BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Makanan sebagai sumber protein, karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral sangat diperlukan bagi kesehatan fisik, pertumbuhan, dan mengatur proses metabolisme. Makanan yang berkualitas, aman dan menarik dapat diperoleh melalui perlakuan yang tepat pada setiap tahapan produksi, mulai dari persiapan, pengolahan, penyimpanan, pemasaran dan penggunaannya. Makanan yang tidak aman jika dikonsumsi dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan berakibat pada kematian (Suryana, 1994, dalam Sundari, 2013).
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 menyatakan bahwa kualitas pangan yang dikonsumsi harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya adalah aman, bergizi, bermutu, dan dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat. Aman maksudnya mencakup bebas dari cemaran biologis, mikrobiologi, kimia, logam berat, dan cemaran lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia (Mudjajanto, 2014).
Dalam Islam dikenal dengan istilah makanan halalan thayyiban. Makanan halalan (halal) yaitu makanan yang tidak diharamkan, dan tidak menyalahi hukum syari`at Islam untuk dikonsumsi sesuai Al-Qur'an dan sunnah nabi. Makanan yang baik atau dalam istilah agama thayyiban yaitu baik dari sudut pemenuhan kebutuhan gizi bagi tubuh, pengolahan makanan baik, dan bahan campuran yang baik.
Saat ini, Industri pangan di Indonesia telah berkembang dengan pesat, ditandai dengan munculnya industri kecil dan industri rumah tangga yang memproduksi berbagai macam produk makanan. Produk makanan saat ini sangat beragam bentuknya, baik dari segi jenisnya maupun dari segi rasa dan cara pengolahannya. Namun seiring dengan pesatnya teknik pengolahan pangan, penambahan bahan-bahan aditif pada produk makanan sulit untuk dihindari. Akibatnya keamanan pangan yang menjadi dasar dalam pemilihan produk untuk dikonsumsi.
Dalam keamanan pangan dikenal dengan usaha memperhatikan usia masa simpan. Sejalan dengan perkembangan tersebut, muncul cara agar makanan dapat bertahan lama yaitu dengan menggunakan bahan tambahan pangan (kimia dan alami). Salah satu bahan tambahan pangan adalah bahan pengawet untuk mengawetkan makanan dan menambah daya tarik konsumen. Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Penambahan bahan pengawet dalam bahan pangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu pencampuran, penyelupan, penyemprotan, pengasapan, dan pelapisan pada pembungkus pangan (Cahyadi, 2008).
Penambahan bahan tambahan pangan sebenarnya diperbolehkan, apabila bahan tambahan tersebut dilegalkan dan tidak berbahaya bagi konsumen. Namun permasalahan yang yang muncul, banyak produsen ataupun penjual tidak memahami dan memperhatikan hal tersebut. Dengan sengaja menambahkan bahan-bahan yang berbahaya seperti boraks, formalin, rodhamin B, methanil yellow atau orange RN.1 dan lain sebagainya (Sampurno, 2006 dalam Aprilianti, dkk, 2005).
Formalin merupakan salah satu pengawet yang memiliki kemampuan baik dalam mengawetkan. Akan tetapi, menurut Peraturan Menteri Kesehatan (MenKes) Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999, formalin merupakan bahan kimia yang penggunaannya dilarang untuk produk makanan (Nuryasin, 2006, dalam Aprilianti, 2007). Formalin memiliki kemampuan yang sangat baik ketika mengawetkan makanan, namun walau daya awetnya sangat luar biasa, penggunaan formalin dilarang pada makanan karena bahaya residu yang bersifat karsinogenik bagi tubuh manusia (Hamdani, 2014).
Salah satu makanan yang sering ditambahkan formalin oleh penjual ataupun produsen adalah tahu yang merupakan makanan dari hasil olahan kedelai. Tahu memiliki kandungan air yang tinggi sehingga mudah rusak dan ditumbuhi mikroba, hal inilah yang mengakibatkan tahu tidak tahan lama dan mudah rusak atau basi. Tahu merupakan makanan asli Indonesia yang disukai oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Tahu memiliki rasa yang khas dan memiliki kandungan gizi yang tinggi. Selain itu, tahu mengandung nutrisi kompleks yang mudah diserap oleh tubuh, harganya murah dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Tahu dapat diolah menjadi berbagai macam olahan makanan dan dapat dengan mudah didapatkan di pasar tradisional.
Jumlah pasar tradisional di Makassar ada 14 yaitu pasar Baru, pasar Butung, pasar Cidu, pasar Daya, pasar Hartaco, pasar Kalimbu, pasar Kerung-kerung, pasar Maricaya, pasar Pabaeng-baeng, pasar Panampu, pasar Senggol, pasar Sentral, pasar Terong, dan pasar Todoppuli (Tourism Makassar, 2014).
Hasil penelitian pada akhir tahun 2006 yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (2007) menunjukkan bahwa lebih dari 700 jenis makanan di pasar tradisional dan modern di tujuh kota di Indonesia terbukti menggunakan formalin (Hardjito, 2007 dalam Tjiptaningdyah, 2010).
Kasus penggunaan pengawet berbahaya diperkuat dari temuan Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (POM) Makassar melansir 72 jenis makanan hasil produksi industri rumah tangga yang positif mengandung zat kimia berbahaya. Makanan tersebut mengandung bahan kimia berbahaya seperti bahan pengawet jenis boraks dan formalin. Penyalahgunaan boraks ditemukan pada produk mie basah, bakso, kerupuk, dan pangan jajanan lainnya. (Tribun Timur, 2011 dalam Muthalib, 2012).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, ditemukan 94 persen tahu yang dijual di Depok positif mengandung formalin. Sample dari 15 produsen tahu yang ada di Kota Depok, formalin tersebut lebih banyak ditambahkan oleh pedagang bukan produsen. Sebagian besar produsen, tidak menggunakan formalin dalam proses pembuatan tahu. Formalin biasanya ditambahkan pedagang agar bisa bertahan lebih lama. Namun, ada juga lima produsen tahu yang menggunakan formalin dalam pembuatannya (Yuliyanti, 2012).
Mengingat pentingnya masalah keamanan makanan, maka sangat perlu dilakukan uji terhadap kandungan zat-zat berbahaya yang terkandung dalam suatu produk makanan. Hal ini yang menjadi acuan dalam melakukan penelitian mengenai penggunaan formalin pada tahu di pasar tradisional kota Makassar sehingga nantinya dapat diketahui dari kelayakan produk tersebut untuk dikonsumsi masyarakat.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:
Bagaimana analisis kandungan formalin pada tahu di pasar tradisional kota Makassar tahun 2014?
Definisi Operasional Dan Ruang Lingkup Penelitian
Definisi Operasional
Salah satu upaya untuk menghindari bias dan kesalahan dalam memahami istilah-istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, maka dibawah ini akan dirumuskan dan dijelaskan definisi dari istilah-istilah tersebut.
Tahu
Definisi Operasional: Tahu adalah makanan yang dibuat dari kedelai yang digiling lembut dan diendapkan dengan diberikan larutan asam cuka.
Kriteria Objektif: Tahu yang murni berbahan dasar kedelai dan dijual di pasar tradisional kota Makassar.
Formalin
Definisi Operasional: Formalin adalah larutan yang tidak berwarna dan baunya sangat menusuk, bahan kimia yang penggunaannya dilarang untuk produk makanan (Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesa Nomor 1168/MenKes/PER/X/1999).
Kriteria Objektif:
Aman: Memenuhi syarat jika tidak digunakan untuk mengawetkan makanan (tahu)
Tidak Aman: Tidak memenuhi syarat jika digunakan untuk mengawetkan makanan (tahu).
Ruang Lingkup Penelitian
Untuk memudahkan penelitian agar lebih terarah dan berjalan dengan baik, maka perlu dibuat batasan masalah. Adapun ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini.
Penelitian ini menjadikan tahu sebagai sampel penelitian dengan dengan uji laboratorium utnuk menganalisis kandungan formalin pada tahu yang diambil di pasar tradisional kota Makassar.
Kajian Pustaka
Untuk melihat kedudukan penelitian ini di antara penelitian-penelitian dan tulisan yang relevan, maka upaya penelusuran berbagai sumber yang memiliki relevansi dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini telah peneliti lakukan. Tujuan pengkajian pustaka ini antara lain agar fokus penelitian tidak menjadi pengulangan dari penelitian dan tulisan sebelumnya, melainkan untuk mencari sisi lain yang signifikan untuk diteliti dan dikembangkan. Adapun beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
Studi tentang keberadaan formalin dalam tahu serta hubungannya dengan pengetahuan dan sikap pedagang tahu di Semarang, Retno Sukadilah, 2002. Dari hasil pemeriksaan didapatkan sebagian besar (95,8%) tahu yang beredar di pasar Johar tidak menggunakan formalin. Sedangkan tahu yang beredar di swalayan ADA dan Java Supermall secara keseluruhan tidak mengandung formalin. Pedangang mempunyai pengetahuan kurang sebanyak 9 orang (37,5%), pedagang yang mempunyai pengetahuan baik ada 15 orang (62,5%), pedagang dengan sikap baik ada 14 orang dan yang sikap kurang baik ada 10 orang. Dengan analisa deskriptif menunjukkan ada kecenderungan pola hubungan antara keberadaan formalin dalam tahu dengan pengetahuan dan sikap pedagang.
Studi kasus penggunaan formalin pada tahu takwa di kotamadya Kediri, Ayudiah Aprilianti, dkk, Jurusan Pendidikan Biologi-FKIP-Universitas Muhammadiyah Malang 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapakah kadar formalin pada beberapa tahu takwa di kotamadya Kediri dan bagaimana kelayakan konsumsi tahu takwa tersebut. Dari penelitian didapatkan bahwa dari 24 sampel tahu takwa yang tidak mengandung formalin sebanyak 9 buah dengan prosentase 37,50 %, sedangkan tahu dengan kandungan formalin sebanyak 15 buah dengan prosentase 62,50 %. Dengan presentase terendah adalah 0.25 % dan tertinggi adalah 1,5 %. Menurut International Proggrame on Chemical Safety, bahwa batas toleransi formalin yang dapat diterima oleh tubuh adalah 0.1 miligram perliter, sehingga dari data diatas diketahui bahwa tahu takwa yang dijadikan sampel sebanyak 62.50 % tidak layak dikonsumsi dan tidak sehat.
Studi keamanan pangan pada tahu putih yang beredar di pasar Sidoarjo (kajian dari kandungan formalin), Restu Tjiptaningdyah Fakultas Pertanian Universitas DR. Soetomo Surabaya 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,85% tahu putih yang beredar di pasar tradisional mengandung formalin dan sisanya tidak mengandung formalin. Dibandingkan dengan tahu yang berasal dari pasar tradisional jumlah tahu yang mengandung formalin yang berasal dari pasar modern lebih tinggi, yaitu mencapai 77,77% dan 22,23% tahu tidak mengandung formalin.
Identifikasi keberadaan formalin pada tahu di pasar Terong dan pasar Pa'baeng-baeng kota Makassar, Inayah, Poltekes Makassar 2012. Hasil penelitian menunjukkan tidak ditemukan adanya kandungan formalin dalam semua sampel yang diperiksa dimana alasan pedagang tidak menambahkan formalin sebagai pengawet tahunya adalah pengetahuan pedagang tentang formalin, konsumen yang lebih kritis dan kecilnya jumlah tahu yang dijual tiap harinya, daya simpan tahu dalam suhu kulkas (5oC) tahu berformalin (direndam dalam larutan formalin 0,1% selama 5 menit) tahu tahan hingga 18 hari dan untuk tahu tidak berformalin tahan hingga 15 hari, direndam dalam air yang diganti tiap hari tahu berformalin tahan hingga 6 hari sedangkan tahu tidak berformalin tahan 4-5 hari, direndam dalam air tahu berformalin tahan 5 hari sedangkan tahu tidak berformalin tahan 3-4 hari, suhu kamar (27oC) tahu berformalin tahan hingga 4 hari dan tahu tidak berformalin hanya tahan 1-2 hari. Berdasarkan hasil tersebut, sesuai dengan Permenkes No. 1168/Menkes/PER/X/1999 tentang bahan-bahan tambahan makanan, tahu yang dijual pedagang tahu di Pasar Terong dan Pasar Pa'baeng-Baeng Kota Makassar aman untuk dikonsumsi berdasarkan keberadaan formalin sebagai pengawet di dalamnya. Dengan hasil ini, pihak terkait, dapat melakukan pengawasan secara berkala dan pembinaan kepada produsen dan pedagang tahu agar tidak lagi beredar tahu berformalin di pasaran.
Gambaran penggunaan pengawet formalin pada tahu di pasar tradisional Pa'baeng-baeng kota Makassar, Nurlinda Sudirman, 2012. Hasil penelitian bahwa semua sampel tidak menggunakan pengawet formalin. Hal ini disebabkan karena kesadaran produsen sudah cukup baik, dan adanya peraturan pemerintah daerah yang member sanksi bagi produsen yang masih menggunakan formalin sebagai bahan pengawet. Produsen sangat berhati-hati sekali dalam penggunaan formalin, sehingga tidak ada tahu yang berformalin. Penelitian tentang keberadaan formalin dalam tahu telah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Ada yang menunjukkan bahwa tahu positif mengandung formalin. Kadar formalin yang dicampurkan mungkin tidak terlalu banyak sehingga konsumen tidak bisa membedakan tahu berformalin atau tanpa formalin. Namun, mengingat formalin adalah bahan yang dilarang, maka betapapun kecilnya kandungan formalin dalam tahu, harus tetap dianggap sebagai unsur yang membahayakan kesehatan.
Dari beberapa hasil penelitian, terdapat persamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti mengenai kandungan formalin pada tahu. Dari berbagai tulisan tersebut memiliki ciri khas dan tempat penelitian yang berbeda dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada analisis kandungan formalin pada tahu di pasar tradisional kota Makassar tahun 2014.
Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Tujuan Penelitian
Tujuan Umum
Untuk mengetahui analisis kandungan formalin pada tahu di pasar tradisional kota Makassar tahun 2014.
Tujuan Khusus
Untuk mengetahui analisis ada atau tidak kandungan formalin pada tahu di pasar tradisional kota Makassar tahun 2014.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan Ilmiah
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi kontribusi pemikiran yang signifikan di kalangan para pemikir dan intelektual dalam rangka pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, sikap ilmiah, menambah dan memperkaya wawasan ilmu pengetahuan serta menjadi bahan pustaka atau bahan perbandingan untuk peneliti selanjutnya.
Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan informasi bagi pemerintah terkait dalam menjaga keamanan makanan bagi masyarakat di tempat-tempat pembelanjaan setempat. Sebagai tambahan studi pustaka di perpustakaan UIN Alauddin Makassar khususnya fakultas ilmu kesehatan peminatan Gizi.
1
2