ASKEP GERONTIK DENGAN KASUS PENYAKIT DEMENSIA PADA LANSIA
BAB I PENDAHULUHAN
A. Latar Belakang
Kapan orang menjadi tua? apakah proses penuaan sebagai akibat fisik yang aus dan penurunan kemampuan terjadi tanpa adanya perubahan yang mendasar pada sikap individu?. Penuaan adalah suatu proses biologis, meskipun para ahli biologis belum menemukan kesimpulan untuk menjelaskan karakteristik umum dari penuaan (Cox, 1988, dalam Shirdev & Levey, 2004). Schaie dan Willis (1992) mengatakan bahwa tahap usia tua akan dialami oleh semua orang, ada perubahan fisik, psikis dan sosial yang terjadi. Di sisi lain kondisi fisik dan psikis setiap orang lanjut usia akan berbeda. Hal tersebut berkaitan dengan pengalaman masa lalu dan lingkungan sosial budaya mereka. Akibatnya, di berbagai negara akan mempunyai karakteristik usia lanjut yang berbeda, salah satunya adalah harapan hidupnya. Saat ini penduduk yang berusia lanjut (> 60 tahun) di Indonesia terus meningkat jumlahnya bahkan pada tahun 2005-2010 diperkirakan akan menyamai jumlah balita yaitu sekitar 8,5% dari jumlah seluruh penduduk atau sekitar 19 juta jiwa. Kondisi ini merupakan suatu tantangan untuk mempertahankan kesehatan dan kemandirian para lanjut usia agar tidak menjadi beban bagi dirinya, keluarga maupun masyarakat. Dari jumlah itu, sekitar 15% diantaranya mengalami demensia atau pikun, di samping penyakit degeneratif lainnya seperti penyakit kanker, jantung, reumatik, osteoporosis, katarak (Prodia, 2007). Menurut The World Factbook (2002), berbagai negara mempunai variasi yang besar pada harapan hidup penduduknya. Misalnya di Jepang dan Switzerland usia harapan hidup hampir mencapai 80 tahun. Kemiskinan, bencana alam, masalah politik dan ekonomi menyebabkan usia Psikologi harapan hidup di berbagai negara seperti Bangladesh, Pakistan dan Chad 2 Jur nal Psikologi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010 .
Di negara-negara yang sedang berkembang usia harapan hidup berkisar 10 tahun atau lebih ada di bawah rata-rata usia harapan hidup penduduk dunia. (dalam Shirdev & Levey, 2004) Usia harapan hidup yang lebih lama akan menyebabkan perubahan yang terjadi pada struktur dan
sistem pada masyarakat dunia. Berbagai permasalahan yang dialami oleh para orang lanjut usia seperti tersedianya tenaga kerja yang masih potensial, fasilitas untuk mereka, serta masalah medis dan psikis yang sering dialami (misal: depresi, demensia, penyakit jantung, darah tinggi). WHO membagi epidemologi dan prevalensi demensia berdasarkan wilayah geografi di seluruh dunia menjadi empat bagian yaitu (AMRO [wilayah Amerika], EURO [Eropa], EMRO [Afrika utara dan timur tengah], AFRO [Afrika], SEARO [Asia Selatan] and WPRO [wilayah Pasifik bagian barat]). Gambar di bawah ini memperlihatkan bagian wilayah di dunia yang memperlihatkan bukti-bukti penelitian prevalensi demensia. Bagian yang berwarna merah (Amerika utara, Eropa, Jepang dan Australis) memperlihatkan wilayah yang melakukan beberapa penelitian tentang demensia yang mempunyai metodologi yang dianggap berkualitas. Bagian yang berwarna merah muda, adalah penelitian epidemologi yang kurang mempertimbangkan kualitas dan kuantitas estimasi yang tepat. Bagian yang berwarna putih merupakan wilayah di dunia yang sama sekali tidak mempunyai penelitian tentang epidemologi demensia. Sedangkan bagian yang bertitik b ertitik merah adalah wilayah yang kurang lebih hanya mempunyai satu penelitian tentang epidemologi demensia. (Final Report, 2005). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa data-data tentang demensia tidak seluruhnya dapat diperoleh di berbagai budaya di dunia. Data-data tentang epidemologi dan prevalensi biasanya hanya pada negara-negara yang mempunyai sejarah metode penelitian yang baik (bagian berwarna merah). Sebagian dari hasil-hasil penelitian tersebut akan diuraikan dibawah ini. (Source: Ferri dkk, 2005, dalam Final Report, 2005) Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 menyatakan bahwa alzheimer menyerang mereka yang berusia di atas 50 tahun, sementara di Indonesia usia termuda yang mengalami penyakit ini berusia 56 tahun. Kira-kira 5% usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 - 1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 - 15% atau sekitar 3 - 4 juta orang. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50 - 70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15 - 20% sisanya 15 - 35% disebabkan demensia lainnya. (dalam Wibowo, 2007). Penduduk Amerika yang keturunan Afrika lebih beresiko menderita demensia daripada etnis sama yang bertempat di negara asal (Ibadan, Negeria). (Hendrie dkk., 1995)
sistem pada masyarakat dunia. Berbagai permasalahan yang dialami oleh para orang lanjut usia seperti tersedianya tenaga kerja yang masih potensial, fasilitas untuk mereka, serta masalah medis dan psikis yang sering dialami (misal: depresi, demensia, penyakit jantung, darah tinggi). WHO membagi epidemologi dan prevalensi demensia berdasarkan wilayah geografi di seluruh dunia menjadi empat bagian yaitu (AMRO [wilayah Amerika], EURO [Eropa], EMRO [Afrika utara dan timur tengah], AFRO [Afrika], SEARO [Asia Selatan] and WPRO [wilayah Pasifik bagian barat]). Gambar di bawah ini memperlihatkan bagian wilayah di dunia yang memperlihatkan bukti-bukti penelitian prevalensi demensia. Bagian yang berwarna merah (Amerika utara, Eropa, Jepang dan Australis) memperlihatkan wilayah yang melakukan beberapa penelitian tentang demensia yang mempunyai metodologi yang dianggap berkualitas. Bagian yang berwarna merah muda, adalah penelitian epidemologi yang kurang mempertimbangkan kualitas dan kuantitas estimasi yang tepat. Bagian yang berwarna putih merupakan wilayah di dunia yang sama sekali tidak mempunyai penelitian tentang epidemologi demensia. Sedangkan bagian yang bertitik b ertitik merah adalah wilayah yang kurang lebih hanya mempunyai satu penelitian tentang epidemologi demensia. (Final Report, 2005). Dari gambaran tersebut terlihat bahwa data-data tentang demensia tidak seluruhnya dapat diperoleh di berbagai budaya di dunia. Data-data tentang epidemologi dan prevalensi biasanya hanya pada negara-negara yang mempunyai sejarah metode penelitian yang baik (bagian berwarna merah). Sebagian dari hasil-hasil penelitian tersebut akan diuraikan dibawah ini. (Source: Ferri dkk, 2005, dalam Final Report, 2005) Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 menyatakan bahwa alzheimer menyerang mereka yang berusia di atas 50 tahun, sementara di Indonesia usia termuda yang mengalami penyakit ini berusia 56 tahun. Kira-kira 5% usia lanjut 65 - 70 tahun menderita demensia dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun mencapai lebih 45 % pada usia diatas 85 tahun. Pada negara industri kasus demensia 0.5 - 1.0 % dan di Amerika jumlah demensia pada usia lanjut 10 - 15% atau sekitar 3 - 4 juta orang. Demensia Alzheimer merupakan kasus demensia terbanyak di negara maju Amerika dan Eropa sekitar 50 - 70%. Demensia vaskuler penyebab kedua sekitar 15 - 20% sisanya 15 - 35% disebabkan demensia lainnya. (dalam Wibowo, 2007). Penduduk Amerika yang keturunan Afrika lebih beresiko menderita demensia daripada etnis sama yang bertempat di negara asal (Ibadan, Negeria). (Hendrie dkk., 1995)
Menurut Hendrie dkk. yang melakukan penelitian di tahun 1995, meskipun faktor genetik memegang peranan yang penting terjadi demensia, nampaknya faktor lingkungan juga memberikan sumbangan besar pada faktor resikonya. Faktor lingkungan tersebut berkaitan dengan gaya hidup. Menurut penulis, gaya hidup yang tidak sehat yang Hartati yang Hartati dan Widayanti, Clock Drawing: Asesmen untuk Demensia(Studi Deskriptif Pada Orang Lanjut Usia 3 di Kota Semarang) . merupakan faktor resiko yang utama berbagai penyakit, misalnya stroke, penyakit jantung, hipertensi, diabetes mellitus. Di sisi lain menurut Final Report dari pemerintah Australia (2005) penyakit tersebut merupakan faktor resiko besar untuk terjadinya demensia. Penelitian yang dilakukan tahun-tahun sebelumnya menyatakan bahwa sekitar 70% penderita stroke mengalami gangguan kognitif (ringan - berat) dan sekitar 25-30% diantaranya berkembang menjadi demensia. Stroke kemungkinan secara langsung menyebabkan demensia atau stroke merupakan factor presipitasi proses degeneratip pada demensia seperti pada demensia Alzheimer. (dalam Wibowo, 2007) Alzheimer kebanyakan menyerang kaum hawa karena hormon wanita lebih cepat masuk masa menopause ketimbang pria dengan masa andropausenya. Bahayanya, memang alzheimer lebih banyak hinggap pada wanita daripada pria. Jadi faktor resiko Demensia Alzheimer (DA) terjadi pada usia lanjut, wanita, trauma kapitis berat, pendidikan rendah dan menyangkut faktor genetik kasusnya 1 - 5%. (dalam Wibowo, 2007) Sedangkan pada penelitian Lerner (1999) terlihat bahwa resiko wanita mendapatkan penyakit demensia jenis Alzheimer lebih dikarenakan angka harapan hidupnya lebih besar daripada pria. Menurutnya faktor resiko terbesar penyakit demensia adalah usia lanjut, dan jenis kelamin tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan penyakit tersebut. Demensia vaskuler merupakan jenis demensia terbanyak ke 2 setelah demensia Alzheimer, dengan angka kejadian demensia vaskuler tidak berbeda jauh dengan angka kejadian demensia Alzheimer. Jellinger dkk. (2002) mengutarakan bahwa angka kejadian demensia vaskuler sekitar 47% dari populasi demensia secara keseluruhan (demensia Alzheimer 48% dan demensia oleh sebab lain 5%). Erkinjutti (2004) melaporkan kejadian demensia vaskuler pada populasi usia lebih dari 65 tahun sekitar 1,2 - 4,2% dan pada kelompok usia diatas 65 tahun menunjukkan peningkatan angka kejadian dari 0,7% dalam kelompok usia 65 - 69 tahun hingga
mencapai 8,1% pada kelompok usia diatas 90 tahun. Angka kejadian demensia vaskuler ini kemungkinan akan bertambah seiring dengan meningkatnya kejadian CVD. Demensia vaskuler dan demensia Alzheimer merupakan penyebab utama demensia, bahkan diantara keduanya sering terjadi bersamaan. Erkinjutti (2005) melaporkan hasil penelitian patologi melalui proses otopsi, pada 50% penderita demensia Alzheimer terlihat adanya CVD dan pada 80% penderita demensia vaskuler didapatkan kelainan sesuai dengan Alzheimer. (dalam Wibowo, 2007) Sebelumnya dari penelitian Lerner (1999) berdasarkan jenis kelamin, wanita lebih beresiko menderita demensia Alzheimer dan pria menderita demensi vaskuler, untuk berbagai etnis yang ada di Amerika Dengan bertambahnya umur nampaknya faktor resiko menderita demensia juga akan meningkat. Orang yang berumur 65 tahun keatas akan mempunyai resiko 11% dan umur 85 tahun keatas resiko semakin besar yaitu 25% - 47%. Selain itu,, bertambah majunya bidang ilmu farmakologi untuk penderita 4 Jur nal Psikol Psikol ogi ogi Undip Vol. 7, No. 1, April 2010
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Demensia dan penyakit Alzheimer 2. Gejalah penyakit Demensia pada lansia 3. Tingkah laku lansia yang mengalami demensia 4. Peran keluarga terhadap anggota keluarga yang mengalami demensia 5. Penatalaksaan penyakit demensia
BAB II DASAR TEORI
A. Pengertian Demensia
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom) yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998). Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku. Disebutkan dalam sebuah literatur bahwa penyakit yang dapat menyebabkan timbulnya gejala demensia ada sejumlah tujuh puluh lima. Beberapa penyakit dapat disembuhkan sementara sebagian besar tidak dapat disembuhkan (Mace, N.L. & Rabins, P.V. 2006). Sebagian besar peneliti dalam risetnya sepakat bahwa penyebab utama dari gejala demensia adalah penyakit Alzheimer, penyakit vascular (pembuluh darah), demensia Lewy body, demensia frontotemporal dan sepuluh persen diantaranya disebabkan oleh penyakit lain. Lima puluh sampai enam puluh persen penyebab demensia adalah penyakit Alzheimer. Alzhaimer adalah kondisi dimana sel syaraf pada otak mati sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer mengalami gangguan memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses berpikir. Demensia ialah kondisi keruntuhan kemampuan intelek yang progresif setelah mencapai pertumbuhan & perkembangan tertinggi (umur 15 tahun) karena gangguan otak organik, diikuti keruntuhan perilaku dan kepribadian, dimanifestasikan dalam bentuk gangguan fungsi kognitif seperti memori, orientasi, rasa hati dan pembentukan pikiran konseptual. Biasanya kondisi ini tidak reversibel, sebaliknya progresif.1 Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan kesadaran. Demensia adalah Sindrom penyakit akibat kelainan otak bersifat kronik / progresif serta terdapat gangguan fungsi luhur (Kortikal yang multiple)
yaitu ; daya ingat , daya fikir , daya orientasi , daya pemahaman , berhitung , kemampuan belajar, berbahasa , kemampuan menilai. Kesadaran tidak berkabut , Biasanya disertai hendaya fungsi kognitif , dan ada kalanya diawali oleh kemerosotan (detetioration) dalam pengendalian emosi, perilaku sosial atau motivasi sindrom ini terjadi pada penyakit Alzheimer, pada penyakit kardiovaskular, dan pada kondisi lain yang secara primer atau sekunder mengenai otak.
B. Epidemiologi
Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi demensia sedang hingga berat bervariasi pada tiap kelompok usia. Pada kelompok usia diatas 65 tahun prevalensi demensia sedang hingga berat mencapai 5 persen, sedangkan pada kelompok usia diatas 85 tahun prevalensinya mencapai 20 hingga 40 persen. Dari seluruh pasien yang menderita demensia, 50 hingga 60 persen diantaranya menderita jenis demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases). Prevalensi demensia tipe Alzheimer meningkat seiring bertambahnya usia. Untuk seseorang yang berusia 65 tahun prevalensinya adalah 0,6 persen pada pria dan 0,8 persen pada wanita. Pada usia 90 tahun, prevalensinya mencapai 21 persen. Pasien dengan demensia tipe Alzheimer membutuhkan lebih dari 50 persen perawatan rumah (nursing home bed ). Jenis demensia yang paling lazim ditemui berikutnya adalah demensia vaskuler, yang secara kausatif dikaitkan dengan penyakit serebrovaskuler. Hipertensi merupakan factor predisposisi bagi seseorang untuk menderita demensia. Demensia vaskuler meliputi 15 hingga 30 persen dari seluruh kasus demensia. Demensia vaskuler paling sering ditemui pada seseorang yang berusia antara 60 hingga 70 tahun dan lebih sering pada laki-laki daripada wanita. Sekitar 10 hingga 15 persen pasien menderita kedua jenis demensia tersebut. Penyebab demensia paling sering lainnya, masing-masing mencerminkan 1 hingga 5 persen kasus adalah trauma kepala, demensia yang berhubungan dengan alkohol, dan berbagai jenis demensia yang berhubungan dengan gangguan pergerakan, misalnya penyakit Huntington dan penyakit Parkinson. Karena demensia adalah suatu sindrom yang umum, dan mempunyai banyak penyebab, dokter harus melakukan pemeriksaan klinis dengan cermat pada seorang pasien dengan demensia untuk menegakkan penyebab demensia pada pasien tertentu.
C. Gejalah penyakit Demensia pada lansia
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orangorang terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka. Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium. Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral
symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri, melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998). Penyebab demensia yang paling sering pada individu yang berusia diatas 65 tahun adalah (1) penyakit Alzheimer, (2) demensia vaskuler, dan (3) campuran antara keduanya. Penyebab lain yang mencapai kira-kira 10 persen diantaranya adalah demensia jisim Lewy ( Lewy body dementia), penyakit Pick, demensia frontotemporal, hidrosefalus tekanan normal, demensia alkoholik, demensia infeksiosa (misalnya human immunodeficiency virus (HIV) atau sifilis) dan penyakit Parkinson. Banyak jenis demensia yang melalui evaluasi dan penatalaksanaan klinis berhubungan dengan penyebab yang reversibel seperti kelaianan metabolik (misalnya hipotiroidisme), defisiensi nutrisi (misalnya defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat),atau sindrom demensia akibat depresi. dapat dilihat kemungkinan penyebab demensia :
D. Kemungkinan penyebab demensia. Demensia Degeneratif
Penyakit Alzheimer Demensia frontotemporal
(misalnya; Penyakit Pick) Penyakit Parkinson
Demensia Jisim Lewy
Ferokalsinosis serebral idiopatik
(penyakit Fahr) Kelumphan supranuklear yang
progresif Lain-lain
Penyakit Huntington
Penyakit Wilson
Leukodistrofi metakromatik
Neuroakantosistosis
Kelainan Psikiatrik
Pseudodemensia pada depresi
Penurunan fungsi kognitif pada
skizofrenia lanjut Fisiologis
Hidrosefalus tekanan normal
Kelainan Metabolik
Defisiensi vitamin (misalnya
vitamin B12, folat) Endokrinopati (e.g.,
hipotiroidisme) Gangguan metabolisme kronik
(contoh : uremia) Tumor
Tumor primer maupun metastase
(misalnya meningioma atau tumor metastasis dari tumor payudara atau tumor paru) Trauma
Dementia pugilistica,
posttraumatic dementia Subdural hematoma
Infeksi
Penyakit Prion (misalnya
penyakit Creutzfeldt-Jakob, bovine spongiform encephalitis, (Sindrom GerstmannStraussler) Acquired immune deficiency
syndrome (AIDS)
Sifilis
Kelainan jantung, vaskuler dan anoksia
Infark serebri (infark tunggak
mauapun mulitpel atau infark lakunar) Penyakit Binswanger
( subcortical arteriosclerotic encephalopathy) Insufisiensi hemodinamik
(hipoperfusi atau hipoksia) Penyakit demielinisasi
Sklerosis multipel
Obat-obatan dan toksin
Alkohol
Logam berat
Radiasi
Pseudodemensia akibat
pengobatan (misalnya penggunaan antikolinergik) Karbon monoksida
E. Macam – Macam Demensia: Demensia Tipe Al zheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama 4,5 tahun. Diagnosis akhir Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan neuropatologi otak; meskipun demikian, demensia Alzheimer biasanya didiagnosis dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lain telah disingkirkan dari pertimbangan diagnostik.
Gambar.2.2 Penyakit Alzheimer. Tampak secara jelas plak senilis disebelah kiri. Beberapa
serabut neuron tampak kusut disebelah kanan. Menjadi catatan tentang adanya kekacauan hantaran listrik pada sistem kortikal.
Gambar.2.3 Sel otak pada Penyakit Alzheimer dibandingkan dengan sel otak normal.
F aktor Genetik
Walaupun penyebab demensia tipe Alzheimer masih belum diketahui, telah terjadi kemajuan dalam molekular dari deposit amiloid yang merupakan tanda utama neuropatologi gangguan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa 40 % dari pasien demensia mempunyai riwayat keluarga menderita demensia tipe Alzheimer, jadi setidaknya pada beberapa kasus, faktor genetic dianggap berperan dalam perkembangan demensia tipe Alzheimer tersebut. Dukungan tambahan tentang peranan genetik adalah bahwa terdapat angka persesuaian untuk kembar monozigotik, dimana angka kejadian demensia tipe Alzheimer lebih tinggi daripada angka kejadian pada kembar dizigotik. Dalam beberapa kasus yang telah tercatat dengan baik, gangguan ditransmisikan dalam keluarga melalui satu gen autosomal dominan, walau transmisi tersebut jarang terjadi.
Protein prekursor amiloid
Gen untuk protein prekusor amiloid terletak pada lengan panjang kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial, dihasilkan empat bentuk protein prekusor amiloid. Protein beta/ A4, yang merupakan konstituen utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42-asam amino yang merupakan hasil pemecahan dari protein prekusor amiloid. Pada kasus sindrom Down (trisomi kromosom 21) ditemukan tiga cetakan gen protein prekusor amiloid, dan pada kelainan dengan mutasi yang terjadi pada kodon 717 dalam gen protein prekusor amiloid, suatu proses patologis yang menghasilkan deposit protein beta/A4 yang berlebihan. Bagaimana proses yang terjadi pada protein prekusor amiloid dalam perannya sebagai penyebab utama penyakit Alzheimer masih belum diketahui, akan tetapi banyak kelompok studi yang meneliti baik proses metabolisme yang normal dari protein prekusor amiloid maupun proses metabolisme yang terjadi pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer untuk menjawab pertanyaan tersebut. Gen E 4 mul tipel
Sebuah penelitian menunjukkan peran gen E4 dalam perjalanan penyakit Alzheimer. Individu yang memiliki satu kopi gen tersebut memiliki kemungkinan tiga kali lebih besar daripada individu yang tidak memiliki gen E4 tersebut, dan individu yang memiliki dua kopi gen E4 memiliki kemungkinan delapan kali lebih besar daripada yang tidak memiliki gen tersebut. Pemeriksaan diagnostik terhadap gen ini tidal direkomendasikan untuk saat ini, karena gen tersebut ditemukan juga pada individu tanpa demensia dan juga belum tentu ditemukan pada seluruh penderita demensia.
Neuropatologi
Penelitian neuroanatomi otak klasik pada pasien dengan penyakit Alzheimer menunjukkan adanya atrofi dengan pendataran sulkus kortikalis dan pelebaran ventrikel serebri. Gambaran mikroskopis klasik dan patognomonik dari demensia tipe Alzheimer adalah plak senilis, kekusutan serabut neuron, neuronal loss (biasanya ditemukan pada korteks dan hipokampus), dan degenerasi granulovaskuler pada sel saraf. Kekusutan serabut neuron (neurofibrillary tangles) terdiri dari elemen sitoskletal dan protein primer terfosforilasi, meskipun jenis protein sitoskletal lainnya dapat juga terjadi. Kekusutan serabut neuron tersebut tidak khas ditemukan pada penyakit Alzheimer, fenomena tersebut juga ditemukan pada sindrom Down, demensia pugilistika ( punch-drunk syndrome) kompleks Parkinson-demensia Guam, penyakit HallervonSpatz, dan otak yang normal pada seseorang dengan usia lanjut. Kekusutan serabut neuron biasanya ditemukan di daerah korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.Plak
senilis (disebut juga plak amiloid), lebih kuat mendukung untuk diagnosis penyakit Alzheimer meskipun plak senilis tersebut juga ditemukan pada sindrom Down dan dalam beberapa kasus ditemukan pada proses penuaan yang normal.
Neurotransmiter
Neurotransmiter yang paling berperan dalam patofisiologi dari demensia Alzheimer adalah asetilkolin dan norepinefrin. Keduanya dihipotesis menjadi hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian melaporkan pada penyakit Alzheimer ditemukannya suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik pada nukleus basalis meynert. Data lain yang mendukung adanya deficit kolinergik pada Alzheimer adalah ditemukan konsentrasi asetilkolin dan asetilkolintransferase menurun.
Penyebab potensial lainnya
Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam pengaturan metabolisme fosfolipid membrane menyebabkan membran yang kurang cairan yaitu, lebih kaku dibandingkan dengan membrane yang normal. Penelitian melalui spektroskopik resonansi molekular ( Molecular Resonance Spectroscopic; MRS) mendapatkan kadar alumunium yang tinggi dalam beberapa otak pasien dengan penyakit Alzheimer. F amili al M ul tipel System T aupathy
dengan presenile demensia
Baru-baru ini ditemukan demensia tipe baru, yaitu Familial Multipel System Taupathy, biasanya ditemukan bersamaan dengan kelainan otak yang lain ditemukan pada orang dengan penyakit Alzheimer. Gen bawaan yang menjadi pencetus adalah kromosom 17. Gejala penyakit berupa gangguan pada memori jangka pendek dan kesulitan mempertahankan keseimbangan dan pada saat berjalan. Onset penyakit ini biasanya sekitar 40 – 50 detik, dan orang dengan penyakit ini hidup rata-rata 11 tahun setelah terjadinya gejala. Seorang pasien dengan penyakit Alzheimer memiliki protein pada sel neuron dan glial seperti pada Familial Multipel System Taupathy dimana protein ini membunuh sel-sel otak. Kelainan ini tidak berhubungan dengan plaq senile pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Demensia vaskuler
Penyebabnya adalah penyakit vaskuler serebral yang multipel yang menimbulkan gejalaberpola demensia. Ditemukan umumnya pada laki-laki, khususnya dengan riwayat hipertensi dan faktor resiko kardiovaskuler lainnya. Gangguan terutama mengenai pembuluh
darah serebral berukuran kecil dan sedang yang mengalami infark dan menghasilkan lesi parenkhim multiple yang menyebar luas pada otak (gambar 2.2). Penyebab infark berupa oklusi pembuluh darah oleh plaq arteriosklerotik atau tromboemboli dari tempat lain( misalnya katup jantung).
Penyakit Binswanger
Dikenal juga sebagai ensefalopati arteriosklerotik subkortikal, ditandai dengan ditemukannya infark-infark kecil pada subtansia alba yang juga mengenai daerah korteks serebri (Gambar 2.4). Dulu dianggap penyakit yang jarang terjadi tapi dengan pencitraan yang canggih dan kuat seperti resonansi magnetik ( Magnetic Resonance Imaging ; MRI) membuat penemuan kasus ini menjadi lebih sering.
Penyakit Pick
Penyakit Pick ditandai atrofi yang lebih banyak dalam daerah frontotemporal. Daerah tersebut mengalami kehilangan neuronal, gliosis dan adanya badan Pick neuronal, yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick ditemukan pada beberapa specimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk diagnosis. Penyebab dari penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira 5% dari semua demensia ireversibel. Penyakit ini paling sering pada laki-laki, khususnya yang memiliki keluarga derajat pertama dengan penyakit ini. Penyakit Pick sukar dibedakan dengan demensia Alzheimer. Walaupun stadium awal penyakit lebih sering ditandai oleh perubahan kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relative bertahan. Gambaran sindrom Kluver-Bucy (contohnya: hiperseksualitas, flaksiditas, hiperoralitas) lebih sering ditemukan pada penyakit Pick daripada pada penyakit Alzheimer.
Penyakit Jisim lewy ( L ewy body diseases )
Penyakit Jisim Lewy adalah suatudemensia yang secara klinis mirip dengan penyakit Alzheimer dan sering ditandai oleh adanya halusinasi, gambaran Parkinsonisme, dan gejala ekstrapiramidal. Inklusi Jisim Lewy ditemukan di daerah korteks serebri. Insiden yang sesungguhnya tidak diketahui. Pasien dengan penyakit Jisim Lewy ini menunjukkan efek yang menyimpang (adverse effect ) ketika diberi pengobatan dengan antipsikotik.
Penyakit Huntington
Penyakit Huntington secara klasik dikaitkan dengan perkembangan demensia. Demensia pada penyakit ini terlihat sebagai demensia tipe subkortikal yang ditandai dengan abnormalitas motorik yang lebih menonjol dan gangguan kemampuan berbahasa yang lebih ringan
dibandingkan demensia tipe kortikal. Demensia pada penyakit Huntington menunjukkan perlambatan psikomotor dan kesulitan dalam mengerjakan pekerjaan yang kompleks, akan tetapi memori, bahasa, dan tilikan relatif utuh pada stadium awal dan pertengahan penyakit. Dalam perkembangannya, demensia menjadi lengkap dan gambaran klinis yang membedakannya dengan demensia tipe Alzheimer adalah tingginya insiden depresi dan psikosis, selain gangguan pergerakan berupa gambaran koreoatetoid klasik.
Penyakit Parkinson
Sebagaimana pada penyakit Huntington, Parkinsonisme merupakan penyakit pada ganglia basalis yang biasanya dikaitkan dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20 hingga 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson mengalami gangguan kemampuan kognitif. Gerakan lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson sejajar dengan perlambatan berpikir pada beberapa pasien, suatu gambaran yang sering disebut oleh para klinis sebagai bradifrenia.
F. Perubahan Psikiatrik dan Neurologis 1. Kepribadian
Perubahan kepribadian pada seseorang yang menderita demensia biasanya akan mengganggu bagi keluarganya. Ciri kepribadiaan sebelum sakit mungkin dapat menonjol selama 13 perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga menjadi tertutup serta menjadi kurang perhatian dibandingkan sebelumnya. Seseorang dengan demensia yang memiliki waham paranoid umumnya lebih cenderung memusuhi anggota keluarganya dan pengasuhnya. Pasien yang mengalami kelainan pada lobus fraontalis dan temporalis biasanya mengalami perubahan kepribadian dan mungkin lebih iritabel dan eksplosif.
2. Halusinasi dan Waham
Diperkirakan sekitar 20 hingga 30 persen dengan demensia (terutama pasien dengan demensia tipe Alzheimer) memiliki halusinasi, dan 30 hingga 40 persen memiliki waham, terutama waham paranoid yang bersifat tidak sistematis, meskipun waham yang sistematis juga dilaporkan pada pasien tersebut. Agresi fisik dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya lazim ditemukan pada pasien dengan demensia yang juga memiliki gejala-gejala psikotik.
3. Mood
Pada pasien dengan gejala psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan kecemasan merupakan gejala utama yang ditemukan pada 40 hingga 50 persen pasien dengan demensia, meskipun sindrom depresif secara utuh hanya tampak pada 10 hingga 20 persen pasien. Pasien dengan demensia juga dapat menujukkan perubahan emosi yang ekstrem tanpa provokasi yang nyata (misalnya tertawa dan menangis yang patol ogis). 4. Perubahan Kognitif
Pada pasien demensia yang disertai afasia lazim ditemukan adanya apraksia dan agnosia dimana gejala-gejala tersebut masuk dalam kriteria DSM IV. Tanda-tanda neurologis lainnya yang dikaitkan dengan demensia adalah bangkitan yaitu ditemukan kira-kira pada 10 persen pasien dengan demensia tipe Alzheimer serta 20 persen pada pasien dengan demensia vaskuler. Refleks primitif seperti refleks menggenggam, refleks moncong (snout), refleks mengisap, reflex tonus kaki serta refleks palmomental dapat ditemukan melalui pemeriksaan neurologis pada 5 hingga 10 persen pasien. Untuk menilai fugsi kognitif pada pasien demensia dapat digunakan The Mini Mental State Exam (MMSE). Pasien dengan demensia vaskuler mungkin mempunyai gejala-gejala neurologis tambahan seperti sakit kepala, pusing, kepala terasa ringan, kelemahan, tanda defisit neurologis fokal terutama yang terkait dengan penyakit serebro-vaskuler, pseudobulber palsy, disartria, dan disfagia yang lebih menonjol dibandingkan dengan gejala-gejala diatas pada jenis-jenis demensia lainnya. 5. Reaksi Katastrofik
Pasien dengan demensia juga menunjukkan penurunan kemampuan yang oleh Kurt Goldstein disebut “perilaku abstrak”. Pasien mengalami kesulitan untuk memahami suatu konsep dan menjelaskan
perbedaan
konsep-konsep
tersebut.
Lebih
jauh
lagi,
kemampuan
untuk
menyelesaikan masalah-masalah, berpikir logis, dan kemampuan menilai suara juga terganggu. Goldstein juga menggambarkan reaksi katastrofik berupa agitasi terhadap kesadaran subyektif dari defisit intelektual dalam kondisi yang penuh tekanan. Pasien biasanya mengkompensasi defek yang dialami dengan cara menghindari kegagalan dalam kemampuan
intelektualnya, misalnya dengan cara bercanda atau dengan mengalihkan pembicaraannya dengan pemeriksa. Buruknya penilaian dan kemampuan mengendalikan impuls adalah lazim, biasanya ditemukan pada demensia yang secara primer mengenai daerah lobus frontalis. Contoh dari kelainan ini adalah penggunaan kata-kata yang kasar, bercanda dengan tidak wajar, ketidakpedulian terhadap penampilan dan kebersihan diri, serta sikap acuh tak acuh dalam hubungan sosialnya. 6. Sindrom Sundowner
Sindrom sundowner ditandai dengan keadaan mengantuk, bingung, ataksia dan terjatuh secara tiba-tiba. Gejala-gejala tersebut muncul pada pasien yang berumur lebih tua yang mengalami sedasi yang berlebihan dan penderita demensia yang bereaksi secara berlebihan terhadap obat-obat psikoaktif bahkan dengan dosis yang kecli sekalipun. Sindrom tersebut juga muncul pada pasien demensia saat sitmulus eksternal seperti cahaya dan isyarat interpersonal dihilangkan.
G. Klasifikasi penyakit Demensia :
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak,sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III (PPDGJ III).1,3 (a) Menurut Umur:1
Demensia senilis (>65th)
Demensia prasenilis (<65th)
(b) Menurut perjalanan penyakit:
Reversibel
Ireversibel ( Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, Defisiensi vitamin B,
Hipotiroidism, intoksikasi Pb)
(c) Menurut kerusakan struktur otak
Tipe Alzheimer
Tipe non-Alzheimer
Demensia vaskular
Demensia Jisim Lewy ( Lewy Body dementia)
Demensia Lobus frontal-temporal
Demensia terkait dengan HIV-AIDS
Morbus Parkinson
Morbus Huntington
Morbus Pick
Morbus Jakob-Creutzfeldt
Sindrom Gerstmann-Sträussler-Scheinker
Prion disease
Palsi Supranuklear progresif
Multiple sklerosis
Neurosifilis
Tipe campuran
Menurut sifat klinis:
Demensia proprius
Pseudo-demensia Berdasarkan PPDGJ III demensia termasuk dalam F00-F03 yang merupakan gangguan mental organik dengan klasifikasinya sebagai berikut ; F 00 Demensia pada penyakit Alzheimer F00.0 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan onset dini F00.1 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan Onset Lambat F00.2 Demensia pada penyakit Alzheimer dengan, tipe tidak khas atau tipe campuran F00.9 Demensia pada penyakit Alzheimer YTT (Yang Tidak Tergolongkan) F 01 Demensia Vaskular F01.0 Demensia Vaskular Onset akut F01.1 Demensia Vaskular Multi-Infark F01.2 Demensia Vaskular Sub Kortikal F01.3 Demensia Vaskular campuran kortikal dan subkortikal F01.8 Demensia Vaskular lainnya F01.9 Demensia Vaskular YTT
F02 Demensia pada penyakit lain F02.0 Demensia pada penyakit PICK F02.1 Demensia pada penyakit Creutzfeldt-Jakob F02.2 Demensia pada penyakit Huntington F02.3 Demensia pada penyakit Parkinson F02.4 Demensia pada penyakit HIV F02.8 Demensia pada penyakit lain YDT – YDK (Yang Di-Tentukan-Yang Di-Klasifikasikan ditempat lain) F03 Demensia YTT Karakter kelima dapat digunakan untuk menentukan demensia pada F00-F03 sebagai berikut : 1. X0 Tanpa gejala tambahan 2. X1 Gejala lain, terutama waham 3. X2 Halusinasi 4. X3 Depresi 5. X4 Campuran lain
H. Diagnosis dan Keluhan Utama
Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR, untuk demensia tipe Alzheimer’s (tabel 2.2) , Demensia vaskuler (tabel 2.3), Demensia karena kondisi medis lainnya (tabel 2.4), Demensia menetap akibat zat (tabel 2.5), Demensia karena penyebab multipel (tabel 2.6), Dan demensia yang tidak ditentukan ( NOS; not otherwise specified ) (tabel 2.7). Diagnosis demensia berdasarkan pemeriksaan klinis, termasuk pemeriksaan status mental, dan melalui informasi dari pasien, keluarga, teman dan teman sekerja. Keluhan terhadap peerubahan sifat pasien dengan usia lebih tua dari 40 tahun membuat kita harus mempertimbangan dengan cermat untuk mendiagnosis dimensia.
I.
Perjalanan penyakit dan Prognosis
Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset ) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian. Usia awitan dan kecepatan perburukan bervariasi diantara jenis-jenis demensia dan kategori diagnostik masing-masing individu. Usia harapan hidup pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer adalah sekitar 8 tahun, dengan rentang 1 hingga 20 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa penderita demensia dengan awitan yang dini atau dengan riwayat keluarga menderita demensia memiliki kemungkinan perjalanan penyakit yang lebih cepat. Dari suatu penelitian terbaru terhadap 821 penderita penyakit Alzheimer, rata-rata angka harapan hidup adalah 3,5 tahun. Sekali demensia didiagnosis, pasien harus menjalani pemeriksaan medis dan neurologis lengkap, karena 10 hingga 15 persen pasien dengan demensia potensial mengalami perbaikan (reversible) jika terapi yang diberikan telah dimulai sebelum kerusakan otak yang permanen terjadi. Perjalanan penyakit yang paling umum diawali dengan beberapa tanda yang samar yang mungkin diabaikan baik oleh pasien sendiri maupun oleh orang-orang yang paling dekat dengan pasien. Awitan yang bertahap biasanya merupakan gejala-gejala yang paling sering dikaitkan dengan demensia tipe Alzheimer, demensia vaskuler, endokrinopati, tumor otak, dan gangguan metabolisme. Sebaliknya, awitan pada demensia akibat trauma, serangan jantung dengan hipoksia serebri, atau ensefalitis dapat terjadi secara mendadak. Meskipun gejala-gejala pada fase awal tidak jelas, akan tetapi dalam perkembangannya dapat menjadi nyata dan keluarga pasien biasanya akan membawa pasien untuk pergi berobat. Individu dengan demensia dapat menjadi sensitif terhadap penggunaan benzodiazepin atau alkohol, dimana penggunaan zat-zat tersebut dapat memicu agitasi, sifat agresif, atau perilaku psikotik. Pada stadium terminal dari demensia pasien dapat menjadi ibarat “cangkang kosong” dalam diri mereka sendiri, pasien mengalami disorientasi, inkoheren, amnestik, dan inkontinensia urin da n inkontinensia alvi. Dengan terapi psikososial dan farmakologis dan mungkin juga oleh karena perbaikan bagian-bagian otak ( self-healing ), gejala-gejala pada demensia dapat berlangsung lambat untuk beberapa waktu atau dapat juga berkurang sedikit. Regresi gejala dapat terjadi pada demensia yang reversibel (misalnya demensia akibat hipotiroidisme, hidrosefalus tekanan normal, dan tumor otak) setelah dilakukan terapi. Perjalanan penyakit pada demensia bervariasi dari progresi yang stabil (biasanya terlihat pada demensia tipe Alzheimer) hingga demensia dengan
perburukan (biasanya terlihat pada demensia vaskuler) menjadi demensia yang stabil (seperti terlihat pada demensia yang terkait dengan trauma kepala).
J. Faktor Psikosial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi oleh factor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset ) menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.
K. Diagnosis Banding 1. Demensia Tipe Alzheimer lawan Demensia vaskuler
Secara klasik, demensia vaskuler dibedakan dengan demensia tipe Alzheimer dengan adanya perburukan penurunan status mental yang menyertai penyakit serebrovaskuler seiring berjalannya waktu. Meskipun hal tersebut adal ah khas, kemerosotan yang bertahap tersebut tidak secara nyata ditemui pada seluruh kasus. Gejala neurologis fokal lebih sering ditemui pada demensia vaskuler daripada demensia tipe Alzheimer, dimana hal tersebut merupakan patokan adanya faktor risiko penyakit serebrovaskuler. 2.
Demensia Vaskuler lawan Tr ansient I shemic Att acks
Transient ischemic attacks (TIA) adalah suatu episode singkat dari disfungsi neurologis fokal yang terjadi selama kurang dari 24 jam (biasanya 5 hingga 15 menit). Meskipun berbagai mekanisme dapat mungkin terjadi, episode TIA biasanya disebabkan oleh mikroemboli dari lesi arteri intrakranial yang mengakibatkan terjadinya iskemia otak sementara, dan gejala tersebut biasanya menghilang tanpa perubahan patologis jaringan parenkim. Sekitar sepertiga pasien dengan TIA yang tidak mendapatkan terapi mengalami infark serebri di kemudian hari, dengan demikian pengenalan adanya TIA merupakan strategi klinis penting untuk mencegah infark serebri. Dokter harus membedakan antara episode TIA yang mengenai sistem vertebrobasiler dan sistem karotis. Secara umum, gejala penyakit sistem vertebrobasiler mencerminkan adanya
gangguan fungsional baik pada batang otak maupun lobus oksipital, sedangkan distribusi system karotis mencerminkan gejala-gejala gangguan penglihatan unilateral atau kelainan hemisferik. Terapi antikoagulan, dengan obat-obat antipletelet agregasi seperti aspirin dan bedah reksonstruksi vaskuler ekstra dan intrakranial efektif untuk menurunkan risiko infark serebri pada pasien dengan TIA. 3. Delirium
Membedakan antara delirium dan demensia dapat lebih sulit daripada yang ditunjukkan oleh klasifikasi berdasarkan DSM IV. Secara umum, delirium dibedakan dengan demensia oleh awitan yang cepat, durasi yang singkat, fluktuasi gangguan kognitif dalam perjalanannya, eksaserbasi gejala yang bersifat nokturnal, gangguan siklus tidur yang bermakna, dan gangguan perhatian dan persepsi yang menonjol.
L. Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia
Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur kembali. Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu yang panas. Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh Lansia, memberikan
pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari Lansia kabur adalah hal yang dapat dilakukan keluarga yang merawat Lansia dengan demensia di rumahnya.
M. Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia. Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia, sehingga Lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu Lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami Lansia penderita demensia. Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap hari selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka. Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul akibat demensia. Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu meluangkan waktu untuk diri sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang dapat dialami oleh anggota keluarga yang merawat Lansia dengan demensia.
N. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obat-
obatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensia vaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya. pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan.
1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya ( sense of self ) menghilang. Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukan disabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh
dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik. Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif. Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o
Clobazam 1 x 10 mg
o
Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o
Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o
Buspirone HCI 10 - 30 mg
o
Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o
Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresiva
o
Amitriptyline 25 - 50 mg
o
Tofranil 25 - 30 mg
o
Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o
SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1 x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o
Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2) Mood stabilizers
o
Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o
Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o
Topamate 1 x 50 mg
o
Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o
Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o
Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o
Priadel 2 - 3 x 400 mg
Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD ( Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia): Nootropika: o Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg o Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg o Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist: o Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg) o Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m. o Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg o Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse o Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o
Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o
Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor , 5 mg 1x/hari
o
Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o
Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o
Memantine 2 x 5 - 10 mg
3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini. 2,5 Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan penyakit
Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.
4. Behaviour al and Psychol ogical Symptoms of Dementi a (BPSD)
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan membuat payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu1: A. Behavioural
Gangguan perilaku
Agitasi
Hiperaktif
Keluyuran
Perilaku yang tak adekuat
Abulia kognitif
Agresi
Verbal, teriak
Fisik
B. Gangguan nafsu makan
Gangguan ritme diurnal
Tidur/bangun
Perilaku tak sopan (sosial)
Perilaku seksual tak sopan
Deviasi seksual
Piromania
C. Psychological
Gangguan afektif
Anxietas
lritabilitas
Gejala depresif.
Depresi berat
D. Labilitas emosional
Apati
Sindrom waham & salah-identifikasi
Orang menyembunyikan dan mencuri barangnya
paranoid, curiga
Rumah lama dianggap bukan rumahnya
Pasangan / pengasuh
Palsu
Tak setia
Menelantarkan pasien
Cemburu patologik
Keluarga/kenalan yang mati masih hidup
Halusinasi
Visual
Auditorik.Olfaktoriik. Raba (haptik)
BAB III PEMBAHASAN
1. Demensia
Istilah demensia itu berasal dari bahasa asing emence yang pertama kali dipakai oleh Pinel (1745 - 1826). Pikun sebagaimana orang awam mengatakan merupakan gejala lupa yang terjadi pada orang lanjut usia. Pikun ini termasuk gangguan otak yang kronis. Biasanya (tetapi tidak selalu) berkembang secara perlahan-lahan, dimulai dengan gejala depresi yang ringan atau kecemasan yang kadang-kadang disertai dengan gejala kebingungan, kemudian menjadi parah diiringi dengan hilangnya kemampuan intelektual yang umum atau demensia. Jadi istilah pikun yang dipakai oleh kebanyakan orang, terminologI ilmiahnya adalah demensia. (Schaei & Willis, 1991). Jabaran demensia sekarang adalah "kehilangan kemampuan kognisi yang sedemikian berat hingga mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan". (dalam Kusumoputro, 2006). Sedangkan Cummings dan Benson (1992) menggunakan istilah “senescence” yang menandakan perubahan proses menua yang masih dalam taraf normal dan istilah “senility” untuk gangguan intelektual yang terjadi pada lanjut usia tetapi belum mengalami “dementia” (Besdin,1987). Sejak lama istilah perubahan dan gangguan intelektual tersebut dipergunakan tanpa ada jabaran yang rinci. Hampir semua orang lansia yang mengalami kemunduran fungsi mentalnya secara mudah disebut sebagai telah mengalami demensia. Dalam kenyataan belum tentu lansia sudah mengalami demensia dan mungkin hanya baru dalam taraf predemensia. Istilah predemensia belum begitu dikenal oleh masyarakat (Kuntjoro, 2002). Keadaan demensia pada usia lanjut terjadi tidak secara tiba-tiba, tetapi secara berangsurangsur melalui sebuah rangkaian kesatuan dimulai dari “Senescence” berkembang menjadi ”senility” yang disebut sebagai kondisi “pre-demensia” dan selanjutnya baru menjadi “dementia”. Pengenalan demensia masa kini dipusatkan pada pengenalan dini melalui rangkaian kesatuan tersebut yaitu mulai dari kondisi “senescence” yang dikenal sebagai “benign senescent forgetfulness (BSF)”, dan “age-associated memory impairment (AAMI)”, – berlanjut menjadi kondisi “Senility” yang antara lain dikenal sebagai “cognitively impaired not demented (CIND)”, dan “mild cognitive impairment ( MCI)”. Akhirnya barulah disusul fase “dementia” (Kuntjoro, 2002).
Ditambahkan oleh Kusumoputro (2006) orang yang mengalami demensia selain mengalami kelemahan kognisi secara bertahap, juga akan mengalami kemunduran aktivitas hidup sehari-hari (activity of daily living/ADL) Ini pun terjadi secara bertahap dan dapat diamati. Awalnya, kemunduran aktivitas hidup sehari-hari ini berujud sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas hidup yang kompleks (complex activity of daily living ) seperti tidak mampu mengatur keuangan, melakukan korespondensi, bepergian dengan kendaraan umum, melakukan hobi, memasak, menata boga, mengatur obat-obatan, menggunakan telepon, dan sebagainya. Lambat laun penyandang tersebut tidak mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic activity of daily living ) berupa ketidakmampuan untuk berpakaian, menyisir, mandi, toileting , makan, dan aktivitas hidup sehari-hari yang dasar (basic ADL). Jadi proses demensia terjadi secara bertingkat dalam tahapan-tahapan yang dapat diamati dan dikenali kalau saja orang dekatnya waspada. Akibat proses penuaan, mau tidak mau terjadi kemunduran kemampuan otak. Diantara kemampuan yang menurun secara linier atau seiring dengan proses penuaan adalah (dalam Kuntjoro, 2002): a.
Daya Ingat (memori ), berupa penurunan kemampuan penamaan (naming) dan kecepatan mencari kembali informasi yang telah tersimpan dalam pusat memori (speed of information retrieval from memory).
b. Intelegensia Dasar (Fluid intelligence) yang berarti penurunan fungsi otak bagian kanan yang antara lain berupa kesulitan dalam komunikasi non verbal, pemecahan masalah, mengenal wajah orang, kesulitan dalam pemusatan perhatian dan konsentrasi (dalam Flavel, 1997). Dari penelitian Finkel dan Pederson (2000), ditemukan bahwa ada hubungan antara bertambahnya umur dengan kecepatan untuk melakukan persepsi. Kemampuan mempersepsi (Perceptual speed ) disini dicontohkan seperti melakakuan identifikasi suatu objek atau mengingat suatu digit symbol. Kemampuan persepsi ini penting karena akan mempengaruhi kemampuan kognitif seseorang. Biasanya akan mengalami penurunan seiring bertambahnya usia.
2. Gejala Penyakit Demensia Pada Lansia
Hal yang menarik dari gejala penderita demensia adalah adannya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Penderita yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah Lansia dengan usia enam puluh lima tahun keatas. Lansia penderita
demensia tidak memperlihatkan gejala yang menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh penderita itu sendiri, mereka sulit mengingat nama cucu mereka atau lupa meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan meyakinkan diri sendiri bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan berikutnya mulai dirasakan oleh orangorang terdekat yang tinggal bersama, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin Lansia kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua mereka. Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja Lansia menjadi sangat ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Di sinilah keluarga membawa Lansia penderita demensia ke rumah sakit di mana demensia bukanlah menjadi hal utama fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia. Mengkaji dan mendiagnosa demensia bukanlah hal yang mudah dan cepat, perlu waktu yang panjang sebelum memastikan seseorang positif menderita demensia. Setidaknya ada lima jenis pemeriksaan penting yang harus dilakukan, mulai dari pengkajian latar belakang individu, pemeriksaan fisik, pengkajian syaraf, pengkajian status mental dan sebagai penunjang perlu dilakukan juga tes laboratorium. Pada tahap lanjut demensia memunculkan perubahan tingkah laku yang semakin mengkhawatirkan, sehingga perlu sekali bagi keluarga memahami dengan baik perubahan tingkah laku yang dialami oleh Lansia penderita demensia. Pemahaman perubahan tingkah laku pada demensia dapat memunculkan sikap empati yang sangat dibutuhkan oleh para anggota keluarga yang harus dengan sabar merawat mereka. Perubahan tingkah laku (Behavioral symptom) yang dapat terjadi pada Lansia penderita demensia di antaranya adalah delusi, halusinasi, depresi, kerusakan fungsi tubuh, cemas, disorientasi spasial, ketidakmampuan melakukan tindakan yang berarti, tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari secara mandiri,
melawan, marah, agitasi, apatis, dan kabur dari tempat tinggal (Volicer, L., Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
3. Tingkah Laku Lansia Yang Mengalami Demensia
Pada suatu waktu Lansia dengan demensia dapat terbangun dari tidur malamnya dan panik karena tidak mengetahui berada di mana, berteriak-teriak dan sulit untuk ditenangkan. Untuk mangatasi hal ini keluarga perlu membuat Lansia rileks dan aman. Yakinkan bahwa mereka berada di tempat yang aman dan bersama dengan orang-orang yang menyayanginya. Duduklah bersama dalam jarak yang dekat, genggam tangan Lansia, tunjukkan sikap dewasa dan menenangkan. Berikan minuman hangat untuk menenangkan dan bantu lansia untuk tidur kembali. Lansia dengan demensia melakukan sesuatu yang kadang mereka sendiri tidak memahaminya. Tindakan tersebut dapat saja membahayakan dirinya sendiri maupun orang lain. Mereka dapat saja menyalakan kompor dan meninggalkannya begitu saja. Mereka juga merasa mampu mengemudikan kendaraan dan tersesat atau mungkin mengalami kecelakaan. Memakai pakaian yang tidak sesuai kondisi atau menggunakan pakaian berlapis-lapis pada suhu yang panas. Seperti layaknya anak kecil terkadang Lansia dengan demensia bertanya sesuatu yang sama berulang kali walaupun sudah kita jawab, tapi terus saja pertanyaan yang sama disampaikan. Menciptakan lingkungan yang aman seperti tidak menaruh benda tajam sembarang tempat, menaruh kunci kendaraan ditempat yang tidak diketahui oleh Lansia, memberikan pengaman tambahan pada pintu dan jendela untuk menghindari Lansia kabur adalah hal yang dapat dilakukan keluarga yang merawat Lansia dengan demensia di rumahnya.
4. Peran Keluarga Terhadap anggota Yang Mengalami Demensia
Keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam perawatan lansia penderita demensia yang tinggal di rumah. Hidup bersama dengan penderita demensia bukan hal yang mudah, tapi perlu kesiapan khusus baik secara mental maupun lingkungan sekitar. Pada tahap awal demensia penderita dapat secara aktif dilibatkan dalam proses perawatan dirinya. Membuat catatan kegiatan sehari-hari dan minum obat secara teratur. Ini sangat membantu dalam menekan laju kemunduran kognitif yang akan dialami penderita demensia.
Keluarga tidak berarti harus membantu semua kebutuhan harian Lansia, sehingga Lansia cenderung diam dan bergantung pada lingkungan. Seluruh anggota keluargapun diharapkan aktif dalam membantu Lansia agar dapat seoptimal mungkin melakukan aktifitas sehari-harinya secara mandiri dengan aman. Melakukan aktivitas sehari-hari secara rutin sebagaimana pada umumnya Lansia tanpa demensia dapat mengurangi depresi yang dialami Lansia penderita demensia. Merawat penderita dengan demensia memang penuh dengan dilema, walaupun setiap hari selama hampir 24 jam kita mengurus mereka, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal dan mengingat siapa kita, bahkan tidak ada ucapan terima kasih setelah apa yang kita lakukan untuk mereka. Kesabaran adalah sebuah tuntutan dalam merawat anggota keluarga yang menderita demensia. Tanamkanlah dalam hati bahwa penderita demensia tidak mengetahui apa yang terjadi pada dirinya. Merekapun berusaha dengan keras untuk melawan gejala yang muncul akibat demensia. Saling menguatkan sesama anggota keluarga dan selalu meluangkan waktu untuk diri sendiri beristirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman lain dapat menghindarkan stress yang dapat dialami oleh anggota keluarga yang merawat Lansia dengan demensia.
5. Penatalaksanaan Penyakit Demensia
Langkah pertama dalam menangani kasus demensia adalah melakukan verifikasi diagnosis. Diagnosis yang akurat sangat penting mengingat progresifitas penyakit dapat dihambat atau bahkan disembuhkan jika terapi yang tepat dapat diberikan. Tindakan pengukuran untuk pencegahan adalah penting terutama pada demensia vaskuler. Pengukuran tersebut dapat berupa pengaturan diet, olahraga, dan pengontrolan terhadap diabetes dan hipertensi. Obatobatan yang diberikan dapat berupa antihipertensi, antikoagulan, atau antiplatelet. Pengontrolan terhadap tekanan darah harus dilakukan sehingga tekanan darah pasien dapat dijaga agar berada dalam batas normal, hal ini didukung oleh fakta adanya perbaikan fungsi kognitif pada pasien demensiavaskuler. Tekanan darah yang berada dibawah nilai normal menunjukkan perburukan fungsi kognitif, secara lebih lanjut, pada pasien dengan demensia vaskuler. Pilihan obat antihipertensi dalam hal ini adalah sangat penting mengingat antagonis reseptor b-2 dapat memperburuk kerusakan fungsi kognitif. Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan diuretik telah dibuktikan tidak berhubungan dengan perburukan fungsi kognitif dan diperkirakan hal itu disebabkan oleh efek penurunan tekanan darah tanpa mempengaruhi aliran darah otak. Tindakan bedah untuk mengeluarkan plak karotis dapat mencegah kejadian vaskuler berikutnya
pada pasien-pasien yang telah diseleksi secara hati-hati. Pendekatan terapi secara umum pada pasien dengan demensia bertujuan untuk memberikan perawatan medis suportif, dukungan emosional untuk pasien dan keluarganya, serta terapi farmakologis untuk gejala-gejala yang spesifik, termasuk perilaku yang merugikan. 1. Terapi Psikososial
Kemerosotan status mental memiliki makna yang signifikan pada pasien dengan demensia. Keinginan untuk melanjutkan hidup tergantung pada memori. Memori jangka pendek hilang sebelum hilangnya memori jangka panjang pada kebanyakan kasus demensia, dan banyak pasien biasanya mengalami distres akibat memikirkan bagaimana mereka menggunakan lagi fungsi memorinya disamping memikirkan penyakit yang sedang dialaminya. Identitas pasien menjadi pudar seiring perjalanan penyakitnya, dan mereka hanya dapat sedikit dan semakin sedikit menggunakan daya ingatnya. Reaksi emosional bervariasi mulai dari depresi hingga kecemasan yang berat dan teror katastrofik yang berakar dari kesadaran bahwa pemahaman akan dirinya ( sense of self ) menghilang. Pasien biasanya akan mendapatkan manfaat dari psikoterapi suportif dan edukatif sehingga mereka dapat memahami perjalanan dan sifat alamiah dari penyakit yang dideritanya. Mereka juga bisa mendapatkan dukungan dalam kesedihannya dan penerimaan akan perburukandisabilitas serta perhatian akan masalah-masalah harga dirinya. Banyak fungsi yang masih utuh dapat dimaksimalkan dengan membantu pasien mengidentifikasi aktivitas yang masih dapat dikerjakannya. Suatu pendekatan psikodinamik terhadap defek fungsi ego dan keterbatasan fungsi kognitif juga dapat bermanfaat. Dokter dapat membantu pasien untuk menemukan cara “berdamai” dengan defek fungsi ego, seperti menyimpan kalender untuk pasien dengan masalah orientasi, membuat jadwal untuk membantu menata struktur aktivitasnya, serta membuat catatan untuk masalah-masalah daya ingat. Intervensi psikodinamik dengan melibatkan keluarga pasien dapat sangat membantu. Hal tersebut membantu pasien untuk melawan perasaan bersalah, kesedihan, kemarahan, dan keputusasaan karena ia merasa perlahan-lahan dijauhi oleh keluarganya.
2. Farmakoterapi
Dokter dapat meresepkan benzodiazepine untuk insomnia dan kecemasan, antidepresi untuk depresi, dan obat-obat antipsikotik untuk waham dan halusinasi, akan tetapi dokter juga harus
mewaspadai efek idiosinkrasi obat yang mungkin terjadi pada pasien usia lanjut (misalnya kegembiraan paradoksikal, kebingungan, dan peningkatan efek sedasi). Secara umum, obatobatan dengan aktivitas antikolinergik yang tinggi sebaiknya dihindarkan. Donezepil, rivastigmin, galantamin, dan takrin adalah penghambat kolinesterase yang digunakan untuk mengobati gangguan kognitif ringan hingga sedang pada penyakit Alzheimer. Obat-obat tersebut menurunkan inaktivasi dari neurotransmitter asetilkolin sehingga meningkatkan potensi neurotransmitter kolinergik yang pada gilirannya menimbulkan perbaikan memori. Obat-obatan tersebut sangat bermanfaat untuk seseorang dengan kehilangan memori ringan hingga sedang yang memiliki neuron kolinergik basal yang masih baik melalui penguatan neurotransmisi kolinergik. Donezepil ditoleransi dengan baik dan digunakan secara luas. Takrin jarang digunakan karena potensial menimbulkan hepatotoksisitas. Sedikit data klinis yang tersedia mengenai rivastigmin dan galantamin, yang sepertinya menimbulkan efek gastrointestinal (GI) dan efek samping neuropsikiatrik yang lebih tinggi daripada donezepil. Tidak satupun dari obat-obatan tersebut dapat mencegah degenerasi neuron progresif. Menurut Witjaksana Roan terapi farmakologi pada pasien demensia berupa1:
Antipsikotika tipik: Haloperidol 0,25 - 0,5 atau 1 - 2 mg
Antipsikotika atipik:
Clozaril 1 x 12.5 - 25 mg
Risperidone 0,25 - 0,5 mg atau 0,75 - 1,75
Olanzapine 2,5 - 5,0 mg atau 5 - 10 mg
Quetiapine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
Abilify 1 x 10 - 15 mg
Anxiolitika
o
Clobazam 1 x 10 mg
o
Lorazepam 0,5 - 1.0 mg atau 1,5 - 2 mg
o
Bromazepam 1,5 mg - 6 mg
o
Buspirone HCI 10 - 30 mg
o
Trazodone 25 - 10 mg atau 50 - 100 mg
o
Rivotril 2 mg (1 x 0,5mg - 2mg)
Antidepresiva
o
Amitriptyline 25 - 50 mg
o
Tofranil 25 - 30 mg
o
Asendin 1 x 25 - 3 x 100 mg (hati2, cukup keras)
o
SSRI spt Zoloft 1x 50 mg, Seroxat 1x20 mg, Luvox 1 x 50 -100 mg, Citalopram 1
o
x 10 - 20 mg, Cipralex, Efexor-XR 1 x 75 mg, Cymbalta 1 x 60 mg.
o
Mirtazapine (Remeron) 7,5 mg - 30 mg (hati2)
Mood stabilizers
o
Carbamazepine 100 - 200 mg atau 400 - 600 mg
o
Divalproex 125 - 250 mg atau 500 - 750 mg
o
Topamate 1 x 50 mg
o
Tnileptal 1 x 300 mg - 3 x mg
o
Neurontin 1 x 100 - 3 x 300 mg bisa naik hingga 1800 mg
o
Lamictal 1 x 50 mg 2 x 50 mg
o
Priadel 2 - 3 x 400 mg Obat anti-demensia pada kasus demensia stadium lanjut sebenarnya sudah tak berguna lagi, namun bila diberikan dapat mengefektifkan obat terhadap BPSD ( Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia):
Nootropika: o
Pyritinol (Encephabol) 1 x100 - 3 x 200 mg
o
Piracetam(Nootropil) 1 x 400 - 3 x 1200 mg
o
Sabeluzole (Reminyl)
Ca-antagonist:
o
Nimodipine (Nimotop 1 - 3 x 30 mg)
o
Citicholine (Nicholin) 1 - 2 x 100 - 300 mg i.v / i.m.
o
Cinnarizine(Stugeron) 1 - 3 x 25 mg
o
Pentoxifylline (Trental) 2 - 3 x 400 mg (oral), 200 - 300 mg infuse
o
Pantoyl-GABA
Acetylcholinesterase inhibitors
o
Tacrine 10 mg dinaikkan lambat laun hingga 80 mg. Hepatotoxik
o
Donepezil (Aricept) centrally active reversible cholinesterase inhibitor , 5 mg 1x/hari
o
Galantamine (Riminil) 1 - 3 x 5 mg
o
Rivastigmin (Exelon) 1,5, 3, 4, 5, 6 mg
o
Memantine 2 x 5 - 10 mg
3. Terapi dengan Menggunakan Pendekatan Lain
Obat-obatan lain telah diuji untuk meningkatkan aktivitas kognitif termasuk penguat metabolisme serebral umum, penghambat kanal kalsium, dan agen serotonergik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa slegilin (suatu penghambat monoamine oksidase tipe B), dapat memperlambat perkembangan penyakit ini. Terapi pengganti Estrogen dapat menginduksi risiko penurunan fungsi kognitif pada wanita pasca menopause, walau demikian masih diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai hal tersebut. Terapi komplemen dan alternatif menggunakan ginkgo biloba dan fitoterapi lainnya bertujuan untuk melihat efek positif terhadap fungsi kognisi. Laporan mengenai penggunaan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) memiliki efek lebih rendah terhadap perkembangan pen yakit Alzheimer. Vitamin E tidak menunjukkan manfaat dalam pencegahan penyakit.
4. Behaviour al and Psychol ogical Symptoms of Dementi a (BPSD)
Behavioural and Psychological Symptoms of Dementia (BPSD) penting untuk diperhatikan karena merupakan satu akibat yang merepotkan bagi pengasuh dan membuat payah bagi sang pasien karena ulahnya yang amat mengganggu1: a. Behavioural
Gangguan perilaku
Agitasi
Hiperaktif
Keluyuran
Perilaku yang tak adekuat
Abulia kognitif
Agresi
Verbal, teriak
Fisik
b. Gangguan nafsu makan
Gangguan ritme diurnal
Tidur/bangun
Perilaku tak sopan (sosial)
Perilaku seksual tak sopan
Deviasi seksual
Piromania
c.
Psychological
Gangguan afektif
Anxietas
lritabilitas
Gejala depresif.
Depresi berat
d. Labilitas emosional
Apati
Sindrom waham & salah-identifikasi
Orang menyembunyikan dan mencuri barangnya
paranoid, curiga
Rumah lama dianggap bukan rumahnya
Pasangan / pengasuh
Palsu
Tak setia
Menelantarkan pasien
Cemburu patologik
Keluarga/kenalan yang mati masih hidup
Halusinasi
Visual
Auditorik
Olfaktoriik
Raba (haptik)
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Demensia merupakan kerusakan progresif fungsi-fungsi kognitif tanpa disertai gangguan 2. kesadaran 3. Prevalensi demensia semakin meningkat dengan bertambahnya usia 4. Demensia yang paling sering dijumpai, yaitu demensia tipe Alzheimer (Alzheimer’s diseases) 5.
Perubahan psikiatrik dan neurologis pada pasien demensia meliputi kepribadian, halusinasi dan waham,mood, perubahan kognitif, reaksi Katastrofik, Sindrom Sundowner
6.
Demensia dapat diklasifikasikan berdasarkan umur, perjalanan penyakit, kerusakan struktur otak, sifat klinisnya dan menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
7.
Diagnosis demensia ditetapkan dalam DSM-IV-TR dan Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III
8. Perjalanan penyakit yang klasik pada demensia adalah awitan (onset ) yang dimulai pada usia 50 atau 60-an dengan perburukan yang bertahap dalam 5 atau 10 tahun, yang sering berakhir dengan kematian 9.
Diagnosis Banding meliputi Demensia tipe Alzheimer lawan demensia vaskuler, demensia vaskuler lawan transient ishemic attacks , delirium, depresi, skizofrenia, proses penuaan yang normal, gangguan lainnya (retardasi mental, gangguan ,depresi berat)
10. Penatalaksanaan pasien demensia meliputi 11. Terapi pada demensia meliputi psikososial, farmakoterapi, terapi dengan menggunakan pendekatan lain, Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)
B. Saran
Demensia adalah suatu kelainan organik yang dalam penegakkan diagnosisnya membutuhkan ketelitian baik dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan harus diingat penatalaksanaan pada pasien demensia bukan hanya farmakologi tetapi bersifat holistic yang juga mencakup psikososial dan Behavioural And Psychological Symptoms Of Dementia (BPSD)
DAFTAR PUSTAKA
1.
Roan Witjaksana. Delirium dan Demensia. Diakses dari : http://www.
2.
idijakbar.com/prosiding/delirium.htm. 7 Oktober 2008.
3.
Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Delirium, dementia, amnestic and
4.
cognitive disorders. Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical
5.
Psychiatry, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins.Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman
6.
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67 Dementia.
7.
Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7 Oktober 2008 Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001. Jakarta; PT Nuh Jaya. 2026 Memory Disoders.
8.
Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory%20Disorders.htm. 7 Oktober 2008 Information about dementia.
9.
Diakses dari http://www.umsl.edu/~homecare/dementia.htm. 7 Oktober 2008 Dementia. Diakses dari :
10.
http://www.geriatricsandaging.ca/fmi/xsl/article.xsl?lay=Article&Name=Dementia:%20Biological%20and%20Clinical%20Advances--
11. Part%20I&-find. 7 Oktober 2008 Smith, David S. Field Guide to Bedside Diagnosis, 2nd Edition. 2007 Lippincott Williams & Wilkins 12. Maramis WF. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi ke-8. Surabaya: Airlangga University Press. 2005.193 13. Duke, L.M. & Kaszniak, A.W. (2000). Executive Control Functions in Degenerative Dementias: A Comparative Review. Neuropsychology Review, 10, (2).
14. Flavel, J.H. (1997). Cognitive Development . New Jersey: Prentice Hall Inc. 15. Finkel, D. & Pederson, N.L. (2000). Contribution of Age, Genes, and Environment to the Relationship Between Perceptual Speed and Cognitive Ability. Psychology and Aging, 15, (1) , 56-64. 16. Fox, K., Hinton, W.L. & Lefkoff, S. (1999). Take Up The Caregiver’s Burden: Stories of Care for Urban African American Elders with Dementia. Culture, Medicine and Psychiatry, 23, 501 – 529.
17. Freund, B., Gravenstein, S., Ferris, B., Burke, B.L. & Shaheen, E. (2005). Drawing clocks and driving cars : use of brief tests of cognition to screen driving competency in older adults, J Gen Intern Med , 20, 240 – 244. 18. Graves, A.B. (1996). Prevalence of dementia and its subtypes in the japanese american population of king county, washington state, the kame project. American Journal of Epidemiology by The Johns Hopkins University School of Hygiene and Public Health, 144 (8). 19. Greider, K. & Neimark, J.M (1996), Making Our Minds Last a Lifetime - anti Aging Research, Psychology Today, Nov-Des, 1996 . 20. Henderson, M., Scot, S. & Hotopf, M., (2007). Use of the clock-drawing test in a hospice population, Palliative Medicine 2007; 21: 559 – 565 . 21. Hendrie, H.C. (1995). Prevalence of Alzheimer’s Disease and Dementia in Two Communities: Nigerian Africans and African Americans, American Journal of Psychiatri, Vol. 152 : 14821492. 22. Kuntjoro, Z.S. (2002). Pengenalan Dini Demensia (Predemensia).,(diambil tgl 20 Oktober 2007), www.e-psikologi.com/usia/170602.htm 23. Kusumoputro, (2007). Kelemahan Kognisi Ringan sebagai Awal Pikun Alzheimer pada Lanjut Usia, (diambil tgl 20 Oktober 2007) http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/01/opini/401780.htm
24. Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, 1993. 49-67 Dementia. 25. Diakses dari : http://www.medicinenet.com/dementia/ article. htm. 7 Oktober 2008 Maslim R.Buku saku Diagnosis Gangguan Jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ III.2001. Jakarta; PT Nuh Jaya. 2026 Memory Disoders. 26. Diakses dari : http://www.gabehavioral.com/Memory%20Disorders.htm. 7 Oktober 2008 Information about dementia. 27. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism Vol. 84, No. 6. Mc-Cracken, dkk. (1997).
28.
Prevalence of Dementia and Depression among Elderly People in Black and Etnick Minorities, Departement of Psychiatry, University of Liverpool. Monnot, M., Brosey, M. & Ross, E. (2005 ). Screening For Dementia: Family Caregiver Questionnaires Reliably Predict Dementia, JABFP July – August 2005 Vol. 18 No. 4 Santrock, J.W. (1999). Life-Span Development , Seventh Edition, Boston: McGraw-Hill Schaie K.W. & Willis, S.L. (1991). Adult Development and Aging , New York: HarperCollins Publishers .