ILMU KEPERAWATAN KLINIK VIA
MAKALAH
oleh Auliya Hidayati NIM 132310101001
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNVERSITAS JEMBER 2015
DOE S BARI ATRI C SU SURGE RY ANALISIS JURNAL: HOW DOE IMPROVE TYPE II DIABETES? DIABETES? THE ‘‘NEGLECTED’’
I M PO POR T AN AN CE CE OF T H E L I V E R I N C LE LE A R I N G GLUCO GLUCOSE AND I NSULI NSULI N FR OM THE PORTAL PORTAL BL OOD
MAKALAH
diajukan sebagai pemenuhan tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan Klinik VIA dengan dosen: Ns. Rondhianto, M.Kep
oleh Auliya Hidayati NIM 122310101001
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN UNVERSITAS JEMBER 2015
ii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karuni-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis “ Analisis Jurnal: Jurnal: How Does Bariatric Surgery Improve Type Ii Diabetes? The ‘‘Neglected’’ Importance Of The Liver In Clearing Glucose And Insulin From The Portal Blood ”. Blood ”. Makalah ini disusun berdasarkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Keperawatan Klinik VIA Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember. Penyusunan makalah ini tentunya tidak lepas dari kontribusi berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan menyampaikan terima kasih kepada: 1.
Ns. Rondhianto, M.Kep, selaku Penanggung Jawab Mata Kuliah Ilmu Keperawatan Klinik VIA Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Jember;
2.
Ayah dan Ibu tercinta yang telah mencurahkan perhatian dan dukungannya baik secara materil maupun non materil;
3.
Semua pihak yang secara tidak langsung membantu terciptanya makalah ini yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis juga menerima segala kritik dan saran dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya penulis berharap, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Jember, November 2015
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i HALAMAN JUDUL ......................................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB 1. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang.................................................................................... 1 1.2 Tujuan ................................................................................................. 2 BAB 2. TINJAUAN TEORI ............................................................................. 2.1 Pengertian ........................................................................................... 2.2 Epidemiologi....................................................................................... 2.3 Etilogi ................................................................................................. 2.4 Tanda dan Gejala ................................................................................ 2.5 Patofisiologi ........................................................................................ 2.6 Komplikasi dan Prognosis .................................................................. 2.7 Pengobatan.......................................................................................... 2.8 Pencegahan ......................................................................................... 2.9 Pathway............................................................................................... BAB 3. I NTERVENSI YANG DISARANKAN .............................................. 3.1 PICO FRAME WORK ........................................................................ 3.2 Sumber Literatur .................................................................................. 3.3 Teori dan Kosep Intervensi.................................................................. 3.3.1 Definisi ...................................................................................... 3.3.2 Mekanisme ................................................................................ 3.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi ....................................................... 3.3.4 Efek Samping ............................................................................ 3.3.5 Efektivitas dan Kamanan Penggunaan ...................................... 3.5 Implikasi dan Rekomendasi Intervensi ................................................ BAB 4. PENUTUP............................................................................................. 4.1 Kesimpulan .......................................................................................... 4.2 Saran .................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ LAMPIRAN.......................................................................................................
iv
3 3 4 5 6 6 7 8 11 14 16 16 19 21 21 22 22 23 23 24 25 25 25 26
1
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu kelompok penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh peningkatan kadar glukosa darah melebihi normal. Terdapat beberapa tipe diabetes yang diketahui dan umumnya disebabkan oleh suatu interaksi yang kompleks antara faktor genetik, lingkungan dan gaya hidup. Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end stage
renal
disease
(ESRD),
nontraumatic
lowering
amputation,
dan
adultblindness. Dengan peningkatan insiden di dunia, maka DM akan menjadi penyebab utama angka morbiditas dan mortalitas dimasa yang akan datang. (Harrison, 2005). Jumlah penderita Diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern, prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan banyak dampak negatif yang ditimbulkan. (Wild, 2004). Diabetes melitus (DM) yang dikenal sebagai non communicable disease adalah salah satu penyakit sistemik yang paling memprihatinkan di Indonesia saat ini. Setengah dari jumlah kasus diabetes melitus tidak terdiagnosis karena pada umumnya
diabetes
tidak
disertai
gejala
sampai
terjadinya
komplikasi.
Berdasarkan klasifikasi WHO, diabetes melitus terbagi atas beberapa tipe yaitu diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes gestasional dan diabetes tipe lainnya. Diabetes melitus tipe 2 merupakan jenis diabetes yang paling banyak diderita masyarakat. Karena dari semua kasus diabetes pada populasi di beberapa negara diketahui bahwa sekitar 90% adalah diabetes melitus tipe 2. Peningkatan ini umumnya terjadi di negara-negara berkembang disebabkan karena pertumbuhan penduduk, proses penuaan, obesitas, diet serta pola hidup yang tidak sehat.
2
1.2 Tujuan
1.2.1
untuk mengetahui pengertian Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.2
untuk mengetahui epidemiologi Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.3
untuk mengetahui etiologi Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.4
untuk mengetahui tanda dan gejala Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.5
untuk mengetahui patofisiologi Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.6
untuk mengetahui komplikasi dan prognosis Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.7
untuk mengetahui pengobatan dan pencegahan Diabetes Mellitus tipe 2;
1.2.8
untuk mengetahui intervensi yang dapat digunakan untuk mengatasi Diabetes Mellitus tipe 2.
3
BAB 2. TINJAUAN TEORI 2.1 Pengertian Infeksi Saluran Kemih
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). Diabetes tipe 1 merupakan diabetes yang jarang atau sedikit populasinya, diperkirakan kurang dari 5-10% dari keseluruhan populasi penderita diabetes. Diabetes tipe ini disebabkan kerusakan sel-sel β pulau Langerhans yang disebabkan oleh reaksi otoimun. Pada pulau Langerhans kelenjar pankreas terdapat beberapa tipe sel, yaitu sel β, sel α dan sel σ. Sel -sel β memproduksi insulin, sel-sel α memproduksi glukagon, sedangkan sel -sel σ memproduksi hormon somastatin. Namun demikian serangan autoimun secara selektif menghancurkan sel-sel β. Destruksi otoimun dari sel-sel β pulau Langerhans kelenjar pankreas langsung mengakibatkan defesiensi sekresi insulin. Defesiensi insulin inilah yang menyebabkan gangguan metabolisme yang menyertai DM Tipe 1. Selain defesiensi insulin, fungsi sel-sel α kelenjar pankreas pada penderita DM tipe 1 juga menjadi tidak normal. Pada penderita DM tipe 1 ditemukan sekresi glukagon yang berlebihan oleh sel-sel α pulau Langerhans. Secara normal, hiperglikemia akan menurunkan sekresi glukagon, tapi hal ini tidak terjadi pada penderita DM tipe 1, sekresi glukagon akan tetap tinggi walaupun dalam keadaan hiperglikemia, hal ini memperparah kondisi hiperglikemia. Salah satu manifestasi dari keadaan ini adalah cepatnya penderita DM tipe 1 mengalami ketoasidosis diabetik apabila tidak mendapatkan terapi insulin. Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resietensi insulin. Disamping resistensi insulin, pada penderita DM tipe 2 dapat juga timbul gangguan gangguan sekresi insulin dan
4
produksi glukosa hepatik yang berlebihan. Namun demikian, tidak terjadi pengrusakan sel-sel β langerhans secara autoimun sebagaimana terjadi pada DM tipe 1. Dengan demikian defisiensi fungsi insulin pada penderita DM tipe 2 hanya bersifat relatif, tidak absolut. Obesitas yang pada umumnya menyebabkan gangguan pada kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada diabetes tipe ini, dan sebagian besar pasien dengan diabetes tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadi penurunan kepekaan jaringan pada insulin, yang telah terbukti terjadi pada sebagian besar dengan pasien diabetes tipe 2 terlepas pada berat badan, terjadi pula suatu defisiensi jaringan terhadap insulin maupun kerusakan respon sel α terhadap glukosa dapat lebih diperparah dengan meningkatya hiperglikemia, dan kedua kerusakan tersebut dapat diperbaiki melalui manuve-manuver teurapetik yang mengurangi hiperglikemia tersebut (Ditjen Bina Farmasi dan Alkes, 2005). 2.2 Epidemiologi
Diabetes melitus adalah salah satu penyakit yang paling sering ditemukan di dunia khususnya di Indonesia pada saat ini. Pada tahun 2003, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 milyar penduduk dunia yang berusia 20 - 79 tahun menderita diabetes melitus.2 Menurut WHO jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia jumlahnya sangat besar. Pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes melitus telah mencapai 8,4 juta jiwa, pada tahun 2003 jumlah penderita 13.797.470 jiwa sedangkan pada tahun 2005 jumlahnya telah mencapai sekitar 24 juta orang. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya.3 Berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia menunjukkan bahwa prevalensi nasional diabetes melitus tahun 2007 pada penduduk yang berusia lebih dari lima belas tahun adalah sebesar 5,7%. Melihat pola pertambahan penduduk saat ini, diperkirakan pada tahun 2030 nanti sebesar 21,3 juta penduduk di Indonesia menderita diabetes melitus . Diabetes Mllitus tipe 2 (DM tipe 2) merupakan penyakit metabolik yang prevalensinya meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan
5
jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Dengan pengelolaan yang baik, angka morbiditas dan mortalitas dapat diturunkan. Dalam pengelolaan DM tipe 2, diperlukan juga usaha mengkoreksi faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskuler yang sering menyertai DM tipe 2, seperti hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin dan lain-lain. Walaupun demikian pengendalian kadar glukosa darah tetap menjadi fokus utama. 2.3 Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2002) DM tipe 2 disebabkan kegagalan relatif sel β dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glikosa oleh hati. Sel β tidak mampu mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defensiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa. Beberapa faktor yang diketahui dapat mempengaruhi DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2002) antara lain: a.
Kelainan genetik Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang mengidap diabetes, karena gen yang mengakibatkan tubuh tak dapat menghasilkan insulin dengan baik.
b.
Usia Umumnya penderita DM tipe 2 mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis, DM tipe 2 sering muncul setelah usia 30 tahun ke atas dan pada mereka yang berat badannya berlebihan sehingga tubuhnya tidak peka terhadap insulin.
c.
Gaya hidup stress Stres kronis cenderung membuat seseorang makan makanan yang manismanis untuk meningkatkan kadar lemak seretonin otak. Seretonin ini
6
mempunyai efek penenang sementara untuk meredakan stresnya. Tetapi gula dan lemak berbahaya bagj mereka yang beresiko mengidap DM tipe 2. d.
Pola makan yang salah Pada penderita DM tipe 2 terjadi obesitas (gemuk berlebihan) yang dapat mengakibatkan gangguan kerja insulin (resistensi insulin). Obesitas bukan karena makanan yang manis atau kaya lemak, tetapi lebih disebabkan jumlah konsumsi yang terlalu banyak, sehingga cadangan gula darah yang disimpan didalam tubuh sangat berlebihan. Sekitar 80% pasien DM tipe II adalah mereka yang tergolong gemuk.
2.4 Tanda dan Gejala
Seseorang yang menderita DM tipe 2 biasanya mengalami peningkatan frekuensi buang air (poliuri), rasa lapar (polifagia), rasa haus (polidipsi), cepat lelah, kehilangan tenaga, dan merasa tidak fit, kelelahan yang berkepanjangan dan tidak ada penyebabnya, mudah sakit berkepanjangan, biasanya terjadi pada usia di atas 30 tahun, tetapi prevalensinya kini semakin tinggi pada golongan anak-anak dan remaja. Gejala-gejala tersebut sering terabaikan karena dianggap sebagai keletihan akibat kerja, jika glukosa darah sudah tumpah kesaluran urin dan urin tersebut tidak disiram, maka dikerubuti oleh semut yang merupakan tanda adanya gula (Smeltzer & Bare, 2002). 2.5 Patofisiologi
Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah se kresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsurangsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan
7
demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010). Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010). 2.6 Komplikasi & prognosis
DM tipe 2 bisa menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun DM merajalela ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau tuli, sering berganti kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak
8
pada usia dini, dan terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir dengan kebutaan), kebutaan akibat ret inopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal neuphropathy, saraf-saraf lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan kaki, serta serangan stroke. Pasien DM tipe II mempunyai risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit pembuluh darah otak 2 kali lebih besar, kematian akibat penyakit jantung 16,5% dan kejadian komplikasi ini terus meningkat. Kualitas pembuluh darah yang tidak baik ini pada penderita diabetes mellitus diakibatkan 20 faktor diantaranya stress, stress dapat merangsang hipotalamus dan hipofisis untuk peningkatan sekresi hormonhormon kontra insulin seperti ketokelamin, ACTH, GH, kortisol,dan lainlain. Akibatnya hal ini akan mempercepat terjadinya komplikasi yang buruk bagi penderita diabetes mellitus (Nadesul, 2002). 2.7 Pengobatan
Resistensi insulin merupakan dasar dari diabetes tipe 2, dan kegagalan sel mulai terjadi sebelum berkembangnya diabetes yaitu dengan terjadinya ketidakseimbangan antara resistensi insulin dan sekresi insulin. De Fronzo menyatakan bahwa fungsi sel menurun sebesar kira-kira 20% pada saat terjadi intoleransi glukosa. Dengan demikian jelas bahwa pendekatan pengobatan diabetes tipe 2 harus memperbaiki resistensi insulin dan memperbaiki fungsi sel . (3,4) Hal yang mendasar dalam pengelolaan Diabetes mellitus tipe 2 adalah perubahan pola hidup yaitu pola makan yang baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada kontraindikasi) tetap harus dijalankan. a.
Target glikemik Penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan Studi Kumamoto pada pasien DM tipe 2 menunjukkan target glikemik terapi DM tipe 2 yang menghasilkan perbaikan prognosis jangka panjang. Hasil penelitian klinik dan epidemiologik menunjukkan bahwa dengan menurunkan kadar glukosa maka kejadian komplikasi mikrovaskuler dan neuropati akan
9
menurun. Target kadar glukosa darah yang terbaik berdasarkan pemeriksaan harian dan A1C sebagai index glikemia khronik belum diteliti secara sistematik. Tetapi hasil penelitian DCCT (pada pasien diabetes tipe 1) dan UKPDS (pada pasien diabetes tipe 2) mengarahkan gol pencapaian kadar glikemik pada rentang nondiabetik. Akan tetapi pada kedua studi tersebut bahkan pada grup pasien yang mendapat pengobatan intensif, kadar A1C tidak dapat dipertahankan pada rentang nondiabetik. Para ahli juga menyadari bahwa gol ini mungkin tidak tepat atau tidak praktis untuk pasien tertentu, dan penilaian klinik dengan mempertimbangkan potensi keuntungan dan kerugian dari regimen yang lebih intensif perlu diaplikasikan pada setiap pasien. Faktor-faktor seperti harapan hidup, risiko hipoglikemia dan adanya CVD perlu menjadi pertimbangan pada setiap pasien sebelum memberikan regimen terapi yang lebih intensif b.
Metformin Efek utama metformin adalah menurunkan “hepatic glucose output ” dan menurunkan kadar glukosa puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar ~ 1,5%. Pada umumnya metformin dapat ditolerir oleh pasien. Efek yang tidak diinginkan yang paling sering dikeluhkan adalah keluhan gastrointestinal. Monoterapi metformin jarang disertai dengan hipoglikemia;
dan
metformin
dapat
digunakan
secara
aman
tanpa
menyebabkan hipoglikemia pada prediabetes. Efek nonglikemik yang penting dari metformin adalah tidak menyebabkan penambahan berat badan atau menyebabkan panurunan berat badan sedikit. Disfungsi ginjal merupakan kontraindikasi untuk pemakaian metformin karena akan meningkatkan risiko asidosis laktik ; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal. c.
Sulfonilurea Sulfonilurea menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan sekresi insulin.Dari segi efikasinya, sulfonylurea tidak berbeda dengan metformin, yaitu menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup. Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua. Risiko
10
hipoglikemia
lebih
besar
dengan
chlorpropamide
dan
glibenklamid
dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan ~ 2 kg. Kelebihan sulfonylurea dalam memperbaiki kadar glukosa darah sudah maksimal pada setengah dosis maksimal , dan dosis yang lebih tinggi sebaiknya dihindari. d.
Glinide Seperti halnya sulfonylurea, glinide menstimulasi sekresi insulin akan tetapi golongan ini memiliki waktu paruh dalam sirkulasi yang lebih pendek dari pada sulfonylurea dan harus diminum dalam frekuensi yang lebih sering. Golongan glinide dapat merunkan A1C sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih kecil.
e.
Penghambat -glukosidase Penghambat -glukosidase bekerja menghambat pemecahan polisakharida di usus halus sehingga monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat.
f.
Monoterapi
dengan
penghambat
-glukosidase
tidak
mengakibatkan
hipoglikemia. Golongan ini tidak seefektif metformin dan sulfonylurea dalam menurunkan kadar glukosa darah; A1C dapat turun sebesar 0,5 – 0,8 %. Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya produksi gas dan keluhan gastrointestinal. Pada penelitian klinik, 25-45% partisipan menghentikan pemakaian obat ini karena efek samping tersebut. g.
Thiazolidinedione (TZD) TZD bekerja meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap insulin baik endogen maupun exogen. Data mengenai efek TZD dalam menurunkan kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif.
h.
Insulin
11
Insulin merupakan obat tertua iuntuk diabetes, paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia. 2.8 Pencegahan
a.
Pencegahan Tingkat Pertama. Pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah upaya mencegah agar tidak timbul penyakit diabetes mellitus. Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah faktor keturunan, faktor kegiatan jasmani yang kurang, faktor kegemukan, faktor nutrisi berlebih, faktor hormon, dan faktor lain seperti obat-obatan. Faktor keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua orangtuanya mengidap diabetes, jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes daripada orang normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes hampir 100% dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya (Sidartawan, 2001). Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi faktor lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani kurang, nutrisi berlebih) merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan untuk dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian mengidap diabetes. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mengidap diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang, yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes, seperti tekanan darah tinggi dan kegemukan. Tindakan yang dilakukan untuk pencegahan primer meliputi penyuluhan
12
mengenai perlunya pengaturan gaya hidup sehat sedini mungkin dengan cara memberikan pedoman: 1)
Mempertahankan perilaku makan sehari-hari yang sehat dan seimbang dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan tinggi lemak dan karbohidrat sederhana.
2)
Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi badan.
3)
Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan kemampuan.
b.
Pencegahan Tingkat Kedua Sasaran utama pada mereka yang baru terkena penyakit atau yang terancam akan menderita penyakit tertentu melalui diagnosa dini serta pemberian pengobatan yang cepat dan tepat.Salah satu kegiatan pencegahan tingkat kedua adanya penemuan penderita secara aktif pada tahap dini. Kegiatan ini meliputi pemeriksaan berkala, penyaringan ( screening ) yakni pencarian penderita dini untuk penyakit yang secara klinis belum tampak pada penduduk secara umum pada kelompok resiko tinggi dan pemeriksaan kesehatan atau keterangan sehat (Noor, 2002). Upaya pencegahan tingkat kedua pada penyakit diabetes adalah dimulai dengan mendeteksi dini pengidap diabetes. Oleh karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan, terutama untuk mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaringan glukosa darah. Dengan demikian, mereka yang memiliki resiko tinggi diabetes dapat terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai diabetes akan dapat ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka mengidap diabetes. Bagi mereka dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes kemudian dapat dikelola dengan baik, guna mencegah penyulit lebih lanjut (Sidartawan, 2001).
c.
Pencegahan Tingkat Ketiga Pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) merupakan pencegahan dengan sasaran utamanya adalah penderita penyakit tertentu, dalam usaha mencegah bertambah beratnya penyakit atau mencegah terjadinya cacat serta
13
program rehabilitasi. Tujuan utama adalah mencegah proses penyakit lebih lanjut, seperti perawatan dan pengobatan khusus pada penderita diabetes mellitus, tekanan darah tinggi, gangguan saraf serta mencegah terjadinya cacat maupun kematian karena penyebab tertentu, serta usaha rehabilitas (Noor, 2002). Upaya ini dilakukan untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kecacatan kalau penyulit sudah terjadi. Kecacatan yang mungkin timbul akibat penyulit diabetes ada beberapa macam, yaitu: 1)
Pembuluh darah otak, terjadi stroke dan segala gejala sisanya.
2)
Pembuluh darah mata, terjadi kebutaan.
3)
Pembuluh darah ginjal, gagal ginjal kronik yang memerlukan tindakan cuci darah.
4)
Pembuluh darah tungkai bawah, dilakukan amputasi tungkai bawah.
Untuk mencegah terjadinya kecacatan, tentu saja harus dimulai dengan deteksi dini penyulit diabetes, agar kemudian penyulit dapat dikelola dengan baik di samping tentu saja pengelolaan untuk mengendalikan kadar glukosa darah (Sidartawan, 2001). Pemeriksaan pemantauan yang diperlukan untuk penyulit ini meliputi beberapa jenis pemeriksaan, yaitu: 1)
Mata, pemeriksaan mata secara berkala setiap 6-12 bulan.
2)
Paru, pemeriksaan berkala foto dada setiap 1-2 tahun atau kalau ada keluhan batuk kronik.
3)
Jantung, pemeriksaan berkala urin untuk mendeteksi adanya protein dalam urin.
4)
Kaki, pemeriksaan kaki secara berkala dan penyuluhan mengenai cara perawatan kaki yang sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan timbulnya kaki diabetik dan kecacatan yang mungkin ditimbulkannya.
14
2.9 Pathway
Etiologi DM Tipe 2 Usia, obesitas, riwayat keluarga
Pengeluaran insulin berlebihan
Kerusakan pankreas
Defisiensi insulin
DM
Sistem pencernaan
Sistem Muskuloskeletal
Sistem perkemihan
Sistem pernafasan
Sistem Kardiovaskuler
Sistem persarafan
Glukagon meningkat
Glukosa diubah oleh aldose reduktase menjadi sorbitol
Penebalan dinding arteri renalis
Penebalan dinding kapiler
Penebalan dinding aorta koronaria
Penyempitan dan kekauan di kapiler
Glukosa diubah oleh aldose reduktase menjadi sorbitol
Kekakuan dan penyempitan di arteri koronaria
Glukoneogenesis
Lemak
Ketogenesis
pH menurun
Peningkatan sorbitol dan penurunan mio inositol
Gg. Pada sel schwan dan akson
Penyempitan dan kekakuan arteri renalis
Aliran darah ke ginjal tidak lancar
Aliran darah ke paru tidak lancar
Suplai O2 tdk lancar
Aliran darah ke jantung tidak lancar
Peningkatan sorbitol dan penurunan mio inositol
Gg. Pada sel schwan dan akson
15
pH menurun
Mual, muntah
Ketidakseimban gan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Gg. Pada sel schwan dan akson
Demulinasi
Kelemahan pada ekstremitas
Aliran darah ke ginjal tidak lancar
Aliran darah ke paru tidak lancar
Nefron iskemik
Suplai O2 terhambat
Kerusakan glomerulus dan tubulus renal
Triah baring
Kematian jaringan parenkim paru
Gagal ginjal
Gg. Integritas kulit
Gg. Mobilitas fisik
Gg. Ventilasi, difusi, perfusi Oliguri, anuri
Gg. Eliminasi urin
Aliran darah ke jantung tidak lancar
Gg. Pada sel schwan dan akson
Suplai O2 dan nutrisi terhambat
Degenerasi akson
Perfusi ke jantung menurun
Jantung iskemik
Neuropati perifer Parestesia, baal, sensitibilias nyeri berkurang
Nyeri Gg. Pola nafas, kerusakan pertukaran gas
Resiko cedera
16
BAB 3. INTERVENSI YANG DISARANKAN 3.1 PICOT FRAME WORK
Analisis jurnal dari jurnal utama yang berjudul “ How Does Bariatric Surgery Improve Type Ii Diabetes? The ‘‘Neglected’’ Importance Of The Liver In Clearing Glucose And Insulin From The Portal Blood ” berdasarkan analisa jurnal menggunakan PICOT sebagai berikut: 1. Patient and Clinical Problem (P) Pandemi obesitas karena makanan "kecanduan" telah menyebabkan peningkatan dramatis dalam tingkat Diabetes Mellitus Tipe 2 (T2DM). DMT2 ditandai dengan peningkatan glukosa dan insulin (tapi bukan dari C-peptida) tingkat serum. Peningkatan kadar serum insulin tanpa peningkatan sintesis insulin seharusnya karena resistensi insulin. Pengurangan berat badan (BW) melalui pengurangan kalori serapan adalah ukuran yang paling efektif untuk mengobati DMT2 dan sindrom metabolik pada pasien obesitas. Obat penekan nafsu makan dan obat antidiabetes yang berpotensi mengurangi BW memiliki beberapa efek samping, dan sebagai "pengubah gaya hidup". 2. Intervention (I) Saat ini, metode pengobatan terbaik untuk mencapai penurunan berat badan untuk orang obesitas morbid (BMI ≥ 40) dengan menginduksi keseimbangan antara asupan energi (atau penyerapan) dan pengeluaran energi, dengan operasi bariatric. Diperoleh kerugian BW adalah terutama disebabkan oleh pembatasan mekanik asupan makanan (misalnya, gastric banding) dan / atau prosedur malabsorptive (misalnya, bypass lambung). Efektivitas operasi bariatrik di menghapuskan DMT2 berkisar 43% dengan lambung banding ke 98% dengan Biliopancreatic Diversion (BPD) dengan / keluar. Publikasi terbaru menunjukkan bahwa banyak pasien telah kehilangan sekitar sepertiga dari BWs dan perbaikan dari DMT2 akut posting bariatrik operasi. Selain itu, bypass dari duodenum dan proksimal jejunum oleh nutrisi ditingkatkan sensitivitas insulin, menghambat lipolisis, dan meningkatkan cukai insulin dalam toleran-glukosa dan subyek obesitas diabetes. Hasil ini mungkin
17
lebih jauh pengetahuan kita tentang efek dari operasi bariatrik pada kedua IR dan DMT2. Peningkatan DMT2 terlihat pada 80-98% pasien diabetes obesitas yang menjalani bypass lambung atau BPD. Peningkatan ini jelas awal setelah operasi sebelum penurunan berat badan yang signifikan telah terjadi, meskipun mekanisme yang tepat masih belum jelas. Penelitian telah difokuskan pada perubahan di entero-insular sumbu, yang dimediasi sebagian oleh interaksi dari incretin hormon, misalnya, GLP-1 (GIP1) dan Glukosa-Dependent insulinotropic polipeptida (GIP), di pulau beta sel pankreas. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk seharusnya peningkatan sintesis GLP1 masih menjadi bahan perdebatan. Lain mekanisme yang telah didalilkan fokus pada adipo-insuler; tindakan adiponektin dan leptin tampaknya memiliki peran penting dalam IR, tetapi tindakan tersebut tergantung pada berat badan. 3. Comparator (C) Pada jurnal utama yang berjudul How Does Bariatric Surgery Improve Type Ii Diabetes? The ‘‘Neglected’’ Importance Of The Liver In Clearing Glucose And Insulin From The Portal Blood telah diterapkan intervensi pada DM tipe 2 yaitu menggunakan operasi bariatrik, menurut hasil penelitian dalam jurnal tersebut, didapatkan hasil yang maksimal yaitu dapat menurunkan BB seseorang yang obesitas tanpa memberikan efeksamping. Pada jurnal pembanding yaitu Achievement of Processes of Care for Patients with Type 2 Diabetes in General Medical Clinics and Specialist Diabetes Clinics in Thailand , dalam penanganan pasien dengan DM tipe 2 menggunakan klinik khusus untuk DM. Penelitian ini menunjukkan bahwa klinik khusus diabetes khusus lebih baik dalam memberikan perawatan (tunggal atau gabungan) dari klinik umum medis di rumah sakit daerah dan provinsi. Jurnal pembanding kedua yaitu Emphasis of Yoga in the Management of Diabetes Yoga adalah disiplin kuno yang dirancang untuk membawa keseimbangan dan kesehatan untuk dimensi fisik, mental, emosional, dan spiritual dari individu. Sebuah program terapi yoga yang komprehensif tanpa meggunakan farmakologi dalam menangani DM Tipe 2 memiliki potensi untuk meningkatkan efek menguntungkan dari manajemen medis standar DM dan dapat digunakan dalam terapi komplementer
18
atau program integratif efektif. Perbaikan di berbagai indeks biokimia dan pengurangan stres dengan berlatih yoga dapat memungkinkan seseorang hidup dengan sehat. Berbeda halnya dengan jurnal pembanding ketiga yaitu The Efficacy of Pioglitazone Treatment in Myotonic Dystrophy Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus Patient Studi menggunakan euglycemic, klem hyperinsulinemic telah menunjukkan bahwa TZD meningkat insulin-mediated perifer pembuangan glukosa, yang terjadi terutama di otot rangka. Sebuah laporan sebelumnya juga didukung bahwa TZD dapat bertindak langsung pada otot dan sel-sel hati untuk meningkatkan pemanfaatan glukosa di dalam studi in vitro. Dan dalam jurnal pembanding keempat yaitu Experimental Study on Holoptelia Integrifolia Planch. in Relation to Diabetes Mellitus Type 2, hiperglikemia diobati dengan Streptozotocin dan hidrokortison. Hasilnya adalah tidak ada efek hipoglikemik diproduksi setelah memberikan obat percobaan di Normoglycemic pada tikus. Dalam Streptozotocin dan hidrokortison, tikus hiperglikemik diinduksi aktivitas hipoglikemik obat itu ditemukan sangat signifikan. Pada jurnal pembanding yang terakhir yaitu Prevalence of Co-morbidities in Type 2 Diabetes Mellitus Patients, the Awareness Level and the Impact of Pharmacist’s Patient Education. Tujuan program utama dari penelitian ini adalah untuk mempelajari prevalensi komorbiditas pada pasien DM tipe 2. Pelaksanaan pasien Program pendidikan pada komorbiditas antar pasien DM tipe 2 juga merupakan tujuan dari penelitian yang dilakukan. Sehingga didapatrkan pasien DM tipe 2 sadar akan penggunaan obat-obatakan antidiabetes. 4. Outcome (O) Hati adalah situs utama untuk clearance insulin karena memakan sekitar 75% dari insulin dalam darah. Telah terbukti bahwa koneksi langsung dari vena portal dengan vena cava portacaval rendah, sehingga melewati entri hati; meningkat dari insulin perifer darah dan darah dan kadar glukosa urin. Insulin clearance terganggu pada DMT2 dan obesitas, dan tingkat keparahan dari perubahan IR telah berkorelasi dengan keparahan steatosis hati. Setelah operasi bariatrik terjadi gangguan proses menelan menyebabkan penurunan nutrisi tiba-
19
tiba. Orang mengklaim bahwa ini tidak cukup untuk menjelaskan peningkatan kadar glukosa serum dan HBA1c tersebut. Operasi bariatrik juga dapat mengurangi deposisi lipid di hati. Efek ini telah dipertimbangkan ketika efek dari operasi bariatrik pada metabolisme glukosa telah dilaporkan, terutama karena sebagian besar penelitian yang diterbitkan, operasi bariatric adalah retrospektif. Faktanya, tidak ada penelitian yang diterbitkan sejauh ini telah diberikan informasi tentang perubahan ukuran hati dan / atau kadar lemak hati operasi pasca-bariatrik. Dengan melaporkan perubahan histologi setelah operasi bariatrik, tidak ada penelitian yang diterbitkan sejauh ini telah diberikan informasi tentang perubahan ukuran hati ukuran dan / atau kadar lemak hati kuantitatif operasi pasca-bariatrik. Presentasi umum dari patologi pankreas adalah penyakit kuning, yang terjadi karena penyumbatan saluran empedu dan gejala klasik dari keganasan kepala pankreas dan konsekuen gangguan fungsi hati. Dalam konteks penyakit hati kronis, spidol untuk obstruksi saluran empedu umum dan kerusakan sel hati terkait dengan perkembangan IR, sindrom metabolik dan DMT2. Hebatnya, disregulasi glukosa darah pembedahan reversibel didiagnosis bersamaan dengan tumor pankreas sekunder, fungsi hati terganggu karena kompresi tumor umum saluran empedu dan peningkatan berikutnya dalam IR. Hal ini dapat dikategorikan sebagai "diabetes kolestasis yang diinduksi" dan dengan demikian dibedakan dari bentuk-bentuk lain dari gangguan hiperglikemik. 5. Time (T) Berdasarkan jurnal utama dicantumkan tahun dilakukan penelitian tersebut adalah pada tahun 2015. 3.2 Sumber literature
Jurnal utama yang penulis angkat untuk dianalisa sebagai berikut: No 1.
Judul How Does Bariatric Surgery Improve Type II Diabetes? The ‘‘Neglected’’ Importance of the
Keterangan Nama jurnal: Alwahsh and Ramadori, J Obes Weight Loss Ther 2015 Thn terbit : 2015 Peneliti : Salamah Mohammad
Sumber http://dx.doi. org/10.4172/ 2165-7904.10 00 280
20
Liver in Clearing Glucose and Insulin from the Portal Blood
Alwahsh and Giuliano Ramadori
Penulis dalam menganalisa jurnal membandingkan dan menyertakan jurnal pendukung agar memperkuat analisa jurnal utama yang penulis angkat. Adapun jurnal pendukung yang dapat memperkuat jurnal utama sebagai berikut: No 1.
Judul Keterangan Achievement of Nama jurnal: Sieng, et al., Processes of Care for Epidemiology (sunnyvale) 2015, Patients with Type 2 5:S2 Diabetes in General Tahun terbit : 2015 Medical Clinics and Peneliti : Sokha Sieng1, Bandit Specialist Diabetes Thinkamrop, and Cameron Hurst Clinics in Thailand
Sumber http://dx.doi. org/10.4172/ 2161-1165. S2-004
2.
The Efficacy of Nama jurnal : Eguchi et al., J Clin http://www.o Pioglitazone Case Rep 2015 micsgroup.or Treatment in Tahun terbit : 2015 g/journals/the Myotonic Dystrophy Peneliti : Tohru Eguchi, -efficacy-ofType 1 and Type 2 Masumi Miyazaki and Shozo pioglitazoneDiabetes Mellitus Miyauchi treatment-inPatient myotonicdystrophytype-1-andtype-2diabetesmellitus patient-216579201000584.pdf
3
Emphasis of Yoga in Nama jurnal : Thangasami et al., J http://www.o the Management of Diabetes Metab 2015 micsonline.or Diabetes Tahun terbit : 2015 g/openPeneliti : Senthil Raj access/empha Thangasami1, Arati Lal Chandani, sis-of-yogaand Thangasami S in-themanagementof-diabetes2155-6156-
21
1000613.pdf 4.
Prevalence of Co- Nama Jurnal : International Journal morbidities in Type of Pharma Research & Review, May 2 Diabetes Mellitus 2015; 4(5):11-20 Patients, the Tahun terbit : 2015 Awareness Level Peneliti : Mohammed Rashid and the Impact of .KM, A. Anandhasayanam1, S. Pharmacist’s Patient Kannan, Manohar SD Noon Education Program
http://www.rr oij.com/openaccess/preval ence-ofcomorbidities -in-type-2diabetesmellitus patients-theawarenesslevel-andthe-impactof pharmacists patienteducation program.pdf
5.
Experimental Study on Holoptelia Integrifolia Planch. in Relation to Diabetes Mellitus Type 2
http://www.rr oij.com/openaccess/experi mental-studyon-holop telia-integr ifolia-planchin-relationto-diabetesmellitustype-2.pdf
Nama Jurnal : International Journal of Pharma Research & Review, Sept 2015; 4(9):21-25 Tahun terbit : 2015 Peneliti : Surendra Nath, Poonam Sharma, K. N. Dwivedi
3.3 Teori dan Konsep Intervensi
3.3.1 Definisi Prevalensi Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2)
meningkat dramatis di
seluruh dunia. DMT2 terutama karena Insulin Resistance (IR), yaitu, sel-sel tidak merespon cukup untuk insulin atau konsentrasi insulin yang lebih tinggi diperlukan untuk mengerahkan insulin yang normal. DMT2 didiagnosis sebagai hemoglobin terglikasi, HbA1c> 6,3% (45 mmol / mol), glukosa plasma puasa> 126 mg / dL,> 200 mg / dL selama tes lisan glukosa toleransi (OGTT) atau pengujian acak, dan meningkatkan level insulin. Obesitas merupakan faktor risiko
22
penting bagi DMT2 dan penyakit hati berlemak non-alkohol (NAFLD). Lebih dari sepertiga dari AS dewasa mengalami obesitas. Pasien-pasien ini juga relatif sensitif terhadap efek leptin; hormon kenyang diproduksi terutama dalam jaringan lemak subkutan. 3.3.2 Mekanisme
Hati mempertahankan kadar glukosa darah, clearance insulin dalam subjek sehat (A), dalam kasus obesitas (B), glukosa tertelan, dan akibatnya, pankreas disekresikan insulin memotong lemak hati karena IR hati. operasi bariatrik menyebabkan asupan kalori dibatasi (C) dan/atau mengurangi penyerapan makanan (D) yang, pada gilirannya, menurunkan produksi insulin; hasil di penurunan berat badan dan peningkatan lemak hati dan IR. Selanjutnya, ini cepat meningkatkan DMT2 setelah operasi. 3.3.3 Indikasi dan Kontraindikasi 3.3.3.1 Indikasi Indikasi operasi bariatrik adalah pada pasien yang obesitas, digunakan untuk mengatasi DM Tipe 2. Dengan dilakukannya operasi tersebut, maka pasien dapat mengontrol pola makannya.
23
3.3.3.2 Kontraindikasi Kontraindikasi dari intervensi yang diterapkan oleh peneliti adalah pasien DM tipe 2 dengan BB kurang dengan kata lain, etiologi pasien tersebut bukan karena obesitas. 3.3.4 Efek Samping Dalam jurnal dijelaskan bukti saat ini menunjukkan bahwa operasi bariatrik untuk pasien dengan obesitas berat menurunkan kelas steatosis, hati peradangan, dan fibrosis. Namun, studi jangka panjang yang lebih diperlukan untuk mengkonfirmasi efek yang benar sebelum merekomendasikan bariatrik operasi sebagai pengobatan yang potensial untuk NASH. Thanos dkk. Memiliki meneliti efek jangka panjang dari RYGB pada respon tikus otak untuk antisipasi lezat tinggi lemak vs diet biasa. Mereka menemukan RYGB mengubah aktivitas otak di daerah yang terlibat dalam harapan reward dan rasa pengolahan ketika mengantisipasi makanan berlemak enak. Demikian, daerah cerebellar khusus dengan metabolisme diubah berikut RYGB dapat membantu mengidentifikasi sasaran terapi baru untuk pengobatan obesitas. 3.3.5 Efektivitas dan Keamanan Penggunaan Sebagai "efek jaminan" dari intervensi operasi bariatrik ini, perbaikan jangka panjang akut dan T2DM telah diamati. Meskipun beberapa hipotesis untuk menjelaskan perbaikan ini telah dilaporkan, mekanisme yang tepat yang mendasari mengurangi hiperglikemia dan hiperinsulinemia segera setelah operasi tidak jelas. Meskipun efek jangka panjang dari operasi yang berbeda belum dipelajari secara menyeluruh. Selain penurunan berat badan, operasi bariatrik juga dapat mengurangi akumulasi lipid dalam hati. Membalikkan dari lipid hati deposisi dapat meningkatkan clearance glukosa dan insulin dari hati dan aki batnya menyebabkan penurunan konsentrasi dalam darah perifer. Mekanisme ini belum, bagaimanapun, telah dipertimbangkan ketika efek dari bariatrik
24
3.4 Implikasi dan Rekomendasi Intervensi
Jurnal How Does Bariatric Surgery Improve Type Ii Diabetes? The ‘‘Neglected’’ Importance Of The Liver In Clearing Glucose And Insulin From The Portal Blood mungkin dapat diterapkan di Indonesia. Indonesia dengan jumlah penduduk yang melebihi 200.000.000 jiwa, sejak awal abad ini telah menjadi negara dengan jumlah penderita DM nomor 4 terbanyak didunia. DM tipe 2 merupakan penyakit progresif dengan komplikasi akut maupun khronik. Intervensi operasi bariatrik mungkin bisa namun sulit untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan alat dan spesialis yang tidak ada di Indonesia. Sehingga butuh beberapa waktu untuk mengenalkan dan memberikan pelatihan terkait intervensi tersebut.
25
BAB 4. PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Diabetes Mellitus tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih banyak penderitanya dibandingkan dengan DM tipe 1, terutama terjadi pada orang dewasa tetapi kadang-kadang juga terjadi pada remaja. Penyebab dari DM tipe 2 karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin secara normal, keadaan ini disebut resietensi insulin. Salah satu penatalaksanaan yang dapat digunakan untuk mengatasi DM Tipe 2 adalah dengan operasi bariatrik. 4.2 Saran
Sebagai seorang ners profesional harus memiliki pengetahuan dan skill dalam memberikan edukasi, pencegahan, dan perawatan pasien DM karena mengingat negara Indonesia merupakan negara dengan pasien DM yang bisa dibilang cukup banyak. Ners profesional juga harus mengetahui atau up to date tentang penatalaksanaan yang mungkin dapat diterapkan di Indonesia.
26
DAFTAR PUSTAKA
Alvin .C, 2005. Diabetes Melitus. Harrison internal Medicine 16th Edition, 20162023 Alwahsh, Salamah Mohammad. 2015. How Does Bariatric Surgery Improve Type II Diabetes? The ‘‘Neglected’’ Importance of the Liver in Clearing Glucose and Insulin from the Portal Blood. Alwahsh and Ramadori, J Obes Weight Loss Ther 201. Diakses di http://dx.doi.org/10.4172 /2165-7904.1000280 tanggal 29 November 2015 pukul 17.30 WIB. Ditjen Bina Farmasi dan Alkes. 2005. Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Halaman 9, 29, 30, 32, 39, 43 Eguchi, Tohru., et al. 2015. The Efficacy of Pioglitazone Treatment in Myotonic Dystrophy Type 1 and Type 2 Diabetes Mellitus Patient. Eguchi et al., J Clin Case Rep 2015. Diakses di http://www.omicsgroup.org /journals/the-efficacy-of-pioglitazone-treatment-in-myotonic-dys trophy-type-1-and-type-2-diabetes-mellitus-patient-2165-7920-1000 584.pdf tanggal 29 November 2015 pukul 16.59 WIB. Indraswari, Wiwi.2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi , Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar. Mohammed Rashid .KM., et al. 2015. Prevalence of Co-morbidities in Type 2 Diabetes Mellitus Patients, the Awareness Level and the Impact of Pharmacist’s Patient Education Program. International Journal of Pharma Research & Review, May 2015; 4(5):11-20. Diakses di http://www.rroij.com/open-access/prevalence-of-comorbidities-intype-2-diabetes-mellitus-patients-the-awareness-level-and-the-impactof-pharmacists-patient-education-program.pdf tanggal 29 November 2015 pukul 18.02 WIB. Nadesul, Handrawan, 2006. Sehat Itu Murah. Jakarta PT. Kompas Media Nusantara. Nath, Surendra., et al. 2015. Experimental Study on Holoptelia Integrifolia Planch. in Relation to Diabetes Mellitus Type 2. International Journal of Pharma Research & Review, Sept 2015; 4(9):21-25 . Diakses di http://www.rroij.com/open-access/experimental-study-on-holopteliaintegrifolia-planch-in-relation-to-diabetes-mellitus-type-2.pdf tanggal 29 November 2015 pukul 18.00 WIB.