LAPORAN PRAKTIKUM TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR (II. Mengukur Kemiringan Lahan dengan Alat Pengukur Sudut)
Oleh: Kelompok
:5
Shift / Hari / Tanggal
: Shift 2 / Selasa, 19 September 2017
Nama dan NPM
: 1. Muammar Fattan
(240110150047)
2. Tiara Putri Dwi
(240110150063)
3. Meisha Athaya
(240110150086)
4. Muhammad Wildan
(240110150119)
Asisten
: 1. Risqi Aditia Tungki Putra 2. Risti Kartikasari
LABORATORIUM KONSERVASI TANAH DAN AIR DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN UNIVERSITAS PADJADJARAN 2017
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Lereng adalah penampakan alam yang disebabkan karena adanya beda tinggi di dua tempat. Kemiringan lereng (Slope) merupakan salah satu unsur topografi dan sebagai faktor terjadinya erosi melalui proses run off. Semakin curam lereng semakin besar laju dan jumlah aliran permukaan, semakin besar pula erosi yang terjadi. Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang menentukan karakteristik topografi suatu daerah aliran sungai. Kedua faktor tersebut menentukan besarnya kecepatan da volume limpasan air hujan. Kecepatan limpasan hujan ditentukan oleh kemiringan dan panjang lereng. Secara umum, erosi akan meningkat dengan meningkatnya kemiringan dan panjang lereng. Pada laha datar, percikan butir air hujan melemparkan partikel tanah ke udara ke segala arah secara acak, pada lahan miring, dengan proposi yang makin besar dengan meningkatnya kemiringan lereng. Selanjutnya, semakin panjang lereng cenderung makin banyak air permukaan yang terakumulasi, sehingga aliran permukaan baik kecepatan dan jumalah semakin tinggi. Derajat kemiringan lereng dan panjang lereng merupakan sifat tofografi yang dapat mempengaruhi besarnya erosi tanah. Semakin curam dan semakin panjang lereng maka makin besar pula aliran permukaan dan bahaya erosi semakin tinggi. Jika aliran permukaan terjadi di sepanjang lereng, maka laju aliran permukaan pada lereng bagian bawah lebih cepat akibat akumulasi aliran yang semakin tinggi. Peningkatan laju aliran permukaan berakibat pada meningkatnya daya penghancur agregat dan pengikisan tanah akan semakin tinggi pula. Oleh sebab itu, semakin panjang lereng, semakin tinggi potensi air untuk menimbulkan erosi. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui sudut kemiringan lereng agar dapat mengantisipasi kemungkinan erosi yang terjadi, sehingga tidak berdampak pada pengelolaan lahan pertanian yang kita usahakan. Penting bagi kita untuk mengetahui sudut kemiringan lereng agar dapat mengantisipasi kemungkinan
erosi yang terjadi. Beberapa alat yang digunakan untuk pengukuran kemiringan lahan yaitu abney level, suunto level, haga meter, theodolit dan meteran.
1.2 Tujuan Praktikum Tujuan dari praktikum kali ini adalah mahasiswa dapat melakukan pengukuran kemiringan lahan dengan benar menggunakan alat pengukur sudut dalam satuan persen atau derajat.
1.3 Metodologi Pengamatan dan Pengukuran 1.3.1 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah sebagai berikut : 1. Abney level 2. Hagameter 3. Jalon 4. Meteran 5. Patok 6. Rambu ukur 7. Suunto level 8. Teodolit 1.3.2 Prosedur Praktikum Prosedur pelaksanaan praktikum pada masing-masing alat adalah sebagai berikut: 1.3.2.1
Prosedur pengukuran dengan teodolit 1. Mendirikan tripod sampai ketiga kakinya tegak lurus 2. Memasangkan teodolit pada tripod 3. Mengatur nivo pada teodolit sehingga, gelembung nivo berada ditengah 4. Mengatur nivo tabung sehingga gelembung nivo berada ditengah 5. Menyalakan teodolit
6. Mengukur tinggi teodolit tersebut, tinggi teodolit tersebut dijadikan batas tengah untuk acuan pengukuran batas atas dan batas bawah 7. Membidik rambu ukur pada titik pertama dan kedua sehingga didapat nilai batas atas, batas bawah,batas tengah dan sudut vertikal, lalu catat hasilnya 1.3.2.2
Prosedur pengukuran dengan haga meter 1. Mengukur tinggi (dari ujung kaki sampai mata) pembidik, kemudian menandai tinggi pembidik pada jalon dengan spidol 2. Letakan jalon pada titik 1 3. Menekan tombol pointer(pelepas kunci) 4. Membidik tanda yang telah dibuat pada jalon pada titik satu dan titik dua 5. Membaca angka yang muncul pada skala 6. Mencatat hasilnya
1.3.2.3
Prosedur pengukuran dengan meteran 1. Meletakkan jalon pada titik 0, meletakkan ujung meteran pada jalon setinggi yang disesuaikan 2. Menarik meteran ke titik I, sesuaikan tinggi meteran sehingga lurus dan tidak kendor 3. Melakukan hal yang sama, jalon pindah ke titik 1 sedangkan meteran ditarik ke titik ke 2 4. Mencatat panjangnya jarak dari titik 0 ke titik 1 dan dari titik 1 ke titik 2
1.3.2.4
Prosedur pengukuran dengan abney level 1. Mengukur tinggi pembidik, lalu tandai tingginya pada jalon 2. Meletakkan jalon pada titik 1 3. Pegang abney level, meletakkan lubang tempat mebidiknya didepan mata 4. Membidik tanda yang ada pada jalon
5. Mengatur gerakan setengah lingkaran berskalanya ke atas atau ke bawah sampai gelembung nivo yang terlihat tepat di benang mendatar 6. Mencatat skala yang tertera pada abney level 7. Melakukan hal yang sama ketika jalon dipindahkan pada titik ke 2 1.3.2.5
Prosedur pengukuran dengan suunto level 1. Mengukur tinggi pembidik, lalu tandai tingginya pada jalon 2. Memvisir tanda pada jalon pada titik 1 dengan mata 3. Membidik tanda pada jalon tersebut 4. Membaca skala yang ada di dalam suunto dan satu orang membaca skala yang berada diluar 5. Mencatat hasilnya
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Kemiringan Lahan Menurut Nurpilihan, dkk (2011) kemiringan suatu lahan adalah tingkat
kecuraman lereng permukaan suatu lahan yang dapat dinyatakan dalam satan persen atau derajat. Satuan persen adalah satuan yang biasanya digunakan untuk menyatakan kemiringan atau lereng suatu lahan yang menunjukan perbandingan antara beda tinggi dengan jarak mendatar dari dua titik yang diukur tingkat kemiringannya. Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menentukan kemiringan lahan adalah dengan menggunakan meteran, busur derajat, klinometer, abney level, haga meter, waterpass dan teodolit. Kemiringan suatu lahan dapat diketahui dengan menggunakan alat yang sederhana maupun alat yang lebih modern. Tabel 1. Klasifikasi Kemiringan Lereng dan Kategori Bentuk Reliefnya. Kemiringan lahan
Kelas kemiringan lahan
Relief
0–3
Datar
Datar
3–8
Agak miring
Landai
8 – 15
Miring
Berombak
15 – 25
Agak terjal
Bergelombang
25 – 40
Terjal
Berbukit
40
Curam
Bergunung
(%)
(Nurpilihan dkk, 2011)
2.2
Pengukuran Kemiringan Lahan Waktu melakukan pengukuran dengan alat-alat ilmu ukur tanah, baik
pengukuran mendatar maupun pengukuran tegak, haruslah sumbu ke satu tegak lurus dan sumbu ke dua tegak lurus pada sumbu ke satu. Untuk mencapai keadaan dua sumbu itu, digunakan suatu alat yang dinamakan nivo. Menurut bentuk
nivo dibagi dalam dua macam, yaitu nivo kotak dan nivo tabung.
Diketahui garis arah nivo adalah garis singgung yang ditarik di titik tengah skala pada nivo. Apabila titik tengah gelembung berimpit dengan titik
tengah
skala,
maka
keadaan
ini dinamakan gelembung di tengah-tengah
(Wongsotjitro, 1980). Pengukuran
di
atas
permukaan
bumi
dilakukan
dengan
mempertimbangkan bentuk lengkung permukaanbumi dan proses perhitungannya pun akan lebih sulit dibandingkan dengan pengukuran yang dilakukan pada bidang datar. Jadi pengukuran yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan bentuk lengkung bumi disebut geodesi, sedangkan pengukuran yang dilaksanakan tanpa
mempertimbangkan
bentuk
lengkung
bumi
disebut
ukur
tanah
datar. Pengukuran sudut berarti mengukur suatu sudut yang terbentuk antara suatu titik dan dua titik lainnya. Pada pengukuran ini diukur arah dari pada dua titik atau lebih yang dibidik dari satu titik kontrol dan jarak antara titiktitik diabaikan (Sosrodarsono dan Takasaki, 1992). Menurut perbedaan
Sosrodarsono dan Takasaki
baik
bagian
dalamnya,
(1992)
maupun
theodolit
mempunyai
penampilannya,
tergantung
dari pekerjaannya, pabrik pembuatannya dan lain-lain, akan tetapi secara umum mempunyai
prinsip
mekanisme
yang
sama.
Secara
umum
theodolit dapat dipisahkan menjadi bagian atas dan bagian bawah. Adapun bagian atas tersebut diantaranya : a. Pelat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertikal. b. b.Standar yang secara vertikal dipasang pada pelat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertikal. c. Sumbu horisontal didukung oleh pelat atas yang langsung dipasang pada sumbu vertikal. d. Teleskop
tegak
lurus
sumbu
horisontal
dan
dapat
berputar
mengililingi sumbunya. e. Lingkaran graduasi vertikal dengan sumbu horisontal sebagai pusatnya.f. f. Dua buah nivo tabung dengan sumbu-sumbu yang saling tegak lurus satu dengan lainnya. Sedangkan bagian bawahnya diantaranya : a. Pelat bawah. b. Lingkaran graduasi horisontal mengelilingi pelat bawah.
c. Tabung sumbu luar dari sumbu vertical yang dipasangkan tegak lurus terhadap lingkaran graduasi horizontal. d. Pelat-pelat
sejajar
dan
sekrup-sekrup
penyipat
datar
untuk
menghorisontalkan theodolit secara keseluruhan.
2.3
Alat Ukur Beda Tinggi Lahan
2.3.1 Abney Level Abney level digunakan untuk mengukur kemiringan lahan. Dapat juga untuk
mengukur
ketinggian
benda
seperti
pohon,
rumah,
dan
sebagainya. Penggunaan clinometer lebih praktis daripada penggunaan abney levelkarena, sebab surveyorhanya
tingggal
membaca
besaran
sudut
atau
kemiringan lahan tersebut dalam dua macam satuan, yaitu derajat dan persentase. Untuk cara penggunaan clinometerhampir sama dengan kompas, yaitu mata yang kanan melihat menuju
objek.
Kedua
skala clinometer, sedangkan
mata membidik
sasaran
dalam
mata
posisi
kiri
sejajar.
Selain digunakan untuk mengukur besarnya lereng dalam dua satuan, yaitu derajat (skala kiri) dan persentase (skala kanan), clinometer ini juga digunakan untuk
mengukur
tinggi
pohon,
bangunan atau objek-objek yang lainnya
(Abdullah, 1993). Penyipat
abney
terdiri
atas
tabung
bidik
berpenampang
segi
empat, panjangnya 127 mm, dilengkapi dengan tabung teleskop yang mencapai panjang 178 mm. Tabung teleskop dilengkapi dengan lubang bidik pada ujung bidik dan benang silang garis horizontal, sehingga lengkaplah susunan
pembidikan.
disekrupkan
busur
Pada tabung setengah
bidik
empat
persegi
lingkaran berskala derajat
panjang
dibaca dengan
nonius. Pada sumbu busur dipasang suatu nino spiritus. Dalam tabung bidik dipasang cermin yang membentuk sudut 450 dengan garis
bidik,
yang
memungkinkan pengamat melihat secara serentak nivo spiritus melalui cermin dan target di tempat yang jauh pada benang silang. Untuk mengatur sudut kemiringan, penyipat abneyditempatkan pada mata sedemikian rupa sehingga gelembung nivo terlihat pada cermin. Tabung bidik dimiringkan unutk
mengamati
stasiun
depan,
dan
dengan
menggerakkan
sekrup
pengontrol nivo secara lambat (Irvine, 1995). Penggunaan Abney Level untuk menentukan tingginya pohon:
Gambar 1. Abney Level
2.3.2
Clinometer Clinometer merupakan
alat
sederhana
yang
digunakan
untuk
mengukur sudut elevasi yang dibentuk antara garis datar dengan sebuah garis yang menghubungkan sebuah titik pada garis datar tersebut dengan titik puncak (ujung) suatu objek. Pada terapannya, alat ini dapat digunakan pada pekerjaan pengukuran tinggi (atau panjang) suatu objek dengan memanfaatkan sudut elevasi
. Gambar 2. Clinometer Suunto Tandem
2.3.3
Hand Gun Altimeter (Haga Meter) Hand Gun Altimeter (HAGA) adalah suatu alat ukur untuk mengukur
ketinggian, mulai dari ketinggian yang sedang sampia yang tinggi. Alat ini harganya tidak terlalu mahal dan cukup akurat (sempurna). Kemuliaan di atas dan di bawah mata pengamat dapat dibaca secara langsung dari skala jika
pengamat berdiri pada jarak 15, 20, 25 atau 30 m dari pohon. Skala yang sesuai dapat terpilih dengan telepon
berputar pemilihan [itu] memutar angka
pusat perhatian/paling depan instrumenKetika digunakan dengan
tepat, Blume Leiss mempunyai suatu ketelitian sekitar+/-0.5 m untuk suatu 20 m pohon jangkung ( dengan kata lain sekitar 2.5%).
Gambar 3. Haga Meter
Muammar Fattan Ghifari 240110150047
3.2. Pembahasan Praktikum kali ini membahas mengenai cara mengukur dan menghitung kemiringan lahan dengan alat pengukur sudut. Kemiringan dan panjang lereng merupakan dua hal dari topografi yang mempengaruhi erosi. Semakin panjang dan curam suatu lereng maka kecepatan aliran permukaan akan semakin cepat. Kemiringan ini dinyatakan dalam satuan persen atau derajat. Satuan persen menunjukkan perbandingan antara beda tinggi dengan jarak mendatar dari dua titik tingkat kemiringannya. Sedangkan derajat menunjukkan besarnya sudut yang dibentuk oleh garis permukaan lahan terhadap garis mendatar. Beberapa alat yang dilakukan untuk menentukan kemiringan lahan diantaranya adalah menggunakan sunto level, abney level, teodolit, meteran dan haga meter. Kelima alat tersebut mempunyai metode pengukuran kemiringan yang berbeda. Lahan yang digunakan dalam praktikum merupakan lahan dengan kemiringan yang cukup tinggi dan bergelombang. Dalam penampakannya lahan tersebut miring dan berpotensi terjadi erosi jika hujan turun. Pengukuran menggunakan teodolit mendapatkan 4 data, yaitu batas atas (BA), batas tengah (BT), batas bawah (BB) dan sudut vertikal (VA). Data yang diperoleh dengan menggunakan teodolit akan berupa nilai derajat (°), sehingga dikonversikan menjadi persen. Setelah melakukan praktikum dengan menggunakan alat-alat pengukur sudut maka didapati suatu pembahasan mengenai masing-masing alat tersebut terhadap pembacaan sudut pada suatu lahan miring karena terdapat perbedaan dari tiap alat baik cara pengukuran ataupun cara pembacaan sudutnya. Alat pengukur sudut yang digunakan terdapat 5 jenis yaitu Haga, Abney, Sunto, Theodolit Digital dan Meteran. Pengukuran dilakukan pada lahan yang sama yaitu lahan miring dengan jarak pengukuran ± 15 meter dengan penempatan 3 titik pengukuran pada tiap 5 meter, pengukuran ini dilakukan dari atas menuju bawah lereng. Parameter utama yang sangat terlihat adalah tingkat keakuratan hasil pembacaan sudut tiap alat. Secara umum, theodolit digital memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding keempat alat lainnya karena pengukuran dengan Haga, Abney, Sunto dan meteran murni manual sesuai kemampuan
pembaca sudut. Faktor kurangnya tingkat ketelitian yang utama yaitu keterbatasan pembaca sudut karena terbatasnya pandangan atau posisi pemegangan alat ukur yang berubah-ubah belum lagi faktor eksternal dimana kondisi lingkungan yang panas dan angin yang cukup kencang. Namun bila dimisalkan patokan nilai kemiringan lahan adalah nilai dari teodolit digital maka dari keempat alat lainnya yang mendekati nilai presentase yaitu pembacaan sudut dengan alat Abney. Sedangkan dengan menggunakan alat yang terakhir atau menggunakan teodolit. Alat teodolit memiliki tingkat ketelitian yang hampir sempurna. Hanya saja dalam pengoperasiannya sangat kompleks. Pertama-tama kita harus mensejajarkan nivo kotak dan nivo tabung dan harus sangat hati-hati. Dalam melakukan pengukuran dengan menggunakan alat teodolit kita tidak dapat lepas dari rambu ukur untuk mendapatkan nilai batas bawah, batas tengah dan batas atas. Berdasarkan
kelima
alat
tersebut
apabila
dibandingkan
tingkat
keakurasiannya, meteran adalah yang paling rendah. Alat ini penggunaannya sangat manual dan sangat bergantung pada tingkat ketelitian pengamat atau praktikan. Hasil besarnya sudut yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan meteran sangat berbeda jauh dengan alat pengukur sudut lainnya yang relatif saling mendekati. Kendala yang dialami saat pengukuran yaitu penentuan titik ukur lahan dan titik ukur patokan pengukuran yang disesuaikan dengan tinggi si pembaca sudut karena banyak faktor keterbatasan terseut yang membuat hasil pengukuran kurang akurat. Namun secara garis besar pembacaan sudut dengan kelima alat tersebut memiliki fungsi penting dalam penentuan kemiringan suatu lahan agar hasil data tersebut dapat diolah dan dimanfaatkan untuk konservasi, dsb.
Tiara Putri Dwi D. 240110150063 3.2
Pembahasan Praktikum konservasi tanah dan air kali ini yaitu mengenai pengukuran
kemiringan lahan dengan alat pengukur sudut. Adapun alat ukur yang digunakan pada praktikum kali ini adalah meteran, Suunto meter, haga meter, abney level, meteran dan teodolit. Kelima alat ukur tersebut memiliki ketelitian yang berbedabeda sehingga praktikan dapat membandingkan keakuratan diantara kelima alat tersebut. Kemiringan suatu lahan perlu di ukur agar dapat mengetahui besarnya dugaan erosi dilahan tersebut khususnya di bidang konservasi tanah dan air. Sebelum melakukan pengukuran praktikan harus mengetahui terlebih dahulu tinggi mata pembaca yang nantinya akan disesuaikan dengan tinggi acuan bidikan pada jalon. Pengukuran yang pertama yaitu dengan menggunakan theodolit dengan dua titik.. titik yang pertama besarnya kemiringan pada lahan tersebut yaitu 71.8958° sedangkan pada titik kedua, besarnya adalah 72.35°. Perbedaan nilai kemiringan dapat diakibatkan karena kurang telitinya pembidik dalam membaca rambu ukur setelah dilakukan pembidikan, namun perbedaan besarnya nilai kemiringan tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Pengukuran dengan teodolit dapat diperoleh besarnya sudut kemiringan pada lahan tersebut, besarnya jarak miring, jarak datar, dan beda tinggi pada setiap titik pengukuran. Berdasarkan
literatur, pengukuran besarnya kemiringan lereng yang
paling akurat yaitu dengan menggunakan teodolit, karena sudut vertikal dan horisontal pada teodolit terukur secara otomatis, selain itu dalam teodolit juga memperhitungkan jarak datar, sudut horisontal dan juga sudut vertikal. Pengukuran menggunakan haga meter ini prinsipnya sama dengan suunto meter dan abney level yaitu mengetahui besarnya kemiringan lahan dalam satuan derajat dan persen. Besarnya kemiringan pada titik 1 dan titik 2 menggunakan haga meter secara berturut-turut adalah 88.08° atau 30% dan 87.91° atau 27.5%. Pengukuran dengan menggunakan abney level harus dikalibrasi terlebih dahulu, dimana didalamnya terdapat gelembung yang menjadi titik acuan dalam pengukuran yang disebut dengan nivo., didapat besarnya kemiringan lahan adalah 88.14° pada titik 1 dan 88.10° pada titik ke 2. Berdasarkan literature, nilai kemiringan lahan dengan menggunakan abney level dan haga meter yaitu sekitar 27-30% menunjukkan bahwa lahan tersebut terjal dan relief berbukit.
Berdasarkan literatur, diketahui bahwa abney level memiliki tingkat keakuratan yang lebih baik apabila dibandingkan dengan suunto level. Akan tetapi, dalam pengukuran kemiringan lahan di lapangan tidak menunjukkan hasil yang benar-benar akurat yang diakibatkan karena masih terjadi beberapa kesalahan dalam pembacaan nilai kemiringan dan pemisiran yang kurang teliti, selain itu pembidik tidak boleh banyak bergerak, agar bidikannya tepat. Nilai kemiringan lahan yang diperoleh dengan menggunakan haga meter dan abney level, tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran dengan menggunakan teodolit. Abney level memiliki beberapa kelebihan diantaranya adalah mudah digunakan serta relatif murah apabila dibandingkan dengan teodolit. Hasil pengukuran dengan meteran, didapat bahwa nilai kemiringan pada lahan adalah 44.8° dan 39.97°. Apabila dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunkan teodolit, pengukuran dengan menggunkan meteran sangat jauh bebreda yaitu sekitar 30°. Karena dengan menggunakan meteran, sangat dibutuhkan ketelitian pengamat, selain itu, meteran harus benar-benar lurus dalam pengukuran jarak datar. Sehingga, pengukuran kemiringan dengan menggunakan meteran dikatakan memiliki tingkat keakurasian yang rendah. Berdasarkan pengukuran kemiringan lahan dengan alat ukur sudut ini tergantung pada tingkat keakuratan hasil pembacaan sudut pada setiap alat, diantara alat-alat yang digunakan teodolit memiliki keakuratan yang tinggi dibandingkan dengan keempat alat lainnya. Dari perbedaan hasil pengukuran terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah terbatasnya pandangan pembaca serta posisi jalon sebagai acuan selalu berubah-ubah karena angin. Dan untuk tingkat akurasinya, meteran merupakan yang paling rendah karena penggunaanya yang manual dan bergantung pada ketelitian pengamat. Berdasarkan rata-rata pengukuran, maka lahan ini memiliki kelas kemiringan lahan yang terjal dan relief berbukit. Kemiringan lereng atau lahan ini merupakan salah satu penyebab erosi alami, sehingga perlu diperhatikan. Lahan yang memiliki kemiringan besarm relative mudah terganggu atau rusak. Semakin panjang dan curam lereng, maka semakin besar pula kecepatan aliran air dan bahaya erosi.
Meisha Athaya T 240110150086
3.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini, yang dibahas adalah mengenai cara mengukur dan menghitung kontingen atau kemiringan lahan dengan menggunakan alat pengukur sudut. Dengan praktikum ini praktikan diharapkan dapat mengukur kemiringan lahan dengan baik dan benar menggunakan alat-alat ukur yang telah disedikan oleh asistan lab. Seperti yang telah kita ketahui bahwa kemiringan adalah ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum, dinyatakan dalam persen atau derajat. Dilihat dari tingkat kecuraman lahan, panjang dari lahan serta bentuk dari lahan itu sendiri jelas akan sangat mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan yang terjadi pada lahan tersebut. Apabila lahan semakin curam, maka akan semakin besar laju dan jumlah aliran permukaan, serta semakin besar juga erosi yang akan terjadi. Dalam praktikum ini, praktikan menggunakan lima alat ukur berbeda-beda secara bergantian dengan melihat dua titik bidik pada setiap pemakaian alat ukurnya. Pada pengukuran pertama, praktikan akan mengukur pada jarak 10m dan pada pengukuran kedua praktikan akan mengukur pada jarak 20m. Alat ukur yang digunakan oleh praktikan diantaranya adalah meteran, thelodolite, sunto level, abney level dan haga meter. Pada kelima alat, masing-masing memiliki cara pengukuran yang berbeda-beda juga satuan pengukuran yang berbeda. Pada abney level dan haga meter akan didapatkan hasil dalam persen, pada meteran dalam meter dan pada sunto level dan theodolite dalam derajat yang nantinya akan dikonversi. Lahan yang digunakan pada praktikum kali ini adalah didekat kandang sapi Fakultas Peternakan yang tingkat kemiringannya yang cukup tinggi. Apabila dilihat dari tingkat kemiringan dan bentuk lahan yang diukur, lahan ini kemungkinan besar berpotensi akan mengalami erosi ketika terguyur hujan deras. Hal ini dapat dibuktikan dengan hasil pengukuran kami. Kelompok kami pertama kali mendapatkan alat ukur theodolite. Hasil yang didapatkan dari alat ini adalah dalam satuan derajat yang nantinya akan dikonversi dalam bentuk persen. Alat ukur ini merupakan alat ukur yang paling mudah serta akurat apabila dibandingkan dengan alat ukur lainnya. Pengukuran dilakukan pada dua titik bidik dan pada titik bidik pertama dengan jarak 10m didapatkan hasil
batas atas (BA) sebesar 1,472m, batas tengah (BT) sebesar 1,42m, batas bawah (BB) sebesar 1,368 dan sudut vertikal (VA) sebesar 71,8958°. Maka didapatkan hasil konversi sebesar 32,6936%. Kemudian dilanjutkan pada titik bidik kedua dengan jarak 20m dan didapatkan hasil batas atas (BA) sebesar 1,525m, batas tengah (BT) sebesar 1,42m, batas bawah (BB) sebesar 1,315 dan sudut vertikal (VA) sebesar 72,35°. Maka didapatkan hasil konversi sebesar 103,2648%. Dilanjutkan dengan alat ukur haga meter dengan jarak dan jumlah titik bidik seperti sebelumnya dan didapatkan hasil dalam satuan persen secara berturut-turut sebesar 30% dan 27,5. Kemudian hasil tersebut dikonversi kedalam bentuk derajat dan didapatkan hasil secara berurut sebesar 88,0908° dan 87,9174°. Alat kegita yang kelompok kami gunakan adalah abney level yang juga mendapatkan hasil dalam satuan persen yaitu pada jarak 10 m sebesar 30,9% dan pada jarak 20m sebesar 30,3 %. Cara konversi pada abney level sama dengan cara konversi menggunakan haga meter, makan didapatkan hasil dalam deraja secara berurut yaitu 88,1464° dan 88,1097°. Alat keempat yang kami gunakan cukup menyulitkan baik dalam pengukuran maupun konversi apabila dibandingkan dengan alat lainnya karena hasil yang didapatkan dari pengukuran adalah dalam satuan meter. Ketelitian alat ini juga bisa dikatakan sangat kurang apabila dibandingkan dengan alat lain terutama bila dibandingkan dengan theodolite. Pada titik pengukuran pertama didapatkan Dt sebesar 9,3 m dan Dh sebesar 9,35m. Pada titik kedua didapatkan Dt sebesar 8,2m dan Dh sebesar 12,7627m. Dari kedua data tersebut kita bisa mencari Gl dengan menggunakan rumus phytagoras. Hasil akhir yang didapatkan setelah konversi secara berurut adalah dalam satuan derajat,yaitu sebesar 44,8463° dan 39,9780°. Alat terakhir yang kami coba adalah Sunto Level atau Clinometer hasil pengukurannya
didapatkan
dalam
satuan
derajat
yang
nantinya
akan
dikonversikan kedalam satuan persen. Pada titik pertama maupun kedua mendapatkan hasil yang sama yaitu 20°. Setelah dikonversi kedalam persen maka didapatkan hasil 36,397%. Dari kelima alat yang digunakan hasil dari konversi seluruh alat pada dasarnya tidak terlalu berbeda jauh,namun dapat disimpulkan bahwa alat yang paling akurat dalam mengukur kemiringan lahan adalah theodolite karena
langsung didapatkan sudut vertikalnya. Sedangkan alat ukur kemiringan lahan yang akurasinya kurang adalah meteran karena lebih sulit untuk digunakan saat pengukuran dan satuan yang didapatkan adalah dalam meter. Pada praktikum ini juga terdapat beberapa kendala yang mengganggu jalannya praktikum diantaranya karena alat yang digunakan cukup banyak dan dipakai secara bergantian sehingga praktikan agak terburu-buru dalam pengerjaan dan mengurangi ketelitian pengukuran, selain itu lahan juga cukup bergelombang dan menyulitkan dalam penggunaan beberapa alat.
Muhammad Wildan Sapoetro 240110150119 3.2 Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan mengenai pengukuran kemiringan lahan dengan alat pengukur. Alat pengukur yang dipergunakan dalam praktikum kali ini terdiri dari meteran, teodolit, abney level, clinometer meter,dan haga meter. Pengukuran ini dilakukan dengan membagi jarak ukur menjadi 2 bagian, yaitu 10 m dan 20 m. Dilakukannya lereng ini sangatlah
pengukuran
kemiringan
penting. Kelerengan sangat berhubungan dengan besarnya
erosi yang dialami oleh lahan tersebut. Semakin jauh panjang lereng, maka kemungkinan besarnya erosi lebih tinggi. Kelerengan akan memperbesar jumlah aliran permukaan. Akan tetapi besarnya erosi dapat ditangani dengan memanfaatkan faktor, yaitu :vegetasi penutup tanah, dengan demikian erosi dapat diperkecil. Dengan mengetahui sudut lereng baik dalam persen (%) ataupun dalam (°), maka kita bisa memperkirakan seberapa bersar terjadinya erosi ditempat itu dan tindakan konservasi yang bagaimana seharusnya dilakukan pada titik tersebut. Pada
pengukuran
menggunakan
teodolit
didapati hasil perhitungan kemiringan sudut menunjukkan nilai kemiringan (%) dengan alat ukur teodolit pada titik I 32,6936% dan pada titik II 103,2648 %. Sedangkan nilai kemiringan dalam derajat (°) pada jarak 10 m dan 20 m menggunakan meteran adalah sebesar 44,8463° dan 39,9780°. Selanjutnya,
pada
pengukuran menggunakan
meteran.
Meteran
ini
dijadikan patokan seberapa besar beda tinggi lahan dengan melihat angka yang tertera pada rambu ukur. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh bahwa besarnya kemiringan sudut Sedangkan
dalam
persen
besarnya kemiringan
(%)
adalah 18,52 pada
sudut dalam
derajat
jarak
10 m.
(o)
adalah
10,49.Pengukuran hanya dilakukan pada jarak 10 m, hal ini disebakan alat yang digunakan sudah tidak biasmenjangkau titik ke 2 dan ke 3. Pada pengukuran selanjutnya,menggunakan alat pengukursudut berupa suunto level. Dalam penggunaannya, alat ini harus dikalibrasi terlebih dahulu sebelum digunakan. Pengamat yang akan mengamati kemiringan lahan dengan alat ini memisir terlebih dahulu garis setinggi mata pengamat pada tiang atau rambu ukur pada jarak 10 mdan selanjutnya. Pada alat suunto level ini, hasil pengukuran sudah dalam bentuk derajat (°). Berdasarkan hasil
perhitungan, diperoleh besarnya nilai kemiringan sudut dalam persen (%) pada bacaan dalam adalah 36,4; 38,39; dan 40,4. Sedangkan pada bacaan luar didapati hasil 36,40; 46;63; 44,52. Pengukuran keempat dilakukan dengan menggunakan alat pengukur sudut berupa abney level. Penggunaannya hampir sama dengan suunto level, sebelum digunakan, alat harus dikalibrasi terlebih dahulu. Terdapat gelembung udara pada abney level yang menjadi titik acuan dalam pengukuran yang disebut nivo. Pada alat abney level ini, hasil pengukuran sudah dalam bentuk derajat (°). Berdasarkan
hasil
perhitungan,
diperoleh
besarnya
nilai
kemiringan sudut dalam persen (%) adalah 36,397. Berdasarkan literatur diketahui bahwa abney levelmemiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dibanding dengan suunto level. Akan tetapi pengukurannya tidak betul-betul akuratkarena dalam pelaksanaannya masih terjadi beberapa kesalahan seperti dalam pembacaan nilaidan pemisiran karena kurang telitipada saat melakukan praktikum yang dikarenakan pemaikaian alat bergiliran dan waktu praktikum yang terbatas.Pada penggunaan alat abney levelkita dituntut untuk lebih telaten karena untukmeletakkan nivo pada garis tengah dengan sejajar sebagai indikator bahwa kemiringan sudah tepat tidaklah mudah. Pengukur harus tidak banyak bergerak dan harus teliti. Terakhir, dilakukan pengukuran kemiringan lahan dengan menggunakan alat pengukur
sudutberupa
hagameter.
Penggunaan
alat
ini
adalah
dengan mengarahkan alat pada rambu ukur yang ditempatkan pada titik pengamatan, kemudian pengamat membidik kearah rambu, setelah benar-benar dianggap lurus, praktikan kemudian menembak dengan memcet tombol pada alat, selanjutnya pengamat lain membaca angka yang ditunjukkan oleh jarum pada hagameter. Berdasarkan hasil pengamatan dan
literatur, diketahui bahwa alat
yang memiliki tingkat ketelitianpaling tinggi adalah theodolit, sedangkan yang tingkat keakurasiannya paling rendah adalah meteran. Ketelitian dalam hal pengukuran tidak hanya tergantung pada alat, namun pada pengukur dan juga faktor alamnya.
Dalam menggunakan theodolit, gelembung air yang terdapat pada nivo horizontal maupun vertikal harus benar-benar berada di tengah. Theodolit digital memiliki kelebihan seperti hasil data yang diperoleh lebih cepat, cara penggunaanya
mudah,
serta
data
yang
diperoleh
akurat.
Sedangkan kekurangannya adalah bobotnya berat, harganya mahal, dan untuk mendapat data yang akurat, pengaturan harus stabil.
Muammar Fattan Ghifari 240110150047 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Pada praktikum kali ini dapat kita simpulkan bahwa : 1.
Untuk mengukur tingkat kemiringan lahan dapat dilakukan dengan 5 alat, yaitu suunto level, haga meter, abney, theodolit dan meteran murni manual.
2.
Theodolit digital memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi.
3.
Pada dasarnya, setiap alat mampu menghasilkan data yang hampir sama besarannya. Perbedaan hasil pengamatan kemungkinan terjadi akibat prosedur penggunaan dan pengamatan alat yang kurang baik.
4.
Apabila nilai hasil pengamatan menggunakan theodolit dijadikan acuan, maka hasil pengamatan menggunakan abney merupakan nilai yang paling mendekati akurat.
5.
Penggunaan meteran untuk pengukuran sudut sulit untuk dilakukan karena keterbatasan ketelitian pengamat.
6.
Lahan yang diamati tergolong lahan yang memiliki tingkat kemiringan yang terjal dengan lahan berbukit, sangat memungkinkan terjadi kerusakan akibat erosi bila tidak ditanggulangi.
4.2 Saran Adapun saran yang dapat diajukan dari praktikum ini adalah: 1.
Usahakan alat yang digunakan dalam kondisi layak pakai.
2.
Usahakan pembagian tugas antar anggota jelas sehingga waktu praktikum dapat lebih efisien.
3.
Usahakan orang yang melakukan pengamatan pada setiap alatnya dilakukan oleh orang yang sama guna mengurangi tingkat kesalahan pengamatan.
Tiara Putri Dwi D. 240110150063 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil praktikum, dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Kemiringan suatu lahan perlu di ukur agar kita dapat mengetahui besarnya dugaan erosi.
2.
Alat yang paling akurat dalam mengukur besarnya kemiringan lahan adalah teodolit, sedangakna alat yang memiliki tingkat keakurasian yang rendah adalah meteran
3.
Faktor perbedaan hasil data yang diperoleh dapat disebabkan karena terbatasnya pandangan pengamat
4.
Berdasarkan hasil pengukuran kemiringan rata-rata lahan, dapat diketahui bahwa lahan tersebut memiliki kemiringan lahan yang terjal dan relief berbukit
5.
Semakin curam dan panjang lereng maka semakin besar pula pola kecepatan aliran air dan erosi.
4.2 Saran Agar praktikum dapat berjalan dengan baik, maka diperlukan saran sebagai berikut : 1.
Sebelum praktikum hendaknya praktikan membaca modul praktikum agar pada saat praktikum berlangsung tidak kesulitan.
2.
Sebelum melakukan praktikum hendaknya memeriksa kondisi alat yang digunakan agar praktikum dapat berjalan dengan lancar.
3.
Lebih teliti pada saat praktikum berlangsung.
Meisha Athaya T 240110150086 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan Adapun kesimpulan dari praktikum kali ini yaitu 1.
Kemiringan adalah ukuran kemiringan lahan relatif terhadap bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat.
2.
Tingkat kecuraman lahan, panjang lahan, dan bentuk lahan akan mempengaruhi besarnya erosi dan aliran permukaan yang terjadi pada lahan tersebut.
3.
Apabila lahan semakin curam, maka akan semakin besar laju dan jumlah aliran permukaan, serta semakin besar juga erosi yang akan terjadi.
4.
Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur kemiringan lahan diantaranya meteran, thelodolite, sunto level, abney level dan haga meter.
5.
Alat yang paling mudah dan akurat dalam mengukur kemiringan lahan adalah theodolite.
6.
Alat ukur kemiringan lahan yang akurasinya kurang adalah meteran karena lebih sulit untuk digunakan saat pengukuran dan satuan yang didapatkan adalah dalam meter.
4.2. Saran Adapun saran untuk praktikum kali ini adalah: 1.
Sebelum memulai praktikum, praktikan harus memahami konsep dan materi praktikum terlebih dahulu.
2.
Dalam pengukuran harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan kecermatan tinggi agar mendapatkan data yang akurat.
3.
Peralatan pada praktikum untuk mengukur harus dalam keadaan baik.
4.
Rambu ukur diusahakan tidak digoyangkan saat praktikan sedang melakukan bidikan walaupun angin kencang, praktikan harus lebih kuat menahan rambu ukur.
5.
Pembacaan alat ukur harus dilakukan secara cermat dan sangat teliti agar hasil pembacaan sesuai dengan perhitungan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, S. 1993. Survei Tanah dan Evaluasi Lahan. Penebar Swadaya. Jakarta. Bafdal, Nurpilihan; Suryadi, Edi. PenuntunPraktikum PengawetanTanahdan Air.2007. Jatinagor: UNPAD.
Teknik
Irvine, W. 1995. Penyigian Untuk Konstruksi. Edisi ke II. ITB. Bandung. Sosrodarsono, S., danTakasaki, M. 1992. Pengukuran Topografi dan Teknik Pemetaan. Edisi ke III. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
LAMPIRAN
Dokumentasi Praktikum
Gambar 4. Haga meter
Gambar 5. Abney Level
Gambar 6. Suunto Level