Latar Belakang Masalah
Korupsi telah menjadi suatu hal lazim tapi zalim yang biasa terjadi di setiap organisasi tertentu, terlebih lagi pada organisasi lembaga pemerintahan yang membawahi beberapa badan atau departemen yang berkoordinasi kepada lembaga pemerintahan untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat. Praktek korupsi yang telah terjadi di lembaga pemerintahan telah membuat kepercayaan dari masyarakat secara drastis semakin berkurang seiring merebaknya korupsi sendiri.
Hal tersebut dikarenakan korupsi telah membawa kerugian bagi kepentingan masyarakat maupun Negara, sehingga pembangunan yang ditujukan bagi Negara maupun daerah menjadi terhambat karena dana yang seharusnya digunakan telah diselewengkan oleh sejumlah pejabat penyelenggara Negara atau daerah yang menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan kepentingan masyarakat.
Seperti yang telah diketahui sebelumnya, penyebab terjadinya praktik KKN adalah merosotnya moralitas pejabat penyelenggara Negara atau daerah dan yang paling signifikan di dalam pelaksanaan penyelenggaraan negara. Moralitas pejabat penyelenggara Negara atau daerah yang menurun dapat berdampak pada kelangsungan negara dalam menjaga eksistensi negara dalam memajukan kehidupan masyarakat yang sedang berada dalam tahap pembangunan, serta berpengaruh di dalam kebijakan-kebijakan yang telah diprakarsai oleh penyelenggara sebelumnya. Merosotnya moralitas pejabat negara disebabkan karena kurangnya penanaman nilai-nilai dan norma yang ditujukan kepada pejabat negara sebagai penyelenggara negara, sehingga secara tidak langsung timbullah berbagai tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara.
Hal lainya yang dapat memengaruhi pejabat penyelenggara Negara atau daerah melakukan korupsi adalah posisi atau jabatan yang diduduki oleh pejabat penyelenggara Negara atau daerah, karena semakin tinggi posisi atau jabatan yang diterima maka semakin besar godaan yang dihadapi oleh pejabat penyelenggara Negara atau daerah dalam melihat berbagai macam situasi atau kondisi yang membuat banyak atau beberapa pejabat penyelenggara Negara atau daerah berkesempatan melakukan korupsi.
Melihat posisi atau jabatan yang diembaninya, perlu diketahui bahwa semakin tinggi posisi atau jabatan maka semakin besar pula tanggung jawab yang harus diamanahkan serta besarnya resiko yang dihadapi oleh pejabat penyelenggara Negara selaku pemegang posisi atau jabatan yang dapat membawa pengaruh dan dampak bagi masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, perlu adanya kontrol dari masyarakat dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dapat mengarah ke arah destruktivitas yang bermula pada penerapan administrasi di lingkungan pemerintahan.
Melihat permasalahan kasus, maka dapat disebutkan bahwa salah satu kasus korupsi yang disebabkan oleh penyalahgunaan kekuasaan pejabat penyelenggaran Negara atau daerah adalah kasus korupsi penyalahgunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dilakukan oleh Bupati Kabupaten Cilacap, Probo Yulastoro. Praktek korupsi yang dilakukan Probo Yulastoro sendiri sebenarnya sudah dilakukan dilakukan sejak tahun 2004-2008, kemudian sebagian dari kasus korupsi yang telah dilakukan menyangkut pendapatan daerah dan sisanya korupsi dari dana bagi hasil insentif pajak yang dilakukan hampir setiap tahun oleh Probo sehingga permasalahannya telah dimasukkan dalam dakwaan berlapis ketika sidang berlangsung.
Melanjutkan lanjutan permasalahan dari website Tempo (22/10/2010), sebelumnya Probo Yulastoro telah didakwa menggelapkan uang pendapatan dari PT. Pelindo III Tanjung Cilacap senilai Rp 1,1 miliyar. Selain itu Probo juga menyikat uang Dana Alokasi Khusus bidang kesehatan tahun 2004 senilai Rp 1,5 miliyar. Selanjutnya Probo mengemplang dana kas daerah Cilacap tahun 2005 senilai Rp 4,1 miliyar. Lalu, Probo juga menyalahgunakan dana operasional koordinasi penggalian dan peningkatan pendapatan daerah tahun 2005 senilai Rp 1,3 miliyar dan juga pada Alokasi Dana Desa dengan kerugian negara sebesar Rp 7,68 miliar.
Selain itu, Probo setiap tahun mulai dari tahun 2004-2008 mengemplang dana kas daerah dari bagi hasil PBB bagian pemerintah pusat. Bersama Probo Yulastoro, sejumlah pejabat pemerintahan Kabupaten Cilacap juga dilibatkan dalam kasus korupsi pembebasan lahan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Bunton hingga mengakibatkan kerugian Negara sebesar Rp 2 miliar, dan pejabat tersebut antara lain Fajar Subekti (Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Cilacap), Suyatmo (pejabat Bagian Pembangunan Pemda Cilacap), dan Soeprihono (Sekretaris Daerah Cilacap).
Pada awal Juni 2009, Probo ditahan Kejaksaan Tinggi terkait dugaan korupsi dengan perkiraan total senilai Rp 20,7 miliar melalui pemeriksaan segmentasi APBD selama periode tahun 2004-2008 dan juga diseret pula Kepala Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Cilacap, Fajar Subekti, oleh Kejaksaan Tinggi. Dari hasil pemeriksaan, telah disebutkan bahwa setiap tahunnya yang berawal dari 2004 hingga 2008, Probo menambah pundi-pundi kekayaannya mulai 2004 sebesar Rp 1,3 miliyar, Rp 1,4 miliyar, Rp 1,2 miliyar, Rp 813 juta, Rp 2 miliyar, dan terakhir tahun 2008 sebesar Rp 7 miliyar dari hasil penggemplangan dana kas daerah dari bagi hasil PBB bagian pemerintah pusat.
Akibat ditetapkannya Probo Yulastoro sebagai tersangka korupsi penyalahgunaan APBD Kabupaten Cilacap oleh Kejaksaan Tinggi, maka secara jelas pemerintahan Kabupaten Cilacap mengalami kekosongan kekuasaan sehingga acapkali digantikan oleh Tatto Suwarto Pamuji, wakil bupati Kabupaten Cilacap, sebagai pemegang jabatan bupati dalam waktu sementara ini.Menanggapi studi kasus yang telah disebutkan pada beberapa paragraf sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa praktek korupsi tidak hanya muncul di lingkungan pemerintahan pusat saja, namun juga pada lingkungan pemerintahan daerah yang seringkali dipandang sebelah mata oleh masyarakat melihat lingkup pemerintahan daerah tidak sebesar pemerintahan pusat, terlebih lagi pada Daerah Tingkat II.
Konsep & Teori
Korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruption atau corruptus, yang selanjutnya disebutkan bahwa corruptio itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata dalam bahasa latin yang lebih tua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu corruption, corrupt; Belanda, yaitu corruptive (korruptie), dapat atau patut diduga bahwa istilah korupsi berasal dari bahasa Belanda dan menjadi bahasa Indonesia, yaitu "korupsi", yang mengandung arti perbuatan korup, penyuapan.
Syed Hussen Alatas mendefinisikan bahwa korupsi merupakan suatu transaksi yang tidak jujur yang dapat menimbulkan kerugian uang, waktu, dan tenaga dari pihak lain. Definisi tentang korupsi dapat dipandang dari berbagai aspek bergantung pada disiplin ilmu yang dipergunakan, sehingga korupsi terbagi menjadi 4 (empat) jenis sebagai berikut :
Discretionery corruption, ialah korupsi yang dilakukan karena adanya kebebasan dalam menentukan kebijaksanaan, sekalipun nampaknya bersifat sah, bukanlah praktik-praktik yang dapat diterima oleh para anggota organisasi.
Illegal corruption, ialah suatu jenis tindakan yang bermaksud mengacaukan bahasa atau maksud-maksud hukum, peraturan dan regulasi tertentu.
Mercenary corruption, ialah jenis tindak pidana korupsi yang dimaksud untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.
Ideological corruption, ialah jenis korupsi illegal maupun discretionery yang dimaksudkan untuk mengejar tujuan kelompok.
Korupsi di Indonesia telah berkembang dalam tiga tahap yang terdiri dari (1) elitis, (2) endemik, dan (3) sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemik, korupsi mewabah menjangkau masyarakat luas. Lalu di tahap sistemik, setiap individu di dalam sistem terjangkit penyakit yang serupa. Menurut Djaja Ermansyah, korupsi di Indonesia telah mencapai tahap sistematik karena telah mengakar di setiap lembaga atau institusi yang berwenang.
Perbuatan tindak pidana korupsi merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan hak hak ekonomi masyarakat, sehingga tindak pidana korupsi tidak dapat lagi digolongkan sebagai ordinary crimes atau kejahatan biasa melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa extra-ordinary crimes karena telah merusak keuangan negara dan potensi ekonomi Negara, serta meluluhlantakkan pilar-pilar sosio budaya, moral, politik, dan tatanan hokum dan keamanan nasional. Jadi, dalam upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dibutuhkan "cara-cara yang bersifat extra-ordinary pula.
Adapun penyebab terjadinya korupsi di Indonesia, berdasarkan kajian dan pengalaman di Indonesia menurut Abdullah Hehamahua (2006) ada 8 penyebab terjadinya korupsi di Indonesia:
Sistem penyelenggaraan negara yang keliru,
Kompensasi PNS yang rendah,
Pejabat yang serakah,
Law enforcment tidak berjalan,
Hukum yang ringan terhadap koruptor
Pengawasan yang tidak efektif,
Tidak ada keteladanan pemimpin,
Budaya masyarakat yang kondusif KKN
Kekuasaan
. Dinyatakan oleh Stephen P. Robbins dan Timothy A. Judge bahwa Kekuasaan adalah kapasitas yang dimiliki oleh suatu orang (A) untuk memengaruhi perilaku orang lain (B) sehingga orang lain (B) melakukannya sesuai keinginan suatu orang (A). Menurut Robbins dan Judge, kekuasaan pada dasarnya dianggap sebagai suatu hubungan karena pemegang kekuasaan menjalankan kontrol atas sejumlah orang lain. Pemegang kekuasaan bisa jadi seseorang individu atau sekelompok orang, demikian juga obyek kekuasaan bisa satu atau lebih dari satu.
Menurut Walter S. Jones dalam pandangan politik Internasional sendiri, juga menyangkutkan kekuasaan atas dasar tujuan dengan menggerakkan orang lain sehingga termasuk ke dalam satu dari beberapa definisi, kekuasaan merupakan salah satu sarana untuk menancapkan pengaruh atas aktor-aktor lainnya yang bersaing menggapai hasil yang paling sesuai dengan tujuan masing-masing.
Dalam melihat asal kekuasaan, sumber kekuasaan telah terbagi ke dalam pengelompokkan umum yang terdiri dari kekuasaan formal dan kekuasaan pribadi.Dari pengelompokkan umum tersebut, kemudian dari masing-masing akan terbagi ke dalam hal yang lebih spesifik.
Kekuasaan Formal,
Kekuasaan formal didasarkan pada posisi seorang individu di dalam organisasi, sehingga dapat memiliki kemampuan untuk memaksa atau memberikan imbalan, atau dari wewenang formal. Kekuasaan formal telah dibagi menjadi kekuasaan paksaan, kekuasaan imbalan, dan kekuasaan legitmasi. Kekuasaan paksaan berdasar pada ketakutan atas hasil yang negatif akibat kegagalan untuk memenuhi sehingga bertumpu pada ancaman dan sanksi yang ada. Kekuasaan imbalan menjadi kebalikan dari kekuasaan paksaan karena didasarkan pada pencapaian kepatuhan yang didasarkan pada kemampuan untuk mendistribusikan imbalan yang mana orang lain memandangnya berharga. Kekuasaan legitimasi mempresentasikan wewenang formal untuk mengendalikan dan menggunakan sumber daya organisasi yang didsasarkan pada posisi struktural di dalam organisasi, sehingga secara hirearki formal lebih luas dibandingkan dengan kekuasaan paksaan atau pun kekuasaan imbalan.
Kekuasaan Pribadi,
Kekuasaan pribadi muncul karena adanya karakteristik unik individu, sehingga terdapat 2 kekuasaan pribadi yang mendasar, yaitu kekuasaan karena keahlian dan kekuasaan acuan. Kekuasaan karena keahlian merupakan pengaruh yang didasarkan pada keahlian atau pengetahuan khusus, sehingga semakin tersepesialisasi maka kita semakin bergantung kepada ahli untuk mencapai tujuan. Kekuasaan acuan didasarkan pada identifikasi dengan seseorang yang memiliki sumber dana atau sifat pribadi yang diinginkan, sehingga seseorang dapat menjalankan kekuasaan atas dasar acuan untuk hal tertentu yang dihasratkan.
Kekuasaan sendiri juga dapat bersifat merusak sehingga dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, karena kekuasaan juga dapat mengarahkan orang untuk menempatkan kepentingannya sendiri di depan kepentingan orang lain. Menurut Robbins dan Judge, kekuasaan tidak hanya dapat mengarahkan orang untuk menitikberatkan pada kepentingan mereka sendiri, tapi mereka mampu menggerakkan mereka sebagai alat bantu untuk memperoleh tujuan instrumental mereka.
Efek negatif yang bermunculan dari kekuasaan sehingga berdampak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan juga dapat dapat ditanggulangi dengan 3 hal tertentu, yaitu (1) efek berbahaya dari kekuasaan bergantung pada kepribadian seseorang, (2) efek merusak dari kekuasaan dapat dikurangi oleh sistem organisasi, (3) dan adanya kekuatan untuk menumpulkan efek negatif dari kekuasaan.
Berkaitan dengan korupsi, dapat dikaitkan pada hakikatnya penyalahgunaan kekuasaan sangat erat kaitanya dengan sebuah jabatan dan kedudukan serta kewenangan yang dimiliki oleh seseorang ataupun instansi pemerintah. Lord Acton (John Emerich Edward Dalberg-Acton) menghubungkan antara korupsi dengan kekuasaan, yaitu "power tends to corrupt, and absolut power corrupts absolutely", yang artinya "kekuasaan cenderung untuk korupsi dan kekuasaan yang absolut cenderung korupsi absolut".
Profil dari Organisasi (Pemerintahan Kabupaten Cilacap)
Pemerintah Kabupaten Cilacap
Pemerintahan Kabupaten Cilacap telah distrukturkan dalam Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Cilacap sesuai dengan Standar Operasional Tingkat Kabupaten (SOTK) 2011, yang dipimpin dan dibawah koordinasi Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Cilacap. Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Cilacap telah dibagi menjadi Sekretariat Daerah, Staf Ahli Bupati, Dinas, Badan, Lembaga lain, Kecamatan, dan Kelurahan. Saat ini (2014), pemerintahan Kabupaten Cilacap dipegang oleh H. Tatto Suwarto Pamuji sebagai Bupati, dan Ahmad Edi Susanto, ST sebagai wakil bupati.
Dalam pembagian administratif pemerintahan Kabupaten Cilacap, Kabupaten Cilacap terdiri atas 24 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Desa-desa tersebar di 24 kecamatan, sedangkan kelurahan ada di 3 kecamatan eks kota administratip Cilacap. Ibukota Kabupaten Cilacap adalah Cilacap, yang dulunya merupakan Kota Administratif.
Namun sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, tidak dikenal adanya kota administratif, dan Kota Administratif Cilacap kembali menjadi bagian dari wilayah Kabupaten Cilacap. Kabupaten Cilacap berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di utara, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Ciamis, Kota Banjar, dan Kabupaten Pangandaran (Jawa Barat) di sebelah Barat.
Analisis Studi Kasus
Dari permasalahan studi kasus korupsi penyalahgunaan dana APBD oleh Probo Yulastoro (Bupati Cilacap) yang telah disebutkan dalam latar belakang masalah, maka dapat dikaitkan dengan teori-teori yang tertera dalam konsep dan teori yang dijadikan sebagai dasar analisis studi kasus yang bersangkutan.
Melihat studi kasus korupsi penyalahgunaan dana APBD oleh Probo Yulastoro, dapat dilihat beberapa poin atas tindakan korupsi yang dilakukan oleh Probo Yulastoro. Poin pertama menyangkut tujuan dari tindakan korupsi yang telah dilakukan oleh Probo Yulastoro sebagai Bupati Cilacap setiap tahunnya sejak periode 2004-2009 dengan menyalahgunakan sebagian dana APBD untuk bertujuan memperkaya diri sendiri dengan mendahulukan kepentingan pribadi atas kepentingan masyarakat.
Berdasarkan konsep & teori yang disebutkan, tindakan korupsi yang dilakukan oleh Probo Yulastoro termasuk kategori mercenary corruption karena ia melakukan korupsi untuk memperoleh keuntungan pribadi, melalui penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. Selanjutnya dalam kekuasaan yang dipegang oleh Probo Yulastoro secara jabatan tetapnya sebagai Bupati Cilacap pada periode 2004-2009, seringkali Probo Yulastoro menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan yang dijabatnya karena uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan daerah pemerintahannya ternyata digunakan untuk kepentingannya sendiri, terlebih lagi karena kedudukan yang diperolehnya merupakan kedudukan yang tertinggi di pemerintahan Kabupaten Cilacap sehingga acapkali ia memengaruhi orang-orang bawahannya untuk melakukan tindakan korupsi secara rapi dan terstruktur sehingga tercapailah tujuan dan keinginan pribadinya sendiri.
Dasar penetapan kategori mercenary corruption sebagai jenis tindak pidana korupsi yang dilakukan Probo Yulastoro meliputi dua aspek secara bersamaan yang terdiri aspek yang memperkaya diri dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang negara untuk kepentingannya. Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Probo Yulastoro semasa pemerintahannya pada periode 2004-2009 umumnya dilakukan secara berlanjut dan terus-menerus sehingga dapat diketahui informasi dari website infokorupsi.com yang juga disebutkan dalam latar belakang masalah bahwa tambahan kemampuan ekonomis Probo Yulastoro yang didapati dari hasil korupsi sejak mulai tahun 2004-2009 sebesar Rp 1,3 miliyar, Rp 1,4 miliyar, Rp 1,2 miliyar, Rp 813 juta, dan Rp 2 miliyar.
Perbuatan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Probo Yulastoro pada setiap tahunnya baru mencapai tahap elitis karena tindakan korupsi yang dilakukan hanya terlihat di lingkungan elit pejabat pemerintahan Kabupaten Cilacap. Namun dari sisi kriminalitas, tindakan pidana korupsi yang dilakukan Probo Yulastoro telah mengcakup kriteria dari tipe extra-ordinary crimes karena tindakan pidana korupsi yang dilakukan setiap tahunnya telah membudaya dalam perilaku dan kebiasaan yang sudah dianggap wajar di lingkungan birokrasi pemerintahan Kabupaten Cilacap sehingga secara rutin ia telah menganulir dan menyelewengkan alokasi dana APBD Kabupaten Cilacap hingga berakibat pembangunan daerah Cilacap menjadi terhambat karena penyalahgunaan dana APBD untuk kepentingan Probo Yulastoro sendiri beserta dengan antek-anteknya.
Budaya korupsi yang pada mulanya dilakukan Probo Yulastoro kian lama makin menular ke dalam jaringan struktural yang lebih rendah secara jabatan menjadi salah satu hal yang menjadi faktor meluasnya praktek korupsi di Indonesia, karena pada umumnya masyarakat Indonesia masih bersifat paternalistik sehingga dapat dikatakan sangat konduktif terhadap praktek korupsi yang berawal dari jajaran elit sehingga penanganan kasus korupsi hendaklah ada pendekatan lebih terhadap masyarakat dalam penanggulangan korupsi.
Pola hidup konsumerisme yang dilahirkan oleh sistem pembangunan daerah Cilacap di atas mendorong Probo Yulastoro beserta antek-anteknya untuk menjadi kaya secara instant, sehingga muncul sikap serakah dimana pejabat menyalahgunakan wewenang dan jabatannya, melakukan penggelapan sebagian dari uang APBD yang ditujukan untuk kepetingan pembangunan daerah untuk menambah kekayaannya secara tidak wajar.
Perilaku korupsi penyalahgunaan APBD yang dilakukan oleh Probo Yulastoro pada setiap tahunnya juga berkaitan dengan konsep dan teori kekuasaan yang disebutkan pada bagian konsep dan teori. Dalam signifikansinya, dapat dilihat bahwa bentuk kekuasaan yang dimiliki oleh Probo Yulastoro sebagai Bupati Kabupaten Cilacap adalah bentuk kekuasaan formal yang mengacu pada spesifikasi kekuasaan legitimasi atas dasar tugas dan wewenang formal sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di pemerintahan Kabupaten Cilacap, sehingga setiap kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan untuk masyarakat merupakan bentuk mekanisme kekuasaan yang berada pada lingkup masyarakat Kabupaten Cilacap.
Sebagai pemegang jabatan tertinggi dalam pemerintahan Kabupaten Cilacap, pastilah Probo Yulastoro memiliki hak dan wewenang yang lebih besar bila dibandingkan dengan bawahannya sehingga dalam melaksanakan suatu kewajiban dalam dunia politik pemerintahan Kabupaten Cilacap, godaan dan tanggungjawab yang dihadapi Probo Yulastoro sangatlah besar mengingat segala putusan kebijakan yang berasal darinya sangat mempengaruhi partisipasi masyarakat Kabupaten Cilacap. Namun dalam setiap pengambilan dan pengambilan keputusan bagi pemerintahan Kabupaten Cilacap, seringkali Probo Yulastoro menyelewengkan dana APBD Kabupaten Cilacap.
Penyelewangan dana APBD Kabupaten Cilacap sendiri merupakan salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang paling krusial, terlebih lagi bilamana Probo Yulastoro berkoordinasi dan bersekongkol dengan bawahannya untuk menempatkan kepentingannya sendiri di depan kepentingan orang lain dengan turut berpartisipasi dalam tindak pidana korupsi. Dalam hal tertentu, Probo Yulastoro dapat mencapai nilai terminal yang diperoleh dengan menggerakkan oknum bawahannya untuk dapat melakukan tindak pidana korupsi.
Penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Cilacap menjadi sangat gawat apabila Probo Yulastoro masih saja menyelewengkan uang dana APBD untuk menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan masyarakat sehingga penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Probo Yulastoro berdampak negatif bagi kepercayaan masyarakat Kabupaten Cilacap atas pelayanan publik yang diberikan Pemerintah Kabupaten Cilacap atas alokasi pembangunan daerah yang menggunakan dana APBD Kabupaten Cilacap serta terhambatnya pembangunan daerah karena seringkali dana APBD Kabupaten Cilacap menjadi tidak karuan seperti yang sebenarnya karena telah diselewengkan oleh Probo Yulastoro beserta oknum bawahannya.
Kesimpulan & Saran
Dari analisis studi kasus korupsi penyalahgunaan dana APBD oleh Probo Yulastoro sebagai Bupati Cilacap yang bertanggungjawab atas korupsi penyalahgunaan dana APBD untuk mendahulukan kepentingan pribadinya di atas kepentingan masyarakat, maka dapat dilihat kesimpulan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Probo Yulastoro merupakan penyalahgunaan kekuasaan atas hak dan atau wewenang yang dimiliki oleh Probo Yulastoro yang seharusnya digunakan untuk sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan masyarakat.
Pada kenyataannya, Probo Yulastoro alih-alih menggelapkan uang dari dana APBD Kabupaten Cilacap secara rutin dan jumlah yang terkumpul tiap tahunnya berkisar antara ratusan juta hingga bermiliyaran rupiah, dan secara langsung ia memengaruhi orang bawahannya untuk dapat melakukan hal-hal yang hanya menjadi kepentingannya Probo Yulastoro sendiri, dari situ terbukti penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan Probo Yulastoro .
Penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat penyelenggara Negara atau daerah merupakan salah satu penyimpangan yang paling krusial dalam maladministrasi, karena dampak yang muncul sangatlah besar dan berkumulatif dari satu sisi berlanjut ke sisi lainnya. Penyalahgunaan kekuasaan juga mencerminkan seberapa jauh predikat Good Governance jauh dari kata "baik" karena juga berpengaruh terhadap efisiensi dan efektivitas pelayanan publik beserta dengan bobroknya dan ketidakteraturan birokrasi yang terlihat jelas, khususnya di lingkupan pemerintahan sepenangkapan Probo Yulastoro karena kekosongan kursi kekuasaan sehingga terjadi keruwetan dalam hal administrasi pemerintahan.
Untuk menanggulangi hal tersebut, perlu adanya penanggulangan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang bertumpu pada praktek tindak pidana korupsi, sehingga dapat dilakukan mekanisasi reformasi sistem administrasi pemerintahan yang benar-benar bisa menunjang efektivitas dan efisiensi kinerja pemerintahan tanpa adanya praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di lingkungan pemerintahan sendiri. Juga perlu adanya penerapan merit system dalam memasukkan orang-orang tertentu di dalam lingkupan pemerintahan sehingga dapat dijamin adanya SDM yang benar-benar siap dalam menghadapi permasalahan dalam lingkupan pemerintahan secara kuantitas maupun kualitas dengan menjaga integritas sebaik-baiknya, sehingga lama-kelamaan praktek korupsi yang membudaya telah hilang sedikit demi sedikit. Jadi, untuk menanggulangi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan perlu adanya perubahan sistem dari dalam lingkupan pemerintahan itu sendiri.
1
12
Terkait Korupsi Lagi, Bupati Cilacap Jadi Tersangka (http://www.tempo.co/read/news/2010/01/22/058220834/Terkait-Korupsi-Lagi-Bupati-Cilacap-Jadi-Tersangka)
Rugikan Negara Rp 20,7 M, Bupati Cilacap Probo Yulastoro Dituntut 9 Tahun Penjara
( http://infokorupsi.com/id/korupsi.php?ac=4912&l=rugikan-negara-rp-207-m-bupati-cilacap-probo-yulastoro-dituntut-9-tahun-penjara)
Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika, hal 22
Alatas, Syed Hussein, Korupsi : Sifat, Sebab dan Fungsi, Penerjemah, Nirwono, Jakarta: LP3ES,1987, hal vii
Ermansjah Djaja, 2010, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Jakarta, Sinar Grafika, hal 23
Idem, hal 12
Abu Fida'Abdur Rafi, 2006, Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi, hlm.xii
Robbins, P. Stephen & Judge, A. Timothy, 2014, Perilaku Organisasi : Edisi 16, Penerjemah : Ratna Saraswati dan Febriella Sirait, Jakarta : Salemba Empat, hal 279
Steven J. Rosen and Walter S. Jones, 1977, The Logic of International Relations, 2nd ed(Cambridge Mass : Winthrop Publisher, pp. 44-45
B.H. Raven, 1993, The Bases of Power : Origin and Recent Development, Journal of Social Issues, pp 227-251
Robbins, P. Stephen & Judge, A. Timothy, 2014, Perilaku Organisasi : Edisi 16, Penerjemah : Ratna Saraswati dan Febriella Sirait, Jakarta : Salemba Empat, hal 288
Satuan Kerja Perangkat Daerah SOTK 2011 (http://www.cilacapkab.go.id/v2/index.php?pilih=skpd)