DIKLAT JABATAN FUNGSIONAL PEMERIKSA
ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN TAHUN 2011
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Kata Pengantar Terbitnya Permenpan Nomor 17 tentang Jabatan Fungsional Pemeriksa (JFP) dan Angka Kreditnya merupakan titik awal perubahan peraturan dari jabatan fungsional auditor (JFA) ke JFP bagi para pemeriksa BPK. Momen ini dimanfaatkan BPK untuk mereformasi pengembangan sumber daya pemeriksa dengan meredefinisi kompetensi yang diperlukan oleh para pemeriksa di BPK. Peraturan BPK No. 4 Tahun 2010 tentang JFP menyatakan bahwa untuk memenuhi dan meningkatkan kompetensi dalam pelaksanaan tugas pemeriksaan, para calon pemeriksa yang pertama kali diangkat dalam JFP wajib terlebih dahulu mengikuti diklat JFP. Sejalan dengan itu, berlakunya standar kompetensi yang telah disusun Biro SDM juga mendukung Pusdiklat untuk mengembangkan diklat berbasis kompetensi, yang dalam hal ini ditujukan bagi para pemeriksa. Standar kompetensi inilah yang menjadi landasan bagi pusdiklat dalam menata ulang desain kurikulum dan silabusnya, sehingga lebih terstruktur dan sesuai dengan masing-masing peran. Kami menyadari arti penting modul ini dalam suatu proses diklat karena dari modul inilah tergambar dasar pengetahuan dan keahlian yang akan diberikan kepada peserta diklat. Kami juga terus berusaha menyempurnakan materi-materi diklat dengan perkembangan pengetahuan dan kondisi terkini, serta melatih tenaga instruktur secara berkala. Hal ini merupakan komitmen Pusdiklat yang berusaha menjunjung tinggi profesionalisme dalam melayani kebutuhan pengembangan SDM di BPK. Kami harapkan setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan di Pusdiklat BPK, para peserta diklat merasakan manfaatnya dengan mengalami perubahan kompetensi yang semakin baik sesuai tugas dan tanggung jawab yang diemban. Pelaksanaan diklat berbasis kompetensi juga mendorong Pusdiklat semakin menyempurnakan metode pembelajaran yang digunakan serta didukung dengan laboratoriumlaboratorium, untuk membantu peserta diklat merasakan kondisi yang menyerupai keadaan riil dalam pekerjaan. Akhir kata, perkenankan kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT dan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah memberikan kontribusi terhadap pengembangan modul ini. Kami menyadari bahwa apa yang telah kami lakukan masih jauh dari sempurna. Masukan, kritik, dan saran dari peserta diklat, instruktur, dan narasumber sangat berguna dalam pengembangan kompetensi pemeriksa di BPK untuk mendukung tujuan kami, yaitu menjadi pusdiklat yang profesional, sebagai titik awal pembentukan SDM di BPK. Terima kasih. Jakarta, Mei 2011 Plt. Kepala Pusdiklat
Dr. Cris Kuntadi, S.E.,,M.M., Ak.,C.P.A. NIP 196906241990031004
Pusdiklat BPK RI
i
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
DAFTAR ISI Hal. Kata Pengantar ….………………………………………………………...
i
Daftar Isi …….………………………………………………………..…..
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
A. Deskripsi Singkat Mata Pelajaran ........................................
1
B. Tujuan Umum Pembelajaran
1
C. Metode Pembelajaran
1
D. Deskripsi Singkat Struktur Modul
2
DASAR-DASAR ILMU HUKUM ...........................................
3
A. Pengertian Hukum ..... ............................................................
3
B. Hukum dan Kaedah Sosial ....................................................
5
C. Pengertian-pengertian Dasar dalam Hukum …….…...…….
7
D. Asas Hukum
……………..……………………………….
10
E. Pembidangan Hukum ………………………………………
13
F. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum) .. ............................
18
G. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan .......... ..............
19
H. Tuntutan Masyarakat atas Hukum ........ .................................
21
BAB II
BAB III ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PERENCANAAN PEMERIKSAAN …………………….………………………..
24
A. UUD 1945 .............................................................................
24
B. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ..............
25
C. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara .......
26
D. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
BAB IV
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara ……………………
26
E. UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
26
ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PELAKSAAN ……………………………………………
27
A. Hubungan Aspek Hukum dan Standar Pemeriksaan ..........
27
PEMERIKSAAN
B. Aspek Hukum dalam Perancangan Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse) ..............................................
Pusdiklat BPK RI
29
ii
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
C. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Pemeriksaan dan Pemahaman terhadap Objek yang Akan Diperiksa .............. BAB V
BAB VI
32
ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PADA PELAPORAN PEMERIKSAAN ...…………………..
63
A. Penyimpangan Administrasi ……………………………….
65
B. Pelanggaran atas Perikatan Perdata ..……………………...
67
C. Penyimpangan yang Mengandung Unsur Tindak Pidana ....
68
D. Ketidakpatutan yang Signifikan ……………………………
68
ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN ……………………………………. A.
70
Kewajiban Terperiksa untuk Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK …………………………………………
70
B.
Rumusan Unsur Pidana …………………………………..
71
C.
Tindak Lanjut Apabila Terdapat Unsur Pidana ………….
72
Daftar Pustaka …………….……………………………………………..
Pusdiklat BPK RI
73
iii
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
BAB I PENDAHULUAN
A. DESKRIPSI SINGKAT MATA PELAJARAN Mata pelajaran ini diberiksan dalam rangka memberikan wawasan maupun pengetahuan dan pemahaman dasar kepada para pemeriksa mengenai dasar-dasar ilmu hukum yang terkait dengan pemeriksaan. Dengan demikian, pemeriksa dapat mengerti, memahami dan mampu menjelaskan bagaimana menangani masalahmasalah hukum dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan pemeriksaan dan tindak lanjut hasil pemeriksaan
B. TUJUAN UMUM PEMBELAJARAN Agar peserta diklat dapat memahami dasar-dasar ilmu hukum yang terkait dengan pemeriksaan sehingga diharapkan kelak dapat diterapkan dalam pelaksanaan tugas, baik secara langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan hal tersebut.
C. METODE PEMBELAJARAN Peserta didorong untuk berpartisipasi secara aktif melalui komunikasi dua arah. Untuk metode yang digunakan merupakan kombinasi dari ceramah dan tanya jawab, diskusi serta latihan soal & kasus. Instruktur membantu peserta dalam memahami materi melalui ceramah dan dalam proses ini peserta diberikan kesempatan untuk melakukan tanya jawab. Agar proses pendalaman materi dapat berlangsung dengan baik, dilakukan pula diskusi kelompok, sehingga peserta benar-benar dapat secara aktif terlibat dalam proses belajar mengajar. Dalam modul ini disertakan pula latihan soal & kasus untuk membantu peserta dalam mempercepat dan mempermudah memahami materi.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 1 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
D. DESKRIPSI SINGKAT STRUKTUR MODUL Modul Aspek Hukum dalam Pemeriksaan ini disusun dengan kerangka bahasan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN: menguraikan penjelasan umum sebagai gambaran menyeluruh atas isi modul meliputi : Deskripsi Singkat Mata Pelajaran, Tujuan Pembelajaran, Metodologi Pembelajaran dan Deskripsi Singkat Struktur Modul. BAB II DASAR-DASAR ILMU HUKUM : membahas mengenai pengertian hukum, hukum dan kaedah sosial, pengertian dasar dalam hukum, asas hukum, pembidangan hukum, penafsiaran hukum, tata urutan perundang-undangan, dan tuntutan masyarakat akan hukum. BAB
III
ASPEK-ASPEK
HUKUM
DALAM
PERENCANAAN
PEMERIKSAAN : membahas mengenai peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan dalam melakukan perencanaan pemeriksaan. BAB
IV
ASPEK-ASPEK
HUKUM
DALAM
PELAKSANAAN
PEMERIKSAAN : membahas mengenai hubungan aspek hukum dan standar pemeriksaan, aspek hukum dalam perancangan pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, kecurangan (fraud), serta ketidakpatutan (abuse), dan aspek hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan dan pemahaman terhadap objek yang akan diperiksa. BAB
V
ASPEK-ASPEK
PELAPORAN
HUKUM
PEMERIKSAAN
:
DALAM membahas
PEMERIKSAAN mengenai
PADA
penyimpangan
administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana, dan ketidakpatutan yang signifikan. BAB VI ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN
:
membahas
mengenai
kewajiban
terperiksa
untuk
menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK, rumusan unsur pidana dan tindak lanjut apabila terdapat unsur pidana.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 2 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
BAB II DASAR-DASAR ILMU HUKUM
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan dasar-dasar ilmu hukum yang diperlukan dalam pemeriksaan
A. Pengertian Hukum Hukum sulit untuk diberi definisi yang tepat karena mempunyai segi dan bentuk yang sangat banyak, sehingga sulit untuk dirangkum dalam suatu definisi. Adagium ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat maka di situ ada hukum) cukup memberikan gambaran bahwa hukum ada dalam bentuk/segi apapun di masyarakat. Dr. W.L.G. Lemaire, dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”, mengatakan bahwa banyaknya segi dan luasnya isi hukum itu, tidak memungkinkan perumusan hukum dalam suatu definisi tentang apakah sebenarnya hukum itu.1 Meskipun demikian, beberapa Sarjana Hukum memberikan pendapat mengenai definisi hukum, antara lain sebagai berikut. 1.
Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk mencapai cita-cita serta keadaan tertentu, tetapi tanpa mengabaikan dunia kenyataan dan oleh karenanya ia juga digolongkan ke dalam norma kultur.2
2.
Yang sesungguhnya disebut hukum adalah suatu jenis perintah. Tetapi, karena ia disebut perintah, maka setiap hukum yang sesungguhnya, mengalir dari satu sumber yang pasti … apabila suatu perintah dinyatakan atau diumumkan, satu pihak menyatakan suatu kehendak agar pihak lain menjalankannya atau membiarkan itu dijalankan … (Doktrin Austin)3.
3.
Pada umumnya yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama:
1
2 3
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 27. Friedmann dalam buku Ilmu Hukum karangan Satjipto Rahardjo, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 28.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 3 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.4 4.
Hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan, ditujukan kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat, dan yang menjadi pedoman bagi penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.5
5.
Hukum adalah aturan tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama dan yang jika dilanggar menimbulkan reaksi bersama terhadap orang yang melakukan pelanggaran itu.6
6.
Hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak bebas dari orang yang satu dapat menyesuaikan diri dengan kehendak bebas dari orang yang lain, menuruti peraturan hukum tentang kemerdekaan.7
7.
Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan laranganlarangan) yang mengurus tata-tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.8
Dari beberapa perumusan mengenai pengertian hukum yang diberikan oleh para pakar hukum, dapat diambil kesimpulan bahwa hukum meliputi beberapa unsur sebagai berikut. 1.
Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat.
2.
Peraturan ini diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib.
3.
Peraturan itu bersifat memaksa.
4.
Sanksi terhadap pelanggaran peraturan tersebut adalah tegas.
4 5
6
7
8
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2003, hal. 40. E.M. Meyers dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T. Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. Leon Duguit dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T. Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. Immanuel Kant dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T. Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 36. Utrecht dalam buku Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia karangan C.S.T. Kansil, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, hal. 38.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 4 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
B. Hukum sebagai Kaedah Sosial Untuk melindungi kepentingan manusia di dalam masyarakat terdapat beberapa kaedah sosial. Kaedah sosial adalah ketentuan yang memberi batasan dalam hubungan antar manusia (warga masyarakat) untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingannya, tanpa melanggar kepentingan yang lainnya.9 Tata kaedah tersebut terdiri atas kaedah kepercayaan atau keagamaan, kaedah kesusilaan, kaedah sopan santun dan kaedah hukum, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut.10 1. Aspek Kehidupan Pribadi. Tata kaedah yang berkaitan dengan aspek kehidupan pribadi dibagi menjadi: a. Kaedah Kepercayaan atau Keagamaan. Kaedah ini ditujukan kepada kehidupan beriman, yaitu kewajiban manusia kepada Tuhan dan kepada dirinya sendiri. Sumber kaedah ini adalah ajaran-ajaran kepercayaan atau agama yang oleh pengikut-pengikutnya dianggap sebagai perintah Tuhan. Tuhan-lah yang mengancam pelanggaran-pelanggaran kaedah kepercayaan atau agama itu dengan sanksi. Tujuan dari kaedah ini adalah penyempurnaan manusia, karena ditujukan kepada umat manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi kepada sikap batin manusia. Hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban semata dan tidak memberi hak. b. Kaedah Kesusilaan. Kaedah ini berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Pendukung kaedah kesusilaan adalah nurani individu, bukan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai anggota masyarakat yang terorganisir. Kaedah ini ditujukan kepada umat manusia agar terbentuk kebaikan akhlak pribadi guna penyempurnaan manusia dan melarang manusia melakukan perbuatan jahat. Kaedah ini hanya membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja. Sumber kaedah kesusilaan adalah dari manusia sendiri, jadi bersifat otonom dan tidak ditujukan kepada sikap lahir, tetapi ditujukan kepada sikap batin manusia. Batinnya sendirilah yang mengancam perbuatan yang melanggar
9 10
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 42. Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 5.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 5 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
kaedah kesusilaan dengan sanksi. Tidak ada kekuasaan di luar dirinya yang memaksakan sanksi itu. 2. Aspek Kehidupan Antar Pribadi. Tata kaedah yang berkaitan dengan aspek kehidupan antar pribadi dibagi menjadi: a. Kaedah Sopan Santun atau Adat. Kaedah ini didasarkan atas kebiasaan, kepatutan atau kepantasan yang berlaku dalam masyarakat. Kaedah ini ditujukan kepada sikap lahir pelakunya yang konkret demi penyempurnaan atau ketertiban masyarakat dan bertujuan menciptakan perdamaian, tata tertib atau membuat “sedap” lalu lintas antar manusia yang bersifat lahiriah. Sopan santun lebih mementingkan yang lahir atau yang formal. Bahkan seringkali sudah puas dengan sikap semu atau pura-pura saja. Sopan santun menyentuh manusia tidak semata-mata sebagai individu, tetapi sebagai makhluk sosial. Jadi, menyentuh kehidupan bersama. Kaedah sopan santun membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban saja. Bila dilanggar, kekuasaan masyarakat yang secara tidak resmi-lah yang mengancam dengan sanksi. Daerah berlakunya kaedah sopan santun sempit, terbatas secara lokal atau pribadi. Sopan santun di suatu daerah tidak sama dengan daerah lain. Berbeda lapisan masyarakat berbeda pula sopan santunnya. b. Kaedah Hukum. Kaedah hukum melindungi lebih lanjut kepentingankepentingan manusia yang sudah mendapat perlindungan dari ketiga kaedah lainnya. Selain itu, kaedah hukum juga melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang belum mendapat perlindungan dari ketiga kaedah tadi. Kaedah hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia. Tidak seorangpun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan atau dibatinnya (cogitationis poenam nemo patitut). Kaedah ini berasal dari kekuasaan luar diri manusia yang memaksakan kepada kita (bersifat heteronom). Masyarakat-lah yang secara resmi diberi kuasa untuk memberikan sanksi atau menjatuhkan hukuman. Dalam hal ini, pengadilan-lah sebagai lembaga yang mewakili masyarakat dalam menjatuhkan hukuman. Selain membebani manusia dengan kewajiban, kaedah hukum juga memberi hak.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 6 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Kaedah hukum sebagai salah satu kaedah sosial mempunyai dua sifat alternatif sebagai berikut.11 1) Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu secara apriori wajib ditaati. Kaedah ini tidak dapat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkret hanya karena para pihak membuat perjanjian. 2) Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib ditaati. Kaedah hukum yang dalam keadaan konkret dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Kaedah hukum dapat dibedakan dari kaedah kepercayaan, kaedah kesusilaan dan sopan santun, tetapi tidak dapat dipisahkan dengan yang lainnya, sebab meskipun ada perbedaannya ada pula titik temunya. Isi masing-masing kaedah saling
memengaruhi
satu
sama
lain,
bahkan
kadang-kadang
saling
memperkuat.
C. Pengertian-pengertian Dasar dalam Hukum12 1.
Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan kewajiban. Dalam kamus Ilmu Hukum disebut juga “orang” atau “pendukung hak dan kewajiban”. Dengan demikian, subjek hukum memiliki kewenangan untuk bertindak menurut tata cara yang ditentukan atau dibenarkan hukum. Adapun subjek hukum (orang) yang dikenal dalam ilmu hukum adalah manusia dan badan hukum.
2.
Objek hukum adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi subjek hukum dan dapat menjadi objek dalam suatu hubungan hukum. Menurut terminologi (istilah) ilmu hukum, objek hukum disebut pula “benda atau barang”, sedangkan “benda atau barang” menurut hukum adalah “segala barang dan hak yang dapat dimiliki dan bernilai ekonomis”, dan dibedakan menjadi sebagai berikut. a. Benda berwujud dan benda tidak berwujud (Pasal 503 KUH Perdata). b. Benda bergerak dan benda tidak bergerak (Pasal 504 KUH Perdata).
11
12
Achmad Ali dalam buku Pengantar Ilmu Hukum karangan Marwan Mas, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004, hal. 45. Marwan Mas, op.cit., hal. 28.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 7 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
3.
Buku Peserta
Hak dan kewajiban bukan merupakan kumpulan peraturan atau kaedah, melainkan merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pada pihak lawan. Kalau ada hak maka ada kewajiban. Hak dan kewajiban ini merupakan kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum.13 Untuk terjadinya hak dan kewajiban diperlukan terjadinya suatu peristiwa yang oleh hukum dihubungkan sebagai akibat.14 Dalam kepustakaan ilmu hukum dikenal dua teori atau ajaran untuk menjelaskan keberadaan hak, yaitu: a. Belangen Theorie (Teori Kepentingan). Teori ini menyatakan bahwa hak adalah kepentingan yang terlindungi. b. Wilsmacht Theorie (Teori Kehendak). Teori ini menyatakan bahwa hak adalah kehendak yang dilengkapi dengan kekuatan dan diberi oleh tata tertib hukum kepada seseorang. Selain kedua teori tersebut, dikenal pula “Teori Fungsi Sosial” yang menyatakan bahwa tidak ada seorang manusiapun yang mempunyai hak. Sebaliknya, di dalam masyarakat, bagi manusia hanya ada suatu tugas sosial. Tata tertib hukum tidak didasarkan atas hak kebebasan manusia, tetapi atas tugas sosial yang harus dijalankan oleh anggota masyarakat. Berikut ini digambarkan berbagai pengertian hak yang dikemukakan oleh sejumlah pakar hukum. a. Van Apeldoorn menyatakan bahwa hak adalah kekuasaan (wewenang) yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (atau suatu badan hukum), dan yang menjadi tantangannya adalah kewajiban orang lain (badan hukum lain) untuk mengakui kekuasaan itu. b. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa hak adalah kekuasaan yang diberikan oleh hukum kepada seseorang dengan maksud untuk melindungi kepentingan seseorang tersebut. c. Fitzgerald mengemukakan bahwa suatu hak mempunyai lima ciri, yaitu:
13 14
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 42. Ibid, hal. 49.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 8 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
1) Diletakkan pada seseorang yang disebut sebagai pemilik atau subjek dari hak tersebut. 2) Tertuju kepada orang lain, yaitu yang menjadi pemegang kewajiban. 3) Hak yang ada pada seseorang mewajibkan pihak lain untuk melakukan (commision) atau tidak melakukan suatu perbuatan (ommision), disebut isi hak. 4) Commision atau ommision menyangkut sesuatu yang disebut objek hak. 5) Menurut hukum, setiap hak mempunyai titel, yaitu suatu peristiwa tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada pemiliknya. Kewajiban merupakan beban yang diberikan oleh hukum kepada subjek hukum. 4.
Peristiwa hukum adalah semua kejadian atau fakta yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang mempunyai akibat hukum. Satjipto Rahardjo mengartikan peristiwa hukum sebagai suatu kejadian dalam masyarakat yang menggerakkan suatu peraturan hukum tertentu, sehingga ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalamnya diwujudkan.
5.
Perbuatan hukum adalah setiap perbuatan atau tindakan subjek hukum yang ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum yang sengaja dikehendaki oleh subjek hukum. Unsur-unsur perbuatan hukum adalah kehendak dan pernyataan kehendak yang sengaja ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum.15 Perbuatan hukum menurut Ahmad Ali dibedakan atas: a. Perbuatan hukum yang bersegi satu (twaazidge rechthandeling), yaitu perbuatan hukum bersegi satu ini akibat hukumnya timbul dengan adanya pernyataan kehendak dari satu pihak saja. Perbuatan ini diatur dalam BW Pasal 35, 132, 280, 875, 10057, 1938 dan 1303. b. Perbuatan hukum yang bersegi dua (tweezijdige rechthandeling), yaitu perbuatan hukum yang bersegi dua ini akibat hukumnya timbul karena pernyataan kehendak dari dua pihak atau lebih. Pihak di sini bisa manusia, dan juga bisa badan hukum.16
15 16
Ibid, hal. 51. Achmad Ali dalam bukunya, Menguak Tabir Hukum, PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta 2002, hal. 245-246.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 9 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
6.
Buku Peserta
Akibat hukum adalah akibat yang diberikan oleh hukum atas suatu tindakan subjek hukum. Achmad Ali membedakan akibat hukum dalam tiga macam, yaitu: a. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu kaedah hukum tertentu. Contoh: 1) Mencapai usia 21 tahun melahirkan keadaan hukum baru, dari tidak cakap untuk bertindak menjadi cakap untuk bertindak. 2) Seorang dewasa yang ditaruh di bawah pengampuan karena gila, melenyapkan kecakapannya untuk bertindak, setelah ia ditaruh di bawah kuratele. b. Akibat hukum berupa lahirnya, berubahnya atau lenyapnya suatu hubungan hukum tertentu. Contoh: Sejak pembeli barang telah membayar lunas hahrga barang dan penjual telah menyerahkan tuntas barangnya, lenyaplah hubungan hukum jual beli antara keduanya tadi. c. Akibat hukum berupa sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi di bidang hukum keperdataan. Contoh: 1) Di bidang hukum pidana dikenal macam-macam sanksi yang diatur oleh Pasal 10 KUH Pidana. 2) Di bidang hukum perdata dikenal sanksi, baik terhadap perbuatan melawan hukum maupun wanprestasi.17
D. Asas Hukum Azas
pembentukan
peraturan
perundang-undangan
harus
didasarkan
pada
perhitungan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut akan dapat berlaku secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis. Pada hakekatnya, hukum mempunyai kepentingan untuk menjamin kehidupan sosial masyarakat karena antara hukum dan masyarakat terdapat suatu interaksi. Hukum mempunyai tujuan antara lain untuk
17
Ibid, hal. 251-252.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 10 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
menjamin keadilan, ketertiban dan kepastian hukum. Untuk itu, berlakunya kaedah hukum dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yakni: 1. Secara yuridis, berlakunya hukum adalah apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang lebih tinggi tingkatnya (teori stufenbouw-nya Kelsen). Dalam hal ini, perlu diperhatikan apa yang dimaksudkan dengan efektivitas hukum yang berbeda dengan hal berlakunya hukum, oleh karena efektivitas merupakan fakta. 2. Secara sosiologis, berlakunya hukum berintikan pada efektivitas hukum. Dalam hal ini, ada dua teori, yaitu teori kekuasaan dan teori pengakuan. 3. Secara filosofis, berlakunya hukum berarti bahwa hukum tersebut sesuai dengan
cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Sementara itu, materi peraturan perundang-undangan termasuk di dalamnya peraturan BPK dibentuk berdasarkan beberapa azas sebagai berikut. 1. Azas tata susunan peraturan perundang-undangan atau lex superior derogat lex inferior adalah bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. 2. Azas lex spesialis derogat lex generalis adalah bahwa peraturan perundangundangan yang lebih khusus mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang lebih umum. 3. Azas lex posterior derogat lex priori adalah bahwa peraturan perundangundangan yang lahir kemudian mengenyampingkan peraturan perundangundangan yang lahir terlebih dahulu jika materi yang diatur peraturan perundangundangan tersebut sama. 4. Azas keadilan adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan bagi setiap warga negara tanpa kecuali. 5. Azas kepastian hukum adalah bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus dapat menjamin kepastian hukum bagi Pemeriksa. Terdapat beberapa pendapat mengenai apa yang disebut dengan asas hukum. Dari pendapat para sarjana hukum, dapat disimpulkan bahwa asas hukum atau prinsip hukum bukanlah peraturan hukum konkret, melainkan merupakan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan yang konkret yang terdapat di dalam dan di belakang setiap sistem hukum yang terwujud dalam peraturan perundang-undangan dan putusan hakim yang merupakan hukum positif
Pusdiklat BPK RI
Hal. 11 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
dan dapat diketemukan dengan mencari sifat-sifat umum dalam peraturan konkret tersebut. Fungsi ilmu hukum adalah mencari asas hukum dalam hukum positif.18 Apabila dalam sistem hukum terjadi pertentangan maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi pertentangan tersebut.19 Asas hukum dibagi menjadi asas hukum umum dan asas hukum khusus, dengan penjelasan sebagai berikut.20 1. Asas Hukum Umum. Asas hukum umum ialah asas hukum yang berhubungan dengan seluruh bidang hukum, seperti asas restitutio in integrum, asas lex posteriori derogat legi priori (asas bahwa apa yang lahirnya tampak benar, untuk sementara harus dianggap demikian sampai diputus lain) oleh pengadilan. P. Scholten mengetengahkan bahwa terdapat lima asas hukum umum, yaitu: asas kepribadian, asas persekutuan, asas kesamaan, asas kewibawaan, dan asas pemisahan antara baik dan buruk. Empat asas yang pertama terdapat dalam setiap sistem
hukum.
Masing-masing
dari
empat
asas
hukum
tersebut
ada
kecenderungan untuk menonjol dan mendesak yang lain. Keempat asas tersebut didukung oleh pikiran bahwa dimungkinkan memisahkan antara baik dan buruk. 2. Asas Hukum Khusus. Asas hukum khusus berfungsi dalam bidang yang lebih sempit seperti dalam bidang hukum perdata, hukum pidana, dan sebagainya, yang sering merupakan penjabaran dari asas hukum umum, seperti asas pacta sunt servanda, asas konsensualisme, asas yang tercantum dalam Pasal 1977 BW, atau asas praduga tak bersalah. Fungsi asas hukum dalam sistem hukum:21 1. Menjaga ketaatan asas atau konsistensi. 2. Menyelesaikan konflik yang terjadi di dalam sistem hukum. 3. Sebagai rekayasa sosial, baik dalam sistem hukum maupun dalam sistem peradilan. Dalam kepustakaan ilmu hukum, asas hukum juga tidak selamanya bersifat universal karena ada beberapa asas hukum yang bersifat spesifik, yaitu sebagai berikut. 18 19 20 21
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 34. Marwan Mas, op.cit., hal. 95. Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 36. Marwan Mas, op.cit., hal. 96.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 12 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
1. Asas the binding force of precedent, yaitu putusan hakim sebelumnya mengikat hakim-hakim lain dalam perkara yang sama. Asas ini khusus dianut dalam sistem hukum Anglo Saxon. 2. Asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali atau asas legalitas (Pasal 1 Ayat (1) KUHP), yaitu tidak ada perbuatan yang dapat dihukum, kecuali sebelumnya ada undang-undang yang mengatur. Asas ini hanya dianut oleh masyarakat yang telah memiliki hukum tertulis. 3. Asas restitutio in integrum, yaitu ketertiban dalam masyarakat haruslah dipulihkan pada keadaan semula apabila terjadi konflik. Asas ini digunakan dalam masyarakat sederhana yang cenderung menghindari konflik, dan budaya konformistis mewarnai berlakunya asas ini. 4. Asas cogatitionis poenam nemo patitur, yaitu tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikirkan dalam batinnya. Asas ini hanya berlaku pada masyarakat yang menerapkan sistem hukum sekuler.
E. Pembidangan Hukum22 Pembidangan hukum dapat ditinjau berdasarkan bentuk, isi atau kepentingan yang diaturnya, kekuatan berlakunya, fungsinya, hubungan yang diaturnya, sumbernya, waktu berlakunya, tempat berlakunya, dan luas berlakunya. 1. Bentuk. Berdasarkan bentuknya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum tertulis. Hukum tertulis dibedakan atas dua jenis, yaitu: 1) Hukum tertulis yang dikodifikasikan. Hukum tertulis yang dikodifikasikan adalah hukum yang disusun secara lengkap, sistematis, teratur dan dibukukan, sehingga tidak memerlukan lagi peraturan pelaksanaan. 2) Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan. Hukum tertulis yang tidak dikodifikasikan adalah hukum yang meskipun tertulis tetapi tidak disusun secara sistematis, lengkap dan masih terpisah-pisah, sehingga seringkali masih memerlukan peraturan pelaksanaan dalam penerapannya.
22
Ibid, hal. 68.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 13 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
b. Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan). Hukum tidak tertulis (hukum kebiasaan) adalah hukum yang hidup dan diyakini oleh warga masyarakat serta dipatuhi yang tidak dibentuk secara prosedur-formal, tetapi lahir dan tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri. 2.
Isi atau Kepentingan yang Diaturnya. Berdasarkan isi atau kepentingan yang diaturnya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum privat. Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan pribadi dan cara mempertahankannya yang dapat dilakukan oleh masingmasing individu. Hukum privat antara lain terdiri dari: 1) Hukum perdata (burgerlijkrecht). Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.23 2) Hukum dagang. Hukum dagang adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan dalam usahanya memperoleh keuntungan.24 Hukum dagang merupakan hukum khusus di samping hukum perdata. Ia tidak berdiri sendiri lepas dari hukum perdata, tetapi melengkapi hukum perdata. Meskipun ketentuan hukum dagang sering menyimpang dari ketentuan hukum perdata namun hukum perdata tetap berlaku sebagai dasar umum bagi hukum dagang.25 3) Hukum perdata internasional. Hukum perdata internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara warga-warga negara suatu negara dengan warga-warga negara dari negara lain dalam hubungan internasional (hubungan antar bangsa).26 b. Hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang mengatur kepentingan publik atau kepentingan umum dan cara mempertahankannya sebagaimana dilakukan oleh aparat negara. Hukum publik antara lain terdiri dari: 1) Hukum pidana. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan
23 24 25 26
C.S.T. Kansil, op.cit. hal. 214. Ibid, hal. 304. Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 132. C.S.T. Kansil, op.cit., hal. 460.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 14 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
umum, perbuatan mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.27 Hukum pidana dapat dibagi sebagai berikut.28 (a) Hukum pidana objektif (jus punale). Hukum pidana objektif adalah semua peraturan yang mengandung keharusan atau larangan, terhadap pelanggaran mana diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan. Hukum ini dapat dibagi ke dalam: (1) Hukum pidana material. Hukum pidana material adalah hukum yang mengatur tentang apa, siapa, dan bagaimana orang dapat dihukum. (2) Hukum pidana formal (hukum acara pidana). Hukum pidana formal adalah hukum yang mengatur cara-cara menghukum seseorang
yang
melanggar
peraturan
pidana
(merupakan
pelaksanaan dari Hukum Pidana Material). (b) Hukum pidana subjektif (jus puniendi). Hukum pidana subjektif adalah hak negara atau alat-alat untuk menghukum berdasarkan hukum pidana objektif. (c) Hukum pidana umum. Hukum pidana umum adalah hukum pidana yang berlaku terhadap setiap penduduk (berlaku terhadap siapapun juga di seluruh Indonesia) kecuali anggota ketentaraan. (d) Hukum pidana khusus. Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku khusus untuk orang-orang tertentu. Contoh: Hukum Pidana Militer dan Hukum Pidana Pajak. 2) Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara. Hukum administrasi negara atau hukum tata usaha negara adalah hukum yang mengatur negara dalam keadaan bergerak. Objek hukum administrasi bukanlah organisasi negara, melainkan hubungan yang timbul dari kegiatan administrasi antara bagian-bagian negara dan antara negara dan masyarakat. Termasuk bagian dari hukum administrasi adalah hukum
27 28
Ibid, hal. 257. Ibid, hal. 264.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 15 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
pajak atau hukum fiskal, yaitu yang mengatur kewajiban untuk membayar pajak. 29 3) Hukum tata negara (constitutional law). Hukum tata negara adalah hukum yang menitikberatkan pada pembagian kekuasaan dalam negara dan pelaksanaan yang tertinggi dalam suatu negara.30 Hukum tata negara melihat negara dalam keadaan statis, tidak bergerak. Diatur dalam konstitusi dan peraturan-peraturan lain, bahkan ada yang merupakan hukum tidak tertulis. Hukum tata negara lazimnya dibagi menjadi hukum tata negara dalam arti luas dan dalam arti sempit. Hukum tata negara dalam arti luas terdiri atas hukum tata negara dan hukum administrasi negara, sedangkan hukum tata negara dalam arti sempit hanya meliputi hukum tata negara yang mempelajari pembagian kekuasaan negara minus hukum administrasi negara. 4) Hukum acara. Hukum acara adalah rangkaian kaedah hukum yang mengatur cara-cara bagaimana mengajukan suatu perkara ke muka suatu badan peradilan serta cara-cara hakim memberikan putusan; dapat juga dikatakan, suatu rangkaian peraturan hukum yang mengatur tentang caracara memelihara dan mempertahankan hukum material.31 5) Hukum internasional publik. Hukum internasional publik adalah hukum yang mengatur hubungan antara negara yang satu dengan negara-negara lain dalam hubungan internasional.32 3.
Kekuatan Berlakunya. Berdasarkan kekuatan berlakunya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum mengatur atau hukum volunteer. Hukum mengatur atau hukum volunteer adalah hukum yang mengatur hubungan antar individu yang baru berlaku apabila yang bersangkutan tidak menggunakan alternatif lain yang dimungkinkan oleh hukum (undang-undang).
29 30
31 32
Sudikno Mertokusumo, op.cit., hal. 131. A.V. Dicey dalam buku Pokok-pokok Hukum Tata Negara karangan Titik Triwulan Tutik, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2005, hal.3. C.S.T. Kansil, op.cit., hal. 329. Ibid, hal. 460.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 16 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
b. Hukum memaksa atau hukum kompulser. Hukum memaksa atau hukum kompulser adalah hukum yang tidak dapat dikesampingkan, baik berdasarkan kepentingan publik maupun berdasarkan perjanjian, dan bersifat mutlak yang harus ditaati. 4.
Fungsinya. Berdasarkan fungsinya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum materiil. Hukum materiil adalah hukum yang mengatur hubungan antara anggota masyarakat yang berlaku umum tentang apa yang dilarang dan apa yang dibolehkan untuk dilakukan. b. Hukum formil. Hukum formil adalah hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil.
5.
Hubungan yang Diaturnya. Berdasarkan hubungan yang diaturnya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum objektif. Hukum objektif adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih yang berlaku umum. Dengan demikian, hukum objektif adalah isi atau substansi peraturannya. b. Hukum subjektif. Hukum subjektif adalah kewenangan atau hak yang diperoleh seseorang berdasarkan apa yang diatur oleh hukum objektif, di satu pihak menimbulkan hak di pihak lain menimbulkan kewajiban.
6.
Sumbernya. Berdasarkan sumbernya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Sumber hukum materi. Sumber hukum materi adalah sumber hukum yang menentukan isi suatu peraturan hukum. b. Sumber hukum formil. Sumber hukum formil adalah sumber hukum yang menentukan bentuk dari suatu peraturan hukum.
7.
Waktu Berlakunya. Berdasarkan waktu berlakunya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Ius constitutum (hukum positif). Ius constitutum adalah hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 17 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
b. Ius constituendum. Ius constituendum adalah hukum yang dicita-citakan untuk diberlakukan atau hukum yang akan ditetapkan kemudian. 8.
Tempat Berlakunya. Berdasarkan tempat berlakunya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum nasional. Hukum nasional adalah hukum yang berlaku dalam batasbatas wilayah suatu negara tertentu. b. Hukum internasional. Hukum internasional adalah hukum yang mengatur bagaimana hubungan antar negara dan berlakunya tidak dibatasi oleh wilayah suatu negara.
9.
Luas Berlakunya. Berdasarkan luas berlakunya, hukum dapat dibedakan menjadi dua jenis sebagai berikut. a. Hukum umum. Hukum umum adalah hukum yang berlaku bagi setiap orang dalam masyarakat tanpa membedakan jenis kelamin, warga negara, agama, suku, dan jabatan seseorang. b. Hukum khusus. Hukum khusus adalah hukum yang berlakunya hanya bagi segolongan orang-orang tertentu saja.
F. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)33 Di dalam memberi putusan, Hakim harus juga mempertimbangkan dan mengingat perasaan keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dengan demikian perlu diadakan penafsiran hukum. Ada beberapa macam penafsiran, antara lain: 1. Penafsiran tata bahasa (gramatikal), yaitu penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang, dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang; yang dianut ialah semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau menurut kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari. 2. Penafsiran sahih (otentik, resmi), yaitu penafsiran yang pasti terhadap arti katakata itu sebagaimana yang diberikan oleh Pembentuk Undang-Undang. 3. Penafsiran historis, yaitu sejarah hukumnya dan sejarah undang-undangnya. 33
Ibid, hal. 66.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 18 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
4. Penafsiran sistematis (dogmatis), yaitu penafsiran yang menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain. 5. Penafsiran nasional, yaitu penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum yang berlaku. 6. Penafsiran teleologis, yaitu penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu. 7. Penafsiran ekstensif, yaitu memberi tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu. 8. Penafsiran analogis, yaitu memberi tafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi ibarat (kias) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut. 9. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal undang-undang.
G. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Saat ini, tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Dalam Pasal 7 Ayat (1) Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut. 1. Undang-Undang Dasar 1945 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 3. Peraturan Pemerintah 4. Peraturan Presiden 5. Peraturan Daerah Selanjutnya, dalam Ayat (2) Pasal tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Peraturan Daerah adalah: Pusdiklat BPK RI
Hal. 19 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
1.
Buku Peserta
Peraturan Daerah Provinsi yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi bersama Gubernur.
2.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bersama Bupati/Walikota.
3.
Peraturan Desa atau peraturan setingkat, yang dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama Kepala Desa atau nama lainnya.
Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto terdapat enam asas peraturan perundang-undangan, yaitu:34 1. Undang-undang tidak berlaku surut. 2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula (lex superior derogat legi inferiori). 3. Undang-undang yang bersifat khusus mengeyampingkan undang-undang yang bersifat umum (lex specialis derogat legi generalis). 4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (lex posterior derogat legi priori). 5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat. 6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat). Selain itu, dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
perundang-undangan
harus
diatur
berdasarkan
bahwa pada
dalam membentuk peraturan asas
pembentukan
peraturan
perundang-undangan yang baik yang meliputi: 1. Kejelasan tujuan; 2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; 3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; 4. Dapat dilaksanakan; 5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; 34
Jazim Hamidi, Budiman N.P.D. Sinaga, Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Sorotan, Tatanusa, Jakarta, 2005, hal. 6.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 20 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
6. Kejelasan rumusan; dan 7. Keterbukaan.
H. Tuntutan Masyarakat atas Hukum Sistem hukum di Indonesia masih berpegang pada aliran positivisme. Dengan hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara legalistik-positivistik, yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita takkan pernah mampu menangkap hakikat kebenaran. Salah satu faktor penyebab sulitnya KKN diberantas di Indonesia adalah karena berbagai putusan hakim yang mengadili berbagai kasus korupsi sudah terasing dari rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakatnya. Fenomena yang mencuat di dalam penegakan hukum kita di Indonesia adalah keterpenjaraan di dalam paradigma legalistik, formalistik, dan prosedural belaka. Efektif atau tidaknya suatu ketentuan hukum, tidak hanya tergantung pada unsur substansi hukumnya belaka, tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence Meir Friedman dalam Achmad Ali,35 juga ditentukan unsur struktur hukum dan kultur hukum. Menurut Achmad Ali, 36 orang-orang Amerika yang berpikiran sekuler saja, kini telah berteriak: “Kembalikan hukum ke akar moralitas, kultural, dan religiusitasnya.” Orang-orang Amerika yang berpikiran “the critical legal studies movement”, mengecam formalisme dan prosedural yang ditonjolkan selama ini dalam penegakan hukum. Akar moralitas, kultural, dan religiusitas itu cocok dengan nilai-nilai intrinsik yang mereka anut. Sepanjang aturan hukum yang ada tidak sesuai dengan nilai-nilai intrinsik warga masyarakat maka ketaatan hukum yang muncul hanyalah sekedar ketaatan yang bersifat compliance (taat hanya karena takut sanksi) dan bukan ketaatan yang bersifat internalization (taat karena benar-benar menganggap aturan hukum itu cocok dengan nilai intrinsik yang dianutnya). Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditetapkan bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara 35 36
Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia, Ghalia Indonesia, hal. 20. Ibid, hal. 27.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 21 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
yang demokratis serta bertanggung jawab. Jika tujuan pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan dikaitkan dengan praktik hukum dewasa ini khususnya di bidang penegakan hukum maka sudah jelas bahwa yang diharapkan dari lembaga pendidikan kedinasan adalah menghasilkan PNS yang memiliki kecerdasan yang dapat menghubungkan antara kepentingan vertikal, yaitu hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa dan hubungan horizontal dengan sesama manusia (interaksi sosial). Untuk mencapai tujuan tersebut maka pendidikan kedinasan perlu didukung dengan kurikulum di bidang hukum. Selain itu, kurikulum tersebut tentunya tidak hanya terfokus pada pengembangan kualitas/kecerdasan intelektual, tetapi juga harus banyak menyentuh kecerdasan emosi dan spiritual. Sebagai akibatnya, iman dan takwa serta akhlak yang mulia tumbuh sehingga berdampak pada moral yang baik. Hal ini juga tidak dapat lepas dari pemahaman budaya hukum, yakni agar setiap unsur yang berada dalam lingkungan masyarakat memiliki integritas moral. Prof. Dr. Baharudin Lopa, S.H.,37 menjelaskan bahwa dalam membicarakan persoalan integritas moral tak dapat dipisahkan dari budaya malu yang dimiliki seseorang. Mengapa? Karena tidak mungkin seseorang tidak merasa malu melakukan perbuatan tidak terpuji, kalau ia sudah bermoral sebagaimana diajarkan oleh agama (Islam), yaitu bahwa malu itu adalah sebagian dari iman (moral). Hanya orang yang bermoral yang malu melakukan perbuatan tidak terpuji tersebut. Mereka tidak melakukan perbuatan itu, bukan karena takut ditangkap atau dihukum, tetapi karena malu kepada sesama, terutama malu dan takut kepada Allah. Orang yang berkepribadian seperti inilah yang mampu menjadi teladan. Sedangkan unsur keteladanan ini sangat mutlak dimiliki oleh kalangan atas agar dicontoh dan diikuti oleh seluruh jajarannya.” Lebih jauh, Baharudin Lopa menjelaskan bahwa “dalam mencegah dan memberantas korupsi, tidak perlu terlalu banyak penyampaian katakata, cukup sikap kita yang terpuji yang dilihat oleh sesama dan jajaran kita untuk dijadikan teladan. Satu tingkah laku yang positif yang diperlihatkan oleh atasan kepada bawahannya jauh lebih efektif daripada 2.000 kata.” Jika pendapat Prof. Baharudin Lopa dikaitkan dengan penegakan hukum maka yang perlu ditanamkan kepada jiwa seluruh masyarakat diawali dengan tindakan dispilin dan kedisiplinan melahirkan kejujuran. Hal ini tentu dimulai dari kehidupan secara 37
Ibid, hal. 73.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 22 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
pribadi sampai soal kedinasan. Korupsi dapat membudaya awalnya karena dalam diri manusia sudah tidak disiplin, sehingga melahirkan ketidakjujuran baik pada kehidupan diri sendiri, keluarga dan pada akhirnya merembet pada pelaksanaan tugas kedinasan. Hal ini sesuai dengan ucapan seorang filsuf yang bernama Taverne,38 yaitu pernah menyatakan, “Berikanlah saya seorang Jaksa yang jujur dan cerdas, berikanlah saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka dengan UU yang paling buruk pun, saya akan menghasilkan putusan yang adil.” Pendapat Taverne tersebut jika dikaitkan dengan penegakan hukum, yaitu adanya rasa keadilan, rasa kepastian hukum dan manfaat hukum, maka guna mewujudkan hal yang dimaksud, yang diperlukan sekarang ini adalah kesadaran hukum yang dimiliki lembaga perwakilan, aparatur penegak hukum dan masyarakat. Menurut Solly Lubis,39 kesadaran hukum pada umumnya ditandai oleh tiga hal, yaitu: 1. Tingkat pengetahuan mengenai seluk beluk hukum yang berlaku, baik hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, tegasnya semua aturan baik yang ditetapkan secara resmi dari pihak pemerintah maupun pranata-pranata sosial yang hidup dalam masyarakat itu. 2. Tingkat penghayatan atau pengertian mengenai peranan-peranan hukum, yakni untuk apa perlunya hukum dalam rangka pemeliharaan tertib sosial, baik di lingkungan kecil maupun besar. 3. Tingkat ketaatan atau kepatuhan terhadap hukum-hukum yang berlaku.
38 39
Ibid, hal. 68. Solly Lubis, Politik dan Hukum di Era Reformasi, Mandar Maju, hal. 32.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 23 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
BAB III ASPEK HUKUM DALAM PERENCANAAN PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan tentang aspek-aspek hukum yang terkait dalam perencanaan pemeriksaan.
Perencanaan pemeriksaan merupakan penjabaran dari strategi badan yang memberikan arah tentang prioritas dan cakupan pemeriksaan dengan merumuskan program kerja sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Perencanaan pemeriksaan dijabarkan dalam bentuk Rencana Kerja Pemeriksaan (RKP) yang disusun setiap tahunnya untuk menentukan objek-objek yang akan diperiksa. Dalam hal penentuan objek-objek yang akan diperiksa sudah terdapat aspek hukum tata negara. Aspek hukum tata negara mengatur negara dalam keadaan statis. Aspek hukum tata negara menetapkan perihal pembagian kekuasaan di antara lembaga-lembaga negara. Penetapan RKP merupakan salah satu penjabaran dari tugas serta wewenang BPK. Dalam hukum ketatanegaraan Indonesia, tugas yang diamanatkan oleh undangundang kepada BPK diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan.
A. UUD 1945 Penetapan tugas BPK dalam UUD 1945 sebelum dilakukan amandemen diatur dalam Pasal 23 Ayat (5) yang berbunyi: “Untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undangundang. Hasil pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal tersebut masuk dalam Bab VIII tentang Hal Keuangan.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 24 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Dalam amandemen UUD 1945 (terakhir sampai dengan amandemen ke-4) perihal BPK diatur dalam bab tersendiri, yaitu dalam Bab VIIIA yang di dalamnya terdiri atas tiga pasal, terpisah dari Bab VIII tentang Hal Keuangan. Pasal 23E berbunyi sebagai berikut. “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.” Isi Pasal 23E tersebut menjadi titik pijak awal untuk pembahasan aspek hukum tata negara dalam perencanaan pemeriksaan, dan pembahasan tugas serta wewenang BPK pada umumnya. Pasal 23E UUD 1945 menjadikan BPK sebagai sebuah lembaga yang memiliki tugas dalam melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Pasal tersebut tidak menjelaskan tentang keuangan negara. UUD 1945 mendelegasikan pada UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara untuk menjelaskan pengertian keuangan negara. Kata-kata “bebas dan mandiri” dalam Pasal 23E menunjukkan bahwa kedudukan BPK bukan di bawah lembaga-lembaga negara lain, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
B. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Penjabaran tugas BPK dalam UU No. 17 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) yang berbunyi: “Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.” Serta Pasal 31 Ayat (1) yang berbunyi: “Gubernur/Bupati/Walikota
menyampaikan
rancangan
peraturan
daerah
tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.” Dalam Penjelasan Umum UU No. 17 Tahun 2003 terdapat asas pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri, selain asas-asas lainnya.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 25 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
C. UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara Pasal 60 Ayat (1) dan 61 Ayat (1) mengatur bahwa setiap kerugian negara dan daerah wajib dilaporkan oleh atasan langsung dan diberitahukan kepada BPK. Pasal 62 mengatur bahwa pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK.
D. UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara UU No. 15 tahun 2004 seluruhnya berisi pengaturan perihal BPK sebagai lembaga yang memiliki kekuasaan memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara melaksanakan tugas dan wewenangnya.
E. UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan UU No. 15 Tahun 2006 mengatur tentang struktur kelembagaan dari BPK. Pasal 6 Ayat (1) menetapkan tentang ruang lingkup tugas BPK yang berbunyi sebagai berikut. “BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.” Berdasarkan tugas yang diberikan oleh undang-undang dan sebagaimana tertuang dalam RKP, BPK setiap tahunnya menetapkan objek pemeriksaan berikut tujuan pemeriksaannya. Penentuan objek-objek yang akan diperiksa oleh BPK harus berpedoman pada lingkup tugas dan kewenangan BPK sesuai dengan kekuasaan yang
dimiliki
berdasarkan
kedudukan
kelembagaan
BPK
dalam
struktur
ketatanegaraan Indonesia.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 26 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
BAB IV ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PELAKSANAAN PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan serta menerapkan aspek hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan.
A.
Hubungan Aspek Hukum dan Standar Pemeriksaan Untuk melihat aspek-aspek hukum dalam pelaksanaan pemeriksaan maka perlu diketahui terlebih dahulu keterkaitannya dengan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN). Hal-hal yang diatur dalam SPKN yang terkait dengan aspek hukum adalah sebagai berikut. No.
Standar
Materi
1.
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Keuangan
Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse).
2.
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan Kinerja
a. Pemahaman Program yang Diperiksa. Program pemerintah biasanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan terikat pada peraturan perundang-undangan yang lebih spesifik. Oleh karena itu, pemahaman terhadap landasan hukum yang mendasari suatu program menjadi hal yang penting dalam memahami program itu. Pemahaman tersebut merupakan langkah penting dalam mengidentifikasikan peraturan perundang-undangan yang penting untuk mencapai tujuan pemeriksaan. b. Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse). c. Kriteria. Kriteria adalah standar ukuran harapan mengenai apa yang
Pusdiklat BPK RI
Keterangan
Sebagai contoh, peraturan perundang-undangan biasanya menetapkan apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakan, bagaimana cara mengerjakan, bagaimana mencapai tujuan, kelompok masyarakat yang memperoleh manfaat, dan berapa banyak biaya yang dapat dikeluarkan serta untuk apa saja biaya tersebut dikeluarkan. Rencana pemeriksaan harus menyatakan kriteria yang akan digunakan. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum Hal. 27 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
No.
Buku Peserta
Standar
Materi
Keterangan
seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Kinerja dibandingkan atau dievaluasi dengan kriteria ini. Kriteria, sebagai salah satu unsur temuan pemeriksaan, memberikan suatu hubungan dalam memahami hasil pemeriksaan. d. Bukti. Bukti dapat digolongkan menjadi: 1) bukti fisik; 2) bukti dokumenter; 3) bukti kesaksian (testimonial);
atau pada saat dimulainya pemeriksaan. Berikut ini adalah beberapa contoh kriteria: a. Maksud dan tujuan yang ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundangundangan atau yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa. b. Kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa.
4) bukti analisis. 3.
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Merancang Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan baik untuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu meliputi: 1. Merancang pemeriksaan untuk mendeteksi terjadinya penyimpangan dari ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan
(fraud),
serta
ketidakpatutan (abuse). 2. Pemahaman terhadap objek yang akan diperiksa: a. Peraturan perundang-undangan. b. Objek pemeriksaan (Lembaga Negara, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMD). 3. Hukum sebagai kriteria pemeriksaan. 4. Pembuktian. 5. Pemahaman atas kontrak dan perikatan.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 28 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
B.
Buku Peserta
Aspek Hukum dalam Perancangan Pemeriksaan untuk Mendeteksi Terjadinya Penyimpangan dari Ketentuan Peraturan Perundang-undangan, Kecurangan (Fraud), Serta Ketidakpatutan (Abuse) Merancang suatu pemeriksaan berarti pula kita mulai mereka-reka suatu skema mengenai langkah-langkah pemeriksaan yang akan dilaksanakan. Langkah-langkah yang harus kita ketahui untuk dapat merancang atau mendeteksi terjadinya penyimpangan
terhadap
peraturan
perundang-undangan,
kecurangan
atau
ketidakpatutan adalah mengerti batasan tindakan melawan/melanggar hukum dimaksud. 1. Onwetmatigeheid atau Perbuatan Melawan Peraturan Perundang-undangan. Contoh: Pemalsuan (Pasal 263 KUH Pidana). Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsukan, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Unsur-unsur delik dalam hukum pidana berkenaan dengan pemalsuan adalah: a. Barang siapa b. Membuat surat palsu atau memalsukan surat c. Dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal d. Dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu 2. Onrechtmatige atau Perbuatan Melawan Hukum Selain Undang-Undang. Contoh: Ketidakpatutan. Kepala Biro diberikan mobil dinas Ferrari. Secara singkat, merancang langkah-langkah pemeriksaan setidaknya meliputi:
Pusdiklat BPK RI
Hal. 29 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
a.
Buku Peserta
Menggambarkan tindakan apa yang harus dilakukan, misalnya: Cari!, Dapatkan!, Hitung!;
b.
Dokumen/data apa saja yang harus diperoleh, misalnya Data Pembelian Barang pada bulan Januari sampai dengan Juni 2007;
c.
Pada siapa data tersebut diperoleh, misalnya Kepala Bagian Pengadaan;
d.
Apa tujuan langkah tersebut dilakukan, misalnya supaya kita memperoleh data tentang nilai dan jumlah pembelian;
e.
Dengan tindakan atau data apa kita harus melakukan cross check, misalnya kemudian bandingkan data pembelian dengan data kontrak dan pemasukan barang.
Dalam kaitannya dengan pemeriksaan investigatif, aspek hukum pidana harus menjadi perhatian utama dalam penyusunan program pemeriksaan investigatif. Dasar pemeriksaan investigatif ditetapkan dalam Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang berbunyi: “Pemeriksa dapat melaksanakan pemeriksaan investigatif guna mengungkap adanya indikasi kerugian negara/daerah dan/atau unsur pidana.” Suatu pemeriksaan investigatif dilakukan berdasarkan adanya informasi-informasi baik yang berasal dari pihak lain atau pun dari temuan-temuan pemeriksaan yang terdahulu. Prioritas perhatian terhadap aspek hukum pidana memang lebih besar pada penyusunan program pemeriksaan investigatif, namun bukan berarti dalam penyusunan program pemeriksaan yang lain, aspek pidana lantas dikesampingkan. Aspek hukum pidana tetap perlu diperhatikan dalam perencanaan pemeriksaan yang lain, yaitu untuk mengantisipasi adanya unsur pidana dalam pelaksanaan kegiatan dari entitas yang diperiksa. Aspek hukum pidana menjadi kerangka inti dari langkah-langkah pemeriksaan investigatif yang akan mengarahkan pemeriksaan pada bukti-bukti pemeriksaan yang harus ada untuk mendukung temuan. Arah langkah-langkah pemeriksaan investigatif berpedoman pada unsur-unsur tindak pidana yang mungkin terkait. Pemeriksaan investigatif diusahakan untuk dapat mengumpulkan bukti-bukti yang memperkuat adanya indikasi tindak pidana. Pengumpulan bukti-bukti tersebut diarahkan agar
Pusdiklat BPK RI
Hal. 30 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
dapat ditarik suatu simpulan bahwa semua unsur-unsur dalam suatu tindak pidana telah terpenuhi. Pasal 2 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (UU TPK) berbunyi sebagai berikut. “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 2 Ayat (1) UU TPK terdiri dari: a. Setiap orang/pelaku b. Secara melawan hukum c. Memperkaya diri sendiri/orang lain d. Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara Pasal 3 UU TPK berbunyi sebagai berikut. “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Unsur-unsur yang ada dalam Pasal 3 UU TPK terdiri dari: a.
Setiap orang/pelaku
b.
Menguntungkan diri sendiri/orang lain
Pusdiklat BPK RI
Hal. 31 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
c.
Buku Peserta
Menyalahgunakan wewenang, kesempatan/sarana yang ada padanya karena jabatan/kedudukan
d.
Dapat merugikan keuangan/perekonomian negara
Dalam perencanaan pemeriksaan investigatif, pemahaman atas unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana terdapat pada Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU TPK mutlak diperlukan. Berdasarkan unsur-unsur dalam pasal-pasal tersebut, pemeriksa merancang langkah-langkah pemeriksaan yang diarahkan agar pada akhir pemeriksaan pemeriksa mampu menggambarkan modus operandi dari kasus yang diperiksanya. Dalam praktik di lapangan seringkali terjadi orang yang melakukan perbuatan melawan hukum telah mengganti kerugian yang terjadi atau berjanji akan mengembalikan kerugian yang telah terjadi. Namun berdasarkan Pasal 4 UU TPK dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3. Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanya merupakan salah satu faktor yang meringankan.
C. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Pemeriksaan dan Pemahaman Terhadap Objek yang Akan Diperiksa 1. Pemahaman Objek Pemeriksaan Objek pemeriksaan BPK terdiri dari: a.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN). BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Bentuk-bentuk BUMN yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN meliputi: 1) Perusahaan Perseroan. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk Perseroan Terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik
Pusdiklat BPK RI
Hal. 32 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan. Termasuk di dalamnya adalah Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, yaitu Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 2) Perusahaan Umum. Perusahaan umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Mengenai Persero dinyatakan sebagai berikut. a) Pendirian Persero diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. b) Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. c) Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah: i.
Menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat;
ii.
Mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan.
d) Organ Persero meliputi RUPS, Direksi, dan Komisaris. e) Kewenangan RUPS meliputi: i.
Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.
ii.
Menteri dapat memberikan kuasa dengan hak substitusi kepada perorangan atau badan hukum untuk mewakilinya dalam RUPS.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 33 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
iii.
Buku Peserta
Pihak yang menerima kuasa sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2), wajib terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri untuk mengambil keputusan dalam RUPS mengenai perubahan jumlah modal, perubahan anggaran dasar, rencana penggunaan laba, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, pemisahan, serta pembubaran Persero, investasi dan pembiayaan jangka panjang, kerja sama Persero, pembentukan anak perusahaan atau penyertaan dan pengalihan aktiva.
f) Pengangkatan dan pemberhentian Direksi dilakukan oleh RUPS. Mengenai Persero Terbuka berlaku ketentuan undang-undang ini dan UU No. 1 Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundangundangan di bidang pasar modal. Mengenai Perum, ketentuannya adalah: a) Pendirian Perum diusulkan oleh Menteri kepada Presiden disertai dengan dasar pertimbangan setelah dikaji bersama dengan Menteri Teknis dan Menteri Keuangan. Perum memperoleh status badan hukum
sejak
diundangkannya
Peraturan
Pemerintah
tentang
pendiriannya. b) Maksud dan tujuan pendirian Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. c) Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam poin 2), dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain. d) Organ Perum adalah Menteri, Direksi, dan Dewan Pengawas. e) Kewenangan Menteri meliputi: i. Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 34 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
ii. Kebijakan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud dalam poin a) diusulkan oleh Direksi kepada Menteri setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas. iii. Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri baik langsung
maupun
tidak
langsung
dengan
itikad
buruk
memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi, terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perum. iv. Terkait dengan penggunaan laba setiap tahun buku, Perum wajib menyisihkan jumlah tertentu dari laba bersih untuk cadangan. Penyisihan laba bersih dilakukan sampai cadangan mencapai sekurang-kurangnya 20% (dua puluh persen) dari modal Perum. Cadangan yang belum mencapai jumlah tersebut hanya dapat dipergunakan untuk menutup kerugian yang tidak dapat dipenuhi oleh cadangan lain. Penggunaan laba bersih Perum termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan ditetapkan oleh Menteri. v. Pengangkatan dan pemberhentian Direksi Perum ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan mekanisme dan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Pemerintah Daerah. Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selanjutnya dalam Pemerintahan Daerah terdapat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang Pusdiklat BPK RI
Hal. 35 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
selanjutnya disebut DPRD, adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Beberapa pengertian yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah adalah: 1) Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan. 2) Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3) Desentralisasi
adalah
penyerahan
wewenang
pemerintahan
oleh
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4) Dekonsentrasi
adalah
pelimpahan
wewenang
pemerintahan
oleh
Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 5) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. 6) Peraturan daerah selanjutnya disebut Perda adalah peraturan daerah provinsi dan/atau peraturan daerah kabupaten/kota. Sedangkan Peraturan kepala
daerah
adalah
peraturan
Gubernur
dan/atau
peraturan
Bupati/Walikota. 7) Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan desentralisasi, dengan mempertimbang-kan potensi,
Pusdiklat BPK RI
Hal. 36 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 8) Anggaran pendapatan dan belanja daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Sedangkan Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
Belanja daerah adalah
semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. c.
Kementerian dan Departemen. Beberapa hal terkait dengan kementerian dan departemen adalah sebagai berikut. 1) Kementerian Koordinator adalah unsur pelaksana Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri Koordinator yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang terdiri dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; dan Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat. 2) Departemen adalah unsur pelaksana Pemerintah yang dipimpin oleh Menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden untuk
menyelenggarakan
sebagian
tugas
pemerintahan
dan
menyelenggarakan fungsi: a) Perumusan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidangnya; b) Pelaksanaan urusan pemerintahan sesuai dengan bidang tugasnya; c) Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabnya; d) Pengawasan atas pelaksanaan tugasnya; e) Penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsinya kepada Presiden. d. Lembaga Negara dan Lembaga Pemerintah. Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) dalam Pemerintahan Republik Indonesia adalah Pusdiklat BPK RI
Hal. 37 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
lembaga Pemerintah Pusat yang dibentuk untuk melaksanakan tugas pemerintahan tertentu dari Presiden. Kepala LPND berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Contoh: 1) Badan Intelijen Negara (BIN) 2) Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Lembaga Negara adalah lembaga-lembaga Negara yang dibentuk dan diatur oleh Undang-Undang Dasar 1945 untuk pelaksanaan fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif, auditif, dan lain-lain. Contoh: 1) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); 2) Dewan Perwakilan Daerah (DPD); 3) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). e.
Bank Indonesia. Bank Indonesia (BI) adalah Bank Sentral Republik Indonesia. BI sebagai lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini. Tujuan BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. BI mempunyai tugas: 1) Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, meliputi: a) Menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan laju inflasi yang ditetapkannya; b) Melakukan pengendalian moneter dengan memperhatikan cara-cara yang termasuk tapi tidak terbatas pada: i. operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing; ii. penetapan tingkat diskonto; iii. penetapan cadangan wajib minimum; iv. pengaturan kredit atau pembayaran. 2) Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, meliputi:
Pusdiklat BPK RI
Hal. 38 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
(a) melaksanakan dan memberikan persetujuan dan izin atas penyelenggaraan jasa sistem pembayaran; (b) mewajibkan penyelenggaraan jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya; (c) menetapkan penggunaan alat pembayaran. 3) Mengatur dan mengawasi bank. BI menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam melaksanakan tugasnya, BI dipimpin oleh Dewan Gubernur. Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur, seorang Deputi Gubernur Senior dan sekurang-kurangnya empat orang atau sebanyak-banyaknya tujuh orang Deputi Gubernur. Dewan Gubernur dipimpin oleh Gubernur dengan Deputi Gubernur Senior sebagai wakil. f.
Badan Layanan Umum (BLU) BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah pusat yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Kriteria BLU: 1) Bukan kekayaan negara/daerah yang dipisahkan, sebagai satuan kerja instansi pemerintah; 2) Dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktifitas ala korporasi; 3) Berperan sebagai agen dari menteri/pimpinan lembaga induknya: a) Kedua belah pihak menandatangani kontrak kinerja; b) Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab atas kebijakan layanan yang hendak dihasilkan;
Pusdiklat BPK RI
Hal. 39 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
c) BLU bertanggung untuk mrnyajikan layanan yang diminta. Di lingkungan pemerintah di Indonesia, terdapat banyak satuan kegiatan yang berpotensi untuk dikelola secara lebih efisien dan efektif melalui pola BLU. Ada yang mendapatkan imbalan dari masyarakat dalam proporsi yang signifikan terkait dengan pelayanan yang diberikan, dan ada pula yang bergantung sebagian besar pada dana APBN/APBD. Satuan kerja yang memperoleh pendapatan dari layanannya dalam porsi signifikan, dapat diberikan keleluasaan dalam mengelola sumber daya untuk meningkatkan pelayanan yang diberikan. Pola pengelolaan keuangan BLU adalah memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Penyelenggaraan BLU berdasarkan praktik bisnis yang sehat, yaitu fungsi organisasi berdasarkan kaedah-kaedah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu dan berkesinambungan. Institusi yang dapat menerapkan BLU: 1) Instansi yang memberikan layanan kepada masyarakat; 2) Memenuhi persyaratan substantif, teknis dan administratif. a) Persyaratan substantif. Instansi pemerintah yang memberikan layanan umum, berupa: i. Penyedia barang dan/atau jasa. Pelayanan bidang kesehatan, penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengujian. ii. Pengelolaan dana khusus. Pengelola dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah, pengelola penerusan pinjaman dan pengelola tabungan pemerintah. iii. Pengelola kawasan atau wilayah secara otonom. Otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. b) Persyaratan teknis:
Pusdiklat BPK RI
Hal. 40 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
i.
Buku Peserta
Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola
dan
sebagaimana
ditingkatkan
pencapaiannya
direkomendasikan
oleh
melalui
BLU
menteri/pimpinan
lembaga/kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah sesuai dengan kewenangannya. ii.
Kinerja keuangan satker yang bersangkutan sehat sebagaimana ditunjukkan dalam dokumen usulan penetapan BLU.
c) Persyaratan keuangan/administratif: i.
Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja;
ii.
Rencana strategis bisnis;
iii.
Laporan keuangan pokok;
iv.
Standar Pelayanan Minimum;
v.
Laporan pemeriksaan terakhir atau pernyataan bersedia untuk dipemeriksaan.
Pendapatan yang diperoleh BLU merupakan pendapatan negara/daerah. Pendapatan tersebut dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU yang bersangkutan. Laporan unit-unit BLU dikonsolidasikan dan menjadi lampiran laporan keuangan
BLU.
Laporan
keuangan
tersebut
disampaikan
kepada
menteri/pimpinan lembaga/kepala daerah paling lambat satu bulan setelah periode laporan berakhir. Laporan keuangan BLU dikonsolidasikan dengan laporan keuangan kementrian/lembaga/pemda dan dilakukan sesuai Standar Akuntansi Pemerintahan. Rencana Kerja dan Anggaran (RKA), laporan keuangan dan laporan kinerja BLU disusun sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari RKA, laporan keuangan dan laporan kinerja kementerian yang bersangkutan (dikonsolidasikan pada instansi induk). Laporan keuangan sebagai laporan pertanggungjawaban BLU diperiksa oleh pemeriksa eksternal.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 41 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
g.
Buku Peserta
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh daerah melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan daerah yang dipisahkan. Sedangkan kekayaan daerah yang dipisahkan adalah sebagian dari kekayaan daerah yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang dipisahkan untuk dijadikan penyertaan modal daerah pada BUMD. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, tidak menyebutkannya secara spesifik keberadaan BUMD, namun Pasal 173 menyatakan bahwa: 1) Pemerintah daerah dapat melakukan penyertaan modal pada suatu Badan Usaha Milik Pemerintah dan/atau milik swasta. 2) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambah, dikurangi, dijual kepada pihak lain, dan atau dapat dialihkan kepada BUMD. 3) Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 177 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah dapat memiliki BUMD yang
pembentukan,
penggabungan,
pelepasan
kepemilikan,
dan/atau
pembubarannya ditetapkan dengan peraturan daerah yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa alasan untuk mendirikan suatu BUMD, yaitu antara lain: 1) Alasan ekonomis, yang biasanya dijadikan acuan pertama mendirikan BUMD, adalah mengoptimalisasikan potensi ekonomi di daerah dalam upaya menggali dan mengembangkan sumber daya daerah, memberikan pelayanan masyarakat atau public services, dan mencari keuntungan atau profit motive. 2) Alasan strategis mendirikan suatu BUMD adalah untuk mendirikan lembaga usaha yang melayani kepentingan publik, namun masyarakat dan swasta tidak mampu atau belum mampu melakukannya, baik karena
Pusdiklat BPK RI
Hal. 42 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
investasi yang sangat besar, risiko usaha yang sangat besar, maupun karena eksternalitasnya sangat besar dan luas. 3) Alasan politis adalah untuk mempertahankan potensi ekonomi yang mempunyai daya dukung politis bagi pemerintah daerah. 4) Alasan anggaran adalah alasan bahwa pemda perlu mempunyai sumber pendapatan lain di luar pajak dan alokasi dana dari Pemerintah Pusat untuk mendukung anggaran belanja dan pembangunan daerah. Bentuk hukum BUMD ada dua, yaitu: 1) Perusahaan Daerah (PD) a) Mengutamakan penyelenggaraan kemanfaatan umum (public service) di samping mencari keuntungan sebagai sumber pendapatan asli daerah, dengan tetap berpegang teguh pada: i. Syarat-syarat efisiensi dan efektivitas; ii. Prinsip-prinsip ekonomi perusahaan; iii. Pelayanan yang baik kepada masyarakat. b) Berstatus badan hukum yang dibentuk dengan peraturan daerah yang berlaku dan mendapat pengesahan dari pejabat yang berwenang. c) Mempunyai nama dan kekayaan sendiri serta kebebasan bergerak seperti
perusahaan
perjanjian
swasta
kontrak-kontrak
untuk dan
melakukan/pengadaan hubungan-hubungan
suatu dengan
perusahaan lainnya. d) Dapat dituntut dan menuntut dan hubungan hukumnya berlaku hukum perdata. e) Modal pangkal seluruhnya berasal dari APBD sebagai kekayaan daerah yang terpisahkan dan tidak terdiri dari saham-saham serta dapat memperoleh dana dari kredit-kredit dalam dan luar negeri atau dari obligasi (dari masyarakat). f) Secara finansial mampu berdiri sendiri, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 43 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
g) Dipimpin oleh suatu direksi dan tidak dibenarkan merangkap jabatan lain. h) Pegawai perusahaan diatur tersendiri di luar ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pegawai negeri atau pegawai swasta. i) Organisasi, tugas, wewenang, tanggung jawab, pertanggungjawaban dan cara mempertanggungjawabkannya serta pengawasan dan sebagainya diatur secara khusus yang pokok-pokoknya akan tercerminkan dalam undang-undang yang mengatur pembentukkannya serta peraturan pemerintah tentang pelaksanaannya. 2) Perusahaan Perseroan Daerah (Perseroda) a) Maksud dan tujuan usahanya adalah untuk memupuk keuntungan dalam arti baik pelayanan dan pembinaan organisasinya harus secara efektif dan efisien dengan orientasi bisnis. b) Status hukumnya sebagai badan hukum perdata yang berbentuk perseroan terbatas. c) Modal pangkal berasal dari APBD yang merupakan penyertaan modal pemerintah daerah dan merupakan kekayaan daerah yang dipisahkan ditetapkan dengan peraturan daerah. d) Membuka kemungkinan adanya kerja sama dengan swasta nasional maupun asing, adanya pembelian/penjualan saham-saham obligasi. e) Modal sebagaimana dimaksud pada poin (c) di atas adalah penyertaan modal daerah dalam Perseroda, ditetapkan dengan peraturan daerah dan berlaku setelah mendapat pengesahan pejabat yang berwenang. f) Modal Perseroda dibagi atas saham-saham prioritas dan biasa atau sejenis saham lainnya. g) Perseroda dipimpin oleh suatu Direksi. h) Pegawainya berstatus sebagai pegawai perusahaan swasta yang diangkat
dan
diberhentikan
oleh
direksi
setelah
mendengar
pertimbangan dari dewan komisaris.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 44 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
i) Peranan pemerintah daerah adalah sebagai pemegang saham tergantung besar kecilnya jumlah saham yang dimiliki atau berdasarkan
perjanjian
tersendiri
antara
mereka
dengan
pemilik/pemegang saham lainnya. h. Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara antara lain diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-66/PB/2005. 2. Kriteria Pemeriksaan Kriteria pemeriksaan memberikan informasi yang dapat digunakan oleh pengguna laporan hasil pemeriksaan untuk menentukan keadaan seperti apa yang diharapkan. Kriteria akan mudah dipahami apabila dinyatakan secara
wajar,
eksplisit, dan lengkap, dan sumber dari kriteria dinyatakan dalam laporan hasil pemeriksaan. Kriteria adalah standar ukuran harapan mengenai apa yang seharusnya terjadi, praktik terbaik, dan benchmarks. Dalam pemeriksaan kinerja maka kinerja entitas dibandingkan atau dievaluasi dengan kriteria ini. Kriteria, sebagai salah satu unsur temuan pemeriksaan, memberikan suatu hubungan dalam memahami hasil pemeriksaan. Rencana pemeriksaan harus menyatakan kriteria yang akan digunakan. Dalam menentukan kriteria, pemeriksa harus menggunakan kriteria yang masuk akal, dapat dicapai, dan relevan dengan tujuan pemeriksaan. Pemeriksa harus mengkomunikasikan kriteria tersebut kepada entitas yang diperiksa sebelum atau pada saat dimulainya pemeriksaan. Hukum sebagai kriteria pemeriksaan berarti bahwa hukum (dalam pengertian recht maupun wet) dapat menjadi tolok ukur untuk menilai apakah kondisi tersebut sesuai dengan ketentuan atau tidak. Hukum sebagai kriteria pemeriksaan lebih tepat digunakan dalam laporan kepatuhan. Ketentuan hukum yang dijadikan kriteria
seharusnya
menggambarkan
dan
berkorelasi
langsung
dengan
permasalahan yang dituangkan dalam kondisi. Sangat mungkin bahwa dalam semua jenis pemeriksaan di dalamnya akan berkaitan dengan semua aspek hukum, baik perdata, pidana, dan tata usaha Pusdiklat BPK RI
Hal. 45 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
negara, bahkan mungkin aspek hukum perdata internasional. Sedangkan aspek hukum tata negara sangat kecil kemungkinannya terkait dalam pelaksanaan pemeriksaan. Kecilnya kemungkinan atau bahkan tidak terkaitnya aspek hukum tata negara dalam pelaksanaan pemeriksaan karena secara ketatanegaraan undangundang telah membatasi kekuasaan BPK hanya pada masalah pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara saja. Begitu pula dengan aspek hukum acara. Aspek hukum acara nantinya baru akan terkait dalam tahap tindak lanjut hasil pemeriksaan. Dengan memahami aspek hukum yang terkait dalam program kegiatan entitas yang diperiksa dapat membantu pemeriksa menetapkan semua kriteria yang diperlukan untuk kemudian menjadi dasar bagi penetapan langkah-langkah pemeriksaannya. Aspek hukum Tata Usaha Negara (TUN) terkait dalam semua jenis pemeriksaan atas entitas pengelola APBN dan APBD. Tetapi dalam pemeriksaan atas entitas BUMN/BUMD aspek hukum TUN dapat juga terkait apabila dalam suatu kegiatan BUMN/BUMD tersebut melibatkan/terkait dengan tindakan tata usaha negara/instansi pemerintah di dalamnya. Identifikasi atas aspek hukum TUN dalam kegiatan entitas pengelola APBN/APBD
ditindaklanjuti
dengan
inventarisasi
kriteria-kriteria
yang
diperlukan. Sebagai contoh: a. Untuk pemeriksaan laporan keuangan, kriteria yang diperlukan antara lain: 1) UU yang menetapkan APBN tahun anggaran yang diperiksa. 2) PP No. 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan. 3) Keppres 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN. 4) Perda yang menetapkan APBD tahun anggaran yang diperiksa. 5) Permendagri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. b. Untuk pemeriksaan pengadaan barang/jasa, kriteria yang diperlukan antara lain: 1) Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Perpres No. 85 Tahun 2006. Pusdiklat BPK RI
Hal. 46 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
2) Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. 3) Perda tentang tata cara pengadaan barang/jasa daerah yang diperiksa. c. Untuk pemeriksaan pendapatan, kriteria yang diperlukan antara lain: 1) UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terahir kali dengan UU No. 16 Tahun 2000. 2) UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. 3) PP No. 1 Tahun 2004 tentang Tata Cara Penyampaian Rencana dan Laporan Realisasi PNBP. 4) PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. 5) PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah. 6) Perda-perda yang mengatur pengelolaan pajak dan retribusi daerah yang diperiksa. d. Untuk pemeriksaan pengelolaan aset, kriteria yang diperlukan antara lain: 1) PP No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. 2) Perda yang mengatur perihal pengelolaan barang daerah yang diperiksa. Dalam penyusunan program pemeriksaan entitas BUMN/BUMD bisa terkait aspek hukum TUN apabila dalam suatu kegiatan entitas dimaksud dibiayai langsung dari dana APBN/APBD, atau apabila dalam suatu kegiatannya melibatkan tindakan tata usaha negara/instansi pemerintah. Sebagai contoh apabila suatu kegiatan pengadaan barang/jasa di suatu BUMN/BUMD dibiayai baik sebagian maupun seluruhnya dengan dana yang berasal dari APBN/APBD maka kegiatan tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Keppres No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir kali dengan Perpres No. 85 Tahun 2006 maupun Perpres No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 47 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Dalam menentukan kriteria harus pula dipertimbangkan apa yang ditetapkan dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang antara lain menyebutkan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut. a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. f. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah provinsi bersama dengan gubernur; g. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota h. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat dibuat oleh badan perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama lainnya. Untuk memahami lebih lanjut tentang pengertian-pengertian yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan maka dipergunakan teori penafsiran peraturan perundang-undangan dan konstruksi hukum yang meliputi penafsiran gramatikal, historis,
sistematik,
sosiologis/teleologis,
otentik,
interdisipliner,
dan
multidisipliner.40 Selain ketentuan dan peraturan yang telah dituangkan dalam UU No. 10 Tahun 2004, terdapat peraturan-peraturan yang sifatnya intern atau bersifat teknis sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sebagai contoh, Juklak tentang Pembukuan, dan lainlain. 3. Pembuktian Jenis bukti berdasarkan SPKN meliputi: a. Bukti fisik diperoleh dari inspeksi langsung atau pengamatan yang dilakukan oleh pemeriksa terhadap orang, aktiva, atau kejadian. Bukti tersebut dapat 40
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hal. 912.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 48 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
didokumentasikan dalam bentuk memorandum, foto, gambar, bagan, peta, atau contoh fisik. b. Bukti dokumenter terdiri atas informasi yang diciptakan seperti surat, kontrak, catatan akuntansi, faktur, dan informasi manajemen atas kinerja. c. Bukti kesaksian diperoleh melalui permintaan keterangan, wawancara, atau kuesioner. d. Bukti analisis meliputi perhitungan, pembandingan, pemisahan informasi menjadi unsur-unsur, dan argumentasi yang masuk akal. Bukti pemeriksaan tersebut harus cukup, kompeten, dan relevan: a. Bukti harus cukup untuk mendukung temuan pemeriksaan. Dalam menentukan cukup tidaknya suatu bukti, pemeriksa harus yakin bahwa bukti yang cukup tersebut akan bisa meyakinkan seseorang bahwa temuan pemeriksaan adalah valid. Apabila memungkinkan, metode statistik bisa digunakan untuk menentukan cukup tidaknya bukti pemeriksaan. b. Bukti disebut kompeten apabila bukti tersebut valid, dapat diandalkan, dan konsisten dengan fakta. Dalam menilai kompetensi suatu bukti, pemeriksa harus mempertimbangkan beberapa faktor seperti apakah bukti telah akurat, meyakinkan, tepat waktu dan asli. c. Bukti disebut relevan, apabila bukti tersebut mempunyai hubungan yang logis dan arti penting bagi temuan pemeriksaan yang bersangkutan. Selain itu terdapat bukti yang lebih kuat dalam audit yaitu: a. Bukti yang diperoleh dari pihak ketiga lebih kompeten dari pada bukti yang diperoleh dari entitas yang diperiksa. b. Bukti yang dikembangkan dari sistem pengendalian intern yang efektif, lebih kompeten dibandingkan dengan yang diperoleh dari pengendalian yang lemah atau yang tidak ada pengendaliannya. c. Bukti yang diperoleh melalui pemeriksaan fisik, pengamatan, perhitungan, dan inspeksi secara langsung oleh pemeriksa lebih kompeten dibandingkan dengan bukti yang diperoleh secara tidak langsung.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 49 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
d. Dokumen asli memberikan bukti yang lebih kompeten dibandingkan dengan fotokopi atau tembusannya. e. Bukti kesaksian yang diperoleh dalam kondisi yang memungkinkan orang berbicara dengan bebas lebih kompeten dibandingkan dengan bukti kesaksian yang diperoleh dalam kondisi yang dapat terjadi kompromi. Misalnya, kondisi di mana terdapat kemungkinan orang diancam (diintimidasi). Bukti kesaksian yang diperoleh dari individu yang tidak memihak atau mempunyai pengetahuan yang lengkap mengenai bidang tersebut lebih kompeten dibandingkan dengan bukti kesaksian yang diperoleh dari individu yang memihak atau yang hanya mempunyai pengetahuan sebagian saja mengenai bidang tersebut. Pembuktian dari aspek hukum: Membuktikan diartikan meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian, pembuktian hanyalah diperlukan dalam persengketaan di muka Hakim atau Pengadilan. Alat bukti menurut hukum antara lain: a. Menurut Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, alat-alat bukti dalam perkara perdata terdiri atas: 1) Bukti tulisan; 2) Bukti dengan saksi-saksi 3) Persangkaan-persangkaan; 4) Pengakuan; dan 5) Sumpah. b. Sedangkan dalam perkara pidana, menurut Pasal 295 Reglement Indonesia yang Diperbaharui (RIB) hanya diakui sebagai alat-alat bukti yang sah adalah: 1) Kesaksian; 2) Surat-Surat 3) Pengakuan; 4) Petunjuk-petunjuk Pusdiklat BPK RI
Hal. 50 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
c. Menurut Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, alat bukti yang sah adalah: 1) Keterangan saksi; 2) Keterangan ahli; 3) Surat; 4) Petunjuk-petunjuk; 5) Keterangan Terdakwa. Dalam hukum perdata, pembuktiannya bersifat formal, artinya bukti-bukti yang ada secara formal merupakan bukti bagi hakim untuk membuktikan kebenaran suatu permasalahan. Sedangkan dalam hukum pidana, pembuktiannya bersifat material, artinya bukti-bukti formal yang ada belum cukup untuk membuktikan kebenaran suatu permasalahan, karena hakim harus membuktikan sampai dengan motif perbuatan tersebut dilakukan (material) sehingga menimbulkan keyakinan hakim. Kekuatan bukti hukum dapat diuraikan sebagai berikut. a.
Bukti Tulisan. Dari bukti-bukti tulisan, golongan yang sangat berharga untuk pembuktian adalah akte. Akte adalah tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Bukti tulisan dapat dibagi menjadi dua, yaitu akte dan tulisan-tulisan lain. Akte dibagi menjadi dua: (1) akte otentik dan (2) akte di bawah tangan. Akte otentik adalah akte yang mempunyai kekuatan pembuktian istimewa. Sementara itu, akte di bawah tangan adalah akte yang bukan merupakan akte otentik. Letak kekuatan pembuktian yang istimewa dari suatu akte otentik adalah: 1) Mempunyai kekuatan pembuktian formil, yaitu membuktikan antara para pihak bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut. 2) Mempunyai
kekuatan
pembuktian
materiil/mengikat,
artinya
membuktikan bahwa antara para pihak yang bersangkutan sungguhsungguh telah terjadi peristiwa yang disebutkan di situ. Pusdiklat BPK RI
Hal. 51 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
3) Membuktikan pada pihak ketiga bahwa apa yang telah dituangkan dalam akte benar terjadi dan kedua belah pihak telah menghadap di muka Pegawai umum (notaris) dan menetapkan kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang diuraikan dalam akte. Kekuatan pembuktian tulisan-tulisan lain adalah sebagai alat bukti bebas, artinya hakim tidak diharuskan menerima dan mempercayai. Hakim bebas untuk mempercayai dan tidak mempercayai tulisan-tulisan tersebut. b. Bukti dengan Saksi (Kesaksian). Saksi dapat secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan di muka hakim, tetapi dapat pula terjadi memang dengan sengaja diminta menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang dilakukan. Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi diwajibkan memberikan kesaksian. Seseorang yang menolak panggilan untuk dijadikan saksi maka: 1) Dihukum untuk membayar biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memanggil saksi; 2) Secara paksa dibawa ke pengadilan; 3) Dimasukkan ke dalam penyanderaan (gijzeling dalam Pasal 140, 141, dan 148 RIB). Seorang saksi dapat dibebaskan dari saksi jika: 1) Mempunyai pertalian daerah dalam garis samping dalam derajat kedua atau semenda dengan salah satu pihak; 2) Mempunyai pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis samping dalam derajat kedua dengan suami atau istri salah satu pihak; Dalil dalam hal kesaksian adalah “Unus testis nullus testis” artinya keterangan seorang saksi saja, tanpa suatu alat bukti lain tidak boleh dipercaya di muka pengadilan (Pasal 1905 KUH Perdata, Pasal 169 RIB atau Pasal 306 RDS).
Pusdiklat BPK RI
Hal. 52 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Kesaksian de auditu atau kesaksian dari pendengaran tidak berharga sebagai suatu kesaksian, namun hal tersebut dapat dipergunakan sebagai persangkaanpersangkaan dari mana disimpulkan terbuktinya suatu hal. c.
Persangkaan-persangkaan Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Oleh karena itu persangkaan bukanlah alat bukti. Yang menarik kesimpulan tersebut adalah hakim (disebut persangkaan hakim) dan undang-undang (persangkaan undang-undang). Persangkaan dilakukan apabila memang sangat sulit diperoleh saksi untuk membuktikan terjadinya suatu kejadian. Contoh: Apabila dapat dibuktikan bahwa terdapat dua orang laki-laki dan perempuan yang dituduh melakukan perzinahan itu telah bersama-sama menginap dalam satu kamar di mana hanya terdapat satu tempat tidur, maka dipersangkakan bahwa mereka itu benar telah melakukan perzinahan. Contoh persangkaan berdasarkan undang-undang adalah sebagai berikut. 1) Tiap anak yang dilahirkan sepanjang perkawinan yang sah, memperoleh si suami sebagai bapaknya. Artinya dianggap sebagai anak bapaknya (Pasal 250 KUH Perdata). 2) Tiap-tiap tembok yang dipakai sebagai tembok batas antara dua pekarangan, dianggap sebagai milik bersama, kecuali kalau ada suatu alasan hak atau tanda-tanda yang menunjukkan sebaliknya (Pasal 633 KUH Perdata).
d. Pengakuan Pengakuan bukanlah alat bukti. Pengakuan adalah dalil-dalil yang dikemukakan oleh satu pihak dan hal tersebut diakui oleh pihak lawan. Dengan diakuinya dalil-dalil tersebut maka pihak yang mengajukan dalil-dalil tersebut dibebaskan dari pembuktian. Pengakuan berfungsi juga sebagai pembatas luasnya perselisihan. Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya. Artinya, hakim harus Pusdiklat BPK RI
Hal. 53 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
menganggap dalil-dalil yang telah diakuinya itu sebagai benar dan meluluskan (mengabulkan) segala tuntutan atau gugatan yang didasarkan pada dalil-dalil tersebut (Pasal 1925 KUH Perdata). Pengakuan dibagi dua, yaitu: 1) Pengakuan dengan Kausal. Pengakuan yang dilakukan oleh suatu pihak namun berdasarkan pengakuan tersebut maka kedua belah pihak akan diperjumpakan kepentingan masing-masing. Contoh: Seorang yang mengaku bahwa dia telah melakukan jual beli dan pengantaran barang, dan dia menyatakan sudah membayar maka hakim harus memperhitungkan pengakuan tersebut untuk memperjumpakan kepentingan penggugat. 2) Pengakuan dengan Kualifikasi. Pengakuan yang dilakukan oleh suatu pihak namun dalam pengakuan tersebut dikemukakan suatu syarat (kualifikasi) tertentu yang harus dilakukan supaya perbuatan hukum tersebut dapat berlaku. Contoh: Seorang mengaku bahwa jual beli dan pengantaran barang, tetapi dikemukakan bahwa jual beli tersebut dapat diberlakukan jika ia puas dengan kualitas dan jumlah barangnya. e.
Sumpah Sumpah dalam perkara perdata dipakai juga sebagai alat pembuktian. Sumpah dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1) Sumpah pemutus (decissoir). Sumpah pemutus adalah sumpah yang oleh pihak yang satu diperintahkan kepada pihak pihak lawan yang menggantungkan putusan perkara padanya. 2) Sumpah karena jabatan hakim. Sumpah yang oleh hakim karena jabatannya, diperintahkan kepada salah satu pihak (Pasal 1929 KUH Perdata).
Pusdiklat BPK RI
Hal. 54 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
4. Perihal Perjanjian a.
Perikatan dan Perjanjian Perjanjian diatur dalam Buku III Burgerlijke Wetboek/BW/KUH Perdata. Buku III KUH Perdata mengatur perihal Perikatan (Verbintenis). Perikatan tidak sama dengan perjanjian. Perikatan adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu.41 Pasal 1233 KUH Perdata membagi perikatan menjadi dua berdasarkan sumbernya, yaitu: 1) Undang-Undang; 2) Perjanjian (Overeenkomst). Adanya hubungan perikatan antara satu pihak dengan pihak lainnya menimbulkan kewajiban berupa:42 1) Memberikan sesuatu; 2) Berbuat sesuatu; 3) Tidak berbuat sesuatu. Pasal 1313 KUH Perdata memberi pengertian perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih (asas pribadi/kepribadian). Pada prinsipnya semua orang bebas membuat perjanjian. Hal tersebut dapat disimpulkan dari isi Pasal 1338 KUH Perdata yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya. Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Pengaturan Pasal 1338 KUH Perdata mengandung asas-asas perjanjian, yaitu: 1) Asas kebebasan berkontrak;
41 42
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cetakan keenambelas, Jakarta: Intermasa, 1982, hal. 122 Pasal 1234 BW
Pusdiklat BPK RI
Hal. 55 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
2) Asas konsensualisme; 3) Asas pacta sunt servanda (perjanjian merupakan undang-undang bagi yang membuatnya); 4) Asas itikad baik. Asas kebebasan berkontrak dalam membuat perjanjian dibatasi oleh Pasal 1337 KUH Perdata yang berbunyi: “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata ini pada dasarnya mengatur perihal syarat “sebab yang halal” dalam sahnya perjanjian. Jadi apabila pelaksanaan asas kebebasan berkontrak melanggar ketentuan Pasal 1337 KUH Perdata maka perjanjian yang dibuat tersebut adalah tidak sah. Isi Pasal 1338 KUH Perdata selain mengandung makna asas kebebasan berkontrak, juga mengandung maksud bahwa perjanjian bersifat mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Melalui kontrak terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat kontrak. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi kontrak yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi kontrak sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, kontrak dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran kontrak atau ingkar janji (wanprestasi). Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan undang-undang. Contoh perjanjian khusus: jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, pinjammeminjam, pemborongan, pemberian kuasa dan perburuhan. Selain KUH Perdata, masih ada sumber hukum kontrak lainnya di dalam berbagai produk hukum seperti Undang-Undang Perbankan, Keputusan Presiden tentang Lembaga Pembiayaan, dan jurisprudensi antara lain tentang sewa beli, serta sumber hukum lainnya. Pusdiklat BPK RI
Hal. 56 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 KUH Perdata (BW), yang menyiratkan adanya tiga asas yang seyogyanya dalam perjanjian: 1) Mengenai terjadinya perjanjian. Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut BW perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme). 2) Tentang akibat perjanjian. Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah di antara para pihak, berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut. 3) Tentang isi perjanjian. Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contractsvrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan. Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, mengikat kepentingan umum dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Asas kebebasan berkontrak dijamin oleh Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata asalkan pembuatannya memenuhi syarat sahnya perjanjian. b. Syarat Sahnya Kontrak Dari bunyi Pasal 1338 Ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu harus ada kesepakatan, kecakapan, hal tertentu dan sebab yang diperbolehkan. 1) Kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud adalah adanya rasa ikhlas atau saling memberi dan menerima atau sukarela di antara pihak-pihak yang membuat perjanjian tersebut. Kesepakatan tidak ada apabila kontrak dibuat atas dasar paksaan, penipuan atau kekhilafan. 2) Kecakapan. Kecakapan di sini artinya para pihak yang membuat kontrak haruslah orang-orang yang oleh hukum dinyatakan sebagai subjek hukum. Pada dasarnya semua orang menurut hukum cakap untuk membuat kontrak. Sementara itu, orang yang tidak cakap adalah orang-
Pusdiklat BPK RI
Hal. 57 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
orang yang ditentukan hukum, yaitu anak-anak, orang dewasa yang ditempatkan di bawah pengawasan (curatele), dan orang sakit jiwa. Anak-anak adalah mereka yang belum dewasa yang menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum berumur 18 (delapan belas) tahun. Meskipun belum berumur 18 (delapan belas) tahun, apabila seseorang telah atau pernah kawin dianggap sudah dewasa, berarti cakap untuk membuat perjanjian. 3) Hal tertentu. Hal tertentu maksudnya adalah objek yang diatur kontrak tersebut harus jelas, setidak-tidaknya dapat ditentukan. Jadi tidak boleh samar-samar. Hal ini penting untuk memberikan jaminan atau kepastian kepada pihak-pihak dan mencegah timbulnya kontrak fiktif. Jual beli sebuah mobil, misalnya. Dalam jual beli tersebut harus jelas merk mobil, buatan tahun berapa, warna, nomor mesin dan sasisnya, dan sebagainya. Semakin jelas semakin baik. Tidak boleh jual beli sebuah mobil saja, tanpa penjelasan lebih lanjut. 4) Sebab yang halal. Maksudnya isi kontrak tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang sifatnya memaksa, ketertiban umum, dan atau kesusilaan. Misalnya jual beli bayi adalah tidak sah karena bertentangan dengan norma-norma tersebut. Dari empat syarat tersebut dapat dikelompokkan menjadi: 1) Syarat subjektif: a) Sepakat; b) Cakap. Tidak terpenuhinya syarat-syarat tersebut berakibat dapat dibatalkannya perjanjian (vernieteg). 2) Syarat objektif: a) Hal tertentu; b) Sebab yang halal.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 58 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Tidak terpenuhinya syarat-syarat objektif berakibat perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) dan perjanjian dianggap tidak pernah terjadi. c.
Penyusunan Kontrak Untuk menyusun suatu kontrak bisnis yang baik diperlukan adanya persiapan atau perencanaan terlebih dahulu. Idealnya sejak negosiasi bisnis persiapan tersebut sudah dimulai. Penyusunan suatu kontrak bisnis meliputi beberapa tahapan sejak persiapan atau perencanaan sampai dengan pelaksanaan isi kontrak. Tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Prakontrak a) Negosiasi; b) Memorandum of Undersatnding (MoU); c) Studi kelayakan; d) Negosiasi (lanjutan). 2) Kontrak a) Penulisan naskah awal; b) Perbaikan naskah; c) Penulisan naskah akhir; d) Penandatanganan. 3) Pascakontrak a) Pelaksanaan; b) Penafsiran; c) Penyelesaian sengketa. Sebelum kontrak disusun atau sebelum transaksi bisnis berlangsung, biasanya terlebih dahulu dilakukan negosiasi awal. Negosiasi merupakan suatu proses upaya untuk mencapai kesepakatan dengan pihak lain. Dalam negosiasi inilah proses tawar-menawar berlangsung.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 59 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Tahapan berikutnya pembuatan Memorandum of Understanding (MoU). MoU merupakan pencatatan atau pendokumentasian hasil negosiasi awal tersebut dalam bentuk tertulis. MoU walaupun belum merupakan kontrak, penting sebagai pegangan untuk digunakan lebih lanjut di dalam negosiasi lanjutan atau sebagai dasar untuk melakukan studi kelayakan atau pembuatan kontrak. Setelah pihak-pihak memperoleh MoU sebagai pegangan atau pedoman sementara, dilanjutkan dengan tahapan studi kelayakan (feasibility study, due diligent) untuk melihat tingkat kelayakan dan prospek transaksi bisnis tersebut dari berbagai sudut pandang yang diperlukan, misalnya ekonomi, keuangan, pemasaran, teknik, lingkungan, sosial budaya dan hukum. Hasil studi kelayakan ini diperlukan dalam menilai apakah perlu atau tidaknya melanjutkan transaksi atau negosiasi lanjutan. Apabila diperlukan, akan diadakan negosiasi lanjutan dan hasilnya dituangkan dalam kontrak. Penulisan naskah kontrak selain memerlukan kejelian dalam menangkap keinginan berbagai pihak, juga memerlukan pemahaman terhadap aspek hukum dan bahasa kontrak. Penulisan kontrak perlu mempergunakan bahasa yang baik dan benar dengan berpegang pada aturan tata bahasa baku. Penggunaan bahasa Indonesia maupun bahasa asing harus tepat, singkat, jelas dan sistematis. Format baku penulisan kontrak tidak ditentukan di dalam perundangundangan. Namun demikian, dalam praktik biasanya mengikuti suatu pola umum yang merupakan anatomi dari sebuah kontrak, yaitu sebagai berikut. 1) Judul; 2) Pembukaan; 3) Pihak-pihak; 4) Latar belakang kesepakatan (recital); 5) Isi; 6) Penutupan. Judul kontrak harus dirumuskan secara singkat, padat, dan jelas. Misalnya Jual-Beli-Sewa, Sewa-Menyewa, Joint Venture Agreement atau License Pusdiklat BPK RI
Hal. 60 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Agreement. Berikutnya pembukaan terdiri dari kata-kata pembuka, misalnya dirumuskan sebagai berikut. Yang bertanda tangan di bawah ini atau Pada hari ini Senin tanggal dua Januari tahun dua ribu, kami yang bertanda tangan di bawah ini. Setelah itu, dijelaskan identitas lengkap pihak-pihak. Sebutkan nama pekerjaan atau jabatan, tempat tinggal, dan bertindak untuk siapa. Bagi perusahaan/badan hukum sebutkan tempat kedudukannya sebagai pengganti tempat tinggal. Contoh penulisan identitas pihak-pihak pada perjanjian jualbeli adalah sebagai berikut. 1. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/untuk dan atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut penjual; 2. Nama ....; Pekerjaan ....; Bertempat tinggal di .... dalam hal ini bertindak untuk diri sendiri/selaku kuasa dari dan oleh karenanya bertindak untuk atas nama .... berkedudukan di .... selanjutnya disebut pembeli. Pada bagian berikutnya diuraikan secara ringkas latar belakang terjadinya kesepakatan (recital). Contoh rumusannya: dengan menerangkan penjual telah menjual kepada pembeli dan pembeli telah membeli dari penjual sebuah mobil/sepeda motor baru merek .... tipe .... dengan ciri-ciri berikut ini: Engine No. .... Chasis ...., Tahun Pembuatan .... dan Faktur Kendaraan tertulis atas nama .... alamat .... dengan syarat-syarat yang telah disepakati oleh penjual dan pembeli seperti berikut ini. Pada bagian inti dari sebuah kontrak diuraikan panjang lebar isi kontrak yang dapat dibuat dalam bentuk pasal-pasal, ayat-ayat, huruf-huruf, angka-angka tertentu. Isi kontrak paling banyak mengatur secara detail hak dan kewajiban pihak-pihak, dan bebagai janji atau ketentuan atau klausula yang disepakati bersama. Jika semua hal yang diperlukan telah tertampung di dalam bagian isi tersebut, kemudian dirumuskan penutupan dengan menuliskan kata-kata penutup, misalnya:
Pusdiklat BPK RI
Hal. 61 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Demikianlah perjanjian ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya. Apabila pada pembukaan tidak diberikan tanggal, maka ditulis pada penutupan, misalnya: dibuat dan ditandatangani di .... pada hari ini .... tanggal .... Di bagian bawah kontrak dibubuhkan tanda tangan kedua belah pihak dan para saksi (kalau ada) di atas materai. Untuk perusahaan/badan hukum memakai cap lembaga masing-masing.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 62 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
BAB V ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM PEMERIKSAAN PADA PELAPORAN PEMERIKSAAN Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan serta menerapkan aspek hukum dalam pelaporan pemeriksaan.
Laporan hasil pemeriksaan, menurut Pasal 16 UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, memuat hal-hal sebagai berikut. 1. Laporan hasil pemeriksaan keuangan memuat opini; 2. Laporan hasil
pemeriksaan
kinerja
memuat
temuan, kesimpulan, dan
rekomendasi; 3. Laporan hasil pemeriksaan dengan tujuan tertentu memuat kesimpulan. Aspek-aspek hukum yang terkait dalam pemeriksaan dituangkan dalam laporan hasil pemeriksaan seperti tersebut di atas. Khusus dalam pemeriksaan kinerja, BPK juga menentukan rekomendasi yang harus dilakukan oleh entitas yang diperiksa. Rekomendasi yang ditetapkan bisa merupakan tindakan-tindakan korektif baik dari aspek hukum tata usaha negara dan/atau perdata. Untuk melihat aspek-aspek hukum dalam pelaporan pemeriksaan maka perlu diketahui terlebih dahulu kaitan SPKN dengan aspek hukum. Hal-hal yang diatur dalam SPKN yang terkait dengan aspek hukum dalam pelaporan pemeriksaan adalah: No. 1.
Standar Standar Pelaporan Pemeriksaan Keuangan
Pusdiklat BPK RI
Materi
Keterangan
Laporan hasil pemeriksaan atas laporan keuangan harus mengungkapkan bahwa pemeriksa telah melakukan pengujian atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap penyajian laporan keuangan.
Laporan atas kepatuhan mengungkapkan: (1) ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana; dan (2) ketidakpatutan yang signifikan. Hal. 63 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
No.
Standar
Buku Peserta
Materi
Keterangan Apabila berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh pemeriksa menyimpulkan bahwa telah terjadi atau mungkin telah terjadi kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan serta ketidakpatutan, pemeriksa harus melaporkan hal tersebut. Dalam melaporkan kecurangan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan, atau ketidakpatutan, pemeriksa harus menempatkan temuan tersebut secara lugas dan jelas dalam perspektif yang wajar.
2.
Standar Pelaporan Pemeriksaan Kinerja
Pemeriksa harus melaporkan semua kejadian mengenai ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketidakpatutan yang ditemukan selama atau dalam hubungannya dengan pemeriksaan. Dalam keadaan tertentu, pemeriksa harus melaporkan adanya unsur penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut kepada pihak yang berwenang sesuai dengan prosedur yang berlaku di BPK.
3.
Standar Pelaporan Pemeriksaan dengan Tujuan Tertentu
Standar Pemeriksaan mengharuskan pemeriksa untuk melaporkan kecurangan dan penyimpangan dari ketentuan peraturan perundangundangan kepada pihak yang berwenang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam hal pemeriksa menyimpulkan bahwa ketidakpatuhan atau penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan telah terjadi atau kemungkinan telah terjadi, maka BPK harus menanyakan kepada pihak yang berwenang tersebut dan atau kepada penasehat hukum apakah laporan mengenai adanya informasi tertentu tentang penyimpangan dari ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut akan mengganggu suatu proses penyidikan atau proses peradilan. Apabila laporan pemeriksaan akan mengganggu proses penyidikan atau peradilan tersebut, BPK harus membatasi laporannya, misalnya pada hal-hal yang telah diketahui oleh umum (masyarakat).
Berdasarkan uraian di atas, beberapa aspek hukum yang berkaitan dengan pelaporan pemeriksaan baik untuk pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja dan pemeriksaan untuk tujuan tertentu meliputi pengungkapan: 1. Ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana. Pusdiklat BPK RI
Hal. 64 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
2. Ketidakpatutan yang signifikan. Laporan atas kepatuhan yang mengungkap ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan termasuk pengungkapan atas penyimpangan administrasi, pelanggaran atas perikatan perdata, maupun penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana dan ketidakpatutan yang signifikan merupakan tindakan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan baik dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Perbuatan melawan hukum sebagai suatu konsep tidak hanya perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang saja, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum, bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana patutnya dalam lalu lintas masyarakat.
Selain
itu,
kepatutan
dimaksudkan
apabila
orang
dalam
menyelenggarakan kepentingannya mengabaikan kepentingan orang lain dan membiarkan kepentingan orang lain terlanggar begitu saja, maka orang itu berperilaku tidak patut (ontbetamelijk) dan karenanya onrechtmatige.43 Untuk memahami laporan kepatuhan yang mengungkap ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, di antaranya pengungkapan atas penyimpangan administrasi, perikatan perdata, unsur tindak pidana dan ketidakpatutan yang signifikan, maka perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
A. Penyimpangan Administrasi Administrasi berasal dari bahasa Latin: ad = intensif, dan ministrare = melayani, membantu, memenuhi. Pengertian administrasi dalam bahasa Indonesia ada 2 (dua): 1. Administrasi berasal dari bahasa Belanda: “Administratie” yang merupakan pengertian administrasi dalam arti sempit, yaitu sebagai kegiatan tata usaha kantor
43
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Jakarta: Fakultas Hukum UI, 2003, hal. 21-22.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 65 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
(catat-mencatat, mengetik, menggandakan, dan sebagainya). Kegiatan ini dalam bahasa Inggris disebut: Clerical works (F.X.Soedjadi, 1989). 2. Administrasi dalam arti luas, berasal dari bahasa Inggris “Administration”, yaitu proses kerja sama antara dua orang atau lebih berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan (S.P. Siagian, 1973) Mengacu pada pengertian administrasi di atas maka apa yang dimaksud dengan penyimpangan administrasi lebih khusus mengarah kepada penyimpangan atas pengertian administrasi dalam arti sempit, yaitu penyimpangan dalam hal kegiatan tata usaha kantor, khususnya catat mencatat (ketatausahaan) kantor. Penyimpangan administrasi dapat berupa tindakan melawan hukum yang berkaitan dengan masalah prosedural administratif pelaksanaan tugas sehari-hari. Apabila penyimpangan tersebut menimbulkan/dapat menimbulkan kerugian negara maka diatur pula ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang 20 Tahun 2001, yaitu: 1. Pasal 8: “Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk
sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut”. 2. Pasal 9: “Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 66 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
3. Pasal 10: “Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja”: a. Menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau b. Membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
B. Pelanggaran atas Perikatan Perdata Tidak dipenuhinya ketentuan (biasanya kewajiban) dalam perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian disebut wanprestasi (berasal dari kata Belanda wanprestatie artinya prestasi buruk). Wanprestasi sesuai dengan Pasal 1234 KUH Perdata berupa: 1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya, hukuman atau akibatnya adalah pembayaran kerugian (ganti rugi); 2. Melaksanakan apa yang dijanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan, hukuman atau akibatnya adalah pembatalan perjanjian atau disebut pemecahan perjanjian; 3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat, hukuman atau akibatnya adalah peralihan risiko atau pembayaran denda; 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya, hukuman atau akibatnya adalah membayar biaya perkara, jika diperkarakan di depan pengadilan. Untuk sampai kepada kesimpulan pelanggaran perdata maka: 1. Harus dapat dibuktikan adanya kesalahan atau kealpaan dari debitur; Pusdiklat BPK RI
Hal. 67 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
2. Harus dibuktikan adanya akibat yang diterima oleh kreditur dan akibat/kerugian itu memang terjadi karena hubungan kausal dengan tindakan debitur. 3. Pihak debitur memang dianggap mampu bertanggung jawab untuk melakukan akibat tersebut.
C. Penyimpangan yang Mengandung Unsur Tindak Pidana Penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana dapat dibagi menjadi dua hal, yaitu penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana umum dan mengandung unsur tindak pidana khusus. Penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana umum merupakan pelanggaran dan kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), misalnya Pasal 362 KUHP (tentang tindak pidana pencurian). Sedangkan penyimpangan yang mengandung unsur tindak pidana dalam hal tindak pidana khusus adalah penyimpangan yang mengarah kepada tindak-tindak pidana yang diatur secara khusus di luar KUHP. Seperti tindak pidana bidang perpajakan, perbankan dan tindak pidana korupsi. Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yang antara lain harus mengandung empat unsur yaitu adanya subjek hukum yang bertanggungjawab, adanya tindakan melawan hukum, adanya tindakan yang merugikan Keuangan Negara, dan adanya keuntungan yang diterima oleh para pihak, korporasi, golongan atau kelompok tertentu.
D. Ketidakpatutan yang Signifikan Sebagaimana telah diuraikan di atas, bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat terhadap diri dan orang lain, dalam hal ini harus dipertimbangkan kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain dan mengikuti sesuatu yang menurut masyarakat patut dan layak. Perbuatan yang termasuk dalam kategori bertentangan dengan kepatutan adalah: 1. Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak;
Pusdiklat BPK RI
Hal. 68 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
2. Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan. Bagi hakim, ketidakpatutan perlu memperhatikan juga rasa keadilan yang berlaku dalam masyarakat sebagai salah satu pertimbangan untuk memutuskan perkara.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 69 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
BAB VI ASPEK-ASPEK HUKUM DALAM TINDAK LANJUT HASIL PEMERIKSAAN
Setelah mempelajari bab ini, peserta diharapkan mampu menjelaskan serta menerapkan aspek hukum dalam tindak lanjut pemeriksaan
Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan bahwa DPR, DPD, dan DPRD menindaklanjuti hasil pemeriksaan sesuai dengan peraturan tata tertib masing-masing lembaga perwakilan. Sementara itu, dalam Pasal 8 Ayat (1) dikemukakan bahwa untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 Ayat (1), BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, dan DPRD sesuai dengan kewenangannya. Pasal 8 Ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 menyatakan bahwa tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberitahukan secara tertulis oleh Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota kepada BPK.
A. Kewajiban Terperiksa untuk Menindaklanjuti Hasil Pemeriksaan BPK Pasal 20 Ayat (1) UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menetapkan: ”Pejabat wajib menindaklanjuti rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan.” Rekomendasi yang harus ditindaklanjuti oleh pejabat dapat berupa tindakan korektif terhadap kondisi yang menggambarkan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Tindakan korektif yang harus dilakukan tersebut sebagai tindak lanjut atas rekomendasi dalam laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut disesuaikan dengan aspek hukum yang terkait. Sebagai contoh: 1.
Adanya kekurangan volume pekerjaan dalam kegiatan pengadaan barang, maka tindak lanjutnya adalah meminta kelebihan/selisih pembayaran berdasarkan
Pusdiklat BPK RI
Hal. 70 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
perbandingan antara volume pekerjaan yang disepakati dalam kontrak dengan volume pekerjaan yang senyatanya dikerjakan oleh pemborong, untuk disetorkan kepada kas negara/daerah. Tindak lanjut ini terkait dengan aspek hukum perdata. 2.
Apabila diketahui bahwa di suatu pemerintah daerah penyusunan laporan barang tidak dilakukan secara berjenjang mulai dari laporan yang harus dibuat oleh Kuasa Pengguna Barang dan Pengguna Barang. Perihal barang daerah dalam Neraca daerah disusun hanya berdasarkan Laporan Barang Milik Daerah (LBMD) yang dibuat oleh Pengelola Barang yang tidak didasarkan laporan barang yang dibuat oleh Kuasa Pengguna Barang dan Pengguna Barang, sehingga Neraca pemerintah daerah disusun dengan tidak merepresentasikan keadaan barang daerah yang senyatanya. Tindak lanjut yang harus dilaksanakan adalah kepala daerah bersangkutan harus memerintahkan kepada seluruh Kuasa Pengguna Barang dan Pengguna Barang agar menyusun laporan barang untuk kemudian menjadi dasar penyusunan LBMD, sehingga nilai barang daerah dalam neraca daerah dapat lebih menggambarkan kondisi yang sesungguhnya. Tindak lanjut ini terkait dengan aspek hukum tata usaha negara.
B. Rumusan Unsur Pidana Selain ketentuan mengenai tindak lanjut sebagaimana telah dinyatakan di atas, tindak lanjut atas hasil pemeriksaan BPK RI antara lain dinyatakan dalam Pasal 8 Ayat (3), yang menyatakan bahwa apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut. Rumusan unsur pidana serupa dengan rumusan tentang delik (perbuatan pidana), yaitu: 1. Delik meliputi beberapa unsur, yaitu diancam dengan pidana oleh hukum, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang yang bersalah, dan orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya (Simons). 2. Kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan (Van Hamel).
Pusdiklat BPK RI
Hal. 71 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
Rumusan delik dalam suatu undang-undang sebagai berikut. 1. Subjek atau pelaku delik atau kualitas sebagai subjek hukum (Korporasi, Pegawai Negeri). 2. Perbuatan yang dilakukan (inti dari delik). 3. Ketentuan sanksi.
C. Tindak Lanjut Apabila Terdapat Unsur Pidana Apabila dalam pemeriksaan terdapat dugaan adanya unsur-unsur tindak pidana, khususnya yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi, maka terhadap hasil pemeriksaan tersebut dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Meminta
pertimbangan hukum
dari Direktorat Utama
Pembinaan dan
Pengembangan Hukum (Ditama Binbangkum). Selanjutnya, Ditama Binbangkum memberikan pendapat hukum atas temuan dimaksud. 2. Pendapat hukum atas temuan dimaksud kemudian disampaikan kepada Badan. 3. Apabila Badan menyetujuinya maka atas nama BPK, temuan pemeriksaan tersebut disampaikan kepada aparat yang berwenang (dhi. Kepolisian atau Kejaksaan) untuk dilakukan proses secara hukum (penyelidikan/penyidikan).
Pusdiklat BPK RI
Hal. 72 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
DAFTAR PUSTAKA
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum. Fakultas Hukum UI, Jakarta: 2003. Ali, Achmad. Keterpurukan Hukum di Indonesia. Ghalia Indonesia. Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum. PT Toko Gunung Agung Tbk, Jakarta: 2002. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Alumni, Bandung: 2000. Hamidi, Jazim, Budiman N.P.D. Sinaga. Pembentukan Peraturan Perundangundangan dalam Sorotan. Tatanusa, Jakarta: 2005. Huijbers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Kanisius: 1982. Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta: 1984. Lubis, Solly. Politik dan Hukum di Era Reformasi. Mandar Maju. Mas, Marwan. Pengantar Ilmu Hukum. Ghalia Indonesia, Jakarta: 2004. Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta: 2003. Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti, Bandung: 2000. Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan Keenambelas. Intermasa, Jakarta: 1982. Tutik, Titik Triwulan. Pokok-pokok Hukum Tata Negara. Prestasi Pustaka, Jakarta: 2005.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 73 dari 74
Aspek Hukum dalam Pemeriksaan
Buku Peserta
CATATAN PESERTA
Evaluasi Modul Lembar yang disediakan ini dapat anda gunakan untuk membantu Pusdiklat dalam meningkatkan mutu modul pembelajaran dengan menuliskannya kembali ke Lembar Evaluasi yang diberikan oleh Panitia Diklat diakhir kegiatan.
.
Agenda untuk pengembangan pribadi Lembar yang disediakan ini dapat Saudara gunakan untuk membantu IDP Saudara(Individual Development Plan). Masukkan rencana-rencana yang akan Saudara lakukan untuk memperdalam pemahaman anda atas hal-hal yang dibahas dipelajaran ini.
Pusdiklat BPK RI
Hal. 74 dari 74