enelitian
:
“ANALISIS MENGENAI KETENTUAN PAJAK PADATRANSAKSI E-COMMERCE DAN PENERAPANNYA”
2. Identitas Peneliti : Lengkap : Hendra Wiratno : 02053100023 : A 3. Abstrak Electronic-Commerce (E-Commerce) adalah bentuk transaksi perdagangan di era modern ini yang mmpergunakan kecanggihan teknologi seperti komputer dan jaringan internet. Pihak penjual dapat menjual barangnya tanpa harus membuka toko di daerah ataupun di negara lainnya sehingga dapat menghemat biaya sedangkan pihak pembeli dapat membeli barang yang ditawarkan di toko virtual meskipun barang tersebut di jual di luar negeri dan belum tersedia di toko-toko di Indonesia dan pembeli juga tidak capek untuk berkeliling toko hanya untuk mencari suatu barang, cukup dengan megklik mouse dan mengetik nomor kartu kredit di keyboard, pembeli dapat melakukan transaksi di toko-toko virtual. E-commerce merupakan suatu hal yang unik dan menimbulkan beberapa permasalahn hukum. Permasalahan yang timbul dengan munculnya e-commerce adalah permasalahan pengenaan pajak dan permasalahan yurisdiksi. Muncul pertanyaan apakah transaksi e-commerce dapat dikenakan pajak mengingat antara pembeli dan penjual tidak selalu berada dalam satu negara dan tunduk pada satu hukum yang sama, dan apakah sistem pemungutan pajakIndonesia telah siap untuk mengantisipasi hal tersebut dan apakah asas-asas pemungutan pajak yang terdapat dalam undang-undang pajak dapat diterapkan dalam transaksi e-commerce Keyword: E-Commerce, pajak, yurisdiksi
4. Latar Belakang Masalah Perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi yang sedemikian pesatnya telah menyebabkan terjadinya globalisasi. Munculnya teknologi satelit, komputer, dan internet merupakan sebagian contoh hasil dan juga penyebab dari globalisasi [1], sehingga dengan adanya teknologi ini membuat dunia seolah-olah menjadi tanpa jarak. Sangat sulit untuk mendefinisikan apa arti globalisasi. Akan tetapi pengertian globalisasi dapat disimpulkan secara singkat dari pendapat Manfred B Steger dalam bukunyaGlobalization : A Very Short Introduction sebagaimana dikutip oleh Syahmin AK, bahwa “globalisasi pada hakikatnya merupakan suatu proses transformasi sosial yang akan
membawa kondisi umat manusia yang berbeda-beda dan terpencar-pencar di banyak wilayah Negara di dunia ini ke satu kondisi tunggal yang tidak mengenal lagi batas-batas wilayah”.[2] Munculnya teknologi komputer yang kemudian diikuti dengan munculnya teknologi internet mempunyai dampak yang besar bagi kehidupan manusia. Jika meminjam istilah Dimitri Mahayana sebagaimana dikutip oleh Agus Rahardjo dalam disertasinya, dikemukakan bahwa “internet merupakan suatu big bang kedua setelah material big bangyang dikemukakan Stephen Hawking. Big bang kedua merupakan knowledge big bang (ledakan besar pengetahuan) yang ditandai dengan komunikasi elektromagnetoopis via satelit maupun kabel, didukung oleh eksistensi jaringan telefoni yang telah ada dan akan segera didukung oleh ratusan satelit yang sedang dan akan diluncurkan. Internet merupakan simbolmaterial embrio masyarakat global dan merupakan suatu ledakan besar dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan”.[3] Internet telah membawa pengaruh yang besar bagi kehidupan manusia sehingga banyak para ahli yang berpendapat bahwa internet telah menciptakan suatu dunia yang kedua bagi kehidupan manusia selain dunia nyata yang selama ini dihuni manusia. Dunia ini dinamakan dunia maya atau dunia siber (cyberspace) dimana dengan memasuki dunia ini maka kita akan dibawa ke suatu dunia yang seolah tanpa batas dan terjadi globalisasi, sehingga ungkapan Kenichi Ohmae mengenai borderless-worldnya seolah menjadi kenyataan pada cyberspace[4]. Fenomena internet telah menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia. Beberapa tahun terakhir ini penggunaan jasa internet terutama di Indonesia meningkat dengan pesat. Berdasarkan data dan perkiraan resmi dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terhadap jumlah pelanggan dan pemakai internet selama ini dan perkiraan sampai akhir tahun 2006 adalah sesuai dengan tabel berikut ini:[5] Tabel 1. Perkembangan Jumlah Pelanggan dan Pemakai Internet (Kumulatif)
TA HU N 199 8 199 9 200 0 200 1 200 2 200
PELA PEMAKAI NGGA N 134.000 512.000 256.000 1.000.000 400.000 1.900.000 581.000 4.200.000 667.002 4.500.000 865.706 8.080.534
3 200 4 200 5 200 6 200 7*
1.087.4 28 1.500.0 00 1.700.0 00 2.000.0 00
11.226.143 16.000.000 20.000.000 25.000.000
Ket : * perkiraan s/d akhir 2007 Meningkatnya penggunaan internet khususnya diIndonesia juga memberikan dampak yang besar bagi dunia bisnis. Jika dahulu, orang-orang berdagang hanya di tingkat lokal di suatu negara, dan ketika hendak mengembangkan usahanya di luar negara tersebut, maka pedagang itu harus memiliki modal yang sangat besar, untuk mengurus berbagai hal, mulai dari perizinan, sewa gedung, upah para pekerjanya. Saat ini jika seorang ingin berdagang atau ingin mempromosikan barang dagangannya sampai keluar negeri, pedagang itu cukup membuat situs dan menampilkan barang dagangannya di halaman situsnya, para calon pembeli yang ada di luar negeri dapat melihat barang yang ditawarkannya dan jika si calon pembeli tertarik, maka dia dapat memesan barang tersebut cukup hanya dengan beberapa klik pada mouse dan ketikan nomor kartu kredit pada tombol keyboard. Tidak lagi diperlukan biaya yang besar untuk mengurus perizinan, biaya untuk mendirikan toko di luar negeri, tidak perlu sewa gedung, dan juga membayar upah pekerja. Para pihak dalam transaksi tidak perlu bertemu face to face cukup melalui peralatan komputer dan telekomunikasi. Hal ini menurut Heru Soepraptomo merupakan pertanda telah dimulainya era siber dalam dunia bisnis[6]. Perdagangan elektronik memang memberikan keuntungan baik bagi pedagang maupun para konsumen/ pembeli sehingga penggunaan internet dalam melakukan transaksi masih diminati dan diprediksi akan menggantikan transaksi yang masih menggunakan pola konvensional yaitu transaksi di mana pembeli dan penjual saling berhadapan atau bertemu muka, untuk pembayaran dan penyerahan barang, Beberapa keuntungan penggunaan internet sebagai media perdagangan, antara lain yaitu :[7] a) 1. 2. 3. 4.
Keuntungan bagi konsumen/ pembeli : Menurunkan harga jual produk; Meningkatkan daya kompetisi penjual; Meningkatkan produktivitas pembeli; Manajemen informasi yang lebih baik;
5. Mengurangi biaya dan waktu pengadaan barang; 6. Kendali inventory yang lebih baik. b) Keuntungan bagi penjual : 1. Identifikasi target pelanggan dan definisi pasar yang lebih baik; 2. Manajemen cash flow yang lebih baik; 3. Meningkatkan kesempatan berpartisipasi dalam pengadaan barang atau jasa (tender); 4. Meningkatkan efisiensi; 5. Kesempatan untuk melancarkan proses pembayaran pesanan barang; 6. Mengurangi biaya pemasaran. Meskipun perdagangan elektronik memberikan keuntungan baik kepada pihak penjual maupun pihak pembeli, namun perdagangan elektronik juga menimbulkan berbagai permasalahan. Menurut Sutan Remy Syahdeini, ada 12 (sebelas) permasalahan dalam perdagangan elektronik. Kedua belas permasalahan itu meliputi :[8] 1. Berlakukah Hukum Bagi Dunia Maya (Virtual World) ? 2. Penggunaan Domain Name; 3. Alat Bukti; 4. Pengakuan Pemberitahuan E-mail sebagai pemberitahuan tertulis; 5. Pembajakan Internet (Internet Piracy); 6. Perlindungan bagi konsumen; 7. Perpajakan; 8. Hubungan Hukum antara para pihak; 9. Perlindungan terhadap The Right to Privacy: 10. Pembatasan Tanggung Jawab; 11. Pilihan Hukum (Choice of Law); 12. Yurisdiksi pengadilan. Selain itu juga masalah kejahatan dalam internet atau yang lebih kita kenal dengan nama cyber crime ( kejahatan siber) yang muncul karena lemahnya pengaturan mengenai hal ini dalam hukum Indonesia. Dari sejumlah permasalahan di atas, yang menimbulkan keingintahuan penulis adalah mengenai permasalahan pengenaan pajak pada transaksi e-commerce. Masalah pengenaaan pajak ini menjadi menarik selain menyangkut masalah potensi penerimaan negara disebabkan besarnya peredaran uang di dunia maya (cyberspace) juga karena menyangkut beberapa aspek permasalahan lainnya seperti masalah yurisdiksi dan masalah apakah hukum itu berlaku pada cyberspace. Hubungan antara pemajakan dengan masalah yurisdiksi ini adalah mengenai siapa yang berhak mengenakan pajak atas transaksi e-commerce. Seperti yang kita ketahui bahwa pada transaksi e- commerce, para pihak (pihak penjual maupun pihak pembeli) tidak semuanya berada di satu negara, kadang penjual dan pembeli berasal dari Negara yang berbeda dan tunduk pada sistem hukum yang berbeda pula. Hal inilah yang menimbulkan kerumitan dalam pemungutan
pajak pada transaksi e- commerce karena dapat menimbulkan double taxation (pengenaan pajak ganda) dan merugikan para pihak baik pihak penjual maupun pihak pembeli. Hubungan antara pemajakan dengan masalah apakah hukum itu berlaku pada cyberspace adalah mengenai apakah dalam cyberspace juga berlaku hukum yang selama ini berlaku di dalam dunia nyata. Banyak pihak yang menganggap bahwa hukum yang berlaku di dunia nyata tidak berlaku pada transaksi yang terjadi di dunia maya (cyberspace). Pendapat ini didasari pada suatu kenyataan bahwa tidak ada pemilik tunggal dari internet karena sifatnya yang lintas batas atau transnasional sehingga suatu negara dengan hukumnya tidak boleh dan tidak seharusnya masuk ke dunia maya (cyberspace)[9]. Mekanisme perdagangan yang telah ada di cyberspace sebaiknya tidak dicampuri oleh negara dan sebaiknya diserahkan kepada mekanisme pasar karena dikhawatirkan akan menyebabkan runtuhnya bisnis perusahaanperusahaan yang menjalankan bisnis melalui internet[10]. Yang menjadi pertanyaan, jika dalam cyberspace tidak berlaku hukum dunia nyata, apakah transaksi yang terjadi di dunia maya (cyberspace), dapat dikenakan pajak oleh Negara, apakah ketentuan-ketentuan pajak yang diberlakukan oleh Negara dapat diterapkan untuk transaksi e-commerce. Jika kita memperbandingkan hal ini dengan negara-negara lain maka diketahui bahwa banyak negara yang juga mengenakan pajak pada transaksi e-commerce seperti Kanada, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Jepang[11]. Jepang bahkan membentuk Cyber Tax Office dan tim yang dinamakanProfessional Team for E-Commerce Taxation (PROTECT)khusus untuk mengatasi masalah perpajakan pada transaksi e-commerce. Cyber tax office bertugas memeriksa transaksi perdagangan yang dilakukan melalui internet oleh perusahaan-perusahaan besar. Sedangkan untuk mempelajari dan mengawasi kemungkinan adanya penghindaran pajak dalam perdagangan elektronik di Jepang dan yang dilakukan melintasi wilayah perbatasan negara merupakan kewenangan PROTECT, yang juga memiliki tugas untuk memeriksa perusahaan kecil termasuk individu-individu dengan memfokuskan pada transaksi B2C (businesss to customer) yang dilakukan melalui penyedia internet, internet shopping mall dan penyedia portallainnya. Pemeriksaan pajak tidak terbatas untuk barang-barang berwujud , melainkan juga barang-barang lainnya, seperti software, music, dan hak milik intelektual lainnya.[12] Hanya saja yang menjadi pertanyaan apakah Indonesia juga mengenakan pajak pada transaksi e-commerce, apa saja pajak yang dikenakan oleh Indonesia dan apakah jenis pajak yang dikenakan sama dengan pajak pada transaksi perdagangan konvensional ataukah ada penambahan jenis pajak yang baru untuk transaksi e-commerce ini, dan bagaimana penerapan ketentuan pajak tersebut, dilihat dari potensi dan kendala-kendala dalam pengenaan pajak pada transaksi tersebut, dan bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh petugas pajak terhadap transaksi e-commerce. Hal-hal inilah yang menimbulkan keinginan penulis untuk mengkajinya lebih lanjut dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Mengenai Ketentuan Pajak pada Transaksi ECommerce dan Penerapannya”.
5. Perumusan masalah 1.
Pajak apakah yang dibebankan pada transaksi e-commerce?
2. Apakah yang menjadi landasan pemikiran pembebanan pajak pada transaksi e-commerce? 3. Bagaimanakah penerapan ketentuan pajak Indonesia pada transaksi e-commerce? 6. Kegunaan dan Tujuan Penelitian 1. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah : a. Kegunaan teoritis Skripsi ini diharapkan dapat mengembangkan wawasan bagi para pembacanya yang selama ini juga bertanya-tanya mengenai pengenaan pajak pada transaksi e-commerce dan diharapkan dapat menyumbangkan ilmu yang berguna bagi perkembangan ilmu hukum khususnya ilmu hukum bisnis karena penulis menyadari bahwa penelitian mengenai pajak pada transaksi e-commerce belum pernah dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya sehingga diharapkan skripsi ini dapat mengisi kekosongan pengetahuan yang selama ini terjadi. b. Kegunaan Praktis Skripsi ini diharapkan dapat menambah pengetahuan bagi masyarakat khususnya kalangan dunia bisnis bahwa transaksi e-commerce juga berlaku ketentuan-ketentuan pajak dan diharapkan dapat menjawab anggapan dalam masyarakat selama ini bahwa transaksi melalui dunia siber tidak dapat dikenakan pajak 2. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penulisan yang ingin dicapai oleh penulis adalah : a. Untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan pajak pada transaksi e-commerce yang diberlakukan diIndonesia; b. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan ketentuan pajak tersebut pada transaksi ecommerce. 7.
TINJAUAN UMUM TENTANG E-COMMERCE DAN PAJAK A. Tinjauan Umum tentang E-commerce 1. Definisi E-Commerce E-Commerce terdiri dari dua kata dalam bahasa Inggris yaitu Electronic dan Commerce yang bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Elektronik dan Perdagangan. Adapun yang dimaksud perdagangan adalah pekerjaan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual
barang itu di tempat lain atau pada waktu berikut dengan maksud memperoleh keuntungan.[13] Yang dimaksud dengan elektronik adalah alat yang dibuat berdasarkan prinsip elektronika, hal atau benda yang menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar elektronik[14]. Jadi secara sederhana E-Commerce dapat diartikan pekerjaan atau kegiatan membeli barang dari suatu tempat atau pada suatu waktu dan menjual barang itu di tempat lain atau pada waktu berikut dengan maksud memperoleh keuntungan dengan menggunakan alat-alat yang dibentuk atau bekerja atas dasar prinsip elektronika yaitu komputer dan jaringan internet. Sampai sekarang belum ada satu pengertian mengenai ECommerce karena belum terjadinya kesepakatan di antara pakar dunia mengenai hal ini. Definisi dari beberapa pakar di bawah ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai e-commerce sehingga dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif. Albarda sebagaimana dikutip oleh M Fikri Salman , Antonius Suhadi, dkk mengatakan bahwa e-commerce merupakan salah satu bentuk transaksi [15] perdagangan yang paling banyak dipengaruhi oleh teknologi informasi. Kalalota dan Whinston memberikan definisi e-commerce ditinjau dari aspek sosio-ekonomi yaitu sebuah metodologi bisnis modern yang berupaya memenuhi kebutuhan organisasi-organisasi, para pedagang dan consumer untuk mengurangi cost (biaya), meningkatkan kualitas barang dan jasa serta meningkatkan kecepatan jasa layanan pengantaran barang [16]. Berdasarkan pendapat dari Amir Hartman yang dikutip oleh Richardus Eko Indrajit, dikemukakan bahwa e-commerce sebagai “suatu jenis dari mekanisme bisnis secara elektronis yang memfokuskan diri pada transaksi bisnis berbasis individu dengan menggunakan internet sebagai medium pertukaran barang atau jasa baik antara dua buah institusi (B to B) maupun antar institusi dan konsumen langsung (B to C)”.[17] Definisi yang lengkap dikemukakan oleh ECEG (Electronic Commerce Expert Group) yang mendefinisikan e-commerce sebagai[18] “ a broad concept that covers any commercial transaction that is effected via electronic means and would include such means as facsimile, telex, EDI, Internet and telephone. For the purpose of this report the term is limited to those trade and commercial transaction involving computer to computer communication whether utilizing an open or closed network”.
Secara yuridis, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[19] dalam pasal 1 angka 2 memberikan definisi mengenai transaksi elektronik sebagai “perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya” 2. Hubungan Hukum antara Pihak-Pihak dalam Perjanjian E-Commerce Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi e-commerce adalah hubungan hukum perikatan yang timbul karena adanya suatu perjanjian. Transaksi E-Commerce melibatkan banyak pihak, baik yang bertindak secara langsung maupun yang tidak terlibat secara langsung dalam perjanjiannya. Budhiyanto mengatakan bahwa setidaknya terdapat lima pihak yang terlibat yaitu[20]: a. Penjual/merchant, yaitu produsen/perusahaan yang menawarkan produknya melalui internet. Untuk menjadi merchant, maka harus mendaftarkan diri sebagai merchant account pada sebuah bank agar merchant dapat menerima pembayaran dalam bentuk credit card/kartu kredit, dikarenakan salah satu jenis pembayaran yang sering dipakai pada transaksi e-commerce adalah pembayaran melalui kartu kredit[21]. b. Konsumen/card holder yaitu orang atau badan yang ingin memperoleh produk (barang atau jasa) melalui pembelian secara on-line. c. Acquirer, yaitu pihak perantara penagihan antara penjual dengan penerbit, dan perantara pembayaran antara pemegang kartu dan penerbit. Acquirer sebagai perantara penagihan meneruskan tagihan yang masuk kepadanya dari penjual kepada penerbit kartu kredit (issuer). Acquirer sebagai perantara pembayaran menerima uang pembayaran dari pemegang kartu kredit, dan meneruskan pembayaran yang diterima kepada issuer. Yang dimaksud dengan acquirer ini adalah pihak bank, jadi pihak bank yang meneruskan tagihan dari merchant kepada issuer dan menerima pembayaran dari card holder kemudian meneruskan pembayaran kepada issuer. Posisi bank dalam rangkaian transaksi kartu kredit terbagi menjadi dua yaitu:[22] 1. Bank sebagai Marketing Channel Bank sebagai marketing channel ini hanya bertanggung jawab pada segi pemasaran, sedangkan hal-hal mengenai penyelesaian semua keluhan pemegang kartu kredit, dispute transaction dan berbagai hal yang berkaitan dengan operasional kartu kredit menjadi tanggung jawab issuer. Bank hanya sebagai penengah atau perantara. 2.
Bank sebagai kreditor
Bank mengadakan perjanjian dengan Visa Internasional tanpa melalui perusahaan lain yang telah mendapatkan lisensi dari Visa Internasional, kartu kredit yang dikeluarkan oleh bank tersebut berfungsi sebagai alat pembayaran transaksi pada merchant dengan logo Visa Elektron atau transaksi pada mesin ATM dengan logo Plus[23]. Bank yang berkedudukan sebagai kreditor tidak hanya bertindak sebagai perantara akan tetapi juga bertindak sebagai: 1. 2. 3. 4. d.
1) 2) 3) e.
Penerbit kartu kredit; Mencetak dan mengirimkan lembar tagihan (billing statement); Mengadakan perjanjian dengan merchant; Menyelesaikan keluhan pemegang kartu kredit, termasuk kredit macet, dan lain sebagainya. Issuer, yaitu perusahaan yang menerbitkan kartu kredit. Tidak semua perusahaan yang dapat menerbitkan kartu kredit, di Indonesia terdapat beberapa lembaga yang diizinkan untuk menerbitkan kartu kredit yaitu: Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memperoleh izin dari Card International atau Visa International seperti Master dan Credit Card; Perusahaan non bank yaitu PT Dinner Jaya Indonesia Internasional yang membuat perjanjian dengan perusahaan di luar negeri; Perusahaan Internasional yang membuka cabang di Indonesia seperti American Express. Certification Authorities yaitu pihak ketiga yang memegang hak untuk mengeluarkan sertifikasi kepada merchant, kepada issuer, dan dalam beberapa hal diberikan pula kepada card holder. Menurut Annalisa Y dengan mengutip pendapat Joni Emirzon pada transaksi e-commerce terdapat perjanjian segitiga[24] yang merupakan perjanjian yang berdiri sendiri yang merupakan karakteristik sistem pembayaran kartu kredit[25] yaitu antara:
1. Pihak perusahaan/bank penerbit kartu dengan card holder; Dasar hubungan hukum antara card holder dengan issuer adalah perjanjian, yaitu perjanjian untuk menerbitkan kartu kredit yang harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPer dan perjanjian yang telah memenuhi unsur-unsur dalam pasal 1320 KUHPer berlaku dan mengikat para pihak seperti undang-undang sebagaimana ditentukan dalam pasal 1338 KUHPer. Pada umumnya perjanjian ini dibuat dalam bentuk kontrak baku yang klausul dari perjanjian telah ditentukan/dibakukan[26] oleh pihak issuer. Menurut Mohjan, bahwa mengacu pada pasal 1320 ayat (1) serta pasal 1337 KUHPer maka perjanjian baku diterima melalui cara dengan lisan atau dalam bentuk perilaku atau dengan tulisan dalam bentuk pernyataan tanda tangan yang mengandung arti telah terjadi
pertemuan kehendak (meeting of mind)[27], asalkan klausula baku bukan merupakan klausula baku yang dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) maka perjanian ini telah memenuhi syarat sahnya perjanjian atau dengan kata lain diakui berlaku dan mengikat oleh undang-undang[28]. 2. Perusahaan/bank penerbit kartu (bank issuer) dengan merchant; Hubungan hukum yang terjadi antara issuer dengan merchant adalah berdasarkan perjanjian yang sifat hubungan hukumnya adalah untuk melakukan pekerjaan tertentu[29]. 3. Card holder dengan merchant yang menerima pembayaran dengan kartu kredit. Hubungan hukum yang terjadi antara card holder dengan merchant adalah perjanjian yang sifatnya insidental dan sementara. Perjanjian yang terjadi adalah perjanjian timbal balik (wederkeriq overeenkomst), karena perjanjian yang terjadi antara card holder dengan merchant adalah merupakan perjanjian jual beli sehingga masing-masing pihak dalam beberapa hal merupakan pihak yang berwajib dan di lain pihak merupakan pihak berhak[30]. Pihak card holder mempunyai kewajiban untuk membayar barang yang dibelinya dan mempunyai hak untuk menerima barang yang telah dibelinya dari merchant, dan sebaliknya merchant mempunyai kewajiban untuk mengirim barang itu dalam keadaan baik dan spesifikasinya sesuai dengan yang dipesan oleh card holder dan berhak untuk menerima pembayaran. Apabila pembayaran yang dilakukan tidak menggunakan kartu kredit melainkan dengan mekanisme transfer ke rekening penjual maka perjanjian yang terjadi adalah perjanjian antara konsumen dengan pihak bank untuk pembukaan rekening, dan perjanjian antara pihak penjual dengan pihak bank untuk membuka rekening atas nama penjual, serta perjanjian jual-beli antara pihak penjual dengan pihak konsumen, dan juga terdapat perjanjian pengangkutan antara pihak penjual dengan perusahaan pengiriman barang.
Ditinjau dalam konteks pengembangan dan/ atau pembuatan konstruksi sistem informasi, terdapat beberapa macam perikatan yakni [31]: 1. perjanjian yang berkenaan dengan perangkat keras (hardware contract), baik jual beli (purchasing) maupun sewa-menyewa (leasing) yang juga mencakup pemasangan (installation) dan perawatannya (maintenance);
2. perjanjian yang berkenaan dengan perangkat lunak (software contract), baik untuk software yang dibuat secara khusus berdasarkan pesanan si pengguna jasa (bespoke/customized software) maupun yang telah dibuat umum oleh para vendor dalam bentuk paket-paket aplikasi ataupun tools yang telah beredar umum (off the self software); 3. perjanjian yang berkenaan dengan jasa-jasa teknologi (services contract) yang mencakup : a. Perjanjian pendidikan dan pelatihan (training/educational services contract); b. Perjanjian perawatan dan pemeliharaan (maintenance contract). Ketiga perjanjian ini dapat dilakukan secara terpisah maupun diadakan dan dikombinasikan bersama-sama, contohnya perjanjian jual beli hardware ditambah perjanjian maintenance atau disertai pula dengan perjanjian pengembangan sistem ditambah perjanjian pelatihan dan perawatan, jika dilakukan sebagai suatu kesatuan dalam satu proyek maka dikategorikan sebagai turn key contract, dimana pengguna jasa telah menyerahkan semua urusan kepada penyedia jasa sehingga ia hanya tinggal menggunakan perangkat maupun sistem yang telah dirancang tersebut.[32] 3. Jenis Transaksi pada E-commerce Pada umumnya transaksi e-commerce dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu transaksi Business to Business (B to B) dan Business to Customer (B to C)[33], selain juga transaksi dari customer to customer dimana antar individu saling menjual barang melalui internet satu sama lain seperti transaksi pada situs e-bay.com serta transaksi dari customer to business yang memungkinkan individu menjual barang pada perusahaan seperti pada priceline.com dan transaksi customer to [34] government seperti transaksi pembayaran pajak melalui internet . Yang akan dibahas adalah transaksi dari B to B dan B to C karena jenis transaksi ini lebih banyak diterapkan. Transaksi B to B mempunyai karakteristik sebagai berikut [35]: a.
Trading partners yang sudah saling mengetahui dan antara mereka sudah terjalin hubungan yang berlangsung cukup lama. Pertukaran data dan informasi dilakukan diantara trading partners ini atas dasar kebutuhan dan kepercayaan; b. Pertukaran data dilakukan berulang-ulang dan berskala dengan format data yang disepakati. Sistem yang dipakai sama dan menggunakan standard yang sama; c. Salah satu pihak tidak harus menunggu pihak lain untuk mengirim data; d. Model yang umum digunakan adalah pear-to pear dimana processing intelegence dapat didistribusikan di kedua pelaku bisnis.
Transaksi berikut[36]:
B
to
C
memiliki
karakteristik
sebagai
a. Terbuka untuk umum; b. Service yang dilakukan bersifat umum sehingga mekanismenya dapat digunakan oleh banyak orang dan tidak menggunakan standar tertentu; c. Services yang diberikan berdasarkan permintaan dimana konsumen yang berinisiatif sedangkan produsen harus siap memberikan respon terhadap keinginan konsumen; d. Pendekatan yang dilakukan adalah client-server dimana konsumen di pihak client menggunakan sistem yang minimal (berbasis web) dan pihak penyedia barang atau jasa (business procedure) berada pada pihak server.
B. Tinjauan Umum Tentang Pajak 1. Pengertian Pajak Menurut UU No 28 Tahun 2007[37] Tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, dalam pasal 1 angka 1 menyatakan “Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sebagai pembanding, maka dikemukakan pula beberapa pendapat dari para sarjana mengenai pengertian pajak. Menurut Rochmat Soemitro sebagaimana yang dikutip oleh Mardiasmo [38] : “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang(yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Definisi ini diperbarui lagi oleh Rochmat Soemitro sebagaimana dikutip oleh Sugianto[39] : “Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public invesment”.
Menurut Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” sebagaimana dikutip oleh R Santoso Brotodihardjo menyatakan bahwa[40] : “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”. Menurut PJA Adriani sebagaimana yang dikutip oleh Bohari definisi pajak adalah[41]: “Pajak adalah iuran negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak dapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan gunanya untuk membiayai pengeluaranpengeluaran umum berhubung dengan tugas pemerintahan”. Berbagai definisi tentang pajak baik yang ada dalam peraturan perundangundangan maupun yang diuraikan oleh para sarjana, dapat memberikan gambaran bahwa pajak itu adalah suatu pungutan berupa uang [42] yang dibebankan oleh negara kepada orang atau badan berdasarkan peraturan perundang-undangan sehingga dapat dipaksakan oleh negara dengan tidak adanya imbalan secara langsung (kontraprestasi) kepada wajib pajak dan hasil dari pembayaran pajak tersebut digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
2. Ciri-ciri Pajak Setelah dikemukakan beberapa pengertian pajak yang dikutip dari undangundang maupun dari pendapat para ahli maka dapat kita simpulkan ciri-ciri yang melekat dari beberapa pengertian tersebut yaitu: [43]: a.
Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan; b. Pajak dipungut oleh Negara, baik oleh Pemerintah pusat maupun Pemerintah Daerah; c. Iuran yang dibayarkan tersebut berupa uang dan bukan barang; [44]
d. Tidak adanya jasa timbal (kontraprestasi) secara langsung yang diterima oleh pembayar pajak; e. Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bermanfaat bagi masyarakat luas, yang apabila dari pemasukan tersebut masih terdapat surplus, maka akan dipergunakan untuk membiayai public investment; f. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang [45] [46] tidak budgeter yaitu regulerend (mengatur) . 3. Syarat Pemungutan Pajak Menurut Mardiasmo, agar tidak menimbulkan hambatan ataupun perlawanan, maka dalam pemungutan pajak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: [47] a. Pemungutan pajak harus adil (memenuhi syarat keadilan) Pengenaan pajak harus dilakukan secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, sedangkan dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus diberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. b. Pemungutan pajak harus memenuhi syarat yuridis yaitu bahwa pemungutan pajak harus dilakukan berdasarkan undang-undang, sebagaimana diatur dalam pasal 23 A UUD 1945 untuk memberikan jaminan hukum dan keadilan baik bagi negara maupun warganya. c. Pemungutan pajak harus memperhatikan syarat ekonomis, bahwa pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. d. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansiil), maksudnya adalah bahwa sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana sehingga akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 4. Kedudukan Hukum Pajak dalam Hukum Indonesia Hukum Pajak mempunyai ruang lingkup yang sangat luas. Dalam hukum nasional, hukum pajak menempati titik silang pelbagai bagian hukum klasik yaitu hukum publik dan hukum privat. Yang termasuk bidang hukum publik seperti antara lain hukum pidana, hukum tata negara, hukum administrasi, hukum internasional publik[48], hukum lingkungan, hukum sosial ekonomi. Sedangkan yang termasuk bidang hukum privat atau perdata [49]antara lain hukum perkawinan,
hukum kewarisan, perdata[50].
hukum
perjanjian,
hukum
dagang,
hukum
internasional
Menurut Rochmat Soemitro, Hukum Pajak merupakan bagian dari hukum publik yang terpisah dengan hukum publik lainnya. Hal ini dapat dari pembagian hukum yang dilakukan oleh Rochmat Soemitro yaitu sebagai berikut : [51]
1. Hukum Perdata, mengatur hubungan antara satu individu dengan individu lainnya; 2. Hukum Publik, mengatur hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya. Hukum ini dapat dirinci lagi sebagai berikut : a. Hukum Tata Negara; b. Hukum Tata Usaha (Hukum Administratif); c. Hukum Pajak; d. Hukum Pidana; Sedangkan menurut R Santoso Brotodihardjo hukum pajak adalah merupakan anak dari bagian hukum administratif karena merupakan bagian dari tertib hukum yang mengatur hubungan antara penguasa dengan pemerintah dalam hal mengenai cara-cara mengatur pemerintahan[52]. Menurut P.J.A Adriani, Hukum Pajak dapat diberikan otonomi (otonomi hukum pajak) dan berdiri sendiri serta terlepas dari Hukum Tata Usaha Negara [53] dengan alasan bahwa hukum pajak mempunyai tugas yang bersifat lain dibandingkan dengan hukum administrasi yaitu bahwa hukum pajak juga dipergunakan sebagai alat untuk menentukan politik perekonomian juga karena hukum pajak umumnya mempunyai tata tertib dan istilah-istilah tersendiri.
Penulis sependapat dengan pendapat P.J.A Adriani yang mengatakan bahwa hukum pajak adalah bidang hukum yang berdiri sendiri karena mempunyai tugas yang berbeda dengan bidang hukum lainnya khususnya dengan bidang hukum administratif dan juga karena dalam peristilahan juga dipergunakan istilah yang berbeda dengan bidang hukum lainnya, akan tetapi jika menggunakan istilah otonomi hukum pajak dirasakan tidaklah tepat karena istilah otonomi berarti bahwa hukum pajak itu bebas dan terlepas dari bidang-bidang hukum lainnya, tidak hanya terlepas dari bidang hukum administrasi akan tetapi juga terlepas dari unsur hukum pidana dan juga hukum perdata, padahal hukum pajak tidak terlepas dari bidangbidang hukum lainnya. Hal ini dapat kita lihat dalam pembahasan mengenai Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana dan juga Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata. 4.1. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Hukum pajak memiliki hubungan dengan hukum perdata yang merupakan hukum yang mengatur hubungan antara orang atau badan hukum dengan orang atau badan hukum lainnya. Oleh dikarenakan adanya suatu kejadian-kejadian, keadaan-keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum yang bergerak dalam bidang hukum perdata seperti antara lain pendapatan, kekayaan, perjanjian penyerahan, pemindahan hak karena warisan, dan sebagainya merupakan dasar bagi pemungutan pajak. Kejadian, keadaan dan perbuatan-perbuatan hukum ini merupakan tatbestand yang dituangkan dalam UU Pajak. Menurut pendapat W.F. Prins dalam bukunya yang berjudul “Het Belastingrecht Van Indonesie” sebagaimana dikutip oleh Waluyo menyatakan bahwa hubungan erat antara Hukum Pajak dan Hukum Perdata, karena banyak istilahistilah hukum Perdata dipergunakan dalam hukum pajak dengan prinsip yang harus dipegang bahwa pengertian-pengertian dalam hukum perdata tidaklah akan selalu dianut dalam hukum pajak.[54] Contoh penggunaan istilah hukum Perdata dalam Hukum Pajak yaitu:
a. Pasal 17 B.W.[55] : Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggal di mana ia menempatkan pusat kediamannya, dalam hal tak adanya tempat tinggal yang demikian, maka tempat kediaman sewajarnya dianggap sebagai tempat tinggal. b. Istilah tempat tinggal ini dapat kita temukan pada pasal 2 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan[56], “Tempat tinggal” orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak (DJP) menurut keadaan yang sebenarnya”. Dengan memperhatikan kedua ketentuan di atas terlihat bahwa ketentuan pajak yang dianut fiskus merupakan ketentuan khusus (lex specialis). Oleh karena itu sesuai dengan asas lex specialis derogate lex generale maka adanya pengaruh hukum pajak terhadap hukum perdata, setiap undang-undang penafsiran yang harus dianut pertama kali yaitu berada dalam ketentuan khusus. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 1602 BW yang menyatakan bahwa “Majikan diwajibkan membayar kepada buruh, upah seluruhnya pada waktu yang telah ditentukan”. Sedangkan pasal 21 UU Nomor 17 Tahun 2000[57] menyatakan “Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh: 1. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;
Berdasarkan contoh di atas jelas bahwa ketentuan yang ada dalam undangundang pajak adalah ketentuan yang khusus (lex specialis) sehingga diterapkan lebih dahulu daripada ketentuan-ketentuan umum (lex generalis) dalam hukum perdata. 4.2. Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana Hubungan antara hukum pajak dengan hukum pidana dapat dilihat dengan adanya ketentuan tindak pidana dan juga sanksi pidana dalam UU Pajak seperti antara lain yang tertuang dalam pasal 38 sampai dengan pasal 43A UU Nomor 28 Tahun 2007, pasal 24 sampai dengan pasal 27 UU Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan[58] serta pasal 13 dan pasal 14 UU No 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai[59]. 5. Asas –asas pemungutan Pajak 1.
Asas Menurut Para Sarjana Asas-asas pemungutan pajak sebagaimana dikemukakan oleh Adam smith dalam bukunya An Inquiri into the nature and cause of the Wealth of Nations menyatakan bahwa pemungutan pajak hendaknya didasarkan pada [60]: a.
Equality Pemungutan pajak harus adil dan merata yang berarti bahwa pajak dikenakan kepada orang pribadi harus sebanding dengan kemampuan keuangannya dalam membayar pajak atau ability to pay dan harus sesuai dengan manfaat yang diterima oleh wajib pajak walaupun manfaat tidak langsung diterima si wajib pajak. Asas ini menghendaki tidak diperbolehkannya suatu Negara mengadakan diskriminasi di antara Wajib Pajak[61]. Seorang Wajib Pajak dalam keadaan yang sama harus diperlakukan sama dan dalam keadaan yang berbeda Wajib Pajak juga harus diperlakukan berbeda[62] contohnya jika Wajib Pajak dalam keadaan kesulitan keuangan, tentu pengenaan pajak juga berbeda ketika kondisi keuangannya baik.
b. Certainty Penetapan pajak tidak ditentukan sewenang-wenang. Oleh karena itu Wajib Pajak harus mengetahui secara jelas berapa besar pajak yang terutang, kapan serta batas waktu pembayaran. c.
Convenience
Pembayaran pajak hendaknya disesuaikan waktunya dengan saat-saat yang tidak menyulitkan wajib pajak, umumnya pemungutan pajak dilakukan pada saat Wajib Pajak memperoleh penghasilan. d. Economy Biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi wajib pajak diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban pajak yang dipikul oleh Wajib Pajak juga harus diterapkan seminimum mungkin sesuai kemampuan Wajib Pajak. 2. Asas Menurut Falsafah Hukum Sebagaimana diketahui bahwa pajak harus dipungut berdasarkan keadilan dan oleh karenanya hukum pajak harus mengabdi kepada keadilan [63]. Sejak lama orang-orang berpikir dan berusaha mencari jawaban atas dasar apa negara seakan-akan memberikan hak kepada diri sendiri untuk membebani rakyatnya dalam bentuk pengenaan pajak. Sejak abad ke 18 timbul berbagai teori yang berusaha untuk menjawab pertanyaan tersebut dan memberikan dasar kepada negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Teori-teori pajak yang dikemukakan sejak abad ke 18 hingga sekarang yang memberikan dasar bagi negara dalam melakukan pemungutan pajak akan diuraikan sebagai berikut [64]:
1. Teori Asuransi Teori ini menyatakan adalah tugas dari negara untuk melindungi rakyat dan juga kepentingannya seperti keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak lainnya. Seperti halnya perjanjian asuransi (pertanggungan) maka untuk mendapatkan perlindungan tersebut rakyat harus membayar pajak kepada negara dan pajak ini dianggap seperti premi dalam perjanjian asuransi. Teori yang menyamakan pajak sama dengan premi dalam perjanjian asuransi tidaklah tepat karena jika timbul suatu kerugian, maka tidak ada suatu penggantian kerugian dari negara sebagaimana halnya jika terjadi suatu evenemen maka perusahaan pertanggungan akan memberikan penggantian kerugian, selain alasan-alasan di atas juga tidak terdapat hubungan antara pajak yang dibayarkan dengan penyelenggaraan jasa maupun fasilitas-fasilitas dari negara, karena jasa maupun fasilitas yang diberikan ditujukan pada umum bukan untuk kepentingan perorangan. 2. Teori Kepentingan
Teori ini menyatakan bahwa tugas negara adalah untuk melindungi kepentingan rakyatnya, dan oleh karenanya adalah suatu kewajaran negara membebankan biaya pada rakyatnya untuk mengganti biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh negara untuk melaksanakan kewajibannya itu. Semakin besar kepentingan seseorang maka semakin besar pula biaya yang dibebankan padanya. Terhadap teori ini menurut R Santoso Brotodihardjo, tidaklah benar dan banyak para ahli yang menyanggah teori ini karena dalam teori ini pajak dikacaukan dan dicampurkan pula dengan retribusi karena menyebutkan bahwa berdasarkan kepentingan yang lebih besar misalnya perlindungan terhadap harta benda maka si kaya akan membayar biaya yang lebih besar daripada si miskin, padahal si miskin juga memiliki kepentingan yang lebih besar misalnya dalam hal mendapatkan jaminan sosial sehingga si miskin harus membayar lebih besar, dan juga apa yang dijadikan alat untuk mengukur kepentingan seseorang dan juga menurut penulis bahwa teori ini tidaklah mengabdi kepada prinsip-prinsip keadilan karena jika kepentingan seseorang yang dijadikan dasar pemungutan pajak maka negara akan cenderung mengutamakan dan melindungi orang-orang kaya dan meninggalkan kepentingan orang-orang miskin, hal mana yang tidak seharusnya terjadi dan memang pada kenyataannya teori ini sudah semakin ditinggalkan karena tidak sesuai dengan kenyataan. 3. Teori Gaya Pikul/ Teori Daya Pikul[65] Menurut teori ini beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya yang artinya harus dibayar sesuai gaya pikul. Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada jasa-jasa yang dilakukan oleh negara kepada warga negaranya, yaitu untuk melindungi jiwa dan harta bendanya. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara ini dipikul oleh seluruh orang yang menikmati perlindungan ini. Teori ini juga tidak dapat diukur dengan pasti dan juga selalu berubah dengan berubahnya zaman. Meskipun ajaran ini dapat menjelaskan hubungan antara jumlah pajak yang harus dipungut dengan besarnya gaya pikul sehingga dapat memuaskan dari sisi keadilan namun masih juga menimbulkan pertanyaan bagaimana caranya, jika sesuatu yang harus dikenakan pajak sudah diketahui, tarif manakah yang harus diberlakukan, apakah tarif yang proporsional, yang degresif ataukah yang progresif dan berapa besar persentase pajak yang akan digunakan untuk tarifnya. Hal ini akan sangat tergantung dari rasa keadilan dari zaman ke zaman. Kecenderungan para ahli pajak saat ini, untuk menetapkan jumlah pajak berdasar besar penghasilan dengan juga memperhatikan besarnya tanggungan
keluarga. Hal ini dapat dilihat dari dua pendekatan yang digunakan oleh Mardiasmo untuk mengukur daya pikul seseorang yaitu [66] 1. Unsur obyektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. 2. Unsur subyektif, dengan memperhatikan besarnya kebutuhan materiil yang harus dipenuhi. Contoh : Tabel 2 Perbandingan antara penghasilan dengan kebutuhan materiil
Tuan A
Tuan B
Penghasilan/bulan
Rp 2 juta
Rp 2 juta
Status
Menikah dengan 3 bujangan anak
PPh tuan A sama besarnya dengan tuan B, karena mempunyai penghasilan yang sama besarnya, hal ini jika dilihat dari unsur obyektif, sedangkan jika dilihat dari unsur subyektif PPh untuk tuan A lebih kecil daripada tuan B karena kebutuhan materiil yang harus dipenuhi tuan A lebih besar. 4. Teori Bakti Teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer sehingga diajarkan bahwa karena sifat negara inilah maka timbul hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidak berdiri sendiri, tanpa ada persekutuan maka juga tidak akan ada individu dan oleh karenanya negara sebagai wujud dari persekutuan itu berhak atas satu dan yang lainnya. Menurut W. H. van de Berge sebagaimana dikutip oleh R Santoso Brotodihardjo mengatakan bahwa negara sebagai groepsverband dengan memperhatikan syarat-syarat keadilan, bertugas menyelenggarakan kepentingan umum, dan karenanya dapat dan harus mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan termasuk tindakan-tindakan dalam pemungutan pajak. Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan rakyat dengan negaranya. Sebagai wujud bakti kepada negara, maka rakyat harus membayar pajak.
5. Teori Asas Daya Beli Teori ini menyatakan bahwa dasar keadilan dari pemungutan pajak adalah pada penyelenggaraan kepentingan masyarakat. Negara mengambil gaya beli dari rumah-rumah tangga dalam masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesehatan masyarakat. 3. Asas Yuridis Sebagaimana telah dijelaskan bahwa hukum pajak harus mengabdi kepada keadilan, dan karenanya harus ada jaminan hukum dari negara kepada warga negaranya agar negara tidak sewenang-wenang dalam menentukan besarnya pajak. Landasan yuridis pemungutan pajak di Indonesia dapat kita lihat dalam pasal 23 A UUD 1945. 4. Asas Ekonomis Asas ekonomis ini menghendaki agar kehidupan ekonomi masyarakat terus meningkat dan kemajuan ekonomi tidak terhambat karena pemungutan pajak. Oleh karena itu pemungutan pajak harus diupayakan agar tidak mengganggu kelancaran ekonomi. 5. Asas Pemungutan Pajak dalam Undang-undang Terdapat beberapa asas yang dgunakan sebagaimana yang dapat kita lihat dalam UU yaitu [67]: 1.
untuk
memungut
pajak
Asas Tempat tinggal (asas domisili) Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik berasal dari dalam maupun berasal dari luar negeri.
2. Asas Sumber Negara berhak untuk mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Contoh; Orang asing yang memperoleh penghasilan di Indonesia dikenai pajak walaupun dia tidak bertempat tinggal di Indonesia. 3. Asas kebangsaan Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan seseorang. Asas ini diberlakukan kepada setiap orang asing yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah negara untuk membayar pajak kepada negara tersebut. 6. Sistem Pemungutan Pajak
Sistem pemungutan pajak di Indonesia dibagi menjadi 3 sistem yaitu [68]: 1.
Official Assesment System Sistem ini memberikan wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya wajib pajak yang terutang. Ciri-ciri official assessment system adalah:
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus; b. Wajib pajak bersifat pasif; c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan oleh fiskus; 2. Self Assesment System Suatu sistem yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang. Wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri besar pajak yang harus dibayar. 3. Withholding System Suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Pihak ketiga menyetor dan melaporkan besarnya pajak yang harus dibayar kepada fiskus, tugas fiskus hanya mengawasi pelaksanaan pemotongan/pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga [69]. Indonesia menganut self assessment system yang mempercayakan penghitungan pajak yang harus dibayar kepada wajib pajak, hal tersebut dapat dilihat dalam penjelasan Umum UU No 6 Tahun 1983 yang menyatakan bhawa “anggota masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk dapat melaksanakan kegotongroyongan nasional melalui sistem menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri pajak yang terhutang (self assessment)” dan pasal 12 ayat 2 UU No 28 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa “Jumlah Pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuanyang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yan g terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”. Selain menganut self assessment system Indonesia juga menganut sistem withholding dalam UU Pajak Penghasilan, hal tersebut dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 21 ayat 1, pasal 22, pasal 23 UU Pajak Penghasilan. Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Pemotongan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, wajib dilakukan oleh: a. pemberi kerja yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; b. bendaharawan pemerintah yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain, sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan; c. dana pensiun atau badan lain yang membayarkan uang pensiun dan pembayaran lain dengan nama apapun dalam rangka pensiun; d. badan yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan jasa termasuk jasa tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas; e. penyelenggara kegiatan yang melakukan pembayaran sehubungan pelaksanaan suatu kegiatan.”
dengan
Adapun pihak ketiga yang diberi wewenang memungut PPh pasal 22 [70] adalah: a Bank devisa dan Direktorat Jendral Bea dan Cukai (DJBC) atas impor barang; b Direktorat Jendral Anggaran, bendaharawan pemerintah baik di tingkat pusat maupun pemerintah daerah yang melakukan pembayaran atas pembelian barang; c Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang melakukan pembayaran atas pembelian barang yang dananya dari belanja negara dan atau belanja daerah; d Bank Indonesia (BI), Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Badan urusan Logistik (Bulog), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT Perusahaan Listrik negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bankbank BUMN yang melakukan pembelian barang yang dananya bersumber baik dari APBN maupun non-APBN; e Badan usaha yang bergerak di bidang industri semen, industri rokok, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP), atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri. f Pertamina serta badan usaha usaha selain Pertamina yang bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix, super TT dan gas atas penjualan hasil produksinya. g Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh kepala KPP atas pembelian bahanbahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul.
Pihak ketiga yang diberikan wewenang untuk memotong PPh pasal 23 [71] yaitu: a Badan pemerintah; b Subjek pajak badan dalam negeri; c Penyelenggara kegiatan; d Bentuk usaha tetap e Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. f Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari Direktur jenderal Pajak (DJP) untuk memotong PPh pasal 23 yang meliputi: 1. Akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah camat, pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas[72]. 2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan. 7. Timbulnya Utang Pajak Rochmat Soemitro mengibaratkan Pajak sebagai Utang dalam Hukum Perdata, akan tetapi menurutnya pajak atau utang pajak adalah utang dalam arti sempit yang mewajibkan wajib pajak untuk membayar suatu jumlah uang dalam kas negara (kreditur), yang timbulnya secara khusus karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, hal ini terjadi karena utang pajak hanya timbul karena suatu undang-undang dan tidak timbul karena suatu perjanjian, hal mana yang sangat berbeda dengan yang ditentukan dalam pasal 1233 KUHPer yang menyatakan perikatan dapat timbul karena perjanjian atau karena undang-undang. [73] Utang pajak hanya timbul jika undang-undang yang menjadi dasar untuk pungutannya telah ada dan harus memenuhi syarat-syarat subjektif dan syaratsyarat objektif. Syarat objektif dipenuhi apabila tatbestand (perbuatan, keadaan, dan peristiwa) yang disebutkan dalam UU terpenuhi. Contoh : jika pada tahun 2000 telah ada UU Pajak Penghasilan, dan A pada tahun 2000 memiliki penghasilan yang melebihi Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) maka A memenuhi ketiga syarat dia atas untuk menjadi Wajib Pajak dan harus membayar Pajak Penghasilan [74]. Mengenai timbulnya utang pajak ada dua ajaran yang menjelaskan hal ini yaitu ajaran material dan ajaran formil. Ajaran material menyatakan bahwa utang pajak timbul dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan atau perbuatan dari pejabat pajak (fiskus) karena pada saat yang ditentukan oleh UU sekaligus dipenuhi syarat subyektif dan juga syarat obyektif terpenuhi. Ajaran Material ini menurut Mardiasmo diterapkan pada Self Assesment System [75]. Ajaran formil menyatakan bahwa utang pajak timbul karena UU pada saat dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh DJP selama belum dikeluarkan .
Timbulnya utang pajak mempunyai peranan dalam menentukan [76] : a. Pembayaran/penagihan pajak; b. Memasukkan surat keberatan; c. Penentuan bermula dan berakhirnya jangka waktu daluwarsa; d. Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Tambahan.
8. Hapusnya Utang Pajak Setiap utang termasuk pula utang pajak akan berakhir, dan cara-cara berakhirnya utang pajak akan diuraikan sebagai berikut [77]: 1.
Pembayaran Utang pajak akan hapus apabila dibayar lunas sesuai dengan cara yang diterima dan ditentukan dalam UU yaitu apabila telah dibayarkan ke kas negara.
2.
Kompensasi Pembayaran Kompensasi berarti perjumpaan utang piutang, apabila debitor mempunyai tagihan terhadap kreditornya maka dengan kompensasi utang piutang itu saling mematikan sampai jumlah yang sama, kompensasi hanya mungkin apabila utang piutang itu mengenai uang atau barang yang sejenis [78]. Kompensasi dalam pembayaran pajak terjadi apabila Wajib Pajak mempunyai tagihan berupa kelebihan pembayaran pajak. Jika Wajib Pajak tidak mempunyai utang pajak lainnya maka Wajib Pajak berhak mengajukan permohonan untuk meminta kembali kelebihan dari pembayaran pajak sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 UU Nomor 28 Tahun 2007.[79]
3.
Daluwarsa Daluarsa dimaksudkan daluwarsa penagihan pajak. Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa “Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali”.
4.
Pembebasan Pembebasan ini umumnya diberikan terhadap sanksi administrasi bukan terhadap pokok pajaknya. Jadi yang dihapus bukannya jumlah pajak yang terutang akan tetapi sanksi yang berupa denda, bunga dan kenaikan dari pajak yang terutang dan
hal tersebut merupakan kewenangan DJP sesuai dengan ketentuan pasal 36 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa “Direktur Jenderal Pajak karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat: a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundanganperpajakan dalam hal sanksi tersebutdikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya”. 5. Penghapusan Pada intinya penghapusan ini sama sifatnya dengan pembebasan, tetapi diberikan karena keadaan Wajib Pajak yang mengalami kerugian atau karena wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta waris, atau karena wajib pajak tidak dapat ditemukan lagi maupun karena dokumen tidak dapat ditemukan lagi karena disebabkan keadaan yang tidak dapat dihindarkan seperti kebakaran dan bencana alam[80].
8. Tempat Melakukan penelitian Penelitian akan dilakukan pada instansi Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kanwil DJP Sumatera Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung.
9. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif namun juga terkandung unsur penelitian hukum empirik . Oleh karena dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian terhadap keberlakuan azas-azas hukum pajak pada perdagangan elektronik (e-commerce), juga akan dilakukan perbandingan hukum mengenai pajak pada transaksi e-commerce yang diterapkan di Indonesia dengan yang diterapkan oleh negara lain baik dalam bentuk peraturan perundangundangan maupun konvensi-konvensi internasional mengenai pajak e-commerce dengan menggunakan bahan-bahan kepustakaan kemudian dilihat penerapannya. Jika menggunakan istilah Sutandyo maka penelitian ini menggunakan metodenon-doctrinal[81] karena penelitian ini menganalisis dahulu peraturan-peraturan pajak yang berlaku pada e-commerce dan kemudian dilihat penerapannya di masyarakat 2. Jenis Data Jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi :[82] a) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
b) Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian terdahulu, buku-buku referensi, majalah hukum, dan lain-lain. c) Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum tambahan selain bahan hukum primer dan sekunder yang juga turut membantu memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. 3. Analisis data Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif yaitu menerangkan dan menjelaskan gejalagejala dari suatu permasalahan yang kemudian selanjutnya diuraikan dalam bentuk kalimatkalimat sehingga menjadi suatu konklusi. 4. Ruang Lingkup Penulis menyadari bahwa transaksi elektronik sangat besar ruang lingkupnya, transaksi perdagangan surat berharga di Bursa Efek juga merupakan transaksi elektronik, oleh karena itu penulis membatasi penelitian ini hanya kepada transaksi perdagangan dengan menggunakan elektronik (e-commerce) dimana pihak penjual menawarkan barang dagangannya di situs internet dan pembeli membeli melalui situs internet tersebut dan tidak termasuk perdagangan surat berharga melalui Bursa Efek dan penelitian ini akan difokuskan pada ketentuan pajak pada transaksi elektronik (e-commerce) dan penerapannya.
9. Daftar Pustaka Asril Sitompul, Asril. 2004. Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace.Bandung: Citra Aditya Bakti.
Bohari. 1993. Pengantar Hukum Pajak. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Brotodihardjo, R. Santoso. 2003. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT Refika Aditama. Fidel. 2008. Pajak Penghasilan (Pembahasan UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan dengan Komentar Pasal per Pasal). Jakarta: Carofin Publishing. Hutagaol, John et al. 2006. Kapita Selekta Perpajakan,Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Indrajit, Richardus Eko. 2001. E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya. Jakarta:ElexMedia Komputindo. Makarim, Edmon. 2005. Pengantar Hukum Telematika.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Mansur, Dikdik M Arief dan Elisatris Gultom. 2005. Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi. Bandung:Refika Aditama. Mardiasmo. 2006. Perpajakan Edisi Revisi 2006.Yogyakarta: Penerbit Andi.
------. 2008. Perpajakan Edisi Revisi 2008. Yogyakarta: Penerbit Andi. Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Penerbit Liberty. Poesoko, Herowati. 2008. Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Yogyakarta: Penerbit LaksBang PRESSindo. Prodjodikoro, Wirjono. 1991. Hukum Perdata tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu. Bandung: Penerbit Sumur Bandung. Sanusi, M Arsyad.2001. E-Commerce Hukum dan Solusinya. Jakarta: PT Mizan Grafika Sarana. Soekanto, Soerjono .2006. Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: Penerbit UI Press. Suandy, Erly. 2002. Hukum Pajak. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Subekti, R. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti. Sugianto.2008. Pengantar Kepabeanan dan Cukai. Jakarta: PT Grasindo. Ustadianto, Riyeke.2002. Framework e- Commerce.Yogyakarta: Penerbit Andi. Waluyo. 2005. Perpajakan Indonesia Edisi 2005. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. -----. 2007. Perpajakan Indonesia Edisi 2007. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Widiyono, Try. 2006. Aspek hukum Operasionalisasi Transaksi Produk Perbankan di Indonesia: simpanan, jasa dan kredit. Bogor: Ghalia Indonesia
Artikel dan Jurnal Ak, Syahmin. “Arus Balik Globalisasi Ekonomi (Peran SertaIndonesia dalam Dinamika Pasar Bebas)”, Makalah, dipresentasikan pada hari Sabtu, 24 Februari 2007. Mohjan, “Perjanjian Baku dalam Kegiatan Bisnis”, Makalah, disampaikan dalam Seminar kerjasama HEDS (Higher Education Development Support) dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Inderalaya tanggal 24 Mei 2007. Sjahdeini, Sutan Remy.”E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 12 Tahun 2001. Soepraptomo, Heru. “Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia”.Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001. Y, Annalisa. “Karakteristik Sistem Pembayaran Kartu Kredit Pada Transaksi E-Commerce Berbasis Internet”, Simbur Cahaya Nomor 26 Tahun IX September 2004.
Internet Perkembangan Jumlah Pelanggan dan Pemakai Internet (Kumulatif) Diakses dari http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind pada hari Rabu 27 Agustus 2008. Raharjo, Agus . “MODEL HIBRIDA HUKUM CYBERSPACE (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia)”, Ringkasan Disertasi, PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008, diakses dari www.jimly.com pada link artikel pakar bagian hukum.
Kamus Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka: Jakarta, Cetakan Ketiga, 2002.
Peraturan Perundang-undangan Undang-undang RI Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang RI Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
[1]
Syahmin Ak, “Arus Balik Globalisasi Ekonomi (Peran Serta Indonesia dalam Dinamika Pasar Bebas)”, Makalah, dipresentasikan pada hari Sabtu, 24 Februari 2007, halaman 2. [2] Ibid, halaman 2 [3] Agus Raharjo, “MODEL HIBRIDA HUKUM CYBERSPACE (Studi Tentang Model Pengaturan Aktivitas Manusia Di Cyberspace dan Pilihan Terhadap Model Pengaturan Di Indonesia)”, Ringkasan Disertasi, PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008, diakses dari www.jimly.com pada link artikel pakar bagian hukum halaman. 5. [4] Ibid, halaman 6 [5] Diakses dari http://www.apjii.or.id/dokumentasi/statistik.php?lang=ind pada hari Rabu 27 Agustus 2008 Pukul. 09. 30 W.I.B. [6] Heru Soepraptomo , “Kejahatan Komputer dan Siber Serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia”. Jurnal Hukum Bisnis, Volume 12 Tahun 2001, halaman 1. [7] Riyeke Ustadianto, Framework e- Commerce, Cet. Kedua, Penerbit Andi : Yogyakarta, 2002, halaman 7374. [8] Sutan Remy Sjahdeini, ”E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum”, Jurnal Hukum Bisnis Volume 12 Tahun 2001, halaman 17-24. [9] Magdalena Ye’il dalam Sutan Remy Sjahdeini, ”E-Commerce Tinjauan Dari Perspektif Hukum”, Jurnal hukum Bisnis Volume 12 Tahun 2001, halaman 18. [10] Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, Elex-Media Komputindo: Jakarta, 2001, halaman 247 [11] John Hutagaol, et al, Kapita Selekta Perpajakan, Penerbit Salemba Empat : Jakarta, 2006, hal 130. [12] Asril Sitompul, Hukum Internet Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Citra Aditya Bakti : Bandung, 2004, halaman 61.
[13]
M. Fikri Salman, Antonius Suhadi, et.al. Bahan Ajar Hukum Dagang, Hukum dan Bisnis Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya: Inderalaya, 2006, halaman 27. [14] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka: Jakarta, Cetakan Ketiga, 2002. [15] M. Fikri Salman, Antonius Suhadi, et.al. Op.Cit, halaman. 47 [16] M Arsyad Sanusi, E-Commerce Hukum dan Solusinya, PT Mizan Grafika Sarana, Jakarta, 2001 , halaman 15 [17] Richardus Eko Indrajit, E-Commerce: Kiat dan Strategi Bisnis di Dunia Maya, ElexMedia Komputindo: Jakarta, 2001, halaman 247 [18] M Arsyad Sanusi, Op.Cit, halaman 16 [19] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4843, selanjutnya disebut dengan UU ITE. [20] Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law: Aspek Hukum Teknologi Informasi, Refika Aditama: Bandung, Cetakan Kedua, 2005, halaman 152 [21] Mariam Darus Badrulzaman dalam Annalisa Y, “Karakteristik Sistem Pembayaran Kartu Kredit Pada Transaksi E-Commerce Berbasis Internet”, Simbur Cahaya Nomor 26 Tahun IX September 2004. [22] Try Widiyono, Aspek hukum Operasionalisasi Transaksi Produk Perbankan di Indonesia: simpanan, jasa dan kredit, Ghalia Indonesia: Bogor, 2006, halaman 205-209. [23] Visa Elektron merupakan produk kartu debit dari Visa internasional dengan sistem real time online, sedangkan tanda Plus adalah jaringan ATM dunia yang dikelola oleh Visa Internasional. Ibid, halaman 208. [24] Menurut penulis, pendapat Annalisa Y yang menyatakan bahwa hanya ada perjanjain segitiga pada transaksi e-commerce tidaklah tepat, karena ada juga bank yang tidak berkedudukan sebagai bank issuer, bank ini melakukan perjanjian terlebih dahulu dengan perusahaan lain yang mendapat izin dari Visa Internasional, dan hanya memasarkan kartu kredit dari perusahaan penerbit kartu tersebut serta meneruskan tagihan dari merchant kepada issuer dan menerima pembayaran dari card holder kemudian mengirimkan uang tersebut kepada issuer. Baca di halaman 16. Mengenai para pihak yang terlibat dalam penerbitan kartu kredit dapat dilihat juga dalam Munir Fuady, Hukum Tentang Pembiayaan Dalam Teori Dan Praktek (Leasing, Factoring, Modal Ventura, Pembiayaan Konsumen, Kartu Kredit), PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 1995, halaman 218222. Oleh karena itu seharusnya ada beberapa perjanjian lagi yaitu perjanjian antara Bank dengan Perusahaan yang telah mendapat lisensi dari Card/Visa Internasional (issuer) dan perjanjian antara Bank yang berkedudukan sebagai acquirer dengan merchant. [25] Annalisa Y, Op.Cit, halaman 353 [26] Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, dalam Mohjan, “Perjanjian Baku dalam Kegiatan Bisnis”, Makalah, disampaikan dalam Seminar kerjasama HEDS (Higher Education Development Support) dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Inderalaya tanggal 24 Mei 2007, halaman 3. [27] Terjadinya meeting of mind atau pertemuan kehendak ini merupakan istilah lain dari istilah konsesualisme yang berasal dari perkataan consensus yang berarti kesepakatan. Yang dimaksud kesepakatan itu adalah apa yang dikehendaki oleh yang satu dikehendaki pula oleh yang lain. Kedua kehendak ini bertemu dalam sepakat atau meeting of mind tersebut, lihat dalam R Subekti, Aneka Perjanjian, Penerbit PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 1995, halaman 3. [28] Ibid, halaman 7. [29] Lihat dalam pasal 1234 BW yang menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Kewajiban untuk memberikan sesuatu, melakukan sesuatu dan atau untuk tidak melakukan sesuatu tersebut disebut sebagai prestasi. Lihat dalam Herowati Poesoko, Parate Executie Objek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Penerbit LaksBang PRESSindo: Yogyakarta, 2008, halaman 151.
[30]
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Penerbit Sumur Bandung: Bandung, 1991, halaman 20. [31] Edmon Makarim, Pengantar Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 2005, halaman 252. [32] Ibid, halaman 253 [33] Esther Dwi Magfirah dalam Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit, halaman 150. [34] Edmon Makarim, Op.Cit, halaman 259-260. [35] Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Op.Cit, halaman 151 [36] Ibid, halaman 152. [37] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4740, selanjutnya disebut UU Nomor 28 Tahun 2007. [38] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2006, Penerbit Andi : Yogyakarta, 2006, halaman 1. [39] Sugianto, Pengantar Kepabeanan dan Cukai, PT Grasindo : Jakarta, 2008, halaman 2. [40] R Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, PT Refika Aditama: Bandung, Edisi Keempat, 2003, halaman 5. [41] Bohari, Pengantar Hukum Pajak, PT RajaGrafindo Persada: Jakarta, 1993, halaman 19 [42] Meskipun ada salah satu sarjana yang mengatakan bahwa iuran pajak yang harus dibayar dapat juga berupa barang, akan tetapi dalam peraturan perundang-undangan ditentukan bahwa pajak yang harus dibayar itu berupa uang dan bukan berupa barang, hal tersebut dapat dilihat dalam ketentuan pasal 22 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 menyatakan bahwa “Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasukbunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak… Bunga, denda dan biaya menunjukkan bahwa pajak yang harus dibayar itu adalah berupa uang, karena istilah-istilah tersebut tidak dapat digunakan apabila pajak yang harus dibayar adalah berupa barang, [43]
Waluyo, Perpajakan Indonesia Edisi 2007, Penerbit Salemba Empat : Jakarta, 2007, halaman.3. [44] Mardiasmo, Op. Cit, halaman 1. [45] Pajak memiliki fungsi budgeter maksudnya adalah bahwa pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah, sedangkan pajak memiliki fungsi mengatur (regulerend) maksudnya adalah bahwa pajak adalah alat bagi negara untuk melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi, contohnya dapat kita lihat pada pengenaan pajak yang tinggi pada minuman keras untuk mengurangi peredaran minuman keras. Ibid, halaman [46] R. Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, halaman 7 [47] Mardiasmo, Op.Cit. halaman 2. [48] Mochtar Kusumaatmadja membagi hukum internasional menjadi hukum internasional publik dan hukum internasional perdata (lebih dikenal dengan Hukum Perdata Internasional) karena menurut Mochtar ada kalanya suatu negara melakukan hubungan perdata dan juga orang perseorangan menurut Hukum Internasional modern adakalanya dianggap mempunyai hak dan kewajiban sehingga lebih tepat mengadakan pembagian berdasarkan kriteria tersebut dibandingkan apabila membedakan hukum internasional berdasarkan pelaku (subjek hukumnya). Lihat keterangan yang lebih jelas dalam Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT Alumni: Bandung, 2005, halaman 2. [49] Satjipto Raharjo menggunakan istilah hukum perdata untuk hukum privat. [50] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT Citra Aditya Bakti : Bandung, Cetakan Keenam 2006, halaman 75. [51] Lihat dalam Mardiasmo, Op.Cit halaman. 4 [52] R. Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, halaman 10 [53] Waluyo, Op.Cit, halaman 8, bandingkan dengan R Santoso Brotodihardjo, Loc.Cit
[54]
Waluyo, Loc.Cit B.W. adalah singkatan dari Burgerlijk Wetboek atau yang lebih kita kenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, hingga saat ini belum ada terjemahan resmi B.W/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. [56] Selanjutnya disebut dengan UU Nomor 17 Tahun 2000. [57] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3985. [55]
[58]
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3569, Selanjutnya disebut UU PBB [59] Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313, selanjutnya disebut UU Bea Materai [60] Fidel, Pajak Penghasilan (Pembahasan UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan dengan Komentar Pasal per Pasal), Carofin Publishing: Jakarta, 2008, halaman 5 [61] Bohari, Op.Cit, halaman 32. [62] Erly Suandy, Hukum Pajak, Penerbit Salemba Empat: Jakarta, 2002, halaman 27 [63] R. Santoso Brotodihardjo, Op. Cit, halaman 29 [64] Ibid, halaman 30-36 [65] Mardiasmo dan Bohari menggunakan istilah Daya Pikul sedangkan R Santoso Brotodihardjo dan Waluyo menggunakan istilah Teori Gaya Pikul. [66] Mardiasmo, Op.cit, halaman 3 [67] Waluyo, Perpajakan Indonesia Edisi 2005, Penerbit Salemba Empat: Jakarta, 2005, halaman 16 selanjutnya disebut Waluyo II. [68] Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2008, Penerbit Andi: Yogyakarta, 2008, halaman 7, selanjutnya disebut Mardiasmo II. [69] Wirawan B Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak Edisi 4, Penerbit Salemba empat, 2008, halaman 33. [70] Mardiasmo, Op.Cit, halaman 202. [71] Penghasilan yang dipotong PPh pasal 23 adalah dividen; bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang; royalty; hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21; bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi; imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta. Lihat lebih jelas dalam Pasal 23 UU No 17 Tahun 2000 [72] Yang dimaksud pekerjaan bebas adalah pekerjaan bebasadalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang mempunyaikeahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja. Lihat pasal 1 angka 25 UU No 28 Tahun 2007. [73] Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan 2, Refika Aditama: Bandung, Cetakan Kelima 1998, halaman 2. [74] Ibid, halaman 3. [75] Mardiasmo, Op.Cit, halaman 8. [76] Rochmat Soemitro,Op.Cit, halaman 4. [77] Waluyo, Op.Cit, halaman 19. [78] R. Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, PT Pradnya Paramita: Jakarta, Cetakan Ketujuh belas 2008, halaman 67. [79] Selanjutnya baca di Penjelasan Pasal 11 ayat 1 UU Nomor 28 Tahun 2007. [80] Wirawan B Ilyas dan Richard Burton, Op.Cit, halaman 38. [81] Dikutip dari kuliah mata kuliah Metode Penelitian Hukum yang disampaikan oleh Fahmi Yoesmar Ar [82] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta: 2006, halaman 51.