Long Case
Appendicities
Disusun oleh : Ahmad Ali Zulkarnain
20070310070
Charlie A Gunawan
20080310016
Ahmad Ramadhan
20080310002
Diajukan kepada : Dr. Nurul Jaqin Sp.B, M.Kes
BAGIAN ILMU BEDAH RUMAH SAKIT PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
1. IDENTITAS PASIEN
Nama
: Tn. Sumardi
Umur
: 80tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Swasta
Status
: Menikah
Alamat
: Tegal Singotan RT01/11 Kasihan, Tamantirto, Bantul, Yogyakarta
Tanggal Masuk
: 01-07-2014
2. ANAMNESIS
Keluhan Utama
: Nyeri perut kanan bawah
Keluhan Tambahan
: Mual, perut terasa panas
Riwayat Penyakit Sekarang
: Pasien datang ke poli dengan keluhan sakit perut kanan bawah sudah sejak 3 hari yang, sebelumnya pasien pernah sakit serupa kurang lebih 2 minggu minggu sebelumnya, kemudian 1 minggu berikutnya membaik, keluhan hilang, kemudian timbul lagi 3 hari yang lalu setelah pasien mengkonsumsi sambal. Pasien mengeluh mual, tapi tidak sampai muntah, BAK normal, BAB normal lancar.
Riwayat Penyakit Dahulu
: Pasien mengaku riwayat nyeri sebelumnya ada dan berulang beberapa kali. Ada riwayat hipertensi, DM, dan penyakit jantung.
Riwayat Penyakit Keluarga
: Pasien mengaku tidak ada anggota keluarga yang yang mengalami gejala yang serupa dengan pasien.
Anamnesis Sistem Sistem Serebrospinal
: Keadaan sadar, pusing (-), demam(-).
Sistem Kardiovaskular
: Berdebar-debar(-), nyeri dada(-).
Sistem Respiratorius
: Sesaknafas(-), batuk(-).
Sistem Gastrointestinal
: Mual (+), flatus (+), muntah (-), BAB (-).
Sistem Urogenital
: BAK tidak ada keluhan, warna kuning, nyeri saat
BAK (-).
Sistem Integumentum
: tidak ada keluhan
Sistem Muskuloskeletal
: tidak ada udem, deformitas maupun fraktur.
Review Anamnesis Seorang laki-laki usia 80 tahun mengeluh nyeri perut kanan bawah sudah sejak 3 hari yang lalu, keluhan ini berulang sekitar 2 minggu yang lalu. Mual (+), muntah (), riwayat Hipertensi (+), Diabetes Melitus (+), Penyakit jantung (+).
3. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
: Baik,
Kesadaran
: Compos mentis,
Vital Sign a. Suhu
: 36º C per aksila
b. Nadi
: 76x/menit, teratur, kuat angkat, isi dan tegangan cukup
c. Pernafasan
: 24 x/menit
d. Tekanan darah
: 160/90 mmHg
Konjungtiva
: Pada mata kanan dan kiri tidak anemis
Sklera
: Mata kanan dan kiri tidak ikterik
Pupil
: Isokor kanan-kiri, reflek cahaya (+ /+)
Palpebra
: Tidak oedem
JVP
: tidak meningkat
Kelenjar tiroid
: tidak membesar
Kelenjar limfonodi
: tidak membesar
Pemeriksaan Thoraks a. Paru-paru (*) Inspeksi
: Simetris kanan kiri, retraksi(-), ketinggalan gerak (-).
(*) Palpasi
: Vocal fremitus kanan = kiri
(*) Perkusi
: Sonor pada lapang parukiri dan kanan
(*) Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+)/(+), Ronkhi (+)/(+). Jantung 1) Inspeksi
: Ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi
: Ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra
Pemeriksaan Abdomen (Status Lokalis) a. Inspeksi
: Sikatrik bekas operasi (-), benjolan (-), venektasi (-), tanda radang(-), distensi (-),
b. Auskultasi : Bunyi peristaltik (+)normal c. Perkusi
: Timpani (+), pekak hepar (-),
d. Palpasi
: Nyeri tekan (+)region inguinalis dextra (titik Mc. Burney), lien tidak teraba, hepar tidak teraba, Rovsing Sign (+), Psoas Si gn(-), Obturator Sign (-) defans muscular (-),
Pemeriksaan Ekstremitas a. Superior
: deformitas (-), edem (-), akral hangat, nyeri otot (-), nyeri sendi (-).
b. Inferior
: deformitas (-), edema (-), akral hangat, nyeri otot betis(-), nyeri
sendi (-).
ASSESMENT Observasi nyeri tekan abdomen regio inguinal dextra titik mc. Burney
4. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK Pemeriksaan Laboratorium
Nilai Nilai rujukan Hemoglobin
12.7g/dl(N)
13,2 – 17,3
Leukosit
6.3/ul(H)
3800 – 10.000
Eosinofil
0%(L)
Basofil
0% (N)
0 – 1
Neutrofil
66% (H)
50 – 70
Limfosit
23%(L)
25 – 40
Monosit
11%(N)
2 – 8
Hematokrit
38%(N)
40 – 52
Eritrosit
4.44x106/ul(N)
Trombosit
212.000/ul(N)
MCV
85.7fl(N)
MCH
38.6pg(N)
26 – 34
MCHC
33.3g/dl(N)
32 – 36
Golongan darah
B
2 – 4
4,4 – 5,9 150 – 400 80 – 100
Gula Darah Sewaktu 126 mg/dl (N)
70 – 150
Ureum
51.0mg/dl (N)
< 50
Creatinin
1.1 mg/dl (N)
0.4 – 0.7
PTT
13.6
11-15
APTT
32.9
25-35
HbsAg
Negatif
Negatif
USG (Ultra Sonoghraphy) USG Upper dan Lower Abdomen Hepar
: Echostruktur Normal, Sudut Lancip, IHBD tak prominen, tak tampak massa/nodul
VF
: Dinding licin, Lumen Sonoluscen, tak tampak massa/batu/sludge
Pancreas
: Echostruktur Normal, Tak tampak massa
Lien
: Echostruktur Normal, tak tampak massa
Ren Dextra
: Echostruktur Normal, pyramid tak prominen, SPC tampak tak melebar, tak tampak massa/batu.
Ren Sinistra
: Echostruktur Normal, pyramid tak prominen, SPC tampak tak melebar, tampak Lesi anechoic, bentuk bulat, batas tegas, multiple ukuran LK 5,7 CM x 5,9 CM di pole cranial dan ukuran LK 1,3 cm x 1,3 cm pole media
VU
: Terisi cairan optimal, dinding licin, tak tampak massa/batu
Prostat
: Echostruktur normal, tak tampak massa regio iliaca dextra : Lesi hipoechoic ukuran LK 6,2mm
Kesan
: Simpe Cyst ren sinistra multiple ukuran lk 5,7cm x 5,9cm di pole cranial dan ukuran lk 1,3cmx1,3cm pole media
Suspect appendicitis Tak tampak kelainan lain pada organ-organ tersebut diatas.
TINJAUAN PUSTAKA
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi. (2)
I. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan Bursa Fabricus) membentuk produk immunoglobulin. (2) Appendiks adalah suatu struktur kecil, berbentuk seperti tabung yang berkait menempel pada bagian awal dari sekum. Pangkalnya terletak pada posteromedial caecum. Pada Ileocaecal junction terdapat Valvula Ileocecalis (Bauhini) dan pada pangkal appendiks terdapat valvula appendicularis (Gerlachi). Panjang antara 7-10 cm, diameter 0,7 cm.
Lumennya sempit di bagian
proksimal dan melebar di bagian distal.(1) Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen. Tepatnya di ileosecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks berada pada titik Mc Burney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan. (3) Appendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki limfonodi kecil.
(4,7)
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner
circular layer). Dinding luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari appendiks. (4) Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal. (5) Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 % kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.(2) Jenis posisi: Promontorik
: ujung appendiks menunjuk ke arah promontoriun sacri
Retrocolic
: appendiks berada di belakang kolon ascenden dan biasanya retroperitoneal.
Antecaecal
: appendiks berada di depan caecum.
Paracaecal
: appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
Pelvic descenden
: appendiks menggantung ke arah pelvis minor
Retrocaecal
: intraperitoneal atau retroperitoneal; appendiks berputar ke atas ke belakang caecum.(6)
Appendiks dipersarafi oleh parasimpatis dan simpatis. Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri appendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus thorakalis X. Oleh karena itu, nyeri viseral pada appendisitis bermula di sekitar umbilikus. (2)
Pendarahan appendiks berasal dari arteri Appendikularis , cabang dari a.Ileocecalis, cabang dari a. Mesenterica superior. A. Appendikularis merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan mengalami gangren. (2) Secara histologis, appendiks mempunyai basis stuktur yang sama seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vascular submucosa oleh mucosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di mesoappendiks. Jika apendik terletak retroperitoneal, maka appendiks tidak terbungkus oleh tunika serosa. Histologis: Lapisan-lapisan pada appendiks adalah: - Tunika mucosa
: memiliki kriptus tapi tidak memiliki villus.
- Tunika submucosa : tebal, banyak folikel lymphoid, terdapat anyaman pambuluh darah dan saraf - Tunika muscularis
: stratum sirculare sebelah dalam dan stratum longitudinale ( gabungan tiga tinea coli) sebelah luar.
- Tunika serosa
: memiliki struktur yang tidak berbeda dengan yang terdapat pada intestinum tenue. Kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendiks yang merupakan alat penggantung sebagai lanjutan peritoneum viseral
II. Fisiologi
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml perhari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis. (2) Dinding appendiks terdiri dari jaringan lymphe yang merupakan bagian dari sistem imun dalam pembuatan antibodi. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
appendiks, ialah IgA. Imunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfonodi di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. (2) Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi obliterasi lumen apendiks komplit.
(5)
III. Definisi
Apendisitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis. Peradangan akut apendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.(2) IV. Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan penyebab tersering dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal.
(5,8)
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90% kasus apendisitis gangrenous dengan rupture.
(5)
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya apendisits akut. (2) V. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.(9) Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar 0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20. Manusia merupakan salah satu dari sedikit makhluk hidup yang dapat mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.(5) Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. (9,10)
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisiti s supur atif akut .(9) Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendi si ti s per forasi . (9) Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate . Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang. apendikularis
(9)
I nfi ltr at apendikulari s merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa
dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini
merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
(2)
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah. (9) Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-benar istirahat (bedrest). (4) Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.
(2)
VI. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang sering dikeluhkan oleh penderita, antara lain 1. Nyeri abdominal Nyeri ini merupakan gejala klasik appendisitis. Mula-mula nyeri dirasakan samarsamar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral di daerah epigastrium atau sekitar umbilicus. Setelah beberapa jam nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan bawah (titik Mc Burney). Nyeri akan bersifat tajam dan lebih jelas letaknya sehingga berupa nyeri somatik setempat. Bila terjadi perangsangan peritonium biasanya penderita akan mengeluh nyeri di perut pada saat berjalan atau batuk.(2) 2. Mual-muntah biasanya pada fase awal.
3. Nafsu makan menurun. 4. Obstipasi dan diare pada anak-anak. 5. Demam, terjadi bila sudah ada komplikasi, bila belum ada komplikasi biasanya tubuh belum panas. Suhu biasanya berkisar 37,5º-38,5º C Gejala appendisitis akut pada anak-anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Karena gejala yang tidak spesifik ini sering diagnosis appendisitis diketahui setelah terjadi perforasi. (2) Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. (2) Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (2)
VII. Pemeriksaan Fisik
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu aksilar dan rektal sampai 1C. 1. Inspeksi Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler. 2. Palpasi Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda peritonitis lokal yaitu:
Nyeri tekan di Mc. Burney
Nyeri lepas
Defans muscular lokal. Defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.
Pada appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak ada, yang ada nyeri pinggang. Nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan.
atau adanya abses apendikuler terlihat dengan adanya Appendisitis infiltrat penonjolan di perut kanan bawah. (2) 3. Auskultasi Peristaltik usus sering normal. Peristaltik dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur akan didapatkan nyeri kuadran kanan pada jam 9-12. Pada appendisitis pelvika akan didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
(2)
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif. Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan nyeri. (2)
Psoas sign. Nyeri pada saat paha kanan pasien diekstensikan. Pasien dimiringkan
kekiri. Pemeriksa meluruskan paha kanan pasien, pada saat itu ada hambatan pada pinggul / pangkal paha kanan. (11) Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan).
(11)
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan.
Pemeriksa menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut (tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam.
(11)
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan otot obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. (11)
VIII. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium a. Pemeriksaan darah : akan didapatkan leukositosis pada kebanyakan kasus appendicitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi, C-reaktif protein meningkat. Pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat. b. Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan appendisitis. 2. Abdominal X-Ray Digunakan untuk melihat adanya fecalith sebagai penyebab appendisitis. Pemeriksaan ini dilakukan terutama pada anak-anak. 3. USG Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan sebagainya. 4. Barium enema
diagnosis
banding
seperti
kehamilan
ektopik,
adnecitis
dan
Suatu pemeriksaan x-ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendisitis pada jaringan sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding. Appendicogram memiliki sensitivitas dan tingkat akurasi yang tinggi sebagai metode diagnostik untuk menegakkan
diagnosis
appendisitis
khronis.
Dimana
akan
tampak
pelebaran/penebalan dinding mukosa appendiks, disertai penyempitan lumen hingga sumbatan usus oleh fekalit. 5. CT-scan Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendisitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi dari appendisitis seperti bila terjadi abses. 6. Laparoscopi Suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukan dalam abdomen, appendiks dapat divisualisasikan secara langsung. Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendiks maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendiks. 7. Histopatologi Pemeriksaan histopatologi adalah standar emas (gold standard) untuk diagnosis appendisitis akut . Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai gambaran histopatologi
appendisitis akut. Perbedaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa belum adanya kriteria gambaran histopatologi appendisitis akut secara universal dan tidak ada gambaran histopatologi apendisitis akut pada orang yang tidak dilakukan operasi. Definisi histopatologi apendisitis akut: Sel granulosit pada mukosa dengan ulserasi fokal atau difus di 1
lapisan epitel.
2
Abses pada kripte dengan sel granulosit dilapisan epitel. Sel granulosit dalam lumen appendiks dengan infiltrasi ke dalam
3
lapisan epitel. Sel granulosit diatas lapisan serosa appendiks dengan abses
4
apendikuler, dengan atau tanpa terlibatnya lapisan mukusa.
Sel granulosit pada lapisan serosa atau muskuler tanpa abses mukosa 5
dan keterlibatan lapisan mukosa, bukan apendisitis akut tetapi periapendisitis.
Sistem skor Alvarado
Diagnosis appendisitis akut pada anak tidak mudah ditegakkan hanya berdasarkan gambaran klinis, hal ini disebabkan sulitnya komunikasi antara anak, orang tua dan dokter. Anak belum mampu untuk mendiskripsikan keluhan yang dialami, suatu hal yang relatif lebih mudah pada umur dewasa. Keadaan ini menghasilkan angka appendiktomi negatif sebesar 20% dan angka perforasi sebesar 20-30% (Ramachandran, 1996). Salah satu upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan medis ialah membuat diagnosis yang tepat. Telah banyak dikemukakan cara untuk menurunkan insidensi apendiktomi negatif, salah satunya adalah dengan instrumen skor Alvarado. Skor Alvarado adalah sistem skoring sederhana yang bisa dilakukan dengan mudah, cepat dan kurang invasif (Seleem; Amri dan Bermansyah, 1997). Alfredo Alvarado tahun 1986 membuat sistem skor yang didasarkan pada ti ga gejala , ti ga tanda dan dua . Klasifikasi ini berdasarkan pada temuan pra operasi dan untuk menilai temuan laboratori um derajat keparahan apendisitis. Dalam sistem skor Alvarado ini menggunakan faktor risiko meliputi migrasi nyeri, anoreksia, nausea dan atau vomitus, nyeri tekan di abdomen kuadran kanan bawah, nyeri lepas tekan , temperatur lebih dari 37,2 0C, lekositosis dan netrofil lebih dari 75%. Nyeri tekan kuadran kanan bawah dan lekositosis mempunyai nilai 2 dan keenam sisanya masing-masing mempunyai nilai 1, sehingga kedelapan faktor ini memberikan jumlah skor 10 (Alvarado, 1986; Rice, 1999). Skor Alvarado untuk diagnosis appendisitis akut: Gejala dan tanda:
Skor
Nyeri berpindah
1
Anoreksia
1
Mual-muntah
1
Nyeri fossa iliaka kanan
2
Nyeri lepas
1
Peningkatan suhu > 37,3 0C
1
Jumlah leukosit > 10x10 3/L
2
Jumlah neutrofil > 75%
1
__________________________________________________ Total skor:
10
Keterangan Alavarado score :
Dinyatakan appendicitis akut bila > 7 point
Modified Alvarado score (Kalan et al) tanpa observasi of Hematogram:
1 – 4
dipertimbangkan appendicitis akut
5 – 6
possible appendicitis tidak perlu operasi
7 – 9
appendicitis akut perlu pembedahan
Penanganan berdasarkan skor Alvarado 1 – 4
: observasi
5 – 6
: antibiotic
:
7 – 10 : operasi dini IX. Diagnosis Banding
1. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan appendisitis.
2. Limfadenitis mesenterica Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai dengan perasaan mualmuntah. 3. Ileitis akut Berkaitan dengan diare dan sering kali riwayat kronis, tetapi tidak jarang anorexia, mual, muntah. Jika ditemukan pada laparotomi, appendiktomi insidental diindikasikan utntuk menghilangkan gejala yang membingungkan.
4. DHF Pada penyakit ini pemeriksaan darah terdapat trombositopeni, leukopeni, rumple leed (+), hematokrit meningkat. 5. Peradangan pelvis Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua organ ini sering
bersamaan
sehingga
disebut
salpingo-ooforitis
atau
adnecitis.
Untuk
menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat kontak sexual. Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri. 6. Kehamilan ektopik Ada riwayat terhambat menstruasi dengan keluhan yang tidak menentu. Jika terjadi ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vagina didapatkan nyeri dan penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan darah.
7. Diverticulitis Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadang-kadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejala-gejala appendisitis. 8. Batu ureter atau batu ginjal Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
X. Penatalaksanaan Appendiktomi
§
Cito
: akut, abses & perforasi
§
Elektif
: kronik
Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan apendektomi sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa komplikasi tidak banyak masalah.
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. (12) Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase. (12) Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan untuk
dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. (2) Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa perforasi. (13) Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. (13) Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi secepatnya.
(2)
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi, apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat : 1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi. 2. Diet lunak bubur saring 3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.(4,2)
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Obse rvasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase. (4) Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita di RT.
(4)
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila : 1. Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen 2. Pemeriksaan fisik : o
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler)
o
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
o
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil dibanding semula.
Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
o
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat : 1. Bila LED telah menurun kurang dari 40 2. Tidak didapatkan leukositosis 3.
Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
o
Apakah penderita sudah bed rest total
o
Pemakaian antibiotik penderita
o
Kemungkinan adanya sebab lain.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.(4) Pembedahannya adalah dengan appendiktomi, yang dapat dicapai melalui insisi Mc Burney (Raffensperger, 1990; Cloud, 1993). Tindakan pembedahan pada kasus apendisitis akut dengan penyulit peritonitis berupa apendektomi yang dicapai melalui laparotomi (Raffensperger,1990; Mantu, 1994; Ein, 2000).
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendektomi : 1.
Cutis
6.
MOI
2.
Sub cutis
7.
M. Transversus
3.
Fascia Scarfa
8.
Fascia transversalis
4.
Fascia Camfer
9.
Pre Peritoneum
5.
Aponeurosis MOE
10.
Peritoneum
XI. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus. (2) Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya : 1. Pelvic Abscess 2. Subphrenic absess 3. Intra peritoneal abses lokal.(4) Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. (14) XII. Prognosis
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila appendiks tidak diangkat.
DAFTAR PUSTAKA
1. De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta. 2. Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya. 3. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. McGraw Hill a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication. 4. Kartika, Dina, 2005. Chirurgica. Tosca Enterprise. Yogyakarta. 5. Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines. http://www.patholoyoutlines.com 6. Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut .
Bagian
Ilmu
bedah
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Sumatra
Utara.http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf. 7. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 8. Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15. www.emedmag.com 9.
Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas .http://www.aafg.org
10. Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 11. Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta. 12. Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services. National
Institute
of
Health. NIH
www.digestive.niddk.nih.gov
Publication
No.
04 – 4547.June
2004.