BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
LATAR BELAKANG
1.2
RUMUSAN MASALAH
BAB 2 KONSEP PENYAKIT SLE (SISTEMIK LUPUS ERITEMESIS) 2.1
DEFINISI
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit autoimun multisistem yang berat. Pada keadaan ini tubuh membentuk berbagai jenis antibodi, termasuk antibody terhadap antigen nuklear ( ANAs) sehingga menyebabkan kerusakan berbagai organ. (Gaya Leon L., et al,2017) Menurut dokter umum Rumah Sakit Pertamina Balikpapan (RSPB) dr Fajar Rudy Qimindra(2008) , Lupus atau SLE berasal dari bahasa latin yang berarti anjing hutan.Istilah ini mulai dikenal sejak abad ke-10. Sedang eritematosus berarti merah.Ini untuk menggambarkan ruam merah pada kulit yang menyerupai gigitan anjing hutan di sekitar hidung dan pipi. Sehingga dari sinilah istilah lupus tetap digunakan untuk penyakit Systemic Lupus Erythematosus Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya memerangi infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut autoantigen (Laura K. DeLong, MD 2012). Lupus eritematosus sistemik ( systemic lupus erythematosus ) (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperandalam pato isiologi SLE. (Perhimpunan Rheumatologi Indonesia,2011) 2.2
ETIOLOGI
Para dokter dan peneliti belum dapat mengetahui secara pasti apa yang menyebabkan penyakit ini. Hereditas memegang peranan yang cukup besar, karena jika kita memiliki kerabat yang menderita SLE ada potensi pada tubuh kita untuk menderita SLE. Namun faktor gen ini bukan satu-satunya penyebab, karena sepertinya timbulnya penyakit ini dipicu dengan cara
yang belum diketahui. Beberapa pemicu yang banyak diajukan oleh peneliti sebagai pemicu SLE diantaranya adalah infeksi virus, stress, diet, toksin, termasuk beberapa jenis obat-obatan yang diresepkan dokter. Pemicu-pemicu ini, sedikit dapat menjelaskan mengapa penyakit ini timbul dan hilang silih berganti. Factor Resiko terjadinya SLE : a. Faktor Genetik
Diketahui bahwa 7% pasien SLE memiliki saudara dekat (orang tua atau saudara kandung) yang juga terdiagnosis SLE. Sejauh ini ada 30 variasi gen yang diduga menjadi penyebab terjadinya SLE. (Infodatin,2017) Pada penderita lupus, sistem imun tubuh memproduksi antibodi yang melawan tubuhnya sendiri, terutama protein yang terdapat di nukleus. SLE juga dipicu oleh factor lingkungan yang tidak diketahui (mungkin termasuk virus)pada orang-orang yang memiliki kombinasi gen-gen tertentu dalam sistem imunnya. Semua komponen kunci dalam sistem imun terlibat dalam mekanisme yang melandasi terjadinya SLE. SLE adalah prototipe penyakit autoimun. Sistem imun seharusnya memiliki keseimbangan (homeostasis) agar dapat cukup sensitif terhadap infeksi dan dapat mengenali tubuh sendiri sehingga tidak terlalu sensitif dan menyerang tubuh sendiri. Mekanisme pertama yang dicurigai sebagai penyebab SLE adalah faktor genetis. Beberapa gen yang paling penting dalam kejadian SLE adalah yang terdapat pada Major Histocompatibility Complex (MHC). Gengen ini berhubungan dengan respons imun pada sel limfosit T, sel B, makrofag dan sel dendritik, karena mengkode peptida pada molekul reseptor di permukaan sel (Rahman & Isenberg,2008). b. Faktor Hormonal dan etnik
Dalam beberapa jurnal juga disebutkan bahwa salah satu penyebab atau bisa dibilang dengan salah satu factor resiko pemicu terjadinya SLE adalah jenis kelamin dan etnik. Menurut X Bosch,2011 menyebutkan bahwa lupus merupakan penyakit autoimun yang banyak menyerang wanita dengan usia antara 15 –45 tahun. Perbandingan risiko antara wanita dan pria adalah 5 : 1. Hal ini berhubungan dengan hormon yang terdapat pada wanita yakni hormon estrogen. Etnik juga menjadi salah satu faktor risiko terkena lupus. Mereka yang memiliki kulit
gelap seperti penduduk asia, penduduk asli amerika dan hispanik memiliki risiko lebih besar terserang Lupus dibandingkan mereka yang berkulit putih. c. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang menjadi pemicu munculnya SLE diantaranya adalah sinar ultraviolet,infeksi,makanan,stress, obat-obatan antibiotic (terutama golongan sulfa dan penicillin)atau obat-obatan lain, merokok,paparan kristal silliaka dan virus yaitu Epstein-Barr Virus (EBV). Stimuli ini menyebabkan kerusakan sel dan menyebabkan DNA, histon dan protein lain terutama bagian-bagian yang ada di dalam inti sel terekspos. Karena variasi genetik dalam komponen imun sistem yang berbeda, pada beberapa orang sistem imun menyerang protein yang berhubungan dengan inti sel dan membentuk antibodi untuk menyerang mereka. Akhirnya, kompleks antibodi ini merusak pembuluh darah di area kritis tubuh, seperti glomerulus pada ginjal, dan menyebabkan SLE. 2.3
EPIDEMOLOGI
Lupus telah diderita setidaknya oleh lima juta orang di seluruh dunia. Lupus dapat menyerang pria dan wanita di semua usia, namun 90% dari orang yang terdiagnosis lupus adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 15-44 tahun. 70% kasus lupus berupa SLE (Systemic Lupus Erythematosus), 10% berupa CLE (CutaneousLupus Erythematosus), 10% berupa druginduced lupus, dan 5% lainnya berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus Foundation 2012). Di Indonesia, estimasi jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu orang, perbandingan jumlah penderita lupus pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga lupus sering disebut penyakit kaum wanita. Tren penyakit lupus di negara kita terusmenunjukkan peningkatan setiap tahunnya (Yayasan Lupus Indonesia 2012;Utomo 2012) . Sebagian besar pasien SLE anak berjenis kelamin perempuan dengan rentang usia terbanyak pada 11- 15 tahun. Serupa dengan penelitian Kisaarlan,2014 yang melaporkan bahwa pasien SLE terbanyak adalah anak perempuan, dengan rerata umur 13±2,95 tahun. Survival rate SLE berkisar antara 70-85% dalam 5-10 tahun pertama dan 53-64% setelah
20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3-5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.SLE memberi pengaruh terhadap kehamilan diantaranya dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas fetus, kelahiran preterm, Intrauterine Growth Restriction (IUGR). (R Vagelli. et al,2017) 2.4
TANDA DAN GEJALA
Pada awal perjalanannya, penyakit ini ditandai dengan gejala klinis yang tak spesifik, antara lain lemah, kelelahan yang sangat, lesu berkepanjangan, panas, demam, mual, nafsu makan menurun, dan berat badan turun. Gejala awal yang tidak khas ini mirip dengan beberapa penyakit yang lain. Oleh karena gejala penyakit ini sangat luas dan tidak khas pada awalnya, maka tidak sembarangan untuk mengatakan seseorang terkena penyakit lupus. Akibat gejalanya mirip dengan gejala penyakit lainnya, maka lupus dijuluki sebagai penyakit peniru. Julukan lainnya adalah si penyakit seribu wajah. Karena itu, biasanya pasien melakukan shopping doctor (berpindah-pindah dokter) sebelum diagnosis penyakitnya dapat ditegakkan. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, SLE merupakan penyakit multisistem.. Walaupun tanda-tanda tertentu mungkin lebih sering terjadi daripada yang lain, setiap pasien memberikan tanda-tanda yang berbeda dan perjalanan penyakit tidak dapat diprediksi. Lebih lanjut, SLE merupakan penyakit yang tidak tetap dan pada kebanyakan pasien terjadi fluktuasi selama perjalanan penyakit (Dipiro et al ., 2008). Tanda-tanda dan gejala-gejala non spesifik seperti kelelahan, demam, anoreksia, dan penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan penyakit yang aktif. Keterlibatan muskuloskeletal (seperti arthalgia, mialgia, arthritis) sangat umum terjadi pada pasien SLE dengan seringnya arthritis dan arthralgia sebagai keluhan utama pada awal penyakit. Sendisendi pada tubuh dapat terpengaruhi dan terjadi secara berulang dalam jangka waktu yang pendek, yang sebagian besar terlihat seperti sendi kaku dan peradangan (Dipiro et al ., 2008). Manifestasi pada kulit dan membran mukosa merupakan gejala yang terjadi hampir sama seringnya seperti yang melibatkan sistem muskuloskeletal. Yang paling umum
dari
manifestasi ini adalah butterfly rash, yang terjadi dari atas hidung dan malar eminences. Butterfly rash muncul pada setengah dari pasien dan sering diamati setelah terpapar matahari. Faktanya, fotosensitifitas umum terjadi pada pasien SLE dengan gejala manifestasi kulit. Karakteristik lesi pada kulit dari lupus diskoid terjadi pada 10%-20% pasien dengan SLE dan mungkin terjadi tanpa bukti klinis atau serologis lainnya dari lupus. Beberapa individu
mengatakan untuk mengembangkan lupus kulit subakut, sifat lesi yang terlihat seperti diskoid (salah satu tipe lupus erythematosus kulit yang kronik) dan butterfly rash (salah satu contoh lupus erythematosus kulit yang akut). Manifestasi kulit lainnya termasuk vaskulitis (yang mungkin ulceratif), livedo reticularis, periungual erythema, Raynaud’s phenomenon dan
alopesia (Dipiro et al ., 2008). Sumber gejala yang lain pada SLE adalah sistem pulmonari dengan manifestasi seperti pleurisi, batuk dan dispnea. Pleurisi dapat menghasilkan nyeri pleuritik, pleural rub, dan efusi pleura yang biasanya bersifat eksudatif. Lupus pneumonitis dapat menjadi akut dengan demam, dispnea, takipnea, batuk dan patchy infiltrates atau kronik dengan fibrosis interstitial. Lupus pnemonitis merupakan manifestasi yang tidak biasa dari SLE dan memiliki sedikit prognosis (Dipiro et al ., 2008). Manifestasi jantung dari SLE sering terjadi seperti perikarditis, miokarditis, perubahan electrocardiographic (ECG) atau penyakit katup jantung, termasuk lesi jantung dari LibmanSacks endocarditis (nonbacterial verrucous endocarditis). Diperkirakan bahwa perkembangan penyakit jantung pada pasien ini adalah multifaktorial. Hipertensi, obesitas, dan hiperlipidemia biasa terjadi pada pasien dengan SLE. Terapi kortikosteroid dan didasari dari penyakit ginjal dapat memberikan kontribusi beberapa faktor dalam pengembangan faktor risiko penyakit jantung (Dipiro et al ., 2008). Manifestasi neuropsychiatric dari SLE dapat terlihat dalam berbagai cara, termasuk psikosis, depresi, kejang, stroke, neuropati perifer, gangguan kognitif, dan lain-lain. Psikosis terlihat pada 12% pasien dengan SLE, dan depresi berat dianggap lebih berkaitan dengan penyakit daripada depresi reaktif (Dipiro et al ., 2008). Gejala yang berkaitan dengan manifestasi gastrointestinal sering tidak spesifik untuk lupus dan termasuk dispepsia, nyeri abdominal, mual, dan susah menelan. Vaskulitis mesenterika mungkin akan bermasalah, terutama jika terjadi perforasi arteri. Hepatomegali dapat terjadi pada beberapa pasien, meskipun gangguan fungsi hati tidak karakteristik untuk penyakit lupus. Pankreatitis juga dapat terjadi pada pasien dengan SLE (Dipiro et al ., 2008). Tabel 1. Tanda-Tanda dan Gejala-Gejala Klinis dari SLE dan Kejadiannya. Gejala Muskuloskeletal
Kejadian (%)
Arthritis dan arthralgia Konstitusional Kelelahan Demam Penurunan Berat Badan Mucocutaneous Butterfly rash Fotosensitivitas Raynaud’s phenomenon Lesi discoid
42-79
Sistem Saraf Pusat Psikosis Kejang Paru Pleuritis Efusi pleura Kardiovaskular Perikarditis Miokarditis Heart murmur Perubahan ECG
12-75 5-52 6-26
Ginjal Gastrointestinal Mual Nyeri abdominal Perdarahan usus (vaskulitis) Hepatomegali Splenomegali Hematologik Anemia Leukopenia Trombositopenia Limfadenopati
31-65
80-100 41-86 31-71 55-85 10-61 11-58 10-34 9-29
31-57 12-40 2-48 8-40 12-44 34-70
7-53 8-34 1-6 25 10-20 30-78 35-66 7-30 10-59 (Dipiro et al ., 2008)
Anemia ditemukan pada banyak pasien dengan SLE. Hal ini biasanya berupa anemia dengan inflamasi kronik dengan normochronic ringan, noda normositik dan serum besi yang rendah namun menyimpan cukup zat besi. Beberapa pasien dapat mengembangkan anemia hemolitik dengan uji Coomb positif. Leukopenia biasanya ringan, terjadi kira-kira pada setengah pasien SLE. Granulosit dan limfosit, keduanya mungkin terpengaruh tetapi biasanya terjadi
penurunan jumlah yang sangat besar dari granulosit. Jumlah absolut dari limfosit T dan limfosit B menurun. Trombositopenia dapat terjadi pada SLE dan biasanya disebabkan oleh antiplatelet antibodi yang menyebabkan terjadinya proses fagositosis oleh makrofag dalam limpa, hati, node limpa, dan sumsum tulang (Dipiro et al ., 2008). Hal-hal signifikan lainnya yang ditemukan berkaitan dengan SLE yaitu adanya antibodi antifosfolipid seperti lupus antikoagulan (LA) dan antibodi anticardiolipin. Walaupun LA ditujukan terhadap kompleks aktivator protrombin dan menyiratkan potensi perdarahan, hal ini bukan permasalahannya. Faktanya, kehadiran LA, anticardiolipin, atau antibodi antifosfolipid lainnya mungkin berkaitan dengan thrombosis, penyakit neorologik, trombositopenia, dan keguguran. Trombotik terjadi pada lebih dari 10% pasien dengan SLE. Tidak semua pasien dengan sindrom antifosfolipid memiliki lupus. Jika pasien tidak memiliki penyakit autoimun secara bersamaan, hal ini merupakan sindrom primer. Sedangkan jika pasien sudah memiliki SLE, hal ini merupakan sindrom sekunder (Dipiro et al ., 2008). Menurut American College Of Rheumatology 1997, diagnosis SLE harus memenuhi 4 dari 11 kriteria yang ditetapkan. Adapun penjelasan singkat dari 11 gejala tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Ruam kemerahan pada kedua pipi melalui hidung sehingga seperti ada bentukan kupu-kupu,
istilah kedokterannya Malar Rash/Butterfly Rash. 2. Bercak kemerahan berbentuk bulat pada bagian kulit yang ditandai adanya jaringan parut yang lebih tinggi dari permukaan kulit sekitarnya. 3. Fotosensitive, yaitu timbulnya ruam pada kulit oleh karena sengatan sinar matahari 4. Luka di mulut dan lidah seperti sariawan (oral ulcers). 5. Nyeri pada sendi-sendi. Sendi berwarna kemerahan dan bengkak. Gejala ini dijumpai pada 90% odapus. 6. Gejala pada paru-paru dan jantung berupa selaput pembungkusnya terisi cairan. 7. Gangguan pada ginjal yaitu terdapatnya protein di dalam urine. 8. Gangguan pada otak/sistem saraf mulai dari depresi, kejang, stroke, dan lain -lain.
9. Kelainan pada sistem darah di mana jumlah sel darah putih dan trombosit berkurang. Dan biasanya terjadi juga anemia 10. Tes ANA (antinuclear Antibody) positif 11. Gangguan sistem kekebalan tubuh. Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan. Diagnosis Banding a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS) d. Fibromialgia (yang dengan ANA positif) e. Purpura trombositopenik idiopatik f. Lupus imbas obat (DILE) g. Artritis reumatoid dini h. Vaskulitis Pada
Odapus
atau
orang
dengan
lupus
juga
mengalami
perubahan
fisik
(pertambahan/penurunan berat badan, moon face, munculnya jerawat, rambut rontok, adanya rambut halus pada wajah) mengakibatkan penurunan kepuasan pada citra diri penderita SLE. Kekhawatiran yang palingbanyak dirasakan oleh penderita adalah mengenai penampilan dan penambahan berat badan yang mereka alami selama proses pengobatan (Hale dkk, 2014). P Penderita SLE tidak hanya mengalami perubahan fisik sebagai akibat dari SLE yang mereka derita, namun mereka juga mengalami penurunan pada kesehatan fisik secara signifikan. Penderita SLE terpaksa melepaskan pekerjaan yang mereka miliki karena sulitnya menyelesaikan pekerjaan dengan kondisi kesehatan fisik yang mereka miliki. (McElhone, dkk.,
2010).Segala perubahan kondisi yang harus dialami penderita SLE baik pada aspek lingkungan seperti dukungan sosial, aspek fisik dan aspek emotional mengakibatkan adanya perubahan pada kualitas hidup mereka. 2.5
KLASIFIKASI
Penyakit Lupus dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu discoid lupus, systemic lupus erythematosus , dan lupus yang diinduksi oleh obat. Discoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas eritema yang meninggi, skuama, sumbatan folikuler, dan telangiektasia. Lesi ini timbul di kulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung, dan dada. Penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan atrofi dan jaringan parut di bagian tengahnya serta hilangnya apendiks kulit secara menetap (Joe, 2009). Systemic Lupus Erythematosus
SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang disebabkan oleh banyak faktor dan dikarakterisasi oleh adanya gangguan disregulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi autoantibodi yang berlebihan. Terbentuknya autoantibodi terhadap dsDNA, berbagai macam ribonukleoprotein intraseluler, sel-sel darah, dan fosfolipid dapat menyebabkan kerusakan jaringan melalui mekanime pengaktivan komplemen (Joe, 2009). Lupus yang diinduksi oleh obat Lupus yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat, obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut (Joe, 2009). Sedangkan menurut derajat berat ringannya penyakit : a. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah: 1. Secara klinis tenang 2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. Contoh: SLE dengan manifestasi arthritis dan kulit. b. Penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan: 1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II) 2. Trombositopenia (trombosit 20-50×103/mm3) 3. Serositis mayor c. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 1.
Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade
jantung, hipertensi maligna 2.
Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark
paru, fibrosis interstisial, shrinking lung. 3.
Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
4.
Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
5.
Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh ( blister ).
6.
Neurologi: kejang, acute confusional state , koma, stroke, mielopati transversa,
mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. 7.
Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3), trombositopenia (<
20.000/mm3) , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri . SLE pada keadaan khusus :
- Neonatal Lupus: Keadaan yang sangat jarang terjadi, dimana jika seorang wanita Lupus dengan anti-Ro (SSA) positif dan melahirkan bayi dengan ruam lupus sementara atau congenital heart block . Ini bukan lupus yang sesungguhnya.
-
Lupus
Laten
atau
Lupus
inkomplit,
ditegakkan
apabila:
seorang
penderita
memperlihatkan hanya 1 atau 2 kriteria Klasifikasi ACR, ditambah gejala klinis lain yang jarang
ditemukan (dan tidak masuk kriteria). Dengan hasil Laboratorium penunjang LED meningkat, RF (+), prothrombin time meningkat, transaminase meningkat. Penyakit ini biasanya ringan. -
Sindroma Antifosfolipid (APS): 11% SLE mengalami APS, dimana terjadi keadaan yang
hiperkoagulabel sehingga terjadi kecenderungan tombosis. Dapat menyebabkan stroke, keguguran berulang. -
Lupus dan kehamilan: Fertilitas pasie SLE adalah normal. Tetapi hanya 67% mengalami
kehamilan yang berhasil. Oleh karena itu pasien SLE yang boleh hamil adalah yang remisi selama paling tidak 6 bulan. Obat yang relatif aman untuk SLE dalam kehamilan: kortikosteroid, antimalaria (klorokuin), dan azathioprin (imuran). 2.6
PATHOFISIOLOGI
Pada pasien SLE terjadi gangguan respon imun yang menyebabkan aktivasi sel B, peningkatan jumlah sel yang imun. Aktivasi sel T dan sel B disebabkan karena adanya stimulasi antigen spesifik baik yang berasal dari luar seperti bahan-bahan kimia, DNA bakteri, antigen virus, fosfolipid dinding sel atau yang berasal dari dalam yaitu protein DNA dan RNA. A ntigen ini dibawa oleh antigen presenting cells (APCs) atau berikatan dengan antibodi pada permukaan sel B. Kemudian diproses oleh sel B dan APCs menjadi peptida dan dibawa ke sel T melalui molekul HLA yang ada di permukaan. Sel T akan teraktivasi dan mengeluarkan sitokin yang dapat merangsang sel B untuk membentuk autoantibodi yang patogen. Interaksi antara sel B dan sel T serta APCs dan sel T terjadi dengan bantuan sitokin, molekul CD 40, CTLA-4 (Joe, 2009). Berdasarkan profil sitokin sel T dibagi menjadi 2 yaitu Th1 dan Th2. sel Th1 berfungsi mendukung cell-mediated immunity , sedangkan Th2 menekan sel tersebut dan membantu sel B untuk memproduksi antibodi. Pada pasien SLE ditemukan adanya IL-10 yaitu sitokin yang diproduksi oleh sel Th2 yang berfungsi menekan sel Th1 sehingga mengganggu
cell-mediated
immunity .
Sel T pada SLE juga mengalami gangguan berupa berkurangnya produksi IL-2 dan hilangnya respon terhadap rangsangan pembentukan IL-2 yang dapat membantu meningkatkan ekspresi sel T. Abnormalitas dan diregulasi sistem imun pada tingkat seluler dapat berupa gangguan fungsi limfosit T dan B, NKC, dan APCs. Hiperaktivitas sel B terjadi seiring dengan
limfositopenia sel T karena antibodi antilimfosit T. Peningkatan sel B yang teraktivasi menyebabkan terjadinya hipergamaglobulinemia yang berhubungan dengan reaktivitas selfantigen. Pada sel B, reseptor sitokin, IL-2, mengalami peningkatan sedangkan CR1 menurun. Hal ini juga meningkatkan heat shock protein 90 (hsp 90) pada sel B dan CD4+. Kelebihan hsp 90 akan terlokalisasi pada permukaan sel limfosit dan akan menyebabkan terjadinya respon imun. Sel T mempunyai 2 subset yaitu CD8+ (supresor/sitotoksik) dan CD4+ ( inducer /helper ). SLE ditandai dengan peningkatan sel B terutama berhubungan dengan subset CD4+ dan CD45R+. CD4+ membantu menginduksi terjadinya supresi dengan menyediakan signal bagi CD8+ (Isenberg and Horsfall, 1998). Berkurang jumlah total sel T juga menyebabkan berkurangnya subset tersebut sehingga signal yang sampai ke CD8+ juga berkurang dan menyebabkan kegagalan sel T dalam menekan sel B yang hiperaktif. Berkurangnya kedua subset sel T ini yang umum disebut double negative (CD4-CD8-) mengaktifkan sintesis dan sekresi autoantibodi (Joe, 2009). Ciri khas autoantibodi ini adalah bahwa mereka tidak spesifik pada satu jaringan tertentu dan merupakan komponen integral dari semua jenis sel sehingga menyebabkan inflamasi dan kerusakan organ secara luas melalui 3 mekanisme yaitu pertama kompleks imun (misalnya DNA-anti DNA) terjebak dalam membran jaringan dan mengaktifkan komplemen yang menyebabkan kerusakan jaringan. Kedua, autoantibodi tersebut mengikat komponen jaringan atau antigen yang terjebak di dalam jaringan, komplemen akan teraktivasi dan terjadi kerusakan jaringan. Mekanisme yang terakhir adalah autoantibodi menempel pada membran dan menyebabkan aktivasi komplemen yang berperan dalan kematian sel atau autoantibodi masuk ke dalam sel dan berikatan dengan inti sel dan menyebabkan menurunnya fungsi sel tetapi belum diketahui mekanismenya terhadap kerusakan jaringan (Joe, 2009). Gangguan sistem imun pada SLE dapat berupa gangguan klirens kompleks imun, gangguan pemrosesan kompleks imun dalam hati, dan penurunan up-take kompleks imun pada limpa. Gangguan klirens kompleks imun dapat disebabkan berkurangnya CR1 dan juga fagositosis yang inadekuat pada IgG2 dan IgG3 karena lemahnya ikatan reseptor FcγRIIA dan FcγRIIIA. Hal ini juga berhubungan dengan defisiensi komponen komplemen C1, C2, C4. Adanya
gangguan tersebut menyebabkan meningkatnya paparan antigen terhadap sistem imun dan terjadinya deposisi kompleks imun pada berbagai macam organ sehingga terjadi fiksasi
komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan mediator-mediator inflamasi yang menimbulkan reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit, dan sebagainya (Joe, 2009). Pada pasien SLE, adanya rangsangan berupa UVB (yang dapat menginduksi apoptosis sel keratonosit) atau beberapa obat (seperti klorpromazin yang menginduksi apoptosis sel limfoblas) dapat meningkatkan jumlah apoptosis sel yang dilakukan oleh makrofag. Sel dapat mengalami
apoptosis
melalui
kondensasi
dan
fragmentasi
inti
serta
kontraksi
sitoplasma. Phosphatidylserine (PS) yang secara normal berada di dalam membran sel, pada saat apoptosis berada di bagian luar membran sel. Selanjutnya terjadi ikatan dengan CRP, TSP, SAP, dan komponen komplemen yang akan berinteraksi dengan sel fagosit melalui reseptor membran seperti transporter ABC1, complement receptor (CR1, 3, 4), reseptor αVβ3, CD36, CD14,
lektin,
dan mannose
receptor (MR)
yang
menghasilkan sitokin antiinflamasi. Sedangkan pada SLE yang terjadi adalah ikatan dengan autoantibodi
yang
kemudian
akan be rinteraksi dengan reseptor FcγR yang akan
menghasilkan sitokin proinflamasi. Selain gangguan apoptosis yang dilakukan oleh makrofag, pada pasien SLE juga terjadi gangguan apoptosis yang disebabkan oleh gangguan Fas dan bcl-2 (Joe, 2009) Jadi intinya adalah penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Pathway
Genetik,Lingkungan,Hormon,obat-obatan tertentu Produksi sel autoimun berlebihan Autoimun menyerang organ tubuh sel dan jaringan Penyakit lupus Produksi antibody terus menerus
Jantung
Kerusakan
Kulit
Darah Paru-Paru
Sendi
Otak
Ginjal Hati
integritas Kulit Hb Menurun Perikarditis
Protein Urine
Arthritis
Kesalahan sintesa Yang dibutuhkan
Suplai O2 atau Penumpukan cairan efusi
Intoleransi
Tubuh protein
tubuh
nutrisi
Aktifitas Perubahan
ATP
pada
Nutrisi
perikardium BB
Keletihan
Perubahan Pertumbuhan dan Perngembangan
kurang dari kebutuhan
Penebalan Perikardium
Perubahan Status
Kontraksi
Emphisema Siuplai O2 Ke
Kesehatan
jantung
otak menurun Pola Napas inefektif
Penurunan cardiac
Kecemasan
Resiko Kematian
2.7
KOMPLIKASI
Berikut ini beberapa komplikasi dari SLE : 1.
Penyakit Ginjal Satu dari setiap tiga penderita SLE akan mengalami penyakit ginjal lupus nephritis yang
berpotensi menjadi serius dan disebabkan oleh peradangan dalam jangka waktu yang lama pada ginjal. Lupus nephritis seringkali terjadi di awal keberadaan penyakit SLE, biasanya dalam jangka waktu lima tahun dari sejak diagnosis lupus. Gejala dari penyakit ini dapat dideteksi dari adanya pembengkakan pada kaki atau oedema, gejala sakit kepala, pusing, campuran darah dalam urin, hingga dorongan untuk berkemih secara lebih sering. Mereka yang menderita komplikasi ginjal ini biasanya juga akan mengalami kondisi hipertensi yang dapat mengakibatkan serangan jantung maupun stroke. Penderitanya harus melakukan cek darah secara rutin untuk memonitor kondisi ginjal dan harus minum obat pengontrol
seperti
immunosuppressants
semacam
mycophenolate
mofetil
atau
cyclophosphamide. Cuci darah ginjal atau transplantasi ginjal hanya akan diperlukan pada kondisi lupus nephritis yang terlampau parah. 2.
Penyakit Jantung Penderita lupus SLE biasanya cenderung akan mengalami penyakit jantung yang dapat
menyebabkan jantung dan arteri meradang dan rusak. Penderita lupus dapat mengurangi risiko mengalami penyakit jantung dengan mengadaptasi gaya hidup yang lebih sehat, seperti berhenti merokok, mengonsumsi makanan sehat dan seimbang, rendah lemak, gula dan garam, mengonsumsi buah dan sayuran, menjaga keseimbangan berat badan, rajin berolahraga serta mengurangi konsumsi alkohol. 3.
Komplikasi Kehamilan Lupus pada wanita biasanya tidak akan menyebabkan kondisi tidak subur, namun jelas
dapat meningkatkan risiko terjadinya komplikasi ketika kehamilan. Berbagai komplikasi kehamilan meliputi pre-eklamsia, kelahiran prematur, keguguran, hingga kematian bayi baru lahir. Bayi yang lahir dari penderita lupus terkadang juga mengalami kondisi penyumbatan pada jantung yang menyebabkan adanya gangguan pada detak jantung, serta mengalami ruam pada kulit. Kondisi ini dikenal sebagai sindrom neonatal lupus. Para penderita lupus yang ingin
memiliki keturunan perlu merencanakan kehamilan dengan saksama bersama dokter kandungan. Saat gejala lupus sedang ada dalam kondisi serius, kehamilan menjadi lebih b erisiko sehingga sebaiknya ditunda dulu sampai kondisi membaik dan gejala lupus menjadi lebih terkontrol. Jika kehamilan terjadi, kehamilan penderita lupus harus benar-benar dimonitor oleh spesialis dan dokter kandungan agar masalah apapun yang terjadi pada kandungan dapat dideteksi dini 2.8
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tabel 2 Kriteria Diagnostik Lupus Eritemasis Sistemik
Pemeriksaan Penunjang Minimal Lain yang Diperlukan untuk Diagnosis dan Monitoring
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)* 2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin. 3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, pro •il lipid)* 4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid 5. Serologi ANA§, anti-dsDNA†, komplemen †(C3,C4))
6. Foto polos thorax § pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring. * Setiap 3-6 bulan bila stabil † Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.
ANA, antibodi antinuklear; PT/PTT, protrombin time/partial tromboplastin time Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi SLE. Waktu pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien. Pemeriksaan Serologi pada SLE.
Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis SLE adalah tes ANA generik.(ANA IF dengan Hep 2 Cell). Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada SLE. Pada penderita SLE ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%, akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain yang mempunyai gambaran klinis menyerupai SLE misalnya infeksi kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective tissue disease (MCTD), artritis rematoid, tiroiditis autoimun), keganasan atau pada orangnormal. Jika hasil tes ANA negatif, pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan penyakit reumatik sistemik termasuk SLE seringkali dinamis dan berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai SLE umumnya diagnosis SLE dapat disingkirkan. Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif adalah tes antibody terhadap antigen nuklear spesi ik, termasuk anti-dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo. Pemeriksaan ini dikenal sebagai pro il ANA/ENA. Antibodi anti- dsDNA merupakan tes spesi ik untuk SLE, jarang didapatkan pada penyakit lain dan spesiitasnya hampir 100%. Titer anti-dsDNA yang tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan titer yang rendah. Jika titernya sangat rendahmungkin dapat terjadi pada pasien yang bukan SLE. Kesimpulannya, pada kondisi klinik adanya anti-dsDNA positif menunjang diagnosis SLE sementara bila anti ds-DNA negatif tidak menyingkirkan adanya SLE.Meskipun anti-Sm
didapatkan pada 15% -30% pasien SLE, tes ini jarang dijumpai pada penyakit lain atau orang normal. Tes anti-Sm relatif spesi ik untuk SLE, dan dapat digunakan untuk diagnosis SLE. Titer anti-Sm yang tinggi lebih spesi ik untuk SLE.Seperti antidsDNA, anti-Sm yang negatif tidak menyingkirkan diagnosis. Rekomendasi
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesi!ik untuk SLE - Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE - Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak menyingkirkan diagnosis SLE (Perhimpunan Rheumatologi Indonesia,2011) 2.9
PENATALAKSANAAN
Pilar Pengobatan
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi. Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik
I. Edukasi dan konseling II. Program rehabilitasi III. Pengobatan medikamentosa a. OAINS b. An• malaria . Steroid d. Imunosupresan / Sitotoksik e. Terapi lain I. Edukasi / Konseling
Butir-butir edukasi pada pasien SLE terlihat pada tabel 3.
Tabel 3. Butir-butir edukasi terhadap pasien SLE
1. Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya. 2. Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut. 3. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsi. 4. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stress emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri,mengatasi rasa nyeri. 5. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlu tidaknya suplementasi mineral dan vitamin. Obat-obatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum. 6. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak dalam pemasyarakatan SLE dan sebagainya. II. Program Rehabilitasi
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu: a. Istirahat b. Terapi •f isik c. Terapi dengan modalitas d. Ortotik e. Lain-lain. III. Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya, selanjutnya dapat dilihat pada tabel 4
Tabel 4. Jenis dan Dosis Obat Yang Dapat Dipakai pada SLE
(Perhimpunan Rheumathologi Indonesia,2011) Rekomendasi - Pengobatan SLE meliputi edukasi dan konseling, rehabilitasi medik dan medika mentosa - Pemberian terapi kotrikosteroid merupakan lini pertama, cara penggunaan, dosis dan efek samping perlu diperhatikan - Terapi pendamping (sparing agent) dapat digunakan untuk memudahkan menurunkan dosis kortikosteroid, mengontrol penyakit dasar dan mengurangi efek samping KS. Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya, dapat dilihat pada alogaritma dibawah ini :
Bagan 1. Algoritme penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik. Terapi SLE sesuai dengan keparahan manifestasinya. TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin, OAINS obat antiinflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.
Terapi Lain
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup: - Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional. - Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis. -Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid. -Danazol pada trombositopenia refrakter. -Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring eff ect pada SLE ringan.39 -Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat lainnya. - Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat. -Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia) - Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40(CD40LmAb). - Dialisis, transplantasi autologus stem-cell . Rekomendasi -Terapi SLE Berdasarkan Berat Ringannya SLE Tersebut - Lihat Algoritma Terapi SLE
(Perhimpunan Rheumathologi Indonesia,2011)
DAFTAR PUSTAKA
Laura K. DeLong, MD, M., 2012. Vitamin D Status, Disease Specific and Quality of Life Outcomes in Patients With Cutaneous Lupus-Full Text View-ClinicalTrials.gov, Atlanta, Georgia, United States, 30322. Available at:https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT01498406. Rahman, Anisur and David A. Isenberg. 2008, Systemic Lupus Erythematosus. Mechanism of Disease.TheNew England Journal ofMedicine. Volume 358:929-939. February 28, 2008 Bosch X. Systemic lupus erythematosus and the neutrophil. N Engl J Med . 2011; 365(8):758-60 Foundation, S.L.E.L., 2012. About lupus. Available at:www.lupusny.org. Indonesia, Y.L., 2012. Info tentang Lupus. Available at:www.yayasanlupusindonesia.org. Vagelli R, Tani C, Mosca M. Pregnancy and menopause in patients with systemic lupus erythematosus and or antiphospholipid syndrome. PolishArchives of Internal Medicine. 2017; 127(2):115-21 Anggraini NS. Lupus eritematous sistemik . J Medula Unila. 2016; 4(4): 124-30.
Hale, E.D., Radvanski,D.C.,Hassett, A.L., 2014., The man in the moon face: a qualitative study of bodyimage, self-image and medication use in systemic lupus erythematosus. Rheumatology
McElhone, K., Abbott, J., Gray, J., Williams, A. & Teh, L-S., 2010. Patient perspective of systemic lupus erythematosus in relation to health-related quality of life concept, a qualitative study. Lupus,Volume 19 pp. 1640 –1647 Joe. 2009.
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES). Available
at: http://perawattegal.wordpress.com Joseph T. DiPiro et al. 2008. Pharmacoterapy A Pathophysiologic Approach seventh edition . McGrawHill : Companies Inc. USA Kisaarslan AP, Sozeri B, Dusunsel R. The diagnosis of juvenile systemic lupus erythematosus with SLICC. Pediatr Rheum 2014;12:P32.doi:10.1186/1546-0096-12-S1-P322. Perhimpunan Rheumathologi Indonesia. 2011. Diagnosis Dan Pengelolaan Lupus Eritemosus Sistemik. Jakarta : Perhimpunan Rheumathologi Indonesia https://meetdoctor.com/article/komplikasi-penyakit-lupus#/page/3