LAPORAN TUTORIAL MODUL 1 PILEK MENAHUN
Kelompok 11 :
1. Christiana N Tebai ( K1A1 13 070 ) 2. Noviana Suko Betteng Betteng ( K1A1 13 088 ) 3. Jeri Rezka Tri Sakti ( K1A1 17 013 ) 4. Miranda Septiani ( K1A1 17 014 ) 5. Muh. Anzal M.R ( K1A1 17 015 ) 6. Ni Ketut Citra Etika Etika Sari ( K1A1 K1A1 17 046 ) 7. Ririn Afrianto ( K1A1 17 086 ) 8. Wa Ode Arinah Musfirah ( K1A1 17 055 ) 9. Adellya Febriyani Hadini ( K1A1 17 056 ) 10.Afia 10.Afia Nindya Pratiwi Aswa Suba ( K1A1 17 057 ) 11.Jonathan 11.Jonathan Jeremis Joshua Yaas ( K1A1 17 093 )
PILEK MENAHUN A. SKENARIO Seorang laki-laki umur 15 tahun datang ke puskesmas dengan riwayat menderita pilek selama kira-kira 1 tahun. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang dirasakan berasal dari belakang hidung. Pada waktu kecil ia sering menderita sesak napas. B. KATA SULIT 1. Pilek C. KALIMAT/KATA KUNCI
1. Seorang laki-laki umur 15 tahun 2. menderita pilek selama kira-kira 1 tahun 3. Kadang-kadang pilek ini disertai lendir pada tenggorokan yang dirasakan berasal dari belakang hidung
4. Pada waktu kecil ia sering menderita sesak napas. D. PERTANYAAN 1. Jelaskan histologi , anatomi dan faal organ THT ( telinga , hidung dan tenggorokan ) ! 2. Jelaskan patomekanisme gejala yang ada pada skenario ! 3. Jelaskan mekanisme dasar alergi tipe I pada organ THT ! 4. Jelaskan perubahan histopatologis jaringan pada organ THT ! 5. Jelaskan gejala dan tanda alergi tipe I pada organ THT ! 6. Faktor apa-apa saja yang mempengaruhi gejala gejala pilek pada skenario ? 7. Apakah ada hubungan gejala sesak napas sebelumnya dengan gejala pilek yang dialami saat ini 8. Jelaskan langkah-langkah menegakkan diagnosis ! 9. Jelaskan dan sebutkan Diferensial Diagnosis dan Diagnosis Sementara : a. Definisi b. Etiologi dan epidemiologi c. Faktor resiko / pencetus d. Patomekanisme e. Gejala dan tanda f. Diagnosis g. Penatalaksanaan h. Komplikasi i. Prognosis j. Pencegahan
E. JAWABAN PERTANYAAN
1.
Jelaskan histologi , anatomi dan faal organ THT ( telinga , hidung dan tenggorokan ) ! a. Telinga ANATOMI -
Telinga luar Telinga luar terdiri dari daun telinga dan liang telinga sampai membran tympani.Telinga luar atau pinna merupakan gabungan dari tulang rawan yang diliputi kulit. Daun telinga terdiri dari tulang rawan elastin dan kulit. Liang telinga (meatus akustikus eksternus) berbentuk huruf S, dengan rangka tulang rawan pada sepertiga bagian luar, di sepertiga bagian lua r kulit liang telinga terdapat banyak kelenjar serumen (modifikasikelenjar keringat = Kelenjar serumen) dan rambut. Kelenjar keringat terdapat pada seluruh kulit liang telinga. Pada dua pertiga bagian dalam hanya sedikit dijumpai kelenjar serumen, dua pertiga bagian dalam rangkanya terdiri dari tulang. Panjangnya kira-kira 2,5 - 3 cm. Meatus dibatasi oleh kulit dengan sejumlah rambut, kelenjar sebasea, dan sejenis kelenjar keringat yang telah mengalami mod ifikasi menjadi kelenjar seruminosa, yaitu kelenjar apokrin tubuler yang berkelok-kelok yang menghasilkan zat lemak setengah padat berwarna kecoklat-coklatan yang dinamakan serumen (minyak telinga). Serumen berfungsi menangkap debu dan mencegah infeksi.
Gambar 1 : Telinga luar, telinga tengah, telinga dalam. Potongan Frontal Telinga -
Telinga tengah Telinga tengah berbentuk kubus dengan : Batas luar : Membran timpani Batas depan : Tuba eustachius Batas Bawah : Vena jugularis (bulbus jugularis) Batas belakang : Aditus ad antrum, kanalis kan alis fasialis pars vertikalis. Batas atas : Tegmen timpani (meningen / otak ) Batas dalam : Berturut-turut dari atas ke bawah k analis semi sirkularis horizontal, kanalis fasialis,tingkap lonjong (oval window),tingkap bundar (round window) dan promontorium. Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dan terlihat oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut Pars flaksida (Membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah P ars Tensa (membrane propia). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi d ilapisi oleh sel kubus bersilia, seperti epitel mukosa saluran napas. Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler pada bagian dalam. Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membrane timpani disebut umbo.Dimembran timpani terdapat 2 macam serabut, sirkuler dan radier. Serabut
inilah yang menyebabkan timbulnya reflek cahaya yang berupa kerucut. Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran dengan menarik garis searah dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian atas-depan, atas-belakang, bawah-depan serta bawah belakang, untuk menyatakan letak perforasi membrane timpani. Didalam telinga tengah terdapat tulang-tulang pendengaran yang tersusun dari luar kedalam, yaitu maleus, inkus, dan stapes. Tulang pendengaran didalam telinga tengah saling berhubungan . Prosesus longus maleus melekat pada membrane timpani, maleus melekat pada inkus dan inkus melekat pada stapes. Stapes terletak pada tingkap lonjong yang berhubungan dengan koklea. Hubungan antar tulang-tulang pendengaran merupakan persendian. Telinga tengah dibatasi oleh epitel selapis gepeng yang terletak pada lamina propria yang tipis yang melekat erat pada periosteum yang berdekatan. Dalam telinga tengah terdapat dua otot kecil yang melekat pada maleus dan stapes yang mempunyai fungsi konduksi suara. maleus, inkus, dan stapes diliputi oleh epitel selapis gepeng. Pada pars flaksida terdapat daerah yang disebut atik. Ditempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Tuba eustachius termasuk dalam telinga tengah yang menghubungkan daerah nasofaring dengan telinga tengah.
Gambar 2 : Membran Tympani Telinga tengah berhubungan dengan rongga faring melalui saluran eustachius (tuba auditiva), yang berfungsi untuk menjag keseimbangan tekanan antara kedua sisi membrane tympani. Tuba auditiva akan membuka ketika mulut menganga
atau ketika menelan makanan. Ketika terjadi suara yang sangat keras, membuka mulut merupakan usaha yang baik untuk mencegah pecahnya membran tympani. Karena ketika mulut terbuka, tuba auditiva membuka dan udara akan masuk melalui tuba auditiva ke telinga tengah, sehingga menghasilkan tekanan yang sama antara permukaan dalam dan permukaan luar membrane tympani. -
Telinga dalam Telinga dalam terdiri dari koklea (rumah siput) yang berupa dua setengah lingkaran dan vestibuler yang terdiri dari 3 buah kanalis semisirkularis. Ujung atau puncak koklea disebut holikotrema, menghubungkan perilimfa skala timpani dengan skala vestibuli. Kanalis semi sirkularis saling berhubungan secara tidak lengkap dan membentuk lingkaran yang tidak lengkap. Pada irisan melintang koklea tampak skala vestibuli sebelah atas, skala timpani sebelah bawah dan skala media (duktus koklearis) diantaranya. Skala vestibuli dan skala timpani berisi perilimfa sedangkan skala media berisi endolimfa. Dasar skala vestibuli disebut sebagai membrane vestibuli (Reissner’s membrane) sedangkan dasar skala media adalah membrane basalis. Pada membran ini terletak organ corti. Pada skala media terdapat bagian yang berbentuk lidah yang disebut membrane tektoria, dan pada membran basal melekat melek at sel rambut yang terdiri dari sel rambut dalam, sel rambut luar dan kanalis corti, yang membentuk organ corti.
Gambar 3 : Gambar labirin bagian membrane labirin l abirin bagian tulang, Telinga Dalam Koklea Bagian koklea labirin adalah suatu saluran melingkar yang pada manusia panjangnya35mm. koklea bagian tulang membentuk 2,5 kali putaran yang mengelilingi sumbunya.Sumbu ini dinamakan modiolus, yang terdiri dari pembuluh darah dan saraf. Ruang di dalam koklea bagian tulang dibagi dua oleh dinding (septum). Bagian dalam dari septum ini terdiri dari lamina spiralis ossea. Bagian luarnya terdiri dari anyaman penyambung, penyambun g, lamina spiralis membranasea. Ruang yang mengandung perilimf ini dibagi menjadi : skala vestibule (bagian atas) dan skala timpani (bagian bawah). Kedua skala ini bertemu pada ujung koklea. Tempat ini dinamakan helicotrema. h elicotrema. Skala vestibule bermula pada fenestra ovale dan skala timpani berakhir pada fenestra rotundum. Mulai dari pertemuan antara lamina spiralis membranasea
kearah perifer atas, terdapat membrane yang dinamakan membrane reissner. Pada pertemuan kedua lamina ini, terbentuk saluran yang dibatasi oleh: 1. membrane reissner bagian atas 2. lamina spiralis membranasea bagian bawah 3. dinding luar koklea saluran ini dinamakan duktus koklearis atau koklea bagian membrane yang berisi endolimf. Dinding luar koklea ini dinamakan ligamentum spiralis.disini, spiralis.disini, terdapat stria vaskularis, tempat terbentuknya endolimf.
Gambar 4 : Koklea Di dalam lamina membranasea terdapat 20.000 serabut saraf. Pada membarana basilaris (lamina spiralis spiralis membranasea) terdapat alat korti. Lebarnya membrane basilaris dari basis koklea sampai keatas bertambah dan lamina spiralis ossea berkurang. Nada dengan frekuensi tinggi berpengaruh pada basis koklea. Sebaliknya nada rendah berpengaruh dibagian atas (ujung) dari koklea.
Gambar 5 : Organ Korti Pada bagian atas organ korti, terdapat suatu membrane, yaitu membrane tektoria. Membrane ini berpangkal pada Krista spiralis dan berhubungan dengan alat persepsi pada alat korti. Pada alat korti k orti dapat ditemukan sel-sel penunjang, sel-sel persepsi yang mengandung rambut. Antara sel-sel korti ini terdapat ruangan (saluran) yang berisi kortilimf. Duktus koklearis berhubungan dengan sakkulus dengan peralatan duktus reunions. Bagian dasar koklea yang terletak pada dinding medial cavum timpani menimbulkan penonjolan pada dinding ini kearah cavum timpani. Tonjolan ini dinamakan promontorium.
Vestibulum Vestibulum letaknya diantara koklea dan kanalis kan alis semisirkularis yang juga berisi perilimf. Pada vestibulum bagian depan, terdapat lubang (foramen ovale) yang berhubungan dengan membrane timpani, tempat melekatnya telapak (foot plate) dari stapes. Di dalam vestibulum, terdapat gelembung-gelembung bagian membrane sakkulus dan utrikulus. Gelembung-gelembung sakkulus dan utrikulus berhubungan satu sama lain dengan perantaraan duktus utrikulosakkularis, yang bercabang melalui duktus endolimfatikus yang berakhir pada suatu lilpatan dari
duramater, yang terletak pada bagian belakang os piramidalis. Lipatan ini dinamakan sakkus endolimfatikus. Saluran ini buntu. Sel-sel persepsi disini sebagai sel-sel rambut yang di kelilingi oleh sel-sel penunjang yang letaknya pada macula. Pada sakkulus, terdapat macula sakkuli. Sedangkan pada utrikulus, dinamakan macula utrikuli.
Kanalis Semisirkularis Di kedua sisi kepala terdapat kanalis-kanalis semisirkularis yang tegak l urus satu sama lain. didalam kanalis tulang, terdapat ka nalis bagian membran yang terbenam dalam perilimf. Kanalis semisirkularis horizontal berbatasan dengan antrum mastoideum dan tampak sebagai tonjolan, tonjolan kanalis semisirkularis horizontalis (lateralis). Kanalis semisirkularis vertikal (posterior) berbatasan dengan fossa crania media dan tampak pada permukaan atas os petrosus sebagai tonjolan, eminentia arkuata. Kanalis semisirkularis posterior tegak lurus dengan kanalis semi sirkularis superior. Kedua ujung yang tidak melebar meleb ar dari kedua kanalis semisirkularis yang letaknya vertikal bersatu dan bermuara pada vestibulum sebagai krus komunis. Kanalis semisirkularis membranasea letaknya didalam kanalis semisirkularis ossea. Diantara kedua kanalis ini terdapat ruang b erisi perilimf. Didalam kanalis semisirkularis membranasea terdapat endolimf. Pada tempat melebarnya kanalis semisirkularis ini terdapat sel-sel persepsi. Bagian ini dinamakan ampulla. Sel-sel persepsi yang ditunjang oleh sel-sel penunjang letakn ya pada Krista ampularis yang menempati 1/3 dari lumen ampulla. Rambut-rambut dari sel persepsi ini mengenai organ yang dinamakan kupula, suatu organ gelatinous yang mencapai atap dari ampulla sehingga dapat menutup seluruh ampulla.
FISIOLOGI PENDENGARAN Proses mendengar diawali dengan ditangkapnya energy bunyi oleh daun telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang kekoklea. Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ketelinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengimplikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membran timpani dan tingkap lonjong. Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan diteruskan ke stapes yang menggerakkan tingkap lonjong sehingga perilimfa pada
skala vestibule bergerak. Getaran diteruskan melalui membrane Reissner yang mendorong endolimfa, sehingga akan menimbulkan gerak relative antara membran basilaris dan membran tektoria. Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermuatan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinapsis yang akan men imbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nucleus auditorius sampai ke korteks pendengaran (area 39-40) di lobus temporalis.
Gambar 6 : Fisiologi Pendengaran
HISTOLOGI Telinga dalam koklea potongan vertikal
Gambar 7 : Telinga dalam : koklea (potongan vertikal) . Pulasan : hematoksilin dan eosin. Pembesaran
Gambar 8 : Telinga dalam : Duktus koklearis (skala media). Pulasan : hematoksilin dan eosin.Pembesaran sedang
Telinga dalam duktus koklearis dan organum spirale
Gambar 9 : Telinga dalam : duktus koklearis dan organum spirale. Pulasan : hematoksilin dan eosin. Perbesaran 30x
b. Hidung ANATOMI
Gambar 10 : Anatomi hidung Hidung merupakan organ penting yang seharusnya mendapat perhatian lebih dari biasanya dan hidung merupakan salah satu organ pelindung tubuh terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan. Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung
dalam. Hidung luar menonjol pada garis tengah diantara pipi dengan bibir atas, struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian yaitu: paling atas kubah tulang yang tak dapat digerakkan, di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan dan yang paling bawah adalah lobolus hidung yang mudah digerakkan. Bagian puncak hidung biasanya disebut apeks. Agak keatas dan belakang dari apeks disebut batang hidung (dorsum nasi), yang berlanjut sampai kepangkal hidung dan menyatu dengan dahi. Yang disebut kolumela membranosa mulai dari apeks, yaitu diposterior bagian tengah pinggir dan terletak sebelah distal dari k artilago septum. Titik pertemuan kolumela dengan bibir atas dikenal sebagai sebag ai dasar hidung. Disini bagian bibir atas membentuk cekungan dangkal memanjang dari atas kebawah yang disebut filtrum. Sebelah menyebelah kolumela adalah nares anterior atau nostril(Lubang hidung)kanan dan kiri, sebelah laterosuperior dibatasi oleh ala nasi dan sebelah inferior oleh dasar hidung. Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung. Bahagian Baha gian hidung dalam terdiri atas struktur yang membentang dari os internum disebelah anterior hingga ko ana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan kebelakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut dengan vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang ban yak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut dengan vibrise. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah bu ah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi ini dibentuk oleh tulang dan tulang rawan, dinding lateral terdapat konkha superior, konkha media dan konkha inferior. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konkha inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat p ada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka konk a media, superior dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Celah antara konka inferior dengan dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konkha media dan inferior disebut meatus media dan sebelah atas konkha media disebut meatus superior.
Meatus medius merupakan salah satu satu celah yang yang penting dan merupakan merupakan celah yang lebih luas dibandingkan dengan meatus superior. Disini terdapat muara dari sinus maksilla,sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Dibalik bagian a nterior konka media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang berbentuk bulat sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau fisura yang berbentuk bulan sabit menghubungkan meatus medius dengan infundibulum yang dinamakan hiatus semilunaris. Dinding inferior dan medial infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai prosesus unsinatus. Di bagian atap dan lateral dari rongga rongg a hidung terdapat sinus yang terdiri atas sinus maksilla, etmoid, frontalis dan sphenoid. Dan sinus maksilla merupakan sinus paranasal terbesar diantara lainnya, yang berbentuk pyramid iregular dengan dasarnya menghadap ke fossa nasalis dan puncaknya kearah apek prosesus zigomatikus os maksilla. Dasar cavum nasi dibentuk oleh os frontale da os palatinus sedangkan atap cavum nasi adalah celah sempit yang dibentuk oleh os frontale dan os sphenoidale. Membrana mukosa olfaktorius, pada bagian atap dan bagian cavum nasi yang berdekatan, mengandung sel saraf khusus yang mendeteksi bau. Dari sel-sel ini serat saraf melewati lamina cribriformis os frontale dan kedalam bulbus olfaktorius nervus cranialis I olfaktorius. • Perdarahan hidung Secara garis besar perdarahan hidung berasal dari 3 sumber utama yaitu:6 1. Arteri Etmoidalis anterior 2. Arteri Etmoidalis posterior cabang dari arteri oftalmika 3. Arteri Sfenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris interna yang berasal dari arteri karotis eksterna.
Gambar 11 : Sistem Vaskularisasi Hidung
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang arteri maksilaris maksilaris interna, diantaranya ialah ujung arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama nervus sfenopalatina dan memasuki rongga hidung dibelakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor, yang disebut pleksus kieesselbach (little’s area). Pleksus Kiesselbach Kiesselbach letaknya superfisialis dan mudah cedera oleh truma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena divestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vena oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernesus. • Persyarafan hidung
Gambar 12 : Persarafan Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari d ari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari caban g oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung b ersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat
persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion ganglion sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sediki t diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidupada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. FISIOLOGI Hidung berfungsi sebagai indra penghidu , menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru serta fungsi filtrasi. Sebagai fungsi penghidu, hidung memiliki epitel olfaktorius berlapis semu yang berwarna kecoklatan yang mempunyai tiga macam sel-sel syaraf yaitu sel penunjang, sel basal dan sel olfaktorius. Fungsi filtrasi, memanaskan dan melembabkan udara inspirasi akan melindungi saluran napas dibawahnya dari kerusakan. Partikel yang besarnya 5-6 mikrometer atau lebih, 85 % 90% disaring didalam hidung dengan bantuan TMS. Fungsi hidung terbagi atas beberapa fungsi utama yaitu (1)Sebagai jalan nafas, (2) Alat pengatur kondisi udara, (3) Penyaring udara, (4) Sebagai indra penghidu, p enghidu, (5) Untuk resonansi suara, (6) Turut membantuproses bicara,(7) Reflek nasal. HISTOLOGI Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang yan g secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa pen ghidu (mukosa olfaktorius) mukosa penapasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel berlapis torak semu yang mempunyai silia (Ciliated pseudostratified collumner epithelium)vdan di antaranya terdapat sel-sel goblet. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung dan permukaana dilapisa oleh epitel torak berlapis semu tidak bersilia (pseudostratifed collumner non ciliated epithelium. Epitelnya dibentuk oleh tiga macam se l yaitu sel penunjang sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang kad ang terjadi metaplasia, menjadi sel epitel skuamosa. Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi palut lendir (mucous blanket) pada permukaannnya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.
Pembuluh darah pada mukosa hidung mempunyai mempunyai susunan yang khas.Arteriol khas.Arteriol terleetak pada bagian yang lebih dalam dari tunikka propria dan tersusun secara paralel dan longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan sub epitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka kerongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi jaringan elastik dan otot polos. Pada bagian ujunngnya sinusoid mempunyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoiid akakan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu kevenula dengan demikian mukosa hidung menyerupai jaringan kavernosa yang erektil yang sudah mengembang dan mengkerut. Vasodilatasi dan vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom` c. Tenggorolan ANATOMI Faring
Dindig faring dibentuk oleh : o Selaput lendir. o Fasia faringo basiler. o Pembungkus otot. o Sebagian fasia bukofaringeal. Unsur faring meliputi : o Muksa. o Palut lender. o Otot. Faring terdiri atas : a) Nasofaring Batas-batas : Superior: dasar tengkorak. Inferior: palatum mole. Anterior: rongga hidung. Posterior: vertebra servikal b) Orofaring (mesofaring) Batas-batas : Superior: palatum mole. Interior: tepi atas epiglotis. Anterior: rongga mulut. Posterior: vertebra servikal.
c) Laringofaring (hipofaring) Batas-batas : Superior:tepi atas epiglottis. Anterior: laring. Inferior: esophagus. Posterior: vertebra servikal. FISIOLOGI Faring terdiri dari : a) Nasofaring Batas nasofaring dibagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan di belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting, seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan resesus faring yang disebut fossa resenmuller, kantong Rathke,
yang merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius, koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh n. Glosofaring, n.vagus, dan n. Asesorius spinal saraf kranial dan v. Jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba Eusthacius. b) Orofaring Orofaring di sebut juga mesofaring dengan batas atasnya adalah palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis , ke depan adalah rongga mulut, sedangkan ke belakang adalah vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga orofaring adala h dinding posterior faring, tonsil palatina, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula,tonsil lingual dan foramen sekum. c) Laringofaring (hipofaring) Batas-batas : Di sebelah superior adalah tepi atas epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior ialah esofagus serta batas posterior ialah vertebra servikal. Struktur pentingnya: Struktur pertama yang tampak dibawah dasar lidah adalah valekula. Bagian ini merupakan cekungan yang di bentuk oleh ligamentum glosoepiglotika medial dan ligamentum lateral pada setiap sisi. Valekula disebut juga kantong p il ( pill pockets), sebab pada beberapa orang kadang – kadang – kadang kadang bila menelan pil tersangkut di situ. Dibawah valekula terdapat epiglotis, epiglotis berfungsi juga untuk melindungi (proteksi) glotis ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke sinus piriformis dan ke esofagus. Fungsi faring : Terutama untuk respirasi, pada waktu menelan, resonansi suara dan untuk artikulasi. Fungsi menelan : Terdapat 3 fase dalam menelan,yaitu ;
1. Fase oral bolus makanan dari mulut menuju faring, gerakan disini sengaja ( voluntary)
2. Fase faringal Pada waktu transpor bolus makanan melalui faring
3. Fase esofagal
gerakannya tidak sengaja , yaitu pada waktu bolus makanan bergerak secara peristaltik di esofagus menuju lambung. HISTOLOGI Bentuk mukosa faring bervariasi tergantung pada letaknya. Pada nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi maka mukosan ya bersilia sedang epitelnya torak berlapis menggandung sel goblet. Dibagian bawahnnya yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsiny unnttuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Disepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limmfoid yang terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang te rmasuk dalam sistem retikuloendotelial. Oleh karena itu faring disebut juga daerah pertahanan tubuh terdepan.
2.
Jelaskan patomekanisme gejala yang ada pada skenario ! a. Pilek •Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lain-lain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presentingcells (APC). Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian kemu dian oleh sel tersebut, alergendipresentasikan ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui pen glepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yangdiaktifkan, kepada sel B diberikan signal untuk berproliferasi menjadi sel plasthmadan membentuk IgE. •IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan oleh karena kedua seltersebut pada permukaannya memiliki reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofagdan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE tetapi dengan afinitas yang lemah. •Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau lebih dengan allergen yang sama, alergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah ada padapermukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan
influk Ca++ kedalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. •Kadar cAMP yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam prosesdegranulasi sel ini yang pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudahterkandung dalam granul-granul (preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyaisifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil Chemotactic Factor-A (ECFA),Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin. Efek yang segera terlihatoleh mediator tersebut ialah obstruksi olehhistamin. •Histamin menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan k apiler & permeabilitas,sekresi mukus Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek b. Sesak napas •Sensasi •Sensasi dispnea berawal dari aktivasi sistem sensorik yeng terlibat dalam sistem respirasi. •Informasi sensorik sampai pada pusat pernapasan pusat pernapasan di otak dan memproses respiratory-related signals dan menhasilkan pengaruh kognitif, kontekstual, dan perilaku sehingga terjadi sensasi dispnea.
3.
Jelaskan mekanisme dasar alergi tipe I pada organ THT ! a. Tipe I (Reaksi anafilaksis, reaksi cepat) Mekanisme ini paling banyak ditemukan. Yang berperan ialah Ig E yang mempunyai afinitas yang tinggi terhadap mastosit dan basofil. Pajanan pertama dari obat tidak menimbulkan reaksi. Tetapi bila dilakukan pemberian kembali obat yang sama, maka obat tersebut akan dianggap sebagai antigen yang akan merangsang pelepasan bermacam-macam mediator seperti histamin, serotonin, bradikinin, heparin dan SRSA. Mediator yang dilepaskan ini akan menimbulkan bermacam-macam efek, misalnya urtikaria dan yang lebih berat ialah angiooedema. Reaksi yang paling ditakutkan adalah timbulnya syok anafilaktik. Adapun penyakit-penyakit yang disebabkan oleh reaksi alergi tipe I adalah : • Konjungtivitis • Asma
• Rinitis • Anafilaktic shock b. Tipe II (Reaksi Autotoksis, reaksi sitostatik) Adanya ikatan antara Ig G dan Ig M dengan antigen yang melekat pada sel. Aktivasi sistem komplemen ini akan memacu sejumlah reaksi yang berakhir dengan sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor. Contoh penyakit-penyakit : • Goodpasture (perdarahan paru,anemia) • Myasthenia gravis (MG) • Immune hemolytic (anemia Hemolitik) • Immune thrombocytopenia purpura • Thyrotoxicosis Thyrotoxicosis (Graves' disease) c. Tipe III (Reaksi Kompleks Imun) Antibodi yang berikatan dengan antigen akan membentuk kompleks antigen antibodi. Kompleks antigen antibodi ini mengendap pada salah satu tempat dalam jaringan tubuh mengakibatkan reaksi radang yang mengaktifkan kompelemen. Aktivasi sistem komplemen merangsang pelepasan berbagai mediator oleh mastosit. Kompleks imun akan beredar dalam sirkulasi dan dideposit pada sel sasaran, sebagai akibatnya, akan terjadi kerusakan jaringan. Penyakit : • the protozoans protozoans that cause malaria • the worms that cause schistosomiasis and filariasis and filariasis • the virus that causes hepatitis B, demam berdarah. • Systemic lupus erythematosus (SLE) • “Farmer’s Lung“ (batuk, sesak nafas) d. Tipe IV (Reaksi Alergi Seluler Tipe Lambat) Reaksi ini melibatkan limfosit, APC (Antigen Presenting Cell), dan sel Langerhans yang mempresentasikan antigen kepada limfosit T. Limfosit T yang tersensitasi mengadakan reaksi dengan antigen. Reaksi ini disebut reaksi tipe lambat karena baru timbul 12-48 jam setelah pajanan terhadap antigen yang menyebabkan pelepasan serangkaian limfokin. Penyakit : Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel imunokompeten, seperti makrofag dan sel T. Ekstrinsik : nikel, bhn kimia Intrinsik: Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM or Type I diabetes), Multiple sclerosis (MS), Rheumatoid arthritis, TBC.3.4.5 ** tugas tambahan**
Penyebab infeksi bisa berupa virus, bakteri, jamur, p rotozoa atau parasit. Beberapa mikroorganisme yang menyebabkan infeksi dapat memproduksi toksin, saat bakteri tumbuh, eksotoksin disekresi dari bakteri. Toksin ini dapat men yebabkan kerusakan pada tubuh yang jauh dari lokasi infeksi awal karena toksin ini dapat menyebar. Misalnya toksin tetanus yang menyebabkan paral isis spastic tetapi pada umumnya memasuki tubuh melalui luka tusuk 1. Fungi Fungi merupakan eukariota dengan dinding sel yang tebal dan mengandung kitim. Organisme ini tumbuh didalam tubuh manusia sebagai sel ragi bertunanas dan struktur silinder berbentuk hifa.
Pada orang sehat, jamur menimbulkan infeksi superficial. Misalnya athele’s foot yang diisebabkan oleh tinea, absesatau granuloma. Pada hospes yang kekebalannya terganggu, jamur yang oportunis (Candida, Aspergilus, dan Mucor) menyebabkan infeksi sistemik dengan nek rosis jaringan, perdarahan dan penyumbatan vaskuler. Pada pasien AIDS, jamur oportunis Pneumocytis oportunis Pneumocytis jirovecimenyebabkan jirovecimenyebabkan pneumonia. 2. Bakteri
Infeksi Stafilokkokus
aureus menyebabkan infeksi kulit, osteomielitis, pneumonia, endokarditis, keracunan pangan dan sindrom toksis syok. Faktor virulensi meliputi : Protein permukaan yang memungkinkan pelekatan pada sel hospes Enzim yang menguraikan protein hospes dengan menggalakkan invasi dan destruksi jaringan Toksin yang merusak membrane sel hospes. Infeksi Streptokokus Kokus gram positif anaerob obligat atau fakultatif ini tumbuh berpasangan atau berbentuk rantai. Bakteri ini diklasifikasikan lewat pola hemolisis pada agar darah. β (hemolisis total atau clear hemolysys), α (hemolisis parsial atau green hemolysisi), dan γ (tidak terjadi hemolisis)
Streptococcus β - hemolyticus dikelompokkan berdasar antigen karbohidratny, meliputi : Streptococcus pyogenes ( group group A), menyebabkan faringitis, scarlet fever, erysipelas, impetigo, demam rematik, sindrom toksis syok, dan glomerulonefritis.
Streptococcus agalactiae (group B) membentuk koloni dalam traktuss urogenital wanita dan menyebabkan korioamnionitis pada kehamilan. (Mitchell, 2008) Streptococcus α-hemolyticus α -hemolyticus meliputi : penumoniae, kuman yang umumnya menyebabkan community acquired pneumonia dan meningitis pada dewasa Enterococcus menyebabkan endokarditis dan infeksi saluran kemih Stretococcus membawa beberapa faktor virulensi : Kapsula yang resisten terhadap fagositosis (S. fagositosis (S. pyogenes dan S. penumoniae) Protein- M yang mengahmbat lintasan alternative aktivasi komplemen (S. komplemen (S. pyogenes) Pneumolisin yang menghancurkan membrane sel hospes dan merusak jaringan tubuh (S. tubuh (S. pneumoniae)
3. Virus
Virus dapat menyebabkan infeksi pada tubuh, misalnya Penyakit campak disebabkan Infeksi oleh paramiksovirus RNA ini merupakan penyebab kematian di seluruh dunia dan bisa dicegah dengan vaksinasi. Agent campak adalah measles virus yang termasuk dalam famili paramyxoviridae famili paramyxoviridae anggota genus morbilivirus morbilivirus.. Virus campak sangat sensitif terhadap temperatur sehingga virus ini menjadi tidak aktif pada suhu 37 derajat Celcius atau bila dimasukkan ke dalam lemari es selama beberapa jam. Dengan pembekuan lambat maka infektivitasnya akan hilang
4.
Jelaskan histopatologis jaringan pada organ THT pada reaksi alergi tipe1 Konka hipertrofi dapat disebabkan oleh rinitis alergi,rinitis non alergi,dan kompensasi akibat septum devias.Gejala yang paling sering ditemui adalah sumbatan hidung. Penyakit ini walau tidak mengancam keselamatan jiwa , namun sering mengganggu kualitas hidup dan beban ekonomi yang ditanggung penderita .Prevalensi Konka hipertrofi yang disebabkan rhinitis alergi di Eropadan USA berkisar 10-25%.Patogenesis konka hipertrofi terjadi akibat perubahan struktur jaringan pada s aluran nafas yang disebut airway remodeling , berupa hyperplasia sel goblet goblet fibrosis subepitel, hipertrofi hipertrofi kelenjar submukosa, penebalan membran basalis, peningkatan jumlah pembuluh darah dengan kongesti,dilatasi,serta edema jaringan stroma,dan jumlah sel eosinofil meningkat .Yanez membagi pembesaran konkainferior:1)konkainferior mencapai garis yang terbentuk antara middlenasal fosa dengan lateralhidung;2)pembesaran konka inferior melewati separuh dari kavum nasi;3)pembesaran konka inferior telah mencapai nasal septum. Vascular endothelial growth factor(VEGF) atau nama lainnya vascular p ermeability factor(VPF) adalah suatu protein yang menstimulasi lapisan endotel disekitar mikrovaskular untuk berproliferasi, migrasi, dan merubah polagen,dimana terjadi ekstravasasi plasma protein keruang ekstravaskuler. VEGF diekspresikan diendotel dan merupakan mediator yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler pada berbagai keadaan patologis. Reseptor VEGFA berperan pada reaksi alergi fase cepat, dapat
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan kebocoran vaskuler.11-14 Akhir akhiri ni, penelitian penelitian menunjukkan berbagai factor angiogenik yang berperan dalam angiogenesis seperti VEGF-VEGFRs ,Angiopoetin-Tie, Ephhrin-EphRs, Delta Notch,namun VEGF dan reseptornya berperan sebagai pusat pengaturan dalam proses angiogenesis, baik dalam keadaan fisiologis maupun patologis. Bagaimana peran reseptor VEGF dalam proses angiogenesis pada konka hipertrofi yang terjadi pada rhinitis alergi sampai saat ini belum jelas. Demikian juga pemeriksaan Imunohisto kimia pada konka hipertrofi yang terjadi pada rhinitis alergi belum banyak dipublikasikan. Penelitian ini bertujuan bertujuan untuk mengetahui peran VEGF sebagai factor angiogenesis pada konka hipertrofi yang terjadi pada rhinitis alergi METODE Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan rancangan case co ntrol.Sampel penelitian adalah sampel yang memenuhi criteria inklusi yaitu penderita konka hipertrofi,dipastikan berdasarkan anamnesis dijumpai sumbatan hidung yang menetap, pemeriksaan fisik berupa pembesaran konka inferior telah melewati separuh dari kavum nasi (klasifikasi Bdarikriteria Yanez). Rinomanometri menggunaka alat Rhinometry Gama IV dengan satuan alat ukur uk ur mmHg, dimana rasio tekanan ekspirasi melebihi1,33 mmHg, dan pemeriksaan histopatologi dijumpai penebalan m embran basalis, peningkatan sel goblet, degenerasi kistik pada kelenjar,peningkatan jumlah sel eosinofil dan edema stroma pada kelompok kasus dan control. Penderita konka hipertrofi yang disebabkan ol eh rhinitis alergi dengan criteria persisten derajat sedang sampai berat (criteria WHO ARIA 2008) ,pada anamnesis dijumpai alergi terhadap tungau debu rumah yang dikonfirmasi dengan skin prick test menggunakan Aloystal prick (Stallergenes) .Pemeriksaan IgE spesifik untuk tungau deb urumah menggunakan teknik Chemiluminescent Immunoassay menggunakan alat Immulite 2000 systems(Siemen,USA) dan pemeriksaan. Kesimpulan dari penelitian ini didapati bahwa VEGF dianggap merupakan faktor protektif terjadinya konka hipertrofi yang disebabkan oleh rhinitis alergi.
5.
Jelaskan gejala dan tanda alergi tipe I pada organ THT ! Reaksi alergi bias bersifat ringan atau berat. Kebanyakan reaksi terdiri dari mata berair ,mata terasa gatal dan kadang bersin. b ersin. Pada reaksi yang esktrim bias terjadi gangguan pernafasan, kelainan fungsi jantung dan tekanan darah yang sangat rendah, yang menyebabkan syok.Reaks ijenis ini disebut anafilaksis, yang bias terjadi pada orangorang yang sangat sensitif, misalnya segera setelah makan makanan atau obat- obatan tertentu atau setelah disengat lebah, dengan segera menimbulkan gejala.
Alergi tipe I
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan- bahan yang umumnya imunogenik (antigenik) atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik.Respons ini dapat terjadi jika tubuh belum pernah terpapar dengan alergen penyebab sebelumnya.Alergen yang masuk kedalam tubuh akan berikatan dengan sel B, sehingga menyebabkan sel B berubah menjadi sel plasma dan memproduksi Ig E. Ig E kemudian melekat pada permukaan sel mast dan akan mengikat alergen. Ikatan sel mast, Ig E dan alergen akan menyebabkan pecahnya sel mast dan mengeluarkan mediator kimia. Efek mediator kimia ini menyebabkan terjadinya vasodilatasi, hipersekresi, oedem, spasme pada otot polos.Oleh karena itu gejala klinis yang dapat ditemukan pada alergi tipe ini antara lain : rinitis (bersin-bersin, pilek) ; sesaknafas (hipersekresisekret), oedem dan kemerahan (menyebabkan inflamasi) ; kejang (spasme otot polos yang ditemukan pada anafilaktic shock).
Alergi tipe II Reaksi alergi tipe II merupakan reaksi yang menyebabkan kerusakan pada sel tubuh oleh karena antibody melawan/menyerang secara langsung antigen yang berada pada permukaan sel. Antibodi yang berperan biasanya Ig G.
Alergi tipe III Merupakan reaksi alegi yang dapat terjadi karena deposit yang berasal dari kompleks antigen antibody berada di jaringan.
Alergi tipe IV Reaksi ini dapat disebabkan oleh antigen ekstrinsik dan intrinsic/internal (“self”). Reaksi ini melibatkan sel-sel imuno kompeten, seperti makrofag dan sel T.
6.
Faktor-faktor apa yang mempengaruhi gejala pada skenario ? Faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit dengan gejala pilek adalah genetik, lingkungan, sistem imun, dan kebugaran. a. Genetik Seseorang dengan riwayat keluarga memiliki penyakit yang bergejala pilek memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menderita penyakit yang sama. b. Lingkungan Lingkungan juga sangat mempengaruhi timbulnya penyakit dengan gejala pilek. Alergen lingkungan dapat berupa outdoor alergen dan indoor alergen. Outdoor
alergen berupa pollen, spora jamur, bunga, dan rumput. Indoor alergen berupa debu, jamur, dan binatang peliharaan. c. Sistem imun Seseorang yang memiliki sistem imun yang baik tidak akan mudah terkena penyakit. Akan tetapi, sebaliknya seseorang yang memiliki sistem imun yang kurang baik akan mudah terkena penyakit. d. Kebugaran Seseorang yamng memilki tubuh yang sehat dan bugar tidak akan mudah mudah terkena penyakit.
7.
Apakah ada hubungan gejala sesak napas sebelumnya dengan gejala pilek yang dialami saat ini ? Konsep united airway diseases menyatakan bahwa proses inflamasi akan melibatkan saluran napas atas dan bawah. Asma sering bersamaan dengan rinitis didukung oleh beberapa faktor seperti karakteristik epidemiologi, patologi, dan pendekatan terapi umum untuk rinitis dan asma. Teori adesi rinovirus menyatakan kemun gkinan hubungan antara inflamasi alergi hidung dengan asma adalah ekspresi intracellular adhesion molecul (ICAM-I) di mukosa hidung yang meningkat melalui pajanan alergen dan juga diekspresikan walaupun pada pasien RA tanpa gejala. Dengan meningkatnya ekspresi ICAM-I maka kemungkinan infeksi saluran napas atas oleh rhinovirus akan lebih sering karena ICAM-I merupakan reseptor untuk rhinovirus. Infeksi Rhinovirus penting dalam presipitasi eksaserbasi asma. Penyakit alergi seperti dermatitis atopik (DA), alergi makanan, asma, dan rinokonjungtivitis merupakan penyakit kronik yang paling sering terjadi pa da anak. Penyakit ini merupakan gejala alergi pada individu yang atopi. Atopi adalah kecenderungan personal dan/atau familial, biasanya pada masa anak atau remaja, untuk tersensitasi dan menghasilkan IgE sebagai respons terhadap pajanan alergen, biasanya protein. Istilah atopi tidak dapat digunaka sebelum adanya bukti sensitisasi IgE yang ditandai dengan radio allergo sorbent testing (RAST) atau uji tusuk kulit (UTK) positif. Munculnya gejala pada usia tertentu yang berbeda-beda dari masing-masing penyakit alergi merupakan perjalanan alamiah penyakit yang disebut atopic march.
8.
Langkah – Langkah – langkah langkah menegakkan diagnosis : Penyakit alergi merupakan kupulan penyakit yang sering dijumapai di masyarakat. Alergi dapat menyerang setiaporgan tubuh, tetapi organ yang sering terkena adalah saluran nafas, kulit, dan saluran pencernaan.
Agar penanganan pasien alergi lebih cepat dan terarah, diperlukan diagnosis tepat dan cepat supaya komplikasi dapat dihindari. Bila seorang pasien yang datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama harus ditentukan terlebih dahulu apakah pasien memang menderita alergi, dengan tahapan sebagai berikut: a. Anamnesis Pada anamnesis umumnya ditanyakan hal-hal seperti berikut : 1) Kapan gejala timbul dan apakah mulainya mendadak atau berangsur. 2) Karakter, lama, frekuensi dan beratnya gejala. 3) Saat timbulnya gejala. Apakah keluhannya makin hebat saat pagi, siang, malamatau tidak menentu. 4) Pekerjaan dan hobi. Keluhan pasien dapat saja timbul saat berada di rumah,di sekolah, atau di tempat kerja. 5) Bagaimana perjalanan penyakitdari permulaan sampai sekarang, apakah bertambah baik, tidak berubah, atau bertambah berat. 6) Adakah jangka waktu paling lama tanpa serangan. 7) Apakah timbul keluhan setelah mengeluarkan tenaga (bekerja). 8) Faktor-faktor yang mempengaruhi serangan. 9) Kebiasaan merokok, dan berapabatang sehari. 10) Dalam usaha mencari alergen, hubungan antara gejala alergi dengan waktu dan tempat sangatlah penting. 11) Pada pasien asma atau alergi saluran nafas lain ditanyakan juga tentang dahak ( bagaimana jumlahnya dan warnanya) 12) Pengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Apakah keluhan tersebut mempengaruhi pekerjaan, dan apakah mengganggu aktifitas sehari-hari. 13) Perlu juga ditanyakan riwayat alergi pada keluarga, apakah ada keluarga sedarah yang menderita asma, rinitis, eksim, alergi makanan, atau alerg iobat. b. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisis yang lengkap harus di buat, dengan perhatian di tujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Kalau seseorang datang dengan keluhan hidung, maka perhatian lebih lanjut ditunjukan lagi terhadap pemeriksaan hidung dan kerongkongan, baik dari luar maupun dari dalam rongga hidung. Pada pemeriksaan fisis meliputi : 1) Inspeksi 2) Palpasi 3) Perkusi 4) Auskultasi Dalam melakukan pemeriksaan fisis, kita dapat men ilai : Kulit : kita melihatapakah ada peradangan kronik seperti ekskoriasi,bekas garukan, lesi dan yang lainnya.
-
-
-
-
-
-
-
Mata : diperiksa terhadap hiperemia konjungtiva, edema, sekretmata yang berlebihan. Contohnya pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah dibawah palpebra inferior yang menjadi gelap dan bengkak Telinga : telinga tengah dapat merupakan penyulit penyakit alergi saluran nafas, perlu dilakukan pemeriksaan membran tympani untuk mencari otitis media. Hidung : pada pemeriksaan hidung bagian luardi bidang alergi ada beberapatanda yang sudah baku, walaupun tidak patoknomonik, misalnya : allergic salute yaitu pasien denganmenggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untukmenghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan, alergic crease yaitu garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung, allergic facies yaitu terdiri daripernafasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Untuk bagian dalam hidung diperiksa dengan menggunakan spekulum hidung dengan bantuan senter untuk menilai warna mukosa, jumlah dan bentuk sekret, edema, polip hidung, dan abnormalitas anatomiseperti deviasi septum. Mulut dan orofaring : pemeriksaan ditunjukan untuk menilaieritema, edema, hipertrofi tonsil. Dan padarinitis alergi sering terlihat mukosa orofaring kemerahan, edema atau keduanya. Dada : diperiksa secara inspeksi, perkusi, palpasi, dan auskultasi, baik terhadap organ paru maupun jantung. Pemeriksaan lain : lakukan pemeriksaan tanda vital
c. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang hanya untuk memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, jadi tidak untuk menetapkan diagnosis.selain itu pemeriksaan laboratorium juga di pakai untuk pemantauan p emantauan pasien, misalnya untuk menilai timbulnya timbuln ya penyulit penyakit dan hasil pengobatan. Pemeriksaan dapat berupa : Jumlah leukosit dan hitung jenis sel Pada penyakit infeksi jumlah leukosit normal kecuali kalau disertai infeksi. Sel eosinofil pada sekret konjungtiva, hidung dan sputum. Semasa periode simtomatik sel eosinofil banyak dalam skret, tetapi kalau ada infeksi, sel neutrofil lebih dominan. Serum IgE total Meningkatnya serum IgE total menyokong adanya penyakit alergi, tetapi hanya didapatkan pada sekitar 60-80% pasien. IgE spesifik Dilakukan untuk mengukur IgE terhadap alergen tertentusecara in vitro dengan cara RAST (radioallergo sorbent test), atau ELISA (enzyme linked immuno sorbent assay). Keuntungan pemeriksaan IgE spesifik dibandingkan tes kulit adalah resiko pada pasien tidak ada, hasilnya kuantitatif, tidak dipengaruhi obat atau keadaan kulit, alergen lebih stabil.
-
-
Tes kulit : tes tusuk (prick test) dilakukan penusukan pada bagian volardari lengan bawah, tes tempel (patch test) dilakukan dengan menempelkan suatu bahan yang dicurigai sebagai penyebab dermatitisalergi kontak. Tes provokasi : tes provokasi nasal dimana pada tes ini alegen diberikan pada mukosa hidung baik dengan disemprotkan atau menghisap alergen yang kering melalui satu lubang hidung dengan lubang hidung satunya di tutup.
10. Jelaskan dan sebutkan Diferensial Diagnosis dan Diagnosis Sementara : a. Definisi b. Etiologi dan epidemiologi c. Faktor resiko / pencetus d. Patomekanisme e. Gejala dan tanda f. Diagnosis g. Penatalaksanaan h. Prognosis i. Pencegahan DEFERENSIAL DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS SEMENTARA I.
RINITIS ALERGI Definisi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi dengan dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik pada pasien atopik yang sudah tersensitasi dengan alergen yang sama sebelumnya (Supardi dkk., 2002, Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Kepala Leher Edisi V). Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar dengan alergen yang diperantarai oleh Ig E. Etiologi Peningkatan kadar Ig E terhadap allergen tertentu menyebabkan degranulasi sel mast yang berlebihan. Degranulasi sel mast melepaskan mediator inflamasi (sebagai contoh : histamin) dan sitokin yang menimbulkan m enimbulkan reaksi inflamasi lokal.
Patomekanisme
Pada reaksi Tipe 1 alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma dan dermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut: 1. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh r eseptor eseptor spesifik (FcЄ -R) pada permukaan sel mast dan basofil. 2. Fase aktivasi aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. 3. fase efektor yaitu yaitu waktu waktu terjadi
respons yang yang kompleks (anafilaksis)
sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik. Sekitar 50%-70% dari masyarakat membentuk IgE terhadap antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan sekitar 3-10% yang menderita asma bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula terjadi secara pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi yang terjadi dapat pula berupa eritem (kemerahan oleh karena dilatasi vaskular) dan bentol/edem (pembengkakan yang disebabkan oleh msauknya serum ke dalam jaringan). Puncak reaksi reaksi terjadi dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi terjadi perubahan dalam membran sel akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivase fosfolipase. Dalam fase ini energi diaktifkan dan menggerakkan granul – granul – granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh terhadap degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah, sedang peningkatan cGMP memacu degranulasi. Penglepasan granul ini adalah fisiologik dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi sel mast dapat p ula terjadi atas pengaruh anafilatoksin, C3a dan C5a
Antigen merangsang sel B untuk membentuk IgE dengan bantuan sel Th. IgE diikat oleh sel mast/basofil melalui reseptor fc. Apabila tubuh terpajan ulang dengan antigen yang sama, maka antigen tersebut akan diikat oleh IgE yang sudah ada pada permukaan sel mast/basofil. Akibat ikatan antigen IgE, sel mast/basofil mengalami degranulasi dan melepas mediator preformed antara lain histamin yang menimbulkan gejala reaksi hipersensitivitas tipe I. Ikatan IgE pada permukaan sel mast dengan antigen mengawali jalur sinyal multipel yang merangsang penglepasan granul-granul sel mast (mengandung
amin-protease),
sentesis
metabolit
asam
arakidonat
(prostaglandin,leukotrin) dan sintesis berbagai sitokin. Mediator-mediator tersebut merangsang berbagai reaksi hipersensitifitas tipe cepat. Gejala dan tanda
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya, bersin merupakan suatu gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak k ontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self
cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadangkadang pada RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap didaerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder akibat obstruksi hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu, sering juga tampak anak menggosok-gosok hidung karena gatal dengan punggung tangan. Keadaan ini disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Diagnosis
Diagnosis
ditegakkan
berdasarkan
anamnesis
dan
pemeriksaan
fisis.
Anamnesis mencakup durasi, lama sakit, derajat keparahan, dan sifat gejala. Pencetus, respon terhadap pengobatan, komorbid, riwayat atopi dalam keluarga, pajanan di lingkungan / pekerjaan , dan efek gejala terhadap kualitas hidup harus ditanyakan. Serta harus mendiagnosis kondisi atopi yang berhubungan.
Penatalaksanaan
Frekuensi
Derajat keparahan
Tata laksana Antihistamin-H1 oral
Ringan
Intermitten
Antihistamin-H1 intranasal Dekongestan Antileuketrien
Sedang – Sedang – berat berat
Antihistamin-H1 oral Antihistamin-H1 intranasal
Ringan Persisten
Kortikosteroid intranasal Dekongestan Antileukotrien Kortikosteroid intranasal
Sedang – Sedang – berat berat
Antihistamin-H1 Antileukotrien
Konjungtivitis : antihistamin oral, introkular atau kromon intraokular Edukasi : hindari pajanan alergen dan iritan
Komplikasi
Komplikasi rinitis alergi yang sering adalah : 1) Polip hidung Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung. 2) Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak. 3) Sinusitis paranasal. Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rinitis alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drenase.
II.
RINOSINUSITIS
Definisi
Rinosinusitis adalah penyakit akibat peradangan pada mukosa sinus paranasal dan rongga hidung. Dokter di pelayanan kesehatan primer harus memiliki keterampilan yang memadai untuk mendiagnosis, menatalaksana, dan mencegah berulangnya rinosinusitis. Tatalaksana rinosinusitis yang efektif dari dokter di pelayanan kesehatan primer dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan, menurunkan biaya pengobatan, serta mengurangi durasi dan frekuensi absen kerja. Etiologi
a.Rinogen Obstruksi dari ostium Sinus (maksilaris/paranasalis) yang disebabkan oleh
Rinitis Akut (influenza) Polip, septum deviasi
b. Dentogen Penjalaran infeksidari gigi geraham atas Kuman penyebab : - Streptococcus pneumoniae - Hamophilus influenza - Steptococcus viridans - Staphylococcus aureus - Branchamella catarhati: Epidemiologi
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis sinusitis
dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran nafas atas pada dewasa yang berhubungan dengan terjadin ya sinusitis Faktor resiko
Faktor Risiko Keluhan atau riwayat terkait faktor risiko, terutama pada kasus rinosinusitis kronik, penting untuk digali. Beberapa di antaran ya adalah: 1. Riwayat kelainan anatomis kompleks osteomeatal, seperti deviasi septum 2. Rinitis alergi 3. Rinitis non-alergi, misalnya vasomotor, medikamentosa 4. Polip hidung 5. Riwayat kelainan gigi atau gusi yang signifikan 6. Asma bronkial 7. Riwayat infeksi saluran pernapasan atas akut yang sering berulang 8. Kebiasaan merokok 9. Pajanan polutan dari lingkungan sehari-hari 10. Kondisi imunodefisiensi, misalnya HIV/AIDS 11. Riwayat penggunaan kokain Gejala dan tanda
1. Onset timbulnya gejala, dibagi menjadi: a. Akut : < 12 minggu b. Kronis : ≥ 12 minggu 3. Khusus untuk sinusitis dentogenik: a. Salah satu rongga hidung berbau busuk b. Dari hidung dapat keluar ingus kental atau tidak beringus c. Terdapat gigi di rahang atas yang berlubang / rusak
Kriteria diagnosis rinosinusitis menurut American Academy of Otolaryngology : Faktor mayor :
Hidung tersumbat
Keluar sekret dari hidung atau postnasal discharge yang purulen
Nyeri pada wajah Hiposmia / anosmia
Faktor minor:
Sakit kepala
Demam
Halitosis
Rasa lemah (fatigue)
Sakit gigi
Sakit atau rasa penuh di telinga Batuk
Diagnosis
Dasar Penegakkan Diagnosis Rinosinusitis Akut (RSA) :
Dasar penegakan diagnosis Kriteria
Pada orang dewasa
Pada anak
Klinis Sekurangnya 2 faktor mayor, di mana salah satu harus: hidung tersumbat, atau keluar sekret dari hidung atau postnasal discharge yang purulen dan dapat disertai: nyeri pada wajah hiposmia / anosmia
Klinis Sekurangnya 2 faktor mayor, di mana salah satu harus: hidung tersumbat, atau keluar sekret dari hidung atau postnasal discharge yang purulen dan dapat disertai: nyeri pada wajah batuk (sepanjang hari) Tiba-tiba <12 minggu Bila rekurens,terdapat interval bebas gejala yang jelas Rinoskopi anterior (bila
Onset gejala Durasi gejala
Tiba-tiba <12 minggu Bila rekurens,terdapat interval bebas gejala yang jelas Rinoskopi anterior:
Pemeriksaan fisik
Edema dan hiperemia konka Sekret mukopurulen
dapat dilakukan): Edema dan hiperemia konka Sekret mukopurulen Inspeksi rongga mulut: Sekret pada faring Eksklusi infeksi pada gigi Tidak dianjurkan
Pemeriksaan penunjang (foto Rontgen)
Umumnya tidak perlu. Indikasi pemeriksaan: Severitas berat Pasien imunodefisien Adanya tanda komplikasi
Rinosinusitis akut dapat dibedakan lagi menjadi: 1. Rinosinusitis akut viral (common cold): Bila durasi gejala < 10 hari 2. Rinosinusitis akut pasca-viral: a. Bila terjadi peningkatan intensitas gejala setelah 5 hari, atau b. Bila gejala persisten > 10 hari namun masih < 12 minggu 3. Rinosinusitis akut bakterial: Bila terdapat sekurangnya 3 tanda / gejala berikut ini a. Sekret berwarna atau purulen dari rongga hidung b. Nyeri yang berat dan terlokalisasi pada wajah c. Demam, suhu > 38oC d. Peningkatan LED / CRP e. Double sickening, yaitu perburukan setelah terjadi perbaikan sebelumnya
DASAR PENEGAKAN DIAGNOSIRINOSINUSITIS DIAGNOSIRINOSINUSITIS KRONIK (RSK)
Dasar penegakan diagnosis Kriteria
Pada orang dewasa dan anak Klinis Sekurangnya 2 faktor mayor, di mana salah satu harus: hidung tersumbat, atau keluar sekret dari hidung atau postnasal discharge yang purulen dan dapat disertai: nyeri pada wajah hiposmia / anosmia gejala ≥ 12 minggu Pemeriksaan fisik Rinoskopi anterior: Edema konka, dapat disertai hiperemia Sekret mukopurulen Inspeksi rongga mulut: Sekret pada faring Eksklusi infeksi pada gigi Dianjurkan, bila tidak sembuh setelah 2 minggu terapi
Durasi
Pemeriksaan penunjang (foto Rontgen) Pemeriksaan lain
Elaborasi faktor risiko yang mendasari
Komplikasi
1. Kelainan orbita Penyebaran infeksi ke orbita paling sering terjadi pada sinusitis etmoid, frontal, dan maksila. Gejala dan tanda yang patut dicurigai sebagai infeksi orbita adalah: edema periorbita, selulitis orbita, dan nyeri berat pada mata. Kelainan dapat mengenai satu mata atau menyebar ke kedua mata. 2. Kelainan intrakranial Penyebaran infeksi ke intrakranial dapat menimbulkan meningitis, abses ekstradural, dan trombosis sinus kavernosus. Gejala dan tanda yang perlu dicurigai adalah: sakit kepala (tajam, progresif, terlokalisasi), paresis nervus kranial, dan perubahan status mental pada tahap lanjut. 3. Komplikasi lain, terutama pada rinosinusitis kronik, dapat berupa: osteomielitis sinus maksila, abses subperiosteal, bronkitis kronik, bronkiektasis.
Penatalaksanaan Rinosinusitis Akut (RSA) Tujuan penatalaksanaan RSA adalah mengeradikasi infeksi, mengurangi severitas dan durasi gejala, serta mencegah komplikasi. P rinsip utama tatalaksana adalah memfasilitasi drainase sekret dari sinus ke ostium di rongga hidung. Tatalaksana RSA dapat dilihat dalam gambar Algoritma tatalaksana RSA. Konseling dan Edukasi : 1. Pasien dan atau keluarga perlu mendapatkan penjelasan yang adekuat mengenai penyakit yang dideritanya, termasuk faktor risiko yang diduga mendasari. 2. Dokter bersama pasien dapat mendiskusikan hal-hal yang dapat membantu mempercepat kesembuhan, misalnya: a. Pada pasien perokok, sebaiknya merokok dihentikan. Dokter dapat membantu pasien berhenti merokok dengan melakukan konseling (dengan metode 5A) atau anjuran (metode pengurangan, penundaan, atau cold turkey, sesuai preferensi pasien). b. b. Bila terdapat pajanan polutan sehari-hari, dokter dapat membantu memberikan anjuran untuk meminimalkannya, misalnya dengan pasien menggunakan masker atau ijin kerja selama simtom masih ada. c. c. Pasien dianjurkan untuk cukup beristirahat dan menjaga hidrasi. d. Pasien dianjurkan untuk membilas atau mencuci hidung secara teratur dengan larutan garam isotonis (salin). Rencana Tindak Lanjut 1. Pasien dengan RSA viral (common cold) dievaluasi kembali setelah 10 hari pengobatan. Bila tidak membaik, maka diagnosis menjadi RSA pasca viral dan dokter menambahkan kortikosteroid (KS) intranasal ke dalam rejimen terapi. 2. Pasien dengan RSA pasca viral dievaluasi kembali setelah 14 hari pengobatan. Bila tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan rujukan ke spesialis THT. 3. Pasien dengan RSA bakterial dievaluasi kembali 48 jam setelah pemberian antibiotik dan KS intranasal. Bila tidak ada perbaikan, dapat dipertimbangkan rujukan ke spesialis THT.
Kriteria Rujukan Pada kasus RSA, rujukan segera ke spesialis THT dilakukan bila: 1. Terdapat gejala dan tanda komplikasi, di antaranya: Edema / eritema periorbital, perubahan posisi bola mata, Diplopia, Oftalmoplegia, penurunan visus, sakit kepala yang berat, pembengkakan area frontal, tanda-tanda iritasi meningeal, kelainan neurologis fokal 2. Bila tidak terjadi perbaikan pasca terapi ad ekuat setelah 10 hari (RSA viral), 14 hari (RSA pasca viral), dan 48 jam (RSA bakterial). Rinosinusitis Kronis Strategi tatalaksana RSK meliputi identifikasi dan tatalaksana faktor risiko serta pemberian KS intranasal atau oral dengan / tanpa antibiotik. Tatalaksana RSK dapat dilihat pada Algoritma tatalaksana RSK. Prognosis
Rinosinusitis Akut 1. Ad vitam : Bonam Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam Rinosinusitis Kronis 1. Ad vitam : Bonam Bonam 2. Ad functionam : Dubia ad bonam 3. Ad sanationam : Dubia ad bonam Sinusitis Dentogenik 1. Ad vitam : Bonam Bonam 2. Ad functionam : Bonam 3. Ad sanationam : Bonam Pencegahan
1.
2.
3.
III.
Pencegahan Primer Pencegahan tingkat pertama merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Upaya yang dapat dilakukan yaitu memberikan imunisasi lengkap kepada bayi, meningkatkan daya tahan tubuh dengan makan makanan yang bergizi, dan meminimalkan kontak dengan orang yang sedang mengalami influenza atau penyakit saluran pernafasan lainnya untuk menghindari penularan. Pencegahan Sekunder Tingkat pencegahan kedua merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, dan menghindari komplikasi. Pencegahan Tersier Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.45 Upaya yang dapat dilakukan antara lain : makan makanan yang bergizi untuk meningkatkan daya tahan tubuh untuk mempercepat penyembuhan pasca operasi dan pengobatan dengan antibiotik.
POLIP HIDUNG
Definisi
Polip nasi adalah massa lunak yang tumbuh di dalam rongga hidung. Kebanyakan polip berwarna putih bening atau keabu – keabu – abuan, mengkilat, lunak karena banyak mengandung cairan (polip edematosa). Polip yang sudah lama dapat berubah menjadi kekuning – kekuning – kuningan kuningan atau kemerah – kemerah – merahan, merahan, suram dan lebih kenyal (polip fibrosa). Polip kebanyakan berasal dari mukosa sinus etmoid, biasanya multipel dan dapat bilateral. Polip yang berasal dari sinus maksila sering tunggal dan tumbuh ke arah belakang, muncul di nasofaring dan disebut polip koanal. Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan , dari usia anak-anak sampai usia lanjut. Bila ada polip pada anak di bawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. Etiologi
Polip hidung biasanya terbentuk sebagai akibat reaksi hipersensitif atau reaksi alergi pada mukosa hidung. Peranan infeksi pada pembentukan polip hidung belum
diketahui dengan pasti tetapi ada keragu – keragu – raguan raguan bahwa infeksi dalam hidung atau sinus paranasal seringkali ditemukan bersamaan dengan adanya polip. Polip berasal dari pembengkakan lapisan permukaan mukosa hidung atau sinus, yang kemudian menonjol dan turun ke dalam rongga hidung oleh gaya berat. Polip banyak mengandung cairan interseluler dan sel radang (neutrofil dan eosinofil) dan tidak mempunyai ujung saraf atau pembuluh darah. Polip biasanya ditemukan pada orang dewasa dan jarang pada anak – anak – anak. anak. Pada anak – anak – anak, anak, polip mungkin merupakan gejala dari kistik fibrosis. Yang dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya polip antara lain alergi terutama rinitis alergi, sinusitis kronik, iritasi, dan sumbatan hidung oleh kelainan anatomi seperti deviasi septum dan hipertrofi konka. Patomekanisme
Pada tingkat permulaan ditemukan edema mukosa yang kebanyakan terdapat di daerah meatus medius. Kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler, sehingga mukosa yang sembab menjadi polipoid. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin membesar dan kemudian akan turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai, sehingga terbentuk polip. Polip di kavum nasi terbentuk akibat proses radang yang lama. Penyebab tersering adalah sinusitis kronik dan rinitis alergi. Dalam jangka waktu yang lama, vasodilatasi lama dari pembuluh darah submukosa menyebabkan edema mukosa. Mukosa akan menjadi ireguler dan terdorong ke sinus dan pada akhirnya membentuk suatu struktur bernama polip. Biasanya terjadi di sinus maksila, kemudian sinus etmoid. Setelah polip terrus membesar di antrum, akan turun ke kavum nasi. Hal ini terjadi karena bersin dan pengeluaran sekret yang berulang yang sering dialami oleh orang yang mempunyai riwayat rinitis alergi karena pada rinitis alergi terutama rinitis alergi perennial yang banyak terdapat di Indonesia karena tidak adanya variasi musim sehingga alergen terdapat sepanjang tahun. Begitu sampai dalam kavum nasi, polip akan terus membesar dan bisa menyebabkan obstruksi di meatus media. Gejala dan tanda
Gejala utama yang ditimbulkan oleh polip hidung adalah rasa sumbatan di hidung. Sumbatan ini tidak hilang – timbul dan makin lama semakin berat keluhannya. Pada sumbatan yang hebat dapat menyebabkan gejala hiposmia atau anosmia. Bila polip ini menyumbat sinus paranasal, maka sebagai komplikasinya akan terjadi sinusitis dengan keluhan nyeri n yeri kepala dan rinore. Bila penyebabnya adalah alergi, maka gejala yang utama ialah bersin dan iritasi di hidung. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapatkan post nasal drip dan rinorhea purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma. Pada pemeriksaan fisik, polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung Pada rinoskopi anterior polip hidung seringkali harus dibedakan dari konka hidung yang menyerupai polip (konka polipoid). Perbedaannya adalah massa berwarna pucat berasal dari meatus medius, bertangkai, mudah digerakkan, konsistensi lunak, tidak nyeri bila ditekan, tidak mudah berdarah dan pada pemakaian vasokonstriktor (kapas adrenalin) tidak mengecil. Pembagian stadium polip menurut Mackay dan Lundt (1997) Stadium I: polip masih terbatas di meatus medius Stadium II: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di ronggga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung. Stadium III: polip yang masif. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan pada kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhankeluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. Untuk polip edematosa, dapat diberikan pengobatan kortikosteroid : 1. Oral, misalnya prednison 50 mg/hari atau deksametason selama 10 hari, kemudian dosis diturunkan perlahan – perlahan – lahan lahan (tappering off). 2. Suntikan intrapolip, misalnya triamsinolon asetonid atau prednisolon 0,5 cc, tiap 5 – 7 7 hari sekali, sampai polipnya hilang.
3. Obat semprot hidung yang mengandung kortikosteroid, merupakan obat untuk rinitis alergi, sering digunakan bersama atau sebagai lanjutan pengobatn kortikosteroid per oral. Efek sistemik obat ini sangat kecil, sehingga lebih aman. Untuk polip yang ukurannya sudah besar dilakukan ektraksi polip (polipektomi) dengan menggunakan senar polip. Selain itu bila terdapat sinusitis, perlu dilakukan drainase sinus. Oleh karena itu sebelum operasi polipektomi perlu dibuat foto sinus paranasal untuk melihat adanya sinusitis yang menyertai me nyertai polip po lip ini atau tidak. Selain itu, pada pasien polip dengan keluhan sakit kepala, nyeri di daerah sinus dan adanya perdarahan pembuatan foto sinus paranasal tidak boleh dilupakan. Prosedur polipektomi dapat mudah dilakukan dengan senar polip setelah pemberian dekongestan dan anestesi lokal. Pada kasus polip yang berulang – ulang, perlu dilakukan operasi etmoidektomi oleh karena umumnya polip berasal dari sinus etmoid. Etmoidektomi ada dua cara, yakni : 1. Intranasal 2. Ekstranasal Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional) Prognosis
Polip hidung sering tumbuh kembali, oleh karena itu pengobatannya juga perlu ditujukan kepada penyebabnya, misalnya alergi. Terapi yang paling ideal pada rinitis alergi adalah menghindari kontak dengan alergen penyebab dan eliminasi. Secara medikamentosa, dapat diberikan antihistamin dengan atau tanpa dekongestan yang berbentuk tetes hidung yang bisa mengandung kortikosteroid atau tidak. Dan untuk alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung lama dapat dilakukan imunoterapi dengan cara desensitisasi dan hiposensitisasi, yang menjadi pilihan apabila pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan
IV.
DEVIASI SEPTUM NASAL Definisi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Deviasi septum dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak d eviasi, yaitu: 1. Tipe I; benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara. 2. Tipe II; benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna. 3. Tipe III; deviasi pada konka media (area osteomeatal dan turbinasi tengah). 4. Tipe IV, “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya). 5. Tipe V; tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain masih normal. 6. Tipe VI; tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga menunjukkan rongga yang asimetri. 7. Tipe VII; kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Bentuk-bentuk dari deformitas hidung ialah deviasi, biasanya berbentuk C atau S; dislokasi, bagian bawah kartilago septum ke luar dari krista maksila dan masuk ke dalam rongga hidung; penonjolan tulang atau tulang rawan septum, bila memanjang dari depan ke belakang disebut krista, dan bila sangat runcing dan pipih disebut spina; sinekia, bila deviasi atau krista septum bertemu dan melekat dengan konka dihadapannya. Etiologi
Penyebab deviasi septum nasi antara lain trauma langsung, Birth Moulding Theory (posisi yang abnormal ketika dalam rahim), kelainan kongenital, trauma sesudah lahir, trauma waktu lahir, dan perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Faktor resiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir, resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju, karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika berkendara.
Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada batang batan g hidungnya. Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan diagnosisnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil pemeriksaan bisa normal. Deviasi septum yang ringan tidak akan mengganggu, akan tetapi bila deviasi itu cukup berat, menyebabkan penyempitan pada satu sisi hidung. Dengan demikian, dapat mengganggu fungsi hidung dan menyebabkan komplikasi.
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral atau juga bilateral. Keluhan lain ialah rasa nyeri di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila terdapat deviasi pada bagian atas septum.
Penatalaksanaan
Analgesik. Digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
Pembedahan. o
Septoplasti.
o
SMR (Sub-Mucous Resection).
Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Defiasi Septum
Penyakit
Rhinitis Alergi
Polip Hidung
Rinosinusitis
Nasal post drip
+
+
+
-
Pilek
+
+
-
-
-
-
-
Sesak napas
Dapat meningkat
Nasi
Berdasarkan gejala dan tanda yang ada maka penyakit mendekati yang terkait akan skenario adalah penyakit Rinitis Alergi.
DAFTAR PUSTAKA Budiman, Bestari J dan Ade Asyari. Diagnosis Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinosinusitis dengan Polip Nasi.Padang Nasi.Padang : Jurnal Bagian Telinga Hidung Tenggorokan Balai Bedah Kela Leher Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.Vol.14,No.4:49-61 Higler,Adams.1997. Buku Higler,Adams.1997. Buku Ajar Penyakit THT.Jakarta THT.Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (ECG) Hikma,Nuzulul dan I Dewa Ayu Ratna Dewanti.Seputar Dewanti.Seputar Reaksi Sesintivitas(Alergi).Jember Sesintivitas(Alergi).Jember Jurnal Bagian Biomedik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Vol. 7 No. 2 2010: 108-12 Luhulima,j. W.dkk.2013.buku W.dkk.2013.buku ajar anatomi biomedik 1.ed.3.makassar.bagian 1.ed.3.makassar.bagian anatomi fk unhas Mangunkusumo, Endang. Nizar, N.W. 2006. Kelainan 2006. Kelainan Septum. Septum. Dalam: Buku Ajar Ilmu TelingaHidung-Tenggorokan. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Setiati,Siti.dkk.2014. Buku Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi Dalam.Edisi enam.Jakarta : Interna Publishing Tanto,chris.dkk.2014. Kapita Kapita Selekta Kedokteran.Edisi Kedokteran.Edisi keempat.Jakarta : Media Aesculapius Vika.2012. Polip Polip Nasi.Tugas Nasi.Tugas Kepaniteran Klinik Bagian THT.Tidak diterbitkan.Fakultas KedokteranUniversitas Tarumanagara Jakarta.Indonesia : Jakarta