak, yang dapat terjadi secara akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena/jembatan vena yang biasanya terdapat diantara duramater, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut terjadi dalam 48 jam – jam – 2 2 hari atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau beberapa bulan
B. Etiologi
Penyebab subdural hematoma antara lain : 1. Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda dan mobil. 2. Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan. 3. Cedera akibat kekerasan. 4.
Benda tumpul, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak.
5. Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya. 6.
Benda tajam, kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana dapat merobek otak, misalnya tertembak peluru atau benda tajam. Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan subdural. Perdarahan sub dural dapat terjadi pada:
1. Trauma kapitis Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya geseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada orang yang jatuh terduduk. 2. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih mudah terjadi bila ruangan subdura lebar akibat dari atrofi otak, misalnya pada orangtua dan juga pada anak - anak. 3. Pecahnya aneurysma atau malformasi pembuluh darah di dalam ruangan subdura 4.
Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan perdarahan subdural yang spontan, dan keganasan ataupun perdarahan dari tumor intrakranial. Pada orang tua, alkoholik, gangguan hati.
C. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala yang timbul pada hematoma terdiri dari : 1.
Hematoma Subdural Akut Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24 sampai 48 jam setelah cedera. Dan berkaitan erat dengan trauma otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas denyut nadi dan tekanan darah.
2.
Hematoma Subdural Subakut Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah cedera. Seperti pada hematoma subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penmderita hematoma ini adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan. Namun jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intracranial dan peningkatan intracranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi
unkus atau sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik dari kompresi batang otak. 3.
Hematoma Subdural Kronik Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membrane fibrosa.Dengan adanya selisih tekanan osmotic yang mampu menarik cairan ke dalam hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah ukuran dan tekanan hematoma. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan. Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah: ·
Sakit kepala yang menetap
·
Rasa mengantuk yang hilang-timbul
·
Linglung
·
Perubahan ingatan
·
Kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.
D. Potofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan cairan cerebrospinal dapat bergerak, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural. Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku
dan di sekitarnya akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang berangsur meningkat. Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut. Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural kronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi oleh sistem vena. Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains
intrakranial
mulai
berkurang
yang
menyebabkan
terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh meningkatnya tekanan supra tentorial. Juga pada hematoma subdural kronik, didapatkan bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basaalis lebih terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya. Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik, yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa, perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya
perdarahan subdural kronik, faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsul dari subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan terjadinya perdarahan subdural kronik.
E. Pathway
Trauma
Cedera Ke ala
Fraktur Intertulan
Arteri Meningeal Tengah Robek
Memar Pada Area Otak
Fraktur Depresi Tulang Tengkorak
Vena Robek
Perdarahan
Perdarahan dalam Substansi Otak
Perdarahan
Hematoma E idural
Hematoma Subdural
Hematoma Intrakranial
Hematoma Meluas
TIK
Per indahan Jarin an Otak & Herniasi Resiko Ketidakefektifan Perfusi Jaringan Otak
Kerusakan Jarin an Otak
Hilang Control Volunter Otot Perna asan
Aliran Darah Otak Menurun
Su lai O2 Ke Otak Menurun
Hi oksia
Kesadaran Menurun Perubahan Frekuensi, Irama & Kedalaman Pernapasan Refleks Menelan/Batuk Menurun Ketidakefektifan Pola Napas
Intoleransi Aktivitas
Akumulasi Sekret
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Napas
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai berikut : 1. CT Scan CT Scan saat tanpa atau dengan kontras mengidentifikasi adanya hemoragik, menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak. 2. MRI (Magnetic resonance imaging) Magnetic resonance imaging (MRI) sangat berguna untuk mengidentifikasi perdarahan ekstraserebral. 3. Angiografi Serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma. 4. X-Ray Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis (perdarahan / edema), fragmen tulang.
G. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medik yang dilakukan pada pasien dengan subdural hematom adalah sebagai berikut : 1. Tindakan Tanpa Pembedahan Pada kasus perdarahan yang kecil (volume 30 cc ataupun kurang) dilakukan tindakan konservatif. Tetapi pada keadaan ini masih ada kemungkinan terjadi penyerapan darah yang rusak diikuti oleh terjadinya fibrosis yang kemudian dapat mengalami pengapuran.
2. Tindakan Pembedahan Hematoma subdural yang akut dan kronik, jika memberikan gejala-gejala yang berat dan progresif maka perlu dioperasi. Pada CT scan pasien dengan hematoma subdural dengan ketebalan lesi > 10 mm atau midline-shift > 5 mm maka harus dievakuasi dengan pembedahan, tanpa memperhatikan GCS pasien. Semua pasien dengan hematoma subdural akut dengan koma maka Tekanan intrakranialnya harus diawasi. Pasien dengan status koma dengan ketebalan lesi hematom subdural < 10 mm dan midline shift < 5 mm harus dievakuasi dengan pembedahan jika GCS menurun diantara waktu trauma dan masuk di rumah sakit dengan 2 atau lebih poin dan atau pasien yang menunjukkan asimetris dan atau pupil dilatasi dan atau tekanan intrakranial melebihi 20 mm Hg. 3. Perawatan Pascabedah Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian. 4. Follow – Up CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian. 5. Pengobatan a.
Hiperventilasi Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi pembuluh darah.
b. Cairan hiperosmoler Umumnya digunakan cairan Manitol 10-15% per infus untuk "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk kemudian dikeluarkan melalui diuresis. c.
Kortikosteroid Penggunaan kortikosteroid untuk menstabilkan sawar darah otak. Berupa Dexametason, Metilprednisolon, dan Triamsinolon.
Asuhan Keperawatan A. Pengkajian
1.
Biodata : Identitas klien ; usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, a gama, suku bangsa, tanggal MRS.
2.
Riwayat Penyakit :
a. Keluhan utama ; nyeri kepala disertai dengan penurunan kesadaran dan mengalami kejang serta muntah.
b. Riwayat penyakit sekarang ; demam, anoreksi dan malaise, penurunan penglihatan, kelemahan ekstermitas, peninggian tekanan intrakranial serta gejala neurologik fokal .
c. Riwayat penyakit dahulu ; pernah atau tidak menderita infeksi telinga (otitis media, mastoiditis) atau infeksi paru-paru (bronkiektaksis, abses paru, empiema) jantung ( endokarditis), organ pelvis, gigi dan kulit.
d. Riwayat penyakit keluarga : apakah dalam keluarga ada atau t idak yang mempunyai penyakit infeksi paru – paru, jantung, AIDS
3.
Pemeriksaan fisik a. Keadaan umum pasien : apakah ada penurunan tingkat kesadaran secara drast is, TTV; TD, N, RR, S. (Suhu badan mengalami peningkatan 38-41 C) b. Kepala : bentuk kepala simetis/tidak, ada ketombe/tidak, pertumbuhan rambut, ada lesi/tidak, ada nyeri tekan/tidak. Apakah pernah mengalami cidera kepala c. Kulit : Warna kulit, turgor kulit cepat kembali/tidak, tanda peradangan ada/tidak, adanya lesi/tidak, oedema/tidak. d. Penglihatan : Bola mata simetris/tidak, gerakan bola mata, reflek pupil thd cahaya ada/tidak, kornea benik/tidak, konjungtiva anemis/tidak, sclera ada ikterik/tidak, ketajaman penglihatan normal/tidak, (pupil terlihat unisokor tanda adanya peningkatan TIK, oedema pupil, terdapat fotophobia) e. Penciuman : Bentuk simetris/tidak, fungsi penciuman baik/tidak, peradangan ada/tidak, ada polip/tidak, pemeriksaan sinus maxilaris kemungkinan ada peradangan.
f. Pendengaran : Bentuk daun telinga (simetris/tidak), letaknya(simetris/tidak), peradangan (ada/tidak), fungsi pendengaran (baik/tidak), ada serumen/tidak, ada cairan purulent /tidak. g. Mulut : Bibir (warnanya pucat/cyanosis/merah), kering/tidak, pecah/tidak, Gigi (bersih/tidak), gusi (ada berdarah/peradangan/tidak), tonsil (radang/tidak), lidah (tremor/tidak,kotor/tidak), fungsi pengecapan (baik/tidak), mucosa mulut (warnanya), ada stomatitis/tidak. h. Leher : Benjolan/massa (ada/tidak), ada kekakuan/tidak, ada nyeri tekan/ti dak, pergerakan leher (ROM): bisa bergerak fleksi/ tidak,rotasi/tidak,lateral fleksi/tidak, hiperekstension/tidak, tenggorokan: ovula (simetris/tidak), kedudukan trachea (normal/tidak), gangguan bicara (ada/tidak). i.
Dada : Bentuk (simetris/tidak), bentuk dan pergerakan dinding dada (simetris/tidak), ada bunyi/irama pernapasan seperti: teratur/tidak, ada cheynes stokes/tidak, ada irama kussmaul/tidak, stridor/tidak, wheezing ada/tidak, ronchi/tidak, pleural friction-Rub/tidak, ada nyeri tekan pada daerah dada/tidak, ada/tidak bunyi jantung
j.
Abdomen : Bentuk (simetris/tidak), datar/tidak, ada nyeri tekan pada epigastrik/tidak, ada peningkatan peristaltic usus/tidak, ada nyeri tekan pada daerah suprapubik/tidak, ada oedem/tidak
k. Genetalia : Ada radang pada genitalia eksterna/tidak, ada lesi/tidak, siklus menstruasi teratur/tidak ada pengeluaran cairan/tidak. l.
Ekstremitas atas/bawah : Ada pembatasan gerak/tidak, ada odem/tidak,varises ada/tidak, tromboplebitis ada/tidak,nyeri/kemerahan (ada/tidak), tanda-tanda infeksi (ada/tidak), ada kelemahan tungkai/tidak. (Terdapat penurunan dalam gerakan motoric, kekuatan otot menurun tidak ada koordinasi dengan otak, gangguan keseimbangan otot)
4. Pola
a.
Aktivitas/istirahat : Tanda ; ataksia, masalah berjalan, kelumpuhan, gerakan involunter.
b.
Personal Higiene Tanda ; ketergantungan terhadap semua kebutuhan perawatan diri (pada periode akut)
c. Nutrisi Gejala; kehilangan nafsu makan ,disfagia (pada periode akut) Tanda ; anoreksia,muntah.turgor kulit jelek,membran mukosa kering.
d.
Eliminasi Tanda; adanya inkontensia dan/atau retensi
e.
Seksualitas Tanda : terdapat gangguan pemenuhan kebutuhan seksual, penurunan tingkat kesadaran.
f.
Psikososial Observasi terhadap perilaku dan penampilan diri pasien, pantau setiap aktivit as motorik, hubungan dengan keluarga mengalami penurunan juga hubungan dengan masyarakat.
g.
Spiritual : Melaksanakan kegiatan keagamaan secara rutin dan taat.
5. GCS
Eye (respon membuka mata) : (4) : spontan (3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata). (2) :dengan rangsang nyeri (1) : tidak ada respon
Verbal (respon verbal) : (5): orientasi baik (4):
bingung,
berbicara
mengacau
(sering
bertanya
berulang-ulang)
disorientasi tempat dan waktu. (3): kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”) (2) : suara tanpa arti (mengerang) (1) : tidak ada respon
Motor (respon motorik) : (6): mengikuti perintah
(5): melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri) (4): withdraws (menghindar / menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang nyeri) (3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri). (1) : tidak ada respon
Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol E…V…M… Selanutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Jika dihubungkan dengan kasus trauma kapitis maka didapatkan hasil : GCS : 14 – 15 = CKR (cidera kepala ringan) GCS : 9 – 13 = CKS (cidera kepala sedang) GCS : 3 – 8 = CKB (cidera kepala berat)
6. Pemeriksaan 12 Nervus 1. Nervus Olfaktori (N. I):
Fungsi: saraf sensorik, untuk penciuman 2. Nervus Optikus (N. II)
Fungsi: saraf sensorik, untuk penglihatan 3. Nervus Okulomotoris (N. III)
Fungsi: saraf motorik, untuk mengangkat kelopak mata keatas, kontriksi pupil, dan sebagian gerakan ekstraokuler 4. Nervus Trochlearis (N. IV)
Fungsi: saraf motorik, gerakan mata kebawah dan kedalam 5. Nervus Trigeminus (N. V)
Fungsi: saraf motorik, gerakan mengunya, sensai wajah, lidah dan gigi, refleks korenea dan refleks kedip 6. Nervus Abdusen (N. VI)
Fungsi: saraf motorik, deviasi mata ke lateral 7. Nervus Fasialis (N. VII)
Fungsi: saraf motorik, untuk ekspresi wajah 8. Nervus Verstibulocochlearis (N. VIII)
Fungsi: saraf sensorik, untuk pendengran dan keseimbangan 9. Nervus Glosofaringeus (N. IX)
Fungsi: saraf sensorik dan motorik, untuk sensasi rasa 10. Nervus Vagus (N. X)
Fungsi: saraf sensorik dan motorik, refleks muntah dan menelan 11. Nervus Asesoris (N. XI)
Fungsi: saraf motorik, untuk menggerakan bahu 12. Nervus Hipoglosus
Fungsi: saraf motorik, untuk gerakan lidah
7. Kriteria penilaian kekuatan otot Nilai 0: Otot benar-benar diam pada palpasi atau inspeksi visual (tidak ada kontraksi) Nilai 1: Otot ada kontraksi , baik dilihhat secara visual atau dengan palpasi , ada kontraksi satu atau lebih dari satu otot Nilai 2: Gerak pada posisi yang meminimalkan gaya gravitasi. Posisi ini sering digambarkan sebagai bidang horizontal gerak tidak Full ROM Nilai 3: Gerakan melawan grafitasi dan full ROM Nilai 4: Resistance minimal (tahanan minimal) Nilai 5: Resistance Maksimal (tahanan Maksismal)
B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b.d akumulasi secret, kemampuan batuk menurun akibat penurunan kesadaran. 2. Ketidakefektifan pola napas b.d Hiperventilasi 3. Intoleransi aktivitas b.d kelelahan, tirah baring, kelemahan umum, anemia dan retensi sampah 4. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan orak b.d peradangan dan edema pada otak dan selaput otak