NAMA
: NURUL AMIRAH KHAIRUNNISA
NIM
: D1091171002
JURUSAN/PRODI : TEKNIK TEKNIK SIPIL / PERENCANAAN PERENCANAAN WILAYAH KOTA KOTA MATA KULIAH
: TEORI PERENCANAAN
DOSEN
: CHAIRUNNISA, ST, MT
ISU STRATEGIS PERKOTAAN Belum Efisiennya Penyelenggaraan Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Perkotaan
Menurut UU 24 Tahun 1992, penataan ruang didefinisikan sebagai rangkaian proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tujuan dari penataan ruang wilayah adalah terwujudnya pemanfaatan ruang yang berkualitas, berdaya berdaya guna guna dan berhasilguna untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan melalui upaya-upaya optimalisasi dan efisiensi dalam penggunaan ruang, kenyamanan bagi penghuninya, peningkatan
produktifitas
kota,
sehingga
mampu
mendorong sektor
perekonomian wila yah dengan tetap memperhatikan aspek kesinergian, keberkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
PEMBAHASAN STUDI KASUS : KOTA BANDAR LAMPUNG
Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak di ujung Tenggara Pulau Sumatera dan merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera dari arah Jawa. Kondisi ini menjadikan ibukota Provinsi Lampung tersebut memiliki peran yang sangat strategis, baik dala m skala nasional, regional maupun provinsi. Secara nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) Kota Bandar Lampung ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan salah satu dari tiga kawasan andalan yang ada di Provinsi Lampung. Sebagai salah satu kota dengan peran strategis Pusat Kegiatan Nasional (PKN), perkembangan fisik ruang Kota Bandar Lampung relatif lebih cepat dibandingkan wilayah di sekitarnya. Dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang relatif tinggi, yaitu mencapai angka 1,57% pertahun (Provinsi 1,02% pertahun). Wilayah dengan kepadatan tinggi
didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pusat kota, sedangkan wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk rendah didominasi oleh wilayah yang berlokasi di pinggiran kota. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah penduduk dan tingkat kepadatan penduduk di Kota Bandar Lampung tidak merata dan sangat bervariasi, bukan hanya antar kecama tan, tetapi juga antar kelurahan yang terdapat dalam kecamatan yang sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan terjadinya ketimpangan dalam percepatan pembangunan antar wilayah. Serta berdampak pada peningkatan kebutuhan dan konflik dalam penggunaan lahan untuk berbagai aktivitas kota, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran penggunaan ruang-ruang kota. Permasalahan yang sering terjadi adalah ketersediaan lahan/ruang kota yang semakin terbatas untuk menampung aktivitas dan fasilitas perkotaan. Akibat selanjutnya dari permasalahan tersebut adalah semakin meningkatnya permasalahan kemacetan, berkembang kawasan-kawasan kumuh, kesemrawutan tata ruang, konversi lahan dan keterbatasan open space akibat menjamurnya bangunan-bangunan komersil dan sebagainya merupakan sebagian dari permasalahan fisik keruangan Kota Bandar Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menyebabkan terjadinya inefisiensi dalam penggunaan ruang kota. Dalam jangka panjang inefisiensi ini akan dapat menurunkan kinerja perkembangan wilayah. Penurunan kinerja yang terjadi secara terus menerus akan mengarah pada kehancuran dan kematian wilayah tersebut. Kemungkinan penurunan kinerja perkembangan wilayah akan diperparah dengan permasalahan kesenjangan/disparitas wila yah yang semakin mengemuka di Kota Bandar Lampung. Berbagai permasalahan tersebut menunjukkan bahwa tujuan penataan ruang di Kota Bandar Lampung belum tercapai secara optimal atau dengan kata lain penataan ruang belum berjalan secara optimal. Kemungkinan penyebab maupun akar permasalahan dari kondisi tersebut dapat berasal dari sisi perencanaan, pemanfaatan maupun dari sisi pengendalian. Dalam perjalanannya, sebagaimana kota pada umumnya, Bandar Lampung menghadapi berbagai permasalahan penataan ruang. Permasalahan tersebut antara lain meliputi: 1. Konversi lahan
Berdasarkan data pemberian ijin pengambilan air tanah bagi industri yang dikeluarkan Dinas Pertambangan Tahun 2004 dan 2005, menunjukkan banyaknya kasus konversi lahan dari rencana peruntukan sebagaimana ditetapkan dalam RTRW Kota Bandar Lampung. Konversi
lahan terjadi baik dari aktivitas non industri (permukiman, komersial dan jasa) menjadi industri maupun sebaliknya. Kondisi tersebut menunjukkan terjadinya inkonsistensi dalam pemanfaatan ruang. Kondisi ini disebabkan karena adanya perbedaan interpretasi para stakeholders akibat perbedaan pengklasifikasian peta dalam RTRW Provinsi dengan RTRW
Kota Bandar Lampung. Inkonsistensi
dalam
pemanfaatan
ruang
tersebut
telah
menimbulkan
berbagai
permasalahan dalam pemanfaatan ruang. Antara lain adalah terciptanya lingkungan perkotaan yang tidak nyaman akibat pencemaran industri-industri yang berada tidak pa da peruntukannya, khususnya di lingkungan permukiman. Kondisi ini cukup meresahkan warga dan menjadikan kota sebagai tempat hunian yang tidak nyaman bagi warganya.
2. Keadaan lingkungan fisik perkotaan (urban setting) yang kurang memadai (kesemrawutan tata ruang)
Permasalahan pertanahan di Kota Bandar Lampung yang semakin rawan disebabkan karena keterbatasan lahan, sementara tuntutan pemenuhan kebutuhan lahan semakin meningkat secara cepat. Hal ini menyebabkan semakin tingginya nilai lahan. Akibatnya kawasan kawasan terbuka atau kawasan konservasi dikonversi untuk aktivitas yang secara ekonomi jauh lebih menguntungkan, yaitu aktivitas komersial dan jasa. Dalam penggunaan ruang, kawasan -kawasan ini berorientasi pada maksimalisasi keuntungan finansial dan kurang memperhatikan aspek sosial, seperti pembangunan lahan parkir bagi konsumennya, sehingga di kawasan tersebut sangat rentan dengan berbagai permasalahan.
Gambar 1. Sudut Kota Tanjung Karang, Bandar lampung Sumber : Jurnal oleh Endang Wahyuni, 2006
Di pihak lain, harga lahan yang tidak terjangkau masyakat kelas bawah merangsang golongan ini untuk menempati kawasan-kawasan ilegal ( squater area ) seperti sempadan sungai, sempadan jalan, sempadan rel kereta api dan kawasan ilegal lainnya sebagai tempat tinggal. Bahkan muncul kecenderungan hadirnya kawasan-kawasan kumuh ( slum area) di berbagai sudut pusat kota.
Gambar 2. Sudut Kota Teluk Betung, bandar lam pung Sumber : Jurnal oleh Endang Wahyuni, 2006
3. Keterbatasan open space Orientasi pembangunan untuk mengejar maksimalisasi keuntungan ekonomi menyebabkan pembangunan yang dilaksanakan cenderung mengutamakan pembangunan fisik dan kurang memperhatikan aspek lingkungan. Kondisi ini menyebabkan bangunan -bangunan tumbuh dan berkembang tanpa kendali, padat tanpa arah yang jelas serta mengindikasikan kurangnya aspek perencanaan, sehingga kota menjadi semakin tidak bersahabat dengan lingkungan (Budiharjo, 1995). Keberadaan ruang terbuka ’open space’ , khususnya ruang terbuka hijau proporsinya semakin menurun terhadap luas wilayah karena pembangunan lebih diprioritaskan untuk aktivitas ekonomi. Menurut Patmore, dari berbagai studi diketahui bahwa penyediaan ruang terbuka hijau dapat menurunkan laju kenakalan remaja dan diyakini pula dapat mengurangi ketegangan akibat sistem industri serta bermanfaat bagi kestabilan mental dan kejiwaan masyarakat kota (Wahyuni, 1998).
Gambar 3. Eksploitasi Gunung Kunyit Sumber : Jurnal oleh Endang Wahyuni, 2006
Eksploitasi gunung atau bukit saat ini marak terjadi di Kota Bandar Lampung seperti terlihat pada Gunung Kunyit dan Gunung Camang yang terletak di pusat kota. Kedua bukit hijau tersebut saat ini kondisinya semakin gundul akibat aktivitas penambangan batu kapur di Gunung Kunyit oleh swasta dan masyarakat lokal serta pengerukan tanah di Gunung Camang yang dilakukan oleh swasta.
Gambar 4. Konversi Gunung Camang Sumber : Jurnal oleh Endang Wahyuni, 2006
Tanah hasil pengerukan di Gunung Camang selanjutnya digunakan untuk reklamasi pantai di sepanjang tepi jalan Yos Sudarso Telukbetung yang masih berlangsung sampai saat ini, sementara gunung yang telah dikepras tersebut dikonversi untuk pembangunan perumahan. Kondisi ini menyebabkan pusat kota yang semula masih cukup asri dengan adanya beberapa kawasan hijau, dalam perkembangannya akan menjadi kawasan gersang akibat padatnya
kawasan terbangun. Selain itu berkurangnya kawasan -kawasan resapan air akan berdampak pada musibah musiman, yaitu kekeringan dimusim kemarau dan akan terjadi banjir pada musim hujan. Selain itu hilangnya ruang-ruang hijau kota menyebabkan kota semakin tidak bersahabat, polusi udara dan potensial meningkatkan ’penyakit psikologis’. Sementara jika dicermati lahan-lahan kosong yang belum termanfaatkan dan berpotensi untuk pengembangan di Kota Bandar Lampung masih cukup tersedia, sehingga Pemerintah Kota Bandar Lampung tidak perlu mengambil kebijakan reklamasi ataupun pengeprasan bukit. Kondisi ini menunjukkan bahwa pada dasarnya reklamasi pantai belum diperlukan di Kota Bandar Lampung. Jika aktivitas reklamasi dipaksakan untuk tetap dilakukan, maka yang terjadi adalah kerusakan lingkungan di kawasan sekitarnya. Selain itu terjadi protes keras dari berbagai elemen masyarakat terhadap tindakan reklamasi yang terus berlangsung sampai saat ini. Berbagai pihak merasa aktivitas reklamasi akan lebih banyak memberikan kerugian daripada manfaatnya bagi masyarakat.
KESIMPULAN 1.
Berdasarkan RTRW Kota Bandar Lampung, dari aspek proses penyusunan, RTRW Kota Bandar Lampung relatif telah sesuai dan mengacu pada pedoman yang berlaku. Dari aspek legalitas, RTRW Kota Bandar Lampung telah sah dan mendapat legalitas hukum melalui Perda 4 Tahun 2004 tentang RTRW Kota Bandar Lampung. Dari aspek pemanfaatan ruang telah terjadi penyimpangan yang relatif besar terhadap rencana yang telah ditetapkan. Faktor eksternal (tidak terjadi perubahan kebijakan penataan ruang maupun bencana yang menyebabkan perubahan struktur tata ruang) relatif tetap.
2.
Penyusunan RTRW belum memperhatikan keserasian dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya.
3.
Dari permodelan perkembangan wilayah, pentingnya kerjasama untuk meningkatkan perkembangan wilayah. Oleh sebab itu kerjasama perlu dikembangkan dalam skala yang lebih luas (kabupaten/kota), khususnya Kota Bandar Lampung, mengingat kota tersebut memiliki peran yang sangat strategis skala nasional, regional maupun provinsi.
4.
Studi menunjukkan bahwa terdapat konsistensi dalam penataan ruang di Kota Bandar Lampung, tetapi terjadi inkonsistensi dalam pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Inkonsistensi tersebut menyebabkan berbagai permasalahan keruangan yang
berakibat menurunnya kinerja perkembangan wilayah. Dari hasil studi perkembangan wilayah, terdapat faktor pendorong perkembangan wilayah, yaitu: a) Ketersediaan prasarana dasar (jalan kota/lokal, air bersih dan telepon). Konsekuensi logis dari kesimpulan tersebut terkait dengan mekanisme anggaran, bahwa ketiga aspek tersebut dapat dijadikan skala prioritas dalam percepatan pembangunan suatu kawasan. b) Kondisi fisik wilayah yang baik, yaitu dengan karakteristik landai dan air tanah produktifitas sedang. Hal ini cukup logis karena perkembangan wilayah memerlukan berbagai kemudahan termasuk kemudahan s istem pergerakan dan kemudahan ketersediaan air. 5.
Sedangkan faktor penghambat perkembangan wilayah adalah ketersediaan jalan nasional di tingkat lokal (kelurahan). Oleh karena itu dalam jangka panjang ke depan perlu diupayakan supaya pembangunan jalan nasional diarahkan di pinggiran kota ( ring road ).
SARAN 1. Pemerintah Kota Bandar Lampung perlu segera mengambil langkah -langkah sebagai berikut: a)
Meningkatkan sosialisasi RTRW kepada seluruh stakeholder , baik pemerintah, swasta maupun masyarakat.
b)
Menyusun dokumen pendamping RTRW untuk melengkapi aspek-aspek yang belum diatur secara jelas serta menyusun dokumen Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kota Bandar Lampung.
c)
RTRW perlu didetailkan dalam rencana yang lebih rinci, yaitu RDTR dan RTR dengan tetap memperhatikan efisiensi dalam pemanfataan ruang.
d)
RTRW harus menjadi dokumen yang memiliki kekuatan untuk mengikat secara eksternal (pedoman bagi masyarakat dalam pemanfaatan ruang kota) dan internal (pengendali bagi setiap kebijakan program pembangunan).
2.
Pentingnya kerjasama antar daerah. Artinya untuk mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan serta peningkatan kinerja perkembangan wilayah diperlukan kerjasama dan koordinasi dengan wilayah sekitarnya, baik yang bertetangga maupun yang berada dalam satu radius tertentu. Implikasi dari hal tersebut adalah :
a)
Dalam setiap pelaksanaan kegiatan pembangunan perlu memperhatikan keterkaitan dengan wilayah sekitarnya.
b)
Pemerintah Provinsi Lampung perlu segera menyusun dan menetapkan Rencana Tata Ruang (RTR) kawasan fungsional yang bersifat lintas kabupaten/kota.
c)
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui model empirik pentingnya kerjasama dalam wilayah yang lebih luas (Kota Bandar Lampung dengan kabupaten disekitarnya, atau Provinsi Lampung dengan provinsi di sekitarnya).
d)
Perlu dilakukan pengkajian efektifitas cakupan kawasan kerjasama serta bidang bidang yang perlu dikerjasamakan, khususnya dalam satu radius untuk menghasilkan model optimasi perkembangan wilayah.
3. Penataan ruang memiliki implikasi terhadap perkembangan wilayah, sehingga konsistensi dalam penataan ruang, baik dalam aspek perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Salah satu upayanya adalah mengembangkan dan mensosialisasikan penggunaan sistem informasi spasial , baik dalam aspek perencanaan, pemanfaatan maupun pengendalian pemanfaatan ruang.
SUMBER : Wahyuni, Endang. 2006. Analisis Keterkaitan Permasalahan Tata Ruang dengan Kinerja Perkembangan wilayah di http://jurnalsainsinovasi.files.wordpress.com (diakses pada tanggal
27 April 2018)