1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Bencana merupakan sustu gejala alamiah dan non alamiah yang sangat meresahkan
masyarakat
akibat
hilangnya
kenyamanan,
keamanan,
dan
ketentraman dalam kehidupannya (Hermon, 2012). Bencana alam merupakan fenomena atau gejala alam yang bisa terjadi kapanpun dan dimanapun serta dapat menimbulkan kerugian bagi manusia maupun kerusakan lingkungan. Indonesia merupakan salah satu negara didunia yang memiliki tingkat kerawanan bencana yang tinggi. Beberapa bencana alam yang sering terjadi di Indonesia seperti bencana gempa bumi, gunung meletus, bajir, badai, tsunami, tanah longsor, dll. Bencana yang sering terjadi di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh posisi Indonesia baik secara geografis, geologis, maupun atronomis. Namun bencana alam yang hampir terjadi pada setiap wilayah di Indonesia terutama pada saat musim penghujan adalah bencana longsor, karena sekitar 45% luas lahan di Indonesia adalah lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi (Susilo, 2008). Tanah longsor secara umum merupakan perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material yang bergerak kebawah atau keluar lereng. Secara geologi tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi dimana terjadi pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Tanah longsor biasa juga disebut dengan gerakan tanah (mass movement ), ), didefinisikan sebagai masa tanah atau material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan
lumpur yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Menurut Nugroho, J.A, dkk (2009) bencana longsor adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial. Bencana longsor sangat sering terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi disebabkan karena Indonesia merupakan daerah subduksi, subduksi, sehingga mempunyai topografi yang bergunung-gunung yang menjadikan lahan mempunyai lereng yang landai sampai curam, dengan curah hujan yang relative tinggi setiap tahunnya. Kombinasi antara curah hujan yang tinggi dan kondisi geomorfologi yang cukup komplek di beberapa wilayah Indonesia, mengakibatkan longsor menjadi suatu hal yang sudah biasa terjadi (Karnawati, 2005; Anderas et al., 2007; Sariri et al., 2007). Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah Di Indonesia yang mempunyai tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi. Hal tersebut berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam yang menyatakan bahwa, dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Agam terdapat 11 kecamatan yang berpotensi banjir dan longsor saat curah hujan dengan intensitas tinggi melanda. 11 kecamtan tersebut yakni, Kecamatan Tanjung Raya berpotensi banjir dan longsor, Kecamatan Ampek Nagari berpotensi banjir dan longsor, Kecamatan Lubuk Basung berpotensi berpotensi banjir. Kemudian, Kecamatan Matur berpotensi longsor, Kecamatan Tanjung Mutiara berpotensi banjir dan longsor, Kecamatan Palembayan berpotensi longsor,
2
lumpur yang bergerak sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Menurut Nugroho, J.A, dkk (2009) bencana longsor adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang berdampak pada kondisi ekonomi dan sosial. Bencana longsor sangat sering terjadi di Indonesia. Hal ini terjadi disebabkan karena Indonesia merupakan daerah subduksi, subduksi, sehingga mempunyai topografi yang bergunung-gunung yang menjadikan lahan mempunyai lereng yang landai sampai curam, dengan curah hujan yang relative tinggi setiap tahunnya. Kombinasi antara curah hujan yang tinggi dan kondisi geomorfologi yang cukup komplek di beberapa wilayah Indonesia, mengakibatkan longsor menjadi suatu hal yang sudah biasa terjadi (Karnawati, 2005; Anderas et al., 2007; Sariri et al., 2007). Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah Di Indonesia yang mempunyai tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi. Hal tersebut berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Agam yang menyatakan bahwa, dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Agam terdapat 11 kecamatan yang berpotensi banjir dan longsor saat curah hujan dengan intensitas tinggi melanda. 11 kecamtan tersebut yakni, Kecamatan Tanjung Raya berpotensi banjir dan longsor, Kecamatan Ampek Nagari berpotensi banjir dan longsor, Kecamatan Lubuk Basung berpotensi berpotensi banjir. Kemudian, Kecamatan Matur berpotensi longsor, Kecamatan Tanjung Mutiara berpotensi banjir dan longsor, Kecamatan Palembayan berpotensi longsor,
2
Kecamatan Malalak berpotensi longsor, Kecamatan Ampek Koto berpotensi longsor dan Kecamatan Palupuh berpotensi longsor, Kecamatan Canduang berpotensi banjir dan Kecamatan Baso berpotensi longsor. Menurut data BPBD Kabupaten Agam, sejak awal Januari hingga Maret 2016 tercatat 47 kasus bencana longsor yang terjadi di beberapa kecamatan di Kabupaten Agam. Pada akhir Januari 2016, tingginya curah mengakibatkan longsor pada 12 titik wilayah Kabupaten Agam. Titik longsor tersebut berada di Pantan menuju Ngarai Sianok, Kecamatan Ampek Koto, sebanyak enam titik dengan panjang 20 sampai 30 meter dan tinggi dua sampai dua meter. Longsor juga terjdi di Sitijo Nagari Koto Gadang Kecamatan Ampek Koto sebanyak dua titik dengan ketinggian longsor sekitar satu sampai dua meter dan panjang sekitar 10 meter. Sementara di Sungai Landia Nagari Sungai Landia Kecamatan Ampek Koto sebanyak satu titik dengan panjang sekitar 10 meter dan tinggi sekitar satu meter. Kemudian di Kelok 12 Nagari Maninjau Kecamatan Tanjung Raya sebanyak satu titik dengan panjang sekitar lima meter dan tinggi sekitar satu meter. Kelok 24 Nagari Matua Mudiak Kecamatan Matur sebanyak satu titik dengan panjang sekitar lima meter dan tinggi satu meter. Selain itu, di Kampuang Melayu Nagari Sitalang Kecamatan Ampek Nagari sebanyak satu titik dengan panjang 10 sampai 14 meter dengan dengan tinggi sekitar dua meter. BPBD Kabupaten Agam melaporkan bahwa di wilayah Kabupaten Agam telah terjadi tanah longsor yaitu di Kecamatan Baso dan Kecamatan Palupuh pada tanggal 9 November 2015. Satu rumah warga tertimbun, serta menutup jalan propinsi yang menghubungkan menghubungkan antara Medan dengan Bukittinggi. Berdasarkan
3
data BPBD Kabupaten Agam kerugian akibat peristiwa longsor yang terjadi di Kecamatan Tanjung Raya pada januari 2013 mencapai 2,6 M dan menelan belasan korban jiwa. Daerah tersebut terdiri dari daerah dataran rendah dan dataran tinggi yang memiliki tanah sangat labil dan mudah terjadi bencana longsor. Selain bentuk topografi daerah, kegiatan sosial-ekonomi masyarakat juga merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap tingkat risiko bencana longsor di Kabupaten Agam. Seperti kegiatan penggundulan hutan untuk pembukaan lahan pemukiman, perkebunan,
atau
pembangunan
fasilitas
umum
lainnya,
serta
kegiatan
penebangan pohon yang tidak sesuai dengan peraturan undang-undang, yang akhirnya menyebabkan lahan-lahan yang memiliki lereng curam tidak mampu menahan massa tahan saat terjadi hujan dan mengakibatkan terjadinya longsor yang dapat menimbulkan kerugian baik secara materil maupun non materil. Untuk mengetahui risiko bencana longsor di Kabupaten Agam, perlu dilakukan pengkajian risiko bencana longsor untuk melihat seberapa besar dampak negatif yang mungkin timbul akibat potensi bencana longsor yang terjadi didaerah Kabupaten Agam. Komponen pengkajian risiko bencana longsor tersebut terdiri dari komponen ancaman bencana longsor, kerentanan dan kapasitas masyarakat dalam mitigasi bencana longsor. Komponen ini digunakan untuk memperoleh tingkat risiko bencana longsor suatu kawasan dengan menghitung potensi jiwa terpapar, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan. Selain untuk melihat risiko bencana longsor di Kabupaten Agam, kajian ini diharapkan mampu menghasilkan peta tingkat risiko bencana longsor di Kabupaten Agam .
4
Kajian dan peta risiko bencana ini juga diharapkan mampu menjadi dasar yang memadai bagi pemerintah Kabupaten Agam dalam menyusun kebijakan penanggulangan bencana. Ditingkat masyarakat hasil pengkajian risiko bencana longsor di Kabupaten Agam ini diharapkan dapat dijadikan dasar dalam perencanaan upaya pengurangan risiko bencana longsor. B. Identifikasi Masalah dan Pentingnya Masalah
Berdasarkan latar belakang dapat diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut : 1. Kabupaten Agam merupakan salah satu daerah Di Indonesia yang mempunyai tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi. 2. Bencana Longsor yang terjadi di Kabupaten Agam banyak menimbulkan korban jiwa 3. Kerugian material yang ditimbulkan akibat bencana longsor mencapai miliaran rupiah C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis membatasi permasalahan dalam penelitian ini yaitu risiko bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumtera Barat. D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka didapat suatu rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
5
1. Bagaimana tingkat ancaman bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? 2. Bagaimana kerentanan bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? 3. Bagaimana kapasitas bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? 4. Bagaimana strategi penanggulangan risiko bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? E. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana tingkat ancaman bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? 2. Untuk
mengetahui
bagaimana
kerentanan
bencana
longsor
di
Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? 3. Untuk mengetahui bagaimana kapasitas bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? 4. Untuk mengetahui bagaimana strategi penanggulangan risiko bencana longsor di Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat? F. Manfaat penelitian
1. Sebagai bahan informasi dan untuk menambah wawasan terutama bagi diri peneliti sendiri. 2. Sebagai bahan informasi bagi pihak-pihak yang mendalami kajiankajian yang sama yang berhubungan dengan risiko bencana longsor.
6
3. Sebagai salah satu dasar untuk menyusun aksi praktis dalam rangka kesiapsiagaan masyarakat dalam mengurangi risiko bencana longsor. 4. Sebagai bahan informasi dan sebagai dasar bagi pemerintah Kabupaten Agam untuk menyusun kebijakan penanggulangan bencana longsor.
7
BAB II KERANGKA TEORITIS A. Kajian Teori 1. Pengertian Risiko Bencana
Resiko bencana (Risk) adalah potensi kerugian yang ditimbulkan akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat akibat kombinasi dari bahaya, kerentanan, dan kapasitas dari daerah yang bersangkutan. Risiko bencana longsor adalah poteni kerugian yang ditimbulkan akibat bencana longsor pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu yang dapat berupa kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman, mengungsi, kerusakan, atau kehilangan harta, dan gangguan kegiatan masyarakat (PVMBG, 2007). Tingkat risiko bencana longsor adalah tingkat kerawanan karena aktivitas manusia, yaitu ukuran yang menyatakan besar kecilnya kerugian manusia dari kejadian bencana longsor (PVMBG, 2007). Kajian risiko bencana dapat dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :
=
8
Pendekatan ini digunakan untuk memperlihatkan hubungan antara ancaman, kerentanan dan kapasitas yang membangun perspektif tingkat risiko bencana suatu kawasan. Berdasarkan pendekatan tersebut, terlihat bahwa tingkat risiko bencana amat bergantung pada : 1) Tingkat ancaman kawasan 2) Tngkat kerentanan kawasan yang terancam 3) Tingkat kapasitas kawasan yang terancam Upaya pengkajian risiko bencana pada dasarnya adalah menentukan besaran 3 komponen risiko tersebut dan menyajikannya dalam bentuk spasial maupun non spasial agar mudah dimengerti. Pengkajian risiko bencana digunakan sebagai landasan
penyelenggaraan
penanggulangan
bencana
disuatu
kawasan.
Penyelenggaraan ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko bencana. Upaya pengurangan risiko bencana berupa : 1) Memperkecil ancaman kawasan 2) Mengurangi kerentanan kawasan yang terancam 3) Meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam Faktor penentu Resiko Bencana : a. Ancaman Kejadian yang berpotensi mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat sehingga menyebabkan timbulnya korban jiwa, kerusakan harta benda, kehilangan
9
rasa aman, kelumpuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan serta dampak psikologis. Ancaman dapat dipengaruhi oleh faktor : 1) Alam, seperti gempa bumi, tsunami, angin kencang, topan, gunung meletus. 2) Manusia, seperti konflik, perang, kebakaran pemukiman, wabah penyakit, kegagalan teknologi, pencemaran, terorisme. 3) Alam dan Manusia, seperti banjir, tanah longsor, kelaparan, kebakaran hutan. Kekeringan. Menurut UU No 24 Tahun 2007, Ancaman ( hazard ) adalah suatu kejadian atau peristiwa yang menimbulkan bencana. Berdasarkan waktu kejadiannya, faktor bahaya dapat dibedakan menjadi 3 yaitu: 1) Tibatiba/ tidak terduga (gempa bumi, tsunami, dll) 2) Bertahap, terduga dan teramati (wabah penyakit, aktivitas gunung merapi dll) 3) Periodik, terduga dan teramati (banjir, pasang surut, kekeringan, dll) Bahaya (hazard ) adalah suatu fenomena fisik, fenomena, atau aktivitas manusia yang berpotensi merusak, yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa atau cidera, kerusakan hartabenda, gangguan sosial dan ekonomi atau kerusakan lingkungan (ISDR, 2004 dalam MPBI, 2007) atau peristiwa kejadian potensial yang merupakan
ancaman
terhadap
kesehatan,
keamanan,
atau
kesejahteraan
masyarakat atau fungsi ekonomi masyarakat atau kesatuan organisasi pemerintah yang selalu luas (Lundgreen, 1986). b. Kerentanan
10
Suatu kondisi yang ditentukan oleh faktor – faktor fisik, sosial, ekonomi, geografi yang mengakibatkan menurunnya kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan (Vulnerability) adalah keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi
kemampuan
masyarakat
untuk
mempersiapkan
diri
untuk
menghada pi bahaya atau ancaman bencana; Menurut UU Penanggulangan Bencana, kerentanan disebut sebagai rawan bencana, dimana definisinya adalah kondisi atau karakteristik geologi, biologis, hidrologis, klimatologis, geografis, sosial, budaya, politik, ekonomi dan teknologi pada suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah, meredam, mencapai kesiapan, dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi dampak buruk bahaya tertentu. Kerentanan dapat menunjukkan nilai dari potensi kerugian pada suatu wilayah bencana alam, baik itu nilai lingkungan, materi, korban jiwa, tatanan sosial dan lainnya. Tingkat kerentanan bencana longsor merupakan tingkat krentanan bencana longsor pada kawasan yang elum dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya, dengan hanya mempertimbangkan faktor fisik alami, tanpa memperhitungkan besarnya kerugian yang ditimbulkan (PVMBG, 2007). Menurut ISDR (2004), ancaman adalah suatu kondisi, gejala atau aktivitas manusia yang berpotensi menimbulkan korban jiwa, kerugian materil, kerusakan tatanan sosial dan lingkungan. Berdasarkan definisi dari ISDR ini maka kerentanan terdiri dari 4 faktor yaitu: 1) Fisik
11
Kerentanan fisik bencana longsor adalah kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan menghadapi bahaya bencana longsor (PVMBG, 2007). Faktor kerentanan fisik pada umumnya merujuk pada perhatian kelemahan atau kekurangan pada lokasi serta lingkungan terbangun. Hal ini dapat diartikan sebagai wilayah terbuka (exposure) atau tempat yang sangat rentan terkena bahaya ( placed in harm’s way), atau secara sederhana factor fisik ini berkaitan dengan pemilihan lokasi untuk kawasan terbangun. 2) Sosial Kerentanan sosial akibat bencana longsor adalah kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap ancaman bahaya longsor. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko bahaya dan bencana longsor akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan rentan menghadapi bahaya bencana longsor (PVMBG, 2007). Parameter yang berkaitan dengan faktor kerentanan sosial adalah yang berhubungan dengan kehidupan individu, komunitas, dan masyarakat pada umumnya. Hal tersebut termasuk aspek yang berkaitan dengan tingkat jaminan keamanan dan ketenangan, jaminan hak asasi manusia, sistem pemerintahan yang baik, persamaan sosial, nilai sosial positif, ideologi, isu gender, dan kelompok usia. Kearifan lokal serta kebiasaan atau tradisi dapat menjadi bagian untuk meningkatkan kapabilitas sosial. 3) Ekonomi Kerentanan ekonomi akibat bencana longsor adalah kondisi ekonomi suatu individu atau masyarakat sangat menentukan tingkat kerentanan terhadap
12
ancaman bahaya longsor. Pada umumnya masyarakat atau daerah yang miskin atau kurang mampu lebih rentan terhadap bahaya bencana longsor, karena tidak mempunyai kemampuan financial yang memadai untuk melakukan upaya pencegahan atau mitigasi bencana longsor (PVMBG, 2007). Tingkat kerentanan ekonomi sangat bergantung pada status ekonomi dari masyarakat, komunitas serta tingkat diatasnya. Selain itu jumlah kaum miskin, komposisi jumlah perempuan yang tidak berimbang dan para manula juga akan meningkatkan kerentanan ekonomi, karena kelompok ini dianggap paling rentan apabila terjadi bencana, karena pada umumnya kelompok ini memiliki keterbatasan kemampuan dalam upaya pemulihan akibat bencana. Kerentanan ekonomi juga bergantung pada kondisi cadangan ekonomi dari masyarakat, komunitas atau level diatasnya, akses pada pendanaan, pinjaman dan asuransi. Ekonomi yang lemah pada umumnya akan meningkatkan tingkat kerentanan ekonomi. Selain itu keterbatasan akses terhadap infrasturktur pendukung perekonomian seperti akses jalan, perbankan, pasar juga berpengaruh pada tingkat kerentanan ekonomi. 4) Lingkungan (Ekologi) Kerentanan lingkungan akibat bencana longsor adalah kondisi lingkungan hidup suatu masyarakat sangat mempengaruhi kerentanan. Masyarakat yang tinggal didaerah topografi yang berlereng curam akan selalu trancam bahaya longsor (PVMBG, 2007). Aspek kunci dari kerentanan lingkungan termasuk didalamnya peningkatan penurunan sumberdaya alam serta status degradasi sumberdaya. Dengan kata lain kekurangan dari resilience dalam sistem ekologi
13
serta terbuka terhadap zat beracun serta polutan berbahaya, merupakan elemen penting dalam membentuk kerentanan lingkungan. Dengan meningkatnya kerentanan lingkungan seperti berkurangnya biodiversity, penurunan mutu tanah atau kelangkaan air bersih akan dengan mudahnya mengancam jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat yang bergantung pada produksi lahan, hutan serta lingkungan laut untuk mata pencahariannya. Lingkungan yang terpolusi juga meningkatkan ancaman resiko kesehatan. c. Kapasitas Kemampuan sumber daya yang dimiliki tiap orang atau kelompok di suatu wilayah yang dapat digunakan dan ditingkatkan untuk mengurangi resiko bencana. Kemampuan ini dapat berupa pencegahan, mengurangi dampak, kesiapsiagaan dan keterampilan mempertahankan hidup dalam situasi darurat. Sehingga untuk mengurangi resiko bencana maka diperlukan upaya – upaya untuk mengurangi ancaman, mengurangi kerentanan dan meningkatkan kapasitas. 2. Pengertian Bencana Longsor
Longsor merupakan gerakan material pembentuk lereng yang diakibatkan oleh terjadinya kegagalan geser di sepanjang satu atau lebih bidang longsor (Hardiyanto, 2006). Ada perbedaan antara erosi permukaan dan gerakan massa yang umumnya disebut logsoran. Gerakan massa merupakan gerakan massa tanah yang besar di sepanjang bidang kritisnya, yang bergerak kea rah bawah material pembentuk lereng, yang yang dapat berupa tanah, batu, timbunan batuan, atau campuran dari material lainnya (Hardiyanto, 2006). Gerakan massa merupakan gerakan massa tanah yang besar disepanjang bidang longsor kritisnya. Gerakan
14
massa tanah ini merupakan gerakan ke arah bawah material pembentuk lereng, yang dapat berupa tanah, batu, timbunan buatan atau campuran dari material lain. Istilah erosi massa lebih dikenal dengan tanah longsor. Tidak seperti erosi tanah, gerakan massa meliputi : longsoran, jatuhan, robohan atau sebaran, dari material yang dalam jumlah besar kadang-kadang berupa massa yang relatif utuh. Longsoran adalah gerakan lereng yang relatif lambat, dimana suatu bidang geser terjadi di sepanjang permukaan tertentu atau gabungan beberapa permukaan runtuh di dalam massa tanah (Varnes, 1978) dalam ( Hary, 2006). Gerakan massa, umumnya disebabkan oleh gaya-gaya gravitasi dan kadangkadang getaran atau gempa juga menyokong kejadian tersebut. Gerakan massa yang berupa tanah longsor terjadi akibat adanya keruntuhan geser di sepanjang bidang longsor yang merupakan batas bergeraknya massa tanah atau batuan. Keruntuhan, umumnya dianggap terjadi saat tegangan geser rata-rata di sepanjang bidang longsor sama dengan kuat geser tanah atau batuan yang dapat ditentukan dari uji laboratorium atau uji lapangan. Akan tetapi saat terjadi keruntuhan bertahap, longsoran tanah terjadi pada tegangan geser yang kurang daru kuat geser puncaknya. Keruntuhan bertahap, umumnya diikuti dengan distribusi tegangan tidak seragam disepanjang bidang longsor, pada tanah atau batuan berlapis ketika bidang longsornya memotong material yang berbeda sifat tegangan regangannya. Keruntuhan lokal dapat juga terjadi, jika tegangan geser maksimum pada suatu titik di dalam tanah atau batuan melapaui kuat geser puncaknya. Hasil analisis menunjukkan bahwa pada awalnya tegangan geser maksimum terjadi di dekat kaki lereng dan pada tiitk dimana kuat geser tanah terlapaui. Setelah itu,
15
keruntuhan menyebar ke atas lereng. Dalam kenyataannya, bertambahnya regangan
(yang
menuju
ke
kuat
geser
puncaknya)
bertambah
dengan
bertambahnya tegangan normal yang menyokong berkembangnya longsoran secara bertahap. 3. Penyebab Bencana longsoran
Banyak faktor semacam kondisi-kondisi geologi dan hidrologi, topografi, iklim, dan perubahan cuaca dapat memengaruhi stabilitas lereng yang mengakibatkan terjadinya longsoran. Longsoran jarang terjadi oleh satu sebab saja. Adapun sebab-sebab longsoran lereng alam yang sering terjadi adalah : a. Penambahan beban pada lereng. Tambahan beban pada lereng dapat berupa bangunan baru, tambahan beban oleh air yang masuk ke pori-pori tanah maupun yang menggenang di permukaan tanah, dan beban dinamis oleh tumbuh-tumbuhan yang tertiup angin dan lain-l ain. b. Penggalian atau pemotongan tanah pada kaki lereng. c. Penggalian dan mempertajam kemiringan lereng. d. Perubahan posisi muka air secara cepat pada bendungan, sungai dan lain-lain. e. Kenaikan tekanan lateral oleh air (air yang mengisi retakan akan mendorong tanah kearah lateral). f.
Penurunan tahanan geser tanah pembentuk lereng oleh akibat kenaikan kadar air, kenaikan tekanan air pori, tekanan rembesan oleh genangan air di dalam tanah, tanah pada lereng mengandung lempung yang mudah kembang susut dan lain-lain.
16
g. Getaran atau gempa bumi. Menurut Sitorus (2006), penyebab terjadinya bencanaq longsor secara umum dapat dibedakan atas 3, yakni: (1) kondisi alam yang bersifat statis, seperti kondisi geografi, topografi, dan karakteristik sungai, (2) peristiwa yang bersifat dinamis, seperti perubahan iklim global, pasang surut, land subsidence, sedimentasi, dan sebagainya, serta (3) aktivitas social-ekonomi manusia yang sangat dinamis, seperti deforestasi (penggundulan hutan), konversi lahan pada kawasan lindung, pemanfaatan sepandan sungai/saluran untuk perumahan, pemanfaat wilayah retensi banjir, perilaku masyarakat, keterbatasan prasarana dan sarana pengendali banjir dan sebagainnya. 4. Jenis-jenis Longsor
Gerakan massa merupakan gerakan massa tanah yang besar di sepanjang bidang longsor kritisnya. Gerakan massa tanah ini merupakan gerakan ke arah bawah material pembentukpembentuk lereng, yang dapat berupa tanah, batu, timbunan buatan atau campuran dari material lain. Ada 6 jenis tanah longsor, yakni : longsoran translasi, longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batuan, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Jenis longsoran translasi dan rotasi paling banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan longsoran yang paling banyak memakan korban jiwa manusia adalah aliran bahan rombakan. a. Longsoran Translasi Longsoran translasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk merata atau menggelombang landai.
b. Longsoran Rotasi 17
Longsoran rotasi adalah bergeraknya massa tanah dan batuan pada bidang gelincir berbentuk cekung.
c. Pergerakan Blok Pergerakan blok adalah perpindahan batuan yang bergerak pada bidang gelincir berbentuk rata. Longsoran ini disebut juga longsoran translasi blok batu.
d. Runtuhan Batuan Runtuhan batu terjadi ketika sejumlah besar batuan atau material lain bergerak ke bawah dengan cara jatuh bebas. Umunya terjadi pada lereng yang terjal hingga menggantung terutama didaerah pantai. Batu-batu besar yang jatuh dapat menyebabkan kerusakan yang parah. e. Rayapan Tanah Rayapan tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus. Jenis tanah longsor ini hamper tidak dapat dikenal. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebab kantiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring kebawah. f. Aliran Bahan Rombakan Jenis tanah longsor ini terjadi ketika massa tanah bergerak didorong oleh air. Kecepatan aliran tergantung pada kemiringan lereng, volume dan tekanan air, dan jenis materialnya. Gerakannya terjadi di sepanjang lembah dan mampu mencapai ratusan meter jauhnya. Di beberapa tempat bisa sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai di sekitar gunung api. Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
18
Menurut Cruden dan Varnes (1992), karakteristik gerakan massa pembentuk lereng dapat dibagi menjadi lima macam : a. Jatuhan ( Falls) b. Robohan (topples) c. Longsoran (Slide) d. Aliran ( Flows)
19
B. Kerangka konseptual
Indeks Ancaman (kemungkinan terjadi & besaran dampak tercatat)
Peta Ancaman
Indeks Kerugian (komponen ekonomi, fisik dan lingkungan)
Indeks Penduduk Terpapar (Komponen Sosisal Budaya)
Indeks Kapasitas (komponen kelembagaan, peringatan dini, mitigasi & kesiapsiagaan)
Peta Kerentanan
Peta Kapasitas
20
PETA RISIKO BENCANA
BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah bersifat penelitian deskriptif kuantitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan dan mengungkapkan suatu masalah, keadaan, peristiwa sebagaimana adanya atau mengungkapkan fakta secara lebih mendalam. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan (Arkunto, 1989). Sedangkan penelitian secara kuantitatif adalah penelitian dengan menggunakan model matematik, statistic, atau computer (Muhammad, 1998). B. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiono: 2009). Adapun populasi dalam penelitian ini adalah fisik dan penduduk Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat. 2. Sampel
Menurut (Prapundu:2005) sampel adalah sebagian dari objekatau i ndividuindividu yang mewakili suatu populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah beberapa daerah di Kabupaten Agam yang memiliki tingkat ancaman bencana longsor yang tinggi.
21
C. Jenis dan Sumber data 1. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari responden atau objek yang diteliti, atau adanya hubungan dengan yang diteliti. menurut Wardiyanta(2006) data primer yaitu jenis data atau informasi yang diperoleh dari sumber pertama atau responden. Dalam penelitian ini sumber pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan observasi ke beberapa daerah di Kabupaten Agam yang memiliki tingkat ancaman bencana longsor yang tinggi. 2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dan digali dari hasil pengolahan pihak kedua dari hasil penelitian lapangan, baik berupa data kualitatif maupun kuantitatif (Teguh, 1999). Dalam penelitian ini sumber pengumpulan data sekunder dipeoleh dari BPS Kabupaten Agam, Badang Geologi Nasional- ESDM, BAPPEDA, BPBD Kabupaten Agam, BPN, Dinas Sosia, Dinas Kehutanan, Peneliti terdahulu, browsing internet dan literatur terkait serta sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gumakan adalah : 1. Observasi
22
observasi adalah cara dan teknik pengumupulan data dengan melakukan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap gejala atau fenomena yang ada pada objek penelitian. observasi dilakukan langsung di beberapa daerah yang memiliki tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi di Kabupaten Agam. 2. Angket
Menurut
nawawi
dalam
papundu
(2005)
angket
adalah
usaha
mengumpulkan informasi dengan menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis. angket ini diberikan kepada penduduk daerah yang memiliki tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi di Kabupaten Agam. 3. Dokumentasi
Dokumentasi adalah pengambilan data berupa photo-photo dilapangan menggunakan media berupa camera, recorde dan lain sebagainya. dokumentasi sangat diperlukan dalam sebuah penelitian dengan maksud untuk lebih mempertajam, memperkuat data hasil yang diperoleh dari lapangan. E. Pengolahan Dan Analisis Data
Pada garis besarnya, analisa data dalam penelitian sosial dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu analisa data kategorikal dan analisa data bersambung (Efendi dan Chis Maning dalam Syarif 1988:14). setelah data diperlukan terkumpul kemudian data dipisah-pisahkan menurut jenisnya, dianalisa, diuraikan, disajikan dalam bentuk tabel-tabel, maupun uraian-uraian sesuai dengan tata cara penulisan. Untuk menelaah permasalahan yang
23
diangkat dalam penelitian ini, maka penulis melakukan pengolahan dan analisis data dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Pengkajian Risiko Bencana disusun berdasarkan indeks-indeks yang telah ditentukan. Indeks tersebut terdiri dari Indeks Ancaman, Indeks Penduduk Terpapar, Indeks Kerugian dan Indeks Kapasitas. Kecuali Indeks Kapasitas, indeks-indeks yang lain amat bergantung pada jenis ancaman bencana. 1. Teknik Analisis Ancaman Bencana Indeks Ancaman Bencana disusun berdasarkan dua komponen utama, yaitu kemungkinan terjadi suatu ancaman dan besaran dampak yang pernah tercatat untuk bencana yang terjadi tersebut. Dapat dikatakan bahwa indeks ini disusun berdasarkan data dan catatan sejarah kejadian yang pernah terjadi pada suatu daerah. Dalam penyusunan peta risiko bencana, komponen-komponen utama ini dipetakan
dengan
menggunakan
Perangkat
GIS.
Pemetaan
baru
dapat
dilaksanakan setelah seluruh data indikator pada setiap komponen diperoleh dari sumber data yang telah ditentukan. Data yang diperoleh kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Ancaman Bencana dapat dilihat pada tabel :
24
Tabel 1 : Komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Ancaman Bencana No
1
Bencana
Tanah Longsor
Komponen/ Indikator
Peta Bahaya Gerakan Tanah (divalidasi denagan data kejadian)
Kelas Indeks Rendah Sedang Tinggi Rendah (zona kerenta nan gerakan tanah sangat rendah)
Sedang (zona kerenta nan gerakan tanah meneng ah)
Tinggi (zona kerenta nan gerakan tanah tinggi)
Bobot Total
Bahan Rujukan
100%
Panduan dari badang geologi nasionalESDM
Sumber : Perka BNPB 2012 Tabel 2 : Kriteria ancaman bencana longsor Zona Ancaman
Kelas
Nilai
Gerakan tanah sangat rendah
Rendah
1
Gerakan tanah menengah
Sedang
2
Gerakan tanah tinggi
Tinggi
3
Bobot (%)
Skor 0.333333
100
0.666667 1.000000
Sumber : Perka BNPB 2012 2. Teknik Analisis Kerentanan Peta kerentanan dapat dibagi-bagi ke dalam kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan ekologi/lingkungan. Kerentanan dapat didefinisikan sebagai Exposure kali Sensitivity. “Aset-aset” yang terekspos termasuk kehidupan manusia (kerentanan sosial), wilayah ekonomi, struktur fisik dan wilayah ekologi/lingkungan. Tiap “aset” memiliki sensitivitas sendiri, yang bervariasi per bencana (dan intensitas bencana). Indikator yang digunakan dalam analisis kerentanan terutama adalah informasi keterpaparan. Dalam dua kasus informasi disertakan pada komposisi paparan (seperti kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio kemiskinan, rasio
25
orang cacat dan rasio kelompok umur). Sensitivitas hanya ditutupi secara tidak langsung melalui pembagian faktor pembobotan. Sumber informasi yang digunakan untuk analisis kerentanan terutama berasal dari laporan BPS (Provinsi/kabupaten Dalam Angka, PODES, Susenan, PPLS dan PDRB) dan informasi peta dasar dari Bakosurtanal (penggunaan lahan, jaringan jalan dan lokasi fasilitas umum). Informasi tabular dari BPS idealnya sampai tingkat desa/kelurahan. Sayangnya tidak ada sumber yang baik tersedia untuk sampai level desa, sehingga akhirnya informasi desa dirangkum pada level kecamatan sebelum dapat disajikan dalam peta tematik. Untuk peta batas administrasi sebaiknya menggunakan peta terbaru yang dikeluarkan oleh BPS. Gambar dengan komposisi indikator kerentanan ditunjukkan di bawah ini: Kepadatan Penduduk
Kerentanan Sosial
Kepekaan Sosial PDRB Per Sektor
Kerentanan Ekonomi
Penggunaan Lahan (Kawasan Budidaya)
Kerentanan Kerentanan Fisik
Kerentanan Bangunan Kerentanan Prasarana
Kerentanan Ekologi
Penggunaan Lahan (Kawasan Lindung)
26
3. Teknik Analisis Penduduk Terpapar Penentuan Indeks Penduduk Terpapar dihitung dari komponen sosial budaya di kawasan yang diperkirakan terlanda bencana. Komponen ini diperoleh dari indikator kepadatan penduduk dan indikator kelompok rentan pada suatu daerah bila terkena bencana. Indeks ini baru bisa diperoleh setelah Peta Ancaman untuk setiap bencana selesai disusun.Data yang diperoleh untuk komponen sosial budaya kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari nilai indeks dalam bentuk kelas (rendah, sedang atau tinggi), komponen ini juga menghasilkan jumlah jiwa penduduk yang terpapar ancaman bencana pada suatu daerah. Komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Penduduk Terpapar dapat dilihat pada tabel : Tabel 3 : Komponen dan indikator menghitung Indeks Penduduk Terpapar Komponen/ Indikator
No Bencana
Kelas Indeks
Rendah Sosial Budaya (40%)
4
Tanah Longsor
1
Kepadatan penduduk
< 500 jiwa/ km2
2
Kelompok rentan
< 20%
Bobot Total
Sedang
Tinggi
500 - 1000 jiwa/ km2
> 1000 jiwa/ km2
60 %
20 – 40
> 40%
40%
Sumber Data Podes, Susenas, dan Land use Podes, Susenas, PPLS
Sumber : Perka BNPB 2012 4. Teknik Analisis Kerugian Indeks Kerugian diperoleh dari komponen ekonomi, fisik dan lingkungan. Komponen-komponen ini dihitung berdasarkan indikator-indikator berbeda Tergantung pada jenis ancaman bencana. Sama halnya dengan Indeks Penduduk
27
Terpapar, Indeks Kerugian baru dapat diperoleh setelah Peta Ancaman untuk setiap bencana telah selesai disusun. Data yang diperoleh untuk seluruh komponen kemudian dibagi dalam 3 kelas ancaman, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Selain dari ditentukannya kelas indeks, penghitungan komponenkomponen ini juga akan menghasilkan potensi kerugian daerah dalam satuan rupiah. Tabel 4 : komponen dan indikator untuk menghitung Indeks Kerugian Bencana
Ekonomi (dalam Rp) 25%
1
Luas lahan produktif
< Rp 50 juta
Rp 50jt – 200jt
> Rp 200jt
60%
2
Kontribusi PDRB per sektor
< Rp 100 juta
Rp 100 jt – 300jt
>Rp 300jt
40%
Fisik (dalam Rp) 25% 1 Rumah < Rp 400 juta 2 Fas. Umum < Rp 500 juta 3 Fas. Kritis < Rp 500 juta Sumber : Perka BNBP 2012
Rp 400jt - 800jt Rp 500jt - 1M Rp 500jt - 1M
Tanah Longsor
28
> Rp 40% 800jt > 1M 30% > 1M
30%
Landuse, Kabupaten/ Kecamatan Dalam Angka Laporan Sektor, Kabupaten/ Kecamatan Dalam Angka
Podes
Tabel 5 : Kerentanan lingkungan untuk longsor
Parameter
Kelas
Bobot (%)
Hutan lindung 40 Hutan alam 40 Hutan 10 bakau/manggrove Semak belukar 10 Sumber : Perka BNBP 2012
Skor
Rendah < 20 ha < 25 ha < 10 ha
Sedang 20 – 50 ha 25- 75 ha 10 – 30 ha
Tinggi > 50 ha > 75 ha > 30 ha
< 10 ha
10 – 30 ha
> 30 ha
Kelas/ nilai max kelas
Akhirnya semua kerentanan adalah hasil dari produk kerentanan sosial, ekonomi, fisik dan lingkugan, dengan faktor-faktor pembobotan yang berbeda untuk masing-masing jenis ancaman yang berbeda. Semua faktor bobot yang digunakan untuk analisis kerentanan adalah hasil dari proses AHP. Parameter konversi indeks kerentanan yang ditunjukkan pada persamaan untuk masingmasing jenis ancaman di bawah ini. Kerentanan ancaman tanah longsor :
K erentanan = (0,4
x skor kerentanan sosial) + (0,25 x skor kerentanan ekonomi) + (0,25 x skor kerentanan fisik) + (0,1 x kerentanan lingkungan)
5. Teknik Analisis Kapasitas tingkat ketahanan tersebut kedalam 5 tingkatan, yaitu :
Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya
pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana atau kebijakan.
Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan risiko
bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang
29
disesbabkan belum adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.
Level
3
Komitmen
pemerintah
dan
beberapa
komunitas
tekait
pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak negatif dari bencana.
Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh
dalam pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui ada masih keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya finansial ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di daerah tersebut.
Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan
kapasitas yang memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan. Indeks Kapasitas diperoleh dengan melaksanakan diskusi terfokus kepada beberapa pelaku penanggulangan bencana pada suatu daerah. Panduan diskusi dan alat bantu untuk memperoleh Tingkat Ketahanan Daerah terlampir. Berdasarkan Tingkat Ketahanan Daerah yang diperoleh dari diskusi terfokus, diperoleh Indeks Kapasitas. Hubungan Tingkat Ketahanan Daerah dengan Indeks Kapasitas terlihat pada tabel :
30
Tabel 6 : komponen indeks kapasitas Komponen/ Indikator Aturan adan Kelembagaan 1 Penaggulangan Bencana 2 Peringatan Dini dan Kajian Risiko Bencana Bencana 3 Pendidikan Kebencanaan 4 Pengurangan Faktor Risiko Dasar 5 Pembangunan Kesiapsiagaan Pada Seluruh Lini Sumber : Perka BNPB 2012
Kelas Indeks Rendah Sedang Tinggi
Tingkat ketahanan 1 dan tingkat ketahanan 2
Tingkat ketahan an 4 dan tingkat ketahan an 5
Tingkat ketahan an 3
Bobot Total
Sumber Data
100%
FGD pelaku PB (BPBD, Bappeda, Dinsos, Dinkes, UKM, Dunia Usaha, Universitas, LSM, Tokoh masyarakat, Tokoh agama, dll)
Indikator yang digunakan untuk peta kapasitas adalah indicator HFA yang terdiri dari: a) aturan dan kelembagaan penanggulangan bencana; b) peringatan dini dan kajian risiko bencana; c) pendidikan kebencanaan; d) pengurangan factor risiko dasar; dan e) pembangunan kesiapsiagaan pada seluruh lini. Tabel 7 : Parameter konversi Indeks kapasitas bencana Parameter Aturan kelembagaan penaggulangan bencana Peringatan dini dan kajian bencana Pendidikan kebencanaan Pengurangan faktor risiko dasar Pembangunan kesiapsiaagan pada seluruh lini Sumber : Perka BNPB 2012
Bobot (%)
Rendah
100
< 0.33
Kelas Sedang
0.33 – 0.66
Tinggi
> 0.66
Skor
Kelas/Nilai max kelas
31
Tabel 8 : bobot kapasitas bencana longsor
Parameter
Nilai
Kelas
< 55
1
55 - 85
2
> 85
3
Bobot
Skor (Kelas*Bobot) 1
Kapasitas 100%
2
Daerah
Sumber : IRBI BNBP 2013
32
3