Akuntansi keuangan merupakan sebuah media informasi yang disusun oleh pihak manajemen selaku pengelola perusahaan untuk kepentingan publik khususnya pihak investor dan pihak kreditor. Informasi akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan memberikan gambaran mengenai kondisi keuangan perusahaan pada saat tertentu (neraca) serta hasil usahanya pada periode tertentu (laba/rugi). Salah satu prinsip dasar akuntansi adalah kesatuan moneter yang dianggap stabil (Stable Monetary Unit ). ). Stable monetary unit merupakan salah satu prinsip dasar akuntansi yang menyatakan bahwa kesatuan moneter dianggap stabil. Nilai uang yang ditetapkan dari pos-pos laporan keuangan, misalnya kas, piutang, hutang atau kewajiban lainnya, memiliki angka dan jumlah nilai uang yang tetap. Hal ini berarti angka dan jumlah yang akan ditagih ataupun dibayar di masa yang akan datang tidak mengalami perubahan. Namun, dalam aplikasinya kita tidak pernah mendengar bahwa ada valuta yang memiliki nilai yang stabil. Ada yang mengalami apresiasi dimana nilai tukar atau daya belinya naik (deflasi ) dan yang paling umum nilai tukar atau daya belinya justru menurun (inflasi ). ). Inflasi menjadi tolak ukur kondisi perekonomian di satu negara sebab kejadian ekonomi tersebut menunjukkan kemampuan daya beli masyarakat serta bagaimana cara pemerintah menjaga kondisi perekonomian di negaranya. Namun, adakah kondisi yang lebih buruk dari inflasi?. Hyperinflasi merupakan peristiwa ekonomi yang lebih buruk dari inflasi. Hal ini terjadi apabila inflasi semakin tak terkendali dalam artian ketika harga-harga barang naik dengan cepat, nilai uang justru menurun drastis. Secara formal, hiperinflasi terjadi jika tingkat inflasi lebih dari 50% dalam satu bulan. Inflasi biasanya dilaporkan setahun sekali, namun dalam kondisi hiperinflasi, tingkat inflasi dilaporkan dalam interval yang lebih singkat, biasanya satu bulan sekali. Hiperinflasi biasanya muncul ketika adanya peningkatan persediaan uang yang tidak diketahui atau perubahan sistem mata uang secara drastis. Hiperinflasi biasanya dikaitkan dengan perang, depresi ekonomi dan memanasnya kondisi politik atau sosial suatu negara. Oleh karena itu, kondisi hiperinflasi jarang terjadi namun bukan tidak mungkin terjadi. Dalam keadaan ekonomi yang sedang mengalami hiperinflasi, pelaporan posisi keuangan dan laba rugi dalam keadaan yang belum disesuaikan akan menjadi tidak bermanfaat. Uang kehilangan daya belinya sehingga tanpa adanya penyesuaian,
laporan keuangan akan menyesatkan. Untuk menjamin terpenuhinya prinsip laporan keuangan yang fairly stated , IAS mengeluarkan standar IAS 29 tentang Financial Reporting in Hyperinflationary Economies yang mengatur cara penyajian kembali
laporan keuangan dalam kondisi hiperinflasi. Pada tahun 2009, IAS 29 ini belum diadopsi dalam PSAK, namun akan segera diadopsi dalam PSAK tahun 2012. Akhirnya, Pada tanggal 5 Oktober 2010 Dewan Standar Akuntansi Keuangan telah mengeluarkan Eksposure Draft Interpetasi Standar Akuntansi Keuangan No. 19 Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali Dalam PSAK nomor 63 tentang Pelaporan Keuangan Dalam Ekonomi Hiperinflasi.
Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan No.19 memberikan panduan mengenai penerapan persyaratan PSAK 63, namun ada pertanyaan yang timbul dalam interpretasi ini, yaitu
“Bagaimanakah
persyaratan dalam PSAK 63: Pelaporan
Keuangan dalam Ekonomi Hyperinflasi diinterprestasikan ketika entitas menerapkan
PSAK 63?”.
IAS 29 diterapkan pada entitas yang mata uang fungsionalnya mengalami kondisi hiperinflasi. Dalam IAS 29, tidak ada batasan tertentu tingkat inflasi yang dapat dinyatakan sebagai hiperinflasi. Untuk itu, IAS 29 mengeluarkan parameter yang dapat dijadikan indikasi bahwa negara tersebut sedang mengalami hiperinflasi, yaitu: a. Penduduknya lebih memilih untuk menyimpan kekayaan mereka dalam bentuk aset non-moneter atau dalam mata uang asing yang relatif stabil. Jumlah mata uang lokal yang dimiliki segera diinvestasikan untuk mempertahankan daya beli; b. Penduduknya mempertimbangkan jumlah moneter bukan dalam mata uang lokal tetapi dalam
mata uang asing yang relatif stabil. Harga-harga mungkin
dikuotasikan dalam mata uang asing tersebut; c. Harga yang berlaku dalam penjualan dan pembelian secara kredit ditentukan dengan memasukkan faktor ekspektasi hilangnya daya beli selama periode kredit, bahkan jika periode kreditnya singkat; d. Suku bunga, upah dan harga dikaitkan dengan indeks harga; dan
e. Tingkat inflasi kumulatif selama tiga tahun mendekati atau melebihi 100%. Entitas yang mata uang fungsionalnya mendominasi mata uang Negara yang mengalami hiperinflasi maka entitas tersebut harus menyajikan kembali laporan keuangannya dalam unit pengukuran yang berlaku pada akhir periode pelaporan baik entitas tersebut menggunakan pendekatan nilai historis ataupun nilai wajar. Ada dua prosedur penyajian kembali laporan keuangan dalam kondisi hiperinflansi yang dilakukan sebagai berikut:
Akuntansi hiperinflasi merupakan sutu metode untuk mengkoreksi dengan menyatakan kembali sepenuhnya laporan keuangan berdasarkan harga perolehan historis ke dalam suatu metode yang mencerminkan perubahan daya beli mata uang yang diukur dengan menggunakan angka indeks. Akuntansi hiperinflasi bukan sebagai pengganti akuntansi konvensional melainkan sebagai informasi tambahan bagi para pemakainya. Metode yang digunakan dalam akuntansi hiperinflasi ini sama dengan metode penentuan laba. Penekanan penentuan laba adalah pada nilai laba yang lebih relevan yang digambarkan oleh laporan keuangan. Ada beberapa metode yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan pada saat hiperinflasi, YAITU: 1. General Price Level (GPL). GPL merupakan suatu metode yang menyajikan elemenelemen laporan keuangan dengan unit moneter yang daya belinya sama. Keuntungan dari GPL ini adalah: a. Dapat menjelaskan pengaruh inflasi pada perusahaan b. meningkatkan penggunaan perbandingan laporan antar periode c. Membantu pemakai laporan menilai arus kas di masa mendatang secara lebih baik. Namun, terdapat beberapa kelemahan dari GPL, yaitu: a. Inflasi terjadi pada barang yang berbeda dan perusahaan yang berbeda jadi tidak bisa disamakan. b. GPL tidak bermakna lagi bagi perusahaan c. Angka yang disesuaikan tidak menggambarkan arus kas 2.
Current Cost Accounting. Menurut Edgar Edward dan Philip Bell (1961), yang dibutuhkan oleh manajer adalah bagaimana mereka mengalokasiakan sumber-
sumber ekonomi yang
ada untuk memaksimalkan laba. Manajer biasanya
menghadapi masalag apakah ingin mempertahankan suatu aktiva atau utang atau menjual atau membayarnya dan bagaimana menggunakan atau mendanai kegiatan perusahaan . Untuk menjawab ini mereka mengusulkan perhitungan business profit, yang memliki dua komponen. a. Current Operating Profit. Laba dari current operating adalah kelebihan nilai sekarang dari barang atau jasa yang dijual dengan harga pokoknya. b. Realizable Cost Saving ( Holding Gain). Kenaikan harga pokok dari suatu aktiva yang masih dilmiliki sekarang ( dengan harga sekarang) . Apabila hal di atas adalah metode yang digunakan dalam menyusun laporan keuangan pada saat hiperinflasi, maka berikut ini adalah prosedur penyajian kembali laporan keuangan dalam kondisi hiperinflansi menurut IAS 29, meliputi: a. Laporan Posisi Keuangan Jumlah dalam laporan posisi keuangan disajikan dalam general price index (indeks harga umum) bila belum dinyatakan dalam unit pengukuran kini. Pos-pos moneter (uang yang dimiliki atau yang akan dibayarkan dalam bentuk uang) tidak disajikan kembali. Aset dan kewajiban yang terikat perjanjian untuk perubahan harga disajikan kembali sesuai dengan perjanjian untuk memastikan saldo pada akhir periode pelaporan. Aset non meneter yang disajikan dalam nilai realisasi bersih dan nilai pasar tidak disajikan kembali. Aset non moneter yang dicatat pada biaya perolehan dikurangi biaya penyusutan disajikan
kembali sesuai dengan jumlah kini pada tanggal
akuisisinya. Aset non moneter yang telah disajikan kembali dikurangi sesuai dengan standar terkait. ketika
jumlah tersebut melebihi jumlah terpulihkan.
Misalnya, jumlah aset tetap, goodwill , paten dan merek dagang yang disajikan kembali dikurangi menjadi jumlah terpulihkan, dan jumlah persediaan yang disajikan kembali dikurangi menjadi nilai realisasi neto. Akun ekuitas kecuali laba ditahan dan surplus revaluasi disajikan kembali dengan menggunakan indeks harga umum. Saldo revaluasi dihapuskan.
b. Laporan Laba Rugi Komperhensif Seluruh pos dalam laporan laba rugi komprehensif dinyatakan dalam unit pengukuran kini pada akhir periode pelaporan. Oleh karena itu, seluruh jumlah perlu untuk disajikan kembali dengan menerapkan perubahan indeks harga umum dari tanggal pos pendapatan dan beban tersebut awalnya dicatat dalam laporan keuangan c. Keuntungan atau Kerugian Posisi Moneter Neto Adanya hiperinflasi akan dapat mengakibatkan selisih antara asset moneter dan liabilitas moneter. Keuntungan atau kerugian posisi moneter ini disajikan dalam laporan laba rugi komprehensif. Ada beberapa alasan dalam penggunaan nilai historis dalam akuntansi financial, yaitu: 1. Relevan dalam pembuatan keputusan 2. Nilai historis berdasarkan pada data obyektif dapat dipercaya 3. karena telah disepakati berlakunya prinsip akuntansi pada penggunaan nilai historis, maka dengan demikian memudahkan untuk melakukan perbandingan. Akan tetapi, penggunaan nilai historis dalam akuntansi financial juga tidak luput dari kelemahan, diantaranya: 1. Adanya pembebanan biaya yang terlalu kecil 2. Nilai aktiva yang dicatat dalam neraca akan mempunyai nilai yang lebih rendah apabila dibandingkan dengan perkembangan harga daya beli uang terakhir 3. Alokasi biaya untuk depesiasi, amortisasi akan dibebankan terlalu kecil dan mengakibatkan laba dihitung terlalu besar.
a. Laporan Posisi Keuangan Pos-pos yang disajikan pada biaya kini tidak disajikan kembali karena sudah dinyatakan dalam unit pengukuran kini pada akhir periode pelaporan. b. Laporan Laba Rugi Komperhensif Laporan laba rugi komprehensif yang menggunakan biaya kini, sebelum penyajian kembali, secara umum melaporkan biaya kini pada waktu terjadinya transaksi atau peristiwa yang mendasari. Oleh karena itu, seluruh jumlah tersebut perlu disajikan kembali dalam unit pengukuran kini pada akhir periode pelaporan
dengan menggunakan indeks harga umum. c. Keuntungan atau Kerugian Posisi Moneter Neto Adanya hiperinflasi akan dapat mengakibatkan selisih antara asset moneter dan liabilitas moneter. Keuntungan atau kerugian posisi moneter ini disajikan dalam laporan laba rugi komprehensif. d. Laporan Arus Kas Seluruh pos dalam laporan arus kas dinyatakan dalam unit pengukuran kini pada akhir periode pelaporan
Pelaporan keuangan dalam kondisi hiperinflasi diatur di dalam PSAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi . Interprestasi Standar Akuntansi
Keuangan ini memberikan panduan bagaimana menerapkan pelaporan keuangan ekonomi hiperinflasi dalam suatu periode pelaporan saat entitas mengidentifikasi: a. Keberadaan hiperinflansi dalam ekonomi mata uang fungsionalnya ketika ekonomi bukan hiperinflansi dalam periode sebelumnya. b. Entitas menyajikan kembali laporan keuangannya sesuai dengan PSAK 63
Dalam periode pelaporan ketika entitas mengidentifikasikan keberadaan hiperinflasi dalam ekonomi mata uang fungsionalnya dan belum terjadi hiperinflasi pada periode sebelumnya, entitas menerapkan persyaratan PSAK 63: Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi seolah-olah perekonomian selalu mengalami
hiperinflasi. Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pos-pos non-moneter yang diukur pada biaya historis, laporan posisi keuangan awal pada awal periode terkini dalam laporan keuangan, disajikan kembali untuk mencerminkan pengaruh inflasi sejak tanggal aset (diperoleh dan liabilitas terjadi atau diambil-alih) sampai akhir periode pelaporan. Untuk pos-pos non-moneter yang dicatat pada jumlah kini (pada tanggal selain tanggal perolehan atau kejadian) dalam laporan posisi keuangan awal maka penyajian kembali mencerminkan pengaruh inflasi sejak tanggal jumlah tercatat tersebut ditentukan sampai akhir periode pelaporan. Setelah entitas menyajikan kembali laporan keuangannya, seluruh angka dalam laporan keuangan periode pelaporan
selanjutnya (termasuk pos pajak tangguhan) disajikan kembali dengan menerapkan perubahan dalam unit pengukuran untuk periode pelaporan selanjutnya tersebut hanya terhadap laporan keuangan yang disajikan kembali untuk periode pelaporan sebelumnya.
Dewan Standar Akuntansi Keuangan, IAI. 2010. ED Interpetasi Standar Akuntansi Keuangan No. 19 Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali Dalam PSAK nomor 63: Pelaporan Keuangan Dalam Ekonomi Hiperinflas i. Jakarta. International Financial Reporting Interpretations Committee. 2004. Applying IAS 29 Financial Reporting in Hyperinflationary Economies for the First Time . United Kingdom. International Accounting Standar 29. 2009. Financial Reporting in Hyperinflationary Economies. (http://ec.europa.eu/internal_market/accounting/consolidated/ias29)