Solusi Untuk Indonesia Penulis: Hokky Situngkir Supervisor: Yohanes Surya Penerbit: Kandel Cetakan Pertama: 2008 ISBN: 978-979-15900-3-7
gaudeamus igitur, juvenes dum sumus! post icundum iuventutem, post molestam senectutem, nos habebit humus! vita nostra brevis est, brevi finietur! venit mors velociter, rapit nos atrociter, nemini parcetur!
mari bergembira, selagi kita muda! setelah kemudaan berakhir, setelah masa tua yang sulit, tanah tempat kita berkalang! hidup ini pendek, dan cepat berakhir! kematian datang dengan cepat, dengan kejam mencengkeram, tak seorang pun dapat lolos!
Ii
ii
Buku ini hadir sebagai upaya ingin memberikan apa yang menjadi pergulatan pemikiran dan perasaan sebagai bagian dari sebuah bangsa Indonesia yang bercampur-aduk dengan pergumulan bersama data-data dan detail komputasi dan analisis mekanika statistik. Kita seringkali menganggap bahwa apa yang menjadi permasalahan bagi kita adalah apa yang dilihat oleh dunia tentang kita, padahal permasalahan utama adalah bagaimana kita melihat diri kita sendiri. Ini merupakan landasan pentingnya konsep Wawasan Nusantara bagi kita semua, setiap generasi, seluruh golongan ekonomi dan kerja, semua elemen negeri. Buku ini bermotif mengetengahkan sebuah kacamata sains kompleksitas untuk hal ini, agar kita makin hari makin memahami diri kita, dan makin lama makin cinta dengan bumi pertiwi tempat kita lahir, hidup, dan akhirnya menutup mata ini. Buku ini diawali dengan mengetengahkan selintas darmawisata ke ranah sistem kompleks, kajian ekonofisika dan sosiofisika, dan dunia komputasi interdisiplin yang menjanjikan banyak hal untuk implementasi kajian sosial masa depan. Berbagai sendi kehidupan dibicarakan buku ini sebagai bentuk Wawasan Wiyatamandala, mulai dari sistem ekonomi, politik, olahraga, seni dan budaya, dan sebagainya. Sebenarnya buku ini terlalu kecil untuk dianggap berbicara tentang Indonesia secara lengkap, namun buku ini memiliki janji akan memungkinkannya banyak kajian baru muncul yang akan memperkaya khazanah ilmu sosial kita di tanah air demi masyarakat Indonesia yang lebih baik. Buku ini kami persembahkan buat mereka yang haus akan ilmu pengetahuan, yang rindu akan implementasi sains dalam cakrawala sistem sosial secara umum, dan memiliki rasa cinta akan ibu pertiwi yang kuat. Yang jelas, buku ini adalah buah tangan tim penulis yang senantiasa berhutang pada banyak pihak baik di dalam atau pun di luar Bandung Fe Institute dan Surya Research International. Tim penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan staf kerja di Surya Research International dan Bandung Fe Institute, juga kepada rekanrekan yang banyak membantu baik langsung atau tidak langsung seperti Profesor Roy Sembel, Profesor M. T. Zen, Bang Muslim Tampubolon, Bung Dodi Rustandi, Bung Irendra Rajawali, rekan-rekan di Proggie ITB, khususnya Abdillah Prasetya, Arief Haryanto, Kurniawan Hadiyusro, Zaid Perdana Nasution, Diding Sakri, Ilham Thamrin, Nugroho Ariemulyo, Kurniawan Ginting, Efri Elkha Riza, rekan-rekan di Institut Sosial Humaniora ‘Tiang Bendera’ ITB, dan sederet nama lain yang tentunya tak mungkin kami sebut satu persatu, yang banyak memberikan dukungan moral selama penulisan buku ini.
S E K A P U R S I R I H
Semoga kehadiran buku ini dapat memperkaya khazanah kita, mempertajam berbagai alternatif solusi untuk perbaikan, atau setidaknya meningkatkan rasa cinta kita pada bangsa dan negeri kita, Indonesia. Selamat Membaca.
Bandung-Jakarta, Awal November 2007
iii
iv
Daftar Isi BABAD TANAH AIR 0. Kompleksitas: Wajah Sains di Tepi Chaos 0.1. Teori Chaos 0.1.1. Latar Belakang Teori Chaos 0.1.2. Chaos dalam Sebuah Persamaan Sederhana 0.1.3. Sensitif Pada Kondisi Awal 0.1.4. Tak Hingga Atraktor 0.1.5. Rute Menuju Chaos 0.1.6. Kemiripan Terhadap Diri Sendiri 0.1.7. Fraktal 0.1.8. Penutup
0.2 Dari Otomata Selular ke Model Agen 0.2.1. Pada Awalnya 0.2.2. Kelahiran Otomata Selular 0.2.3. Otomata Selular 1-D 0.2.4. Tepi Chaos Dalam Otomata Selular 0.2.5. Perkembangan Otomata Selular 0.2.6. Mengapa Dibutuhkan Simulasi 0.2.7. Simulasi Sistem Sosial 0.2.8. Epilog
0.3 Mekanika Statistik dan Ekonofisika 0.3.1. Dari Transisi Fasa ke Hukum Pangkat 0.3.2. Dari Hukum Pangkat ke Ekonofisika 0.3.3. Perspektif Baru di Tepi Chaos 0.3.4. Ekonofisika dan Kajian Sosial Interdisipliner 0.3.4.1. Konsep Korelasi dalam Ekonofisika 0.3.4.2. Konsep Kompleksitas dalam Ekonofisika 0.3.5. Dua Pertanyaan Yang Selalu Berkumandang 0.3.5.1. Mampukah Ekonofisika Memperbaiki Ekonomi Indonesia Saat Ini? 0.3.5.2. Memilih Ekonofisika Dibanding Ekonometri?
0.4 Evolusi: Biologinya Sistem Sosial 0.4.1. Sekilas Tentang Teori Evolusi 0.4.2. Algoritma Genetika 0.4.3. Memetika 0.4.4. Catatan
0-1-1 0-1-1 0-1-3 0-1-5 0-1-6 0-1-8 0-1-11 0-1-12 0-1-16 0-2-1 0-2-1 0-2-3 0-2-4 0-2-7 0-2-9 0-2-11 0-2-14 0-2-16 0-3-1 0-3-1 0-3-3 0-3-10 0-3-13 0-3-15 0-3-16 0-3-23 0-3-23 0-3-26 0-4-2 0-4-2 0-4-4 0-4-6 0-4-11
WIYATAMANDALA 1. Wawasan Nusantara dalam Perspektif Kompleksitas 1.1. Sebuah Keindonesiaan Baru 1.1.1. Indonesia, Sebuah Perjalanan 1.1.2. Ancaman Disintegrasi Fisik 1.1.3. Indonesiaku Indonesiamu: Sebuah Disintegrasi Laten 1.1.4. Tantangan ke Depan 1.1.5. Teori Permainan 1.1.6. n-IPD
1-1-1 1-1-1 1-1-2 1-1-3 1-1-4 1-1-5 1-1-7 v
1.1.7. Evolusi Kontrak Sosial di Indonesia 1.1.8. Perspektif Memandang Indonesia ke Depan
1.2. Demokrasi dan Sistem Kendali Dinamis 1.3. Demokrasi a la Indonesia 1.3.1. Pemilu dan Fenomena Kritis 1.3.2. Partai Politik di Indonesia 1.3.3. Demokrasi Indonesia di Tepian Chaos
1.4. Representasi Politik di Indonesia 1.4.1. Keterwakilan Masyarakat di DPR 1.4.2. Perolehan Suara Partai di Pemilu 2004 1.4.3. Kartogram Perolehan Suara Dua Partai Besar Hasil Pemilu 2004
1.5. Mencari Sistem Pemilu Yang Adil 1.5.1. Ketidakproporsionalan Suara dan Kursi 1.5.2. Metodologi 1.5.3. Simulasi 1.5.4. Mencari Konfigurasi Yang Adil
1.6. Wawasan Nusantara dalam Perspektif Yang Dinamis 1.6.1. Indonesia di Asia Pasifik 1.6.2. Kependudukan Indonesia sebagai Kekayaan Demografis 1.6.3. Meme Politik Masyarakat Indonesia 1.6.4. Refleksi Demografis: Masalah Pemerataan 1.6.5. Catatan Penutup Bagian Pertama
1-1-9 1-1-11 1-2-1 1-3-1 1-3-1 1-3-4 1-3-8 1-4-1 1-4-1 1-4-3 1-4-5 1-5-1 1-5-1 1-5-2 1-5-3 1-5-6 1-6-1 1-6-2 1-6-7 1-6-12 1-6-18 1-6-23
2. Kompleksitas Sosiologis dan Kemasyarakatan Indonesia 2.1. Etnik dan Konflik Sosial di Indonesia 2.1.1. Keragaman Etnis dan Konflik Etnis di Indonesia
2.2. Media dan Konstruksi Sosial 2.2.1. Karakterisasi Pola Konsumsi Orang Indonesia Berdasarkan Merek 2.2.2. Isu 2008 dalam Horizon Media Nasional
2.3. Korupsi 2.3.1. Aspek Teoretis Korupsi 2.3.1.1 Kerumitan Pendefinisian Korupsi 2.3.1.2. Apa Yang Disebut Korupsi 2.3.1.3. Model Dinamik Korupsi 2.3.1.4. Interpretasi-ulang Solusi Korupsi Yang Berkembang 2.3.2. Korupsi Oleh LSM 2.3.2.1. Peranan LSM Dalam Pemberdayaan Sosial 2.3.2.2. Studi LSM di Indonesia Menggunakan Logika Fuzzy 2.3.2.3. Arahan 2.3.3. Korupsi di Daerah 2.3.4. Beberapa Catatan
2-1-1 2-1-1 2-2-1 2-2-4 2-2-10 2-3-1 2-3-1 2-3-1 2-3-3 2-3-5 2-3-5 2-3-9 2-3-10 2-3-12 2-3-14 2-3-14 2-3-15
3. Ekonomi dan Keuangan Negeri 3.1. Makroekonomi Kompleks Indonesia 3.1.1. Memahami Kemiskinan Kita 3.1.2. Harga-harga Yang Selalu Naik! 3.1.3. Angkatan Kerja Kita
3.2. Posisi Uang dan Investasi 3.3. Bursa Efek Indonesia 3.3.1. Mekanika Statistik Pergerakan Harga di Lantai Bursa 3.3.2. Perilaku Mengerumun di Pasar Modal Kita
vi
3-1-1 3-1-2 3-1-11 3-1-16 3-2-1 3-3-1 3-3-2 3-3-10
3.4. Inovasi untuk Indonesia Masa Depan
3-4-1
4. Pendidikan dalam Teropong Kebudayaan Nasional 4.1. Dari Variasi ke Akuisisi Bahasa 4.1.1. Variasi 4.1.2. Akuisisi
4.2. Sebuah Perspektif untuk Prestasi Olahraga Nasional 4.3. Telaah Seni dan Budaya Nasional 4.3.1. Kajian Matematis Pada Karya Seni dan Budaya 4.3.2. Studi Kasus: Musik Indonesia
4.4. Televisi dan Masyarakat 4.5. Pendidikan Nasional: Sejati Wawasan Wiyatamandala 4.5.1. Situasi Pendidikan Nasional 4.5.2. Tren Ilmu Pengetahuan dan Akuisisi Masa Depan 4.5.3. Mengobati Rabun Wawasan Wiyatamandala
4-1-1 4-1-1 4-1-6 4-2-1 4-3-1 4-3-1 4-1-6 4-4-1 4-5-1 4-5-1 4-5-5 4-5-8
REFLEKSI KINI UNTUK MASA DEPAN 5. Tentang Terorisme 5.1. Isu Terorisme dan Kebijakan Luar Negeri AS di Mata Media Nasioal 5.2. Isu Terorisme dan Kebijakan Luar Negeri AS dalam Respon Spontan
5-1-1 5-2-1
6. Tentang Epidemilogi 6.1.Epidemiologi sebagai Masalah Ketahanan Sosial 6.2.Epidemiologi dalamSistem Sosial Kompleks
6-1-1 6-2-1
7. Menerawang Dinamika Ekonomi dan Keuangan Ke Depan 7.1. Investasi di Lantai Bursa: Struktur Pasar dan 7.2. Menerawang Harga-harga Epilogia Kerja Yang Menjadi Referensi Sebuah Catatan Profil Singkat
Industri Indonesia
7-1-1 7-2-1
vii
BABAD TANAH AIR
Kompleksitas: Wajah Sains di Tepi Chaos
Ini adalah “bab nol”, sebuah bagian awal yang “boleh saja dilewatkan” bagi dua tipe pembaca. Pertama, pembaca yang memang telah cukup biasa dengan berbagai “kosa kata” atau konsep-konsep dasar yang digunakan dalam pendekatan kompleksitas. Kedua, pembaca yang ingin langsung melihat hasil dari apa yang ingin ditampilkan dalam buku ini secara luas atau lebih tertarik untuk melihat detail metodologi yang ditampilkan secara gamblang di bagian referensi. Untuk pembaca tipe pertama, pada dasarnya bagian pengantar ini ditulis dengan gaya yang “agak” menghibur. Sehingga mungkin saja Anda mendapatkan suatu gambaran baru yang setidaknya merefleksikan upaya kami agar konsepkonsep yang digunakan memang “tumbuh” di dalam aspek-aspek yang tengah dihadapi oleh Ibu Pertiwi. Bagi pembaca tipe kedua, bab pengantar ini dapat berfungsi sebagai sebuah penarik, sehingga Anda dapat dengan mudah memilah-milah bagian mana dari referensi yang ingin didalami. Bagi pembaca umum, bab ini dirancang dengan sebanyak mungkin ilustrasi sehingga bagi mereka yang tak memiliki latar belakang matematika dan komputasi masih dapat menikmatinya. Bab awal ini memiliki motif ingin menumbuhkan penggunaan konsep-konsep sains yang benar-benar lahir dari sebuah keperluan penajaman sains sosial dalam nuansa Keindonesiaan.
Bab 0
0.1. Teori Chaos 0.1.1. Latar Belakang Teori Chaos Apa yang ada di dalam kepala seorang Soekarno ketika ia merumuskan Nasakom? Mengapa ia tidak memilih sebuah aliran pemikiran tertentu sebagai pandangan hidup? Pernyataan Soekarno di samping tentu sulit dijawab bagi kita yang biasa dididik dalam tradisi filsafat ilmu pengetahuan warisan filsuf Perancis René Déscartes (1596-1650), yang mengajarkan untuk memecah permasalahan yang rumit dalam kepingan-kepingan agar dapat ditarik pemahaman perilaku keseluruhan dari sifat bagian-bagiannya. Pemikiran Déscartes mengakibatkan terjadinya proses spesialisasi dan pengkotak-kotakan pengetahuan. Perkembangan filsafat ini selanjutnya bertalian dengan teori mekanika klasik Isaac Newton (1642-1727). Teori ini didasarkan pada metode berpikir analitik, peninggalan Déscartes. Mekanika sebuah benda dijelaskan dengan mencari elemen-elemen gaya dalam fenomena gerak tersebut. Misalnya perubahan gerak gerobak penjual bakso adalah resultan dari gaya gravitasi, gaya dorong dari tubuh penjual bakso, dan gaya gesek yang bekerja pada ban dan alas kaki si penjual bakso dengan permukaan jalan. Teori ini berkembang drastis dalam kehidupan ilmu pengetahuan saat itu. Dengan inspirasi ini, Newton kemudian merumuskan filsafat Newtonian, dengan ciri-ciri yaitu obyektif, statik, linier, eksperimental dan terkuantifikasi. Newton memandang alam sebagai sesuatu yang bersifat mekanistis dengan mematuhi hukum-hukum matematis yang eksak. Newtonian melahirkan suatu paradigma yang - selain mekanistis, linier dan statis juga reduksionis dan atomistis. Ide ini menginspirasi sejumlah ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu lainnya seperti ahli kedokteran Inggris, William Harvey (1578-1657), ahli kimia Perancis, Antoine Lavoisier (1743-1794), Ekonom Perancis, Léon Walras (1834-1910), hingga ahli ilmu sosial Perancis, Auguste Comté (1839-1924), yang membidani lahirnya ilmu fisika sosial (social physics). Konsekuensi logis pemikiran Comté, yang terinspirasi oleh Newton tersebut, tentunya adalah cara pandang para sosiolog terhadap masyarakat sebagai sesuatu hal yang bersifat mekanistis dengan ciri-cirinya adalah linier, statis, eksperimental dan terkuantifikasi. Semenjak Comté, dengan penggunaan sistematika dan metodologi yang serupa dengan ilmu alam, ilmu sosial berevolusi terpisah oleh spesialisasi dan kategorisasi ilmu. Dari sinilah kemudian berbagai macam teori sosial dibangun. Lahirlah berbagai pendekatan eksperimental dan teori-teori sosial yang berusaha untuk menerangkan sistem sosial dalam paradigma sains.
“Saya bukan seorang nasionalis. Saya bukan seorang religius. Saya bukan seorang sosialis. Saya adalah saripati dari ketiganya.” Ir. Soekarno
Newton merupakan salah seorang perancang cabang matematika yang menjadi dasar sejumlah model sains modern: kalkulus. Dia juga berjasa dalam memformulasikan tiga hukum gerak (mekanika klasik), teori gravitasi, yang menerangkan bagaimana benda dipengaruhi oleh gaya gravitasi. Sir Isaac Newton (1642-1727)
0-1-1
“Setiap individu secara terus-menerus senantiasa mencari pekerjaan yang paling menguntungkan dirinya.” Adam Smith (1723-1790)
Hatta yang kelahiran Bukittinggi, Sumatera Barat, merupakan seorang tokoh proklamator dan seorang politisi yang berjasa dalam berbagai diplomasi merebut kemerdekaan. Namun, ia juga seorang intelektual di bidang ekonomi dan keuangan. Ia juga cakap di banyak bidang pemikiran, mulai dari hukum hingga agama. Buah pikirannya adalah konstruksi ekonomi yang berpihak pada rakyat dan koperasi untuk melindungi masyarakat kecil. Drs. Mohammad Hatta (1902-1980)
“Matematika adalah seni pemberian nama untuk banyak hal yang berbeda.” Henri Poincaré (1854-1912)
0-1-2
Yang menarik, meski terinspirasi oleh ilmu alam, ilmu sosial berkembang terpisah dan bercabang-cabang sesuai dengan bidang kajiannya dan berbagai jenis variasi oleh karena adanya perbedaan mazhab atau aliran filosofis yang mendasarinya. Secara kontras hal ini terlihat di ilmu ekonomi, yang pertama kali disistematisasi oleh Adam Smith (1723-1790) dan diikuti kemudian oleh sejumlah nama besar seperti Vilfredo Pareto (1848-1923), Leon Walras (1834-1910), John Maynard Keynes (1883-1946) dan seterusnya. Perbedaan aliran dalam ekonomi terjadi karena adanya perbedaan pandangan akibat latar belakang penekanan teori yang mendasarinya. Pandangan Mohammad Hatta terhadap posisi negara dalam sistem ekonomi berbeda dengan prinsip persaingan bebas yang diusung oleh Adam Smith. Dalam sidang BPUPKI, Hatta menyatakan bahwa negara harus menjalankan fungsinya dalam sistem ekonomi, yaitu dengan membuat peraturan dan mencegah terjadinya penghisapan orang yang lemah oleh orang yang bermodal. Pandangan ini terjadi karena Hatta melihat sistem ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan sistem politik Indonesia pasca penjajahan. Proses dialog dan kritik adalah energi perkembangan teori dalam ilmu pengetahuan, sebagaimana perdebatan kecil Sutan Syahrir dan H. Agus Salim di Desa Laugumba mempengaruhi perjalanan sejarah Indonesia dekade 50-an. Dari proses kritik tersebut, akhirnya sejumlah ilmuwan berhasil menunjukkan bahwa kalkulus Newton bukanlah tanpa batas. Banyak hal dapat diatasi dengan fisika Newton, namun ternyata masih lebih banyak lagi permasalahan yang tak mungkin didekati dengan teori tersebut. Keterbatasan metode Newton yang terlalu melinearisasi obyek fisis yang didekati tersebut terasa dengan lahirnya teori relativitas Albert Einstein (1879-1955), yang menunjukkan sifat relatif dari mekanika. Demikian juga dengan perkembangan fisika modern yang melahirkan mekanika kuantum, dengan salah satu prinsipnya adalah ketidakpastian Werner Heisenberg (1901-1976). Contoh menarik lain yang berkenaan dengan perkembangan teori chaos adalah permasalahan 3-benda ( three body problem ). Permasalahan ini secara sederhana adalah permasalahan tentang gaya tarik dari tiga objek di tata surya kita. Hal ini ternyata sangat sulit dijawab dengan kalkulus Newton. Sampai-sampai pada tahun 1890 Raja Oscar II dari Swedia menawarkan hadiah bagi siapa pun yang dapat memecahkan masalah tersebut. Masalah ini akhirnya dapat dipecahkan oleh fisikawan Perancis, Hénri Poincaré (1854-1912). Namun, di sini Poincaré tetap meninggalkan masalah untuk kasus banyak benda (n-body-problem). Hal yang menarik dari solusi Poincaré untuk kasus three-body-problem adalah digunakannya prinsip-prinsip sistem dinamik non-linear (nonlinear dynamic system ). Persamaan-persamaan sederhana dari mekanika Newton berubah menjadi persamaan yang mencerminkan bentuk-bentuk chaos yang sangat rumit dari sistem dinamik. Teori ini
kemudian membawa dampak yang sangat besar dalam ilmu alam. Orang tidak lagi selalu menganggap sistem sebagai suatu hal yang linear dan statis, seperti yang digunakan oleh Newton. Mereka mulai memperhatikan sifat-sifat non-linier dan dinamik dalam sebuah sistem. Non-linier dalam arti nilai masukan dan keluaran sistem tidak lagi proporsional. Kajian tentang non-linieritas sistem berkembang pesat pasca dekade 60-an. Salah satu pionernya adalah E. Lorenz, yang menemukan sifat sensitifitas atau kepekaan yang tinggi pada kondisi awal. Penemuan tersebut berasal dari kejadian yang tidak sengaja, yaitu ketika Lorenz melakukan percobaan untuk memprediksi cuaca. Dengan memodelkan perilaku cuaca dalam tiga persamaan non-linier diferensial, ia melakukan beberapa kali simulasi. Dalam simulasi yang dilakukan, keluaran dari simulasi sebelumnya dimasukkan pada simulasi berikutnya. Pada saat itu katakanlah nilai awal dari simulasi yang berikutnya sedikit berbeda dari apa yang dihasilkan oleh simulasi sebelumnya. Nilai awal 0.506127 yang dihasilkan komputer, oleh Lorenz, dicatat menjadi 0.506 dan dijadikan masukan untuk nilai awal pada simulasi selanjutnya. Hasilnya sangat mengejutkan, karena ternyata hasil yang diperoleh benar-benar berbeda jika dibandingkan Gambar 0.1.1. Hasil percobaan Lorenz ketika terjadi perbedaan nilai awal. Perhatikan bentuk dari dua grafik di atas: sangat berbeda. Hal ini sangat mengejutkan Lorenz, karena perbedaan nilai masukan awal dari kedua sistem tersebut kecil sekali, hanya sebesar 0.000127.
Hal ini menunjukkan adanya kepekaan yang luar biasa terhadap kondisi awal. Prediksi terhadap perilaku sistem secara mutlak menjadi mustahil. Dengan fakta ini Lorenz secara jujur harus mengakui bahwa prediksi terhadap cuaca adalah hal yang mustahil, segamblang lirik lagu "Mendung Tak Berarti Hujan" ciptaan Deddy Dores. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan dalam menentukan nilai awal selain faktor kesalahan pembulatan dan keterbatasan komputasi. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai efek kupu-kupu yang sangat populer: “Kepakan sayap kupu-kupu di Bandung dapat mengakibatkan terjadinya badai di Jayapura”. "Mendung Tak Berarti Hujan”.
0.1.2. Chaos Dalam Persamaan Sederhana
Deddy Dores
Chaos memiliki keterkaitan erat dengan konsep keteraturan (harmoni) dan ketakteraturan. Dalam ilmu matematika, keteraturan dianalogikan dengan sifat ekuilibrium dan periodik. Sebuah sistem dikatakan memiliki sifat ekuilibrium jika perilaku dan 0-1-3
konfigurasi sistem tidak berubah dalam skala besar untuk rentang waktu yang lama. Sebagai contoh, jika kita memasukkan mie rebus panas ke dalam mangkuk maka mie rebus dan mangkuk akan mencapai suhu yang sama setelah beberapa waktu dan tidak lagi berubah. Suhu yang tak berubah ini dikatakan sebagai titik ekuilibrium sistem. Penarik tersebut dapat kita sebut sebagai titik atraktor. Dari contoh kasus di atas, kita dapat melihat bahwa dalam kondisi ekuilibrium terdapat satu titik atraktor. Sebuah sistem dikatakan periodik ketika sistem tersebut memiliki perilaku yang berubah namun memiliki pola yang berulang menurut waktu. Contoh sederhana adalah bandul atau pendulum yang diayun. Kondisi bandul dari waktu ke waktu senantiasa berubah. Namun, ia memiliki pola yang senantiasa berulang dari kiri ke kanan terus-menerus. Artinya, dalam kondisi periodik terdapat dua buah titik atraktor. Sifat ketakteraturan, yang identik dengan chaos, adalah keadaan sistem yang bukan ekuilibrium dan bukan pula periodik. Untuk mengkaji hal ini, kita menggunakan sebuah contoh sederhana yaitu persamaan logistik Badak Jawa, yang memiliki ketentuan:
Jumlah populasi badak tahun depan = R x
(
) (1-
Jumlah populasi badak tahun ini
x
Jumlah populasi badak tahun ini
)
Konstanta R merupakan besaran yang menyatakan kesebandingan antara jumlah populasi pada saat mendatang dengan jumlah populasi dan daya dukung lingkungan (ketersediaan makanan) saat ini. Konstanta ini perlu hadir untuk menyeimbangkan antara pernyataan sebelah kiri dengan pernyataan sebelah kanan. Konstanta R ini selanjutnya dikenal sebagai parameter kontrol dari persamaan logistik. Selanjutnya, untuk mengetahui bagaimana karakteristik persamaan logistik di atas, dilakukan simulasi. Unsur waktu dalam persamaan logistik di atas diganti dengan iterasi. Satu iterasi mewakili satu satuan waktu. Kondisi awal berada pada iterasi kenol, dan iterasi dimulai dari iterasi ke-1 dan seterusnya mengikuti bilangan asli {1,2,3…}. Jika saat sekarang diwakili oleh iterasi ke-k maka iterasi mendatang diwakili oleh iterasi ke-k+1 dan seterusnya. Dalam simulasi persamaan logistik ini, ada dua besaran yang perlu diketahui sejak awal, yaitu: jumlah populasi awal dan parameter kontrol. Selanjutnya kita kemudian melakukan simulasi dengan nilai parameter kontrol (R) yang berbeda-beda. Sumbu mendatar pada gambar 0.1.2. menggambarkan jumlah iterasi, sedangkan sumbu tegak mengambarkan jumlah populasi. Dari gambar tersebut terlihat, saat R = 1, populasi di dalam sistem bergerak menuju nilai nol. Artinya, pada kondisi tersebut terdapat satu titik atraktor (ekuilibrium). Di sini muncul pertanyaan: “Apakah dengan nilai R yang berbeda-beda jumlah populasi akan menuju (dan bertahan) pada nilai tertentu?” 0-1-4
Gambar 0.1.2. Perilaku peta logistik (dari kiri-kanan, dimulai dari atas ke bawah) untuk nilai R=1, R=1.5, R=2.2, R=3.2, R=3.5 dan R=3.9.
Berapa banyaknya titik atraktor yang muncul pada nilai parameter kontrol tertentu? Dari gambar 0.1.2. kita dapat melihat bahwa: ? ada satu titik atraktor (ekuilibrium) pada R=1, R=1.5 dan R=2.2, ? dua titik atraktor (periodik) pada R=3.2 dan R=3.5, dan ? ada tak-hingga titik atraktor pada R = 3.9. Dalam perspektif ini, kita dapat mendefinisikan bahwa kondisi chaos adalah keadaan saat memiliki tak-hingga atraktor. Jika dilihat sepintas dalam peta logistik, chaos atau tak-hingga atraktor ini ditandai dengan banyaknya titik atraktor yang sangat berbeda untuk setiap iterasi.
0.1.3. Sensitif Pada Kondisi Awal Salah satu karakter utama dari kondisi chaos adalah sensitif pada kondisi awal. Sifat sensitif pada kondisi awal ini menjadi faktor yang amat penting dalam menandai hadirnya chaos, sehingga keadaan ini menjadi salah satu syarat dari kondisi chaos. Hal ini berarti perbedaan kecil dalam nilai awal akan berdampak sangat besar terhadap hasil akhir. Fenomena tersebut, yang awalnya ditemukan oleh Lorenz di studi cuaca, juga ditemukan di dalam persamaan logistik Badak Jawa.
0-1-5
Gambar 0.1.3. Dua hasil iterasi persamaan logistik untuk perbedaan kondisi awal sebesar 0.0001 dengan parameter kontrol 3.768.
Dari gambar 0.1.3. kita dapat melihat bahwa perbedaan inisial yang begitu kecil (0.0001) dapat memberikan perbedaan hasil yang sangat besar. Visualisasi ini menunjukkan bahwa sifat sensitif pada kondisi awal dapat muncul dari sebuah model deterministik (dapat diketahui nilai output secara pasti berdasarkan nilai input) sederhana. Pada kasus peta logistik (nilai deterministik-nya terletak pada “jumlah populasi saat mendatang ditentukan oleh jumlah populasi saat sekarang dan parameter kontrolnya”) jika kita mengetahui jumlah populasi saat sekarang dan memiliki nilai parameter kontrol maka dengan mudah akan didapatkan jumlah populasi pada saat mendatang. Namun dengan hadirnya sifat sensitif pada kondisi awal, kemudahan dalam menentukan nilai keluaran menjadi sangat sulit atau bahkan mustahil. Akibatnya, sedikit saja (0.0001) kesalahan dalam memasukkan nilai populasi badak inisial, kita tidak akan dapat memprediksi jumlah populasi Badak Jawa setelah sekian iterasi.
0.1.4. Tak Hingga Atraktor Penjelasan sederhana tentang atraktor telah kita singgung di bagian sebelumnya, dengan mengambil contoh kasus pada peta logistik. Lantas apa pengaruh yang menarik bagi pandangan kita terhadap alam? Apakah atraktor merupakan fenomena dari kehidupan sehari-hari, dan apa istimewanya dibandingkan fenomena yang sudah ada sebelumnya, misalnya titik limit? Dalam definisi sebelumnya, chaos dipahami sebagai keadaan yang memiliki tak-hingga titik atraktor. Keadaan tak hingga titik atraktor ini mengakibatkan terjadinya kemustahilan dalam melihat perilaku akhir sistem. Misalnya dalam peta logistik akan sangat sulit untuk menentukan jumlah populasi setelah sekian iterasi. Keadaan tak hingga atraktor ini menjadi sebab terjadinya sifat sensitif pada kondisi awal. Bagaimana ini terjadi? Coba kita amati sekali lagi kondisi chaos yang ditandai dengan tak hingga atraktor, atau kita sebut atraktor asing. Pada satu sisi, di sistem tak hingga atraktor (chaos), rentang titik-titik atraktor yang lebar melingkupi sebagian besar nilai keluaran yang tersedia. 0-1-6
Akibatnya, sedikit perbedaan pada nilai awal dalam wilayah chaos tersebut akan memiliki tak hingga atraktor. Sedangkan di sisi lain, kondisi tak hingga atraktor ini memiliki sebaran titik keluaran yang tidak sama dengan tak hingga atraktor yang lain, akibatnya sebaran titik keluaran dari tak hingga atraktor di kasus pertama dengan kedua akan berbeda amat jauh meski pada awalnya berdekatan. Apa arti atraktor bagi persamaan logistik? Atraktor sebenarnya berkaitan erat dengan titik limit. Namun, ada hal yang secara khusus membedakan titik atraktor dari titik limit yaitu pada kondisi chaos, atraktor asing akan melingkupi semua ruang fase dari sistem tersebut. Gambar 0.1.4. Atraktor Lorenz
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sejarah teori chaos tidak bisa dilepaskan dari penemuan Lorenz, yang menggambarkan kondisi cuaca. Model sederhana dari cuaca ini merupakan bentuk penyederhanaan dari atmosfer kita. Bagian bawah atmosfer kita dipanasi oleh bumi sedangkan pada bagian atas atmosfer didinginkan oleh ruang angkasa. Bumi, atmosfer, dan ruang angkasa membentuk hubungan tak linier dalam model Lorenz tentang cuaca. Yang menakjubkan adalah, model sederhana tersebut secara matematis memunculkan atraktor yang selanjutnya dikenal sebagai atraktor Lorenz (gambar 0.1.4.). Kehadiran atraktor Lorenz ini memberi informasi bahwa hubungan tak linier dari tiga variabel tersebut membentuk sistem chaos yang di dalamnya melekat sifat sensitif pada kondisi awal. Seorang perencana kota dari Bapeda Kota Bandung, yang tugasnya menyiapkan skenario pembangunan 10 tahun ke depan, tentu saja senantiasa kesulitan dalam memastikan bagaimana kondisinya setelah masa diberlakukannya sebuah rencana tertentu. Ia terkait dengan kebijakan ekonomi politikus nasional hingga keputusan kependudukan walikota baru serta rentetan interaksi yang mengikutinya. Masing-masing berpeluang memberi andil bagi wajah Kota Bandung 10 tahun ke depan. 0-1-7
0.1.5. Rute Menuju Chaos Kita telah mengetahui urutan dari sistem teratur hingga sistem yang chaotik ditentukan oleh jumlah atraktornya, mulai dari sistem yang atraktornya paling sedikit hingga yang jumlah atraktornya dianggap tak berhingga. Dalam kasus peta logistik, kita juga telah mengetahui bahwa jumlah atraktor yang ada dalam sebuah sistem ditentukan oleh nilai parameter kontrol dari sistem tersebut. Lalu, pada saat bagaimanakah parameter kontrol tersebut mengakibatkan terjadinya chaos untuk pertama kali? Pertanyaan ini dapat berkembang menjadi: “Apakah jika tercapai kondisi chaos pada parameter kontrol tertentu maka akan terjadi chaos pada semua parameter kontrol berikutnya, yang lebih besar dari pada parameter kontrol saat chaos pertama kali muncul”. Ide untuk menjawab pertanyaan tersebut menjadi insprasi untuk membuat diagram bifurkasi. Diagram bifurkasi dibuat dengan memetakan semua parameter kontrol terhadap nilai atraktor, dimulai dari parameter kontrol terkecil hingga terbesar. Hal ini terlihat di gambar 0.1.5. Pada gambar tersebut jelas terlihat bahwa ketika parameter kontrolnya 1 hingga 3, hanya terdapat 1 atraktor. Begitu kita perbesar parameter kontrol hingga lebih dari 3, maka terdapat percabangan (bifurkasi) menjadi 2 atraktor. Lebih jauh lagi, ketika kita tambah hingga kurang dari 3,5 terjadi percabangan (bifurkasi) lagi dari masing-masing percabangan sebelumnya. Demikian seterusnya, hingga ketika parameter kontrol sebesar 4 dihasilkan begitu banyak atraktor (hampir tak berhingga) sedemikian sehingga wilayah ini disebut kawasan chaos.
Gambar 0.1.5. Diagram bifurkasi yang memetakan seluruh atraktor mulai dari parameter kontrol 1 hingga 4.
Diagram bifurkasi ini pada dasarnya merupakan satu cara untuk menunjukkan bagaimana sistem yang tadinya stabil berubah menjadi chaos. Jika kita perhatikan, maka ketika atraktornya masih sedikit, maka sistem cenderung statik. Begitu parameter kontrol ditambah sistem telah kehilangan kestabilan sedikit menjadi periodik dengan adanya dua titik atraktor. Namun, perubahan drastis terjadi ketika parameter kontrol 0-1-8
ditambah lagi, sistem menjadi sangat tak beraturan atau chaos. Dengan penulisan lain, jalan menuju chaos dapat dirangkum dalam ikhtisar: statik
periodik
chaos,
sebagaimana ditunjukkan oleh diagram bifurkasi. Dari deskripsi di atas terlihat bahwa sebuah persamaan deterministik non-linier sederhana dapat menghasilkan chaos. Problem Poincaré yang hanya terdiri atas tiga benda ternyata memberikan solusi yang sangat rumit. Sistem sosial yang terdiri atas berbagai individu dengan latar belakang dan motif yang berbeda tentu saja tidak akan kalah rumitnya. Hal ini menjelaskan mengapa Amerika Serikat begitu khawatir dengan kondisi dunia saat ini. Ketika perang dingin, hanya ada dua buah atraktor di dunia ini yaitu Amerika dan Soviet. Pasca perang dingin, muncul banyak atraktor baru seperti Cina, Uni-Eropa, Amerika Latin dan Tengah serta kelompok Islam garis keras. Hal ini juga menjelaskan mengapa Amerika begitu takut kepada Soekarno, ketika ia mendirikan gerakan non-blok, karena ia menciptakan sebuah titik atraktor baru. Dinamika dunia politik yang terdiri atas banyak atraktor begitu sulit untuk dijelaskan. Fakta ini seolah menghadirkan pesimisme kepada kita dalam melihat sistem sosial. Tetapi benarkah alam senantiasa berada dalam kondisi chaos? Untuk menyelidiki pertanyaan tersebut, kita menggunakan sebuah koefisien buatan Aleksandr Lyapunov, yang menghitung seberapa besar perbedaan yang muncul akibat perbedaan kecil setelah melalui sejumlah iterasi tertentu. Secara formal ia menghitung perbedaan awal setelah melalui tak-hingga iterasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika koefisien Lyapunov lebih besar dari nol maka sistem memiliki sifat sensitif pada kondisi awal, yang artinya berada dalam kondisi chaos. Sebaliknya, jika koefisien Lyapunov kurang dari nol berarti tidak sensitif pada kondisi awal dan berada dalam kondisi teratur.
Lyapunov: seorang astronom, matematikawan, fisikawan; seorang pria sensitif yang pemarah dengan keangkuhan yang wajar. Aleksandr Lyapunov
Gambar 0.1.6. Diagram bifurkasi dan nilai koefisien Lyapunov yang menunjukkan kestabilan sistem.
0-1-9
Apakah begitu sistem mencapai titik chaos kemudian ditambah lagi parameter kontrolnya maka ia akan menjadi semakin tak beraturan? Jawabannya tidak! Hal ini ditunjukkan dengan 2 anak panah pada gambar 0.1.6. Pada fasa chaos, ada kondisi tertentu sistem justru stabil (koefisien Lyapunov-nya negatif). Artinya, dalam sistem yang chaos sekalipun terdapat sifat keteraturan. Hal ini membuat takjub banyak ilmuwan dan matematikawan yang merintis pengembangan teori chaos. Jika sebelumnya kondisi chaos dianggap sebagai sesuatu keganjilan dan dikecualikan dalam pembahasan, karena mustahil untuk dianalisis. Adanya kenyataan bahwa dalam chaos terdapat keteraturan yang memberikan sejumlah harapan tentang pengukuran dalam wilayahwilayah chaos. Di tengah turbulensi yang kacau-balau, pada dasarnya terdapat beberapa hal yang memiliki pola-pola sederhana yang teratur bahkan stabil.
"Habis Gelap Terbitlah Terang.” Raden Ajeng Kartini
Gambar 0.1.7. Di dalam sistem yang sedemikian chaotik terdapat beberapa fasa keteraturan dan kestabilan yang membuka pintu analisis atas sistem chaos.
0-1-10
Di Indonesia, kita mungkin teringat dengan judul sebuah buku dari seorang pahlawan nasional kita, pembela hak-hak kaum wanita, Raden Ajeng Kartini, yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang". Kemungkinan ditemukannya pola-pola teratur di dalam wilayah chaos merupakan hal yang sangat melegakan. Anggapan klasik yang mengatakan bahwa sistem yang chaotik tidak mungkin dapat dianalisis secara formal dan matematis sekarang tinggal kenangan, karena justru di dalam sistem yang chaotik tersebut terdapat beberapa bagian sistem yang sederhana dan stabil. Gambar 0.1.7. memberikan gambaran yang sangat jelas tentang hal yang telah dipaparkan sebelumnya. Pada gambar tersebut, kita sorot (zoom) sistem chaotik dan kita hitung koefisien Lyapunov yang ada dari sistem bersangkutan, dan hasilnya ternyata bahwa di dalam sistem yang sangat chaotik tersebut, ketika hampir tak hingga atraktor bekerja pada sistem, terjadi beberapa fasa stabil yang ditandai dengan sangat kecilnya nilai koefisien Lyapunov-nya.
Dari ulasan di atas, kita dapat melihat adanya sebuah area unik di dalam chaos, atau sering disebut dengan tepi chaos. Daerah tepi chaos menjadi suatu hal yang penting – ia menjadi hal yang menyimpan misteri dari sistem chaotik itu sendiri. Daerah ini menjanjikan harapan bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengobservasi wilayah chaos . Daerah tepi chaos ini penting karena ia juga menyimpan model yang dapat digunakan dalam memahami sistem chaotik secara holistik atau keseluruhan. Seluruh sistem chaotik memiliki tingkat kompleksitas paling tinggi pada saat berada di daerah tepi chaos. Pendekatan yang memiliki wawasan seperti ini, dikenal sebagai pendekatan kompleksitas – sebuah pendekatan yang relatif baru yang tak mudah karena ia menuntut adanya interdisiplinaritas antara berbagai bidang ilmu yang menurut sejarah filsafat ilmu pengetahuan berada pada domain yang berbeda-beda. Dari sini, kita dapat dengan mudah melakukan klasifikasi untuk jalan menuju chaos (road to chaos) atas sistem yang berkembang dari keadaan statik menuju keadaan chaos, sesuai dengan urut-urutan berikut: stabil statis
stabil periodik
"tepi chaos"
tak stabil chaos
0.1.6. Kemiripan Terhadap Diri Sendiri Adanya jaminan bahwa di dalam chaos terdapat keteraturan yang ditunjukkan oleh diagram bifurkasi dan didukung oleh diagram Lyapunov meninggalkan pertanyaan, “Bagaimana bentuk keteraturan tersebut sehingga bisa dikuantifikasi atau dihitung”. Mari kita lihat kembali diagram bifurkasi kemudian kita bandingkan bentuknya pada selang parameter kontrol 2 hingga 4 dengan selang 3.4 hingga 3.6 dan juga dengan 3.52 hingga 3.58, sebagaimana terlihat pada gambar 0.1.8. Gambar 0.1.8. Close-up diagram bifurkasi untuk berbagai parameter kontrol yang berbeda-beda.
0-1-11
Apa yang baru kita lihat pada gambar tersebut? Ternyata terdapat kemiripan geometris antara skala yang panjang (interval parameter kontrol 2 hingga 4) dengan skala yang pendek (interval parameter kontrol 3.52 dan 3.58). Dengan kata lain, bagian-bagian kecil dari kondisi chaos pada dasarnya tersusun atas bagian-bagian peralihan dari: statik (1 atraktor)
periodik (2 atraktor)
chaos (banyak atraktor).
Ternyata, hal yang kita kenal dengan sebutan chaos juga disusun oleh bentuk geometri yang sama dengan penyusun chaos itu sendiri. Sifat ini disebut sebagai sifat kemiripan terhadap diri sendiri. Sifat inilah yang dalam matematika dikenal sebagai fraktal. Munculnya fraktal merupakan akibat langsung dari perkembangan teori chaos. Dengan kata lain, chaos menghasilkan fraktal dan tidak terjadi sebaliknya bahwa fraktal menghasilkan chaos. Di tengah chaos, fraktal hadir dalam atraktor. Ia menjadi semacam petunjuk yang memberi harapan bahwa terdapat pola dalam kondisi sangat tidak teratur. Hal ini juga menambah karakteristik dari chaos, yaitu selain sensitif pada kondisi awal, ia juga memiliki geometri fraktal pada atraktornya.
0.1.7. Fraktal Fraktal, berasal dari kata fractional, yang didefinisikan sebagai bentuk geometri yang tidak teratur namun memiliki kemiripan dengan dirinya sendiri (self-similarity). Konsep tentang fraktal berawal dari paradoks dua dimensi. Bayangkan kita sedang memandang garis pantai Samudera Hindia dari puncak gedung Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu. Dari kejauhan, kita akan melihat bentuk garis pantai yang bergelombang teratur. Katakanlah dari informasi peta di hotel, kita mengetahui panjang sepotong garis pantai di sekitar hotel. Bayangkan kemudian kita mendatangi potongan tersebut untuk menghitung panjangnya. Keterkejutan pertama adalah kita akan menemukan kemiripan bentuk antara garis pantai tempat kita berdiri saat itu dan yang ada di peta skala 1: 100. Lalu, keterkejutan kedua adalah ketika mengukur garis pantai. Penghitungan menggunakan alat ukur skala meter di peta dengan satuan centimeter yang kita bawa dari hotel menghasilkan nilai yang berbeda; lebih panjang menggunakan alat ukur yang kedua. Kita dapat menduga apa yang terjadi jika skala alat ukur diturunkan; garis pantai semakin panjang sampai tak hingga, padahal panjang pantai tersebut dalam kenyataannya terbatas. Gambar 0.1.9. Garis pantai merupakan fraktal. Gambar di atas adalah foto tepi pantai yang sama dalam skala yang berbeda.
0-1-12
Sifat fraktal, yang menunjukkan kemiripan geometris pada skala pengukuran yang berbeda, ternyata hadir di hampir sejauh mata kita memandang. Awan-awan yang senantiasa bergerak di angkasa, deretan pegunungan, alur sungai-sungai, hingga kembang kol di dapur menunjukkan sifat fraktal. Bahkan paru-paru kita menyimpan struktur fraktal di dalamnya. Beberapa contoh dari penemuan fraktal di dalam berbagai obyek di alam ditunjukkan pada gambar 0.1.10. Gambar 0.1.10. Sifat kemiripan pada diri sendiri (fraktal) pada berbagai obyek di sekeliling kita: (a) deretan pegunungan, (b) permukaan planet Jupiter, (c) kumpulan awan di langit, (d) kembang kol, dan (e) paru-paru manusia. Sifat fraktal ini memberi tanda universalitas keberadaan sistem chaotik di alam.
Dapatkah kita membangkitkan pola-pola yang ada di alam dengan aturan yang sederhana? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, beragam teknik dibuat. Gambar 0.1.11. Visualisasi konstruksi pertumbuhan pohon.
Salah satu teknik yang sering digunakan diperkenalkan oleh Aristid Lindenmayer (1925-1989), seorang biolog Belanda yang mengembangkan pemodelan pola pertumbuhan beberapa jenis alga dengan aturan formal tertentu. Visualisasi proses pembangkitan model dapat dilihat di gambar 0.1.11 dan perbandingannya dengan bentuk asli dapat dilihat di gambar 0.1.12. 0-1-13
Gambar 0.1.12. Hasil simulasi pertumbuhan pohon dan dedaunan (kanan) dibandingkan dengan bentuk aslinya (kiri).
Upaya ini telah berkembang pesat dengan diterapkannya berbagai penambahan kerumitan sistem simulasi sehingga kita semakin mampu mengekstrak informasi visual alam raya ke dalam berbagai formulasi matematis yang sangat sederhana. Hal ini ditunjukkan pada gambar 0.1.13. Pada gambar di sebelah kiri, dilakukan simulasi untuk memodelkan pertumbuhan semak belukar dalam imagi 3-dimensi. Tujuannya tentu agar mendapatkan gambaran yang lebih realistik tentang pertumbuhan jenis semak belukar tertentu. Hal ini menjadi sangat berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya biologi. Pada gambar 0.1.13, divisualisasikan hasil konstruksi fraktal 3-dimensi yang dibuat oleh seniman grafis, Richard Voss, yang menggambarkan pegunungan berkabut. Karya visual hasil dari aturan formal yang berhasil menipu mata kita layaknya lukisan asli. Gambar tersebut bukanlah foto, melainkan hanya hasil sebuah simulasi gerak acak dengan aturan fraktal tertentu. Gambar 0.1.13. Pertumbuhan 3-dimensional (kiri) dan imagi pegunungan yang dibuat dengan model gerak acak 3-D dengan sistem fraktal (kanan).
0-1-14
Gambar 0.1.14. Sifat fraktal pada data deret waktu keuangan.
Fraktal ada di sekitar kita. Ia tidak hanya ada ada di sistem alam, melainkan juga di sistem sosial. Pada gambar 0.1.14. kita dapat melihat bahwa data deret waktu keuangan-pun bersifat fraktal. Dari sini kita dapat menemukan sebuah fenomena menarik yaitu ternyata, baik harga bunga kol di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta misalnya, maupun bunga kol itu sendiri bersifat fraktal (gambar 0.1.10.). Fraktal juga dapat dijumpai dalam karya seni manusia. Hal ini terlihat di gambar 0.1.15. Gambar 0.1.15. Visualisasi fraktal dalam karya seni, yaitu: Candi Prambanan (atas) dan motif batik di berbagai daerah di Nusantara (bawah).
0-1-15
Dari contoh-contoh tersebut kita dapat melihat bahwa pada aspek estetika sekalipun, yang sebelumnya dianggap misterius, dapat dijelaskan oleh teori chaos. Dalam ulasan ini kita sama-sama dapat melihat adanya sebuah harapan dan inspirasi baru dalam perjalanan manusia yang tidak pernah berhenti mencari jawaban pertanyaan keingintahuan. Baik sistem alam maupun sistem sosial memberikan tanda pada kita, bahwa sebenarnya apa yang kita anggap rumit sangat mungkin dihasilkan dari mekanisme yang sangat sederhana. Sebaliknya, bukan tak mungkin pula sebuah hal yang kita lihat sangat sederhana sebenarnya menyimpan potensi kerumitan yang luar biasa dan hampir tak mungkin dijelaskan maksudnya.
0.1.8. Penutup Chaos dan fraktal sangat dekat dengan kita. Universalitas ini memberi ruang kontemplasi bahwa sang Pencipta memang memberi kita harapan sekaligus batasan, bahwa perjalanan kehidupan peradaban memang akan selalu berhingga di tepi dari batas itu. Namun ketika berada di batas itu, kita tidak mesti merasa terbatas, karena memang semuanya akan senantiasa berada di tepi chaos. Universalitas ini juga membawa kita pada sebuah kesadaran akan interdisiplinaritas. Guratan pahat di Candi Prambanan ternyata berhubungan dengan persamaan sederhana di matematika. Gerakan harga saham di Bursa Efek Jakarta ternyata memiliki pola yang sama dengan permukaan Planet Jupiter. Baik seni dan matematika maupun ekonomi dan fisika ternyata sangat dekat. Sekarang sudah bukan saatnya lagi kita terkotak-kotak berdasarkan penggaris tua peninggalan Déscartes. Dari kesadaran interdisiplinaritas inilah kita mungkin dapat memahami apa yang ada dalam pikiran Soekarno ketika ia merumuskan dasar-dasar keindonesiaan, sebagaimana dibahas di awal diskusi ini.
0-1-16
0.2. Dari Otomata Selular ke Model Agen Tidak ada kondisi statis pada sistem sosial kita – sistem sosial adalah sistem dinamis. Manusia bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Mereka saling berjumpa, berbohong, berjanji, marah, bercinta, memuji, dan mencaci-maki. Perjalanan manusia sulit ditebak. Joni tidak pernah menyangka perjalanannya hari itu benar-benar sulit. Berbagai halangan harus dia lewati; sepeda motornya dicuri, gulungan filmnya dijambret, sampai membantu persalinan seorang istri supir taksi. Interaksi manusia ternyata sangat rumit. Bahkan kita tidak akan pernah tahu pasti apa yang terjadi beberapa saat ke depan. Kerumitan tersebut mengakibatkan upaya pencarian solusi kehidupan manusia menjadi tidak sederhana. Lalu, bagaimanakah pemerintah mempersiapkan prasarana jalan raya yang tidak akan pernah macet? Bagaimanakah semestinya seorang perancang kota mendesain trotoar agar pengguna tidak akan pernah berdesak-desakan dengan pedagang kaki lima? Saat hutan di Kalimantan terbakar, bagaimanakah cara menanggulangi sebaran api? Bagaimanakah merumuskan kebijakan kesehatan untuk mengatasi flu burung dan demam berdarah? Apa alat yang dapat kita gunakan untuk menjawab semua persoalan itu? Gambar 0.2.1. Suasana kemacetan dan keserawutan lalu lintas di Jl. Setiabudi Bandung pada saat weekend.
0.2.1. Pada Awalnya Perkembangan otomata selular (cellular automata) terkait dengan teori komputasi. Teori ini pertama kali dirumuskan oleh matematikawan Inggris, Alan Turing. Secara teoretis, Turing membangun sebuah mesin yang terdiri atas pita dengan panjang tak terbatas; biasa disebut Mesin Turing. Pita ini terdiri atas sel-sel yang mewakili string atau urutan karakter tertentu. Dalam mesin tersebut, terdapat head yang dapat membaca, menulis ulang, atau membiarkan keadaan yang ada di pita. 0-2-1
“Kebenaran itu terlalu rumit untuk didapatkan. Kita hanya boleh mendekatinya.” John von Neumann
Chairil adalah seorang pujangga angkatan 45, yang mungkin paling terkenal. Citra dalam gambar ini adalah posenya yang paling populer. Pose seorang perokok yang dengan pandangan sinis dan penuh gejolak pemberontakan. Chairil Anwar (1922-1949)
Head bergerak dari sebuah sel menuju sel selanjutnya secara berurutan dari kiri atau kanan. Pergerakan head diatur oleh alat yang merepresentasikan state atau kondisi tertentu yang diwakili dalam sebuah tabel. Prinsip ini kemudian menjadi dasar teori komputasi. Pekerjaan ini kemudian dilanjutkan oleh Alonzo Church. Keduanya sampai pada kesimpulan bahwa masalah apapun dapat dikomputasi menggunakan Mesin Turing. Kemampuan membaca dan menulis ulang isi pita ini kemudian berkembang dan diwujudkan dalam bentuk komputer. Sampai buku ini ditulis, belum ada komputer manapun di dunia yang dirancang dengan arsitektur yang tidak dapat dicari ekuivalensinya dengan Mesin Turing. Dari sini dunia kemudian mengenal nama matematikawan dan fisikawan genius berkebangsaan Amerika Serikat, John von Neumann. Dalam sebuah makalahnya yang terkenal tahun 1948, von Neumann mengemukakan ide tentang “teori otomata”. Ia menyebutnya sebagai sebuah teori tentang “Tubuh pengalaman yang terartikulasi rumit dan sulit untuk diformalkan”. Persamaan matematika terkadang tidaklah cukup. Terkadang kita harus menyelesaikan permasalahan hanya dengan cara mengalaminya. Bukankah kita tidak akan pernah tahu legitnya Bika Ambon hanya dari ilustrasi pencicipnya di televisi? Dengan adanya kinetika Newton, dengan mudah kita dapat menghitung titik jatuh cock badminton yang di-smash Susi Susanti. Tapi, bagaimana dengan sistem yang terdiri atas banyak benda yang saling berinteraksi satu sama lain? Sekarang coba kita bayangkan, misalnya terdapat ribuan benda identik bergerak acak, yang tentunya mematuhi hukum Newton, katakanlah kepulan asap rokok yang dihembuskan Chairil Anwar. Tiap partikel asap bergerak dengan arah vektor dan besar percepatan yang beraneka ragam. Terkadang mereka saling bertabrakan satu sama lain; sebagaimana terlihat pada gambar 0.2.2. Saat mereka bertabrakan tentu ada perubahan momentum yang bekerja dalam benda tersebut atau dalam fisika Newtonian dikenal dengan konsep impuls. Adanya faktor interaksi dari gerak ribuan partikel asap mengakibatkan upaya pemecahan problem kepulan asap rokok Chairil Anwar sulit untuk dijawab dengan menggunakan persamaan matematika Newtonian.
Gambar 0.2.2. Visualisasi model lintasan gerak cock badminton Susi Susanti dan kepulan asap rokok Chairil Anwar.
Dalam kasus ini, gagasan von Neumann di atas tentu menjadi diskusi yang menarik. Problem kepulan asap rokok Chairil Anwar dapat kita jawab menggunakan perangkat komputasi. Bentuk kepulan asap rokok tersebut ternyata dapat kita cari dengan mengalami langsung gerak tiap partikel 0-2-2
asap. Proses ini dimulai dengan memindahkan partikel-partikel asap tersebut ke dalam komputer. Sesuai hukum Newton, partikel-partikel tersebut bergerak dan bertabrakan, kemudian merubah arah geraknya. Konstelasi gerak partikel asap inilah yang kemudian ditumbuhkan dalam simulasi komputer. Dengan demikian melalui simulasi komputasi kita dapat menjawab berbagai permasalahan sistem banyak benda yang saling berinteraksi, termasuk kepulan asap rokok Chairil Anwar.
0.2.2. Kelahiran Otomata Selular Dapatkah kita membangkitkan organisme artifisial di dalam komputer? Adakah sebuah mesin yang dapat berperilaku secara otonom tanpa dipengaruhi objek lain (otomata) sekaligus mampu mereproduksi dirinya sendiri (self-reproducing automata)? Pertanyaan tersebut akhirnya berhasil diselesaikan oleh von Neumann lebih dari setengah abad yang lalu. Solusi pertanyaan inilah yang melahirkan otomata selular. Lalu, apakah itu otomata selular? Otomata selular dipahami sebagai sistem dinamik yang dibentuk dengan dasar sistem waktu diskrit dan secara spasial sebagai model dari proses fisik dan sebagai perangkat (device) komputasional. Untuk mengkaji otomata selular secara lebih jauh, terlebih dahulu kita harus mengenal beberapa pengertian berikut, yaitu: sel, state, tetangga dan rule. Gambar 0.2.3. Visualisasi otomata selular dua dimensi: koreografi pada regu pemandu sorak.
Sel adalah sebuah entitas diskrit terkecil. Mari kita bayangkan terdapat sebuah regu pemandu sorak yang sedang berlatih membuat formasi gerak. Pada contoh di atas (gambar 0.2.3), sel adalah seorang anggota pemandu sorak. State adalah jenis keluaran sel yang membentuk sistem. Pada contoh tersebut, terdapat dua jenis state, yaitu: “mengangkat tangan” dan “menurunkan tangan”. Tetangga, dalam konteks ini, adalah teman satu kiri dan satu kanan. Rule adalah ketentuan yang mengatur state sebuah sel pada periode berikutnya. Contoh rule misalnya: Gambar 0.2.4. Rule formasi gerakan pemandu sorak.
0-2-3
Setiap anggota pemandu sorak (sel) memperbaharui state-nya secara diskrit. Pembaharuan state hanya terjadi setelah pelatih meniupkan peluit pertama, kedua dan seterusnya (t=1,2,3,4,5,...). Dari sini maka akan kita dapatkan dinamika state sel sebagai berikut (gambar 0.2.5): Gambar 0.2.5. Hasil simulasi gerakan pemandu sorak.
0.2.3. Otomata Selular 1-Dimensi Formasi gerakan regu pemandu sorak adalah contoh otomata selular 1dimensi. Selain itu, terdapat juga sebuah otomata selular 1-dimensi bentuk khusus yaitu “otomata selular elementer”. Jenis ini adalah bentuk otomata selular yang paling sederhana. Kualifikasi yang dimilikinya adalah sebagai berikut: a) Memiliki dua buah state (kita sebut saja state hitam (1) dan state putih (0)). b) Setiap sel memiliki tetangga satu sel di kiri dan di kanannya. Dengan perhitungan sederhana dapat kita ketahui bahwa, pada otomata selular elementer terdapat 256 jenis rule. Salah satu rule tersebut adalah rule 254: Gambar 0.2.6. Rule 254 otomata selular elementer (disebut rule 254 karena nilai 11111110 pada basis 2 sama dengan 254 pada basis 10).
0-2-4
Dari hasil simulasi (gambar 0.2.7.) kita dapat melihat muncul beberapa pola menarik. Pada rule 72 terlihat bahwa sistem akan bersifat stabil (statik). Pada rule 186 terlihat bahwa sistem menghasilkan pola yang bersifat periodik. Pada rule 102 dan 110 muncul sebuah pola yang tidak bersifat statik maupun periodik. Tetapi apakah rule 102 dan 110 memiliki sifat yang sama?
Gambar 0.2.7. Hasil simulasi empat jenis rule otomata selular elementer dengan kondisi inisial satu titik hitam di tengah. Rute iterasi yaitu dari permukaan, dalam bidang spasio temporal, bagian atas menuju ke bawah.
Gambar 0.2.8. Hasil simulasi rule 102 dan 110 otomata selular elementer dengan kondisi inisial acak. Iterasi berjalan dari atas ke bawah.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan simulasi dengan jumlah iterasi dan jumlah sel yang sangat besar. Pada gambar 0.2.8. kita dapat melihat bahwa rule 102 menghasilkan bentuk yang tidak berpola sama sekali (acak). Dari hasil simulasi lebih jauh diketahui bahwa rule 102 ini bersifat sensitif terhadap kondisi inisial. Sebuah perubahan kecil di konfigurasi state sel akan berpengaruh sangat besar terhadap pola yang muncul di iterasi selanjutnya. Berbeda dengan rule 102, rule 110 ternyata menghasilkan pola tertentu yang unik. Pola yang tidak bersifat statis, periodik, maupun acak. Hasil rule 110 adalah indikasi area tepi chaos dalam otomata selular. Apa yang terjadi jika kita menambah tetangga atau menambah state yang mungkin? Tentunya kita akan memiliki otomata selular yang luar biasa rumit, demikian juga pola yang dihasilkannya, di samping itu rule-nya pun akan sangat sulit untuk dibayangkan. Jika kita hanya memiliki 2 warna, maka jumlah rule otomata selular berjumlah 256. Maka misalnya kita punya otomata selular 3 warna: hitam, putih, dan juga abu-abu, dengan cara yang sama dengan otomata selular elementer, kita akan memiliki rule 0-2-5
yang mungkin sebanyak 7.625.597.484.987 jenis. Di samping itu jika kita memiliki otomata selular dengan jumlah warna 2 (hitam dan putih) dengan tetangga ditambah menjadi 4, maka kita memiliki rule yang mungkin sebanyak 4.294.967.296. Jumlah yang terlalu berat diselesaikan menggunakan mesin komputasi secanggih apapun.
Wolfram menunjukkan dalam buku seminalnya "A New Kind of Science" bahwa sistem kompleks tak dapat dimodelkan dengan matematika tradisional. Stephen Wolfram
Gambar 0.2.9. Contoh otomata selular otalistik 3 warna 1 dimensi dengan rule 1074.
Gambar 0.2.10. Hasil simulasi otomata selular 1 dimensi totalistik 3 warna dari rule 1599, 912 dan 2039 dengan kondisi inisial satu titik hitam di tengah. Terlihat bahwa otomata selular 1 dimensi totalistik 3 warna dapat menghasilkan sebuah pola yang indah dan menarik.
0-2-6
Untuk itu, tahun 1983 fisikawan Stephen Wolfram memperkenalkan otomata selular yang banyak rule-nya bergantung pada rata-rata dari semua (total) nilai sel yang ada dalam lingkungan tetangganya. Otomata selular jenis ini disebutnya sebagai "otomata selular totalistik", karena kita hanya mengambil rule yang 'totalistik' saja. Misalnya ada 3 jenis warna (state) otomata selular yaitu putih (0), abu-abu (1) dan hitam (2). Misalkan sebuah sel berada dalam state hitam (2) memiliki tetangga kiri berwarna putih (0) dan tetangga kanan berwarna abu-abu abu-abu (1) maka updating state-nya dilakukan dengan menggunakan opsi ke-3 (2+0+1). Karena hanya ada 3 jenis state, maka dalam sebuah rule terdapat 7 jenis opsi yang mungkin yaitu opsi ke-0 (0+0+0), opsi ke-1, opsi ke-2 hingga opsi ke-6 (2+2+2). Dari sini dengan mudah kita dapat mengetahui bahwa pada otomata selular totalistik 3 warna (state) terdapat 3 pangkat 7 atau 2.187 jenis rule. Salah satunya adalah 1074 (atau dalam basis 3 sama dengan 1110210). Artinya opsi ke-0 menghasilkan state 1, opsi ke-2 menghasilkan state 1, opsi ke-3 menghasilkan state 1, dan seterusnya. Untuk lebih jelasnya perhatikan gambar 0.2.9.
0.2.4. Tepi Chaos Dalam Otomata Selular Kita telah memahami teori chaos dari bagian sebelumnya. Kita ketahui adanya sebuah wilayah yang disebut tepi chaos. Fenomena ini juga ditemukan dalam otomata selular. Dari kajian otomata selular 1-dimensi di atas kita ketahui bahwa terdapat sejumlah karakteristik dari masing-masing rule. Tiap rule memiliki karakteristik. Lebih jauh Stephen Wolfram menunjukkan bahwa teori chaos dapat digunakan untuk menerangkan banyak sistem secara holistik melalui otomata selular 1-dimensi. Otomata selular memiliki 4 kategorisasi kelas, yaitu: Gambar 0.2.11. Empat jenis klasifikasi Wolfram untuk otomata selular pada kelas 1, kelas 2, kelas 3, dan kelas 4 (dari kiri ke kanan).
Kelas Pertama, otomata selular yang perilakunya sangat sederhana, hampir seluruh konfigurasi inisialnya menghasilkan keadaan akhir yang homogen/seragam dan sama hanya pada beberapa iterasi tertentu saja. Contoh kelas ini adalah otomata selular elementer rule 72. Kelas Kedua, otomata selular yang seluruh konfigurasinya memiliki siklus periodik, yaitu terdapat beberapa hasil akhir yang mungkin berubah secara berkala, tergantung kepada konfigurasi awal. Pola yang dihasilkan adalah pola yang sama dan berulang terus setelah beberapa iterasi awal. Sistem berubah secara periodik. Contoh kelas ini adalah otomata selular elementer rule 186. Kelas Ketiga, otomata selular yang konfigurasi akhirnya memiliki pola chaotik yang rumit dan dapat dikategorikan acak, meski beberapa struktur kecilnya masih terlihat secara esensial. Pengertian Wolfram untuk acak di sini adalah perilaku yang tak menentu dan tak dapat diprediksi dari awal hingga akhir iterasi. Sistem berubah secara ergodik dan sangat sensitif pada kondisi awal. Begitu kondisi awal berubah, maka hasilnya akan berubah juga. Contoh kelas ini adalah otomata selular elementer rule 102. Kelas Keempat, otomata selular yang konfigurasi akhirnya menunjukkan gabungan antara keteraturan dan acak: susunan awalnya berubah hingga menghasilkan struktur terlokalisasi yang kelihatan sederhana namun senantiasa bergerak dan saling berinteraksi dengan rumit. Otomata kelas keempat ini memiliki struktur yang kompleks dengan struktur yang 0-2-7
terlokalisasi; beberapa literatur menyebutkan bahwa otomata selular kelas keempat ini sebagai komputer universal (universal computer) yang menunjukkan model sistem-sistem di alam. Contoh kelas ini adalah otomata selular elementer rule 110. Namun klasifikasi Wolfram tersebut masih lemah karena dia tidak menyediakan formalisme untuk mendukung argumentasinya, sekalipun pendapat tersebut cukup kuat karena terus ditemui dalam eksperimeneksperimen selanjutnya. Argumentasi ini kemudian diperkuat secara kuantitatif oleh peneliti Santa Fe Institute (pusat studi kompleksitas Amerika Serikat), Christopher Langton dengan memperkenalkan konsep λ ("lambda"). λ adalah sebuah parameter yang didefinisikan sebagai persentase dari semua entri dalam tabel rule otomata selular yang memetakan ke state bukan nol. Gambar 0.2.12. Dinamika otomata selular 1-dimensi dengan nilai λ yang berbeda-beda.
Pada gambar 0.2.12. terlihat bahwa saat nilai lamda diperbesar, ditemukan karakteristik berikut: fixed point
periodik
“complex”
disorder total
Berdasarkan nilai λ, maka kita dapat mengurutkan kembali kelas-kelas yang dibuat oleh Wolfram menjadi sebagai berikut: Kelas 1
Kelas 2
Kelas 4
Kelas 3
dengan rata-rata nilai λ adalah 0.228, 0.439, 0.816, dan 0,502 untuk masing-masing urutan kelas 1 hingga kelas 4. Fenomena ini menarik karena ia menghasilkan pola yang sama dengan teori chaos. Jika dalam teori chaos parameter kontrol-nya adalah variabel R maka di sini kita berhubungan dengan variabel λ. Interpretasi dari fakta dua buah teori tersebut adalah bahwa otomata selular merupakan model komputer yang menunjukkan adanya suatu hal yang "istimewa" di antara sistem yang sangat teratur (order) dan yang tidak teratur (disorder).
0-2-8
0.2.5. Perkembangan Otomata Selular Kajian di atas memberikan kita sebuah pelajaran penting bagaimana sebuah interaksi lokal antar sel dengan aturan yang sangat sederhana ternyata dapat memberikan sebuah pola yang sangat indah. Pola-pola yang sebelumnya tidak tersetuh sama sekali oleh pendekan sains klasik selama ini menjadi mungkin untuk dijelaskan. Mari kita bayangkan kita sedang mengamati motif pigmentasi kerang yang ditemukan dari Pantai Derawan. Bagaimana menjelaskan motif tersebut dalam persamaan matematika? Tentu saja hal itu akan sangat sulit sekali, bahkan hampir mustahil. Namun dengan menggunakan otomata selular hal ini mungkin untuk dilakukan (gambar 0.2.13.). Gambar 0.2.13. Kerang di Pantai Derawan (kanan) dan pemodelan dengan otomata selular elementer rule 30 (kiri).
Gambar 0.2.14. Visualisasi otomata selular 2-dimensi.
Indonesia tumbuh dan berkembang dari fase penjajahan, fase kemerdekaan, hingga fase pembangunan seperti sekarang ini. Demikian juga dengan otomata selular. Kerangka 1 dimensi di atas dapat kita kembangkan menjadi model 2-dimensi. Otomata selular 2-dimensi merupakan dunia virtual komputasional yang dikonstruksi untuk tujuan mengamati pola yang lebih luas dari apa yang diperoleh di model 1 dimensi. Dengan mudah kita mengetahui bahwa otomata selular 2dimensi memiliki 2 variabel dalam menentukan posisi (di sistem koordinat Cartesian, misalnya x dan y). Artinya, setiap sel dapat direpresentasikan 0-2-9
dengan dua variabel x dan y tersebut (x,y). Pengertian tetangga pun tidak lagi sekadar sel yang ada di sebelah kiri dan kanan, namun juga yang di atas dan di bawah sel yang bersangkutan (gambar 0.2.14.). Gambar 0.2.15. Salah satu contoh otomata selular 2dimensi dengan rule totalistik (kiri). Coba kita bandingkan hasil simulasi yang diperoleh dengan motif Songket Palembang (kanan atas) dan Tenun Bali (kiri atas).
Pada gambar 0.2.15. ditunjukkan evolusi rule sederhana otomata selular 2 dimensi mulai dari iterasi pertama hingga iterasi delapan puluh yang memberikan kepada kita bentuk kesimetrian dengan kesan rumit tapi menarik. Pengembangan model otomata selular dengan rule sederhana 2-dimensi memberikan kita kesempatan untuk mengkaji berbagai pola dalam fenomena alam, seperti misalnya motif Songket Palembang dan Tenun Bali. Gambar 0.2.16. Pengembangan otomata selular 2-D yaitu: bentuk kisi bujur sangkar biasa (kiri atas), kisi berbentuk heksagonal (tengah atas), kisi tak beraturan (kanan atas). Coba kita bandingkan hasil simulasi tersebut dengan peta Indonesia perkabupaten (bawah). Dengan modifikasi tersebut, pada dasarnya, kita dapat mengaplikasikan konsep yang ada di otomata selular dalam permasalahan spasial di Indonesia.
Gambar 0.2.16. menunjukkan contoh klasifikasi yang berbeda untuk sistem kisi-kisi pada otomata selular 2 dimensi untuk kisi-kisi yang bujur sangkar, heksagonal dan tak beraturan. Berbagai macam pengembangan ini memberikan kesempatan pada kita untuk mengenal otomata selular sebagai model yang memiliki kemampuan yang hampir tak terbatas dalam merepresentasikan bentuk-bentuk sistem alam. Sistem dinamik otomata selular 2-dimensi ini memberikan dasar kesejumlah modelmodel lanjut dari sistem fisika, biologi, termasuk sistem sosial. Ia berusaha memindahkan struktur perilaku obyek yang ditemui secara empirik ke dalam perangkat komputasi. Salah satunya adalah problem 0-2-10
yang terkait dengan permasalahan spasial di Indonesia. Gambar 0.2.17. Visualisasi otomata selular 3-dimensi.
Masalah sosial tidak hanya terbatas pada ruang 2-dimensi, tetapi bahkan 3-dimensi. Untuk itu, otomata selular dapat dikembangkan lebih jauh. Upaya ini dapat kita lihat pada gambar 0.2.17. Pengembangan ini akan sangat membantu kita dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial di Indonesia, misalnya dalam upaya memodelkan perumahan organik di bilangan Pelesiran, Kota Bandung (lihat gambar 0.2.18.). Gambar 0.2.18. Perumahan organik di bilangan Plesiran, Kota Bandung (kiri) dan visualisasi model otomata selular 3dimensi yang dapat dibuat.
0.2.6. Mengapa Dibutuhkan Simulasi? Sistem-sistem di alam memiliki karakteristik unik yaitu memiliki sifat membrojol (emergence). Apakah itu membrojol? Membrojol adalah properti yang tidak ada di level mikro (misalnya atom atau manusia), namun tiba-tiba muncul di level makro (misalnya sifat material atau kelompok masyarakat). Kita ketahui bersama molekul H2 dan O2 pada suhu kamar akan berwujud gas dan mudah terbakar. Namun ketika dua materi ini digabungkan, dihasilkan H2O (air) yang bersifat cair dan memadamkan api. Artinya, air memiliki properti sistem yang tidak proporsional dengan properti elemen yang menyusunnya. Dengan kala lain ada properti sistem yang muncul tiba-tiba dan tidak sama dengan properti elemen yang menyusunnya (non-linier). 0-2-11
Fenomena ketidakproporsionalan tersebut juga dapat kita jumpai di sistem sosial. Sekarang mari kita bayangkan pada suatu hari di markas Slank, mereka selesai manggung. Pada kondisi pertama Bimbim sendiri, ia kemudian mendengarkan radio. Pada kondisi kedua yaitu saat Kaka datang bersama Bimbim, keduanya kemudian bermain Play Station (PS). Pada kondisi ketiga Bimbim, Abdee, Ivan dan Kaka, kelimanya datang bersamaan, kini Studio Gank Potlot berisi kelimanya yang berlatih untuk lagu barunya. Tabel 0.2.1 Ilustrasi ketidakproporsionalan masukan dan keluaran yang dihasilkan Grup Band Slank.
"...di sini, tempat cari senang. Salah tempat kalau kau cari uang. Di sini orang-orang penuh kreativitas, tempat orang-orang yang survive!...” Slank
Mengapa ketika hanya sendirian ia mendengarkan radio, namun jika dua orang mereka bermain PS? Mengapa kita tidak mendapatkan dua orang yang mendengarkan radio? Mengapa ketika kelimanya berkumpul mereka membuat lagu, bukan main PS bersama-sama? Selanjutnya, kenapa input konsumsi listrik tidak sebanding dengan tipe kegiatan yang dihasilkan? Saat Slank membayar 8000 Watt listrik yang dikonsumsi mereka justru berpeluang mencetak pendapatan yang jauh berlipat hasilnya, dari peluncuran album baru. Contoh tersebut menunjukkan adanya beberapa properti (aktivitas mendengarkan radio, main PS, membuat lagu) yang baru muncul di level makro sistem, namun tidak ditemui di level mikro. Fenomena ini disebut dengan membrojol. Dua contoh di atas menunjukan bahwa sistem yang ada di sekitar kita memiliki sifat membrojol yang ditimbulkan akibat interaksi tidak linier dari sistem penyusunnya atau dikenal dengan istilah non-linearitas makro-mikro. Lalu upaya apa yang harus kita lakukan guna menjelaskan sistem tersebut? Kajian di bagian sebelumnya menunjukkan bahwa otomata selular mampu memunculkan sebuah pola di level makro (motif Songket Palembang, adanya corak kerang di Pantai Derawan, dan lain sebagainya) akibat hasil dari sejumlah interaksi lokal antar sel dengan aturan yang sangat sederhana. Struktur abstrak ini memberikan kemungkinan kepada kita untuk mempelajari semesta raya dan membantu kita untuk memahami alam semesta. Pemikiran ini kemudian melahirkan pintu analisis perilaku sistem biologis ekosistem, yang dikenal dengan "kehidupan buatan" (artificial life) – sebuah bentuk biologi komputasi yang diperkaya oleh model fisis, otomata selular.
0-2-12
Kehidupan buatan dilihat sebagai upaya "menumbuhkan" struktur biologi ke dalam komputer sehingga dengan demikian kita memiliki pemahaman atas sistem biologis itu. Sistem biologi terdiri atas berbagai macam lapisan-lapisan analitik. Misalnya penumpukan pigmen di level mikro, membrojolkan pola dan warna-warni hewan seperti loreng harimau dan pola-pola yang indah pada cangkang kerang atau siput. Sifat-sifat tubuh elementer dari protozoa seperti amuba membrojolkan pola gerakan tubuh. Perilaku predator dan mangsa membrojolkan siklus kehidupan dalam biosfir. Banyak hal di level mikro membrojolkan level makro, yang sekali lagi tak mungkin diketahui secara apriori karena adanya ketidaklinieran. Hal ini mengakibatkan pendekatan matematika klasik menjadi mandul. Untuk itu berkembang pendekatan simulasi komputasional. Salah satu contoh kehidupan buatan adalah formasi huruf "V" yang dibentuk oleh segerombolan burung yang terbang bersama. Tidak ada yang mengkomando atau mengatur mereka, namun seolah terhipnotis, tiap burung mengambil posisi masing-masing dan membentuk huruf "V" di langit. Banyak dugaan bisa diberikan, seperti misalnya bahwa burung yang terbang paling depan adalah yang paling cepat terbang atau pemimpinnya atau bahwa burung meniru (memesis) bentuk-bentuk huruf V yang dilihatnya, dan sebagainya. Dalam kasus ini, pendekatan matematika klasik tentu saja hampir mustahil dapat memberikan solusi. Gambar 0.2.19. Kelompok burung yang terbang di Ujung Kulon.
Untuk menjawab hal ini, kita mesti melihat perilaku membentuk huruf "V" sebagai sebuah perilaku yang kompleks untuk ukuran seekor burung. Yang pasti ini merupakan hasil kebrojolan dari interaksi setiap burung yang sedang terbang secara kolektif. C. W. Reynolds, seorang programmer komputer grafis, mencoba untuk memodelkan hal ini. Ia menempatkan burung-burung tersebut dalam koordinat spasial diskrit sedemikian sehingga dapat diprogram dalam otomata selular. Ia memberikan sejumlah aturan (rule) sederhana yang harus dipatuhi oleh burungburung tersebut, yaitu: a. Pemisahan: Jangan terlalu dekat dengan obyek apapun termasuk burung lain, b. Jajaran: Usahakan menyamai kecepatan terbang sama dengan burung yang di sisi kiri atau kanan, c. Kohesi: Terbanglah ke arah terbang burung yang ada di sisi paling depan dan tengah.
0-2-13
Alhasil, simulasi komputasi akan membrojolkan pola huruf 'V' dalam kondisi awal apapun. Hanya dengan 3 aturan sederhana tersebut, maka kelompok burung membentuk huruf 'V' sebagai bentuk yang paling pas untuk mereka, sebagai mana dapat kita lihat di gambar 0.2.20. Gambar 0.2.20. Model perilaku kolektif burung dalam otomata selular.
0.2.7. Simulasi Sistem Sosial Salah satu tantangan terbesar dalam memodelkan sistem sosial adalah adanya keragaman individu yang ada di dalamnya. Ada orang yang sangat terpengaruh terhadap iklan, ada yang sangat cuek, dan ada juga yang tidak nonton TV sama sekali. Faktor ini ditambah lagi dengan adanya efek interaksi yang sangat tidak linier dan melahirkan sifat membrojol. Akibatnya upaya pemodelan sistem sosial menjadi tidak sederhana. Lalu apakah ketidaksederhanaan tersebut membuat kita kehilangan kemampuan untuk mengidentifikasi efek dari sebuah kebijakan secara luas? Tentu saja tidak. Untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut muncul sejumlah pendekatan baru. Salah satunya adalah Pemodelan Berbasis Agen (agent-based model), selanjutnya disingkat PBA. Gambar 0.2.21. PBA adalah upaya memindahkan struktur sosial ke dalam komputer.
PBA adalah sebuah pemodelan dimana struktur sosial dan perilaku kelompok dibrojolkan dari interaksi agen-agen yang ada dari sistem artifisial tersebut. Pada proses ini kita memindahkan struktur sosial yang ada di realita ke dalam komputer (gambar 0.2.21.). Agen-agen sosial tersebut mengambil keputusan berdasarkan set aturan tertetu, seperti yang terjadi di realita. Agen dimungkinkan untuk belajar atau beradaptasi. Karakteristik umum dari agen-agen yang menyusun PBA antara lain: heterogen, keputusan didasarkan pada aturan tertentu, berinteraksi dengan lingkungan dan atau agen lain, serta dapat belajar 0-2-14
dari pengalaman sebelumnya. Konseptualisasi PBA dapat dilihat pada gambar 0.2.22. Gambar 0.2.22. Konseptualisasi PBA.
Dari gambar tersebut terlihat bahwa agen-agen di level mikro, misalnya individu, rumah tangga atau perusahaan, saling berinteraksi satu sama lain. Dari interaksi tersebut di hasilkan pola atau karakteristik sistem di level makro. Dalam PBA pola makro yang dihasilkan tersebut dapat lebih dari sekedar akumulasi karakteristik agen di level mikro. Artinya PBA dapat mengakomodasi karakteristik sistem sosial sebagai sebuah sistem kompleks. Langkah kerja yang dilakukan dalam membuat PBA dapat dilihat di gambar 0.2.23. Gambar 0.2.23. Langkah kerja konstruksi PBA.
Pertama-tama kita melakukan perumusan masalah. Setelah itu dikonstruksi aspek-aspek mikro yang membangun model tersebut, misalnya jenis-jenis agen, perangkat yang digunakan oleh agen, aturan interaksi yang digunakan, serta bentuk-bentuk evaluasi dan adaptasi yang terjadi. Konstruksi mikrostruktur ini lalu disimulasikan di dalam komputer. Hasil yang didapat dari proses tersebut kemudian diverifikasi. Dari tahap tersebut kita akan mendapatkan sejumlah implementasi teoritis yang dapat berguna bagi pengambil keputusan dalam menentukan arah kebijakan yang sebaiknya dilakukan. Dibandingkan dengan metode-metode konvensional yang biasa digunakan selama ini, PBA memiliki kelebihan antara lain: 1. Mampu menaklukkan sistem sosial yang memiliki tingkat kerumitan
0-2-15
yang sangat tinggi akibat adanya keheterogenan agen. 2. Bisa menunjukkan perilaku membrojol di level makro akibat interaksi non-linier yang terjadi di level mikro. 3. Dapat dijadikan laboratorium dalam menguji dampak kebijakan tertentu, sebelum diimplementasikan. 4. Memiliki fungsi-fungsi spesifik lainnya, seperti: melakukan prediksi, membuktikan teori, mendapatkan penemuan baru, menjadi alat hiburan, pendidikan dan latihan, serta mencari solusi optimum permasalahan sosial. Saat ini, PBA adalah salah satu metode baru dalam perkembangan ilmu sosial dan ekonomi. Contoh aplikasi metode ini kajian ilmu sosial di Indonesia dapat kita lihat di bagian selanjutnya.
0.2.8. Epilog Di bagian akhir ini penulis mengajak kita semua untuk berimajinasi sesaat. Apa yang terjadi jika pada hari itu karakter Otto (pacar karakter Angelique dalam film Janji Joni) memiliki sebuah perangkat simulasi di dalam laptop-nya? Mungkin ia bisa mencegah bertemunya Joni dengan Angelique. Apa yang terjadi jika seandainya Bapenas memiliki sebuah komputer besar yang mampu mensimulasikan apa yang terjadi di dalam masyarakat secara utuh? Barangkali Ellyas Pical tidak sampai menjual medali untuk menyambung hidup. Mungkin Galang Rambu Anarki kecil tidak perlu kekurangan gizi karena Iwan Fals tidak mampu membeli susu. Penulis tiba-tiba teringat dengan potongan lirik berikut: Buat apa susah Buat apa susah Susah itu tak ada gunanya... (penggalan lagu ciptaan Koes Ploes)
Seperti lirik lagu di atas, tentu saja, kini sudah bukan saatnya pesimis.
0-2-16
0.3. Mekanika Statistik dan Ekonofisika Pada bulan Agustus 2002 yang lalu, di Pulau Dewata untuk pertama kalinya diadakan Konferensi Ekonofisika Internasional di Indonesia yang mengundang sejumlah peneliti internasional, termasuk perintis ekonofisika dunia. Dalam konferensi tersebut didiskusikan ratusan makalah yang mengetengahkan apa dan bagaimana ekonofisika dapat menjawab berbagai tantangan yang ditemui dalam penelaahan berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan politik. Sebenarnya apakah itu ekonofisika? Bagaimana ekonofisika dapat menjawab permasalahan sosial? Mari kita selami bersama-sama.
0.3.1. Dari Transisi Fasa ke Hukum Pangkat Bayangan siapakah yang selalu muncul dalam tidur Evie Tamala? Bayangan kekasih? Ya, mungkin saja. Tetapi, bagaimana jika kita berandai-andai sebentar. Misalnya, kata “aku” atau “ku” dalam lirik lagu tersebut kita ganti dengan kata “hidup”. Lalu, kira-kira kata apakah yang paling tepat untuk mengganti kata “kekasih”? Siapakah kekasih kehidupan? Siapakah yang selalu membayangi kehidupan dalam setiap waktu? Sepertinya akan ada banyak jawaban. Tetapi bagaimana jika kita berhenti berandai-andai barang sejenak dan menatap lebih dalam dunia sekitar. Barangkali di dalamnya terselip jawaban pertanyaan kita. Dalam keseharian, kita sering menjumpai berbagai jenis komposisi kimia dengan keadaan yang berbeda-beda. Ia dapat berupa state atau fasa cairan, gas ataupun benda padat. Dalam waktu yang berbeda-beda, sebuah komposisi kimia dapat berwujud ketiganya. H2O atau “air” misalnya, dapat berwujud padat seperti balok es yang bisa digunakan oleh nelayan, cairan seperti yang biasa kita minum, maupun berwujud gas berupa gumpalan mega di langit. Tiga keadaan tersebut memiliki perilaku yang berbeda-beda, baik dalam hal kerapatan (jumlah atau berat persatuan volume), kemampuannya dalam menghantarkan panas, dan lain sebagainya.
“Kemanapun ada bayanganmu Dimana pun ada bayangammu Disemua waktuku ada bayanganmu Kekasihku Ku menangis, menangisku karena rindu Ku bersedih, bersedihku karena rindu Ku berduka, dukaku karena rindu Ku merana, meranaku karena rindu Mau tidur teringat padamu Mau makan teringat padamu Mau apapun teringat padamu Kekasihku Kemanapun ada bayanganmu Dimana pun ada bayangammu Disemua waktuku ada bayanganmu Kekasihku Aku rindu, rindu padamu”
Evie Tamala dalam lagu “Aku Rindu Padamu”
Material dapat berubah dari satu fasa ke fasa lain. Dalam kajian mekanika statistik (yang berupaya menerangkan berbagai proses makro dari mekanisme mikro dalam sistem fisis) peralihan “sifat fisik material” dikenal istilah transisi fasa. Peristiwa menguapnya air ketika dipanaskan adalah contoh transisi fasa yang dekat keseharian kita. Namun perlu diperhatikan disini, dalam fisika, pengertian “sifat fisis material” berlaku secara umum. Ia tidak hanya terkait dengan pengertian peralihan state padat, cair dan gas semata, namun juga sifat kemagnetan (ferromagnetik dan paramagnetik), struktur kristal (polymorphs atau allotropes), dan lain sebagainya. 0-3-1
Peralihan “sifat fisik material” dapat terjadi akibat pengaruh perubahan suhu dan tekanan. Ketika suhu dinaikkan (pada tekanan yang sama) besi akan mencair, dan jika dinaikkan lagi ia akan menjadi uap. Demikian juga dengan tekanan. Pada saat suhu konstan, jika kita menaikkan tekanan maka gas akan berubah menjadi cairan. Gas alam yang diambil di Arun akan berubah menjadi cair jika kita padatkan (diberi tekanan) ke dalam tabung elpiji, walaupun suhunya sama. Di tengah proses pemadatan gas menjadi cairan tersebut, dimungkinkan adanya kondisi dua fasa (gambar 0.3.1). Pada kondisi tersebut sulit bagi kita untuk mengkategorikan “sifat fisik material”, ia tidak bisa dikategorisasi bersifat cair atau gas.
Gambar 0.3.1. Diagram skematik tekanan vs kerapatan pada daerah dekat titik kritis cair ke gas.
Gambar 0.3.2. Visualisasi sifat kemagnetan logam. Pada logam yang bersifat ferromagnetik (hijau), benda dapat bersifat magnet secara independen. Logam yang bersifat paramagnetik (biru) secara independen ia tidak menghasilkan medan magnet, namun ia akan menjadi magnet jika didekatkan sebuah benda yang bermuatan magnet (merah).
Transisi fasa juga terjadi dalam proses peralihan sifat kemagnetan material, antara ferromagnetik dan paramagnetik. Visualisasi deskripsi dua state tersebut dapat dilihat di gambar 0.3.2. Sifat ferromagnetik terjadi karena elemen-elemen magnet terkecil yang ada di dalamnya (secara umum) menghadap arah yang sama. Bayangkan misalnya seorang anak kecil sedang menyusun puluhan magnet seukuran kotak api dalam sebuah kaleng roti. Jika ia menyusunnya rapi dengan semua kutub utara diletakkan menghadap kearah bawah maka kaleng roti tersebut akan 0-3-2
bersifat magnet (ferromagnetik). Namun, jika ia menyusunnya secara sembarang maka kaleng roti tersebut tidak akan bersifat magnet karena medan magnet-magnet elementer tersebut saling meniadakan. Dari sini diketahui bahwa saat ferromagnetik, magnet elementer yang ada di dalamnya bersifat teratur. Namun, pada kondisi paramagnetik, magnet elementer yang ada di dalamnya bersifat acak. Transisi fasa sifat kemagnetan logam dapat terjadi akibat adanya perubahan suhu. Ketika suhu rendah, sebuah logam akan bersifat ferromagnetik. Ketika suhunya kita naikkan, elemen-elemen tersebut bergerak acak. Akibatnya, sifat kemagnetannya hilang dan ia berubah menjadi paramagnetik. Ada suhu kritis di antara ferromagnetik dan paramagnetik. Di atas suhu kritis, logam tersebut akan bersifat paramagnetik dan ketika lebih kecil dari suhu kritis ia bersifat ferromagnetik. Hal yang menarik perhatian adalah saat transisi antara ferromagnetik dan paramagnetik atau sekitar suhu kritis. Di suhu ini, kita tidak dapat mengkategorisasi logam tersebut termasuk ferromagnetik atau paramagnetik. Terkadang ia bersifat ferromagnetik, namun kadangkadang ia bersifat paramagnetik. Pada suhu kritis tersebut ditemukan sebuah bentuk sederhana sekaligus universal. Dari hasil eksperimen diketahui bahwa di sekitar suhu kritis kapasitas panas, parameter keteraturan sistem, dan suseptibilitas memenuhi hukum pangkat. Sifat ini ditemukan di sejumlah transisi fasa material. Hal ini merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik perhatian. Namun ternyata, sifat ini tidak hanya ditemukan di ranah kajian fisika semata. Pada bagian seterusnya ulasan makalah ini akan ditunjukkan bahwa ada tendensi universalitas dari apa yang ditemukan dalam eksperimen fisika ini, dalam sistem sosial, linguistik, ekonomi keuangan, dan lain sebagainya.
0.3.2. Dari Hukum Pangkat ke Ekonofisika Awan yang gemar bermain basket bertemu dengan teman sekelasnya Andani di kantin kampus. Kemudian, dialog berikut terjadi:
Andani Awan Andani Awan
: : : :
Andani : Awan
:
Andani : Awan :
Hei Wan, denger-denger lo jadi kapten ya? Yah, biasalah! Lagi sibuk ngapain sekarang? Lagi nyeleksi anak-anak buat dikirim ke Liga Mahasiswa 2008 Gimana permainan mereka sekarang? Kita bisa juara nggak? Skill-nya sih lebih bagus dari tahun lalu, walaupun tinggi anggotanya standar, sekitar 165 Cm, tapi beberapa ada juga sih yang lebih dari 180 Cm. Nggak ada yang 3 Meter donk? 3 Meter mah bukan orang, jerapah kali.
0-3-3
Di tempat yang lain, Martanto, kepala RW di kosan Awan, berbincangbincang dengan Bapak Tjik Mat, petugas kelurahan. Tjik Mat : Saya dengar warga bapak banyak yang butuh bantuan tabung gas bersubsidi? Martanto : Betul pak, penduduk di sini sangat miskin. Kebanyakan penghasilannya cuma 600 ribu per kepala keluarga. Tjik Mat : Wah sepertinya banyak yang perlu dibantu. Martanto : Begitulah pak, apalagi semenjak kenaikan BBM, barang-barang pada mahal. Bahkan sekarang banyak anak-anak di sini yang terpaksa putus sekolah. Tjik Mat : Iya, memang begitulah keadaanya. Tetapi kalau di bilang ekonomi sedang sulit juga susah. Kemarin saya lihat ada yang punya mobil Jaguar. Zaman makin edan ya pak.
Jika kita perhatikan seksama, dua dialog di atas seolah-olah berkontradiksi. Mereka berdua masing-masing menyebutkan sifat data yang jauh sekali berbeda. Kebanyakan orang tingginya hanya 165 Cm dan tidak ada yang 3 Meter. Kebanyakan warga hanya memiliki pendapatan 600 ribu, tetapi ada yang bisa beli mobil Jaguar. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Guinness Book of Records mencatat bahwa manusia terpendek adalah 57cm dan manusia terjangkung adalah 272cm.
Untuk mempermudah pemahaman, mari kita bersama-sama melihat kondisi yang ada di lingkungan sekitar. Jika misalnya seseorang mengatakan bahwa tinggi badan rata-rata dari seluruh mahasiswa di kota Bandung adalah 165 Cm, maka kita bisa membayangkan bahwa hampir tidak mungkin kita akan mendapati ada mahasiswa di kota tersebut yang tingginya 3 Meter atau hanya 50 Cm. Rasio perbandingan manusia tertinggi dan terpendek hanya 4,8 kali . Hal ini jelas karena distribusi datadata dari tinggi mahasiswa di Bandung adalah bersifat distribusi normal (berbentuk kurva bel terbalik). Lebih jauh, dapat kita lihat pada gambar 0.3.3.
Gambar 0.3.3. Visualisasi distribusi tinggi badan mahasiswa di Kota Bandung (kiri) dan distribusi pendapatan penduduk di Indonesia (kanan).
Data tinggi badan sangat berbeda dengan data pendapatan. Kaum Marhaen, yang menginspirasi Soekarno, mungkin hanya memiliki penghasilan 100 ribu rupiah perbulan; sangat kontras dengan seorang kolongmerat di Jakarta yang mungkin berpenghasilan 100 milyar rupiah sebulan. Artinya, perbedaan pendapatan orang terkaya dan termiskin bisa mencapai 1.000.000 kali lipat. 0-3-4
Fenomena ini terjadi karena distribusi empiris data pendapatan tidak (sangat jarang) berbentuk kurva bel terbalik. Sebagaimana telah sering dibahas dalam berbagai kajian ekonofisika, distribusi empiris pendapatan cenderung membentuk distribusi hukum pangkat. Secara sederhana, distribusi ini adalah sebuah distribusi non-Gaussian yang menunjukkan bahwa peluang terjadinya sebuah besaran kejadian berbanding terbalik dengan pangkat tertentu dari besaran kejadian tersebut.
Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat gambar 0.3.3. Dari gambar tersebut dapat dijelaskan mengapa ada orang yang bisa membeli Jaguar walaupun kenyataannya lebih banyak lagi orang yang miskin, seperti pada dialog di atas. Selanjutnya, kenapa ia disebut hukum pangkat, bukan teori pangkat? Kenapa kita menyebut Hukum Archimedes, bukan Teori Archimedes? Kenapa kita mengenal Teori Relativitas Einstein, bukan Hukum Relativitas Einstein? Kata “hukum” digunakan jika fenomena tersebut ditemukan eksistensinya pertama kali dari hasil eksplorasi data empiris. Hasil kajian Archimedes tentang hubungan gaya angkat dan volume benda disebut Hukum Archimedes, karena argumentasi tersebut berasal dari hasil pengukuran perilaku benda-benda di dalam air. Sementara itu, kata “teori” digunakan jika sebuah pendapat tertentu didapatkan dari hasil eksplorasi rasio manusia. Kita menyebutnya teori relativitas, karena argumentasi tersebut berasal eksplorasi teoretis yang didapatkan Einstein dari proses menurukan sejumlah persamaan matematika. Upaya eksplorasi teoreris manusia terbatas. Untuk mendapatkan sebuah teori, kita harus mengisolasi sistem dan terkadang menyediakan sejumlah asumsi-asumsi untuk membuatnya bekerja. Akibatnya, dalam sains, posisi hukum relatif lebih kuat dari teori. Fakta adanya hukum pangkat pertama kali diperkenalkan lebih dari seratus tahun yang lalu oleh Vilfredo Pareto, seorang ekonom dan sosiolog berkebangsaan Italia, dalam kasus kekayaan di beberapa negara di dunia. Untuk menghormati beliau, kita menyebut distribusi kekayaan sebagai Distribusi Pareto. Karya fenomenal lainnya ditemukan oleh G.K. Zipf. Ia menunjukkan frekuensi penggunaan kata-kata dalam teks-teks kata berbahasa Inggris juga mengikuti hukum pangkat. Pola hukum pangkat dalam frekuensi kata tersebut dikenal sebagai Hukum Zipf. Mengapa distribusi ini menarik perhatian banyak ilmuwan? Hukum pangkat memiliki berbagai keunikan. Yang pertama, ada perbedaan yang sangat signifikan antara modus data (nilai yang paling banyak muncul) dengan nilai rata-rata (jumlah seluruh data di bagi jumlah populasi). Visualisasi ini dapat dilihat di gambar 0.3.4. Jika Pak Martanto mengatakan kebanyakan warganya hanya berpenghasilan 600 ribu rupiah sebulan, maka rata-rata penghasilan penduduk di sana bisa jadi lebih dari 5 juta rupiah sebulan, seandainya ada seorang konglongmerat tinggal di sana. Perbedaan antara modus dan rata-rata tidak terjadi di data-data
Seorang matematikawan, yang juga seorang insinyur, dan juga seorang ekonom, serta seorang sosiolog. Vilfredo Pareto
“Hanya sedikit kata yang sering digunakan dalam sebuah teks. Kebanyakan kata adalah kata yang jarang digunakan.” G.K. Zipf
0-3-5
yang berdistribusi normal. Jika kebanyakan mahasiswa di Bandung memiliki tinggi badan 165 Cm maka dapat dipastikan rata- rata tinggi mereka juga sekitar 165 Cm. Gambar 0.3.4. Visualisasi perbedaan modus dan rataan data pada sebuah data yang bersifat hukum pangkat.
Sifat hukum pangkat tersebut memiliki dampak yang sangat serius dalam interpretasi data pendapatan. Nilai pendapatan perkapita Indonesia misalnya (yang merepresentasikan rata-rata pendapatan) bisa jadi tidak cukup realistis dalam menunjukkan situasi riil yang terjadi dalam masyarakat. Jika dikatakan pendapatan perkapita rakyat Indonesia saat ini 4 juta rupiah perbulan perkepala, maka kemungkinan sebagian besar penduduk justru memiliki pendapatan lebih kecil dari itu. Di sekeliling kita terlihat bahwa kebanyakan keluarga justru hanya memiliki penghasilan sebesar upah minimum regional, yaitu sekitar 700 ribu rupiah. Sebagian besar uang hanya berputar di segelintir orang di Jakarta. Dunia terkadang tidak seadil yang kita bayangkan. Kesenjangan dalam sistem ekonomi tersebut mengakibatkan sejumlah ekonom mendefinisikan sebuah variabel baru, yang merepresentasikan kesenjangan pendapatan, yaitu Indeks Gini. Jika pendapatan semua orang sama maka nilai Indeks Gini sama dengan nol. Jika semua pendapatan hanya dimiliki oleh satu orang saja maka Indeks Gini sama dengan satu. Secara matematis, Indeks Gini berhubungan langsung dengan koefesien pangkat (α) hukum pangkat. Namun amat disayangkan, pemahaman akan indeks Gini seringkali dipisahkan dari eksistensi hukum pangkat oleh para ekonom dan sosiolog di Indonesia, yang terkadang hanya mendeskripsikan data dari nilai rata-rata semata. Gambar 0.3.5. Visualisasi data yang memenuhi hukum dalam diagram log-log.
0-3-6
Karateristik kedua, di samping mempunyai bentuk yang sangat sederhana ia juga memiliki sifat statistik yang sangat unik. Kesederhanaan ini terlihat jika kita mengubah sumbu koordinat vertikal dan horizontal menjadi bentuk logaritmik, maka akan didapatkan sebuah hubungan yang membentuk sebuah garis lurus, seperti pada gambar 0.3.4. Keunikannya adalah ia memiliki sifat kemiripan pada diri sendiri (self-similarity). Jika orang yang berpenghasilan 1 juta rupiah perbulan jumlahnya 4 kali jumlah orang yang berpenghasilan 2 juta rupiah perbulan, maka orang yang berpenghasilan 1 milyar rupiah juga akan 4 kali lebih banyak dari orang yang berpenghasilan 2 milyar rupiah perbulan. Akibatnya bentuk distribusi pendapatan tidak dipengaruhi skala pengukuran, misalnya: seribu rupiah, satu juta rupiah atau bahkan satu milyar rupiah. Fenomena ini berkaitan dengan sifat fraktal, sebagaimana telah kita bahas di bagian sebelumnya. Sifat fraktal dan fenomena transisi fasa menunjukkan bawa pada dasarnya wilayah tepi chaos memiliki kaitan yang sangat erat dengan eksistensi hukum pangkat. Sifat ketiga, seringkali momen statistika yang biasa kita gunakan seharihari (mean dan variansi) tidak akan bermakna sama sekali pada nilai koefisien pangkat tertentu. Pada distribusi hukum pangkat, jika α<2 maka nilai rata-rata akan bersifat divergen. Artinya, jika kita menambah data maka nilai rata-rata akan meningkat, sehingga nilainya akan sama dengan tak hingga pada saat ukuran sampel menuju tak hingga. Sementara, pada saat α<3 maka nilai variansi juga akan bersifat divergen. Fenomena ini tentu saja membingungkan bagi kita yang terbiasa hanya menggunakan nilai rata-rata dan variansi semata. Hal yang menarik adalah, meskipun ada teori matematika, yaitu teorema limit pusat, yang menjamin bahwa semua data di alam akan ditarik menuju distribusi kurva bel terbalik, justru terdapat banyak data yang membentuk hukum pangkat. Sifat hukum pangkat tidak hanya kita jumpai di kondisi transisi fasa. Berbagai penelitian menemukan bahwa data pendapatan, data GDP berbagai negara, data perolehan suara dalam pemilihan umum, data ranking jumlah penduduk, intensitas peperangan, ranking frekuensi penggunaan kata-kata dalam berbagai literatur, distribusi fluktuasi data perdagangan saham, data frekuensi pengunjung situs internet, hingga data kekuatan gempa bumi ternyata menunjukkan sifat hukum pangkat ini. Hal ini ditunjukkan pada gambar 0.3.6. Temuan tersebut tentu saja merupakan fenomena yang sangat luar biasa.
0-3-7
Gambar 0.3.6. Sifat hukum pangkat terlihat di berbagai aspek kehidupan kita.
Pertanyaan yang muncul bagi kita adalah: “mengapa hal ini terjadi”. Apa mekanisme yang melatarbelakangi terjadinya hukum pangkat? Beberapa mekanisme yang mungkin memunculkan hukum pangkat antara lain:
Self-organized criticality (SOC) Mekanisme ini diperkenalkan oleh fisikawan kondang Per Bak. Contoh yang paling sering digunakan ditunjukkan di gambar 0.3.7. Dalam analogi Per Bak, butiran pasir tersebut mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga pada kondisi kritikal tertentu muncul distribusi hukum pangkat pada pengukuran jumlah longsoran. Hal ini menunjukkan 0-3-8
Gambar 0.3.7. Visualisasi Per Bak tentang mekanisme SOC.
bahwa pada kondisi kritis, di mana tambahan butir pasir akan membentuk gundukan dengan kemiringan tertentu, akan ditemui hukum pangkat pada distribusi longsoran pasir. Contoh lainnya yang terkenal adalah model kebakaran hutan. Pada model ini, misalkan kita memiliki lansekap yang ditumbuhi pepohonan secara acak. Kemudian secara acak pula petir menyambar salah satu pohon dan seketika menyebabkan pohon tersebut terbakar. Kebakaran pada pohon tersebut tentu akan menjalar ke pohon-pohon lain yang ada didekatnya (lihat gambar 0.1.8.). Beberapa waktu kemudian tumbuh pepohonan baru, lalu terjadi kebakaran akibat petir lagi, demikian seterusnya. Hal yang menarik adalah luas areal kebakaran yang terjadi, dalam kurun waktu tertentu, akan memenuhi hukum pangkat. Gambar 0.3.8. Visualisasi SOC di model kebakaran hutan.
0-3-9
Toleransi yang teroptimasi tinggi Dalam contoh sebelumnya ditunjukkan bahwa pohon-pohon dalam lansekap hutan tumbuh secara acak. Seandainya kita diminta oleh dinas kehutanan kabupaten untuk menentukan letak tumbuhnya pepohonan secara spesifik, bagaimana cara kita menanamnya agar kebakaran hutan dapat diminimalisir? Jawabannya tentu saja adalah dengan menanam pohon-pohon dalam blok-blok tertentu sehingga mengisolasi menjalarnya kebakaran antar blok-blok tersebut. Lebih jauh, kita bisa membuat ukuran blok yang lebih kecil untuk tempat-tempat di mana petir sering terjadi dan blok yang lebih besar untuk tempat yang jarang. Jika optimasi penanaman pohon ini kita simulasikan maka, sekali lagi, akan ditemui distribusi kebakaran hutan yang mengikuti hukum pangkat akibat terjadinya petir yang secara acak. Dari sini ditunjukkan bahwa adanya sebuah upaya eksternal yang bertujuan mengoptimasi sistem dapat mengakibatkan terjadinya hukum pangkat.
Proses multiplikatif acak Contoh klasik mekanisme ini adalah akumulasi kekayaan. Hal ini pertama kali dijelaskan oleh seorang nobelis ekonomi, Herbert Simon, tahun 1955. Semakin kaya seseorang, maka semakin terbuka banyak peluang baginya untuk memperbesar nilai kekayaannya, misalnya melalui investasi di berbagai tempat. Dari sisi bunga tabungan, semakin besar jumlah tabungan seseorang di bank, maka dalam setiap periode waktu tertentu jumlah bunga yang didapatkannya makin besar pula. Artinya, dalam setiap periode investasi, kekayaan seseorang dapat dikalikan dengan beberapa bilangan yang berfluktuasi secara acak dengan sebuah distribusi tertentu. Inilah yang disebut proses multiplikasi acak. Jika semua orang kaya memulai investasinya dengan jumlah uang yang sama, maka setelah beberapa waktu distribusi kekayaan mereka akan memenuhi hukum pangkat.
0.3.3. Perspektif Baru Di Tepi Chaos Dalam transisi fasa kita menemukan adanya sebuah wilayah misterius di antara kondisi teratur dan tak teratur, baik itu dalam transisi material dari cair ke gas maupun dalam hal kemagnetan logam. cair (teratur) ferromagnetik (teratur)
”transisi fasa” ”transisi fasa”
gas (tidak teratur) paramagnetik (tidak teratur)
Fenomena ini ternyata juga dijumpai dalam teori chaos. statik
periodik (teratur)
”tepi chaos”
chaos (tidak teratur)
Kemudian, dalam kajian otomata selular ditemukan urutan berikut: statik 0-3-10
periodik (teratur)
”tepi chaos”
chaos (tidak teratur)
Gambar 0.3.9. Urutan kondisi sistem dinamik dari fixed, periodik, ergodik, dan rezim transisi “kompleks”.
Mengapa semuanya menghasilkan pola yang sama? Mengapa wilayah misterius ini selalu muncul? Dari hasil-hasil di atas, yang kita peroleh dari berbagai pendekatan disiplin ilmu, dapat disimpulkan bahwa secara umum hidup pada dasarnya berada di wilayah transisi antara sistem fisis yang periodik (stabil) dan sangat ergodik (tak stabil); lihat gambar 0.3.9. Wilayah ini disebut tepi chaos. Di area inilah kompleksitas hidup berada. Gambar 0.3.10. Kompleksitas maksimum berada pada transisi kritikal antara rezim periodik dan rezim chaotik.
Sistem yang benar-benar ergodik pada dasarnya sangat sulit dibedakan dengan sistem yang benar-benar acak atau tak beraturan. Padahal kita mengetahui bahwa sistem yang ergodik tersebut memiliki pola-pola periodik di level mikro. Kompleksitas permasalahan yang paling maksimum pada dasarnya bukan berada pada sistem chaotik, melainkan pada transisi kritikal di antara sistem yang periodik dan ergodik. Bagaimanakah memandang sistem melalui pemahaman akan adanya pola umum di teori chaos, otomata selular, dan transisi fasa? Tidak ada cara lain selain memusatkan perhatian ke wilayah tepi dari sistem yang chaotik tersebut. Kehidupan berada di wilayah ini. Mengapa tingkat kompleksitas tertinggi tidak berada di wilayah disorder, tetapi di antara wilayah order dan disorder? Mari sama-sama kita perhatikan 0.3.11.
Gambar 0.3.11. Suara sirine yang periodik (kiri), denting piano Ananda Sukarlan yang merdu (tengah) dan raungan piano yang dihujamkan oleh jari-jari Sarimin secara acak (kanan)
0-3-11
Suara sirine bersifat periodik tetapi apakah ia memberikan alunan nada yang enak didengar? Tetapi, apakah nada-nada yang benar-benar acak indah kita dengarkan? Apakah telinga kita akan nyaman mendengarkan raungan piano yang dihujamkan jari-jari Sarimin secara acak? Tentu saja tidak. Kita justru akan merasa nyaman mendengarkan denting piano Ananda Sukarlan yang kadang-kadang periodik (repetitif) dan kadangkadang acak. Nada-nada yang dihasilkan oleh Ananda Sukarlan tentu saja lebih kompleks daripada sirine maupun raungan piano Sarimin yang berIQ di bawah 70. Artinya, tingkat kompleksitas tertinggi justru berada di antara wilayah order dan disorder, bukan pada saat disorder. Sistem kompleks, yang berada di antara order dan disorder tersebut, memiliki struktur mikro yang senantiasa berproses secara otopoiesis, dengan kemampuan mengatur diri sendiri. Proses pengaturan diri sendiri dari setiap elemen penyusun sistem (khususnya sistem sosial dan biologis) dapat dipandang sebagai proses adaptif, yaitu kemampuan elemen penyusun sistem dalam menyesuaikan diri sendiri untuk dapat bertahan. Dalam keadaan ini, kita menyebutnya sebagai sistem yang kompleks adaptif. Gambar 0.3.12. Sistem pengaturan dalam poiesis dan otopoiesis.
Proses otopoiesis merupakan proses biologis yang merupakan bentuk teknis dan praktis dari sistem yang senantiasa melakukan adaptasi terhadap lingkungannya. Hal inilah yang ditunjukkan oleh biolog H. Maturana dan T. Varela. Kata otopoiesis mengandung padanan "poiesis", yang artinya memproduksi. Pengertian produksi di sini digambarkan dalam gambar 0.3.12. sebagai proses tanpa umpan balik. Pola pengaturan sistem poiesis diatur melalui struktur yang senantiasa berproduksi. Sistem poiesis, dengan demikian, memiliki kemampuan internal dalam mengatur diri sendiri untuk mencapai suatu target tertentu. Dalam pemahaman ini, sistem otopoiesis memiliki struktur serupa dalam konteks ia memiliki umpan balik yang menunjukkan interaksi aktifnya dengan lingkungan sekitarnya. Dalam sistem yang otopoiesis, struktur sistem secara makro berinteraksi dengan lingkungannya. Namun struktur tersebut tidak statik. Ia senantiasa berubah secara adaptif dengan lingkungannya. Perubahan ini 0-3-12
tentu tidak terjadi secara langsung karena setiap perubahan struktur berlangsung secara bertahap melalui proses produksi internal yang mengubah pola pengaturan dan lama-kelamaan nantinya akan mengubah struktur tersebut sehingga mampu adaptif dengan lingkungan. Dalam kasus transisi fasa, butir-butir yang menyusun material tersebut saling mengatur dirinya sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah struktur makro tertentu. Karakteristik pengaturan diri sendiri inilah yang mengakibatkan terjadinya hukum pangkat, sebagaimana telah kita bahas di atas (mekanisme terjadinya hukum pangkat). Fenomena ini ternyata kita jumpai di banyak data dalam kehidupan sehari-hari. Namun hal menarik yang bisa kita pelajari, khususnya dalam ulasan teori chaos dan otomata selular, bahwa perilaku kompleks yang ada ternyata dimunculkan oleh hal-hal yang sederhana dan justru senantiasa dalam tata yang teratur. Demikianlah alam, sistem sosial, dan manusia di dalamnya senantiasa mengatur dirinya sendiri dalam bentuk transformasi dan mekanisme umpan balik yang merupakan bentuk translasi dari hal yang simpel ke kompleks. Paradigma tepi chaos tersebut merupakan cara pandang baru dalam memahami alam semesta.
0.3.4. Ekonofisika dan Kajian Sosial Interdisipliner “Ekonofisika” merupakan sebuah istilah yang muncul sekitar sepuluh tahun lalu, oleh seorang fisikawan polimer Boston University, H. E. Stanley bersama beberapa fisikawan lain melalui makalah ilmiah, “Anomalous fluctuations in the dynamics of complex systems: from DNA and physiology to econophysics”. Makalah tersebut mengetengahkan eksotisme dari ilmu fisika statistik yang ternyata memberikan banyak kontribusi dalam penelaahan fluktuasi data berfrekuensi tinggi yang terdapat pada sekuen-sekuen DNA, data-data detak jantung manusia, gelombang otak penderita Alzheimer, hingga naik-turunnya berbagai data ekonomi keuangan, mulai dari data indeks saham hingga data-data makroekonomi. Sejak saat itu, berbagai penelitian ekonofisika meroket Gambar 0.3.13. Antara gerak Brown dan pergerakan indeks komposit pasar modal.
0-3-13
jumlahnya dan sungguh menakjubkan hasilnya dalam berbagai bidang ekonomi dan keuangan, mulai dari analisis pertumbuhan firma dan ekonomi nasional hingga prediksi saham dan keputusan investasi.
Layar tampilan di Gedung Bursa Efek Jakarta.
Sebagaimana kita diskusikan sebelumnya, ilmu fisika kontemporer telah mengenal kondisi transisi fasa, yaitu situasi kritis ketika terjadinya perubahan fasa zat, misalnya dari cair ke gas. Hukum-hukum fisika konvensional bekerja dengan baik pada fasa zat yang pasti, seperti cair, gas, atau padat. Sayangnya, hal yang sama tak berlaku pada titik transisi fasa. Di titik ini, tingkat kompleksitas dari zat menjadi luar biasa rumit, satu hal menjadi begitu bergantung pada hal lain; everything depends on everything else. Fisika mengenal fenomena kritis ini sebagai salah satu bentuk eksistensi sistem kompleks, mengingat tingkat kompleksitasnya yang tinggi. Sekarang coba kita lihat sistem ekonomi dan pasar modal. Seorang analis pasar modal ataupun seorang ekonom pasti serta-merta akan sadar betapa rumitnya sistem ini; ekonomi lekat dengan ungkapan, ‘semua hal sangat bergantung pada semua hal lain’. Contohnya, pergerakan sahamsaham di Bursa Efek Jakarta. Mari kita berandai-andai, misalkan ada sebuah berita yang menyatakan bahwa pendapatan Telkom menurun. Akibatnya, investor mencabut investasinya dan beralih ke saham Indosat, yang mendongkrak nilai sahamnya di bursa. Terjadi korelasi negatif dari fluktuasi harga kedua saham. Artinya, sebagaimana analisis klasik mengatakan, jika yang satu turun maka yang lain terdongkrak. Tetapi, bukankah keduanya berada di sektor yang sama? Namun ternyata, misalnya kenaikan saham Indosat tadi menjadi ekstrem. Begitu tingginya sampai-sampai perusahaan ini menaikkan jumlah produksi, jumlah cabang, jumlah tenaga kerja, bahkan tenaga kerja diupayakan bekerja siang dan malam untuk mempertahankan pencapaian tersebut. Makin banyak pula permintaan tenaga kerja di berbagai lokasi produksi Indosat. Kemudian mereka berbondongbondong ke warung Indomie siang dan malam. Akibatnya adalah penjualan yang menjadi berlipat ganda oleh perusahaan Indofood, penghasil Indomie, yang pada gilirannya akan juga mampu mendongkrak nilai sahamnya di bursa. Contoh ini justru menunjukkan terjadinya korelasi positif antara satu saham dengan saham lain dari sektor yang sangat berbeda. Hal semacam ini yang sulit diantisipasi oleh analisis standar. Di sini jelas terlihat bahwa di sistem ekonomi ada saling-keterkaitan yang sangat intens. Jika ada 300 saham yang diperdagangkan di BEJ, maka untuk menganalisis situasi ekonomi yang direpresentasikan aktivitas dalam bursa efek, kita harus memperhatikan 90000 interaksi. Sebuah hal yang luar biasa rumit jika kita konsisten dengan pendekatan ekonomi konvensional. Fisika mengenal beragam pendekatan untuk analisis semacam ini lewat model spin yang disokong simulasi komputasional, sehingga dinamika yang terjadi bisa teramati. Salah satu caranya, semua “spin” dianggap saling berinteraksi satu sama lain dan terikat oleh sebuah
0-3-14
Fenomena kritis transisi fasa di fisika akhirnya berpeluang memberikan potensi besar dalam analisis pertumbuhan ekonomi. Analisis ini tidak harus berhenti di saham-saham. Saling-kebergantungan antar aktor ekonomi atau agen sistem sosial juga bisa menciptakan ragam tipe perilaku agregat. Konsekuensinya tentu saja adalah jumlah variasi sistem yang sangat besar. Jadi, pertanyaannya adalah bagaimana membedah sistem kompleks pasar modal. Apa perangkat analitik yang disediakan oleh ekonofisika?
0.3.4.1. Konsep Korelasi dalam Ekonofisika Fenomena ekonomi dapat dipahami sebagai sebuah kondisi makro yang dihasil oleh interaksi agen-agen di level mikro. Hal ini bisa dilihat dalam terbentuknya harga, yaitu hasil interaksi di level mikro antara penjual dan pembeli, demikian juga dengan inflasi, tingkat suku bunga, GDP, IHSG, dan sebagainya. Di sini, aplikasi mekanika statistik, dalam berbagai data ekonomi (dan sosial), berusaha menjawab tantangan tersebut. Hubungan antara makro dan mikro merupakan pokok pembahasan termodinamika dan entropi. Keduanya adalah topik utama dalam statistika mekanik. Hal inilah yang memberi inspirasi dalam pengembangan metode-metode di fisika untuk menganalisis masalah ekonomi. Upaya ini kemudian dikenal sebagai ekonofisika. Inilah yang membedakan antara ekonofisika dengan ekonometri. Salah satu konsep mekanika statistik, yang seringkali menjadi landasan analisis ekonofisika, adalah konsep otokorelasi. Otokorelasi dalam suatu saham sangat penting untuk melihat apakah perilaku suatu saham pada rentang waktu tertentu dipengaruhi oleh perilaku rentang sebelumnya. Hal ini tentu saja berguna ketika kita hendak menebak harga ke depan (prediksi). Kemudian kita mengenal istilah volatilitas atau yang biasa didefinisikan sebagai variansi. GARCH menggunakan asumsi bahwa variansi berubah menurut perubahan waktu. Asumsi ini terkesan rumit, namun ia berkesesuaian dengan data saham atau data keuangan lainnya, yang tiap saat berubah terhadap waktu. Seringkali tingkat perubahan tersebut tidak konstan. Otokorelasi dalam pendekatan GARCH terkait dengan ukuran seberapa jauh variansi dipengaruhi oleh data sebelumnya. Volatilitas dalam GARCH(p,q) menggunakan pendekatan bahwa variansi dipengaruh oleh q data sebelumnya dan p penyimpangan data sebelumnya. Sekarang, kita ingin melihat bagaimana konsep-konsep dasar ekonofisika tentang korelasi data ketika hendak menelaah keterkaitan antara satu data dengan data lain. Misalnya seberapa korelatif naik-turun saham PT Telkom dengan saham PT Indosat, atau hubungan pergerakan kurs mata uang Yen Jepang dengan Dollar Amerika terhadap mata uang kita ke Bath Thailand.
0-3-15
Gambar 0.3.14 Hasil peramalan model hibrid GARCH asimetri dan simulasi Monte Carlo.
Untuk menjawab hal ini, kerap digunakan metode korelasi silang, yang mengukur sejauh mana satu data dengan data lain saling berkorelasi. Salah satu implementasi ekonofisika atas konsep tersebut adalah model “pohon keuangan”. Pohon Keuangan mampu memberikan gambaran sejauh mana fluktuasi satu produk keuangan (misalnya) dengan produk keuangan lainnya secara keseluruhan. Tekniknya adalah dengan menggunakan proses transformatif koefisien korelasi menjadi matriks jarak antara satu data dengan data lain. Semakin jauh keterkaitan antara naik-turun dua nilai harga dalam pohon keuangan, maka kedua nilai tersebut semakin tak berkorelasi, demikian pula sebaliknya. Bab-bab berikutnya dari buku ini akan menunjukkan bagaimana kita dapat mengobservasi pola global pasar modal melalui konstruksi pohon keuangan.
0.3.4.2. Konsep Kompleksitas dalam Ekonofisika Konsep korelasi didasarkan pada pola distribusi data atau lebih spesifik, keterkaitan antara momen-momen statistika seperti nilai rata-rata (mean), variansi, dan sebagainya. Dalam perkembangannya secara paralel, berbagai metode ekonofisika kontemporer juga kerap menggunakan model-model statistika non-parametrik. Model-model ini tidak bersandar pada sifat distribusi data dan momen-momen statistika yang ada. Salah satu yang terkenal adalah model jaring saraf. Teknologi jaring saraf buatan adalah sebuah peniruan akan sistem saraf hewan pada model-model biofisika dan ilmu komputer. Teknologi ini ternyata memberikan perubahan epistemologis sistem pemrograman tradisional. Jaring saraf buatan memproses informasi dengan cara yang sangat berbeda dari cara konvensional. Komputasi terjadi dalam unit-unit pemrosesan data yang jumlahnya banyak sekali, secara paralel dan terdistribusi. Sebuah cara yang sangat berbeda dengan arsitektur komputer klasik yang memproses data secara serial. Dalam jaring saraf buatan, informasi terdistribusi dalam jaring-jaring saraf buatan, tidak teralokasi dalam tempat tertentu (apakah itu alamat memori komputer 0-3-16
atau apapun). Itulah sebabnya, di awal kelahirannya, teknologi ini disebut sebagai teknologi pemrosesan paralel terdistribusi (parallel distributed processing), untuk membedakannya dengan teknik komputasi dalam sistem pemrograman tradisional. Pemrosesan informasi dalam jaring saraf buatan dapat disingkat sebagai berikut: sinyal (baik berupa aksi atau potensi) muncul sebagai masukan unit (sinapsis); efek dari tiap sinyal ini dinyatakan sebagai bentuk perkalian dengan sebuah nilai bobot untuk mengindikasikan kekuatan dari sinapsis. Semua sinyal yang diberi pengali bobot ini kemudian dijumlahkan satu sama lain untuk menghasilkan unit aktivasi. Jika aktivasi ini melampaui sebuah batas ambang tertentu maka unit tersebut akan memberikan keluaran dalam bentuk respon terhadap masukan. Kemampuan fungsional ini dalam rekayasa neuron buatan dikenal dengan sebutan Threshold Logic Unit (TLU); buah pemikiran dari W. McCulloch dan W. Pitts. Gambar 0.3.15. Tipikal sebuah jejaring saraf buatan.
Sebagaimana digambarkan dalam gambar 0.3.15., model jaring saraf buatan dapat memiliki sebuah lapisan bobot, di mana masukan dihubungkan langsung dengan keluaran, atau beberapa lapisan yang di dalamnya terdapat beberapa lapisan tersembunyi. Dikatakan tersembunyi karena ia berada tersembunyi di antara neuron masukan dan keluaran. Jaring saraf menggunakan unit tersembunyi untuk menghasilkan representasi pola masukan secara internal di dalam jaring saraf. Pada dasarnya, dapat dikatakan bahwa dengan merekayasa lapisanlapisan dalam arsitektur jaring saraf buatan, adalah mungkin untuk mendekati semua fungsi matematis yang kita kenal selama ini ke dalam arsitektur jaring saraf buatan tipe maju. Karena inilah banyak orang sekarang menggunakan jaring saraf sebagai model untuk menyelesaikan berbagai permasalahan, termasuk prediksi data deret waktu keuangan. Gambar 0.3.16. Contoh hasil prediksi selang pergerakan harga dengan jaring saraf buatan.
0-3-17
Model jaring saraf buatan memandang data yang hendak diaproksimasi sebagai data yang berada pada situasi kritis dengan sifat kemampuan mengatur dirinya sendiri, yang diaplikasikan kepada sifat dari model jaring saraf dalam bentuk training, validasi, dan uji aproksimasi terhadap data. Melalui riset-riset lebih jauh dengan modifikasi dan berbagai variasi metodologi alternatif kita tentu akan dapat memperoleh hasil prediksi dan aproksimasi data yang semakin baik. Hal ini tentu membuka peluang analisis kajian ekonofisika yang masih dan akan terus berlangsung. Pendekatan pemrograman paralel terdistribusi lainnya dalam kajian penelitian ekonofisika adalah pemodelan berbasis agen yang dikaitkan dengan kajian mekanika statistika interaksi agen-agen ekonomi (multi agen). Analisis multi-agen merupakan sebuah alternatif untuk dapat memecahkan berbagai teka-teki keterhubungan makro-mikro karena ia menjadi jembatan (bridge) atas faktor makro dan mikro sebuah sistem. Sebagaimana diutarakan oleh Stigler tahun 1964, yang merupakan ilmuwan pertama yang melakukan simulasi pasar modal, hal penting yang menarik untuk dicatat adalah: “…tujuannya adalah agar kita memiliki deskripsi pasar yang sangat sederhana di satu sisi, dan di sisi yang lain representasi yang paling tepat dalam pengamatan kita terhadap karakteristik pasar yang didekati…” Dari sini kita dapat melihat berbagai keuntungan yang bisa kita dapatkan dengan menggunakan model multi-agen di sistem keuangan. Pada dasarnya kita dapat membangun model multi-agen dalam menganalisis sistem ekonomi keuangan, yang kemudian dapat digunakan untuk menganalisis sistem ekonomi keuangan nasional. Salah satu contoh model klasik yang merintis pendekatan ini dalam pasar modal dalam sejarah kajian ekonofisika adalah Model Bar El-Farrol dan Permainan Minoritas yang dikenal juga sebagai Model Oxford. Model, yang dicetuskan oleh ekonom kompleksitas W. Brian Arthur (1994), diinspirasi oleh Bar El-Farrol di Kota Santa Fe. Model ini diilustrasikan dalam bentuk cerita sebagai berikut: “Ada sebuah bar di Santa Fe, bernama Bar El-Farrol yang bisa menampung sekitar 60 orang dengan nyaman. Namun terdapat 100 orang yang selalu ingin menghadiri acara mingguan di bar tersebut. Mereka hanya akan mau hadir jika jumlah orang yang hadir di bar tak lebih dari 60 orang, dan memilih lebih baik di rumah saja jika lebih dari 60 orang yang hadir pada acara tersebut. 100 orang pelanggan yang berpotensi hadir pada acara mingguan tersebut harus menentukan secara terpisah tanpa saling berkomunikasi apakah akan hadir atau tidak dengan meramalkan jumlah orang yang akan muncul di acara tersebut berdasarkan pengetahuan mereka akan berapa orang yang hadir di minggu sebelumnya. Pilihannya dua: tinggal di rumah atau pergi mengunjungi Bar El Farrol”. 0-3-18
Gambar 0.3.17. Bar El-Farrol di Santa Fe yang menginspirasi model bar El-Farrol-nya peneliti ekonomi kontemporer W. Brian Arthur.
Model ini diabstraksikan dengan model permainan minoritas (minority game). Permainan minoritas dikembangkan oleh Damien Challet dan Y. C. Zhang. Dalam model ini, terdapat N agen yang tiap selang waktu, mau tak mau harus berkompetisi dengan memilih dua pilihan biner, yaitu “1” atau “0”. Pemenangnya adalah yang jumlah pilihannya paling sedikit. Sebagaimana dalam cerita bar El Farrol, tiap agen tersebut memiliki strategi masing-masing dalam membuat pilihannya. Tiap strategi ini disusun atas pilihan masing-masing {0,1}, misalnya “01001” dengan panjang bit strategi m. Pada permainan yang berlangsung, tiap agen memperoleh ganjaran atas pilihannya (menang atau kalah) yang menjadi bahan evaluasi atas bagus tidaknya strategi yang dimiliki pada T periode. Pada awalnya ia akan memilih strategi yang ia kenali memiliki ganjaran terbaik, dan memutuskan untuk menggunakan strategi tersebut untuk laju-keberhasilan yang lebih besar dari k. Kita dapat melihat dengan jelas betapa banyak interpretasi yang mungkin dalam permainan tersebut. Sebagai contoh, dua pilihan dapat merepresentasikan dua rute perjalanan yang harus dipilih oleh seorang pengemudi. Tentunya ia ingin agar pilihannya tersebut adalah rute yang paling tidak macet lalu-lintasnya. Sebagai model pasar modal, pilihan tersebut dapat berupa keputusan “membeli” atau “menjual” saham atau indeks saham tertentu di mana perubahan harga bergantung pada keseimbangan antara jumlah N0 agen yang memilih “0”, dan jumlah N1 agen yang memilih “1”, yang mengikuti:
Harga (t+1)=Harga(t)+No-N1 u D di mana D sebagai konstanta. Dalam hal ini, volume dari saham yang ditransaksikan mengikuti:
Volume=No+N1 0-3-19
Gambar 0.3.18. Hasil simulasi model Oxford. Atas: menggunakan N=101, m=3, q=2, t=100, k=0,53. Bawah: menggunakan k=0,56. Kedua grafik menggunakan nilai D=1 dan harga awal 1000
Dari sini terlihat bahwa model Oxford, yang hanya memiliki lima parameter (N,m,q,T,k), dapat memberikan gambaran tentang pasar dengan cukup baik sebagaimana digambarkan dalam gambar 0.3.18. Berbeda dengan pendekatan konvensional, model-model yang menggunakan simulasi komputasional, seperti model Oxford, menggunakan data-data yang digenerasi melalui proses komputasi lewat pemrosesan distribusi paralel. Saat ini telah banyak sekali pasar modal buatan yang digunakan untuk menerangkan berbagai fenomena dalam pasar modal, untuk menguji hipotesis, untuk menguji dampak kebijakan dalam pasar modal, bahkan untuk mendeteksi berbagai proses pasar yang terjadi. Kerumitan modelnya pun semakin berkembang dari waktu ke waktu. Skema sederhana ditunjukkan pada gambar 0.3.19., tentang bagaimana data yang dihasilkan melalui penyesuaian (adjustment) di level mikro pasar dianalisis level makronya dengan mekanika statistik. Gambar 0.3.19. Proses simulasi yang dilakukan.
0-3-20
Tema utama analisis ekonofisika dengan membangun model berbasis agen pelaku ekonomi adalah upaya untuk memberikan gambaran dan argumentasi mekanisme terjadinya data ekonomi keuangan secara spesifik, yaitu segala karakter ekonomi keuangan (harga, volume, dan sebagainya) di tingkat makro sehingga dapat dijelaskan di tingkat mikro. Tema ini merupakan tema kompleksitas, di mana sistem yang elemen penyusunnya saling berinteraksi hingga membrojolkan sejumlah properti di tingkat kolektif/makro. Hal ini tentu akan sangat berguna karena kita akan dapat menganalisis sistem pasar modal yang ada saat ini secara lebih tajam. Lebih jauh, ia juga dapat memberikan rekomendasi atas perubahan regulatif di tataran praktik pasar modal. Mengingat fokus utama pendekatan ini adalah perilaku individu dalam kaitannya dengan mekanisme makro pasar, maka kita dapat mengatakan bahwa analisis ini menggabungkan berbagai kausa atau sebab dalam analisis mikrosimulasi antar agen yang berinteraksi dengan analisis statistika di tingkat makro. Salah satu pengembangan yang menarik adalah upaya mengaitkan deviasi rasionalitas sistem kognitif agen-agen dengan mekanisme makro pasar. Sebagai catatan, sistem pasar modal dengan pemodelan komputasional berbasis agen memberikan peluang yang semakin luas dalam analisis ekonomi keuangan. Arahan ini muncul kerena ia diperkaya oleh statistika mekanika yang ditransplantasi dari ilmu fisika. Dari uraian singkat ini, secara umum, kita dapat melihat betapa luasnya bidang kajian ekonomi yang dapat dijadikan lapangan ekonofisika, terutama dalam upaya pengayaan analisis pasar modal. Tidak bisa dihindari bahwa ekonofisika memiliki andil untuk membuat ekonomi menjadi semacam sains dengan keketatan yang diimpor dari fisika atau dalam bahasa ekonom Steve Keen, ekonofisika melepaskan ekonomi dari ideologi yang selama ini mengungkungnya. Hal ini merupakan sisi baik dari budaya metodologi formalistik yang berkembang dalam analisis ekonofisika. Secara umum, kita dapat menunjukkan tiga kategori besar bahasan ekonofisika atau fisika keuangan dan pasar modal berdasarkan tipe metodologi fisika yang diimpor ke dalam analisis ekonomi, yaitu antara lain: 1. Mekanika, meliputi konsep gaya dan energi potensial sebagaimana diterangkan di atas. Konsep agen dalam ekonomi sebagai konsep partikel titik dalam fisika. Lebih jauh lagi adalah penggunaan mekanika statistik yang diaplikasikan untuk menganalisis dan mengekstrak karakteristik statistika umum dalam data-data ekonomi keuangan yang luar biasa banyak jumlahnya. 2. Konsep Non-Linieritas dan Kompleksitas dalam Termodinamika, hal ini meliputi konsep entropi, transisi fasa, dan fisika statistik, konsep distribusi Lévy Terpotong, multifraktalitas, dan sebagainya. Demikian juga dengan keterkaitan struktur makro dan mikro. Misalnya, getaran pada level molekuler dengan temperatur dapat 0-3-21
menjadi model keputusan investor terkait fluktuasi harga saham. 3. Fisika Komputasi, hal ini meliputi model Otomata Selular dan model jaring saraf buatan yang digunakan untuk mensimulasikan Model Ising, atau perilaku tumpukan pasir (sand piles) sebagai model analisis ekonomi. Ketiga kategori piranti fisika matematika dan komputasi inilah yang kita gunakan dalam analisis ekonomi dan sistem keuangan. Dalam hal obyek penyelidikan, kita juga dapat membagi tiga bentuk dan peran ekonofisika dalam analisis sistem ekonomi keuangan, yaitu: 1. Analisis Sifat Statistik. Dengan menggunakan perangkat-perangkat dan model dalam mekanika statistik kita dapat menganalisis sifatsifat statistika dari data-data keuangan. Dalam hal ini kita menggunakan model-model peramalan seperti ARCH, GARCH, analisis distribusi data dengan teorema limit pusat, distribusi Lévy (Lévy Flight), sifat skala (scaling), dan multifraktalitas dari data-data ekonomi keuangan. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan topdown karena melihat data sebagai data an sich, dan membiarkan data tersebut berbicara tentang dirinya sendiri. Pada domain ini kita menganalisis dan mengekstrak sifat statistika tanpa perlu peduli terhadap penyebab dari terjadinya sifat data tersebut. 2. Analisis Mikrosimulasi. Dalam lapangan ini, kita mempelajari secara individual, bagaimana seorang pelaku pasar atau agen ekonomi (misalnya investor) mengambil keputusan. Adalah hal yang sangat trivial untuk mengambil asumsi bahwa pelaku ekonomi tidak selalu menggunakan rasionalitas murni dalam pengambilan keputusan/kebijakan. Hal ini dikarenakan ia terjebak dalam keterbatasan informasi yang dimilikinya sebagai dasar pijakan dalam mengambil keputusan (bounded rationality). Kajian tentang bagaimana respon pelaku pasar terhadap gosip atau rumor dalam mengambil keputusan merupakan fokus dalam level deskripsi ini. Pendekatan ini dikenal dengan pendekatan “menguak kotak hitam sistem kognitif” pelaku pasar karena pada akhirnya perilaku agen ekonomi dapat menyebabkan terjadinya fluktuasi harga pasar. 3. Pasar Modal Buatan (artificial stock market). Pendekatan ini berupaya untuk mencari kesinambungan pendekatan pertama dan kedua, yaitu upaya untuk menjelaskan penyebab terjadinya sifat statistika spesifik data ekonomi keuangan yang ditemukan dengan cara menumbuhkan struktur proses pengambilan keputusan agen ekonomi di pasar ke dalam komputer (in silico) di mana deskripsi agen harus menghasilkan data fluktuasi harga yang berkesesuaian dengan perilaku empiris sebenarnya. Perangkat ekonofisika pada tataran ini diimpor dari fisika komputasi, dengan sejumlah modifikasi tertentu seperti model Ising, dan sebagainya. Ia dapat pula dilengkapi dengan adaptasi teori permainan evolusioner (evolutionary game theory), model adaptasi dan pembelajaran (learning model) seperti jaring saraf buatan, serta berbagai pendekatan lainnya.
0-3-22
Sekarang kita dapat melihat dengan jelas bagaimana ekonofisika memiliki lapangan penelitian dan pengembangan yang sangat luas: mulai dari analisis data statistik hingga bagaimana sebuah karakteristik spesifik dalam data dibentuk melalui interaksi agen-agen ekonomi.
0.3.5. Dua Pertanyaan Yang Selalu Berkumandang Dalam beberapa seminar tentang pengenalan ekonofisika di berbagai daerah di tanah air, ada beberapa pertanyaan yang sering dikumandangkan. Apa sumbangan yang dapat diberikan oleh ekonofisika dalam memperbaiki situasi perekonomian nasional kita saat ini yang terjebak hutang, terhimpit ekonomi dunia yang tengah didera krisis energi sehingga melambungkan harga BBM (bahan bakar minyak), tingginya tingkat pengangguran, ekonomi yang cenderung high cost dan tidak efisien oleh karena meluasnya praktik korupsi, dan berbagai permasalahan lainnya. Pertanyaan lain yang juga sering berkumandang adalah apa perbedaan mendasar antara ekonofisika dan ekonometri. Jika pertanyaan pertama mempertanyakan kontribusi aktif ekonofisika dalam khazanah keindonesiaan, pertanyaan kedua lebih ke pertanyakan filosofis di balik pendekatan ekonofisika relatif terhadap ekonometri, sebagai sebuah bidang kajian matematika ekonomi dan keuangan.
0.3.5.1. Mampukah Ekonofisika memperbaiki Ekonomi Indonesia saat ini? Beberapa anggapan publik ketika melihat berbagai makalah ekonofisika dalam jurnal ilmiah ataupun research working papers dalam bidang ini seringkali menganggap ekonofisika adalah sebuah pekerjaan yang sekadar menggunakan model-model fisika dalam membahas berbagai fenomena ekonomi. Ada pula yang membandingkan langsung antara ekonofisika dengan ekonometri dan tak jarang yang menganggap bahwa ekonofisika hanyalah upaya kuantifikasi permasalahan ekonomi yang disinyalir memperumit masalah ekonomi yang berujung pada rendahnya kontribusi penyelesaian permasalahan ekonomi yang ada. Hal-hal tersebut adalah pandangan sepintas tentang ekonofisika. Saat ini semua orang dapat berbicara atau sekadar memahami teori relativitas Einstein tanpa perlu memiliki pemahaman yang mendalam tentang pendekatan matematik yang rumit yang menelurkan teori besar ini. Mereka yang pernah mempelajari teori Einstein secara komprehensif tentu menyadari bahwa esensi dan prinsip dasar dari teori ini tersembunyi dalam rimba matematika yang cukup advanced – bahkan pada masa awal teori ini terdapat gurauan dari Albert Einstein yang mengatakan bahwa ia sendiri terkadang kurang paham dengan teori 0-3-23
relativitas yang menjadi karyanya.
Suasana di lantai bursa di Bursa Efek Jakarta.
Pada dasarnya hal serupa juga terjadi di ekonofisika. Secara sederhana, ekonofisika dapat dipandang sebagai sebuah bidang penelitian interdisipliner yang mengaplikasikan berbagai teori dan metodologi yang pada awalnya dikembangkan dalam lingkungan ilmiah fisika untuk memecahkan berbagai persoalan dalam ekonomi. Pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan elemen stokastik dan dinamika nonlinier, misalnya model-model magnetisasi dalam memahami gerak fluktuasi pasar modal, model-model prediksi gempa bumi dalam memahami ambruknya pasar modal, model transisi fasa dalam memahami sifat distribusi yang tak normal seperti halnya distribusi pendapatan, dan sebagainya. Mengapa ekonofisika memiliki arti penting dalam perkembangan analisis ekonomi? Setidaknya terdapat dua hal untuk menjawab pertanyaan ini. Yang pertama, dalam perkembangan kontemporer fisika, pengembangan model matematika tentang kompleksitas oleh fisikawan penerima Nobel, Murray Gell-Mann dan dan teori informasi yang dikembangkan Claude Shannon telah memberikan pembagian minimal dua level deskripsi analitik, level makro dan level mikro. Berbagai indikator terukur dalam fisika seperti suhu, tekanan, fasa zat, dan sebagainya merupakan makrokosmos yang muncul secara tak linier dari interaksi mikrokosmos seperti halnya atom, molekul, dan sebagainya. Observasi, simulasi, dan kalkulasi fisika harus memuaskan kedua hal ini. Meski tak mudah, telah ditemui banyak sekali terobosan-terobosan ilmu fisika yang berupaya memberikan kontribusi untuk permasalahan ini. Sekarang coba kita lihat fenomena ekonomi. Ekonom terbiasa melihat indikator ekonomi seperti indeks saham-saham, laju pertumbuhan tenaga kerja, pergerakan harga-harga komoditas mulai dari pasar global hingga pasar tradisional, inflasi, pendapatan rata-rata penduduk, tak ubahnya fisikawan klasik memandang besaran fisika seperti temperatur, tekanan gas, dan sebagainya. Pembagian makrokosmos dan mikrokosmos yang saling bertautan – meski tak linier – jarang menjadi fokus perhatian. Jelas sekali, pergerakan harga ataupun berbagai besaran ekonomi apapun merupakan hasil interaksi mikrokosmik antarmanusia. Segala besaran yang menjadi indikator ekonomi dan sosial berasal dari bagaimana satu individu memandang masalah, memilih pilihan yang menguntungkannya secara terbatas, dan seterusnya. Dalam hal ini dan analisis berikutnya, ekonofisika memberikan kontribusi bagaimana memandang sistem agregat dan mikrostruktur secara komprehensif, sebuah medan yang sering terlupakan pada ekonomi konvensional maupun financial engineering sebelumnya. Sekalipun tentu ditemui masalah besar pada analisis fisika yang ingin menerangkan hubungan mikro-makrokosmos dengan fokus partikel elementernya berupa atom atau molekul. Begitu juga dengan kerja ekonom yang harus berurusan dengan manusia sebagai agen elementernya. Pada titik ini, kita dapat mengetahui bahwa bagaimana manusia mengakuisisi informasi,
0-3-24
jelas jauh lebih rumit daripada partikel atau molekul yang memiliki derajat kebebasan yang relatif sangat terbatas. Namun setidaknya, di sini ekonomi menjadi bergerak selangkah lebih maju. Ekonomi konvensional biasanya berkutat dengan angka-angka indikator agregat jika tidak berkutat dengan pendekatan kualitatif tak terukur yang berusaha menghubungkan faktor psikologis manusia dengan kondisi ekonomi secara global. Dalam ekonofisika, hal ini coba dijembatani melalui pendekatan yang karena pola terukur dan sifat metodenya yang peka terhadap dinamika tak linier. Ia menjadikan analisis ekonomi yang lebih akurat, tempat di mana berbagai kebijakan dapat disandarkan padanya.
Transaksi Perdagangan di Pasar Terapung.
Hal kedua yang menjadikan ekonofisika mampu memberikan kontribusi dalam ekonomi adalah bahwa model-model yang secara matematis rumit ini pada bidang aslinya, fisika, miskin dengan data. Seringkali satu eksperimen fisika harus menunggu waktu bertahuntahun untuk dapat menghasilkan data yang cukup layak untuk menguji berbagai teori dan metodologi. Hal ini berlawanan dengan situasi pada sistem ekonomi. Dalam sistem ekonomi, khususnya ekonomi keuangan dan investasi, dalam tiap detik dapat terjadi ratusan bahkan ribuan transaksi yang menyimpan data. Data-data yang sedemikian banyak jumlahnya ini seringkali kurang diperhatikan oleh karena sedikitnya perangkat metodologi ekonomi keuangan klasik yang mampu mengekstrak informasi di dalamnya. Pendekatan ekonofisika jelas mengatasi hal ini. Pendekatan ekonofisika menyediakan seribu satu macam metodologi untuk mengekstrak informasi yang terkandung dalam data-data ekonomi dan keuangan tersebut. Dengan memahami seluas mungkin ekstraksi informasi yang terkandung dalam data, maka berbagai kebijakan ekonomi yang bersandar padanya tentu akan lebih dapat dipertanggungjawabkan. Kedua alasan inilah yang menjadi titik tolak kita dalam melihat, seberapa jauh ekonofisika dapat memberikan kontribusinya pada perekonomian nasional kita saat ini. Kita mengetahui bahwa solusi dan permasalahan ekonomi konvensional seringkali kurang memperhatikan kondisi mikro-makrokosmos sebagaimana diterangkan di atas, atau seandainya pun ia memperhatikan level mikro-makro-nya, pendekatannya akan cenderung kualitatif sehingga cenderung kurang terukur dan sulit untuk diverifikasi. Seringkali kebuntuan intelektual ini diakhiri dengan pengambilan keputusan yang bersumber dari perdebatan yang berkenaan dengan ideologi ekonomi klasik. Menurut ekonom Australia yang juga seorang penulis yang dikenal karena usahanya dalam menyingkap berbagai teori ekonomi konvensional yang justru seringkali menjadi landasan resep IMF dan World Bank dalam mengatasi problem ekonomi berbagai negara pasca krisis, lewat buku best-seller internasional-nya Debunking Economics (1997) , Steve Keen, hal ini merupakan entri poin mengapa ekonofisika memberikan arti penting dalam ekonomi, lebih khusus lagi, dalam penyusunan kebijakan ekonomi nasional 0-3-25
sebuah negara. Jika ekonofisika sebagai sebuah perangkat sains dan teknologi dapat memberikan penajaman dalam memandang berbagai permasalahan ekonomi, lalu riset ekonofisika dapat memberikan analisis yang lebih baik dalam mengasah kebijakan ekonomi yang lebih komprehensif tanpa terpaku pada berbagai teori dan ideologi ekonomi tradisional, maka peluang ekonofisika dalam mengatasi permasalahan ekonomi di negeri kita tentu menjadi semakin besar. Harga yang mesti dibayar melalui penyusunan kebijakan dan analisis melalui ekonofisika memang agak mahal, yakni penggunaan berbagai metodologi non-linier yang cenderung lebih rumit secara matematis. Namun harga ini menjadi pantas, sebab hasil pendekatan ekonofisika adalah kebijakan ekonomi dan keuangan yang lebih komprehensif dalam memperbaiki keadaan ekonomi kita saat ini. Selain itu, mengingat permasalahan ekonomi kita yang telah cukup kronis, dan bahwa pendekatan konvensional bahkan secara teoretis sulit untuk memberikan solusi yang komprehensif, oleh karena itu, tak ada salahnya jika peluang ekonofisika sebagai solusi alternatif menjadi semakin besar. Akhirnya, kita mungkin akan teringat ungkapan novelis non-fiksi kenamaan, Arthur C. Clarke”…all sufficiently advanced science & technology is indistinguishable from magic…”.
0.3.5.2. Memilih Ekonofisika dibanding Ekonometri? Dengan memahami apa yang menjadi dasar-dasar ekonofisika dan ekonometri dan sejarah ekonometri modern, maka pertanyaan di atas pada dasarnya menjadi aneh dan terasa janggal. Ekonofisika merupakan sebuah tren sains terkini yang mendasarkan diri pada interdisiplinaritas dengan tujuan ingin mempertajam ilmu ekonomi konvensional melalui berbagai pemahaman, model, ataupun teori yang secara matematis dan komputasional sangat mutakhir, yang cenderung tidak mampu direngkuh oleh ekonometri konvensional ataupun financial engineering tradisional. Ekonometri pada umumnya bersandar pada teori, mazhab, “ideologi”, ataupun hipotesis yang dibangun dalam diskursus ekonomi. Terdapat situasi saintifik yang tak dapat dielakkan bahwa ekonomi konvensional lebih cenderung membangun model baru kemudian mencari pola aproksimasinya dengan kondisi empiris. Hal inilah yang kita ketahui menjadi sumber utama kegagalan berbagai teori ekonometri klasik yaitu upaya penyelidikan yang seringkali mendasarkan diri pada misalnya, normalitas data (kecocokan data ekonomi dan keuangan terhadap distribusi Gaussian), kegagalan perhitungan Value at Risk secara klasik di mana digunakan pendekatan varian-kovarian, kegagalan teori CAPM (capital asset pricing model) dalam optimisasi portofolio investasi, bahkan lebih jauh lagi juga diduga menjadi alasan kegagalan berbagai regulasi ekonomi dan keuangan di banyak negara dunia ketiga pasca krisis akhir abad ke-20. Hal ini berkebalikan dengan cara kerja sains yang diwarisi dari metode 0-3-26
ilmiah dalam ilmu alam yang lebih cenderung mengutamakan observasi dan analisis empirik, baru kemudian berbicara tentang model analitik. Ekonofisika sebagaimana dinyatakan pencetusnya, H. E. Stanley (2000), lebih berusaha mengekstrak informasi dari data empirik, baru kemudian berbicara tentang model analitik. Beberapa contoh penting, misalnya adalah pendekatan MA (Moving Average) dalam pendekatan konvensional untuk melihat tren gerak data yang memandang fluktuasi harga-harga saham sebagai bentuk data dengan variansi tetap dan rata-rata berubah. Nobel Ekonomi 2003, nobel ekonomi pertama yang diserahkan pada ekonom yang berlatar belakang fisika, R. Engle (2003) untuk jasanya pada pendekatan yang memodelkan fluktuasi harga ekonomi dan keuangan sebagai bentuk data yang juga berubah variansinya (volatilitasnya) merupakan sebuah bukti bahwa ekonofisika mempertajam analisis ekonometri konvensional. Kenyataan ini tentu dapat membantu perkembangan ekonometri menjadi lebih baik dan akurat melalui penggunaan berbagai model statistika nonparametrik seperti neural network. Berbagai temuan dalam analisis data-data keuangan meliputi sifat distribusi data, dan sebagainya, yang berasal dari analisis mekanika statistik, menumbuhkan kegairahan dalam ekonofisika. Dari sini, penelitian ekonofisika senantiasa terus berkembang dengan pendekatan fisika statistik untuk mengekstrak informasi dari data-data yang sedemikian banyaknya dan melakukan simulasi komputasional dengan inspirasi dari model-model fisika dan komputasi. Di sini menjadi jelas titik terang yang diberikan oleh pendekatan ekonofisika dalam evolusi keilmuan ekonometri. Dan dari sini, jelas pula kita sadari bahwa ekonometri dan ekonofisika menjadi tak perlu dipertentangkan lagi: masa depan ekonometri kontemporer berada pada kolaborasi aktif antara mereka yang berlatar belakang ekonometri dan pada ekonofisikawan.
0-3-27
0.4. Evolusi: Biologi-nya Sistem Sosial 0.4.1. Sekilas Tentang Teori Evolusi Gambar 0.4.1. Garis Wallace di antara Pulau Sulawesi dan Kalimantan.
Kita mungkin ingat tentang Garis Wallace, yaitu suatu garis maya yang terbentang di sepanjang selat Makasar, yang menandai perbedaan spesies antara pulau-pulau di sebelah timur garis tersebut, yang lebih dekat dengan spesies yang ada di Australia dan sebelah baratnya, yang dekat dengan spesies yang ada di Asia. Nama Wallace sendiri diambil dari nama ilmuwan alam asal Inggris yang mengusulkan garis tersebut pada tahun 1860, yaitu Alfred Russel Wallace. Adanya garis tersebut seakan menjadi sebuah bukti betapa beranekaragamnya kekayaan hayati bangsa ini. Variasi yang tentunya merupakan kekayaan yang begitu berharga, khususnya bagi ilmu pengetahuan. Hal inilah yang kemudian memberikan inspirasi bagi Wallace, tidak hanya sebatas mengusulkan garis Wallace, melainkan juga untuk memformulasikan dasar dari teori evolusi melalui seleksi alam, suatu teori yang juga dilontarkan oleh Charles Robert Darwin. Kedua orang yang bekerja secara terpisah ini memberikan suatu paradigma baru yang serupa tentang bagaimana mekanisme biologis dari perubahan spesies yang menghasilkan variasi yang ada saat ini. Menurut mereka, spesies berubah dan perubahannya tersebut akan senantiasa berhadapan dengan tekanan dan kondisi lingkungan tertentu. Alam merupakan kekuatan yang menseleksi perubahan mana yang dapat beradaptasi dan kemudian bertahan, dan mana yang tidak bertahan. Sifat-sifat dan karakteristik yang menguntungkan akan diturunkan pada generasi selanjutnya, yang juga akan mempunyai peluang untuk berubah membentuk variasi baru yang juga ikut terseleksi. Begitu seterusnya sehingga apa yang bisa kita lihat dari variasi yang ada sekarang merupakan hasil dari perubahan gradual dan akumulatif dari generasi yang simple hingga yang kompleks.
“...Saya harus memulai dengan bentuk fakta yang baik dan bukan dari prinsipprinsip (yang mesti dicurigai sebagai bentuk kesalahan) lalu melakukan deduksi sebagaimana kau inginkan.” Isi surat Charles Darwin (1809-1882) kepada J. Fiske
0-4-1
Lamarck adalah biolog yang menyumbangkan konsep adaptasi dalam biosfir kita. Jean Baptiste Lamarck
Teori evolusi sendiri pada dasarnya sudah lahir sejak lama, beberapa ilmuwan sebelumnya yang juga ikut berkontribusi pada teori ini diantaranya adalah Jean Baptiste Lamarck (1974) dan Geoffroy St. Hilaire (1830). Lamarck mengusulkan mekanisme “penurunan karakteristik yang diperoleh oleh suatu makhluk hidup, untuk menjelaskan adanya proses evolusi organisme dari sederhana menuju yang lebih kompleks. Spesies cenderung beradaptasi dengan lingkungannya dan berkembang melalui digunakan/tidak-nya organ tertentu dari spesies tersebut. Contoh sederhananya kijang, awalnya tidak bertanduk, namun menumbuhkan tanduknya untuk bertahan dari serangan pemangsanya. Sementara Hilaire menyatakan bahwa proses tersebut tidaklah kontinu, dimana variasi terjadi karena adanya karakteristik yang didapat dari induk sebelumnya. Ia sendiri tidak memperkuat teori ini dengan beberapa contoh mekanismenya. Berbeda dengan Lamarck, Darwin melihat bahwa variasi bukanlah hasil dari proses adaptasi, melainkan karena adanya perbedaan kapasitas dari spesies untuk beradaptasi. Spesies dengan kapasitas beradaptasi dengan lingkungannya adalah spesies yang akan bertahan dan kemudian mempunyai banyak keturunan. Variasi terjadi karena adanya suatu perubahan yang bersifat random dan juga seleksi alam. Lebih jelas mengenai perbedaan keduanya dapat dilihat sebagai berikut:
Tabel 0.4.1. Perbedaan Darwin dan Lamarck.
Seorang pastor yang juga berpraktik sebagai biolog dengan berbagai percobaan yang menunjukkan pola hereditas dalam reproduksi makhluk hidup. Gregor Mendel (1822-1884)
0-4-2
Beberapa fakta dan temuan selanjutnya, menunjukkan bahwa Teori evolusi melalui seleksi alam lebih diterima dibandingkan teori Lamarck. Walaupun demikian, baik Darwin maupun Wallace sendiri masih menyisakan pertanyaan, terutama tentang bagaimana mekanisme penurunan sifat atau karakter dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Mekanisme penurunan sifat dan faktor apa yang menentukan sifat suatu organisme mulai menemukan jawabannya dengan penemuan Mendel. Percobaan yang dilakukannya cukup sederhana, ia hanya mengawin silangkan 2 jenis tanaman yang berbeda sifatnya terus menerus. Ilustrasi sederhananya: bayangkan kita mempunyai 2 tanaman anggrek – bunga
nasional Indonesia, yang satu berwarna merah sedangkan satunya lagi berwarna putih. Ketika dikawinkan ia akan menghasilkan anggrek berwarna merah dan tidak ada yang berwarna putih. Hasil perkawinan kedua, adalah mengawinkan sesama anggrek hasil perkawinan pertama. Yang menarik dari hasil perkawinan ini, rata-rata dari empat hasil perkawinan didapati satu buah anggrek berwarna putih. Dari percobaan ini Mendel merumuskan beberapa konsep yang nantinya menjadi dasar dari konsep genetika modern, yaitu konsep gen dominan dan resesif. Gambar 0.4.2. Ilustrasi percobaan Mendel tentang perkawinan silang.
Dalam kasus bunga anggrek di atas, bisa dikatakan bahwa dalam setiap anggrek akan memiliki dua jenis gen, ketika salah satunya dominan maka sifat dari gen dominan itulah yang muncul. Untuk kasus anggrek tersebut, gen warna merah merupakan gen yang dominan dan gen putih adalah gen resesif. Katakanlah gen merah tersebut kita simbolkan dengan M, dan gen putih disimbolkan dengan m. Pada generasi pertama anggrek merah mempunyai gen MM dan anggrek putih adalah mm, bisa dikatakan bahwa generasi kedua akan mempunyai gen Mm, yang tentunya akan berwarna merah, karena sifat gen M (warna merah) mendominasi sifat m (warna putih). Mendel juga menjadi peletak konsep gen sebagai faktor yang menentukan sifat suatu organisme. Selain itu, hal yang perlu dicatat adalah Mendel merupakan orang pertama yang mendemontrasikan perbedaan antara genotip sebagai faktor penentu sifat, dan fenotip sebagai sifat yang muncul dari suatu genotip tertentu. Namun pertanyaan seputar “apa hubungan mekanisme gen dalam proses seleksi alam” dan “bagaimana variasi tertentu bisa muncul dan membrojol dari hasil seleksi alam” masih belum terjawab. Hingga akhirnya ditemukan DNA sebagai unit informasi terkecil yang menyusun gen dan menjadi faktor penentu sifat dari organisme dan keturunannya. Penemuan DNA memberikan titik terang mengenai bagaimana mekanisme evolusi dari suatu organisme. Penemuan DNA yang berkembang di biomolekular dan biokimia menjadi semacam pengembangan secara mikroskopis dari pengamatan makroskopis Darwin dan juga Mendel. Gen pada dasarnya merupakan untai DNA sebagai unit informasi terkecil yang bisa terekspresikan menjadi
0-4-3
Gambar 0.4.3. Bentuk heliks ganda dari struktur DNA.
fenotipnya, yaitu enzim, protein RNA dan lain sebagainya. Gen tersusun atas alel, atau alternatif gen tertentu, yang akan menentukan adanya variasi dalam spesies. Mutasi gen terjadi karena adanya perubahan untai DNA yang pada akhirnya mengubah sifat dari fenotip suatu spesies. Spesies yang mempunyai sifat atau karakteristik yang cocok dengan lingkungannya akan bertahan, memproduksi banyak keturunan dan menurunkan (mentransmisikan) sifatnya tersebut ke generasi selanjutnya melalui proses pengkopian gen (replikasi).
0.4.2. Algoritma Genetika Alam bekerja sedemikian menakjubkan. Ketakjuban yang kemudian terwujud dalam berbagai macam ekspresi, seperti nyanyian, tarian bahkan hingga ilmu pengetahuan. Dari alam juga sejak lama manusia mengambil manfaat dengan berbagai cara termasuk meniru prosesproses yang ada di alam, untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Cara bangau berjalan di rawa menjadi inspirasi bagi seorang ahli konstruksi Indonesia Ir. Sedijatmo untuk menciptakan fondasi “cakar ayam”; suatu rancangan fondasi berserat untuk kondisi tanah yang tak stabil seperti rawa. Begitu juga dengan pemahaman tentang evolusi genetika, hal ini juga merupakan salah satu proses alam yang memberikan inspirasi untuk dimanfaatkan dalam menyelesaikan permasalahan dalam bidang lain. Bagaimana proses evolusi begitu efektif dalam menciptakan makhluk hidup yang senantiasa lebih cocok dan adaptif dari generasi sebelumnya. Inilah yang kemudian menginspirasi algoritma genetika, yang bisa dilihat sebagai urutan proses evolusi genetika yang diimplementasikan secara komputasional atau dilakukan secara in silico, yang ditemukan oleh John Holland dan kawan-kawan pada dekade 70-an. Dalam studi genetika kita mengenal istilah kromosom sebagai “cetak biru” suatu organisme. Kromosom sendiri tersusun atas banyak gen, di mana masing-masing gen mempunyai sejumlah gen alternatif yang 0-4-4
disebut alel. Bayangkan kromosom adalah desain teknis suatu mobil yang memuat informasi atas banyak bagian, mulai dari jenis mesin, jenis kerangka, hingga warna mobil itu sebagai gennya. Jika diasumsikan bahwa masing-masing bagian hanya terdapat 2 jenis pilihan (seperti halnya alel dalam gen), maka desain mobil bisa diwakili dengan untai bitbit biner, di mana nilai biner mewakili jenis pilihan mesin, kerangka, hingga warna. Pemodelan seperti ini juga yang dilakukan dalam algoritma genetika, yaitu dengan merepresentasikan kromosom sebagai bit-bit biner yang mewakili gen dan nilai alel. Seperti terlihat pada gambar 0.4.4., algoritma genetika bekerja seperti halnya evolusi genetika. Kumpulan spesies, dimodelkan sebagai populasi bit-bit biner dari kromosomnya. Spesies akan mempunyai kapabilitas untuk beradaptasi, yang dalam genetik algoritma hal ini diwakili oleh nilai kecocokkan dari masing-masing bit-bit biner. Nilai inilah yang menentukan apakah ia akan terseleksi dan bertahan pada generasi selanjutnya. Bit-bit biner yang terseleksi akan mengalami perubahan, berupa mutasi dan crossover, yang dianalogikan sebagai perubahan acak dari nilai biner dan pindah silang antara biner pada dua untai tertentu, untuk menghasilkan generasi baru. Demikian seterusnya, hingga didapat populasi kromosom yang mempunyai tingkat kecocokkan paling tinggi. Gambar 0.4.4. Bagan algoritma genetika.
Dalam perkembangan selanjutnya, algoritma genetika banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah optimasi dalam bidang-bidang lain. Hal ini dapat kita lakukan dengan cara mengkodekan solusi yang mungkin dari sebuah permasalahan ke dalam bit-bit dengan nilai tertentu, lalu mencari solusi yang paling optimal dengan menerapkan prinsip algoritma evolusioner tersebut. Misalnya, masalah transportasi di Indonesia. Kita ketahui bahwa transportasi senantiasa berhadapan dengan jaringan transportasi yang menghubungkan begitu banyak tempat di tanah air, dan 0-4-5
melibatkan banyak moda angkutan mulai dari darat, laut, hingga udara. Seandainya kita memiliki matriks asal dan tujuan (origin-destination) seperti terlihat pada gambar 0.4.5., lalu diminta merekomendasikan pembangunan moda angkut yang paling optimal, dalam arti telah mengikutsertakan perhitungan biaya dan manfaat, maka moda angkutan apa yang dibangun terlebih dahulu? Pada dasarnya kita bisa merepresentasikan matriks keterhubungan tersebut dalam suatu sekuen bit tertentu, di mana nilai bit (0,1,2) merupakan pilihan alternatif transportasi yang dibangun, apakah darat (0), laut (1) atau udara(2). Untai dari bit-bit dengan nilai tertentu akan mempunyai level biaya dan manfaat tertentu. Tentunya kita dihadapkan pada bagaimana mencari konfigurasi untai bit yang memberikan tingkat manfaat paling tinggi dengan biaya yang serendah mungkin. Pada titik ini, kita bisa menggunakan algoritma genetika untuk membantu mencari konfigurasi paling optimal dari semua alternatif kemungkinan. Gambar 0.4.5. Contoh kemungkinan perencanaan transportasi di Indonesia dan pencarian solusi optimum dengan algoritma genetika.
Tentu saja permasalahan di atas hanya sekadar contoh kecil. Pada kenyataannya kita tentu saja dihadapkan pada banyak daerah, dengan batasan kebutuhan, biaya, dan manfaat yang bervariasi. Namun setidaknya, kita bisa melihat bahwa pada dasarnya algoritma genetika merupakan salah satu model yang bekerja berdasarkan prinsip evolusi yang bisa dimanfaatkan dalam beberapa permasalahan termasuk masalah optimisasi.
0.4.3. Memetika Berbicara tentang evolusi manusia, kita tidak cukup berbicara mengenai evolusi biologis saja. Manusia bukan hanya makhluk biologis, tetapi juga sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia mengalami evolusi lain, yaitu evolusi kultur atau budaya. Manusia mempunyai tata cara hidup, kebiasaan, norma serta aspek-aspek kultural lainnya yang senantiasa berubah dan menjadi kompleks dari waktu ke waktu. Prasasti Kutai, Batu Tulis yang ditemukan di Sungai Cisadane Bogor, Candi Prambanan, Candi
0-4-6
Borobudur, hingga Monumen Nasional merupakan peninggalan artefak manusia yang menjadi “jejak” bagaimana kultur masyarakat Indonesia senantiasa berevolusi dari waktu ke waktu bahkan hingga hari ini. Suatu bentuk evolusi lain yang menjadikannya sebagai makhluk hidup yang paling dominan dan adaptif terhadap lingkungannya saat ini. Pertanyaannya apakah prinsip-prinsip dalam evolusi hayati juga berlaku dalam evolusi kultur atau sosial? Perdebatan ini mencuat tatkala Dawkin pada tahun 1989, dalam bukunya “The Selfish Gene”, melontarkan suatu konsep evolusi memetika untuk menjelaskan bagaimana evolusi kultur dapat dijelaskan dengan cara pandang Darwinian. Dawkin menyebutkan bahwa meme merupakan suatu unit informasi yang tersimpan di otak dan menjadi unit replikator dalam evolusi kultur manusia. Meme dapat berupa ide, gaya berpakaian, tata cara ibadah, norma dan aspek kultur lainnya. Meme dapat bereplikasi sendiri dan bermutasi dalam sistem kultural manusia. Artinya, ia berperilaku dan memiliki karakter menyerupai gen dalam sistem biologis. Konsep meme yang dilontarkan Dawkin mengundang banyak perdebatan di kalangan biolog dan sosiolog, terlebih karena ia sendiri tidak memberikan penjelasan yang cukup gamblang mengenai bagaimana mekanisme unit informasi dalam otak dalam mengontrol perilaku manusia. Pada akhirnya, kultur manusia adalah representasi mekanisme replikasi serta transmisi dari meme itu sendiri. Hal ini juga yang menjadikan definisi meme, dalam perkembangannya, menjadi begitu banyak dan seakan tidak menemukan titik temu satu sama lain. Terkait dengan konsep evolusi (dalam hal ini evolusi genetika), hal yang cukup diperdebatkan adalah tentang transmisi dan replikasi meme dalam sistem sosial. Mengingat dalam teori evolusi sendiri disyaratkan adanya unit replikasi dan transmisi yang memungkinkan suatu kultur atau sifat kultural tertentu diturunkan dari satu individu ke individu lain. Bagaimana meme sebagai unit informasi terkecil memungkinkan adanya perubahan karakteristik kultur atau elemen kultur tertentu melalui suatu perubahan yang bersifat acak? Bagaimana proses seleksi yang memungkinkan adanya akumulasi dari karakteristik atau sifat tertentu dari kultur manusia? Bagaimana kebiasan bersilaturahmi di hari raya Idul Fitri, bisa diturunkan dari satu individu ke anaknya untuk kemudian menjadi tradisi masyarakat tertentu? Lalu, bagaimana silaturahmi ini menjadi tradisi
Gambar 0.4.6. Artifak arsitektural: Borobudur, Monas, dan Prambanan.
Gambar 0.4.7. Tradisi Mudik Lebaran.
0-4-7
mudik saat lebaran yang tentunya bukan hanya sekedar silaturahmi tapi juga memuat unsur liburan . Beberapa ilmuwan biologi dan sosilogi berusaha untuk menjawab perdebatan tersebut. Susan Blackmore, salah seorang biolog yang juga aktif mengusung konsep memetika dalam analisis kultur, mengatakan jika mekanisme replikasi dan transmisi meme terjadi melalui proses imitasi. Namun konsep imitasi ini pun tak lepas dari perdebatan, terutama jika dikaitkan dengan konsep fenotip dan genotip. Dalam genetika suatu fenotip (karakteristik fisik) bisa berubah dikarenakan adanya perubahan genotip, namun tidak sebaliknya. Perubahan fenotip (yang biasanya terjadi karena adaptasi) tidak serta merta merubah genotip seseorang. Jika meme adalah suatu “genotip” dari suatu “fenotip” kultur tertentu, seperti ide, gaya berpakaian, aspek-aspek keagamaan, tata cara hidup, dan lain sebagainya, maka proses imitasi bisa dikatakan sebagai suatu proses replikasi dan transmisi melalui fenotipnya – suatu proses evolusi yang dikenal sebagai konsep evolusi Lamarckian dimana evolusi terjadi karena adaptasi, bukan mutasi random dan seleksi alam. Atau dengan kata lain evolusi kultur bukanlah evolusi Darwinian, yang pada akhirnya, bisa dikatakan bukan evolusi sama sekali. Namun disisi lain, pada kenyataannya evolusi kultur sendiri terjadi bahkan hingga saat ini, dimana sistem kultural manusia berubah, membrojolkan kultur baru yang berbeda dari sebelumnya dari waktu ke waktu. Gaya berpakaian anak muda Indonesia tahun 70-an tentu berbeda dengan gaya berpakaian anak muda saat ini, begitu juga gaya rambut, musik, tarian, bahkan hingga cara mereka bersikap dan berinteraksi dengan individu lainnya, termasuk dengan lawan jenis. Gambar 0.4.8. Tarian Merak dari tanah Pajajaran.
Harus kita sadari bahwa meme sendiri lahir sebagai suatu konsep yang berupaya memandang manusia sebagai makhluk berbudaya dan sosial, sehingga tentunya kita tidak bisa memisahkan konsep ini dari kajian sosiologi dan kultur. Manusia mengenal ide, keindahan dan pengetahuan, seni, norma dan kerjasama yang membuatnya berbeda dengan organisme lainnya. Kita tidak bisa memandang meme bekerja seutuhnya 0-4-8
seperti mekanisme evolusi genetika dalam evolusi biologi, karena jika terjadi hanyalah akan mengundang begitu banyak pertanyaan? Tentu orang akan bertanya dimanakah letak meme? Mana bukti fisik yang menunjukkan keberadaan meme dalam manusia? Benarkah ia berada di dalam kepala manusia? Bagaimana ia dapat diturunkan? Bagaimana mekanisme penurunan sifat kultur antar dan intra generasi? Pertanyaan seputar kedinamisan budaya manusia seakan tidak pernah berhenti. Untuk itu, memetika harus dipandang sebagai analisis alternatif yang dapat digunakan untuk menjelaskan fenomena evolusi kultural, sehingga kita tidak bisa mengasumsikan meme sebagai unit informasi terkecil dari evolusi kultural atau sosial secara umum, layaknya gen dalam evolusi biologi, melainkan sebagai unit informasi terkecil yang dapat kita gunakan untuk menjelaskan fenemona sosial tertentu di masyarakat. Agar dapat memodelkan evolusi kultural dari sudut pandang memetika, kita harus menyadari bahwa pada dasarnya kultur merupakan suatu sistem bertingkat yang didalamnya mengandung berbagai elemenelemen kultur tertentu yang senantiasa berubah secara dinamik. Perubahan ini terjadi karena adanya dinamika dalam masyarakat itu sendiri – baik melalui proses asimilasi, akulturasi, komunikasi maupun interaksi antar individu. Fenomena evolusi kultural bisa kita lihat sebagai pola dinamik, dimana elemen kultur tersebut tidak hanya menyebar dan bertransmisi dari satu individu ke individu lain, melainkan juga berubah secara dinamik selama proses transmisi berlangsung. Meme bisa dipandang sebagai sebuah unit yang paling kecil dari kultur, seperti not musik atau cara menggunakan sepatu, hingga bagian yang lebih besar seperti nasionalisme atau agama. Melalui cara pandang ini, memetika, pada hakikatnya, merupakan suatu alat analisis yang dapat menjelaskan fenomena dalam sistem kultur dan aspek-aspek kultural seperti, diseminasi dan propagasi, hingga evolusi kultur itu sendiri. Memetika juga dapat kita pahami sebagai sebuah mekanisme transmisi objek kultural atau sistem bertransmisi dari satu orang ke yang lainnya dalam perspektif virus akal budi. Sebagai contoh: penyebaran penggunaan jilbab dikalangan putri muslim. Penggunaan jilbab kemudian tidak hanya menjadi semacam kewajiban dalam menjalankan agama, tetapi juga berkembang menjadi gaya berpakaian tersendiri dalam masyarakat. Gambar 0.4.9. Kultur dipandang dari berbagai ruang lingkup deskripsi.
Dari paparan di atas kita bisa melihat bahwa sistem kultural merupakan sistem yang tersusun atas meme sebagai unit informasi terkecil yang 0-4-9
kemudian membrojolkan pola tertentu dari kultur tersebut dari waktu ke waktu. Selain itu, evolusi kultur membahas tentang bagaimana sebuah objek kultural atau sistem tertentu dapat bertransmisi, dan menyebar serta berubah secara dinamik. Meme merupakan unit informasi terkecil, yang bisa kita gunakan dalam menjelaskan proses evolusi. Ia bisa berpropagasi dari satu individu ke individu lainnya melalui proses interaksi dan imitasi. Propagasi meme dalam hal ini bisa terjadi secara horizontal, yaitu dari individu ke individu lain dalam satu generasi atau secara vertikal, yaitu antar individu dalam generasi yang berbeda (orang tua ke anaknya). Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan, atau berdoa sebelum tidur, bisa berpropagasi dari ibu ke anaknya atau dari tetangga ke tetangga yang lainnya. Hal inilah yang tentunya membuat evolusi kultur berjalan lebih cepat daripada evolusi biologis dalam sistem hayati. Untuk lebih memahami bagaimana memetika dapat digunakan untuk menganalisis evolusi dari sistem kultural, Situngkir membuat suatu formalisasi dari konsep memetika di atas ke dalam suatu proses algoritmik yang dapat di simulasikan secara komputasional. Kultur dalam hal ini bisa kita lihat sebagai sebuah institusi kultural yang tersusun atas elemen-elemen kultural. Secara praktis, kultur sendiri umumnya dapat dipandang sebagai kultur utama, kemudian kultur tandingan dan juga subkultur. Sebagai contoh, seperti terlihat dalam diagram venn di gambar 0.4.9., kita bisa melihat bahwa sistem kultural masyarakat Jawa saat ini merupakan hasil interaksi antara 3 ruang lingkup budaya: Islam, Jawa Kuno dan Kejawen. Gambar 0.4.10. Memepleks tersusun atas memememe.
Dalam sudut pandang memetika, kultur dipandang sebagai suatu kumpulan meme atau memepleks, dimana dalam setiap meme akan mempunyai alomeme atau alternatif sifat kultural tertentu yang bersifat mutual ekslusif (analog dengan konsep gen dan alel). Evolusi terjadi akibat perubahan dari meme-meme tersebut melalui interaksi antar individu dalam sistem kultur. Di sini tentunya perlu kita ingat bahwa interaksi antar individulah yang memainkan peranan dalam dinamika kultur serta evolusinya, yang secara algoritmik terjadi sebagai berikut: 1. Dalam setiap waktunya akan terdapat populasi inividu dengan memepleks tertentu. 0-4-10
2. 3.
4.
Masing-masing memepleks akan memiliki tingkat kecocokkan tertentu. Interaksi antar individu akan memungkinkan adanya transmisi (replikasi) memepleks, baik secara horizontal, dimana memepleks yang lebih cocok akan tereplikasi, maupun secara vertikal (pengkopian memepleks dari individu baru). Di sisi lain individu juga bisa mati. Selama proses transmisi, masing-masing memepleks bisa mengalami mutasi berupa perubahan nilai alomeme-nya.
Yang menarik proses iteratif dari algoritma memetika di atas mampu menunjukkan bagaimana diseminasi suatu kultur (kultur utama, kultur tandingan dan sub-kultur) dan evolusinya dari waktu ke waktu, seperti terlihat pada gambar 0.4.11. Walaupun baru sebatas simulasi komputasional, namun yang menarik di sini adalah bagaimana memetika sendiri bisa digunakan sebagai perangkat analisis kuantitatif dalam analisis kultur. Gambar 0.4.11. Dinamika populasi kultur.
0.4.4. Catatan Teori evolusi memang cukup kontroversial dan mengundang banyak perdebatan hingga saat ini. Namun di tengah perdebatan tersebut, teori evolusi sendiri terbukti mampu memberikan penjelasan mengenai banyak fenomena di alam, termasuk ekplanasi teoritis dari evolusi kultur manusia. Kultur masyarakat Indonesia yang begitu beragam, seberagam kekayaan hayatinya, merupakan aset yang tak ternilai harganya, dan tentunya menunggu hasil pemikiran yang kreatif untuk bisa menjelaskan banyak fenomena di dalamnya. Pendekatan evolusioner diharapkan akan memperkaya kita dengan alat analisis alternatif dalam memahami sistem sosial kita. Pemahaman yang tentunya akan sangat bermanfaat bagi perkembangan masyarakat Indonesia di kemudian hari.
0-4-11
WIYATAMANDALA
Wawasan Nusantara dalam Perspektif Kompleksitas Ini adalah bab satu sekaligus juga dapat dilihat sebagai bagian implementatif pertama dari buku ini. Intinya adalah bagaimana cara pandang kita diubah dengan menggunakan berbagai perangkat kompleksitas sehing ga kita memperoleh perspektif yang komprehensif atas siapa kita, dan bagaimana posisi kita di tengah-tengah masyarakat dunia, dengan memperhatikan potensi sekaligus beberapa kelemahan yang memang perlu kita perbaiki. Dalam hal ini, kita mengingat konsep Wawasan Nusantara, sebagai cara pandang bangsa Indonesia terhadap dirinya sendiri, sebagai sebuah kesatuan yang utuh dari seluruh aspek kehidupan humaniora dan kemasyarakatan. Babad Tanah Air diuraikan dalam visi Wawasan Nusantara dalam perspektif kompleksitas dengan memperhatikan evolusi kontrak sosial, representasi kompleks tentang konsep negara dan wawasan evaluatif atas bagaimana kita berdemokrasi, bagaimana entitas masyarakat Indonesia disusun dalam sudut pandang d e m o g ra f i s d a n a b st ra ks i te nta n g ga ga s a n Keindonesiaan secara umum. Hal ini penting dengan adanya arahan bahwa manusia secara individual pada dasarnya selalu berada pada kondisi kritikal mengatur dirinya sendiri (self organized criticallity) hidup dan berkembang. Babad Tanah Air dalam buku ini menjadi jembatan kita melihat Indonesia dalam perspektif kompleksitas.
Bab 1
1.1. Sebuah Keindonesiaan Baru 1.1.1. Indonesia, Sebuah Perjalanan Memahami Indonesia tentu saja tidak dapat dipisahkan dari upaya refleksi episode awal terbentuknya negara ini yang dapat disimak dalam babak sidang BPUPKI tahun 1945. Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, H. Agus Salim, dan yang lainnya, walaupun memiliki perbedaan latar belakang pendidikan dan pengalaman, memiliki sebuah irisan pemikiran yang sama, yaitu menolak paham individualisme barat. Bapak bangsa kita memandang paham individualisme adalah sumber dari kolonialisme, imperialisme, dan kapitalisme.
“Jika tiap-tiap orang Indonesia yang 70 juta ini lebih dulu harus merdeka di dalam hatinya, sebelum kita dapat mencapai political independence, saya ulangi lagi, sampai lebur kiamat kita belum dapat Indonesia merdeka.” pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945
“Kalau kita mencari demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial” (pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945)
Paham individualisme barat tersebut dilatarbelakangi oleh sejarah pemerintahan Negara-negara Eropa dengan kekuasaan aristokrasi d a n /ata u ra j a ya n g s a n gat d o m i n a n , b a h ka n s e r i n g ka l i mempersonifikasi diri sebagai negara (l’etat c’est moi). Untuk itu sejumlah intelektual eropa pasca renaissance, seperti Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jacques Rousseau, Herbert Spencer, dan H.J. Laski, menyatakan bahwa hak individu adalah nilai luhur yang harus dijunjung tinggi oleh entitas, yang berisi kumpulan individu sadar, bernama negara. Secara teoretis, negara ialah masyarakat hukum yang disusun atas dasar kontrak antara seluruh individu dalam masyarakat (social contract). Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Indonesia memiliki keragaman suku, agama, bahasa, dan ras yang luar biasa. Heterogenitas ini dengan sendirinya membutuhkan perekat yang dapat mempersatukan rakyat dalam wadah kenegaraan yang sama. Bapak bangsa kita menekankan bahwa pemersatu tersebut berada pada nilai kekeluargaan. Namun, interpretasi nilai kekeluargaan sangat beragam. Bung Karno menginterpretasikan kekeluargaan sebagai semangat gotong royong. Bung Hatta menitikberatkan kekeluargaan pada semangat tolongmenolong antar sesama. Prof. Soepomo memahami kekeluargaan sebagai kesatuan jiwa pemimpin dengan rakyatnya. Dapat kita lihat bahwa pada satu sisi mereka dapat menangkap karakter umum rakyat Indonesia, tapi di sisi lain mereka seolah kurang menjelaskan penyebab munculnya nilai tersebut. Ada kesan gamang yang muncul ketika kita mengamati perbedaan upaya interpretasi nilai kekeluargaan tersebut. Akhirnya, pergulatan intelektual tersebut merumuskan norma-norma yang diharapkan senantiasa hadir dalam kehidupan rakyat Indonesia 1-1-1
yang menganut nilai kekeluargaan. Rumusan ini terangkum dalam Pancasila. Asas inilah yang menjadi dasar negara Indonesia yang merdeka . Setelah kemerdekaan resmi diraih, babak baru sejarah negara Indonesia pun dimulai. Dalam perjalanannya selama lebih dari enam puluh tahun merdeka memori kolektif kita mengingat pergantian kekuasaan dari satu rezim ke rezim berikutnya yang terkadang disertai dengan perombakan sistem ketatanegaraan. Salah satu babak penting dalam sejarah pemerintahan kita yaitu Orde Baru (1966-1998).
“Tidak peduli siapa saja yang mengganggu stabilitas, akan saya gebuk.” Komentar Soeharto dalam keterangan pers sepulang dari Moskow, Rusia, 25 Desember 1991.
Era kepemimpinan Soeharto menandai proses regenerasi pemerintahan dari periode sebelumnya, era founding father. Secara terbuka, Presiden Soeharto menegaskan posisi pemerintahannya berada pada jalur yang konsisten dengan pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Namun, sebagaimana yang kita ketahui, Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945 seringkali justru dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Doktrinasi Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) merupakan salah satu bentuk praktis praktek tersebut. Pada masa Orde Baru tindakan seseorang/kelompok yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah tidak akan ditoleransi, bahkan kalau perlu pelaku diberi stigma negatif dan diberantas habis. Lalu, sikap kritis yang mengomentari jalannya pemerintahan ditutuptutupi. Bahkan jika dianggap membahayakan, pelakunya dapat dijebloskan ke penjara dengan tuduhan anti pembangunan. Hal yang menarik adalah praktek politik stabilitas, yang cenderung represif, yang dijalankan Soeharto berdampak negatif. Ia secara tidak sadar telah menciptakan ‘bara dalam sekam’ akan disintegrasi bangsa. Ini adalah sebuah warisan yang harus kita selesaikan.
1.1.2. Ancaman Disintegrasi Fisik Politik tangan besi dengan sisipan doktrin Pancasila termodifikasi ala Soeharto, yang berpusat di Jakarta, dengan sendirinya memunculkan tentangan dari daerah. Ketidakproporsionalan eksploitasi kekayaan sumber daya alam dan perimbangan keuangan pusat dan daerah seringkali menjadi pemicu tumbuhnya rasa ketidakadilan. Ada pemikiran yang berkembang di sejumlah daerah bahwa satu-satunya jalan yang dapat mengakhiri kemunduran ini adalah dengan mengatur sendiri daerahnya, terpisah dari kekuasaan Jakarta, yaitu dengan mendirikan negara merdeka. Upaya disintegrasi fisik dengan faktor pendorong internal tersebut ditemukan dalam Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, Organisasi Papua Merdeka, dan lain sebagainya. Pupusnya rasa satu keluarga dalam bangsa merdeka Indonesia terasa sangat menyentuh dalam bait berikut: “Saya selalu bertanya kepada Tuhan, dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari. Mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah Amungme? Freeport, ABRI, Pemerintah dan orang luar datang mengambilnya,
1-1-2
sementara kami menderita. Ditekan, dibunuh tanpa alasan. Sungguh, saya benar-benar marah pada Tuhan, mengapa Dia menempatkan segala gunung indah dan barang tambang itu di sini”. (Narkime Tuwarek, Tetua Suku Amungme, dalam “Merana Di Tengah Kelimpahan”)
1.1.3. Indonesiaku Indonesiamu: Sebuah Disintegrasi Laten Ancaman disintegrasi fisik jelas berbahaya bagi keutuhan Republik Indonesia. Terlepas dari cara penanggulangannya, yang jelas pada disintegrasi fisik ditemukan tujuan yang pasti dan terukur yaitu merdeka. Namun bagaimana dengan individu-individu yang sama sekali tidak berhasrat untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia bahkan mengakui kemerdekaan Indonesia beserta konsekuensinya sebagai warga negara tapi di dalam benak dan tindakannya berperilaku tidak merdeka? Bentuk inilah yang disebut dengan disintegrasi laten yang dalam hal ini bersifat khusus karena, pertama, tidak ditemui pada era kepemimpinan founding father, kedua, diduga berpotensi memiliki kekuatan disintegrasi yang lebih besar daripada disintegrasi fisik, dan ketiga, terjadi berulangulang (intensitas tinggi). Bukti-bukti disintegrasi laten hadir secara detil dalam kehidupan kita sehari-hari. Bukti ketidakpercayaan kepada lembaga negara dan hukum dapat kita jumpai misalnya, pada peristiwa pengeroyokan warga korban pencurian yang menolak menyerahkan tersangka pencuri kepada pihak kepolisian dengan alasan ketidakpuasan penyelesaian kasus pencurian di lembaga tersebut. Bukti ketidakpercayaan kepada sistem pendidikan adalah misalnya, ketika kita secara sadar atau dengan dorongan faktor eksternal termasuk orang tua, memutuskan untuk menempuh jalur pendidikan di luar negeri. Secara khusus, jenis ketidakpercayaan ini memiliki efek turunan tersendiri misalnya, ketidakpercayaan kita pada kompetensi dokter dan pelayanan kesehatan di Indonesia, apresiasi berlebihan tanpa disertai uji kelayakan yang ketat kepada lulusan kita yang kebetulan memperoleh ijazah dari luar negeri, atau lebih parah lagi, penghargaan berlebihan yang memihak pada ras tertentu misalnya, kaukasia. Bukti tidak dimilikinya rasa satu keluarga adalah misalnya, pada peristiwa pengrusakan fasilitas publik (pemotongan rel kereta api secara sengaja, pengrusakan jalan, jembatan, telepon umum, dan sebaginya) di daerah tertentu, kebrutalan tanpa sebab pasti dari fenomena tawuran siswa. Pada bagian lain, hal ini terefleksikan pada kecurigaan berlebihan dan perasaan tidak nyaman berada di lingkungan heterogen, yang tidak jarang berakhir pada upaya pengeksklusifan suatu ras, agama, atau kelompok dengan yang lain. Sangat mungkin upaya ini menimbulkan gesekan yang berakumulasi pada konflik sosial. 1-1-3
Bukti ketidakpercayaan pada sistem ekonomi dapat berupa misalnya, ketika seseorang lebih merasa aman berinvesasi di luar negeri atau lebih mempercayakan uangnya disimpan dalam bentuk mata uang asing. Inilah pola disintegrasi baru yang bercampur dengan darah kita. Bahkan, fakta disintegrasi laten dirasakan terlalu banyak untuk diuraikan satu persatu dalam buku ini. Begitu halusnya pola disintegrasi ini sampai kita dibuat tidak sadar bahwa, sebenarnya, kita sedang menggerogoti keutuhan negara tempat kita tinggal. Fenomena-fenomena tersebut menujukkan bahwa semangat keindonesiaan kita begitu rapuh. Kita seringkali memandang Indonesia secara individualistis, hanya dari sudut pandang suku, agama, kelompok dan kepentingan pribadi semata. Indonesiaku dan Indonesiamu belum tentu satu.
1.1.4. Tantangan ke Depan Mengapa setelah puluhan tahun merdeka kita justru semakin hari semakin menjauh? Kemana hilangnya perekat yang pernah membawa Rakyat Indonesia yang heterogen ini, pada puncak komitmennya untuk merdeka? Fenomena ini tentu saja tidak dapat kita pisahkan dengan cara pandang kita terhadap perekat itu sendiri. Atau dalam terminologi founding father kita adalah bagaimana rasa kekeluargaan dan nilai persatuan tersebut muncul? Cara pandang kita terhadap persatuan Indonesia saat ini tentu tidak dapat dipisahkan dari proses doktrinasi Soeharto, yang telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Hal ini cukup masuk akal jika kita kaitkan dengan kesadaran Soeharto bahwa sebuah negara membutuhkan dasar persatuan yang kuat untuk terus berdiri. Proses doktrinasi kemudian menjadi alat pemerintahan Orde Baru dalam mentransfer hasil terjemahan-ulang sejarah. Misalnya, Sumpah Pemuda, Proklamasi, peristiwa terbentuknya konstitusi UUD 1945, dan sejarah berdirinya bangsa ini, secara eksplisit dipandang sebagai sebuah perekat absolut. Setiap tahun kita merayakan peristiwa bersejarah lengkap dengan petuah-petuah tentang kebesaran para pejuang dan founding father dalam merebut kemerdekaan. Namun, setiap tahun pula kita merayakan seremoni tersebut dengan kaku, kering, dan lepas dari akar kesejarahan tentang mengapa hal tersebut terjadi. Satu-satunya bekal pengetahuan umum kita untuk memaknainya bersumber dari interpretasi-ulang sejarah oleh Soeharto. Akibatnya, kita tergiring untuk memikirkan bahwa nilai perjuangan keindonesiaan sudah final. Kita bersatu karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai sesama wilayah kolonialisasi. Jika hari ini kita bersatu, itu karena pendahulu kita telah bersatu sebelumnya. Pola pikir semacam inilah yang secara tidak sadar telah menjerumuskan kita pada pola berfikir individualisme barat, di mana telah disadari para founding father kita sebagai peluntur esensi keindonesiaan. Dalam konteks bangsa Indonesia yang secara alami memiliki tingkat pluralitas
1-1-4
tinggi, kebutuhan terhadap adanya perekat kebangsaan menjadi luar biasa penting. Dari deskripsi di atas jelas terlihat bahwa kemunculan disintegrasi fisik dan laten disebabkan oleh cara pandang kita yang keliru dalam memaknai kemerdekaan. Namun tentu saja, hal ini bukan sematamata akibat kesalahan interpretasi Presiden Soeharto atas sejarah kemerdekaan semata. Kita semua ikut bertanggung jawab terhadap lunturnya semangat keindonesiaan saat ini. Dengan demikian, tantangan kita saat ini adalah mencari cara pandang baru keindonesiaan. Kita, sebagai generasi penerus kemerdekaan Indonesia, memiliki kewajiban untuk menjawab tantangan tersebut. Kita tidak bisa hanya menunggu. Jawaban itu hanya akan didapatkan dengan kerja keras. ...”seperti digambarkan oleh musik tradisional, kalian selalu menunggu pemimpin yang akan membawa ke kejayaan, bukannya tiap orang yang mengatakan bahwa dialah pemimpin yang membawa kepada kejayaan itu”… (Pramoedya Ananta Toer, dalam dialog roman “Bumi Manusia”)
Untuk itu, sains adalah satu-satunya jalan. Dalam menangkap esensi kemerdekaan agar dapat disusun ke dalam sebuah perspektif yang memandang Indonesia secara lebih baik, kita membutuhkan metodologi ilmiah yang dapat mendeskripsikan masalah dan mengekstrak pengetahuan dari sistem sosial masyarakat Indonesia. Pada bagian berikutnya kita akan sama-sama belajar apa saja alat bantu yang kita butuhkan untuk menjawab permasalahan ini.
1.1.5. Teori Permainan Perspektif baru muncul dari perkembangan yang terjadi di teori permainan (game theory), yang merupakan model matematika untuk menjelaskan fenomena konflik dan kerja sama dari interaksi antar individu. Salah satu deskripsi populer teori ini adalah dilema tahanan atau prisoner’s dilemma (PD). Berikut ini adalah salah satu contoh PD. Gambar 1.1.1. Ilustrasi rencana pembangunan PLTA (pembangkit listrik tenaga air) di Desa Atas dan Desa Bawah.
Misalkan, ada sebuah sungai yang melewati dua buah desa, yaitu Desa Atas dan Desa Bawah. Desa Bawah memiliki potensi untuk dibangun 1-1-5
sebuah pembangkit listrik tenaga air. Namun, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) tersebut hanya dapat diwujudkan jika penduduk Desa Atas, yang berada di hulu sungai, tidak menghentikan aliran sungai ke Desa Bawah. Kemudian arus listrik yang diperoleh rencananya akan dijual ke Desa Atas karena kapasitasnya berlebih jika hanya digunakan oleh warga di Desa Bawah. Ilustrasi rencana pembangunan PLTA yang terjadi dapat dilihat di gambar 1.1.1. Setiap desa memiliki 2 buah pilihan yaitu bekerja sama atau koperatif (cooperate) dan tidak bekerja sama atau defektif (defect). Jika keduanya bekerja sama maka akan dicapai negosiasi yang menguntungkan kedua belah pihak. Desa Bawah memperoleh sewa air dengan harga yang murah dan Desa Atas menerima listrik dengan tarif yang wajar. Kedua desa memperoleh ganjaran (keuntungan) yang sama, misalnya kita sebut saja sama-sama 8. Jika Desa Atas koperatif dan Desa Bawah defektif maka akan tercapai hasil perundingan akan berat sebelah. Tarif air akan murah dan harga listrik akan sangat mahal. Kondisi yang terjadi sebaliknya jika Desa Atas defektif dan Desa Bawah koperatif. Pihak yang dirugikan akan memperoleh ganjaran -1 dan pihak yang diuntungkan akan memperoleh nilai 10. Jika keduanya sama-sama defektif maka pembangunan PLTA dibatalkan. Kedua desa sama-sama memperoleh ganjaran nol. Matriks keluaran dan ganjaran yang diperoleh dapat dilihat di gambar 1.1.2. Gambar 1.1.2. Matriks keluaran dan ganjaran yang diperoleh pada kasus pembangunan PLTA di Desa Atas dan Desa Bawah.
Apa yang terjadi jika setiap desa mementingkan dirinya sendiri? Dari kondisi koperatif–koperatif, Desa Atas (atau Desa Bawah) berusaha defektif, agar ganjaran yang diperolehnya meningkat dari 8 menjadi 10. Namun, desa lainnya tentu saja tidak akan tinggal diam. Sangat masuk akal bahwa ia akan berpikir: “lebih baik hancur sama-sama dari pada berada di pihak yang dirugikan karena ganjarannya akan meningkat dari -1 menjadi 0”. Dalam kasus ini, kondisi defektif-defektif akan menjadi titik penarik kondisi-kondisi lainnya (gambar 1.1.3.) Pada kasus tersebut, kondisi defektif-defektif ini disebut sebagai dengan Ekuilibrium Nash, atau sebuah pilihan dimana pemain-pemain di dalamnya (yaitu pada contoh tersebut adalah desa) tidak merubah lagi pilihannya. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, jika setiap desa mementingkan dirinya sendiri maka akan terjadi kondisi defektif-defektif atau dengan kata lain pembangunan PLTA akan dibatalkan. Dalam permainan tersebut terjadi 1-1-6
dilema. Ketika pemain-pemain di dalamnya hanya mementingkan dirinya sendiri, maka mereka tidak akan memperoleh apapun (0+0=0). Jika mereka tidak mementingkan diri sendiri dan memilih untuk bekerja sama, maka keduanya akan mendapatkan tarif listrik dan tarif air yang murah (8+8=16). Gambar 1.1.3. Arah kecenderungan sistem di kasus pembangunan PLTA di Desa Atas dan Desa Bawah.
Dari contoh di atas, kita dapat melihat bahwa jika setiap orang mementingkan sendiri maka akan terjadi kondisi defektif-defektif, yang akan merugikan keduanya. Dalam hubungan ini, kita seolah-olah dihadapkan pada dua kubu yang berseberangan yaitu sifat mementingkan sendiri dan konflik di satu sisi dan sifat baik dan kerja sama di sisi lainnya. Lalu benarkah demikian? Apakah sifat mementingkan sendiri semata-mata kontraproduktif dengan kerja sama? Mungkin seringkali kita akan dengan cepat memberikan jawaban: “Ya”. Tetapi, benarkah demikian? Dapatkah kerja sama muncul dari dua orang yang egois?
1.1.6. n-IPD Penyelesaian studi kasus di atas kita lakukan dengan mengangap hubungan antar desa berlangsung hanya satu putaran saja. Bagaimana seandainya kedua desa bermain lebih dari satu putaran? Misalnya, kedua desa telah terlibat proyek pengelolaan hutan bersama dua tahun sebelumnya, kemudian satu tahun yang lalu mereka terlibat kerja sama pengadaan sarana angkutan pedesaan, lalu proyek PLTA tahun ini, dan rencana pendirian Puskemas di perbatasan desa tahun depan. Dalam kasus hubungan yang berlangsung lebih dari satu kali ini, kita dapat menggunakan model iterated prisoner’s dilema (IPD), atau model PD yang diulang beberapa putaran. Dalam IPD, setiap pemain akan mengevaluasi ganjaran yang didapatkannya pada putaran sebelumnya. Hasil ini akan mempengaruhi keputusan agen di putaran selanjutnya. Jika pada putaran (tahun) sebelumnya Desa Atas merasa dirugikan oleh Desa Bawah karena harus membayar proyek pengadaan sarana angkutan terlalu mahal (Desa Atas koperatif dan Desa Bawah defektif) maka tentu saja hal ini akan berpengaruh terhadap pilihan tindakan mereka di proyek pembangunan PLTA. Dari sini kita dapat melihat perbedaan sifat kedua model yaitu model PD bersifat statik dan model IPD bersifat dinamik. 1-1-7
Namun pada kenyataanya, terkadang kerja sama dan konflik yang terjadi tidak hanya bersifat dinamik, tetapi juga melibatkan lebih dari satu pemain. Konflik Aceh misalnya, ia tidak hanya melibatkan GAM dan pemerintah pusat saja, tetapi juga TNI, Brimob, Pemda Aceh, Pemda Sumatera Utara, warga di Aceh Utara, Warga di Aceh Selatan, serta berbagai pihak lain yang berkepentingan. Untuk itu, model IPD dapat dikembangkan lagi menjadi 3, 4, 5, atau bahkan n pemain (n-IPD). n pemain tersebut memiliki 2 opsi, sebagaimana PD, yaitu koperatif atau defektif. Ganjaran yang diperoleh seorang pemain akan dipengaruhi jumlah pemain lain yang memilih koperatif dan jenis opsi yang dipilih pemain, sebagaimana dapat kita lihat pada gambar 1.1.4. Semakin banyak pemain yang memilih koperatif, maka ganjaran bagi setiap pemain akan meningkat. Namun secara umum, ganjaran bagi pemain yang defektif selalu lebih besar daripada pemain yang koperatif. Gambar 1.1.4. Grafik ganjaran dalam n-IPD untuk masing-masing agen.
Sekarang mari kita bayangkan misalnya di proyek pembangunan PLTA di Desa Bawah dikerjakan secara swadaya. Semakin banyak orang yang bekerja (koperatif) maka pekerjaan menjadi semakin cepat diselesaikan. Warga yang malas (defektif) akan memperoleh ganjaran yang lebih besar karena mereka akan mendapatkan listrik tanpa bekerja sama sekali. Namun, jika banyak orang yang malas jadwal pengerjaan PLTA akan molor. Dalam permainan satu putaran, pilihan rasional bagi masing-masing pemain adalah defektif. Namun, akibatnya mereka masing-masing akan memperoleh ganjaran yang lebih kecil dibandingkan jika mereka semuanya ikut bergotong-royong. Fenomena ini disebut tragedy of the common. Namun, jika permainan dijalankan dengan ditambah sifat belajar pemainpemain di level mikro maka hasilnya akan berbeda. Analisis komputasional yang dilakukan oleh Robert Axelrod menemukan bahwa strategi yang terbaik yang bisa didapatkan dalam permainan dilema tahanan yang diulang adalah tit-for-tat. Prinsip strategi ini sederhana: jika orang lain berbuat jahat kepadamu (defektif) maka balaslah dengan perbuatan jahat dan jika orang lain berbuat baik kepadamu (koperatif) maka balaslah dengan perbuatan baik juga. Jika setiap orang menggunakan strategi ini, apa yang terjadi di desa tersebut? Pak Effendi selaku warga Desa Bawah akan menyadari bahwa jika ia malas bergotongroyong hari itu maka tetangganya juga akan ikut bermalas-malasan 1-1-8
keesokan harinya. Demikian juga tetangganya. Akibatnya, seluruh warga Desa Bawah akan ikut bergotong-royong. Dari sini Axelrod menunjukkan bahwa pada dasarnya kerja sama dapat muncul dari sejumlah individu yang egois. Dari diskusi di atas, kita dapat melihat bahwa pada dasarnya kontrak sosial dapat muncul tanpa adanya kesepakatan awal. Kontrak sosial dapat membrojol akibat adanya interaksi dan proses evolusi dari kumpulan individu yang egois.
1.1.7. Evolusi Kontrak Sosial Di Indonesia Evolusi kontrak sosial di Indonesia sangat unik, jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan heterogenitas yang tinggi dalam bangsa Indonesia, mulai dari perbedaan historis-antropologis, linguistik, demografis, historis-psikologi, dan sebagainya. Persatuan dan kesatuan nasional di Indonesia penting dipandang sebagai buah dari kontrak sosial. Proklamasi, pengesahan konstitusi, pembentukan birokrasi pemerintah dan pengakuan internasional adalah sebuah momen implisit terbentuknya kontrak sosial Indonesia sebagai sebuah bangsa. Namun tentu saja, kontrak sosial akan diikuti dengan dinamika kehidupan bernegara pada masa-masa berikutnya. Disintegrasi fisik dan disintegrasi laten, yang telah kita bahas di atas, adalah bagian dari dinamika kehidupan bernegara yang harus dijawab, demi keutuhan negara Indonesia di masa mendatang. Permasalahan ini akan kita kaji dengan mengkonstruksi model dinamik evolusi kontrak sosial di Indonesia. Gambar 1.1.5. Deskripsi evolusi dinamik kontrak sosial di Indonesia: mulai dari terbentuknya kontrak sosial hingga perkembangan lanjut evolutifnya.
Berikut penjelasan model tersebut. Pada setiap waktu, sejumlah delegasi dari berbagai daerah memilih sebuah opsi. Nilai ganjaran yang diperoleh sebanding dengan banyaknya delegasi yang memiliki opsi tersebut dan beberapa faktor terkait lainya, seperti: pembagian ekonomi. Pada saat terjadi konvergensi opsi (delegasi memilih opsi yang sama) maka akan terbentuk sebuah pemerintahan bersama atau dengan kata lain terjadi kontrak sosial. Dengan adanya kontrak sosial maka akan terbentuk pemerintahan yang bertugas menjaga keutuhan kontrak sosial, salah satunya dengan melakukan pembagian ekonomi secara adil. Besar pembagian ekonomi akan mempengaruhi bobot opsi dari setiap delegasi di waktu berikutnya. Pada sebuah titik ambang tertentu, pembagian ekonomi yang dilakukan dapat menimbulkan kekecewaan bagi sejumlah 1-1-9
delegasi tertentu. Sehingga, ada peluang ia berpindah opsi. Fenomena ini dapat menimbulkan kemungkinan runtuhnya kontrak sosial. Proses dinamik yang ada kita modelkan dengan menggunakan algoritma genetika, sebagaimana telah dibahas di bagian sebelumnya. Dari sini kemudian dilakukan proses simulasi komputasional. Simulasi terhadap konstruksi algoritma genetika yang disusun di atas berupaya menggambarkan terciptanya kontrak sosial serta evolusi dinamik sesudah terbentuknya kontrak sosial tersebut. Pada percobaan pertama terdapat beberapa warna yang dipilih oleh para delegasi. Namun di sini, kita memasukkan faktor dorongan senasib sebagai wilayah jajahan Belanda pada masa itu. Secara cepat diperoleh situasi stabil evolusioner. Semua delegasi akan menyepakati kontrak sosial yang dicanangkan dalam proklamasi 17 Agustus 1945. Hal ini dapat dilihat di gambar 1.1.6. (kiri). Gambar 1.1.6. Hasil simulasi yang dilakukan. Faktor senasib sebagai jajahan Belanda pada masa itu secara cepat akan mendorong semua delegasi untuk menyepakati kontrak sosial berdirinya negara Indonesia (grafik berwarna hitam di gambar kiri). Pada percobaan kedua (kanan) pemerintah pusat tidak tanggap terhadap kericuhan, terlihat bahwa delegasi yang mendukung NKRI (hitam) kalah banyak dengan pihak separatis (biru).
Gambar 1.1.7. Pemerintah pusat menangani kericuhan sosial secara serius (kiri), akibatnya pemerintah pusat akan tetap dominan (grafik hitam lebih besar dari grafik lainnya). Dalam simulasi lainnya (kanan) ditunjukan bahwa jika pemerintah pusat tidak sigap maka perlahan-lahan akan muncul separatisme. Grafik warna hitam tidak lagi dominan dibandingkan dengan warna biru.
1-1-10
Pada percobaan ini, kita akan mencoba untuk mengambarkan bagaimana kontrak sosial tersebut berevolusi dinamik dengan memunculkan tantangan terhadap kontrak sosial yang telah ada. Di sini kita menggunakan bentuk ketidakpuasan yang terkait atas pembagian eksploitasi sumber daya alam daerah oleh birokrasi pusat, di gambar 1.1.6. (kanan) terlihat bahwa jika pemerintah pusat tidak melakukan antisipasi apapun terhadap kericuhan (social restless) yang terjadi maka kontrak sosial akan runtuh dengan cepat. Dari sini dapat kita interpretasikan bahwa jika birokrasi pusat tidak tanggap maka akan terjadi separatisme atau disintegrasi fisik.
Tentu saja hal ini tidak realistis. Pemerintah pusat pasti melakukan berbagai antisipasi dengan memberikan tambahan nilai ganjaran bagi delegasi-delegasi dari daerah yang termarjinalkan secara ekonomi. Jika pemerintah pusat melakukan antisipasi yang cukup besar maka kontrak sosial akan bertahan. Jika pemerintah pusat tidak sigap maka separatisme perlahan-lahan akan muncul. Hasil simulasi ini divisualisasikan di gambar 1.1.7.
Dari simulasi tersebut, kita ketahui bahwa upaya antisipasi pemerintah pusat terhadap keresahan sosial yang terjadi sangat penting dalam upaya mencegah separatisme. Eksperimen ini juga menunjukkan bahwa antisipasi yang dilakukan haruslah tepat. Alasan ekonomi juga harus diantisipasi secara ekonomi pula. Selain upaya antisipasi keresahan sosial, faktor lain yang juga memiliki peranan penting dalam menyusun persatuan bangsa adalah cakrawala Keindonesiaan warga negara. Pada saat kelompok masyarakat memiliki cakrawala yang sangat pendek mereka akan cenderung bersifat defektif. Sebaliknya, pada saat kelompok masyarakat memiliki cakrawala Keindonesiaan yang sangat panjang mereka akan cenderung bersifat koperatif. Hal ini dapat kita lihat di gambar 1.1.8. Gambar 1.1.8. Hasil simulasi hibrid n-IPD dan algoritma genetika pada saat cakrawala agen sama dengan 1 (atas) dan saat cakrawala agen sama dengan 8 (bawah). Terlihat bahwa semakin panjang cakrawala agen maka jumlah agen yang kooperatif akan meningkat.
Fenomena ini banyak kita jumpai sehari-hari. Misalnya, jika Anda tahu ke depan harus bekerja sama dengan teman Anda, tentu saja kita akan cenderung koperatif dengannya sekarang. Tetapi, jika kita baru saja berkenalan dengan seseorang dan kita pikir hanya akan bertemu dengannya sekali ini saja maka kita tidak ragu-ragu untuk defektif kepadanya. Hal ini juga dapat menjelaskan mengapa seorang preman lebih suka menodong orang yang tidak dikenal tapi tidak demikian halnya kepada orang yang telah lama dikenal. Salah satu penyebabnya adalah si preman tahu bahwa ia memiliki peluang yang besar untuk bertemu orang tersebut keesokan harinya.
1.1.8. Perspektif Memandang Indonesia Ke Depan Disintegrasi fisik dan disintegrasi laten adalah tantangan bangsa Indonesia ke depan. Untuk dapat menjawab tantangan tersebut generasi saat ini harus mampu menjawab sejumlah teka-teki yang ditinggalkan oleh para founding father kita. Apakah itu nilai-nilai yang dapat mencegah disintegrasi Indonesia, baik secara fisik maupun secara laten? Apakah itu 1-1-11
kontrak sosial baru bangsa Indonesia? Dari diskusi di atas telah ditunjukkan bahwa kontrak sosial berevolusi secara dinamik. Kontrak sosial dapat terbentuk dan runtuh menurut waktu. Ketidakmerataan ekonomi merupakan salah satu faktor yang dapat mengancam keutuhan kontrak sosial bangsa Indonesia. Hal ini menuntut antisipasi serius dari pemerintah pusat. Antisipasi ini harus dilakukan secara tepat, ketidakpuasan ekonomi harus diselesaikan dengan antisipasi ekonomi pula, yaitu dengan mengurangi kesenjangan pembangunan. Upaya antisipasi serius tersebut adalah salah satu solusi dalam menjawab tantangan disintegrasi fisik. Namun di sisi lain, kita juga perlu mengantisipasi ancaman disintegrasi laten. Fenomena ini terjadi secara mikro. Ada banyak individu yang secara fisik mengakui keutuhan Indonesia, namun secara sadar maupun tidak sadar ia turut merongrong kedaulatan Republik ini. Fenomena ini adalah sebuah bentuk disintegrasi yang tidak kita sadari. Hal ini tentu tidak dapat kita biarkan begitu saja. Dari diskusi n-IPD di atas kita ketahui bahwa pada dasarnya kerja sama dapat muncul dari interaksi individu-individu yang bersifat egois. Kerja sama tersebut terjadi karena warga negara, yang pada dasarnya bersifat egois, memiliki cakrawala Keindonesiaan yang sangat panjang. Selain itu, mereka harus diberikan kesadaran bahwa di kemudian hari mereka tidak dapat hidup secara terpisah dengan penduduk Indonesia di wilayah lainnya. Warga Aceh harus tahu persis bahwa mereka membutuhkan pendidikan dan sumber daya manusia profesional dari pulau Jawa, memerlukan proteksi keuangan dari Bank Indonesia, serta membutuhkan batu-bara dari Sumatera Selatan. Mereka harus tahu persis bahaya apa yang mengancam jika merdeka, mulai dari ancaman perpecahan di dalam warga Aceh sendiri, korupsi birokrasi, cengkraman perusahaan multinasional, serta upaya eksplorasi dari negara tetangga. Demikian juga dengan warga di Pulau Jawa. Mereka juga harus menyadari bahwa aktivitas ekonomi yang ada di Pulau Jawa saat ini, tidak dapat kita pisahkan dengan kontribusi daerah-daerah lainnya. Warga Aceh, Maluku, Papua, Jawa dan wilayah-wilayah lainnya harus sadar bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain, dalam menghadapi tantangan perjuangan yang ada di depan. Dengan kata lain, paham kebangsaan yang hanya disandarkan pada romantika sejarah semata, harus kita tinggalkan. Dalam menghadapi tantangan globalisasi ke depan, Bangsa Indonesia harus mengkonstruksi sebuah Wawasan Nusantara baru yaitu sebuah perspektif kebangsaan yang tidak hanya menoleh ke belakang, melainkan sebuah paradigma yang melihat ke depan. Sejarah berdirinya bangsa ini hanyalah sebuah wahana refleksi, bukan satu-satunya sumber pemersatu, apalagi dijadikan 1-1-12
materi praktek doktrinasi. Wawasan Nusantara baru tersebut haruslah mampu memberikan kesadaran bahwa semua elemen bangsa ini saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Kesadaran tersebut perlu kita tumbuhkan bersama-sama, guna mewujudkan citacita kemerdekaan sebagai sebuah jembatan emas menuju rakyat Indonesia yang adil, makmur dan sejahtera. “Kemerdekaan Indonesia adalah jembatan emas di mana di ujungnya kita sempurnakan tatanan kehidupan rakyat Indonesia.” (pidato Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI, 1 Juni 1945)
Rujukan: Situngkir, Hokky dan Hariadi, Yun. (2003). “Evolusi Kontrak Sosial di Indonesia : Catatan Awal”. Working Paper WPJ2003. Bandung Fe Institute. Situngkir, Hokky dan Hariadi, Yun. (2003). “Dinamika Evolusioner Kontrak Sosial di Indonesia”. Working Paper WPK2003. Bandung Fe Institute.
1-1-13
1.2. Demokrasi dan Sistem Kendali Dinamis Kemerdekaan adalah jembatan emas menuju kesempurnaan tatanan kehidupan rakyat Indonesia. Enam puluh dua tahun sudah kita merdeka. Namun, upaya mencari kesempurnaan tatanan kenegaraan harus terus kita perjuangkan guna mewujudkan masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Intelektual dan cendekiawan di seluruh nusantara tak hentihentinya membicarakan hal ini. Sepanjang tahun 2007 isu amademen konstitusi kembali menghangat ke permukaan. Salah satunya adalah tarik menarik kepentingan antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah mengenai perubahan pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945. Amandemen konstitusi merupakan salah satu topik terhangat dalam dunia perpolitikan, mulai dari zaman Montesquieu, era founding father, hingga masa kini. Adakah perangkat analisis baru yang mampu berbicara di tengah problematika tersebut? Di bagian ini, penulis menawarkan solusi menggunakan metode kendali dinamis.
1-2-1
Respon sistem pemerintahan secara umum untuk koefisien legislatif yang berubah-ubah. Nilai α yang membesar menunjukkan semakin "cepat"-nya pengerjaan pembuatan produk legislasi, yang memaksa sistem pemerintahan untuk bekerja lebih efektif. Nilai α yang kecil pada model sistem pemerintahan memberi respon keluaran sistem yang sangat-teredam.
Respon sistem pemerintahan secara umum untuk koefisien eksekutif yang berubah-ubah. Respon ketika α = γ = 1 dan nilai β divariasikan. Semakin besar nilai β menunjukkan semakin tingginya akselerasi eksekusi penerapan produk eksekutif yang membuat sistem secara efektif sangat teredam.
Respon sistem pemerintahan secara umum untuk koefisien yudikatif yang berubah-ubah. Respon ketika nilai γ, yaitu fungsi umpan balik arbitrasi sistem, berubahubah. Semakin kuat subsistem ini, maka sistem akan semakin teredam secara global. Sistem pemerintahan dan keadilan dalam negara sangat b e r g a n t u n g ke p a d a ko e f i s i e n kekuasaan yudikatif. Hal ini sesuai dengan anasir ilmu politik kualitatif bahwa kekuasaan yudikatif (Mahkamah Agung) merupakan pintu terakhir sistem pemerintahan negara.
Model ini menunjukkan pentingnya “pemisahan kekuasaan” dari satu subsistem dengan subsistem kekuasaan lain untuk mencapai check and balance sehingga sistem berjalan sebagaimana mestinya. Model ini juga secara jelas menunjukkan betapa sentralnya posisi hukum dan aturan main dalam sistem ketatanegaraan. Aturan main merupakan perangkat perundangan yang mendorong sustainabilitas dari sistem. Ketimpangan akan salah satu subsistem memberikan ancaman peluang munculnya kekuasaan despotik yang membahayakan model sistem secara global sebagai representasi dari kekuasaan dan kedaulatan masyarakat secara luas. Rujukan: Situngkir, Hokky. (2003). “Powers of the Governmental State as Feedback Control Dynamic System”. Journal of Social Complexity 1(1). Situngkir, Hokky. (2003). “Memandang Pemerintahan Sebagai Sebuah Sistem Kompleks Yang Dinamis”. Buletin BFI Paruh Pertama 2003. Situngkir, Hokky. (2003). "Moneyscape: A Generic Agent-Based Model of Corruption". Working Paper WPC2003. Bandung Fe Institute.
1-2-4
1.3. Demokrasi ala Indonesia Dalam diskusi politik, wacana tentang “rasionalitas” merupakan sebuah konsep yang sangat sering didengung-dengungkan. Apakah pemilih di Indonesia merupakan pemilih yang tidak rasional? Ini merupakan pertanyaan yang seringkali menggelitik sekaligus menunjukkan keunikan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia dalam berdemokrasi.
1.3.1. Pemilu dan Fenomena Kritis Cara Indonesia berdemokrasi bagaimanapun berbeda dengan cara orang di negara lain di dunia dalam berdemokrasi. Keunikan demokrasi ala Indonesia bersumber pada kompleksitas sistem sosial, budaya, dan cara hidup ekonomi masyarakat Indonesia yang tentunya sangat berbeda dengan masyarakat lain, bahkan di tempat di mana konsep-konsep dasar demokrasi dilahirkan. Sebuah mekanisme yang paling penting dalam konsep demokrasi adalah pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan sebuah pesta demokrasi, sebuah perayaan kolosal atas sebuah konsep bagaimana individu sebagai entitas masyarakat menunjukkan jati diri dan kepentingannya dalam kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Pada masa pemungutan suara dalam pemilihan umum rakyat Indonesia berbondong-bondong ke tempat pemungutan suara untuk menentukan masa depan negeri. Reformasi dan kejatuhan rezim Soeharto pada tahun 1998 telah membawa sebuah angin segar dalam proses demokratisasi di nusantara. Salah satu dari sekian banyak perbaikan kehidupan demokrasi ini adalah bahwa pemilu 2004 merupakan pemilu langsung: tiap orang mencoblos tak hanya logo partai, tapi juga orang-orang yang akan duduk di kursi legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah) serta kursi eksekutif (kursi presiden dan wakil presiden). Dari sudut pandang kompleksitas sosial, timbul pertanyaan, informasi apa yang bisa kita ekstrak dengan susunan perolehan suara yang ada? Angka-angka perolehan suara tiap partai dan tiap calon anggota DPD tentu menyimpan makna yang menarik untuk dibedah. Di luar analisis statistika yang berkembang saat ini, fisika menyimpan metode mekanika statistik yang menyimpan cara yang menarik untuk menganalisis datadata perolehan suara; suatu metode yang sudah biasa digunakan dalam ekonofisika. Semua data memiliki sifat distribusi. Distribusi yang paling terkenal adalah distribusi Gaussian, sebuah distribusi statistika yang mengandung informasi akan rata-rata dan standar deviasi data. Semua data yang ada di alam semesta cenderung untuk bersesuaian dengan distribusi Gaussian.
1-3-1
Persamaan distribusi hukum pangkat
Distribusi power-law (distribusi hukum pangkat) adalah sebuah distribusi non-Gaussian yang dinyatakan dalam persamaan pangkat sederhana dengan α sebagai nilai konstanta tertentu. Jika sebuah kumpulan data memiliki distribusi power-law, maka dapat dikatakan bahwa data tersebut tidak sensitif terhadap parameter rata-rata, atau standar deviasi. Apa maksudnya? Berbicara soal distribusi maka kita berbicara soal nilai pangkat dari persamaan sederhana tersebut, tidak lagi pada nilai ratarata dan standar deviasi dari data tersebut. Lebih jauh, susunan data tak sensitif terhadap sebesar apa data tersebut menyebar dalam populasi, ada kumpulan data yang kerapatannya sangat besar dan ada yang sangat kecil, tak bergantung parameter yang tadinya kita anggap penting jika semua populasi tersebar merata. Dengan kata lain, terdapat kesenjangan yang sangat besar dalam populasi. Dari beberapa bagian terdahulu dari buku ini, kita telah mengenal sifat menarik ini. Sifat distribusi power-law ditemukan dalam bidang fisika yang dikenal dengan transisi fasa. Dalam eksperimen fisika, air yang ada pada suhu 374 derajat Celsius dan tekanan tinggi akan berada pada transisi fasa antara cair dan gas. Pada kondisi ini suhu yang berubah sedikit saja akan menjadikan molekul-molekul air mengatur dirinya sendiri (self-organization) dengan mengubah struktur molekul, massa jenis, kompresibilitas, dan viskositas secara drastis. Pada titik ini, air dikatakan pada kondisi transisi fasa dan persamaan matematis yang menerangkan semua hal ini menunjukkan bagaimana variabelvariabelnya mengikuti power-law. Dalam perkembangan fisika, hal ini ditunjukkan oleh fisikawan kenamaan, Per Bak, bagaimana sifat powerlaw pada data statistika menunjukkan sifat pengaturan diri pada kondisi kritikal (self-organized criticality) oleh elemen-elemen penyusunnya. Dalam ilmu-ilmu kontemporer, hal ini dikenal sebagai sistem kompleks, yaitu sistem yang elemen penyusunnya membrojolkan (emerging) karakter-karakter seperti halnya transisi fasa dan sifat power-law tersebut. Menakjubkan, karena hal serupa kita temui pada distribusi data-data hasil pemilu 2004 dan 1999. Kemungkinan sebuah kontestan pemilu untuk memperoleh sejumlah suara sama dengan satu per pangkat tertentu dari jumlah suara tersebut, di mana pangkatnya mendekati satu. Hal ini sebagaimana diperlihatkan pada gambar, data ternormalisasi per propinsi dari perolehan suara tiap partai politik menunjukkan karakter power-law dengan angka pangkat yang mendekati satu, yaitu 1.632 untuk tahun 1999 dan 1.41 untuk tahun 2004. Semakin pangkat power-law-nya mendekati satu maka semakin kentara kondisi kritikalnya. Secara intuitif, dapat dikatakan bahwa memang pemilu merupakan sebuah ajang kritikal di mana masyarakat menentukan hendak kemana negara kita dalam lima tahun ke depan. Namun hal yang menarik lagi, adalah bahwa distribusi hasil perolehan suara partai politik yang ada ternyata memiliki karakter power-law yang mirip satu sama lain untuk pemilu 1999 dan 2004. Hal ini tentu
1-3-2
Gambar 1.3.1. Sifat power-law dalam hasil pemilihan Dewan Perwakilan Daerah 2004.
Gambar 1.3.2. Sifat power-law dalam hasil pemilu 1999 (kiri) dan pemilu 2004 (kanan).
menunjukkan setidaknya dua hal dalam diskusi tentang sistem politik yang kompleks, yaitu pertama, terdapat pola yang sama dan hampir persisten dari kedua distribusi tersebut yang menunjukkan bahwa animo dan pandangan interpretatif masyarakat terhadap keberadaan partai politik tersebut sama untuk tahun 1999 dan 2004. Hal ini sebenarnya cukup memberikan tanda tanya karena terjadi perubahan yang sangat besar dalam aturan pemilu 2004 relatif terhadap 1999, dengan bentuk pemilihan langsung– langsung memilih calon wakil rakyatnya. Ikhwal distributif yang dekat ini dapat diartikan samanya pemahaman rakyat akan pemilu yang tidak langsung dan langsung, sebagaimana dipahami bahwa sifat kritikal yang ditunjukkan oleh power-law tidak bergantung pada dimensi waktu atau jarak (scale-invariant), karena tidak sensitifnya ia pada besaran rata-rata dan standar deviasi. Kedua, distribusi pemilu tersebut telah menunjukkan bahwa memang kedua pemilu tersebut memberikan kondisi yang kritikal bagi masyarakat untuk menentukan pilihan politik. Dengan kata lain, secara makro dapat dikatakan bahwa pemilu 1999 dan 2004 memang cukup demokratis. Jadi, meskipun pemahaman rakyat atas partai politik yang dipilihnya dalam pemilu tidak terlihat begitu jauh berbeda, namun sifat power-law pada kedua pemilihan tersebut telah menunjukkan bahwa keduanya memiliki sifat kritikal dalam pemilu, sebuah hal penting dalam pesta demokrasi. Sifat kritikal ini justru kelihatan lebih kental pada analisis yang sama untuk perolehan suara calon anggota DPD. Pada gambar ditunjukkan bahwa sifat power-law pada distribusi perolehan suara calon anggota DPD fit dengan nilai satu. Sebuah pola pengaturan diri pada kondisi kritikal yang menunjukkan sifat demokratisnya. Pendekatan yang ditampilkan oleh mekanika statistik ini tentu sangat menarik karena kita tidak melihat siapa dan partai apa yang memenangkan pemilu untuk memberikan justifikasi seberapa 1-3-3
demokratis sebuah pemilihan yang melibatkan banyak kandidat atau kontestan. Itu sebabnya kita tidak bisa menggunakan analisis yang persis sama untuk pemilihan pada masa Orde Baru yang hanya melibatkan tiga partai politik. Suatu pelajaran yang penting yang dapat kita tarik adalah bahwa pemilu 1999 dan 2004 telah dapat dikatakan demokratis dalam pengertian memang memberikan kondisi kritikal bagi pemilih, meski perlu diingat juga dan menjadi tugas seluruh masyarakat untuk menjaga sistem demokrasi ini agar senantiasa tetap berevolusi dalam pengaturan diri sendiri menuju titik-titik kritikalnya (self-organized criticality).
1.3.2. Partai Politik Di Indonesia Salah satu problem dalam ilmu sosial, termasuk studi politik, adalah bagaimana cara mengekstrak sejumlah data agar didapatkan taksonomi hirarkis dari data-data tersebut. Di sini fisika menawarkan penggunaan konsep korelasi dan jarak ultrametrik.
Konsep Dasar Ultrametrik
DATA Korelasi dua buah data ditranformasi menjadi jarak di ruang Euclidean. Ruang Euclidean tersebut kemudian diekstrak menjadi ruang ultrametrik, yaitu ruang dimana seluruh jarak di dalamnya adalah ultrametrik. Ruang baru tersebut dibuat menggunakan Minimum Spanning Tree (MST). MST adalah sebuah pohon dengan jumlah jarak antar node minimum.
Korelasi Data
Jarak Ruang Euclidean
MST (Ruang Ultrametrik)
HASIL 1-3-4
Properti Ruang Euclidean
Properti (Tambahan) Ruang Ultrametrik
Struktur MST Pemilu 1999
Jika perolehan suara tiap partai politik di tiap kabupaten di Indonesia kita kalkulasi korelasi silangnya, maka dengan transformasi jarak kita dapat memvisualisasikan kedekatan profil pemilih satu partai relatif dengan partai lain per wilayah kabupaten.
Dua partai yang terhubung pada MST menunjukan bahwa keduanya cenderung bersaing atau memiliki segmentasi pemilih yang hampir sama.
Struktur MST Pemilu 2004
Sebaran jarak Euclidean antara partai politik 1999 dan 2004.
Dari struktur MST di atas terlihat adanya pengelompokan partai berdasarkan platform yang sama, misalnya partai berbasis agama, atau kubu nasionalis, baik pada Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004.
Studi antropologi politik, yang dilakukan oleh Clifford Geertz dan Herbert Feith, membagi beberapa kategorisasi ideologi utama yang berpartisipasi dalam jagad perpolitikan nasional. Kategori tersebut antara lain: nasionalis, Islam modernis, kekuatan tradisional dan kelompok lainnya (yang tidak dapat dikelompokan dalam tiga kategori sebelumnya). Pada sub bab ini, berbekal metode ultrametrik, kita mengelompokan partai politik yang bertarung dalam Pemilu 1999 dan 2004 berdasarkan empat kategori tersebut.
PPP PAN PBB PCD KAMI PID PPII MASYUMI MASYUMI BARU PUMI PP PUI PIB PSI-1905 PSII PK PAY PNI-MM PNI SUKARNOIS PNI-FM PKP PND IPKI PDIP P. MURBA PDI
PEMILU 1999 ISLAM MODERNIS
LAINNYA
INDONESIA NASIONALIS
KEKUATAN TRADISIONAL
GOLKAR PRD PUDI KRISNA PPI PARI PDR P. MKGR PNBI PNBI PKD SPSI PILAR PDKB PBN P. REPUBLIK PKM PSP PKB PPNU SUNI INDONESIA PKU
P. PELOPOR PNI-MARHAEN PNBK PDIP
PPP PAN PBB PBR PKS SUKARNOIS PKPB PPDI PKPI
PEMILU 2004
ISLAM MODERNIS
LAINNYA
INDONESIA NASIONALIS
KEKUATAN TRADISIONAL
GOLKAR PD PBI PPIB P. MERDEKA PBSD PDS PPDK PSI PPD
PKB PPNU
Rasionalitas Politik di Indonesia bersandar pada “arus” politik di mana ia hidup dalam sistem sosial. Perhatikan satu partai besar mendominasi aliran politik yang ada, kecuali di aliran Islam Modernis.
1.3.3. Demokrasi Indonesia Di Tepian Chaos Apakah pemilih Indonesia tidak rasional dalam memilih? Manakah yang lebih demokratis, Pemilu 1999 atau Pemilu 2004? Untuk menjawab pertanyaan tersebut dibangunlah sebuah model simulasi komputasional menggunakan otomata selular.
Jenis-jenis pertetanggaan yang digunakan dalam proses simulasi, berturut-turut dari kiri ke kanan: Von Neumann, Moore, extended Moore (4-added), extended Moore (12-added) . State sebuah sel tertentu (warna merah) di-update berdasarkan state sel-sel di sekitarnya (warna kuning). Model ini digunakan karena karakteristik pemilih di Indonesia yang sangat dipengaruhi pilihan orang-orang yang ada di sekitarnya. Agen-agen pemilih dimodelkan dalam sebuah dunia politik virtual yang berbentuk torus untuk menjamin konsistensi model sistem pertetanggaan agen.
Selanjutnya dilakukan simulasi menggunakan perangkat komputasi.
1-3-8
Kondisi inisial simulasi di mana data berdistribusi seragam (uniform) menjadi input yang mensimulasikan sistem politik dengan 20 buah partai. Dari gambar ini terlihat adanya pengelompokan pilihan partai politik agen. Agen-agen yang bertetangga cenderung memilih partai politik yang sama.
Ranking partai politik dari masing-masing ronde setelah 200 iterasi simulasi di sebuah dunia artifisial yang terdiri atas 10.000 agen (100x100). Hasil s i m u l a s i ya n g d i p e ro l e h ternyata berkesesuaian dengan karakteristik data empiris perolehan suara partai politik di Indonesia pada Pemilu 1999 dan 2004.
Situasi politik berdasarkan ranking partai, saat totaliterian (garis putus-putus) dan kondisi anarki (garis solid). Terlihat bahwa pada dasarnya demokrasi adalah sebuah rezim diantara kondisi order (totalitarian) dan disorder (kondisi anarki), atau wilayah di tepi chaos.
Selanjutnya, dicari jenis pertetanggaan yang paling sesuai dengan karakteristik data empiris.
Pemilu 1955
Pemilu 1999
Pemilu 1955 fit dengan pertetanggaan von Neumann dan Moore. Pemilu 1999 fit dengan pertetanggaan extended Moore. Pemilu 2004 dengan pertetanggaan 2-agen (jumlah tetangga dalam pertetanggaan von Neumann dikurangi 2 buah). Semakin kecil pertetanggaan artinya tekanan lingkungan terhadap pemilih semakin kecil, atau dengan kata lain Pemilu makin demokratis. Dari sini terlihat bahwa Pemilu 1955 lebih demokratis dari Pemilu 1999. Sementara itu, Pemilu 2004 lebih demokratis dari Pemilu 1955.
Pemilu 2004
Apakah pemilih Indonesia tidak rasional dalam memilih? Rasionalitas seorang pemilih tak mungkin bisa diseragamkan dalam pilihanpilihannya yang terkorespondensi langsung dengan persepsi politiknya atas sejumlah latar belakang tertentu. Rasionalitas politik adalah bentuk konstruksi sosial yang membrojol. Hal inilah yang disebut sebagai rasionalitas terbatas. Seorang individu dalam sistem sosial memilih secara rasional namun sebatas pada apa yang ia lihat, rasakan, dalam lingkungan sosialnya yang terbatas. Inilah demokrasi ala Indonesia.
Rujukan: Situngkir, Hokky dan Surya, Yohanes. (2004). “Power-Law Signature in Indonesian Legislative Election 1999-2004”. Working Paper WPK2004. Bandung Fe Institute. Situngkir, Hokky dan Surya, Yohanes. (2004). “The Political Robustness in Indonesia”. Working Paper WPM2004. Bandung Fe Institute. Situngkir, Hokky dan Surya, Yohanes. (2004). “Democracy: Order Out of Chaos”. Working Paper WPQ2004. Bandung Fe Institute.
1-3-9
1.4. Representasi Politik di Indonesia 1.4.1. Keterwakilan Masyarakat di DPR Masyarakat kita sungguh berbeda-beda elemen penyusunnya, mulai dari agama, suku, golongan, pemikiran, dan aspirasi politik. Tetapi, aspirasi politik justru seringkali berbicara hanya di seputar statistik dan angkaangka. Bagaimanakah keterwakilan masyarakat Indonesia di lembaga perwakilannya, yakni DPR?
1-4-1
Peta di bawah menunjukkan keterwakilan relatif masyarakat Indonesia dari berbagai wilayah yang duduk di DPR, sebagai hasil pemilihan umum 2004 lalu. Terlihat proporsionalitas antara beberapa daerah dengan jumlah penduduk. Namun, Kalimantan, sebagai salah satu pulau terbesar di dunia, menjadi terlihat "langsing". Kondisi ini terjadi karena penduduknya sedikit, meski selalu diupayakan ada distribusi populasi antara daerah di Pulau Jawa dan luar jawa. Ada segudang perdebatan mengenai persoalan tersebut. Kartogram tentu bukan untuk menjawab perdebatan tersebut.
1-4-2
1.4.2. Perolehan Suara Partai di Pemilu 2004 NAD
NAD
SULUT
SUMUT
KEPRI
SUMUT
SULUT
RIAU
GORONTALO
KALTIM
SUMBAR
BABEL
JAMBI
KALBAR
MALUT
SULTENG
KALTENG
MALUKU
DKI
PAPUA
KALSEL SULSEL
DKI BANTEN
JATIM BALI
SULTRA
DIY JATIM BALI
NTT
DIY
MALUKU
JATENG
JABAR
JABAR
PAPUA
LAMPUNG
JATENG
BANTEN
NTB
NTT
NTB
NAD
NAD
SUMUT RIAU SUMBAR JAMBI
SUMUT
KEPRI SULUT
KALBAR
KALTIM
GORONTALO
BABEL
SUMBAR
BABEL
JAMBI
MALUKU
KALSEL
LAMPUNG
MALUT
SULSEL
JATENG
JATIM
DIY
PAPUA
BALI
NTT
NTT
NTB
NTB
NAD
MALUKU
JATENG
JABAR
JATIM BALI
SULTRA
DKI
PAPUA BANTEN
DIY
GORONTALO
KALTENG
BENGKULU
SULTRA
DKI
JABAR
KALTIM
SUMSEL
SULSEL
LAMPUNG
BANTEN
KALBAR
SULTENG
KALSEL
SUMSEL
SULUT
KEPRI
RIAU MALUT
SULTENG
KALTENG
BENGKULU
NAD
SUMUT
KEPRI
SUMBAR
BANTEN
JABAR
BABEL
JAMBI
KALTENG
KALSEL
SULSEL SULTRA
BENGKULU
SULTRA
DKI
MALUKU
LAMPUNG
PAPUA
JATENG
JATIM
JABAR
JATIM BALI
DIY
NTT
NAD
PAPUA
JATENG
BALI
NTB
MALUKU
DKI
BANTEN
DIY
MALUT
SULTENG
SUMSEL
SULSEL
LAMPUNG
KALTIM
RIAU
KALSEL
BENGKULU
GORONTALO
KALBAR MALUT
SULTENG
KALTENG
SUMSEL
SULUT
KEPRI
GORONTALO
KALTIM
BABEL
SUMUT
SULUT
KALBAR
RIAU
SUMBARJAMBI
NTT
NTB
NAD
SUMUT
KEPRI
KALBAR
GORONTALO
SUMBAR
SULTENG
BABEL
KALTENG
BENGKULU
KALSEL
LAMPUNG
BANTEN
JAMBI
KALSEL
SULSEL
SULTRA
BALI
DIY
PAPUA
NTT
NTB
NAD
MALUKU
JABAR JATENG JATIM BALI
NTT
NTB
SULTRA
LAMPUNG DKI
PAPUA
BANTEN
JATIM DIY
MALUT
SULTENG
KALTENG
BENGKULU
SULSEL
JATENG
JABAR
SULUT GORONTALO
KALTIM
KALBAR BABEL
SUMSEL MALUKU
DKI
KEPRI
RIAU
MALUT
KALTIM
SUMSEL
SUMUT
SULUT
SUMBARJAMBIRIAU
NAD
SUMUT
KEPRI
RIAU
GORONTALO
KALTIM
BABEL KALTENG
SUMSEL
SUMUT
SULUT
KALBAR
SUMBAR JAMBI
SUMBAR
SULTENG
MALUKU
DKI JATENG
MALUT
BABEL
JAMBI
KALTENG
KALSEL
SULSEL
LAMPUNG
PAPUA
JABAR
JATIM BALI
NTT
NTB
MALUKU
PAPUA
JATENG
BANTEN
DIY
SULTRA
DKI
BANTEN
JABAR
KALTIM SULTENG
BENGKULU
SULTRA
GORONTALO
KALBAR
SUMSEL
SULSEL
LAMPUNG
SULUT
KEPRI
RIAU
MALUT
KALSEL
BENGKULU
JATIM
BALI
NTT
NTB
DIY
NAD
NAD
SUMUT
KEPRI
SUMBAR
BABEL
KALTIM
JAMBI
GORONTALO
SUMBAR
DKI
BANTEN
JABAR JATENG DIY
JATIM BALI NTB
KALSEL
SULSEL
BENGKULU
SULTRA
LAMPUNG
MALUKU
PAPUA
LAMPUNG
SULTRA
DKI
BANTEN
NTT
MALUT
SULTENG
KALTENG
SUMSEL
SULSEL
BENGKULU
GORONTALO
KALTIM
BABEL
JAMBI
KALSEL
SUMSEL
SULUT
KALBAR
RIAU
MALUT
SULTENG
KALTENG
KEPRI
SUMUT
SULUT
KALBAR
RIAU
1-4-3
MALUT
SULTENG
KALTENG
BENGKULU
SULTRA
LAMPUNG
GORONTALO
KALBAR
BABEL
JAMBI SUMSEL
SULSEL
BENGKULU
KALTIM
RIAU SUMBAR
KALSEL
SUMSEL
KEPRI
JATENG
JABAR
JATIM DIY
BALI
NTT
NTB
MALUKU
PAPUA
Dari gambar-gambar ini, terlihat adanya pengelompokan perolehan suara, misalnya PKB di Jawa Timur, PKS di Jawa Barat, dan seterusnya. NAD
NAD SUMUT
KEPRI
KALBAR
RIAU SUMBAR JAMBI SUMSEL
SUMUT
SULUT MALUT
BABEL
SULTENG
KALTENG
KALSEL
SULSEL SULTRA
MALUKU
DKI
BANTEN
SULSEL
LAMPUNG
SULTRA MALUKU
DKI
NTT
PAPUA
JATENG
JABAR
JATIM NTB
MALUT
SULTENG
KALSEL
BANTEN BALI
GORONTALO
KALTIM KALTENG
PAPUA
JATENG
JABAR
SULUT
KALBAR BABEL
BENGKULU
BENGKULU
LAMPUNG
KEPRI
RIAU SUMBAR JAMBI SUMSEL
GORONTALO
KALTIM
JATIM BALI
DIY
DIY
NTT
NTB
NAD
NAD SUMUT
KALTIM
KALBAR
KEPRI
SUMUT
SULUT
KEPRI
KALBAR
GORONTALO
RIAU SUMBAR
MALUT
KALSEL
SUMSEL
BENGKULU
JATENG
JABAR
KALSEL
SULSEL
LAMPUNG
PAPUA
SULTRA
MALUKU
PAPUA
JATENG
JATIMBALI
JABAR
NTT
BALI NTB
SULTRA
DKI
BANTEN
JATIM
MALUT
SULTENG
KALTENG
BENGKULU MALUKU
DKI
KALTIM
JAMBI
SUMSEL
SULSEL
BANTEN
GORONTALO
BABEL
SUMBAR
SULTENG
LAMPUNG
SULUT
RIAU
KALTENG BABEL
JAMBI
NTT
NTB
DIY
DIY
NAD
NAD
SUMUT RIAU SUMBAR
SUMUT
KEPRI
MALUT
KALSEL
KALSEL
SULSEL
LAMPUNG
SULSEL SULTRA
MALUKU
DKI
SULTRA
DKI
PAPUA
JABAR
JATIM BALI
DIY
JATIM
BALI
PAPUA
NTT
NTB
NTT
NTB
MALUKU
JATENG
BANTEN
JATENG
JABAR
SULTENG
BENGKULU
LAMPUNG
BANTEN
MALUT
KALTENG
JAMBI
SUMSEL
KALTENG
SUMSEL
SULUT GORONTALO
KALTIM BABEL
SUMBAR
SULTENG
BABEL
KALBAR
KEPRI
RIAU
GORONTALO
KALTIM
JAMBI
BENGKULU
SULUT
KALBAR
DIY
NAD
NAD
SUMUT
SUMUT
KEPRI
KALBAR
RIAU SUMBAR
GORONTALO
KALTIM BABEL
SUMSEL
MALUKU
SULTRA
DKI
KALBAR
GORONTALO
KALTIM
MALUT
SULTENG
KALTENG
KALSEL
SUMSEL
SULSEL LAMPUNG
PAPUA
JATENG
DKI
SULTRA
MALUKU
PAPUA
BANTEN
JATIM BALI
JABAR
BABEL
JAMBI
BENGKULU
SULSEL
LAMPUNG
BANTEN
SUMBAR
KALSEL
BENGKULU
SULUT
KEPRI
RIAU
MALUT
SULTENG
KALTENG
JAMBI
SULUT
JABAR
NTB
DIY
JATENG
JATIM
NTT
BALI
NTB
NTT
DIY
NAD
NAD
SUMUT
SUMUT
KEPRI
KALBAR GORONTALO
RIAU SUMBAR
BENGKULU
KALTIM
KALTENG
BABEL
JAMBI
KALSEL
SUMSEL
SUMBAR
BENGKULU
MALUKU
KALTENG
KALSEL
SULTRA
DKI
BALI
NTT
NTB
NAD
PAPUA
JATIM DIY
NTT
NTB
MALUKU
JATENG
JABAR BALI
SULSEL
LAMPUNG
BANTEN
JATIM
MALUT
SULTENG
BABEL
PAPUA
DIY
GORONTALO
KALTIM
JAMBI
JATENG
JABAR
KALBAR
SUMSEL
SULSEL SULTRA
DKI
SULUT
KEPRI
RIAU
MALUT
SULTENG
LAMPUNG
BANTEN
SULUT
NAD
SUMUT
KALBAR
KEPRI
RIAU SUMBAR
SUMUT
SULUT MALUT
KALTIM
KALSEL
LAMPUNG
DKI
MALUKU
PAPUA
BALI
KALTENG
KALSEL
SULSEL
NTB
NTT
SULTRA
MALUKU
PAPUA
DKI
JABAR
JATIM
MALUT
SULTENG
LAMPUNG BANTEN
JATENG DIY
GORONTALO
KALTIM
BENGKULU
SULSEL SULTRA
JABAR
SULUT
KALBAR
BABEL
SUMSEL
KALTENG
SUMSEL BENGKULU
BANTEN
KEPRI
RIAU JAMBI
SULTENG
BABEL
JAMBI
SUMBAR
GORONTALO
JATENG
JATIM
BALI
DIY
NTB
NTT
1-4-4
1.4.3. Kartogram Perolehan Suara Dua Partai Besar Hasil Pemilu 2004
Inilah dua partai terbesar pada Pemilu tahun 2004 lalu. Dari visualisasi ini, terlihat partai mana, dari keduanya, yang lebih dipilih masyarakat. Luas area pada kartogram kita menunjukkan bahwa semakin luas daerah tersebut maka semakin besar populasinya. Sementara itu, warnanya merujuk pada dominasi partai tertentu. Wilayah-wilayah pemilihan di Pulau Jawa jelas menjadi kunci utama. Namun, tentunya masih banyak hal lain yang perlu dicermati dalam m e m e n a n g ka n p e m i l i h a n umum, khususnya di negara yang unik seperti Indonesia.
NAD
SUMUT
KEPRI
KALBAR
RIAU SUMBAR
BABEL JAMBI
SUMSEL BENGKULU
LAMPUNG
DKI BANTEN
JABAR
JATENG DIY
Rujukan: Situngkir, Hokky. (2007). “Peluang Untuk Studi Katografi Politik Indonesia, Representasi Spasial Sistem Sosial Kompleks”. Working Paper WPP2007. Bandung Fe Institute.
1-4-5
KALTIM
GORONTALO
SULUT
KALTENG
KALSEL
MALUT
SULTENG
SULSEL SULTRA
JATIMBALI
NTB
MALUKU
PAPUA
NTT
1-4-6
Kartografi merupakan studi pembuatan peta, yang secara historis adalah upaya menggambarkan wajah geografis muka bumi. Saat ini, peta sudah tak hanya digunakan untuk keperluan navigasi atau tujuantujuan penelaahan geoposisi semata. Peta telah digunakan untuk berbagai keperluan yang salah satunya adalah untuk merepresentasikan data secara visual bahkan dapat pula berguna untuk upaya mencari informasi dan pola spasial.
Mengapa Perlu Kartogram? Data yang banyak, rumit dan saling terhubung satu sama lain seringkali menimbulkan kebingungan dan kesulitan dalam proses analisisnya. Khususnya data yang terkait dengan ruang spasial seperti peta. Untuk itu diperlukan upaya tranformasi data menjadi sebuah representasi sederhana agar dapat dipahami oleh banyak kalangan secara luas. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah teknik kartografi.
Prinsip Dasar Kartogram Kartogram dapat dibangun dengan menggunakan beberapa konsep sederhana fisika elementer tentang difusi gas. Bayangkan Wisnu sedang meniup sebuah balon jingga yang ditempelkan sebuah plaster merah di atasnya. Dengan meminjam konsep difusi gas kita akan dapat mengetahui posisi plaster merah tersebut setelah Wisnu meniupkan 3 liter udara.
Sebuah balon merepresentasikan sebuah wilayah spasial tertentu, misalnya balon ungu sebagai Riau, balon merah sebagai Jambi dan seterusnya. Masing-masing balon menempel satu sama lain. Plaster yang menempel di masing-masing balon merepresentasikan batas wilayah setiap provinsi. Wisnu kemudian meniup masing-masing balon sesuai dengan proporsi data tertentu yang hendak representasikan, misalnya jumlah kursi DRI-RI setiap propinsi. Dengan menghubungkan setiap plaster dengan sebuah garis, akhirnya Wisnu akan mendapatkan kartogram jumlah kursi DRI-RI setiap propinsi. Kartogram telah sangat luas digunakan mulai dari tujuan penjualan produk skala besar, analisis politik, analisis cuaca dan iklim, hingga keperluan intelijen, militer, petahanan dan keamanan.
1.5. Mencari Sistem Pemilu Yang Adil 1.5.1. Ketidakproporsionalan Suara dan Kursi Hasil perolehan suara partai politik dan jumlah kursi DPR-RI yang didapatkan pada Pemilu 2004 mengundang banyak pertanyaan. Walaupun Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memiliki suara elektoral sebesar 11.9 juta suara sedangkan Partai Amanat Nasional (PAN) hanya memperoleh 7.3 juta, mereka mendapatkan jumlah kursi DPR-RI yang sama, yaitu 52 buah. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrat suara elektoralnya lebih kecil daripada PKB, selisih 2.7-3.5 juta suara. Namun, mereka mendapat kursi yang lebih banyak. PPP mendaparkan 58 kursi. Sementara itu, Partai Demokrat memperoleh 57 kursi. Contoh lain adalah Partai Damai Sejahtera (PDS) dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). PKPB dengan 2.4 juta suara hanya memperoleh 2 kursi. Sementara itu, PDS dengan jumlah suara yang relatif sama bisa meraup mendapatkan 12 kursi. Mengapa hal ini dapat terjadi? Apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi ketidakproporsionalan ini? Bagaimanakah cara membuat sistem Pemilu yang adil bagi semua partai? Pasca Soeharto, pemilihan umum pertama diselenggarakan tahun 1999. Dalam Pemilu tersebut digunakan sistem pemilihan proportional system with district characteristics. Ini merupakan sebuah sistem yang unik. 27 Provinsi yang ada dipandang sebagai daerah pemilihan (Dapil). Kursi didistribusikan secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. Jumlah kursi di setiap Provinsi berkisar antara 4-82 kursi. Partai politik menyusun daftar kandididat dan pemilih memilih partai politik. Jumlah kursi yang dimenangkan oleh masing-masing partai di setiap provinsi dihitung dengan menggunakan prinsip proportional representation. Perhitungan kursi dilakukan dengan menggunakan largest remainder method dan kuota Hare. Sisa suara partai yang tidak mencapai satu kursi Gambar 1.5.1. Peta Dapil Jawa Timur pada Pemilu legislatif 2004.
1-5-1
dirangking. Sisa kursi, yang belum terbagi, kemudian dibagi satu persatu mulai dari partai yang memiliki rangking terkecil (sisa suara terbanyak). Pasca 1999, muncul sejumlah kritik terhadap sistem pemilihan yang ada. Sejumlah kalangan akademisi dan media massa memandang sistem tersebut dapat menyebabkan terjadinya keterputusan hubungan anggota parlemen yang terpilih dengan konstituennya. Sejumlah solusi alternatif diusulkan. Akhirnya diputuskan bahwa ukuran Dapil yang ada harus diperkecil. Provinsi, khususnya yang memiliki tingkat populasi yang relatif besar, dapat memiliki lebih dari satu Dapil. Jawa Timur misalnya, memiliki 10 buah Dapil pada Pemilu legislatif 2004, sebagaimana dapat kita lihat di gambar 1.5.1. Dalam Pemilu ini, perhitungan kursi tetap dilakukan dengan largest remainder method dan kuota Hare. Ukuran Dapil yang lebih kecil tersebut mengakibatkan adanya potensi suara hilang yang sangat besar. Sebuah partai politik tertentu bisa jadi mampu mendapatkan 2 buah kursi DPR-RI jika hanya ada satu buah Dapil di provinsi tersebut. Namun, jika ada banyak Dapil dalam provinsi tersebut, bisa jadi ia tidak mendapatkan apa-apa. Dari sini nampak, penggunaan metode largest remainder method dan kuota Hare dengan ukuran Dapil yang kecil memungkinkan banyak suara yang tidak dihitung (dalam menentukan jumlah kursi DPR-RI yang diperoleh sebuah partai politik tertentu). Fenomena inilah yang terjadi pada PKB dan PKPB. Lalu bagaimana solusinya? Apakah kita harus mengganti metode largest remainder method dan kuota Hare. Tentu saja ini tidak sepenuhnya bijaksana, karena pada dasarnya dua metode ini secara lokal (di sebuah Dapil tertentu) adalah teknik perhitungan yang adil. Kemudian, apakah kita harus memperbesar ukuran Dapil, seperti Pemilu 1999? Hal ini pun tidak menjawab, karena jika dilakukan maka kita akan mengabaikan aspirasi publik yang berupaya mencegah terjadinya keterputusan hubungan anggota parlemen yang terpilih dengan konstituennya. Jadi, apa yang dapat kita lakukan?
1.5.2. Metodologi Untuk dapat menyelesaikan sebuah permasalahan, terlebih dahulu kita harus mengenal pola-pola apa saja yang muncul di dalam objek tersebut. Dari data Dapil yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlihat adanya 2 pola yang konsisten di seluruh Indonesia, yaitu: • Tidak ada satupun kabupaten atau kota (satu tingkat di bawah Provinsi) yang terpartisi atas beberapa Dapil. Sebuah kabupaten atau kota selalu terhubung hanya dengan satu buah Dapil. • Sebuah Dapil selalu terdiri atas satu atau beberapa kabupaten atau kota yang berbatasan langsung. Dari pola-pola tersebut, kita kemudian membangun teknik optimasi menggunakan pendekan yang berkembang di kajian komputasi geometri.
1-5-2
Awalnya, peta geografis yang ada ditransformasikan menjadi sebuah set node dan tepi. Node merepresentasikan sebuah kabupaten atau kota. Tepi merepresentasikan pertetanggaan. Jika dua buah node, misalnya Kota Bandung dan Kabupaten Bandung bertetangga, maka akan ada sebuah tepi yang menghubungkan keduanya. Sebuah Dapil harus terdiri atas satu atau beberapa kabupaten atau kota yang bertetangga. Jumlah kursi yang ada dalam sebuah Dapil bersifat terbatas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu legislatif menyebutkan bahwa jumlah total kursi dalam sebuah Dapil harus berada pada rentang 3 sampai dengan 12. Untuk itu maka, dalam model ini, jumlah total kursi yang ada di Dapil i atau disebut D(i) harus lebih besar atau sama dengan kmin dan lebih kecil atau sama dengan kmax. Namun, dalam model ini, parameter kmin dan kmax bersifat fleksibel. Hal ini penting untuk mengetahui apa yang akan terjadi di depan jika seandainya terjadi perubahan sistem pemilihan. Sepanjang tahun 2007 DPR terus bekerja untuk merumuskan Undang-Undang Pemilu yang baru. Dari polapola tersebut, kita membuat sebuah algoritma pencari kombinasi Dapil yang mungkin. Digunakan prosedur pencarian pohon Cayley. Algoritma ini diuji dengan diagram Voronoi, sebagaimana ditunjukkan di gambar 1.5.2.
Batasan Ukuran Dapil
Gambar 1.5.2. Ilustrasi Dapil dalam diagram Voronoi.
1.5.3. Simulasi Dari perangkat analisis tersebut kita dapat mencari solusi masalah ketidakproporsionalan perolehan suara dengan jumlah kursi. Studi kasus dilakukan di Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi terbesar di Indonesia yang memiliki jumlah kabupaten dan kota yang terbanyak. Pada mulanya, kita mentransformasikan peta Jawa Timur (gambar 1.5.1.) ke dalam sebuah set node dan tepi, seperti terlihat pada gambar 1.5.3.
1-5-3
Gambar 1.5.3. Keterhubungan kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Timur, dimana node merepresentasikan kabupaten atau kota dan tepi menujukkan hubungan.
Proses simulasi dilakukan dengan memvariasikan nilai kmin dan kmax. Pada gambar 1.5.4. terlihat bahwa ada banyak variasi jumlah konfigurasi yang ditemukan akibat perbedaan parameter kmin dan kmax.
Gambar 1.5.4. Jumlah konfigurasi yang ditemukan pada kombinasi parameter kmin dan kmax tertentu. Proses simulasi dilakukan sebanyak 5000 iterasi.
Dari sini, kita menghitung jumlah kursi yang akan di peroleh masingmasing partai politik pada sebuah konfigurasi tertentu. Hasil yang diperoleh dapat dilihat di gambar 1.5.5.
1-5-4
Gambar 1.5.5. Rata-rata kursi yang didapatkan oleh 5 partai politik berdasarkan data perolehan suara di Pemilu legislatif 2004. Hasil ini dihitung dari konfigurasi yang ditemukan selama proses simulasi.
Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah dua pemenang utama dalam pemilu legislatif 2004. Dari hasil di atas dapat diketahui bahwa bagi dua partai tersebut, ukuran Dapil tidak terlalu berpengaruh terhadap jumlah kursi yang didapatkan di Jawa Timur. Namun tiga partai lainnya, yaitu Partai Demokrat, PAN, dan Partai Keadilan Sejahtera akan mendapatkan kursi yang lebih banyak jika ukuran Dapil diperbesar. Fenomena menarik lainnya dapat kita temukan di gambar 1.5.6. Di sini tidak hanya dapat diamati rata-rata jumlah kursi yang diperoleh oleh masing-masing partai, melainkan juga nilai maksimum dan minimum. PKB misalnya, rata-rata mendapatkan 30 kursi pada nilai kmin=1 dan kmax=16. Pada sebuah konfigurasi Dapil tertentu, di parameter tersebut, PKB bisa mendapatkan 35 buah kursi. Namun, pada konfigurasi yang lain, ia bisa hanya mendapatkan 25 kursi DPR-RI. Gambar 1.5.6. Rata-rata, nilai maksimum dan nilai minimum perolehan kursi PPP dan PKB.
1-5-5
1.5.4. Mencari Konfigurasi Yang Adil Dari diskusi di atas, secara kuantitif dapat ditunjukkan bahwa setidaknya ada dua faktor yang mempengaruhi hubungan perolehan suara dan jumlah kursi yang diperoleh partai politik. Pertama, adalah parameter kmin dan kmax yang ditetapkan dalam Undang-Undang Pemilu. Nilai ini akan sangat berpengaruh dalam upaya mewujudkan Pemilu yang adil bagi semua partai. Yang kedua adalah konfigurasi Dapil yang dipilih. Konfigurasi Dapil akan berdampak besar bagi hasil Pemilu. Pada parameter kmin dan kmax yang sama misalnya, di Jawa Timur, PKB bisa kehilangan 10 kursi DPR-RI (dari potensi maksimumnya) akibat adanya perbedaan konfigurasi Dapil. Unsur "nasib-nasiban" tentu saja sedapat mungkin harus kita minimalisir. Upaya perbaikan melalui penentuan parameter kmin dan kmax bersifat terbatas. Dalam membuat Undang-Undang, DPR harus memperhatikan
Gambar 1.5.7. Diagram Voronoi Indonesia berdasarkan teknik kartogram pada data jumlah penduduk per kabupaten/kota tahun 2007.
1-5-6
berbagai macam aspirasi yang muncul, misalnya tuntutan publik yang berupaya mencegah terjadinya keterputusan hubungan anggota DPR dengan konstituennya dengan cara memperkecil ukuran Dapil. Keterbatasan ini dapat kita atasi dengan mencari konfigurasi Dapil yang adil bagi semua partai politik. Konfigurasi Dapil yang adil dapat dicari dengan pengembangan aplikasi komputasional yang dibuat di bagian sebelumnya. Ilustrasi hasil pengembangan dapat dilihat di gambar 1.5.7. Ilustrasi tersebut dibangun dengan menggunakan faktor jumlah penduduk semata. Namun, isu-isu lain, seperti: tingkat kekayaan, keseimbangan jawa dan luar jawa, jumlah kursi minimum propinsi, dengan mudah dapat diakomomodasi oleh model ini karena sifatnya yang sangat fleksibel. Dari sini, konfigurasi Dapil yang adil bagi seluruh partai politik dengan mudah akan didapatkan, yaitu dengan mengkonstruksi sebuah algoritma pencarian senderhana.
Rujukan: Situngkir, Hokky. dan Dahlan, Rolan. M. (2007)."Trees of Electoral District in Indonesian Legislative Election: Empirical Case of Assortments in 2004 General Election". Working Paper WPF07. Bandung Fe Institute.
1-5-7
1.6. Wawasan Nusantara dalam Perspektif yang Dinamis Wawasan Nusantara merupakan cara pandang spesifik orang Indonesia terhadap dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan yang utuh dan tak dapat dipisah-pisahkan dalam perspektif geografisnya dari Sabang hingga Merauke, di apitan dua samudera dan dua benua. Tanpa wawasan Nusantara, bentuk geografis Indonesia yang kepulauan bisa jadi merupakan sebuah halangan kesatuan bangsa. Belum lagi dalam melihat berbagai perbedaan suku, agama, dari budaya yang tumbuh di daerahdaerah di kepulauan Nusantara. Namun, Deklarasi Juanda pada tanggal 13 Desember 1957 telah mengubah konsepsi tersebut secara geopolitika. Laut yang “memisahkan” pulau-pulau di Nusantara bukanlah sebuah halangan, melainkan pemersatu. Perbedaan suku, agama, dan adatistiadat yang ada di Indonesia bukanlah “pembeda” melainkan sebuah aspek yang justru menunjukkan “kesatuan” yang makin erat di tengah kebhineka-an yang ada. Konsep kesatuan geopolitik tersebut telah menjadikan Wawasan Nusantara menjadi cara pandang yang menunjukkan kesatuan Indonesia dalam berbagai aspek, yakni kesatuan wilayah, kesatuan bangsa, kesatuan budaya, kesatuan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan keamanan. Konsepsi kesatuan ini merupakan hal yang sangat krusial dan penting ketika kita berbicara tentang ketahanan nasional. Sejarah menunjukkan bahwa kesatuan merupakan aspek yang penting dalam sejarah revolusi fisik dan jalur historis proklamasi kemerdekaan Indonesia. Aspek ini merupakan inspirasi utama dalam mengisi dan mengembangkan diri masyarakat Indonesia dalam wahana kemerdekaannya. Dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan dalam era globalisasi telah meredefinisi apa yang dikenal sebagai ketahanan nasional. Ketahanan nasional hanya melulu berbicara soal pertempuran fisik, dan kedaulatan sebuah negeri. Semestinya, ia tidak lagi didefinisikan secara geografis. Konsep geopolitik juga harus memperhatikan aspek-aspek lain, seperti: pertumbuhan kepemudaan nasional yang dipenuhi berbagai content kemajuan teknologi informasi yang berkembang dengan sangat cepat, arus orang dan barang yang bergerak cepat dari satu negara ke negara lain dengan segala kemajuan teknologi transportasi, pergerakan harga saham dan mata uang yang bertaut-tautan antarnegara termasuk harga-harga komoditas yang menjadi kebutuhan sehari-hari. Tatanan ini perlu diatur dalam perspektif kenusantaraan. Kita juga harus memperhatikan berbagai sendi-sendi dan ancaman terhadap kedaulatan negara, seperti: persebaran penyakit (epidemiologi), teror dan ketegangan perilaku masyarakat (behaviorisme masyarakat), adanya sekelompok orang dengan kekuatan ekonomi yang sangat besar dan mampu meringsek ke dalam pasar modal maupun pasar ritel bahkan pasar tenaga kerja, dan sebagainya. Dalam beberapa sisi, hal ini terkadang menjadi sangat penting ketika berbicara masalah ketahanan nasional secara umum. 1-6-1
Perspektif kompleksitas memiliki keunggulan dalam memberikan visualisasi sistem berbangsa dan bernegara di Indonesia. Motif bab pertama buku ini adalah mengakuisisi berbagai perangkat kompleksitas yang ada guna memperkaya wawasan Nusantara. Upaya ini perlu dilakukan demi memperkuat ketahanan nasional.
1.6.1 Indonesia di Asia Pasifik Walaupun dari sisi GDP perkapita masih sangat rendah, namun dari sisi pertumbuhan ekonomi Cina dan India mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Hal ini menarik diperhatikan mengingat besarnya jumlah penduduk di dua negara tersebut. Lalu, apakah isu penundaan sengketa dataran tinggi Assam dan dibukanya jalur transportasi darat yang menghubungkan dua negara raksasa tersebut akan berpengaruh besar terhadap kawasan Asia Pasifik? Argumentasi untuk mendekati hal ini adalah: Pertama, pertumbuhan ekonomi Cina berpusat pada kota-kota di pesisir timur dan tenggara yang secara geografis jauh dari India. Kedua, secara geografis jalur transportasi darat yang dibuka tersebut berada di sekitar pegunungan Himalaya, akibatnya titik ini tidak begitu potensial menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru. Ketiga, negara-negara dengan GDP perkapita tinggi berada di kawasan timur Asia Pasifik. Artinya, pembukaan jalur tersebut tidak akan berpengaruh signifikan terhadap dominasi selat Malaka. Fakta lain yang penting diperhatikan adalah terjadinya peningkatan gaji buruh di Cina. Sejumlah ekonom menyatakan bahwa hal ini akan memberikan peluang ke negara-negara lain seperti India, Vietnam dan Indonesia (Winters dan Yusuf, 2007). Di sini Vietnam menarik untuk diperhatikan karena dalam beberapa tahun ke terakhir, negara ini mengalami peningkatan investasi asing secara ekplosif (CIA, 2006). Jumlah perusahaan Jepang yang berinvestasi di Vietnam meningkat pesat, sementara di Indonesia terjadi penurunan pertumbuhan yang cukup besar (Fujita dan Hamaguchi, 2006). Selain itu, Vietnam juga memiliki beberapa keuntungan geografis yang penting untuk diperhatikan. Pertama, ia berada di tengah pusat pertumbuhan Asia Timur dan Asia Tenggara. Kedua, Vietnam memiliki bentuk geografis yang memanjang di pesisir dan menjadi wilayah kunci yang menghubungkan daerah pedalaman Indo-Cina ke jalur perdangan laut internasional. Ketiga, Vietnam berpenduduk relatif besar dan memiliki tingkat pendidikan dan tingkat pembangunan manusia yang relatif berimbang dengan Indonesia.
1-6-2
Gambar 1.6.1. Peta Indonesia yang direskala berdasarkan jumlah penduduk propinsi di tengah kartogram kependudukan Asia Pasifik dengan zoom data kependudukan Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, persebaran penduduk terlihat merata, meski dari populasinya di kartogram Indonesia ia relatif lebih “gemuk”.
Populasi negara-negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2005 (sumber data: Microsoft Encarta 2006).
NAD
Sumut
Kepri
Kalbar
Riau
Kalteng
Gorontalo
Kaltim
Sulut Maluku Utara
Babel
Sumbar
Sulteng
Kalsel Sumsel
Sulsel
Bengkulu
Lampung
Maluku
Papua
Sultra
DKI Banten
Jateng
Jabar
Jatim Bali DIY
NTB
Populasi provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2004 (sumber data: BPS).
NTT
Tangerang Bekasi Bogor
Bandung
Pulau Madura Semarang
Surabaya Yogyakarta
Malang
Populasi kabupaten dan kota di Pulau Jawa tahun 2000, tidak termasuk DKI Jakarta (sumber data: BPS).
1-6-3
Gambar 1.6.2. Peta Indonesia yang direskala berdasarkan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per kapita per propinsi di tengah kartogram kependudukan Asia Pasifik dengan zoom data kependudukan Pulau Jawa. Terlihat bahwa meski Pulau Jawa lebih ramping relatif terhadap daerah lain berdasarkan PDB perkapita, terdapat wilayah-wilayah yang relatif gemuk di kawasan Pulau Jawa.
PDB perkapita negara-negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004 (sumber data: UNDP, 2006).
NAD Sumut Kepri
Sumbar
Kaltim
Riau Babel
Jambi
Sumsel Bengkulu Lampung Banten
Kalbar Kalteng Kalsel
Gorontalo
Maluku Utara
Sulut Sulteng
Sulsel
Maluku
Papua
Sultra
Jabar Jateng
PDB perkapita provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2004, tidak termasuk DKI Jakarta (sumber data: BPS).
DIY
Jatim
Bali
NTB
NTT
Cilegon Tangerang Bekasi Kudus
Bandung
PDB perkapita kabupaten dan kota di Pulau Jawa tahun 2000, tidak termasuk DKI Jakarta (sumber data: Sensus Penduduk).
Surabaya
Cilacap
Sidoarjo
Kediri Malang
Wilayah Indonesia, khususnya bagian timur, adalah kawasan yang menjadi penghubung antara dua kekuatan ekonomi raksasa di belahan utara Asia Pasifik dan belahan selatannya. Posisi ini penting karena melalui sokongan bidang ekonomi dan teknologi yang dibutuhkannya untuk beroperasi sebagai sebuah “jembatan ekonomi”, maka seharusnya potensi ini dapat dieksploitasi demi memperkuat ketahanan nasional Indonesia.
1-6-4
Gambar 1.6.3. Harapan hidup negara-negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi sementara indeks warna menunjukkan usia harapan hidup (sumber data: UNDP, 2006).
Gambar 1.6.4. Infant mortality rate negara-negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan infant mortality rate (sumber data: UNDP, 2006).
Terlihat adanya ketimpangan yang sangat besar antara wilayah timur dan barat Asia Pasifik. Negara-negara di wilayah barat Asia Pasifik memiliki tingkat harapan hidup yang lebih rendah serta angka kematian bayi yang lebih besar. Selain itu terlihat bahwa, negara-negara yang tidak memiliki perbatasan laut (seperti Laos, Afganistan, Bhutan, Nepal dan Mongolia) memiliki kondisi kesejahteraan yang lebih buruk, relatif terhadap negaranegara di pesisir.
1-6-5
Ketimpangan juga terjadi di bidang pendidikan. Tingkat pendidikan di wilayah timur lebih baik, relatif terhadap wilayah barat. Negara-negara Asia Tenggara memiliki tingkat pendidikan yang relatif berimbang satu sama lain. Kondisi pendidikan Asia Tenggara lebih baik dari Asia Selatan, berimbang dengan Cina, namun lebih rendah dibandingkan dengan negara maju seperti Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan. Dengan menggabungkan data populasi dan indeks pendidikan kita ketahui bahwa secara umum potensi sumber daya manusia terdidik di kawasan ini berada di wilayah Asia Tenggara dan Cina.
Gambar 1.6.5. Indeks pendidikan negara-negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi sementara indeks warna menunjukkan tingkat pendidikan (sumber data: UNDP, 2006).
United Nations Development Programme (UNDP) menyusun sebuah indeks yang bertujuan merepresentasikan tingkat pembangunan manusia di suatu negara atau bagiannya yaitu indeks pembangunan manusia. Indeks ini merupakan gabungan dari tiga matra pembangunan manusia yang meliputi kesehatan, pendidikan dan pengetahuan, serta tingkat kesejahteraan.
1-6-6
Gambar 1.6.6. Indeks pembangunan manusia negaranegara di kawasan Asia Pasifik tahun 2004. Ukuran kartogram merepresentasikan jumlah populasi sementara indeks warna menunjukkan tingkat pembangunan manusia (sumber data: UNDP, 2006).
Ketimpangan pembangunan manusia juga terjadi di antara wilayah timur dan barat Asia Pasifik. Dengan membandingkan data populasi dan indeks pembangunan manusia kita ketahui bahwa negara berkembang dengan jumlah penduduk besar dan tingkat pembangunan manusia menengah antara lain: Cina, Vietnam, Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia dan India.
1.5.2. Kependudukan Indonesia sebagai Kekayaan Demografis Keterpisahan dari satu pulau ke pulau lain dengan dipersatukan oleh lautan telah memberikan banyak keanekaragaman di Indonesia. Dari sisi agama dan suku, bangsa Indonesia sangat beragam. Sebuah pertanyaan yang sangat krusial adalah apakah di Indonesia terjadi segregasi penduduk berdasarkan agama?
1-6-7
Gambar 1.6.7. Peta Kartogram Indonesia yang diskala-ulang dengan fraksi populasi umat beragama Islam, Hindu-Budha, dan Kristen di Indonesia (dari kiri ke kanan) tahun 2000. Warna yang semakin ungu menekankan besarnya fraksi populasi umat beragama yang bersangkutan (sumber data: Sensus Penduduk).
Gambar 1.6.8. Fraksi penduduk beragama Islam dan Non-Islam tahun 2004 di peta kartogram yang diskala-ulang berdasarkan jumlah penduduk (sumber data: BPS).
NAD
SUMUT
KEPRI
RIAU SUMBAR
KALBAR BABEL
JAMBI
SUMSEL BENGKULU
LAMPUNG
DKI BANTEN
JATENG
JABAR DIY
Dari visualisasi kartogram jumlah penduduk dan populasi umat beragama, seolah-olah fraksi jumlah penduduk Indonesia di bagian barat didominasi oleh umat beragama Islam dan di sebelah timur umat beragama non-muslim. Pada kenyataannya, hal tersebut tidaklah 1-6-8
KALTIM GORONTALO
SULUT MALUT
SULTENG
KALTENG
KALSEL
SULSEL SULTRA
JATIM
BALI
NTB
MALUKU
PAPUA
NTT
sesederhana itu. Sebagai contoh, kita lihat zoom populasi umat beragama di pulau Jawa. Terlihat bahwa pada peta kartogram yang diskala-ulang fraksi umat beragama Hindu-Budha dan Kristen-Katolik juga eksis di pulau Jawa. 1-6-9
Gambar 1.6.9. Peta Kartogram Kabupaten/Kota di Pulau Jawa yang direskala dengan fraksi populasi umat beragama HinduBudha dan Kristen (dari kiri ke kanan) di Indonesia tahun 2000 (tidak termasuk DKI Jakarta). Warna yang semakin kuning meng-aksentuasi besarnya fraksi populasi umat beragama yang bersangkutan (sumber data: Sensus Penduduk).
Gambar 1.6.10. Fraksi penduduk beragama Islam dan Non-Islam di peta kartogram pula Jawa tahun 2000 (tidak termasuk DKI Jakarta) yang direskala berdasarkan jumlah penduduk (sumber data: Sensus Penduduk).
Praktek pembeda-bedaan berdasarkan agama yang terjadi di Indonesia merupakan hal yang sangat tidak strategis karena justru memecah-mecah dan meningkatkan tendensi disintegrasi laten yang dapat melemahkan ketahanan nasional. Secara faktual telah ditunjukkan bahwa segregasi populasi berdasarkan agama tidak terjadi di Indonesia karena zooming yang kita lakukan pada peta kartogram atas perbedaan agama menunjukkan bahwa masyarakat modern beragama Indonesia menyebar dan menempatkan konteks keberagamaan bukan sebagai pembeda, dan bahwa kesatuan sebagai entitas masyarakat jauh lebih penting. Terjadinya fraksi yang lebih besar untuk masyarakat non-Muslim di 1-6-10
kawasan Timur dan umat Muslim di kawasan lainnya semata-mata merupakan bentuk kebergantungan pada jalur historis. Dalam pandangan Wawasan Nusantara baru, perbedaan agama ini justru menunjukkan sebuah potensi perdamaian yang kuat di Indonesia, bahwa masyarakat Indonesia menempatkan kohesi sosial lebih daripada perpecahan yang tentunya berdampak sangat positif bagi pengembangan ekonomi, politik, dan sosial budaya bangsa. Sebagai sebuah negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, di mana ketersebaran umat beragama di Indonesia senantiasa didominasi 1-6-11
umat Muslim namun menunjukkan pola kehidupan bernegara dan berbangsa dalam distribusi populasi yang tidak segregatif terhadap agama. Pola kehidupan umat Islam Indonesia seharusnya menjadi contoh bagi banyak negara-negara lain yang justru sangat segregatif berdasarkan agama, suku, atau ras. Hal ini merupakan sebuah potensi, mengingat berdasarkan interpretasi kita atas falsafah hidup Indonesia, Pancasila, negara Indonesia tak dapat dikatakan sebagai Negara Agama atau Negara Sekuler. Sifat khas dari konsep bernegara Indonesia adalah konsep Negara Beragama, sebagai sebuah negeri di mana agama menjadi inspirasi kehidupan sosial namun tak harus terformalisasi secara kaku, yang akhirnya justru memicu perpecahan dan konflik. Ketika agama menjadi inspirasi sistem sosial, maka masyarakat akan lebih menghargai kehidupan dan umat manusia lain meski berbeda agama. Sejarah mencatat bahwa banyak bangsa di dunia perlu belajar dari Indonesia tentang hal ini. Namun di sisi lain, kita sering mendengar tentang konsepsi Negara Agama, dan upaya menjadikan satu agama tertentu sebagai landasan kehidupan beragama. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pandangan ini tidak memiliki refleksi Wawasan Nusantara sama sekali, dan lebih menonjolkan kepentingan tertentu dari sekelompok umat beragama. Hal ini dapat memperkeruh dan mempertajam potensi disintegrasi laten yang menghambat masyarakat Indonesia dalam mengambil manfaat dari potensi Indonesia di tengah situasi geoekonomi dan geopolitik sebagaimana digambarkan sebelumnya. Kemampuan kita dalam mengeksploitasi tatanan sosial-ekonomi-politik baru sangat bergantung pada bagaimana persatuan nasional dapat dipertahankan sebagai modal peningkatan peran dan posisi Indonesia di mata negara tetangga bahkan di jajaran negara-negara lain di dunia.
1.6.3. Meme Politik Masyarakat Indonesia Bagaimana sebuah konsep mengilhami preferensi politik seorang anggota masyarakat Indonesia? Ini merupakan hal yang menarik tatkala kita ingin mengobservasi pola evolusi dari sistem politik. Beberapa penelitian terdahulu berupaya untuk menerangkan berbagai sistem politik sebagai aspek budaya, seperti Axelrod (1997), dengan fokus yang melihat posisi agen (individu penyusun sistem kolektif masyarakat) dan interaksi antar sesama agen (Khanafiah & Situngkir, 2003). Hal yang berbeda akan kita temui ketika menggunakan memetika sebagai piranti analisis – sebab yang kita analisis bukanlah semata-mata agen dan interaksi di antaranya, namun lebih kepada abstraksi kognitif yang kolektif yang beredar di kalangan masyarakat. Di sini, kita lebih tertarik kepada populasi ide dan abstraksi serta bagaimana ia menular atau bereplikasi dalam sistem sosial. Dalam studi memetika, hal semacam ini pernah dilakukan dengan pendekatan yang berbeda oleh de Jong (1999) untuk mengamati perkembangan konsensus dalam masyarakat.
1-6-12
Dengan melihat suatu abstraksi yang ditangkap (as perceived) oleh sebuah populasi sebagai semacam virus yang menyebar (Brodie, 1996), maka kita memandang unit informasi politik sebagai elemen penyusun sistem dinamik. Seseorang bisa menganggap bahwa A bisa menjadi seorang presiden hari ini, namun di saat yang lain ia juga bisa menganggap B lebih sanggup. Seseorang lebih bisa menerima partai dengan ideologi dan pesan X saat ini untuk kemudian ia lebih bisa menyepakati ideologi Y yang dibawa oleh partai lain, demikian seterusnya. Hal ini merupakan kotak hitam sistem kognitif manusia yang menjadi fokus dari memetika. Di sisi lain, dalam evolusinya, dominasi sebuah partai politik tidak senantiasa konstan. Dominasinya adalah sebagaiamana ia “berfluktuasi” secara stabil (evolutionary stable). Sebuah fenomena menarik untuk menggambarkan bagaimana struktur kognitif meme politik orang Indonesia adalah dengan mengamati hasil pemilihan umum 2004 lalu. Terkait hal tersebut, Lodge, et.al. (1990) membagi sistem pemetaan kognisi dari evaluasi rakyat Amerika Serikat terhadap kandidat pemilihan presiden ke dalam tiga pendekatan ilmiah , yaitu: a. pendekatan sosiologis (mazhab Columbia), b. pendekatan sosio-psikologis (mazhab Michigan), dan c. pendekatan pilihan rasional (mazhab Rochester). Kita akan mencoba melihat ketiga mazhab ini secara komplementer tatkala diterapkan dalam ilmu kompleksitas yang memperhatikan ketidaklinieran sistem politik yang hendak didekati. Pendekatan pertama dilandasi oleh pemikiran bahwa determinan pemilih dalam respon politiknya adalah status sosio-ekonomi, afiliasi religius, dan keresidenannya (apakah rural atau urban). Dengan kata lain, pendekatan ini didasarkan pada ikatan sosial pemilih dari segi etnik, ras, agama, keluarga, dan pertemanan yang dialami oleh agen pemilih secara historis. Pendekatan kedua dilandasi sistem kognitif agen pemilih dalam menentukan pilihannya. Artinya, bagaimana sistem kognitif rakyat terpetakan pada peta politik yang berkembang secara psikologis. Hal ini sangat berguna dalam kerangka pencarian format kampanye yang hendak digunakan dalam sistem pemilihan. Pendekatan ketiga didasarkan pada teori pilihan rasional Anthony Downs, yakni bahwa pemilih akan memilih secara rasional dengan melihat hal paling besar yang mempengaruhi fungsi utilitasnya sebagai agen pemilih. Secara sederhana langkah-langkahnya pada basis agen pemilih adalah: a. kalkulasi keuntungan total yang didapatkan untuk masing-masing kemenangan kandidat bagi agen pemilih, b. buat urutan kandidat mulai dari yang paling menguntungkan hingga paling tidak menguntungkan, dan c. pilihlah yang paling menguntungkan. Dengan kata lain, tiap pemilih akan memilih kandidat yang paling dekat posisi politiknya dengan ruang isu di mana pemilih berada.
1-6-13
Ketiga pendekatan ini tertarik pada upaya formalisme matematis dan komputasional dari agen pemilih dan bersifat ingatan (memori) dari agen pemilih. Namun, ketiga analisis ini hanya berguna bagi persiapan pemilihan jangka panjang. Atas dasar inilah dibentuk pendekatan keempat, yakni sistem pemetaan agen pemilih berdasarkan kesan pemilih terhadap kandidat. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk analisis memetik dari preferensi politik masyarakat Indonesia secara umum. Sebagaimana diajukan oleh Heylighen (1993) dan digunakan secara komputasional dalam Situngkir (2004), maka kita akan melihat meme unit kultural terkecil sebagai yang hendak kita dekati (sebagaimana layaknya gen dalam genetika). Tiap meme merupakan sikap tertentu atas opsi allomeme (sebagaimana allela) “ya” dan “tidak” atas sebuah proposisi politik yang disusun dalam kerangka pernyataan “JIKA… MAKA…”. Beberapa buah meme pada akhirnya membentuk kumpulan meme yang disebut sebagai memepleks, sebagai unit budaya (meme) yang direplikasikan secara bersamaan dalam tiap interaksi agen sosial. Dalam hal ini, misalnya satu memepleks “calon presiden pilihanku”, maka kita memiliki beberapa meme, seperti: 1. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Megawati S u k a r n o p u t r i . 2. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Amien R a i s . 3. JIKA disuruh memilih MAKA presiden pilihanku adalah Susilo B a m b a n g Y u d h o y o n o . 4. dan seterusnya. Atau memepleks “kategori partai pilihanku” dengan meme antara lain: 1. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang nasionalis. 2. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang islami. 3. JIKA disuruh memilih MAKA saya lebih suka partai yang demokrat. 4. dan seterusnya. Tiap memepleks dapat diisi dengan banyak meme yang masingmasing bernilai “ya” (dinyatakan sebagai “1”) atau “tidak” (dinyatakan sebagai “2”). Tentu dalam sebuah kumpulan meme tertentu bisa terdapat puluhan bahkan ratusan memepleks – yang kita pilih berdasarkan ketersediaan data dan kemampuan komputasional kita untuk m e n g o l a h n y a . Setiap meme memiliki nilai kecocokan sendiri-sendiri yang pada akhirnya menentukan mana memenangkan pemilihan. Dalam hal ini, pendekatan kita disusun dengan menggunakan hasil poling sebagaimana dilaporkan oleh Steven Wagner, dalam “Summary of Public Opinion Preceding the Parliamentary Elections in Indonesia”
1-6-14
pada tahun 1999 dan dipublikasikan dalam The International Foundation of Election Systems , United States Agency for International Development (USAID). Hal ini tentu dapat dikembangkan dalam kerja implementatif lebih jauh, dengan menambah memepleks atau menambah variasi allomeme yang digunakan dalam representasi tiap meme. Kita memilih “0” dan “1” serta dua buah memepleks dalam simulasi atas dasar kesederhanaan model komputasional dan ketersediaan data (penulis tidak melakukan survei langsung). Tentu saja, dalam praktiknya, seringkali tiap meme tidak tunggal dalam mempengaruhi apa yang tampak sebagai hasil konfigurasi meme (femetipe). Hal ini dikarenakan adanya sifat epistatik, yaitu keterhubungan antara satu meme dengan yang lain. Jadi ada partai yang berbendarakan Islam sekaligus demokrat, dan seterusnya serta adanya saling pengaruh-mempengaruhi antar meme dalam memepleks yang berbeda. Misalnya seorang calon presiden A tidak akan dipilih (nilainya “0”) karena ideologi B tertentu yang tak dapat dikompromikan, dan sebagainya. Rincian lebih ringkas tentang representasi memetika dalam sistem pemilu kita digambarkan dalam tabel 1.6.1. Tabel 1.6.1. Representasi Konsep Pemilihan Partai Politik dan Memetika.
1-6-15
Gambar 1.6.11. Struktur umum memetika yang digunakan.
Dalam simulasi yang digunakan, kita memilih memepleks “latar belakang ideologis dari masing-masing partai”. Memepleks ini menampilkan kecocokan (fitness) partai dengan apa yang dilihat dan diinginkan oleh masyarakat banyak. Semakin besar nilai kecocokan meme sebuah partai tentu ia menjadi lebih mungkin memenangkan pemilihan secara umum. Hal ini menjadi menarik karena diskusi kita tidak lagi bersandar sebagaimana kerja-kerja terdahulu yang mendasarkan diri pada teori pilihan rasional (rational choice theory) yang menganggap bahwa seluruh agen yang berinteraksi berusaha untuk memaksimisasi ganjaran (pay-off) yang diperolehnya dalam tiap kali iterasi/permainan dilakukan (Frank, 1957, 1998). Dalam hal ini fungsi utilitas dari tiap agen digantikan dengan konfigurasi meme dalam memepleks tertentu. Gambar 1.6.12. Kondisi stabil evolusioner dari memepleks latar belakang ideologi partai.
1-6-16
Tabel 1.6.2. Konfigurasi platform ideologi partai yang mungkin dan nilai kecocokannya (1=dipilih; 0 tidak dipilih). Terlihat bahwa Ideologi tunggal (konfigurasi 2,3,4 dan 5) memiliki nilai kecocokan yang sangat rendah.
Gambar 1.6.13. Beberapa memepleks “latar belakang ideologi partai” yang mencapai dominasi. Dari sini terlihat bahwa, secara umum, partai yang dominan adalah partai yang memiliki ideologi campuran, bukan ideologi tunggal.
Dari simulasi yang kita lakukan, diperoleh hasil yang cukup menarik. Tiap partai dikategorikan sebagai partai yang dipandang sebagai partai yang “sekuler”, “religius”, “demokrat”, dan “lainnya”. Kategori “lainnya” menggunakan referensi yang ditunjukkan oleh peneliti survei tersebut sebagai “pro pemerintahan yang sekarang” yang kita anggap satu kategori dengan yang ada di luar ketiga kategori yang lain. Kubu nasionalis termasuk dalam kategori ini. Kombinasi nilai fitness masing-masing kombinasi ditunjukkan dalam tabel. Hasil simulasi yang kita lakukan ditunjukkan dalam gambar 1.6.13. Pada gambar ini terlihat bahwa terdapat kategori-kategori ideologis partai-partai yang pada akhirnya punah (extinct) karena nilai kecocokannya yang sangat kecil. Hasil ini menggambarkan keunikan masyarakat Indonesia dari sisi preferensi politik atas sebuah paham dominan tertentu. Jika sebelumnya kita menunjukkan tidak adanya segregasi berdasarkan agama, secara 1-6-17
umum kita juga dapat melihat bahwa segregasi atas paham politik secara dominan juga tidak kentara secara agregat. Masyarakat Indonesia cenderung tidak terjebak ke dalam satu –isme, apakah itu sekularisme, agamisme, atau isme-isme lain, melainkan merupakan sebuah mixture yang kompleks, sebuah fakta yang mengaksentuasi temuan kita pada bagian 1.3. dari buku ini. Secara demonstratif, kita juga telah menunjukkan keunikan non-segregatif dari meme-politik masyarakat Indonesia yang menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi setiap kali berbicara tentang masyarakat Indonesia secara umum.
1.6.4. Refleksi Demografis: Masalah Pemerataan Pada sebuah pepatah yang mengatakan: “ada gula ada semut” yang jika kita kaitkan dengan hasil analisis sebelumnya dapat mendekatkan kita dengan fakta bahwa dalam sistem sosial, aktor-aktor sosial cenderung berada dekat pada sumber daya (resources). Dalam dinamikanya, agen sosial selalu berada pada kondisi kritis dalam menghadapi pilihan-pilihan hidup. Pilihan dalam memilih tempat tinggal, pilihan memilih sekolah, pilihan memilih bacaan dan tontonan, pilihan pacar untuk dinikahi, dan seterusnya. Hal ini membawa kita pada analogi akan fakta pengaturan diri sendiri masyarakat dalam kondisi kritis (selforganized criticallity) berdasarkan keterbatasan pilihan rasionalnya pada dimensi-dimensi hidup yang juga terbatas (bounded rationality). Secara demografis, orang akan cenderung memilih tempat tinggal di daerah yang kaya sumber daya, dapat berupa sarana dan prasarana, yang sesuai dengan sistem kognitifnya. Jika seseorang sanggup secara sumber daya finansial dan berbagai aspek hidup, maka ia ingin tinggal di pusat kota di Jakarta daripada di sebuah tempat yang di pinggiran Kota Semarang misalnya. Namun seorang pengusaha sukses di Kediri akan lebih memilih tinggal di mana usahanya tersebut berhasil daripada harus mengadu nasib dan memulai karir bisnis baru di Metropolitan Surabaya atau ibukota Jakarta. Kondisi ini bersesuaian dengan pepatah lain yang berbunyi: “tikus mati di lumbung padi” yang menunjukkan bahwa berbagai hal justru dapat mendatangkan kerugian bagi agen sosial ketika berada di dekat sumber daya yang paling tinggi – ketika berkenaan dengan permasalahan manajemen, pengaturan dan alokasi aset, investasi dan inovasi, dan sebagainya. Pendeknya kritikalitas merupakan sebuah “bahasa” dalam pengaturan diri sendiri secara organis dari sistem sosial. Kedua pepatah ini memberikan penjelasan akan sifat pengaturan diri sendiri dalam khazanah humaniora dan kemasyarakatan – ketika menjelaskan fenomena hukum pangkat dalam ranking populasi kota-kota
1-6-18
di Indonesia yang juga ditemui di banyak tempat dan kawasan wilayah di berbagai tempat di planet bumi. Penemuan ini ditunjukkan pada gambar 1.6.14., yang menunjukkan fakta terpenuhinya hukum pangkat pada ranking kota-kota terbesar di Indonesia. Hal ini merupakan fakta kependudukan yang sangat menarik dalam kajian demografi kompleksitas sosial. Gambar tersebut menunjukkan bahwa terdapat “kesenjangan” hukum pangkat populasi kota-kota yang ada di Indonesia, diawali dengan kota Jakarta sebagai kota terpadat, kemudian kota Surabaya, Bandung, Medan, dan seterusnya. Lebih menarik lagi adalah adanya persistensi dari eksponen hukum pangkat dari data-data tersebut. Hal ini secara visual juga ditunjukkan pada interval waktu dan pengukuran yang berbeda seperti yang terlihat pada gambar 1.6.15. Persistensi ini menjadi semacam “hukum” dalam sistem sosial yang sebaran populasinya terjadi secara organis.
Gambar 1.6.14. Persistensi hukum pangkat pada ranking populasi kota-kota di Indonesia. Populasi didominasi oleh 3 kota besar di pulau Jawa (Jakarta, Surabaya, dan Bandung), sumber data: BPS.
Gambar 1.6.15. Fit Hukum Pangkat atas ranking kotakota di Indonesia (sebagian besar terkategori sebagai kotamadya, kecuali DKI Jakarta) pada dua ruang sampel data yang tersedia untuk kurun waktu 1994-1999 dan 2004 hingga 2007. Persistensi dari eksponen hukum pangkat terlihat jelas.
1-6-19
Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah apa yang terjadi di benak agenagen sosial dalam pemilihan tempat tinggal organis tersebut. Berikut sebuah petikan wawancara yang dilakukan terhadap seorang alumni yang baru lulus dari sebuah kampus terkemuka di Indonesia:
Zani Adita Zani Adita Zani Adita Zani Nita Zani Nita
Zani Nita
: : : :
Kamu sudah lulus kan? Rencananya mau ke mana? Saya sepertinya bakal ke Jakarta. Kamu sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan di sana? Justru mau nyari! Gimanapun uang ‘kan ada di Jakarta. Jakarta gitu loh! : Memangnya sudah punya tempat tinggal di sana? : Emm, saya mending nebeng di rumah saudara. Sekalian ikut S2 di perguruan tinggi X, ambil jurusan bisnis kek. : Kalau kamu (ke arah alumni ke-2, Nita)? : Saya mending pulang ke tempat asal aja. : Kenapa nggak ke Jakarta? : Wah kalo melihat prestasi akademik saya, kayaknya saya sulit bersaing di Jakarta.Lagian saya nggak punya uang buat S2 seperti Adita. : Memangnya di daerah anda pasti bisa bersaing? : Ya iyalah! Alumni perguruan tinggi Y gitu loh!
Aspek kependudukan yang bersifat hukum pangkat dan merefleksikan kesenjangan konsentrasi populasi ini terlihat juga ketika kita mengobservasi data populasi per sensus untuk seluruh kabupaten dan kotamadya di Indonesia sebagaimana ditunjukkan pada gambar 1.6.16. Penelitian yang dilaporkan oleh Mulianta, Situngkir, & Surya (2004) menunjukkan bahwa pola ini mungkin dapat dijelaskan dalam bentuk perilaku sosial bahwa penduduk yang tadinya bertani di daerah tetangga ibukota seperti Purwakarta, Bogor, dan sebagainya lebih memilih untuk berurbanisasi ke Jakarta daripada bertani. Penggambaran dinamika populasi per kabupaten di Indonesia dari tahun 1961 hingga 2000 menunjukkan bahwa program transmigrasi masih terasa kurang dalam perspektif pemerataan populasi karena kritikalitas agen mikro-sosial senantiasa berubah. Berbagai faktor budaya dan imagi akan kota besar tak bisa dilepaskan dari perilaku sosial ini. Dalam hal ini perlu dipikirkan cara-cara alternatif agar pemerataan populasi tetap berjalan namun tetap memperhatikan aspek kritikalitas anggota masyarakat yang senantiasa berusaha untuk dekat dengan sumber daya ekonomi dan sosial. Optimisasi di sana-sini perlu memperhatikan banyak aspek demografis yang khas Indonesia, misalnya faktor kepulauan. Sebuah hal menarik ditunjukkan oleh gambar 1.6.17. Berbeda dengan mereka yang tinggal di kawasan yang sudah berada di tempat yang sangat jauh dari pusat konsentrasi populasi dan sumber daya seperti Medan atau Manado. Terdapat resistensi untuk berurbanisasi yang lebih besar bagi populasi yang tinggal di dua kota di pulau Sumatera dan Sulawesi ini yang dapat saja berasal dari faktor finansial, dukungan keluarga, dan sebagainya. Pada gambar tersebut terlihat bahwa ketika populasi kota-kota besar di Indonesia dinormalisasi dengan populasi penduduk Jakarta, maka terdapat kecenderungan (konjektur) bahwa nilai ternormalisasi
1-6-20
Gambar 1.6.16. Dinamika populasi penduduk per kabupaten (kiri) dan per kotamadya (kanan) per tahun sensus di Indonesia.
penduduk di tempat yang relatif jauh dari Pulau Jawa (jarak geodesik) cenderung meningkat sebagaimana seharusnya menurut fakta pertumbuhan penduduk yang positif, namun tidak terjadi pada daerahdaerah (kota) yang relatif dekat dengan Jakarta. Dalam pembedaan kewilayahan yang dianalisis ditemukan bahwa memang kependudukan kota-kota di pulau Jawa senantiasa semakin padat dari tahun ke tahun. Untuk lebih memahami pola kritikal dari statistik para pendatang luar pulau Jawa dapat kita lihat dalam analisis kartogram di bagian selanjutnya.
Gambar 1.6.17. Dinamika organis perkembangan populasi kota-kota di Indonesia relatif terhadap populasi ibukota Jakarta untuk sensus penduduk 1961 hingga 2000. Medan sebagai kota terbesar di luar Pulau Jawa terlihat meningkat tajam populasinya kontras dengan perkembangan Kota Surabaya dan Kota Bandung.
1-6-21
Kartogram Peta Pulau Jawa dengan skala-ulang pada wilayah Kabupaten dan Kota berdasarkan fraksi jumlah pendatang terhadap total jumlah penduduk
Fit Hukum Pangkat menunjukkan kesenjangan (skewness) populasi penduduk di jawa dan luar jawa. Dalam kartogram Indonesia yang dibuat berdasarkan jumlah penduduk di wilayah yang setara dengan provinsi, Pulau Jawa terpetakan menjadi seolah-olah “gemuk” sementara pulau-pulau lain seolah-olah “kurus” .
Jawa Barat Jawa Timur Jawa Tengah Banten Sumut Jakarta
Hukum Pangkat kepadatan penduduk provinsi-provinsi di Indonesia di Indonesia dengan pangkat α=1.881 dan Rfit=0.9701
1-6-22
Kartogram Peta Pulau Jawa dengan skala-ulang pada Kabupaten dan Kota berdasarkan angka Pendapatan Domestik Bruto wilayah yang bersangkutan.
Cilegon Tangerang Bekasi
Cirebon
Bogor
Kudus Madura
Bandung
Surabaya Cilacap
Sidoarjo DIY
Kediri Malang
1. 6. 5. Catatan Penutup Bagian Pertama Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Namun keutamaan dari sebuah bangsa adalah bagaimana agar ia mampu merefleksikan kondisi yang dialaminya saat ini dengan mempelajari sejarahnya tersebut. Setidaknya terdapat dua ancaman akan konsep kenusantaraan kita: pertama, ancaman dari luar berupa penetrasi kepentingan asing yang dapat merongrong kedaulatan bangsa dalam berbagai bentuk, dan kedua, ancaman dari dalam berupa disintegrasi laten yang merongrong kedaulatan sebuah bangsa melalui aspek mikro seperti ketidakpercayaan pada sistem hukum, rasa tidak aman berada di antara elemen bangsa lain yang masih berada di wilayah kesatuan negeri. Kedua hal ini menjadi sumber dinamika dari evolusi kontrak sosial dan adalah tugas setiap elemen bangsa untuk menjaga keutuhannya dalam konsep ketahanan sosial semesta: ketahanan sosial sebagai tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Pengetahuan kita akan sejarah kebangsaan membawa kita pada konsep Wawasan Nusantara sebagai cara pandang Indonesia terhadap dirinya sendiri, sehingga optimisasi berbagai aspek kehidupan masyarakat
1-6-23
senantiasa dilakukan untuk memperkuat tatanan sosial yang ada. Ideologi pertama dari bangsa Indonesia seharusnya bukanlah nasionalisme chauvinistik, sosialisme utopis, atau religiusitas sektarian, melainkan ideologi kebangsaan yang berangkat dari kesamaan gagasan bahwa keterpisahan dan pembeda-bedaan akan cenderung melemahkan masing-masing elemen. Gabungan dua buah elemen sistem sosial sepantasnya tidak sama atau memiliki kekuatan lebih besar daripada penjumlahan tiap elemennya. Namun harus pula diingat bahwa, dengan inspirasi dari hukum termodinamika sebagaimana telah didiskusikan sepintas pada bab nol, gabungan dua entitas sistem memiliki tingkat kerumitan yang lebih tinggi daripada observasi terpisah atas dua entitas sistem tersebut. Ini merupakan inti dari analisis kompleksitas sosial. Melalui pemahaman kita akan sistem sosial kompleks, kita memiliki pandangan atas kewilayahan Nusantara yang tak hanya berlandaskan pemahaman kita akan geografi Nusantara melainkan cakupan seluasluasnya aspek kehidupan publik. Adalah tidak mungkin berbicara tentang konsep Wawasan Nusantara tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat Indonesia, relatif terhadap tingkat kesejahteraan negeranegera tetangga. Wawasan Nusantara harus diperkuat dengan visi atas kewilayahan secara utuh serta bagaimana ide dan gagasan tentang masyarakat secara utuh berkembang secara dinamik di tengah-tengah masyarakat.
Rujukan: Dewi Sartika, Tiktik , dkk. (2004). “Evolutionary Stable Properties of Political Parties in Indonesia 2004: Memetic Approach”. Working Paper WPH04. Bandung Fe Institute. Dahlan, Rolan M. dan Situngkir, Hokky (2007). ”Menuju Perspektif Ekonofisika untuk Posisi Strategis Ekonomi Indonesia di Kawasan Asia Pasifik”. Working Paper WPR07. Bandung Fe Institute. Mulianta, Ivan, dkk. (2004) ”Power-Law Signature in Indonesian Population”. Working Paper WPT04. Bandung Fe Institute. Situngkir, Hokky (2007). “Peluang Untuk Studi Kartografi Politik Indonesia: Referensi Spasial Sistem Sosial Komplek”. Working Paper WPP 2007. Bandung Fe Institute.
1-6-24
Kompleksitas Sosiologis dan Kemasyarakatan Indonesia
Indonesia adalah masyarakat yang unik. Sebagaimana telah didiskusikan sebelumnya, keunikan aspek sosiologis masyarakat Indonesia ini dapat saja menjadi aral yang menghadang ketika kita hendak melakukan pembangunan sosial. Namun dalam perspektif kompleks kita melihat bahwa keunikan tersebut semestinya menjadi sebuah modal yang sangat positif dalam kerangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pembangunan manusia dan sistem sosial bukanlah mengubah masyarakat menjadi seperti sistem sosial dan manusia menjadi seperti yang saat ini kita temui di negara maju, melainkan proses pengembangan evolutif yang justru menghasilkan sesuatu yang lebih, karena Indonesia unik dan indah. Inilah yang ingin kita pelajari dalam ke-wiyatamandalaan pertama dalam bab ini. Bab ini mendiskusikan aspekaspek yang dapat kita pelajari melalui perbedaan yang ada di bumi pertiwi, mulai dari variasi di level etnisitas, agama, dan sebagainya. Kita juga mempelajari bagaimana media dan masyarakat berinteraksi, melihat sistem periklanan dan bagaimana ia membentuk pola konsumsi nasional, termasuk melihat kondisi yang sangat memprihatinkan seperti korupsi di berbagai level melalui banyak perspektif yang tersedia dalam kajian dan wawasan berbasis kompleksitas.
Bab 2
2.1. Etnik dan Konflik Sosial di Indonesia Ras dan etnik merupakan salah satu konsep kategorisasi individu ke dalam kelompok sosial tertentu di masyarakat. Ras pada awalnya terkait dengan pengkategorian individu berdasarkan faktor-faktor biologis tertentu seperti warna kulit, bentuk rambut, hingga struktur muka. Sementara itu, etnik atau suku dikategorisasi dengan melihat beberapa aspek kultural yang ada, seperti bahasa, agama, norma dan asal-usul kultural leluhurnya. Namun baik ras maupun etnik bisa kita katakan sebagai sebuah identitas kolektif, yang diproklamirkan berdasarkan atributatribut tertentu yang melekat secara alamiah, dari mulai warna rambut, bahasa, agama, hingga wilayah tempat ia tinggal. Munculnya kelompok sosial, khususnya etnik, terkadang membawa dampak yang negatif, terutama jika dikaitkan dengan terjadinya konflik sosial yang ditandai adanya insiden berupa mobilisasi massa dan kekerasan sosial di antara dua kelompok sosial yang berbeda identitas kolektifnya. Beberapa teori menduga bahwa identitas etnik menjadi salah satu media yang memfasilitasi terjadinya aksi kolektif. Indonesia, sebagai sebuah negara yang memiliki keragaman etnik, berpotensi mengalami konflik dan kekerasan sosial yang didasarkan pada perbedaan etnik. Secara sepintas bahkan kita dapat melihat bahwa hampir seluruh konflik sosial yang ada di Indonesia semenjak zaman Orde Baru hingga pasca jatuhnya rezim tersebut, baik konflik antara kelompok (horizontal), maupun antara kelompok sosial tertentu dengan pemerintah (konflik vertikal), pada umumnya dipengaruhi oleh dimensi etnisitas. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa studi mengenai etnik dan kaitannya dengan konflik sosial menjadi penting untuk dilakukan, terutama untuk melihat sejauh mana pengaruh keheterogenan individu dalam sistem sosial berpotensi menjadi konflik dan kekerasan sosial.
2.1.1. Keragaman Etnis dan Konflik Etnis di Indonesia Beberapa penelitian telah dilakukan guna mengkaji keragaman etnik dan kaitannya dengan beberapa aspek sosial maupun ekonomi. Pendekatan klasik secara sederhana sering menduga bahwa tingginya tingkat keragaman membawa dampak negatif, seperti rendahnya pertumbuhan dan pendapatan serta buruknya kebijakan pemerintah, rendahnya aspirasi individu terhadap kebutuhan publik, tingginya tingkat korupsi, dan juga berpotensi menimbulkan konflik dan kekerasan sosial. Kelompok etnik dan konflik etnik merupakan dua fenomena makro dalam sistem sosial yang menjadi bahan kajian banyak ilmuwan sosial, terutama 2-1-1
untuk mencari hubungan sebab akibat dari kedua aspek tersebut. Salah satunya adalah dengan mengukur tingkat keragaman suku, dengan menggunakan beberapa indeks sebagai pendekatan kuantitatifnya. Indonesia merupakan negara yang tersusun atas banyak kelompok etnik yang berbeda. Secara administratif, Indonesia terdiri atas beberapa wilayah administratif yang lebih kecil berupa propinsi kemudian kabupaten hingga satuan terkecil berupa desa. Secara umum, tingkat keragaman etnik antara satu wilayah dengan wilayah lain di Indonesia berbeda. Hal ini terkait dengan lingkaran-lingkaran asal-usul adat, bahasa dan nenek moyang dari penduduk setempat serta interaksi dengan pendatang. Untuk melihat keragaman tersebut, kita menggunakan beberapa perhitungan indeks yang umumnya digunakan oleh para ilmuwan sosial dan ekonomi untuk mengukur tingkat keragaman etnik, yaitu indeks fraksionalisasi, indeks polarisasi dan indeks entropi. Kita mengkalkulasi indeks tersebut untuk di setiap propinsi di Indonesia, dengan menggunakan data sensus penduduk tahun 2000. Salah satu indeks yang sering digunakan dalam representasi etnisitas adalah keragaman bahasa. Etnik dan bahasa merupakan hal yang sulit terpisahkan, beberapa ilmuwan etnologi dan lingustik menggunakan perbedaaan bahasa untuk mengkalisifikasi individu ke dalam etnik yang berbeda. Perbedaan etnik dan bahasa menjadi dasar bagi penyusunan indeks yang menyatakan heterogenitas agen, yang disebut sebagai indeks Ethno-linguistic Fractinalization (ELF). Indeks ini digunakan pertama kali oleh ilmuwan Soviet Altlas Norodov Mira (1964) dan kemudian dipopulerkan oleh Taylor dan Hudson (1972). Indeks ini sendiri bisa kita artikan sebagai besarnya peluang dua orang individu yang diambil secara acak akan berada pada dua kelompok etnik yang berbeda. Gambar 2.1.1. Indeks Ethno-linguistic Fractionalization (ELF) untuk 30 wilayah di Indonesia berdasarkan etnik (kiri) dan berdasarkan agama (kanan).
Di samping indeks ini, dikenal juga indeks lain, yakni indeks polarisasi. Indeks ini sendiri merupakan pengembangan dari indeks fraksionalisasi, dengan memperhitungkan “jarak” antara kelompok sosial atau etnik yang 2-1-2
diobservasi. Jarak tersebut merupakan suatu besaran tertentu yang bisa mengukur sejauh mana perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Hal ini cukup penting diperhatikan, mengingat pembedaan individu berdasarkan etnik melibatkan banyak dimensi, tidak hanya berdasarkan warna kulit tetapi juga aspek-aspek kultural, agama dan bahasa, dan aspek alamiah lainnya. Dengan demikian, dalam pengukuran tingkat keragaman suatu populasi, tidak semata-mata hanya dengan memperhitungkan share suatu etnik terhadap keseluruhan populasi – seperti dalam indeks fraksionalisasi – melainkan juga dengan memperhitungkan tingkat perbedaan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya (Reynal-Querol & Montalvo, 2005). Dari observasi yang dilakukan, secara umum ke-30 wilayah propinsi di Indonesia memiliki tingkat polarisasi yang cukup tinggi. Dengan merujuk pada definisi polarisasi, bisa kita melihat bahwa pada hampir keseluruhan propinsi di Indonesia, terutama untuk propinsi-propinsi hasil pemekaran, terdapat kelompok etnik minoritas tertentu yang hampir sama besarnya dengan etnik dominan di wilayah tersebut. Sementara itu, etnik-etnik minoritas lainnya hadir dengan share yang lebih kecil. Dengan hanya memperhatikan indeks polarisasi maka dapat dikatakan bahwa potensi konflik etnik di seluruh wilayah tersebut bisa dikatakan sama besar. Terdapat kecenderungan bahwa potensi konflik akan menjadi lebih besar ketika suatu etnik minoritas dalam jumlah yang besar bertemu dengan etnik dominan. Fakta yang berbeda didapati ketika kita menggunakan pehitungan indeks polarisasi berdasarkan data agama. Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua, Sulawesi Utara, merupakan propinsi dengan tingkat polarisasi agama yang tinggi. Hal ini menunjukkan adanya fraksi agama minoritas tertentu dalam jumlah yang cukup besar, relatif terhadap agama yang dominan di daerah tersebut. Fakta ini memunculkan dugaan bahwa konflik sosial di daerah tersebut, lebih disebabkan karena adanya motivasi karena unsur ketidakpuasan yang tersulut oleh perbedaan agama, seperti diskriminasi dari agama mayoritas terhadap agama minoritas. Gambar 2.1.2. Indeks polarisasi untuk 30 wilayah di Indonesia berdasarkan etnik (kiri) dan berdasarkan agama (kanan).
2-1-3
Konflik dan kekerasan sosial merupakan suatu fenomena yang kerap menandai kehidupan sosial masyarakat Indonesia, terutama pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Insiden yang ditandai dengan mobilisasi massa dan kekerasan terjadi hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama di Maluku, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Aceh dan Papua. Pada dasarnya harus kita sadari bahwa konflik sosial merupakan fenomena kompleks yang disebabkan oleh banyak aspek, seperti tingkat kesulitan ekonomi dan sosial, pengelompokkan sosial dan terjadinya kesenjangan hingga ketidakpuasan terhadap pemerintah dan rezim politik tertentu. Untuk menganalisis konflik sosial di Indonesia, kita menggunakan data terjadinya insiden kekerasan sosial yang terjadi di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2001. Konflik sosial di sini dipandang sebagai bentuk mobilisasi massa yang menyebabkan terjadinya korban. Secara umum, seperti yang terlihat dalam gambar 2.1.3., konflik sosial di Indonesia terkonsentrasi di beberapa wilayah, terutama Aceh dan Maluku, Papua dan Kalimantan Tengah, serta propinsi-propinsi di Pulau Jawa. Aceh menjadi daerah yang cukup banyak mengalami insiden kekerasan sosial, sebagai konsekuensi terjadinya terjadinya konflik yang berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah pusat, dimulai sejak diprolamasikannya kemerdekaan Aceh oleh Hasan Tiro pada tahun 1976 di Pidie. Disusul dengan Maluku, yang mengalami konflik antar etnik yang juga berdurasi cukup lama antara tahun 1999-2004. Propinsipropinsi di pulau Jawa menunjukkan tingkat konflik yang tinggi, terutama dengan adanya kerusuhan sosial pasca kejatuhan Soeharto antara tahun 1998-1999, khususnya kerusahan Mei 1998. Beberapa daerah lainnya tercatat juga mengalami konflik antar etnik dengan durasi yang lebih pendek seperti Kalimantan Tengah dan Barat, serta Papua.
Gambar 2.1.3. Kartogram konflik sosial di Indonesia, dinyatakan dalam jumlah insiden yang terjadi. Semakin besar luas wilayahnya menunjukkan semakin sering terjadinya insiden kekerasan sosial di wilayah tersebut.
NAD SULUT
KALTIM
KEPRI
SUMUT
GORONTALO
KALBAR
RIAU
KALTENG BABEL
JAMBI BENGKULU
KALSEL
SUMSEL
SULSEL
LAMPUNG
SULTRA
DKI BANTEN
JABAR
JATENG DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
2-1-4
MALUT
SULTENG
SUMBAR
MALUKU
PAPUA
Lalu bagaimana kerapatan insiden tersebut dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti keragaman etnik, agama, bahasa dan juga faktor-faktor ekonomi? Faktor apa-apa saja yang cukup dominan yang mempengaruhi terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia? Seringkali keragaman etnik menjadi salah satu alasan yang cukup dominan dalam memicu terjadinya konflik. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Fearon (2003) dan Horowitz (1985) menunjukkan bagaimana negara-negara yang memiliki tingkat keragaman etnik yang tinggi umumnya mengalami konflik sosial. Untuk kasus Indonesia, kita menvisualisasikan keragaman etnik yang direpresentasikan dengan besaran indeks fraksionalisasi dengan frekuensi terjadinya insiden kekerasan sosial di beberapa wilayah di Indonesia seperti terlihat pada gambar 2.1.4.
Gambar 2.1.4. Keragaman etnik dan konflik sosial. Ukuran wilayah merepresentasikan jumlah insiden kekerasan sosial, sementara indeks warna menunjukan tingkat fraksionalisasi etnik yang ternormalisasi.
NAD KALTIM SUMUT
SULUT
KEPRI
MALUT
GORONTALO
KALBAR RIAU
KALTENG
SUMBAR
BABEL
JAMBI SUMSEL BENGKULU
SULTENG
KALSEL
SULSEL
LAMPUNG
SULTRA
MALUKU
PAPUA
DKI BANTEN
JABAR
JATENG DIY
JATIM BALI
NTB
NTT
Hal yang cukup menarik, dari gambar 2.1.4., adalah kita bisa melihat bahwa pada umumnya konflik sosial terjadi pada propinsi-propinsi yang memiliki tingkat fraksionalisasi etnik yang tidak terlampau tinggi, seperti Aceh, Maluku dan propinsi-propinsi di Jawa. Propinsi-propinsi yang memiliki tingkat fraksionalisasi etnik yang cukup tinggi seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Timur justru memiliki frekuensi insiden kekerasan sosial yang lebih sedikit relatif terhadap propinsipropinsi lainnya. Penemuan serupa juga didapati dalam penelitian empirik Collier dan Hoeffler (1998), yang melihat bahwa perang sipil antar dua etnik yang berbeda justru terjadi pada negara yang memiliki tingkat fraksionalisasi menengah. Ia mengemukakan bahwa perang sipil lebih dikarenakan faktor ketidakpuasan ekonomi dan politik daripada unsur etnik. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya konflik sosial, yang juga terjadi di beberapa wilayah di Indonesia tidak disebabkan semata-mata karena perbedaan etnik melainkan juga melibatkan faktor lainnya seperti agama, ekonomi dan politik.
2-1-5
Faktor perbedaan agama juga diduga menjadi faktor penyulut terjadinya beberapa konflik etnik di Indonesia. Salah satunya adalah konflik Ambon, Maluku – konflik yang berdurasi paling lama, yaitu antara tahun 1999 hingga 2004, dan menyebabkan korban yang juga paling banyak. Seperti terlihat pada gambar 2.1.5., tingkat frasionalisasi etnik berdasarkan agama untuk daerah Maluku sangatlah tinggi. Hal inilah yang memunculkan dugaan bahwa faktor agama merupakan faktor yang dominan dalam memicu konflik sosial di daerah tersebut. Perbedaan agama menjadi begitu dominan dibandingkan dengan aturan tradisional Pela Gandong yang mengatur keharmonisan interaksi antar etnik di Maluku. Beberapa ilmuwan sosial mengemukakan bahwa pada dasarnya keterikatan individu berdasarkan atas agama lebih kuat dibandingkan etnik atau bahasa. Ada beberapa alasan yang kemudian menyebabkan faktor agama lebih kuat, yang pertama karena agama merupakan faktor yang tetap dan tidak bisa dinegosiasikan. Seseorang bisa berbicara dalam bahasa yang berbeda dan memiliki etnik campuran, namun tidak demikian halnya dengan agama. Yang kedua, agama memiliki sejumlah pandangan hidup, hubungan sosial dan lain sebagainya, yang berbeda satu sama lain (Reynal-Querol, 2002).
Gambar 2.1.5. Tingkat fraksionalisasi etnik berdasarkan agama dan terjadinya insiden kekerasan sosial. Ukuran wilayah menyatakan jumlah insiden dan indeks warna menunjukkan tingkat fraksionalisasi/keragaman etnik berdasarkan agama yang dinormalisasi.
NAD SUMUT
KALTIM
KEPRI
GORONTALO
SULUT
KALBAR
RIAU
KALTENG BABEL
SUMBAR
KALSEL
JAMBI SUMSEL
MALUT
SULTENG
SULSEL
BENGKULU
LAMPUNG
SULTRA
BANTEN
MALUKU
PAPUA
DKI
JABAR
JATENG DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Pola yang berbeda dijumpai di propinsi-propinsi lain di Indonesia, seperti Aceh dan propinsi-propinsi di Pulau Jawa. Wilayah-wilayah tersebut memiliki tingkat keheterogenan etnik dan agama yang relatif rendah di lihat dari tingkat frasionalisasi etnik dan agama. Namun, ia memiliki tingkat insiden kekerasan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa faktor utama yang berpengaruh terhadap konflik sosial di daerah tersebut, bukan semata-mata perbedaan etnik atau agama. Faktor lain yang diduga berpengaruh adalah faktor kemiskinan atau kesulitan ekonomi. Perebutan akan tanah dan sumber daya menjadi motivasi terjadinya konflik diantara kelompok sosial dan perang sipil (Collier and Hoeffler, 1998). Hal ini dapat ditunjukkan dari gambar 2.1.6., dimana kita bisa melihat bahwa daerah-daerah yang memiliki tingkat frekuensi insiden 2-1-6
kekerasan sosial yang tinggi, seperti Aceh, Maluku, Kalimantan Tengah dan Propinsi-propinsi di Jawa dan Sumatera bagian selatan, pada umumnya memiliki tingkat Gross Domestic Product atau GDP perkapita yang rendah. Perbedaan kelas dan tingkat ekonomi sendiri bukanlah faktor utama yang menyebabkan terjadinya konflik sosial, tetapi adanya ketidaksetaraan (inequality) tingkat ekonomi antar kelompok etnik yang berbeda akan mendorong terjadinya konflik sosial dan bahkan pemberontakan (Ray and Esteban, 2006).
Gambar 2.1.6. GDP perkapita tahun 2007 dan jumlah insiden kekerasan sosial. Ukuran wilayah menyatakan jumlah insiden dan indeks warna menunjukkan GDP perkapita (sumber: BPS, 2005).
NAD SUMUT
SULUT
KALTIM
KEPRI
GORONTALO
KALBAR
RIAU
KALTENG SUMBAR JAMBI
BABEL
SULTENG
KALSEL
SUMSEL
SULSEL
BENGKULU
SULTRA
LAMPUNG
BANTEN
MALUT
DKI
MALUKU
PAPUA
JATENG
JABAR
DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Fakta lain yang cukup menarik adalah uniknya properti keragaman etnik di Indonesia, bukan hanya beragam dalam aspek etnik atau kultural semata melainkan juga agama, dan bahasa. Seperti kita lihat pada gambar 2.1.7., sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki keragaman etnik dan juga agama yang cukup tinggi, kecuali untuk propinsi-propinsi di Pulau Jawa dan Bali. Pengkajian konflik sosial tidak hanya terkait dengan faktor-faktor yang berpengaruh dan struktur konflik sosial, melainkan juga dampak yang diakibatkan olehnya. Pengungsian dan kekurangan tempat tinggal, kerugian ekonomi, rendahnya kelayakan hidup dan sumber daya, merupakan beberapa dampak yang umumnya ditemukan pasca terjadinya konflik sosial di beberapa wilayah di Indonesia. Pasca konflik ditandai dengan adanya kerapuhan (vulnerability) aspek sosial, kemanusiaan dan juga ekonomi di wilayah tersebut.
2-1-7
Gambar 2.1.7. Fraksionalisasi etnik dan agama di Indonesia. Ukuran wilayah Pendapatan Domestik Bruto, tanpa DKI Jakarta (sumber: BPS, 2005) dan indeks warna menunjukkan tingkat fraksionalisasi etnik berdasarkan agama.
NAD SUMUT
KEPRI
RIAU
SULUT
KALTIM
GORONTALO
MALUT
KALBAR
SUMBAR
SULTENG
KALTENG
JAMBI SUMSEL
BABEL
SULSEL
KALSEL
MALUKU
SULTRA
BENGKULU
PAPUA
LAMPUNG
BANTEN JABAR
JATENG
JATIM
BALI
DIY
NTB
NTT
Gambar 2.1.8. Tingginya biaya untuk kehidupan yang layak dan insiden kekerasan sosial. Ukuran wilayah menyatakan jumlah insiden kekerasan sosial, sementara warna menunjukkan biaya untuk kehidupan yang layak (sumber: Depnakertrans, 2007).
NAD GORONTALO
KEPRI RIAU SUMBAR JAMBI BENGKULU
SULUT
KALTIM
SUMUT
KALBAR
KALTENG
BABEL
KALSEL
SUMSEL
SULSEL LAMPUNG
SULTRA
DKI BANTEN JATENG
JABAR
JATIM DIY
BALI
NTB
NTT
2-1-8
MALUT
SULTENG
MALUKU
PAPUA
Untuk beberapa kasus di Indonesia, beberapa wilayah pasca konflik mengalami peningkatan biaya hidup layak. Hal ini ditunjukkan pada gambar 2.1.8., di mana kebutuhan hidup yang tinggi terdapat pada propinsi-propinsi yang sering mengalami insiden kekerasan sosial, seperti Maluku, Aceh, Lampung, Papua dan sebagian wilayah propinsi di Pulau Jawa. Kurangnya sumber daya dan kurang berjalannya sektor-sektor ekonomi menjadi penyebab utama tingginya biaya hidup layak di wilayah tersebut. Ironisnya, tingginya biaya untuk kehidupan pasca konflik di wilayahwilayah tertentu di Indonesia, seperti Maluku, Aceh, Lampung dan Sulawesi Tengah, diiringi dengan tingkat pendapatan yang rendah untuk masyarakat di wilayah tersebut. Pada gambar 2.1.9. kita bisa melihat bahwa daerah-daerah seperti Maluku, Kalimantan Barat, Sulawesi, dan sebagian besar propinsi di pulau Jawa, memiliki upah minimum yang lebih rendah, relatif terhadap daerah-daerah lain di Indonesia. Fakta ini tentunya menjadi cukup penting untuk diperhatikan tatkala kita berbicara mengenai penanganan wilayah pasca konflik. Gambar 2.1.9. Jumlah insiden kekerasan sosial dan upah minimum regional. Ukuran kartogram menyatakan jumlah insiden, sementara indeks warna menunjukkan tingkat upah minimum regional tahun 2007 untuk setiap wilayah.
NAD GORONTALO
KEPRI RIAU SUMBAR JAMBI BENGKULU
SULUT
KALTIM
SUMUT
KALBAR
KALTENG
BABEL
KALSEL
MALUT
SULTENG
SUMSEL
SULSEL LAMPUNG
SULTRA
DKI
MALUKU
PAPUA
BANTEN JATENG
JABAR
JATIM DIY
BALI
NTB
NTT
Paparan ini menunjukkan tingkat keheterogenan etnik di seluruh wilayah Indonesia dengan menggunakan beberapa indeks yang lazim digunakan. Secara umum, dengan menggunakan indeks-indeks tersebut, setiap propinsi memiliki tingkat kehetogenan etnik yang tinggi. Konflik sosial yang banyak terjadi di beberapa propinsi di Indonesia, terutama pasca kejatuhan rezim orde baru, tidak seluruhnya terkait dengan isu keheterogenan etnik, melainkan juga dengan beberapa aspek, seperti buruknya tingkat ekonomi, ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah, hingga faktor-faktor sosio-religius masyarakat setempat. Penyusunan indeks tertentu yang memperhatikan faktor-faktor tersebut 2-1-9
diperlukan untuk mengukur sejauh mana tingkat potensi konflik dari setiap kawasan di Indonesia. Penanganan konflik sosial di Indonesia tentunya perlu memperhatikan faktor-faktor apa yang cukup berpengaruh dalam menimbulkan konflik di daerah tersebut. Sebagai contoh, konflik Maluku dan konflik Aceh tentunya mempunyai struktur yang berbeda dilihat dari latar belakang dan faktor-faktor sosio-ekonomi yang memicu konflik di daerah tersebut. Telaah lebih jauh tentang bagaimana struktur hubungan antar etnik di setiap wilayah di Indonesia tentunya akan sangat bermanfaat dalam mengambil kebijakan ekonomi dan politik yang mampu mengantisipasi terjadinya konflik sosial di daerah tersebut, yang tak sedikit memakan korban jiwa.
2-1-10
Konflik Ambon tahun 1999-2004
p (x) =
(a-1) æ x ö ç ÷ xmin è xmin ø
-a
é n x ù a = 1 + n ê å ln i ú ë i =1 xmin û
-1
-1
é n x ù a -1 s = n ê å ln i ú = n ë i =1 xmin û
Sifat hukum pangkat pada distribusi korban selama periode konflik 1999-2004 dengan koefisien pangkat sekitar 2. Hal ini menunjukkan pola pengaturan pada diri sendiri dalam hal terjadinya konflik dan kekerasan sosial selama periode konflik tersebut. Ekstraksi sifat statistik ini memberikan gambaran bahwa dalam peristiwa kekerasan sosial ini terjadi efek menyebar yang menyeramkan dan melalui kalkulasi komprehensif atas momen-momen statistika yang dilakukan, dalam limit tak berhingga jumlah korban terbesar yang mungkin menjadi tak berhingga untuk tiap insiden yang ada. Perilaku organis kekerasan sosial ini bersifat pengaturan diri sendiri dan sangat kompleks dalam perspektif keterkaitan non-linier mikro-makro. Hal ini meninggalkan kita sebuah pelajaran berharga, agar konflik serupa tidak pernah boleh terjadi lagi di masa mendatang, demi kemanusiaan. Khanafiah, D., & Situngkir, H. (2007). “Bird’s Eye View to Indonesian Mass Conflict: Revisiting the Fact of Self-Organized Criticality”. Working Paper Series WPG 2007. Bandung Fe Institute.
Konflik dan Kekerasan Sosial: Simulasi Komputasional Konflik Massa seringkali berasal dari pola mobilisasi massa dalam sistem sosial. Simulasi komputasional yang dilakukan dapat membantu kita untuk memahami terjadinya kekerasan masif sebagai akibat munculnya mobilisasi massa yang disulut melalui adanya ketegangan identitas sosial yang berbeda di dalam masyarakat. Dalam simulasi beberapa hal yang menjadi perhatian adalah: ? Adanya kegelisahan eksogen atas sistem dan lingkungan sosial di mana anggota masyarakat berada. Misalnya: kesulitan ekonomi, ilegitimasi pemerintahan di kalangan agen, dan sebagainya. ? Faktor-faktor jaring sosial yang memunculkan tokoh mobilisator (dapat dipandang sebagai provokator) dalam mobilisasi yang terjadi. ? Adanya identitas kolektif (sosial) dan ketegangan awal antar identitas kolektif.
Manajemen identitas kolektif dan pola pendinginan melalui bentuk-bentuk interaksi sosial sebagai dua hal penting dalam pencegahan merebaknya kekerasan sosial.
Manajemen Identitas Sosial, yang berbeda dan pola pendinginan ketegangan sosial, mencegah tercapainya nilai ambang, yang berpotensi melahirkan kekerasan sosial.
Rujukan: Situngkir, H. (2004). “On Massive Conflict: Macro-Micro Link”. Journal of Social Complexity 1 (4): 3-13.
2.2 Media dan Konstruksi Sosial Harus diakui bahwa masyarakat modern tak dapat dipisahkan dari berbagai teks yang mengandung berbagai hal informatif dari kontekstualisasi kehidupan modern itu sendiri. Kita telah terbiasa berinteraksi dengan berbagai artifak kehidupan modern berupa teks, mulai dari novel, komik, surat kabar, hingga teks-teks dalam media audio visual seperti lirik lagu, puisi dan juga pembacaan berita di televisi. Studi kultural seringkali dikaitkan dengan penelaahan teks-teks, yang menyebabkan adanya kedekatan studi hermenutika dengan kajian studi budaya. Dalam kajian budaya, permintaan pendekatan transdisiplin sangatlah tinggi karena dalam pendekatan obyek budaya juga diperhatikan dimensi ekonomi politik, analisis teks dan kritik tekstual, termasuk penyelidikan terhadap penerimaan informasi dari audiens yang mengkonstruksi budaya. Tendensi transdisiplin ini mendorong akuisisi dan eksploitasi metode yang berkembang di ranah kajian sains alam untuk berkontribusi dalam kajian dan studi budaya. Kompleksitas budaya merupakan sebuah konsep yang dapat diterima oleh hampir seluruh kalangan ilmu pengetahuan. Budaya manusia, atau secara spesifik budaya modern dengan segala konstruksi sosial yang bertalian dengan teks-teks di dalamnya, merupakan sistem yang tidak sederhana. Pendekatan komprehensif lintas disiplin menjadi tak sekadar perlu demi perolehan pengetahuan secara maksimal, namun menjadi sebuah urgensi agar kita dapat menjinakkan kompleksitas budaya. Bagian ini menitikberatkan pada bagaimana media menjadi sebuah artifak yang lahir dari manusia sekaligus memiliki kemampuan mempengaruhi pola pikir manusia. Dua hal yang ingin dicakup dalam bagian ini, pertama adalah bagaimana media menjadi partner dari dunia industri dalam proses branding produk-produk tertentu. Penelaahan ini akan membawa kita pada sebuah konjektur tentang pola konsumsi masyarakat dari sisi branding produk tertentu. Pendekatan kedua adalah analisis terhadap pemberitaan media massa dengan mengakuisisi analisis teks dan konsep sentralitas graf berbobot (weighted graph). Di sini, kita menganalisis secara tekstual headline sebuah surat kabar nasional yang memiliki oplah terbesar se-Indonesia. Pendekatan ini membawa kita kepada berbagai konsep yang memberi peran penting tentang bagaimana masyarakat Indonesia memandang dunia dan lingkungannya.
2-2-1
Dinamika Opini: Peran Media dan Kompetisi Dua Opini dalam “benak” Masyarakat Pada simulasi ini, kita misalkan tiap kisi merepresentasikan satu agen dalam sistem sosial yang pembaharuan state-nya diatur menurut rule antara lain: RULE 1: mengikuti aturan mayoritas (majority rule), kisi tengah cenderung tetap pada opini mayoritas lokal. RULE 2: ketika satu agen sosial mengikuti satu opini yang berbeda dengan tetangganya, peluang untuk mengikuti mayoritas lokal meningkat meski ada juga peluang (1-p) yang relatif lebih kecil, yaitu tetap pada pendiriannya. Tiap kisi yang merepresentasikan agen sosial beraktivitas dalam dunia artifisial yaitu: Bentuk 2D: dunia berukuran L x L. Bentuk 3D: torus.
RULE 3: Di samping mayoritas memiliki kesempatan mempengaruhi kedua agen yang lain, ada juga peluang di mana dua agen bertetangga meyakinkan tiga tetangga lainnya dengan aturan Sznajd (2003). RULE 4: Frustasi mikro-sistemik, di mana agen yang ditengah "bingung" dan memilih untuk tetap pada pendiriannya. Di sini, kehadiran liputan media (yang "mengiklankan" suatu opini tertentu) dapat mengubah struktur mikro dari sistem.
Kemudiandilakukansimulasikomputasional
Sehingga diperoleh hasil seperti berikut:
Semakin besar ukuran pasar yang hendak dikuasai, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membentuk formasi opini dominan.
Persebaran opini dan merk/produk akan jauh lebih menjadi sangat cepat jika masyarakat (pasar) terkondisikan untuk berkecenderungan mengikuti mode.
Semakin besar sumber daya yang digunakan dalam pengiklanan sebuah produk maka semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk mencapai konsensus. Namun, keuntungan dari konsensus juga menjadi semakin besar.
Rujukan: Situngkir, Hokky. (2006). “Advertising in Duopology Games”. Working Paper WPF2006. Bandung Fe Institute.
2.2.1. Karakterisasi Pola Konsumsi Orang Indonesia Berdasarkan Merek Manusia adalah makhluk simbol (animalus symbolicum) yang senantiasa merepresentasikan berbagai hal dengan simbol dan penanda. Representasi ini bahkan dilakukan dalam hal pemenuhan kebutuhan hidupnya. Hal ini pula yang menjadi dasar pertimbangan bahwa analisis kritis terhadap budaya masyarakat modern perlu memperhatikan sejauh mana branding memberi pengaruh atas pola konsumsi masyarakat. Titik ini perlu dicermati mengingat industri modern saat ini tak hanya menghasilkan produk konsumsi, melainkan juga merek yang membedakan satu produk dengan merek lain. Adalah sebuah tantangan tersendiri untuk mengobservasi sejauh mana periklanan telah menjadi bagian dalam budaya konsumsi masyarakat Indonesia saat ini. Yang jelas, masyarakat kita adalah masyarakat yang menonton televisi, mendengarkan radio, dan membaca pewartaan di berbagai media cetak. Artinya, sedikit banyak akan ada pengaruh oleh berbagai imagi yang ditawarkan oleh industri merek. Sepintas lalu, jika industri dan firma berusaha menjual produk kepada pelanggan, maka media massa dapat dilihat sebagai industri yang berusaha menjual merek kepada masyarakat luas. Dalam titik ini, studi atas branding, periklanan, dan bagaimana masyarakat memilih produk berdasarkan merek menjadi diskusi yang menarik. Hal ini memotivasi kita untuk melihat lebih jauh. Upaya ini dilakukan dengan mengeksploitasi berbagai metodologi yang memungkinkan kita untuk melihat pola budaya modern ini lebih jauh secara kuantitatif dan terukur. Data yang kita gunakan dalam studi ini bersumber dari pengumuman Indonesian Brand 2007 yang dimuat di majalah “SWAsembada” edisi 16/XXIII/26 Juli-8 Agustus 2007. Pembaca yang tertarik dapat melihat langsung edisi majalah tersebut untuk melihat lebih detail tentang proses pengambilan data dan kalkulasi yang dilakukan, sehingga menghasilkan indeks yang dapat digunakan dalam kajian ini. Dari data tersebut, kita melakukan studi dengan menggunakan metodologi komputasional jaring saraf buatan atau tepatnya selforganizing map (SOM). Perangkat ini digunakan sebagai alat bantu klasifikasi dan pengelompokan data.
2-2-4
Gambar 2.2.1. Klasifikasi atas iklan yang diingat dan asosiasi memori terhadap merek.
Produk-produk yang diiklankan memberikan asosiasi yang berkorelasi kuat dengan pengenalan merek di antara konsumen di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh klasifikasi lima area oleh jaring saraf SOM yang kita bangun, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.2.1. Pada gambar tersebut terlihat bahwa kategorisasi yang kita lakukan berada pada garis fit linier yang dihasilkan, dan terdapat sekitar 10 kelompok merek yang berada di atas rata-rata dari sisi efektivitas periklanan dan pengetahuan konsumen akan merek yang diiklankan. Dalam kategori yang diberikan, produk-produk ini memang sudah cukup terkenal dan berada dalam klasifikasi produk personal (air mineral, makanan ringan, mi instan, pasta gigi, minuman, dan maskapai penerbangan di Indonesia). Sulit untuk menduga bahwa kepopuleran produk ini disebabkan oleh intensitas periklanan oleh firma yang bersangkutan mengingat produk-produk tersebut telah cukup lama hadir dan populer di Indonesia. Secara umum, terdapat korelasi positif yang kuat untuk produk-produk lain dalam tiga kategori lainnya, seperti ditunjukkan pada gambar 2.2.1. Fenomena menarik muncul untuk beberapa produk yang dikenali iklannya namun tidak diingat merek yang diiklankannya, seperti produk kosmetika jamu (Slimming Tea Mustika Ratu, Merit), produk minuman (Mountea), suplemen kesehatan (Cerebrovit). Namun secara umum, hal ini sangat sensitif terhadap produk yang diiklankan. Empat produk tersebut termasuk dalam merek yang tergolong (dalam indeks yang disusun) sebagai best brands.
2-2-5
Gambar 2.2.2. Klasifikasi atas brand share dan asosiasi memori terhadap iklan disertai fit liniernya (inset).
Tujuan pengiklanan tentunya adalah agar merek atas produk yang ditawarkan benar-benar dapat meraup pasar seluas-luasnya. Pengukuran atas sejauh mana iklan dapat memberikan kaitan dengan share merek tertentu ditunjukkan pada gambar 2.2.2. Pada gambar tersebut kita menggunakan lebih banyak node jaring saraf untuk mendeteksi sedetail mungkin sebaran data dalam ruang analitik. Hasil yang diperoleh sangat menarik karena keterkaitan antara brand share dan asosiasi memori terhadap iklan yang ditampilkan sangat tinggi untuk masyarakat Indonesia. Semakin besar asosiasi terhadap iklan maka brand share yang diperoleh oleh merek tersebut pun semakin besar pula. Hal ini dikonfirmasi oleh node-node dalam jaring saraf yang kita gunakan untuk memetakan ruang tersebut. Satu produk terlihat menjadi anomali dalam satu kategori, yakni makanan ringan dengan merek Leo. Tidak mudah untuk melakukan analisis sebab terjadinya anomali atas merek ini. Namun, satu hal yang jelas bahwa asosiasi memori masyarakat atas iklan berbanding lurus dan linier dengan rekognisi atas iklan. Ini merupakan sebuah kondisi yang menunjukkan bahwa, di Indonesia, iklan merupakan suatu sarana yang sangat efektif dalam memperkenalkan produk dan merek tertentu.
2-2-6
Gambar 2.2.3. Kepuasan terhadap merek produk.
Dua korelasi kuat yang ditunjukkan pada sub-bagian sebelumnya tidak terjadi ketika kita mengkontraskan antara kepuasan pengguna dan kemampuan konsumen Indonesia dalam mengingat merek produk. Pada gambar 2.2.3. ditunjukkan bahwa kemampuan konsumen kita dalam mengasosiasikan kepuasannya atas merek tertentu dengan asosiasi memorinya terhadap merek tertentu tidak senantiasa bersifat korelatif. Terdapat lebih dari 90% merek yang kurang diingat, walaupun tingkat kepuasan atas merek tersebut relatif tinggi. Apakah hal ini menunjukkan bahwa produk-produk yang dipasarkan (tentunya yang dicakup dalam survei yang dilakukan) sudah cukup baik dalam memuaskan pelanggan? Argumentasi ini tentu saja tidak mudah untuk dijustifikasi. Namun terlihat jelas, dalam kategorisasi 10 node jaring saraf SOM yang digunakan, hanya terdapat sekitar 11 merek produk yang tingkat kepuasan atas merek yang bersangkutan berkaitan erat dengan asosiasi memori konsumen terhadap merek tersebut. Dari sebelas produk ini, terdapat dua produk yang cukup menarik, yakni merek obat sakit maag Promag dan minuman energi ExtraJoss. Dua produk ini memiliki nilai asosiasi memori konsumen, atas iklan yang dilancarkan, yang secara relatif tidak terlalu tinggi. Namun, keduanya memiliki nilai asosiasi konsumen atas merek dan tingkat kepuasan yang tergolong tinggi. Ini tentunya merupakan contoh merek yang telah sangat berhasil di pasar. Pengenalan konsumen atas iklan dua produk tersebut tidak lagi berkaitan langsung dengan pengenalan atas merek yang ditawarkan. Sementara itu, sembilan produk lainnya cenderung memiliki keterkaitan dengan pengenalan konsumen atas merek-merek tersebut. 2-2-7
Gambar 2.2.4. Brand share dan kepuasan pengguna produk dengan merek tertentu.
Tingkat kepuasan konsumen atas merek-merek yang dipasarkan, sebagaimana ditunjukkan pada sub-bagian sebelumnya, ternyata cukup menarik ketika kita kaitkan dengan kemampuan merek tersebut dalam merebut pangsa pasar yang ada. Merek-merek dengan pangsa merek yang kuat dan memiliki tingkat kepuasan tinggi berjumlah relatif cukup banyak, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.2.4. Yang menarik tentunya adalah merek dengan brand share dan kepuasan penggunaan yang tinggi dengan tingkat asosiasi memori konsumen atas iklan tidak berada dalam klasifikasi paling tinggi dalam jaring saraf SOM, seperti ditunjukkan pada gambar 2.2.1. Merek-merek seperti Slimming Tea Mustika Ratu, Okky Jelly, Frutang, Keripik Leo, Mountea, Cerebrovit, tidak begitu dominan dalam hal pengenalan merek. Namun, mereka menguasai pangsa merek yang tersedia serta memiliki tingkat kepuasan pelanggan yang sangat tinggi. Merek-merek seperti Frutang, OkkyJelly, Teh Sosro, dan Sikat Gigi Formula tidak termasuk dalam cluster merek dengan tingkat rekognisi akan iklan yang tinggi (lihat gambar 2.2.1.). Namun, mereka termasuk dalam cluster yang sangat tinggi pada bidang ini. Ini menunjukkan bahwa, meski tidak banyak, dimungkinkan terjadinya penguasaan merek di pasar tanpa dibarengi dengan tingkat pengiklanan yang tinggi. Dalam hal ini, teknik pemasaran (selain pengiklanan) dapat pula menjadi pemicu tingginya nilai indeks pangsa merek, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 2.2.4. Masyarakat Indonesia cenderung terpengaruh terhadap iklan. Selain itu, iklan menjadi sebuah sarana yang vital dalam hal persaingan usaha. Pada gambar 2.2.5. ditunjukkan keterkaitan antara kepuasan pengguna dan asosiasi merek produk yang bersangkutan. Pada bidang dua variabel tersebut, dari 10 node jaring saraf yang digunakan dalam proses klasifikasi, tidak banyak merek yang berada pada cluster utama. Lebih jauh dapat terlihat pada inset perbesaran gambar 2.2.5. Hubungan yang tak linier tersebut juga menunjukkan adanya kecenderungan bahwa kepuasan pelanggan tak selalu disertai dengan ingatan yang baik atas 2-2-8
iklan dari merek yang bersangkutan. Ada banyak produk dengan asosiasi memori atas iklan yang tidak tinggi, namun ternyata menunjukkan indeks kepuasan penggunaan yang relatif tinggi.
Gambar 2.2.5. Clustering pada bidang kepuasan pengguna dan tingkat asosiasi merek atas iklan.
Dari studi lima bidang tersebut serta dengan mengamati pola clustering yang terjadi di dalamnya, kita dapat melihat beberapa fakta tentang pola konsumsi di Indonesia dan kaitannya dengan merek produk yang digunakan. Beberapa fakta tersebut antara lain: ?
Pengiklanan merupakan sarana pemasaran yang penting untuk meningkatkan asosiasi memori konsumen pada merek, meski ditemui juga beberapa brand yang membentuk cluster merek yang dikenali konsumen tapi dengan asosiasi atas iklannya yang tidak begitu tinggi. ? Masyarakat Indonesia cukup terpengaruh dengan pengiklanan dalam hal pemilihan merek tertentu, sehingga brand share cenderung sangat terkait dengan asosiasi atas iklan suatu merek. Semakin kuat asosiasi atas iklan, maka kecenderungan untuk meraup brand share yang luas juga sangat tinggi. Hal ini terlihat pada hampir seluruh merek produk. ? Tingkat kepuasan pelanggan atas merek secara relatif cenderung tidak selalu berkaitan dengan ingatan pelanggan atas merek suatu produk. Beberapa brand justru tak begitu diingat meski indeks kepuasan penggunaannya relatif tinggi. ? Beberapa merek tertentu menguasai brand share yang tinggi meski indeks kepuasan penggunaan atas merek tersebut tidak begitu tinggi. Hal ini juga terjadi pada ingatan atas pengiklanan merek tersebut.
2-2-9
2.2.2. Isu 2008 dalam Horizon Media Nasional Model yang kita bangun secara sederhana berkeinginan untuk menggambarkan penggunaan kata sebagai elemen terkecil dari teks dalam bentuk graf atau jaringan. Penggunaan model ini telah dirintis sebelumnya dengan cara yang berbeda, misalnya oleh para peneliti di CASOS (Center for Computational Analysis of Social and Organizational Systems) di Amerika Serikat. Mereka menggunakan analisis teks dan representasi statistiknya dalam pengamatan sistem sosial kompleks. Beberapa pendekatan analisis kompleksitas yang dilakukan oleh R. F. Sancho dan R. V. Solé tentang sifat-sifat “jaringan bahasa” telah pula memeriksa dan membuktikan secara demonstratif persistensi sifat topologi “dunia kecil” dalam jaringan kata-kata. Sebagaimana diungkapkan oleh pionir analisis frekuensi penggunaan kata dalam korpus, G. K. Zipf, manusia berupaya untuk memperkecil usaha dalam mengkomunikasikan gagasan. Perilaku ini menyebabkan adanya kecenderungan bagi penulis/pewarta teks untuk menggunakan pengulangan kata sedemikian sehingga secara timbal balik pendengar/pembaca warta teks menggunakan usaha yang minim pula, dalam proses mencerna makna. Akibatnya, penggunaan kata menjadi berulang. Jika kita menganggap penggunaan satu kalimat dalam teks (baik berupa headline surat kabar, newsticker, maupun pesan singkat) sebagai sebuah graf terkoneksi penuh, maka kumpulan kalimat-kalimat tersebut dapat memberikan sebuah visualisasi graf. Jika sebuah kata dianggap sebagai sebuah node, lalu keterhubungan antar kata, misalnya pada satu kalimat, menjadi tepinya (edges) maka graf keterhubungan antar konsep dalam jaringan teks dapat dimodelkan sebagai sebuah graf keterhubungan antar konsep yang direpresentasikan dalam kalimat. Dalam bagian ini, kita ingin menyelidiki data teks berupa seluruh headline harian KOMPAS, sebagai salah satu media nasional yang memiliki oplah terbesar di Indonesia. Data data teks berupa headline yang digunakan mulai dari 1 Desember 2006 hingga 27 Juli 2007. Data headline surat kabar ini merupakan kumpulan judul yang dipilih dan menjadi tajuk utama dari sebuah surat kabar nasional yang sedikit banyak dapat menggambarkan berbagai isu populer yang menjadi isu hangat pada sistem sosial kita secara nasional. Analisis jaringan teks tersebut dikerjakan dengan menggunakan sebuah metode komputasional. Studi dilakukan pada korpus yang dikonstruksi melalui headline surat kabar nasional dan pesan pendek spontan masyarakat melalui layanan telepon selular. Objek penelitian ini sebelumnya lebih sering didekati secara kualitatif oleh pendekatan konvensional. Gagasannya adalah memodelkan kata sebagai jaringan linguistik. Dari sini diharapkan, kita dapat menemukan sebuah insight baru, yang sebelumnya sulit diperoleh melalui analisis kualitatif.
2-2-10
Ilustrasi Metodologi Studi Media dengan Jaring Linguistik dalam Khazanah Kajian Budaya Modern
Distribusi peluang keterhubungan antara satu konsep baru dengan jaringan konsep lama yang menyusun graf (p(k)), peluang penggunaan kata (p(kw)), dan peluang kekuatan sentralitas (p(s)) menunjukkan sifat skala.
Perlu dicatat bahwa (karena analisis ini menggunakan metodologi yang melihat pola pemaknaan yang terepresentasi dari penggunaan kata), kata-kata yang sensitif terhadap tata bahasa, seperti kata sambung, kata sandang, kata keterangan, dan seterusnya, kita hilangkan dari korpus yang ingin diobservasi. Hal ini tentunya akan memperjelas keterhubungan antara satu konsep dengan konsep lain, yang ditunjukkan dengan penggunaan kata-kata tertentu di dalam korpus.
Satu kata akan cenderung terhubung dengan kata lain dengan sifat skala: satu kata baru yang ingin digunakan dalam penyusunan satu kalimat baru cenderung terhubung dengan kata lain yang sering digunakan dalam totalitas korpus tersebut. Satu kata (baca: konsep) menjadi sangat terhubung dengan banyak konsep lain dan kata yang dominan tersebut secara mendasar menunjukkan pola tematikal pemaknaan konsep secara umum dari korpus.
Dari gambar 2.2.6. kita dapat melihat bahwa sepanjang periode Desember 2006 hingga Juli 2007, harian Kompas sangat didominasi oleh pemberitaan di seputar isu pemerintahan eksekutif di Indonesia. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan pola pemberitaan Kompas yang dikenal luas sebagai salah satu media nasional terpopuler di tanah air dalam mengkritisi sekaligus memberitakan berbagai aspek pemerintahan di Indonesia. Secara tematik, Kompas sebagai media nasional yang terkemuka cukup rajin menampilkan pemberitaan tentang kepemimpinan nasional dan dinamika aspek politika pemerintahan, sebagaimana dibutuhkan oleh pembacanya. Lebih jauh, kita juga tergoda untuk melihat sejumlah aspek dan isu nasional yang berkembang pada periode investigasi tersebut, sebagaimana terekam dalam headline surat kabar ini. Untuk memudahkan, graf yang total keterhubungan dari seluruh konsep yang ada pada basis data headline kita reduksi menjadi graf yang lebih sederhana dengan hanya menampilkan seratus kata terkuat dalam matriks keterhubungan yang ada. Dari gambar tersebut, dengan memahami konstruksi sosial dalam pemberitaan surat kabar, kita dapat melihat beberapa isu nasional di sepanjang periode investigasi tersebut. Isu-isu tersebut antara lain pemberitaan seputar kecelakaan pesawat dari maskapai ADAM AIR, bencana lumpur Lapindo, banjir di beberapa lokasi di Indonesia, termasuk hal-hal seputar ekonomi seperti harga beras, kredit dan investasi, serta pemberitaan isu politik seperti pengesahan Undang-undang, konstitusi, aktivitas pemerintahan (presiden dan wakil presiden) serta beberapa isu khusus seperti misalnya epidemi flu burung dan kasus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN). Pendekatan mendetail di seputar isu-isu ini dapat dilakukan dalam analisis media termasuk keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lain. Dalam kerangka evaluatif aspirasi kemasyarakatan, hal ini tentu dapat memberikan wacana cara melihat pemberitaan surat kabar secara umum dalam periode waktu tertentu, termasuk bagi harian yang bersangkutan untuk memandang secara umum pola pemberitaan yang ada. Hal ini tentu tidak dapat dilakukan hanya dengan sekadar membaca berita. Sumbangan metodologis analisis media ini dapat dilakukan dalam kerangka studi budaya secara umum. Gambar 2.2.6. Visualisasi matriks si ε S yang menggambarkan kekuatan dari beberapa node headline harian Kompas.
2-2-12
Setelah beberapa kali filterisasi konsep berdasarkan tingkat kepentingannya, kita dapat melihat beberapa konsep dari dinamika kehidupan sosial politik bangsa Indonesia dalam periode observasi tekstual yang dilakukan. Beberapa hal yang menarik untuk dicatat adalah bahwa terdapat corak p e n ge l o m p o ka n ko n s e p d a l a m pemberitaan tentang bencana di beberapa tempat di nusantara. Kecelakaan di sektor transportasi yang memakan korban jiwa, kasus Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) yang menghebohkan, kasus penumpukan sampah, tentang harga kebutuhan pokok seperti beras, serta beberapa isu seputar politik pemilihan kepala daerah (PILKADA), politik ibu kota, dan politik luar negeri terkait isu terorisme, i nte l i j e n , d a n p e r i st i wa p a s ca penyerangan AS ke Irak. Dari pemberitaan ini terlihat pula keterkaitan antara konsep pihak yang disoroti atau obyek pemberitaannya media massa bersangkutan dan isu yang diangkat. Cukup menarik memperhatikan beberapa isu ekonomi misalnya investasi, kredit, APBD, Bank Indonesia menunjukkan cluster yang seolah “terpisah” dari konsep tokoh nasional yang menjadi subyek berita.
2.3. Korupsi 2.3.1. Aspek Teoretis Korupsi Eksistensi korupsi di bumi pertiwi memiliki sejarah yang sangat panjang, bahkan telah ada sejak lama. Korupsi juga ditengarai sebagai salah satu penyebab yang melatarbelakangi bubarnya VOC, ratusan tahun yang lalu. Perilaku ini terus bertahan hingga sekarang, era Indonesia modern. Praktik ini sangat memasyarakat dan begitu dekat dengan kehidupan kita sehari-hari, mulai dari pengurusan KTP, iuran sampah warga hingga markup biaya proyek skala triliyunan rupiah. Di Indonesia, korupsi sangat sering dihubungkan dengan 2 konsep lainnya, yaitu: kolusi dan nepotisme. Hubungan tiga konsep tersebut kita kenal baik dalam akronim populer KKN (korupsi, kolusi, nepotisme). Hornick (2001) mendefinisikan kolusi sebagai sebuah kondisi dimana pekerja publik berkonspirasi atau bekerjasama dengan pekerja publik atau individu privat lainnya untuk merugikan individu, masyarakat atau negara. Sementara nepotisme adalah sebuah kondisi dimana pekerja publik menempatkan anggota keluarga atau kroni pada sebuah posisi tertentu di atas kepentingan masyarakat atau negara. Menurut Keefer (2002), korupsi berhubungan erat dengan karakteristik demokrasi Indonesia saat ini, yang menginduksi terjadinya korupsi. Pertama, institusi demokrasi yang ada masih belum cukup dewasa. Kedua, horizon kebanyakan politisi sangat pendek. Ketiga, di negara demokrasi yang telah mapan, pengendalian korupsi dilakukan oleh pemerintah. Namun, di Indonesia, khusunya pasca reformasi, tanggung jawab itu diserahkan kepada legislator. Di lain pihak, pemilih tidak cukup mampu dalam mempengaruhi kebijakan yang dikeluakan oleh partai politik (legislator).
(sumber: Poster Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia)
Korupsi memiliki dampak yang sangat serius bagi pertumbuhan ekonomi, evolusi kontrak sosial (sebagaimana telah dibahas di bagian 1.1.), hubungan internasional dan lain sebagainya. Untuk itu, isu ini harus dikaji secara serius dengan menggunakan berbagai jenis pendekatan yang ada. Di bagian ini, kita akan mengkaji dinamika korupsi di Indonesia dengan menggunakan pendekatan komputasi. Struktur permasalah tersebut coba ditumbuhkan di dalam komputer (in silico), sebagaimana telah kita diskusikan di bagian 0.2. Dengan menggunakan pendekatan ini diharapkan kita akan mampu menjawab sejumlah wacana umum, yang biasa muncul ketika berbicara tentang korupsi.
2.3.1.1. Kerumitan Pendefinisian Korupsi Korupsi sangat rumit untuk didefinisikan. Korupsi bukanlah sebuah fenomena ekonomi esklusif. Abed dan Davoodi (2000) menyebutkan bahwa korupsi adalah manifestasi dari sejumlah proses politik, hukum 2-3-1
dan aspek-aspek lainnya, akibatnya kita harus membedah persoalan ini secara hati-hati. Untuk itu, pertama-tama kita mengkaji terlebih dahulu definisi korupsi yang akan digunakan. Di Indonesia, menurut Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, korupsi terkait dengan perbuatan melawan hukum yaitu melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi, yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. Sementara dalam definisi umum, yang lebih populer, disebutkan korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi (Tanzi, 1998). Perdebatan tidak berhenti di sini karena, ternyata, korupsi memiliki banyak konseptualisasi lain. Namun dapat kita katakan bahwa, korupsi terkait dengan gejala lemahnya sistem politik, sosial, hukum dan ekonomi. Ketika korupsi menyebar, aktor akan berupaya menyembunyikan tindakan tersebut dari perhatian publik. Tindakan ini terjadi di banyak negara karena memang, pada dasarnya, ini bukan hal baru dalam peradaban manusia. Namun, modus dan tipe korupsi di tiap negara dan zaman bervariasi. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah adanya perbedaan definisi yang digunakan dalam mengukur dan menganalisis fenomena korupsi. Gambar 2.3.1. Corruption Perception Index Indonesia yang dibuat oleh Transparency International, di mana 0 artinya sangat korup dan 10 artinya sangat bersih, sepanjang tahun 1995 hingga 2006.
Gambar 2.3.2. Normalized Corruption Index merupakan ukuran kemampuan pemerintah untuk mengendalikan korupsi untuk 195 negara di dunia, pada tahun 2002. Indeks ini disusun oleh World Bank (Kaufmann, dkk, 2003). Dari gambar ini terlihat bahwa, di kawasan Asia Tenggara, kemampuan Indonesia untuk mengendalikan korupsi sangat lemah.
2-3-2
Berg (2001) menganalisis sejumlah metode pengukuran korupsi. Saat ini, korupsi diukur dengan menggunakan survei dan jajak pendapat yang menggunakan sampel acak dari pendapat warga lokal atau kaum bisnis. Upaya ini dapat kita sebut sebagai metode pengukuran subjektif, seperti terlihat pada gambar 2.3.1. dan 2.3.2. Dua pengukuran ini berbeda, yang pertama berbasis persepsi, sementara yang lain berbasis pengalaman. Metode pengukuran subjektif tersebut mendapat banyak kritikan. Namun di sini, kita tidak bermaksud untuk mendiskusikan metodemetode tersebut secara khusus, melainkan berupaya untuk mencari struktur umum korupsi di Indonesia. Di sini kita akan menggunakan peta analitik korupsi yang diusulkan oleh Gambetta (2000) dan model teori permainan korupsi di birokrasi (Norris, 2000).
2.3.1.2. Apa Yang Disebut Korupsi? Untuk mendefinisikan korupsi, terlebih dahulu kita harus menganalisis agen-agen sosial yang terlibat dalam proses tersebut. Menurut Gambetta (2000) setidaknya ada tiga agen yang terlibat dalam proses korupsi, yaitu: 1. agen (individu atau kumpulan individu) yang memberikan mandat (T). 2. agen yang menerima mandat dan kepercayaan serta bertindak untuk kepentingan pihak pertama (G). 3. agen yang memanfaatkan kepercayaan agen T ke agen G guna mendapatkan keuntungan tertentu (P).
Gambar 2.3.3. Model primitif korupsi. Panah solid menunjukkan aturan permainan dan representasi lain menunjukan situasi dimana terjadinya korupsi.
Korupsi terjadi pada keterhubungan antara ketiganya, yang deskripsinya dapat kita lihat di gambar 2.3.3. Agen T memberikan mandat dan kepercayaan karena ia berharap agen G akan melayani kepentingannya. Korupsi terjadi pada saat agen G menyalahgunakan mandat tersebut. Dari penjelasan di atas diketahui bahwa tindakan suap (agen P memberikan sogokan ke agen G) dan penyalahgunaan wewenang (penggunaan sumber daya publik untuk kepentingan pribadi) adalah bentuk-bentuk korupsi. Pada kasus suap yang melibatkan anggota polisi lalu lintas dan hakim, kita dapat menginterpretasikannya ke dalam bentuk korupsi karena agen P melakukan tindak penyogokan kepada agen G untuk motif pribadi, dalam hal ini menghindari kewajibannya sebagai warga negara untuk patuh pada aturan lalu lintas yang dibuat negara. Namun, kita juga dapat menemukan bentuk lain misalnya, agen P yang semestinya memiliki hak tertentu, hanya akan mendapatkan hak tersebut setelah menuntaskan persyaratan tertentu di luar aturan yang berlaku, misalnya diminta membayar sejumlah uang. Contoh kecil untuk kategori ini adalah praktik pembuatan KTP yang seharusnya selesai dalam 1 minggu menjadi mulur sampai 1 tahun karena agen P tidak membayar suap. Upaya agen P memperoleh haknya lewat pemberian “upeti” kepada agen G disebut sebagai suap untuk memperoleh hak. Dua praktik ini sering terjadi di Indonesia.
2-3-3
Secara umum, korupsi di Indonesia dapat dikategorisasi menjadi dua jenis yaitu: • Korupsi lewat layanan. Kategori ini terkait dengan tindakan aktor atau sejumlah aktor tertentu yang mendistorsi pelaksanaan aturan yang telah ada untuk kepentingan pribadi atau golongan. Ini dapat dilihat di gambar 2.3.4. Warga negara seharusnya memperoleh hak tertentu. Namun, sejumlah oknum menyalahgunakannya untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Misalnya, sesuai dengan aturan X, pengurusan KTP hanya mengeluarkan biaya 10 ribu rupiah namun pada praktiknya tarif layanan pembuatan KTP dibanderol pada 100 ribu rupiah. Ini adalah bentuk korupsi lewat layanan, karena aturan X tidak berubah tapi pelaksanaannya diselewengkan. ?
Korupsi lewat aturan. Kategori ini terkait dengan tindakan aktor atau sejumlah aktor tertentu untuk mempengaruhi hukum, kebijakan, dan regulasi untuk kepentingan pribadi atau golongan. Praktik “lobi lapangan tennis” seorang pengusaha kepada seorang pejabat pemerintah atau anggota DPR agar membuat regulasi yang memperbolehkan impor gula adalah contoh korupsi lewat aturan. Aturan impor gula tidak diselewengkan tapi justru diubah untuk kepentingan pihak tertentu. Gula yang sebelumnya dilarang masuk oleh aturan Y menjadi boleh diimpor karena adanya aturan baru (Y*). Secara umum, tipe korupsi ini lebih halus serta sulit dideteksi dan diberantas daripada tipe pertama.
Gambar 2.3.4. Struktur umum korupsi di Indonesia, yaitu: korupsi lewat layanan (kiri) dan korupsi lewat aturan.
Dari gambar 2.3.4. terlihat, secara umum kasus korupsi terjadi akibat adanya interaksi agen G dan P: melalui pertukaran keuntungan dan penyelewengan kepercayaan. Kolusi dan nepotisme secara inheren masukan dalam dua tipe korupsi di atas. Di bagian selanjutnya kita akan mengkaji dinamika korupsi melalui sebuah model yang dikonstruksi dari dua tipe generik di atas.
2-3-4
2.3.1.3. Model Dinamik Korupsi Gambar 2.3.5. Ilustrasi model dinamin yang dibangun.
Ada 2 kelompok agen yaitu kelompok G (birokrat) dan kelompok P (warga negara). Tiap agen memiliki tetangga, dengan jumlah tertentu, di kelasnya. Di tiap putaran, agen G terhubung dengan agen P. Tindakan korupsi (corrupt action) terjadi saat dua agen P dan G yang berperilaku korup atau memiliki keinginan untuk korupsi (corrupt behavior) bertransaksi. Dengan demikian akan ada dua state agen yaitu korup dan tidak korup, di mana untuk agen korup ia juga memiliki peluang untuk bertanggung jawab di depan hukum. Sehingga secara lengkap, terdapat tiga state agen yaitu korup, tidak korup, dan dipenjara. Aturan untuk setiap agen di masing-masing ronde: ? Agen memilih secara acak patner dari kelompok lain yang tidak dipenjara. Lalu, ia memutuskan untuk korup atau tidak korup.A ? Agen yang memilih korup memiliki peluang ditangkap. ? Agen memutuskan untuk korup atau tidak di ronde selanjutnya. Keputusan tersebut didasarkan pada nilai ekspektasi, yang dipengaruhi: faktor kejujuran (honesty index), jumlah kawan yang dipenjara dan pertemuan dengan mitra korup yang tidak dipenjara (terkait memori), ganjaran hukuman untuk si korup dan si tidak korup.
2.3.1.4. Interpretasi-ulang Solusi Korupsi yang Berkembang A. Kampanye Moral Salah satu alternatif solusi yang sering diusung dalam upaya pemberantasan korupsi adalah mengupayakan agar setiap orang berperilaku jujur. Secara praktis, solusi ini dimanifestasikan ke berbagai metode seperti kampanye moral serta tindakan lainnya yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama. Untuk membuktikan
2-3-5
pendapat ini, kita melakukan simulasi dengan memvariasikan nilai indeks kejujuran (honesty index) dari rata-rata nol hingga satu. Hasil simulasi dapat dilihat di gambar 2.3.6. Dari gambar ini ditunjukkan bahwa tindakan korupsi (corrupt action) menurun seiring dengan meningkatnya nilai rata-rata indeks kejujuran. Namun yang mengejutkan, korupsi tidak benar-benar hilang saat rata-rata honesty index dekat ke satu. Artinya tingkat kejujuran yang sangat tinggi sekalipun tidak akan membuat semua agen P dan agen G menjadi tidak korup. Fakta ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi tidak akan pernah cukup hanya dengan upaya meningkatkan moral dan integritas semata. Gambar 2.3.6. Hasil simulasi dengan honesty index yang bervariasi.
B. Peningkatan Gaji Tindak korupsi sering dikaitkan dengan faktor gaji yang sangat kecil. Apakah korupsi akan hilang jika gaji dinaikkan? Untuk membuktikan pendapat ini, kita melakukan simulasi dengan memvariasikan gaji atau ganjaran bagi agen G tanpa korupsi. Dari gambar 2.3.7. terlihat bahwa jumlah agen, baik kelompok G maupun P, yang korup masih tetap tinggi ketika gaji dinaikkan. Fakta ini memperlihatkan dibutuhkannya pendekatan yang lebih holistik dalam menganalisis dan memberantas korupsi. Jadi, korupsi tidak hanya dapat diselesaikan dengan pendekatan faktor kesejahteraan, seperti gaji, semata. Gambar 2.3.7. Hasil simulasi ketika gaji atau ganjaran bagi agen G tanpa korupsi diperbesar.
2-3-6
C. Memori Di bagian ini kita mencoba untuk melihat efek memori terhadap dinamika yang terjadi di sistem artifisial tersebut. Pada gambar 2.3.8., kita dapat menemukan bahwa peningkatan ukuran memori akan menurunkan tindak korupsi secara gradual. Agen menggunakan informasi yang telah ada sebelumnya dalam menentukan keputusan ke depan. Saat ia melihat ada banyak temannya yang dipenjara, ia cenderung takut untuk berkorupsi. Dari simulasi ini, kita dapat menemukan bahwa, ketika memori masa lalu meningkat, perilaku korup masih tetap tinggi pada agen P, yaitu warga negara, namun sangat kecil untuk agen birokrat. Gambar 2.3.8. Hasil simulasi ketika memori diubahubah.
D. Jejaring Sosial Ukuran jejaring sosial merefleksikan banyaknya informasi yang didapatkan seorang agen. Ia juga menunjukkan tingkat demokratisasi. Semakin demokratis sebuah sistem sosial, maka informasi yang didapatkan oleh seorang agen menjadi semakin banyak. Ada wacana yang menyebutkan bahwa transparansi dan akuntabilitas pemerintah akan mengurangi korupsi. Untuk menguji pernyataan tersebut dilakukan simulasi yang hasilnya dapat terlihat di gambar 2.3.9. Kita dapat melihat bahwa ketika ukuran jejaring sosial sangat kecil, sistem artifisial kita bersifat korup. Namun, ketika ukuran jejaring sosial diperbesar, tindakan korup, baik oleh agen birokrat maupun agen warga negara menurun drastis. Ini menunjukan adanya sebuah transisi sosial ketika ukuran jejaring sosial diperbesar. Sebagaimana telah dibahas di bagian sebelumnya, dari sini didemonstrasikan adanya sebuah hubungan yang tidak linier antara proses demokratisasi dengan korupsi. Ketika proses demokratisasi mencapai sebuah level tertentu maka korupsi akan menurun secara drastis.
2-3-7
Gambar 2.3.9. Hasil simulasi ketika ukuran jejaring sosial agen G (kiri) dan agen P (kanan) diubah-ubah.
E. Penegakan Hukum Solusi lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan korupsi adalah penegakan hukum. Apakah peningkatan masa hukuman bagi para koruptor akan mengurangi korupsi? Dari hasil simulasi, yang terlihat di gambar 2.3.10., diketahui bahwa perpanjangan masa kurungan bagi para koruptor akan mengurangi tindak korupsi secara signifikan. Secara umum, korupsi akan turun secara lebih drastis ketika masa kurungan bagi agen birokrat (G) ditambah, dibandingkan dampaknya ketika masa kurungan bagi agen warga negara (P) ditingkatkan. Namun, perlu dicatat bahwa, perilaku korup sebaiknya ditekan lewat penegakan hukum, secara proporsional bagi kedua kelompok agen. Hal ini penting agar perilaku korup menurun di dua kelompok tersebut.
Gambar 2.3.10. Hasil simulasi ketika masa hukuman bagi agen G (kiri) dan agen P (kanan) diubah-ubah.
Gambar 2.3.11. Hasil simulasi ketika peluang koruptor tertangkap diubah-ubah.
2-3-8
Pendekatan lain yang dapat kita lakukan adalah dengan meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor. Baik birokrat (G) maupun warga negara (P) keduanya memiliki peluang tertangkap ketika melakukan korupsi. Dari hasil simulasi (gambar 2.3.11.) terlihat bahwa perilaku korup akan turun signifikan ketika peluang koruptor tertangkap sangat besar. Dinamika ini dapat dilihat secara lebih detil di gambar 2.3.12. Pada saat peluang koruptor tertangkap cukup besar maka akan ada transisi dari rezim yang korup ke rezim yang tidak korup. Ini menunjukkan bahwa dalam upaya pemberantasan korupsi, adalah penting untuk menjaga konsistensi aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor. Konsistensi ini akan menyebabkan sistem secara endogen bertransisi menuju rezim yang tidak korup.
Gambar 2.3.12. Sistem akan berubah secara endogen menuju rezim yang tidak korup ketika peluang koruptor tertangkap diperbesar.
Dari hasil simulasi di samping, kita dapat melihat bahwa penegakan hukum bagi semua kalangan dapat digunakan sebagai solusi pemberantasan korupsi. Perlu dicatat, upaya penegakan hukum harus dilakukan di segala aspek, baik dari sisi tingkat hukuman (bagi birokrat dan warga negara) yang terlibat korupsi maupun dalam hal konsistensi aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor.
2.3.2. Korupsi Oleh LSM Pasca runtuhnya rezim Soeharto 1998, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tumbuh dengan begitu pesat. Fakta ini dipercaya terkait dengan tingginya intensitas donasi luar negeri dalam kegiatan pemberdayaan sosial di Indonesia. Pada dekade 80-an jumlah LSM hanya sekitar 3.000 buah. Namun saat ini, jumlah LSM yang terdaftar saja lebih dari 13.400 buah, belum lagi yang tidak terdaftar. Fakta ini menimbulkan beragam pertanyaan. Seberapa efektif dan efesienkah LSM mampu melakukan pemberdayaan sosial dan proses demokratisasi? Untuk itu, kita perlu perlu melakukan studi lebih jauh. Berdasarkan data yang dikoleksi oleh LP3ES (2002) tercatat, dari lebih 450 LSM di Indonesia, ada sekitar 62% yang memperoleh bantuan finansial dari luar negeri. Sumber pembiayaan lainnya berasal dari: sumbangan anggota, bantuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan hasil konsultasi proyek yang dijalankan oleh LSM tersebut. Aktivitas LSM memiliki peranan yang sangat penting dalam upaya demokratisasi dan mendorong akuntabilitas publik di negara ini. Namun terkadang, ada situasi dimana LSM sendiri justru menyelewengkan donasi luar negeri untuk kepentingan pribadi atau golongan tertentu. Donatur asing (T) memberikan mandat kepada LSM (G) untuk memberikan pelayanan kepada pihak tertentu (P). Pada saat LSM menyelewengkan mandat tersebut untuk kepentingan pribadi atau pihak tertentu, maka ia telah melakukan korupsi (berdasarkan definisi yang telah kita buat di bagian sebelumnya). Sebagaimana telah kita bahas di bagian sebelumnya diketahui bahwa korupsi adalah sebuah fenomena kompleks. Fenomena ini tidak cukup 2-3-9
diselesaikan hanya dengan menggunakan kampanye atau gerakan moral anti korupsi semata. Ia terkait dengan banyak aspek yang terkait dengan aktivitas LSM. Namun di tengah upaya pemberantasan tersebut, ada dilema bagi pihak donor asing. Di satu sisi, ia tidak dapat sepenuhnya mengawasi kegiatan LSM dalam menjalankan aktivitas penyelesaian permasalahan lokal. Akan tetapi di sisi yang lain, ia harus memberikan kepercayaan alokasi dana kepada pihak LSM. Semuanya berawal dari kepercayaan. Akibatnya muncul dilema. Hal ini dapat memunculkan adanya nepotisme antara broker lokal dan agensi donor. Dengan kata lain, diperlukan sejumlah mekanisme evaluasi dana yang diserap oleh pihak LSM. Hal inilah yang menjadi titik perhatian utama bagian ini. Akan tetapi perlu dicatat bahwa di sini, kita tidak bermaksud untuk mengkuantifikasi ukuran keefektifan dana oleh LSM. Dalam pekerjaan ini kita mencoba untuk memodelkan permasalahan tersebut dengan menggunakan logika fuzzy.
2.3.2.1. Peranan LSM Dalam Pemberdayaan Sosial Ruang gerak LSM di Indonesia berkutat pada isu-isu negara ketiga, seperti: pertanian, lingkungan, advokasi, demokrasi dan pemerintahan, kesehatan, studi perkotaan dan lain sebagainya. Tugas utama LSM di Indonesia adalah menjadi perangkat pemberdayaan sosial guna menyelesaikan masalah keterlambatan evolusi sosial di Indonesia. Di sini kita perlu mencatat bahwa evolusi sosial di Indonesia berkaitan erat dengan aktivitas ekstra-parlementer, gerakan mahasiswa dan kegiatan demonstrasi lainnya. Namun tentu saja, kita tidak dapat menempatkan gerakan mahasiswa dalam fase akhir evolusi tersebut. Gerakan mahasiswa, yang dilindungi oleh kebebasan mimbar akademik, menjadi salah satu motor yang memicu gerakan awal perubahan sosial. Fase akhir evolusi tersebut, salah satunya, dijalankan oleh LSM.
Gambar 2.3.13. Peranan LSM dalam evolusi sosial di Indonesia.
Perjalanan Indonesia sekarang berhubungan erat dengan Orde Baru. Dalam era tersebut pemerintahan dijalankan secara otoriter. Akibatnya, proses demokratisasi terhambat dan ada kesenjangan antara pemerintah dan rakyatnya. Di era ini, LSM diharapkan mampu menjadi jembatan yang menghubungan kesenjangan tersebut, menjalankan fungsi demokratisasi serta berupaya mengkonstruksi hubungan kemitraan antara pemerintah dan rakyat. Aktivitas ini memerlukan sumber daya yang cukup besar. Setelah krisis (1997-1998) pemerintah memiliki kekurangan sumber daya untuk menyokong aktivitas tersebut. Untuk itu dibutuhkan banyak bantuan. Di sini, donasi dari luar negeri diharapkan mampu mengisi kekosongan tersebut. LSM di Indonesia memiliki peranan yang sangat penting dalam menciptakan iklim investasi, situasi politik, ekonomi, budaya dan aktivitas sosial yang sehat. Peranan ini dapat kita lihat di gambar 2.3.13. Dari sini kemudian kita dapat mengkaji hubungan tersebut menggunakan metode logika fuzzy.
2-3-10
Logika Fuzzy Aristoteles membangun prinsip dasar logika. Hukum ini sering disebut logika dua nilai (bi-valued logic). Dalam kerangka ini disebutkan bahwa, jika sesuatu tidak benar maka ia pasti salah dan jika sesuatu tidak salah maka ia pasti benar. Ide ini sebenarnya telah dikritik sejak zaman Yunani. Parmiendes menyatakan bahwa sesuatu itu dapat benar atau salah (law of exclude midle). Heraclitus menyatakan bahwa sesuatu dapat benar dan tidak benar. Pada tahun 1920, Lukasiewicz menyebut daerah ketiga dalam logika (three-valued logic). Logika bernilai tak hingga (infinite-valued logic), dituturkan pertama kali oleh Lotfi A. Zadeh, profesor di University of California Barkeley, tahun 1965. Semenjak itulah istilah fuzzy logic populer digunakan. Dalam logika dua nilai Aristotelian hanya ada dua buah tipe pernyataan yaitu benar dan salah, misalnya: "Bambang gendut" atau "Bambang tidak gendut". Dalam logika fuzzy kondisi-kondisi lain dapat diakomodasi, misalnya pernyataan: "Bambang agak gendut", "Bambang kurang begitu gendut" dan lain sebagainya. Logika fuzzy dimulai dengan set fuzzy. Sebuah set fuzzy adalah sebuah set tanpa batasan. Ia dapat memuat sebuah elemen dengan derajat keanggotaan sebagian. Dari sini kemudian kita akan mengenal konsep fungsi keanggotaan (membership function). Fungsi keanggotaan adalah sebuah kurva yang memetakan nilai input ke sebuah derajat keanggotaan yang bernilai antara nol dan satu. Misalnya, ketika berat badan Bambang diantara 70kg dan 90kg maka ia dikategorisasi sebagai “agak gemuk”, dan seterusnya. Namun upaya klasifikasi diskrit (<50kg,50-70kg, dan seterusnya) tersebut terkadang sangat subjektif dan membatasi kemampuan analisis. Untuk set fuzzy dapat dikembangkan dengan berbagai jenis fungsi keanggotan yang bersifat kontinu, misalnya garis lurus, sigmoid, gaussian dan lain sebagainya.
Logika fuzzy memiliki prosedur operasional tersendiri, seperti operasi "negasi", "dan" serta operasi "atau". Proses formulasi pemetaan dari input ke ouput dengan menggunakan logika fuzzy disebut fuzzy inference system (FIS). Ada banyak jenis FIS, misalnya: FIS Sugeno, FIS Mamdani, dan seterusnya. Pendekatan ini dapat digunakan di banyak aplikasi. Konsep ini memberikan sebuah kerangka baru yang dapat membantu penyelesaian beberapa aplikasi yang tadinya sulit untuk dipecahkan, termasuk dalam membedah sistem sosial.
2.3.2.2. Studi LSM di Indonesia Menggunakan Logika Fuzzy Ada tiga jenis input FIS dalam model ini, yaitu: ada tidaknya donasi asing, apakah LSM menjalankan tindakan yang sesuai dengan keinginan donor atau tidak (atau justru kabur dengan uang tersebut), apakah tindakan LSM tersebut sesuai kebutuhan masyarakat. Di model sederhana ini, diasumsikan semakin fit pekerjaan tersebut maka situasi sistem sosial menjadi lebih baik. Tiga masukan tersebut diproses dengan menggunakan FIS Mamdani. Sketsa proses yang dilakukan dalam model tersebut dapat dilihat di gambar 2.3.14. Gambar 2.3.14. Ilustrasi model adaptif yang digunakan.
Gambar 2.3.15. Fungsi keanggotaan yang digunakan, yaitu: (a) fungsi keanggotaan donasi lembaga penyalur internasional ke LSM, (b) tindakan yang dilakukan oleh LSM, (c) dan kecocokan tindakan yang dilakukan, oleh LSM, ke masyarakat lokal tertentu, serta (d) fungsi keanggotaan evaluasi yang dilakukan oleh donor.
2-3-12
Fungsi keanggotaan yang dikonstruksi dengan menggunakan kurva gaussian simetri, seperti terlihat di gambar 2.3.15.
Dengan menggunakan fungsi keanggotaan tersebut, kita dapat melihat hubungan kait-mengait antara variabel: donasi, tindakan dan kecocokan tindakan. FIS yang digunakan dapat dilihat di gambar 2.3.16. Gambar 2.3.16. Ilustrasi FIS yang digunakan.
Dengan menggunakan perangkat analisis tersebut, kita dapat mengkaji efektivitas donasi yang diberikan ke LSM, seperti terlihat pada gambar 2.3.17. Gambar 2.3.17. Keterkaitan antara variabel bantuan dan kecocokan terhadap tingkat efektivitas LSM (atas) serta hubungan antara variabel bantuan dan tindakan terhadap tingkat efektivitas LSM (bawah).
2-3-13
Dari sini kita dapat melihat adanya "gelombang" keterkaitan antara variabel kecocokan dan bantuan, ia tidak membentuk sebuah hubungan linier. Peningkatan bantuan tidak serta-merta meningkatkan efektifitas tindakan yang dilakukan oleh LSM. Ini dapat dipahami bahwa, donasi sebaiknya didasarkan pada sejumlah studi perencanaan terlebih dahulu sebelum dikerjakan oleh LSM. Dengan kata lain, lembaga penyalur dana sebaiknya menyiapkan sejumlah studi saintifik di luar kegiatan LSM. Studi pra-donasi tersebut diharapkan akan dapat menjadi perangkat evaluasi bagi donor akan keberhasilan kegiatan yang akan dikerjakan nantinya.
2.3.2.3. Arahan Kita membutuhkan sejumlah mekanisme yang lebih baik dalam mengevaluasi aktivitas LSM, untuk mencegah penyia-nyian dana bantuan dari donatur. Sistem evaluasi tersebut sebaiknya didasakan pada sebuah prosedur standar disertai upaya pemberian sanksi hukum bagi pihakpihak yang terbukti menyelewengkan dana tersebut. Skema evaluasi ini dapat dibangun dengan menggunakan metode fuzzy, yang diusulkan di atas. Namun, sebelum mengimplementasikan sistem evaluasi standar tersebut, dibutuhkan sejumlah survei yang mengukur keefektifan program yang selama ini dijalankan LSM di Indonesia. Dengan adanya prosedur tersebut diharapkan, kita dapat memperkecil kemungkinan penyelewengan dana, dalam proyek-proyek yang dikerjakan oleh LSM.
2.3.3. Korupsi di Daerah Korupsi menyebar di segenap penjuru nusantara. Tetapi, seberapa jauh hal itu terjadi? Berdasarkan data empiris yang berhasil dikoleksi oleh Malang Corruption Watch (2006), kita mencoba untuk melihat sebaran praktek korupsi yang melibatkan pejabat dari jajaran eksekutif dan legislatif daerah, khususnya berkaitan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Data tersebut dikompilasi oleh Malang Corruption Watch dari berbagai sumber berita yang ada di internet, koran dan buku. Kartogram korupsi di daerah dapat dilihat di gambar 2.3.18.
2-3-14
Gambar 2.3.18. Kartogram sebaran korupsi dan indeks kemiskinan daerah. Data korupsi yang sangat terbatas menyebabkan beberapa wilayah tidak tampak dalam kartogram (sumber: Kurniawan, Luthfi, dkk., ed. 2006)
2.3.4. Beberapa Catatan Korupsi adalah salah satu fenomena kompleks. Ia terjadi dimana-mana, mulai dari jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah, LSM hingga ke sektor swasta. Kompleksitas dan skala persebaran korupsi mengakibatkan ia tidak cukup hanya didekati dengan faktor moral dan kesejahteraan semata, tetapi juga dengan aspek sosial dan antropologi lainnya. Dengan menggunakan perangkat komputasional di atas kita dapat menunjukkan dan menguji sejumlah hipotesis dan wacana umum yang beredar di masyarakat. Sekali lagi perlu diperhatikan di sini, korupsi tidak dapat dilihat secara mono-dimensi. Korupsi terkait dengan banyak aspek sosial, mulai dari politik, ekonomi maupun aspek kultural. Untuk itu, upaya pemberantasan korupsi hendaknya dibangun secara komprehensif karena diskusi tentang korupsi adalah sebuah diskusi inter-disiplin. Namun perlu diperhatikan bahwa korupsi tidak hanya dapat terjadi di jajaran aparat pemerintah pusat dan daerah semata, melainkan juga di dalam LSM. Untuk itu, kita membutuhkan sejumlah mekanisme yang lebih baik dalam mengevaluasi aktivitas LSM. LSM adalah salah satu elemen bangsa yang bertugas menjaga proses demokratisasi di Indonesia. Tetapi sang penjaga juga butuh penjaga bukan?
2-3-15
Ekonomi dan Keuangan Negeri Bab ini menyediakan lapangan wiyatamandala tempat untuk belajar dari ekonomi kita saat ini. Hal ini dapat dijadikan refleksi guna membentuk ekonomi yang lebih baik. Bagaimana ekonomi kompleksitas memandang kemiskinan dan berbagai aspek sosial yang dapat memiskinkan serta bagaimana caranya agar kita bisa keluar dari kemiskinan, yang menjadi bahasan pertama. Ini kita kaitkan pula dengan kondisi angkatan kerja di Indonesia, yang saat ini perlu mendapat perhatian lebih. Ketenagakerjaan tidaklah sesimpel melihat jumlah pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja, karena dinamika sosial yang kompleks bermain di sini. Dalam perspektif sederhana saja, secara mikro aspek pengangguran bertali-talian dengan kriminalitas dan banyak aspek sosial lain. Ia membrojolkan situasi kompleks yang perlu dicermati dengan seksama. Aspek ekonomi lain yang perlu kita perhatikan adalah posisi pasar keuangan Indonesia di kawasan Asia Pasifik dan bagaimana sebenarnya iklim investasi di nusantara. Hal ini dilanjutkan lebih jauh dengan menggunakan berbagai perangkat-perangkat ekonofisika untuk melihat pasar modal kita, mulai dari dinamika per saham, hingga interaksi korelatif antar saham sebagai sebuah sistem kompleks. Terdapat banyak peluang inovasi analitik yang dapat kita pelajari di sini, sebagaimana halnya analisis tentang inovasi yang diketengahkan di bagian akhir bab ini. Bab ini membuka peluang. Namun, semua itu tergantung bagaimana kita dapat mengakuisisi semua itu, demi hidup yang lebih baik.
Bab 3
3.1. Makroekonomi Kompleks Indonesia Sistem kompleks sebagai sistem yang sangat rumit di mana bagian-bagian di dalamnya memiliki keterkaitan dan interdependensi yang sangat tinggi. Dari pemahaman ini, kita ketahui bahwa sistem ekonomi termasuk sebagai sebuah sistem kompleks. Mengingat tingginya kompleksitas dalam sistem ekonomi maka ilmu ekonomi juga memerlukan perspektif yang luas. Hal ini penting karena selain memiliki dampak yang sangat besar, ia juga berkenaan dengan hajat hidup orang banyak. Sebagai ilustrasi sederhana, dalam sejarah fisika, dikenal sebuah kondisi yang disebut sebagai kondisi ‘transisi fasa’ yaitu sebuah titik kritis terjadinya perubahan fasa zat, misalnya dari cair ke gas. Hukum-hukum fisika konvensional bekerja dengan baik pada fasa zat yang pasti, seperti cair, gas, atau padat. Sayangnya, hal yang sama tak berlaku pada titik transisi fasa. Di titik ini, tingkat kompleksitas dari zat menjadi luar biasa rumit, hal yang satu menjadi begitu bergantung pada hal lain, everything depends on everything else. Sekarang coba kita lihat sistem ekonomi. Seorang ekonom pasti sertamerta sadar akan betapa rumitnya sistem ekonomi. Di disiplin ini melekat sebuah ungkapan, ‘semua hal sangat bergantung pada semua hal lain’. Contohnya, pergerakan saham-saham di Bursa Efek Indonesia. Mari kita berandai-andai, misalkan ada sebuah berita yang menyatakan bahwa pendapatan Telkom menurun. Akibatnya, investor mencabut investasinya dan beralih ke saham Indosat, yang mendongkrak nilai sahamnya di bursa. Terjadi korelasi negatif dari fluktuasi harga kedua saham. Artinya, sebagaimana analisis standar mengatakan, jika yang saham yang satu turun, saham lain terdongkrak. Akan tetapi, bukankah kedua perusahaan ini berada pada sektor yang sama? Namun ternyata misalnya, kenaikan saham Indosat tadi menjadi ekstrem. Begitu tingginya sampai-sampai perusahaan ini menaikkan jumlah produksi, jumlah cabang, jumlah tenaga kerja, bahkan tenaga kerja diupayakan bekerja siang dan malam untuk mempertahankan pencapaian tersebut. Makin banyak pula demand dari tenaga kerja di berbagai lokasi produksi Indosat yang berbondong-bondong ke warung Indomie siang dan malam. Akibatnya, pendapatan perusahaan Indofood, penghasil Indomie, menjadi berlipat ganda. Pada gilirannya nanti, kondisi ini akan mendongkrak nilai saham Indofood di bursa. Justru terjadi korelasi positif antara saham dengan sektor yang sangat berbeda. Kondisi ini yang tak terantisipasi oleh analisis standar. Di sini jelas terlihat bahwa, di dalam sistem ekonomi, ada salingketerkaitan yang sangat intens. Jika ada 300 saham yang diperdagangkan di BEJ, maka untuk menganalisis situasi ekonomi yang direpresentasikan aktivitas dalam bursa efek, kita harus memperhatikan 89.700 interaksi. 3-1-1
Sebuah hal yang luar biasa rumit, jika kita konsisten dengan pendekatan ekonomi konvensional. Fisika mengenal beragam model untuk analisis semacam ini lewat analisis model spin, yang disokong simulasi komputasional sehingga kita bisa mengamati dinamika yang terjadi. Salah satu caranya, semua “spin” dianggap saling berinteraksi satu sama lain, yang terikat sebuah aturan yang berubah menurut waktu. Fenomena kritis transisi fasa di fisika akhirnya berpeluang memberikan potensi besar dalam analisis pertumbuhan ekonomi. Interaksi yang dimaksud tidak harus berhenti di saham. Saling-kebergantungan antar aktor ekonomi atau agen sistem sosial juga bisa menciptakan sejumlah tipe perilaku agregat yang beragam, ketika di lain tempat, pendekatan asumtif atas sistem yang teramati disambung oleh kebijakan yang asumtif pula. Konsekuensinya bisa sangat dramatis bagi pertumbuhan sistem yang bersangkutan. Analisis sistem kompleks yang khusus membicarakan ikhwal sistem ekonomi secara umum lahir dari tuntutan bahwa ilmu ekonomi konvensional memerlukan berbagai pembaharuan agar mampu menjelaskan berbagai fenomena yang ditemui di dunia nyata. Gelombang ini muncul karena realita yang ada seringkali tidak sejalan dengan berbagai teori ekonomi yang umum digunakan. Namun, perspektif konvensional tersebut justru sering dijadikan referensi dalam pengambilan kebijakan, baik di tataran ekonomi makro maupun kebijakan yang berlingkup pada satu firma saja. Pada akhir abad ke-20 yang lalu, tuntutan ini muncul. Gelombang ini dibarengi pula dengan sebuah tren dalam ranah ilmu fisika yang menggunakan berbagai perangkat mekanika statistika dan sistem kompleks. Dalam sejarah keilmuan komplekitas sosial, tren ini disebut ekonofisika. Saat ini, ekonofisika telah cukup banyak memberikan kontribusi dalam pendalaman pemahaman kita akan sistem ekonomi yang kompleks ini.
3.1.1. Memahami Kemiskinan Kita Dalam sistem alam, ketidaksamaan merupakan suatu fenomena yang senantiasa terjadi. Sebagai contoh, adanya perbedaan dalam massa jenis untuk setiap unsur di alam, adanya variasi dalam satu spesies, dan lain sebagainya. Fenomena ketidaksamaan ini terjadi juga dalam sistem sosial dan ekonomi. Fenomena ini bisa terlihat dari sejumlah fakta yang ada di sekitar kita. Perusahaan dan individu, pada umumnya, memiliki tingkat pendapatan serta laju pertumbuhan ekonomi yang berbeda-beda. Dalam sistem sosial dan ekonomi, fenomena ketidaksamaan dalam tingkat kesejahteraan tersebut terlingkupi dalam kajian kemiskinan. Kemiskinan pada umumnya identik dengan kondisi kekurangan sumber daya atau pemasukan (income). Fenomena kemiskinan itu sendiri pada hakikatnya merupakan suatu fenomena yang hadir di tengah masyarakat, bahkan sebelum manusia mengenal sejarah. Dalam catatan sejarah, kita 3-1-2
biasanya menjumpai fenomena tersebut sebagai bentuk hirarki dalam masyarakat. Pada umumnya, penggolongan masyarakat pada hirarki tersebut dibedakan berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan status sosial lainnya. Kelompok orang miskin biasanya identik dengan pekerja kasar atau budak, sementara yang kaya identik dengan bangsawan, pemuka agama atau seorang saudagar. Sudah sejak lama kemiskinan diduga membawa dampak yang negatif untuk masyarakat, seperti munculnya penyakit, keterbelakangan mental, kekurangan nutrisi, bahkan terjadinya konflik. Tak mengherankan bahwa, fenomena kemiskinan menjadi sebagai suatu permasalahan yang banyak mendapat “sorotan”. Perhatian ini hadir seiring dengan semakin berkembangnya peradaban dan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesamaan harkat dan martabat manusia. Berbagai telaah tentang kemiskinan hadir dalam ilmu sosial dan juga ekonomi. Kajian ini dilakukan terutama untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep kemiskinan. Dari landasan ini diharapkan, kita dapat menarik “titik temu” penyelesaian masalah yang benar-benar efektif. Kajian tentang kemiskinan sendiri, mau tidak mau akan selalu berhadapan dengan pertanyaan: “apa itu kemiskinan “ serta “bagaimana seseorang dikatakan miskin”. Dalam kaitannya dengan kedua pertanyaan tersebut, kita terkadang sulit untuk memberikan jawaban yang cukup tegas. Pada kajian-kajian yang telah sering dilakukan, kedua pertanyaan tersebut seringkali bermuara pada suatu kategorisasi tertentu terhadap apa yang disebut miskin. Di pertengahan abad ke-20 misalnya, kriteria miskin ditentukan berdasarkan pada tingkat pendapatan per kapita. Sebagai contoh, jika besar ambang batas pendapatan perkapita miskin adalah 10 dollar, maka seseorang bisa dikatakan miskin jika mempunyai pendapatan per kapita kurang dari 10 dollar. Namun sayangnya dalam beberapa kasus, kategorisasi ini tidak berlaku umum, terutama jika dikaitkan dengan adanya variasi tingkat harga untuk masing-masing wilayah. Sebagai contoh, harga beras di Cianjur lebih rendah di bandingkan di kota-kota lain, misalnya Jakarta. Akibatnya, untuk jumlah uang yang sama masing-masing orang di kedua kota tersebut akan mendapatkan kuantitas beras yang berbeda. Hal lain yang juga membuat kriteria kemiskinan berdasarkan pendapatan tidak bisa dijadikan patokan umum adalah adanya variasi pada jenis kebutuhan. Sebagai contoh, makanan pokok saudara kita di Papua adalah sagu, yang tentunya berbeda dengan penduduk lain di Pulau Jawa yang umumnya mengkonsumsi beras. Beberapa faktor yang telah disebutkan di atas, menyebabkan kriteria kemiskinan berdasarkan pendapatan per kapita dirasakan kurang begitu tepat. Hal tersebut, kemudian memunculkan pendekatan baru dalam menentukan miskin/tidaknya seseorang, yaitu pendekatan kebutuhan hidup minimum. Dalam pendekatan ini dicari sebuah nilai nominal tertentu yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Jika pendapatannya lebih kecil daripada nilai nominal 3-1-3
tersebut, maka ia dikatakan berada dalam kondisi miskin. Dalam pendekatan ini miskin bisa diartikan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimumnya. Dalam beberapa hal, kriteria tersebut memang bisa dijadikan acuan, terutama apabila masyarakatnya homogen. Selain standar di atas, masih terdapat standar lain yang umumnya dijadikan ukuran untuk menentukan seberapa miskin seseorang. Sebagai contoh di beberapa negara, umumnya digunakan ukuran kalori yang dibutuhkan seseorang untuk dapat bekerja. Seorang buruh kasar atau petani penggarap sawah tentu membutuhkan konsumsi kalori yang berbeda dengan seorang manajer. Akibatnya, penghasilan minimum yang dibutuhkan oleh seorang penggarap sawah atau buruh kasar pasti juga akan berbeda dengan seorang manajer. Namun ternyata, ukuran ini terkadang cukup menyulitkan. Apalagi jika dikaitkan dengan jenis makanan lokal yang bervariasi, baik dalam jumlah kalori dan juga tingkat harga dari masing-masing jenis makanan tersebut. Faktor-faktor yang menentukan kesejahteraan dan kelayakan hidup setiap individu pada hakikatnya sangatlah banyak dan bervariasi. Tak mengherankan jika dalam perkembangannya, dimensi kebutuhan minimum pun semakin diperbesar. Pada mulanya ia hanya melingkupi kebutuhan fisik dari mulai sandang, pangan dan papan. Lalu diperluas dengan melingkupi kebutuhan jasa, seperti air bersih, sanitasi dan fasilitas kesehatan, transportasi dan pendidikan. Selain itu, batasan lain yang kemudian diperhitungkan adalah dengan melihat bagaimana peran serta partisipasi seseorang dalam masyarakat atau sistem sosial dimana ia tinggal, yang kemudian disesuaikan dengan adat istiadat dan kebiasaan yang ada di wilayah tersebut. Ada banyak faktor yang menjadi penentu nilai kebutuhan hidup seseorang. Kondisi ini mengakibatkan digunakannya berbagai indikator untuk menentukan nilai tersebut. Indikator yang digunakan meliputi indikator ekonomi, seperti pendapatan per kapita, jumlah pengangguran, tingkat harga, dan lain-lain, dan juga indikator non-ekonomi, seperti usia harapan hidup, kualitas pelayanan kesehatan, kualitas sanitasi, akses air bersih, akses pendidikan, dan lain sebagainya. Di samping itu, dalam pendekatan ini juga telah mulai dirintis penggunaan perangkat matematika dalam menganalisis pengaruh indikator tersebut terhadap keseluruhan sistem dan juga bagaimana hubungan antara satu faktor dengan faktor yang lainnya. Umumnya, hal ini dilakukan dengan menggunakan perangkat ekonometri. Perangkat ini adalah suatu pendekatan yang menggunakan model dan perangkat analisis matematika, berupa persamaan diferensial, statistika, dan pendekatan lainnya, dalam usaha menjelaskan perilaku sistem ekonomi. Pendekatan statistika merupakan pendekatan yang banyak dilakukan untuk menganalisis kemiskinan. Namun, dalam beberapa hal pendekatan ini kurang begitu baik dalam mengakomodasi hubungan antar indikator yang begitu banyak, baik itu indikator ekonomi maupun indikator nonekonomi. Interpretasi yang dilakukan dalam pendekatan statistika, 3-1-4
umumnya lebih didasarkan pada properti makro yang bisa teramati, serta hitungan-hitungan aggregat. Upaya ini terkadang kurang memberikan gambaran mengenai proses-proses apa di tingkat individu (mikro) yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan di suatu daerah. Selain itu, ia juga memiliki sejumlah kendala dalam melihat hubungan saling mempengaruhi antara satu faktor dengan faktor lainnya. Perdebatan dalam batasan miskin dan juga standar yang digunakan dalam mendefinisikan kemiskinan memang tidak ada habisnya. Upaya tersebut terkadang membuat kita lupa akan sebuah hal yang sangat signifikan dalam analisis kemiskinan, yaitu tentang apa yang menjadi akar kemiskinan dan bagaimana cara yang paling efektif agar kita bisa lepas dari kemiskinan. Jika kita runut dari beberapa diskusi di atas, terlihat bahwa pada dasarnya fenomena kemiskinan merupakan suatu fenomena yang telah banyak dianalisis. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa munculnya ilmu ekonomi dan ilmu sosial itu sendiri, pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk mencapai kesejahteraan manusia. Salah satunya adalah mengentaskan kemiskinan, baik itu secara individu maupun kelompok. Tak mengherankan jika pada awal perkembangannya, studi kemiskinan lebih menekankan pada dimensi ekonomi, seperti pendapatan, konsumsi dan lain sebagainya. Namun jika ditinjau lebih jauh, kemiskinan tidak semata merupakan permasalahan ekonomi. Kemiskinan merupakan suatu permasalahan yang disebabkan oleh berbagai dimensi, baik itu dimensi ekonomi maupun sosial. Kompleksitas yang terjadi dalam fenomena kemiskinan tentunya menuntut adanya suatu analisis yang komprehensif dan lebih holistik serta diharapkan akan memberikan suatu penjelasan dan solusi yang lebih tepat dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa dekade belakangan ini, terutama dengan lahirnya pendekatan kompleksitas, lahir sebuah perspektif baru yang mempunyai “ruh” berupa pendekatan interdisipliner dan pencapaian solusi berbasiskan permasalahan. Paradigma ini membawa ‘angin segar’ dalam studi kemiskinan. Perspektif ini lebih menekankan pada hubungan antar properti dan proses di tingkat mikro dengan fenomena yang terjadi di tingkat makro. Cara pandang ini telah memberikan warna baru tentang bagaimana menganalisis suatu fenomena alam, termasuk fenomena di sistem sosial seperti halnya kemiskinan, secara bottom-up. Dalam praktiknya, pendekatan kompleksitas yang mewarnai analisis sistem sosial sendiri banyak ditunjang oleh kemajuan pesat dalam ilmu dan perangkat komputasi. Hal inilah yang kemudian memunculkan beberapa alat analisis baru, seperti: pemodelan sistem dinamik non linier, model evolusioner, hingga pemodelan berbasis agen. Berikut ini, kita akan menjabarkan beberapa contoh bagaimana menggunakan pendekatan interdisipliner dalam menganalisis fenomena kemiskinan. Kesejahteraan dan pendapatan memang dua hal yang berbeda. Namun, bisa jadi keduanya dapat kita hubungkan, dengan cara yang kompleks 3-1-5
tentunya. Namun terlepas dari semua itu, untuk alasan kepraktisan banyak orang yang mencoba melihat kesejahteraan dari sisi pendapatan semata. Hal ini dilakukan mengingat pendapatan relatif lebih mudah diukur dibandingkan dengan kesejahteraan, yang relatif lebih abstrak. Vilfredo Pareto, seorang ilmuwan sosiologi dan ekonomi, mendapati bahwa distribusi kumulatif pendapatan masyarakat eropa barat mengikuti suatu distribusi yang saat ini lebih dikenal sebagai distribusi hukum pangkat (power law). Dalam distribusi ini, jika kita mengurutkan ranking penduduk dari penghasilan yang paling kecil ke yang paling besar maka kebanyakan populasi akan mengumpul pada rangking penghasilan yang paling kecil. Hal tersebut tentunya saja membuat fenomena ini berbeda dengan fenomena alam lainnya, yang pada umumnya hadir sebagai distribusi normal. Pada distribusi normal, kebanyakan populasi mengumpul pada nilai rata-rata. Dengan kenyataan ini, nilai rata-rata dan juga simpangan baku (suatu besaran statistika yang kerap digunakan untuk melihat penyimpangan data terhadap rata-rata) dirasakan tidak lagi memberikan informasi yang relevan. Sebagai konsekuensinya, analisis tentang sifat distribusi kekayaan mulai beralih pada pemahaman tentang bagaimana proses atau mekanisme di tingkat individu yang dapat menjelaskan munculnya distribusi kekayaan tersebut. Pendekatan ekonofisika, yang didasarkan pada konsep mekanika statistika dan simulasi komputasional, memberikan peluang untuk melihat mekanisme seperti apa yang dapat membrojolkan sifat atau properti tertentu dari distribusi pendapatan masyarakat. Sejumlah model komputasional pun dikonstruksi untuk menjawab tuntutan tersebut. Sebagai contoh, analisis simulatif yang digunakan untuk melihat bagaimana karakteristik makro berupa distribusi kekayaan individu dapat terjadi. Pada dasarnya, hal ini muncul akibat adanya beberapa mekanisme ekonomi yang dilakukan oleh individu, yaitu mekanisme perdagangan dan investasi. Dalam hal ini, dikatakan bahwa dinamika kekayaan seseorang dipengaruhi oleh dua hal yaitu mekanisme pertukaran uang antara ia dengan yang lain (perdagangan) dan juga besarnya kekayaan yang disimpan (investasi). Dua hal tersebut berubah dari waktu ke waktu. Dari hasil simulasi, ditunjukkan bahwa sifat statistika berupa distribusi Pareto pada kekayaan individu dapat membrojol dengan adanya mekanisme ini. Fenomena lain yang terkait dengan kemiskinan adalah adanya segregasi dalam pemukiman. Pada kota-kota besar kita sering melihat fenomena ini yaitu kelompok masyarakat tertentu dengan status ekonomi yang hampir sama akan menempati pemukiman yang dalam batas lingkungan yang sama. Tak mengherankan jika dalam keseharian kita sering terdengar istilah pemukiman kumuh atau istilah pemukiman elit. Segregasi pemukiman ini pun pada dasarnya merupakan suatu fenomena sosial yang juga banyak dianalisis, terutama untuk memahami bagaimana mekanisme alamiah dan faktor penyebab terjadinya hal tersebut. Analisis perintis telah dilakukan oleh ekonom kenamaan serta Nobelis 3-1-6
Ekonomi tahun 2005, Thomas Schelling. Pada tahun 1971, ia mengamati bagaimana segrerasi dari pemukiman orang kulit putih dan kulit hitam di Amerika, yang pada umumnya relatif tetap atau sedikit sekali berubah dari waktu ke waktu. Kondisi ini bahkan terus terjadi ketika rasialisme mulai berkurang. Dalam studi ini, Schelling mengemukakan bahwa adanya interaksi kolektif, dari preferensi individu dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, menyebabkan segregasi pemukiman tersebut. Ia kemudian menunjukkan hal tersebut dengan membuat model sederhana berupa kisi dua dimensi yang tersusun atas kotak-kotak yang berlainan warna. Kotak-kotak itu digunakan untuk menunjukkan rumah yang ditempati oleh individu yang berlainan ras. Setiap individu kemudian dapat berpindah tempat ataupun keluar, dengan melihat pada perbedaan ras dari rumah tetangganya. Setiap individu akan merasa nyaman ketika tetangga rumahnya memiliki ras yang sama.
Gambar 3.1.1. Simulasi komputer segregasi Schelling (1978). Gambar bagian atas merepresentasikan kondisi kota yang terintegrasi (abu-abu) antara kulit putih (putih) dan kulit hitam (hitam). Dalam beberapa langkah terjadi segregasi dengan mengelompoknya penduduk kulit putih dan kulit hitam (gambar bawah).
Namun tentu saja apa yang diungkapkan oleh Schelling pada waktu tersebut, masihlah berupa model yang sederhana dengan interaksi individu yang juga masih simplistik. Walaupun demikian, model Schelling ini bisa dikatakan sebagai cikal bakal pemodelan berbasis agen dalam menganalisis fenomena sosial, khususnya fenomena segregasi dalam sistem sosial dalam kaitannya dengan kemiskinan. Dalam perkembangannya, masih banyak perdebatan mengenai bagaimana proses terjadinya segregasi pemukiman tersebut, serta faktor apa yang menjadi penyebabnya. Beberapa teori yang muncul menyebutkan bahwa hal tersebut lebih didominasi oleh harga perumahan, sedangkan yang lain lebih mengaitkannya dengan perihal rasis atau etnik. Namun hingga saat ini, perdebatan tersebut masih tetap berlangsung dan belum mendapatkan suatu konsep yang cukup robust dalam menjelaskan fenomena tersebut. Model simulasi berbasis agen merupakan salah satu pendekatan yang ingin dikedepankan dalam menjawab permasalahan tersebut, guna untuk mengatasi kompleksitas persoalan yang ada. Hasil yang didapat pada simulasi yang kemudian diverifikasi dengan data empiris. Dari sini diharapkan, ia akan memberikan penjelasan yang lebih baik tentang bagaimana proses terjadinya segregasi pemukiman. Salah satu yang bisa dijadikan contoh adalah model simulasi yang ingin menunjukkan bagaimana sejumlah faktor yang ada mempengaruhi pilihan rumah. Keputusan tersebut terkait dengan sejumlah faktor, meliputi biaya perumahan, diskriminasi rasial, komposisi rasial dari tetangganya, komposisi rasial dari keseluruhan pemukiman, bahkan hingga jarak antara rumah yang baru dengan sebelumnya. Yang menarik dari sejumlah simulasi yang pernah dilakukan adalah kita bisa melihat pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas. Lebih jauh, hasil ini kemudian dapat kita dibandingkan dengan data empirik, guna mengetahui faktor-faktor apa yang paling berpengaruh terhadap terjadinya segregasi dari pemukiman penduduk. Selain fenomena di atas, terdapat juga fenomena lainnya yang terkait dengan kemiskinan yaitu adanya persistensi dalam status sosial dan 3-1-7
ekonomi dalam suatu kelompok dari generasi ke generasi. Suatu fenomena yang lebih dikenal sebagai jebakan kemiskinan. Dalam keseharian, kita sering kali mendengar istilah “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Suatu istilah yang secara umum menunjukkan bahwa perilaku dan aksi yang dilakukan seseorang (secara mikro) akan sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Sama halnya dengan pengertian umum istilah tersebut, dalam beberapa kasus, kemiskinan yang dialami oleh seorang bisa juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi orang tua. Dalam sejumlah studi telah ditunjukkan bagaimana pengaruh kondisi ekonomi orang tua terhadap anaknya. Pendapatan orang tua yang rendah akan mempengaruhi status ekonomi anaknya di kemudian hari. Hal ini juga bisa dikaitkan dengan faktor pendidikan anak. Ketika orang tua mempunyai pendapatan yang rendah maka, seringkali pada akhirnya, alokasi dana pendidikan anak juga relatif rendah. Alokasi dana yang rendah tersebut bisa juga berpengaruh terhadap kurangnya sumber daya atau resource untuk sekolah dan sarana peningkatan kualitas pendidikan lainnya. Hubungan ini pada akhirnya dapat mengakibatkan terjadinya efek jebakan kemiskinan. Suatu kelompok sosial dengan strata sosio-ekonomi yang rendah akan senantiasa berada dalam kondisi ekonomi yang rendah dan mempunyai kualitas pendidikan yang rendah juga. Namun, saat ini semakin disadari bahwa pengaruh orang tua hanyalah sebagian kecil dari faktor sosial yang berpengaruh terhadap status ekonomi individu di kemudian hari. Pada dasarnya, pilihan aksi yang diambil seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor sosial lainnya. Penjelasan teoritis yang cukup menarik tentang bagaimana pengaruh faktor sosial terhadap pilihan individu dan kaitannya dengan kemunculan segregasi sosial berdasarkan status ekonomi, serta adanya fenomena jebakan kemiskinan, bisa kita dapati dalam teori keanggotaan yang diusulkan oleh beberapa ekonom kompleksitas. Teori keanggotaan ini adalah teori yang bersandar pada situasi dan pilihan secara ekonomi individu. Dalam model ini, kita memperhatikan bagaimana keanggotaan seseorang dalam suatu kelompok akan mempengaruhi keluaran atau outcome status sosio-ekonomi seseorang. Model ini juga menunjukkan bagaimana faktor-faktor sosial, akan mempengaruhi preferensi, motivasi dan juga kesempatan yang dimiliki oleh seorang individu. Ide dasar yang ingin ditunjukkan dalam model ini adalah bagaimana suatu kelompok pada dasarnya memiliki banyak status yang membedakannya dengan kelompok lain. Contoh paling sederhana adalah kondisi fisik, mulai dari warna kulit, warna mata dan lain sebagainya. Namun, terkait dengan status sosio-ekonomi, tentunya hanya ada beberapa status kelompok yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam perilaku dan pengambilan keputusan seseorang. Teori keanggotaan sendiri pada dasarnya memang tidak menyimpang dari teori dasar pilihan aksi seseorang yang telah banyak dikaji dalam ekonomi klasik. Dalam teori ini, seorang individu akan mengambil keputusan yang didasarkan pada preferensi dan keyakinan akan 3-1-8
konsekuensi dari pilihan aksi, serta adanya keterbatasan dari pilihan aksi yang bisa dibuatnya. Proses imitasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi keputusan seseorang. Tak mengherankan jika dalam pengambilan keputusannya seseorang akan sangat dipengaruhi oleh pertetanggaan yang dimilikinya. Pengaruh pertetanggaan ini bisa diartikan secara geografis, seperti pengaruh tempat ia tinggal, pertemanan, pacar, orang tua, dan lain sebagainya. Adanya proses imitasi dalam membuat keputusan aksinya, membuat seseorang akan senatiasa melihat keputusan aksi yang dibuat oleh tetangganya. Agen kemudian membandingkannya dengan hasil yang ia peroleh. Di sini kemudian, ia membuat keputusan berdasarkan sejumlah pertimbangan tersebut. Individu akan mengambil suatu keputusan yang dinilainya akan bisa memberikan konsekuensi atau hasil yang lebih baik. Pengaruh pertetanggaan dan imitasi inilah yang bisa dijadikan salah satu penjelasan, mengapa terbentuk segregasi atau pengelompokkan tertentu dalam suatu masyarakat berdasarkan status sosio-ekonominya, dan bagaimana pola ini bersifat persisten dari waktu ke waktu. Sebagai contoh misalnya, agen yang berada pada lingkungan yang mayoritas dihuni oleh individu-individu yang berpendidikan rendah dan berprofesi sebagai mafia. Agen tersebut akan terdorong untuk berbuat hal yang sama, ketika ia mendapati bahwa menjadi mafia akan membuatnya lebih sukses daripada berangkat ke sekolah atau menggeluti profesi lainnya. Selain itu, secara langsung hal ini juga membuatnya lebih diterima di kelompok tersebut. Teori keanggotaan merupakan suatu pendekatan yang berupaya untuk menganalisis kemiskinan tidak hanya dari sudut pandang ekonomi saja. Lebih jauh, teori ini berupaya untuk memasukkan unsur psikologi dan sosiologi ke dalam analisis kemiskinan. Teori keanggotaan lebih ditujukan untuk melihat faktor sosial apa yang paling berpengaruh terhadap terjadinya segregasi kelompok dan jebakan kemiskinan. Hal ini akan sangat bermanfaat dalam upaya mencari solusi yang tepat guna mengatasi terjadinya kemiskinan berkelanjutan yang dialami oleh satu kelompok masyarakat. Sebagai studi kasus misalnya, program pemberian beasiswa untuk orang miskin. Mana yang lebih efektif, memberikannya pada beberapa orang secara acak ataukah hanya memfokuskannya pada beberapa orang saja dalam satu sekolah? Teori keanggotaan juga akan sangat berguna dalam upaya mencari sebuah kerangka kebijakan yang membuat individu dalam suatu kelompok dapat terdorong untuk keluar dengan sendirinya (self-reinforcing) dari kemiskinan. Pada akhirnya proses ini diharapkan akan dapat mengubah status sosio-ekonomi kelompok tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa, bobot faktor mikro yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. Akibatnya, hasil penelitian di bidang ini sedikit banyak akan berbeda, jika dilakukan di berbagai tempat di berbagai belahan dunia. Latar belakang ini menyebabkan pendekatan tersebut perlu diperhatikan secara lebih serius. Ini adalah salah satu upaya pengentasan kemiskinan, melalui pengembangan ekonomi kompleksitas, yang dapat kita lakukan. 3-1-9
Dari paparan sebelumnya, kita bisa melihat bagaimana proses kritik yang ada dalam perkembangan sains telah melahirkan pendekatan kompleksitas. Perspektif ini mencoba mengedepankan pendekatan interdispliner serta digunakannya perangkat komputasional. Paradigma ini memberikan sebuah peluang baru dalam menganalisis fenomena kompleks dalam sistem sosial, seperti halnya kemiskinan. Indonesia merupakan suatu negara berkembang di mana permasalahan kemiskinan merupakan suatu fenomena yang sangat dekat dengan keseharian kita. Kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen, dengan latar belakang budaya dan karakteristik individu berbeda-beda tentunya membawa kompleksitas tersendiri dalam upaya memahami dan menganalisis akar dari permasalahan kemiskinan yang terjadi di tanah air. Hal ini tentunya menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kita untuk mendapatkan solusi alternatif yang tepat dan holistik, serta sesuai dengan karakteristik individu bangsa kita. Oleh karenanya, sudah selayaknya jika permasalahan ini diperkaya dengan berbagai pendekatan ilmiah yang ada, termasuk pendekatan kompleksitas. Pendekatan ini menyediakan suatu metodologi yang dapat memodelkan struktur makro sosial dan ekonomi tanpa berupaya untuk mengabaikan bagaimana pengaruh struktur tersebut terhadap perilaku individu, dan membrojolnya pola interaksi tertentu di antara individu. Ia tidak lagi berupaya untuk memisahkan karakteristik yang khas dari individuindividu dan struktur makro yang membrojol dari interaksi mereka. Suatu peluang yang tentunya bisa kita jadikan sebagai solusi alternatif dalam upaya memahami kemiskinan di tanah air dan lebih jauh digunakan untuk mencari jawaban tentang bagaimana menangani kemiskinan di bumi pertiwi.
3-1-10
3.1.2 Harga-harga yang selalu naik! Maafkan kedua orang tuamu kalau, Tak mampu beli susu… BBM naik tinggi, susu tak terbeli. Orang pintar tarik subsidi, bayi kami kurang gizi… (Galang Rambu Anarki, 1982, album Opini) Kalau di antara kita, jatuh sakit… Lebih baik tak usah ke dokter. Karena ongkos dokter di sini, Terkait di awan tinggi… (Kembang Pete, 1985, album KPJ) Iwan Fals Ada sebuah obrolan di warung mie instan yang membuat hati pilu sekaligus pikiran berkecamuk. Waktu itu telah lewat tengah malam, dan barusan ada pengumuman di televisi tentang kenaikan harga bahan bakar, baik bensin, solar, hingga minyak tanah – yang tentunya dalam beberapa hari kemudian diikuti oleh kenaikan tarif listrik dan telepon. Seorang lelaki menyeletuk di tengah pemberitaan radio si penjual mie instan. “Waah… harga BBM naik lagi, ntar semuanya pasti ikutan naik… Kok pemerintah tega ya, nyabut subsidi, kan jadi berat di kitanya…”. Seorang lelaki muda yang duduk tak jauh darinya, balas menyeletuk, “BBM memang perlu naik, pak! Selama ini subsidi itu hanya dinikmati oleh mereka yang kaya saja. Subsidi cuma jadi ajang korupsi pejabatpejabat. Kita yang rakyat kecil jadi dirugikan dengan subsidi!”. Lelaki pertama tak menanggapi balasan lelaki tadi, pembicaraan mereka akhirnya berputar-putar di keluh kesah betapa sulitnya hidup saat ini. Singkat cerita, ternyata lelaki pertama adalah seorang sopir angkutan kota dan lelaki yang muda adalah seorang sarjana muda, lulusan sebuah perguruan tinggi negeri terkemuka di Indonesia. Mereka terus saja berbincang. Baik si sopir atau si sarjana muda tak henti-hentinya menceritakan betapa sulitnya hidup, mencari pekerjaan sulit, isteri yang sakit tak bisa dibawa ke dokter, pacar yang minta diputus karena dikecengin cowok kaya dengan mobil mentereng, dan seterusnya. Namun setiap kali, pembicaraan menyentuh soal subsidi BBM yang baru dicabut, si lelaki tua hanya bisa manggut-manggut mendengar ceramah si sarjana muda yang menyatakan subsidi memang mesti dicabut, karena subsidi cuma jadi ajang pejabat korup dan orang kaya saja. Beberapa nama ekonom terkenal, seniman ternama, dan tokoh reformasi pendukung pencabutan subsidi pun tercuat dalam dialog. Aku sejak awal hanya diam dan mendengar. Aku berpikir keras. Mengapa demi pejabat korup tak bisa lagi menikmati BBM bersubsidi, 3-1-11
rakyat kecil yang mesti merana. Mengapa pejabat korup itu tak ditangkap saja? Mengapa agar orang kaya tak bisa menikmati subsidi BBM, masyarakat ekonomi lemah juga yang mesti kena batunya? Mengapa orang yang pintar dan sekolah tinggi-tinggi dan menyandang gelar cendekiawan Indonesia serta telah pakar di bidang ekonomi hampir semuanya setuju dengan pencabutan subsidi? Orang kecil bicara karena kesulitan yang dirasakannya. Orang cerdas bicara karena ia sudah banyak belajar. Tapi mengapa orang cerdas dan sekolah tinggi-tinggi itu setuju dengan cara-cara demikian? Mengapa semakin ahli seseorang di bidang ekonomi, cenderung semakin setuju pula ia subsidi dicabut. Apakah ini masalah hati nurani, atau memang ada yang aneh dengan ilmunya? Mungkinkah ilmu yang tinggi malah membunuh sensitivitas seseorang terhadap kesulitan masyarakat kecil?
Gambar 3.1.2. Harga selalu naik!
Kedua kutipan lirik Iwan Fals, catatan pengalaman di atas, dan gambar 3.1.2. sepertinya sudah cukup sempurna menggambarkan apa yang terasa oleh masyarakat kecil Indonesia. Harga-harga memang selalu naik. Negeri yang belum seabad lalu membuat orang-orang Eropa tergoda menguasai tanah yang subur nan kaya ini, kini jadi tempat orang yang tak henti-hentinya berkeluh-kesah ketika berbicara soal kenaikan hargaharga.
Berdasarkan data United Nations Development Programme (2000), hampir setengah atau sekitar 45% pendapatan rumah tangga tandas untuk kebutuhan pangan. Sebuah angka yang menggambarkan betapa mahalnya nilai kebutuhan lain, seperti sandang, papan, buku, komputer, dan sebagainya bagi seorang warga negara Indonesia, relatif terhadap angka 33% untuk Filipina, 11% untuk Jepang, dan hanya 8% untuk Amerika Serikat. Di sisi lain, laju mata uang Rupiah kita terhadap mata uang Dollar AS cenderung sulit kembali ke kondisi pra krisis moneter 1997 seperti ditunjukkan gambar 3.1.3. Bisa dibayangkan geliat masyarakat ekonomi 3-1-12
lemah dalam mencari sesuap nasi, secangkir kopi, dan seonggok tempe setiap hari. Hal ini menjelaskan masih banyaknya warga negara yang berada di bawah gizi cukup (malnutrisi) di bumi pertiwi, sebagaimana UNDP (2006) melaporkan jumlahnya yang lebih dari 15 juta orang. Gambar 3.1.3. Nilai mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat (sumber: http://www.oanda.com/).
Keinsyafan kita akan sistem ekonomi sebagai sistem kompleks membawa kita pada kesadaran bahwa terdapat keterhubungan yang tak linier antara satu kebutuhan hidup dengan kebutuhan hidup lainnya. Kenaikan harga beras memberi pengaruh pada kenaikan harga tempe, dan kenaikan harga minyak tanah memberi pengaruh pada perubahan harga garam dapur, dan seterusnya. Harga sembako (sembilan bahan pokok) ditentukan oleh pasar ritel fundamental yang sangat berpengaruh pada kekinian bangsa apalagi masa depan bangsa. Malnutrisi akan menghasilkan populasi penduduk dengan tingkat kecerdasan rendah di masa depan di samping keresahan sosial yang tinggi di masa kini. Kebijakan ekonomi yang mengatur satu atau dua harga komoditas harus benar-benar memperhatikan faktor kesejarahan pergerakan harga-harga sembako ini. Keterkaitan antara pergerakan harga satu bahan pokok dengan bahan pokok lain secara sederhana ditunjukkan pada gambar 3.1.4. yang menggambarkan pohon ultrametrik pergerakan harga-harga hasil pertanian rata-rata di pasar tradisional masyarakat (dalam kasus ini kita menggunakan data rata-rata pasar di propinsi Jawa Timur sebagaimana dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik). Dari sisi harga, kita melihat bahwa krisis moneter 1997 telah membuat harga-harga bahan pangan tersebut melonjak sementara nilai mata uang kita anjlok. Untuk dapat melihat dengan lebih jelas pengelompokan bahan-bahan pangan tersebut korelasi silangnya, pada gambar 3.1.5. ditunjukkan visualisasi jarak ultrametrik dari pergerakan harga-harga tersebut. Pada gambar tersebut terlihat keterkaitan yang erat antara harga daging sapi dan daging ayam, pengelompokan harga pisang dan harga pepaya, harga kacang panjang dan harga terung, serta harga-harga bahan makanan lainnya. Pengaturan kebijakan nasional seputar harga-harga bahan yang menguasai hajat hidup orang banyak ini sangat perlu diperhatikan oleh pemerintah/pengambil kebijakan demi terjaganya ketahanan nasional di bidang kebutuhan pokok dan pembinaan generasi muda yang kelak menjadi pemimpin bangsa di masa depan.
3-1-13
Gambar 3.1.4. Pohon ultrametrik beberapa bahan kehidupan sehari-hari masyarakat. Semakin tebal garis keterhubungan antar komoditas maka semakin tinggi pula korelasi harga keduanya. (sumber data: BPS)
3-1-14
Gambar 3.1.5. Jarak ultrametrik yang memvisualisasikan keterkaitan kompleks antara satu harga hasil pertanian (termasuk perkebunan, perikanan dan peternakan) dengan hasil pertanian lain. Semakin dekat jarak antara satu komoditas dengan komoditas lain, maka keterkaitan di antaranya akan semakin tinggi: kenaikan/penurunan harga satu komoditas mempengaruhi sedikit banyak harga komoditas lain. Terlihat bahwa harga minyak tanah (yang selama ini cenderung dijaga oleh pemerintah) tidak membentuk cluster dengan harga satu bahan pokok tertentu lainnya yang cenderung lebih mengikuti mekanisme pasar ritel di lapangan.
3-1-15
3.1.3. Angkatan Kerja Kita Berdasarkan data dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, tahun 2005 saja terdapat 177.019 tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri di kawasan Timur Tengah (97% di sektor informal) dan 297.291 berada di kawasan Asia Pasifik di mana kebanyakan dari semua itu adalah angkatan kerja perempuan. Di negeri sendiri, berdasarkan data BPS (2006) tinggal lebih dari 11 juta angkatan kerja yang berstatus pengangguran (terbuka) yang hampir setengahnya adalah lulusan SLTA dan lebih dari 70% memang sama sekali belum pernah bekerja. Jika pada tahun 2005 saja terdapat lebih dari seribu kasus ketenagakerjaan Indonesia di luar negeri (371 kasus di antaranya adalah kasus gaji yang tak dibayar, 29 kasus pelecehan seksual, dan 88 kasus penganiayaan). Sungguh angka-angka yang tidak nyaman, belum lagi dari adanya peluang bahwa data-data tersebut bisa jadi hanyalah angka yang mungkin saja hanya data yang tercatat, artinya ada peluang angka yang riil lebih dari itu. Fakta-fakta ini menunjukkan fenomena “jual-murah” gaji di pasar tenaga kerja nasional. Jika orang menganggur, terdapat kecenderungan secara mikro-sosial untuk mencari cara tercepat untuk mendapatkan uang untuk memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa analis seringkali mengaitkan kondisi tingginya angka pengangguran dan tingkat kriminalitas. Tingginya tingkat pengangguran memberikan kecenderungan naiknya tingkat kriminalitas. Dua hal ini berada pada domain yang berbeda dalam tradisi ilmu sosial klasik, yang pertama berada di dalam domain makro ekonomi dan yang satunya dalam tradisi kajian makro-sosial. Kondisi populasi pengangguran yang tinggi memberi rasa tidak nyaman, karena potensi lebarnya jurang pemisah antara yang kaya dan yang miskin. Lebih jauh lagi, berdasarkan pemahaman kita pada bab sebelumnya tentang sifat konsumtif masyarakat Indonesia yang rentan dengan penetrasi media massa yang mau tak mau keterlaksanaannya sarat dengan pengiklanan plus tontonan televisi yang sedikit banyak mencipta imagi indahnya hidup dengan glamoritas kemewahan hidup. Pengamatan kasar yang dilakukan menunjukkan terdapat total (dari 11 stasiun) lebih dari 100 jam perhari tayangan televisi nasional adalah sinetron. Lebih dari setengahnya adalah sinetron dengan penampilan gaya hidup yang sangat mewah. Data ini masih di luar angka tayangan gosip selebritis nasional, yang tentu saja sulit dilepaskan dari deskripsi gaya hidup yang juga tak murah. Bablasnya pasar tenaga kerja sementara urgensi akan hidup mewah tinggi mendorong tindak kriminalitas secara mikro. Di Indonesia, jumlah pelanggar pidana pada akhir tahun 2006 tercatat sebesar 116.000 orang (harian Suara Pembaruan, 11 Juni 2007). Salah satu tindak pidana pelanggaran hukum yang lebih menyeramkan lagi adalah permasalahan peredaran narkotika dan obat-obatan terlarang (NARKOBA) yang menjanjikan uang dalam jumlah besar, namun berdampak sangat 3-1-16
mengerikan bagi generasi masa depan sebuah masyarakat. Dari ratusan ribu pelanggaran hukum pidana itu, lebih dari 60% adalah pelanggaran di bidang narkoba. Saat ini jumlah pengguna narkoba di Indonesia dilaporkan telah mencapai 3.200.000 orang yang 69% di antaranya adalah mereka yang menggunakannya secara teratur dan 31% dikategorikan pecandu. Hal yang lebih menyeramkan adalah bahwa 20% di antaranya adalah pemakai narkoba dalam kategori anak-anak (www.kabarindonesia.com). Jika jumlah pengangguran senantiasa bertambah, maka menjadi logis ketika angka kriminalitas juga menjadi bertambah. Tapi tak berhenti hingga di sana. Penelitian terakhir dengan model kompleksitas dan teori chaos menunjukkan adanya hal dapat membuat bulu kuduk makin merinding: kriminalitas juga ternyata dapat memicu naiknya angka pengangguran (!). Hal ini disebut sebagai bentuk kausalitas dua arah (twoway causality). Secara sederhana hal ini dijelaskan sebagai berikut. Ketika agen sosial menganggur maka ia memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan kriminal yang melawan hukum agar ia dapat menafkahi dirinya sendiri. Ketika ia melakukan tindakan kriminal, maka ia dapat tertangkap dan akhirnya harus menjalani hukuman penjara. Namun selepas dari penjara, jaring sosial (social network) yang ia miliki secara alamiah biasanya menjadi sangat terbatas. Terdapat ketertutupan di sana-sini bagi mantan napi. Ketertutupan ini dapat berasal dari masyarakat namun bisa pula dari dirinya sendiri yang menjadi minder atau memiliki sensitifitas yang relatif tinggi akan bagaimana lingkungan sosialnya memperlakukannya. Akibatnya, jaring sosialnya pun menjadi tak jauh dari lingkaran pelaku kriminal sehingga peluang untuk melakukan tindakan kriminal bisa jadi bertambah. Namun kalaupun ia tidak tertangkap, keadaan bisa juga menjadi lebih buruk. Seorang pelaku kriminal tentu tak seluwes orang biasa dalam bergaul dan membina tali silaturahmi jaring sosial. Jaring sosial seorang pelaku kriminal pada umumnya sangat tertutup, demi tertutupnya tindakan-tindakan kriminalnya tersebut. Malahan, terdapat kecenderungan seorang pelaku kriminal merekrut pengangguran lain untuk melakukan pelanggaran pidana juga. Angka kriminal pun menanjak dan dapat meningkatkan lagi angka pengangguran yang pada gilirannya akhirnya akan menaikkan lagi angka kriminal secara agregat.
3-1-17
Gambar 3.1.6. Fluktuasi angka kriminalitas (atas) dan peta fasa yang menggambarkan atraktor kriminal (bawah) yang semakin lama semakin cepat pergerakannya dan konsekuensinya semakin sulit untu memprediksi arahnya.
Pola ini menjadi mirip dengan pola epidemik yang sulit untuk dientaskan karena hampir tak mungkin menebak ujung rantai kausalitasnya yang terletak jauh di level mikro-sosial. Sebuah simulasi teoretis menunjukkan adanya atraktor kriminal dengan teknik pemodelan yang terinspirasi dari perkembangan teori chaos. Sebagaimana telah didiskusikan pada subbab 0.1., sistem chaotik sebenarnya adalah sistem yang deterministik, namun dinamika sistemnya yang tak linier mengakibatkan pola yang terbentuk menjadi tak mungkin terprediksi karena sifatnya yang sangat sensitif pada kondisi awal. Adalah tak mungkin untuk menemukan parameterisasi sosial bidang kriminalitas dan pengangguran secara pasti (exact) dan akibatnya proyeksi pola chaotik yang dihasilkan semakin rumit untuk diprediksi. Namun implementasi lanjut dari pendekatan ini tentunya dapat memberikan insight tentang bagaimana secara statistik kita harus memperlakukan data-data pengangguran sehingga interplay epidemiknya dengan tingkat kriminalitas dapat diminimalisasi. Selain itu diharapkan, kita bisa mendapatkan urgensi yang kuat bahwa permasalahan pengangguran harus segera diminimalisasi dengan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pencitraan kota-desa. Sementara itu dari sisi budaya, perlu diperhatikan bagaimana pencitraan terhadap lapangan pekerjaan. Terdapat kecenderungan bahwa kerja di kota adalah pekerjaan yang “mentereng”. Sementara itu, kehidupan di desa atau daerah sering dipandang sebelah mata. Hal ini tentunya adalah hal yang kait-mengkait
3-1-18
satu sama lain. Wawasan Wiyatamandala perlu dibangun dengan memperhatikan permasalah ini. Selain itu, kita juga harus mampu mempelajari dan mengambil kebijaksanaan atas representasi yang ada. Lebih jauh dapat kita lihat pada gambar 3.1.7. dan dan 3.1.8. Dari sisi populasi, memang terlihat bahwa populasi mereka yang tinggal di pulau Jawa memiliki pendapatan yang lebih besar daripada mereka yang ada di luar pulau Jawa. Bisa saja hal ini menjadi semacam pemicu gelombang urbanisasi, yang senantiasa muncul. Namun, interpretasi atas gambaran populatif tersebut menjadi kurang aktual ketika kita melihat gambaran fraksi mereka yang berpenghasilan tinggi di masing-masing daerah. Terlihat bahwa justru di tempat yang sangat tinggi populasi penduduk dengan penghasilan lebih besar daripada Rp 1.500.000,-/bulan ternyata juga menyimpan segudang populasi dengan pendapatan lebih kecil, dari nilai tersebut. Aspek ini perlu diperhatikan dalam penyusunan kebijakan perencanaan kota dan wilayah di masa yang akan datang. Gambar 3.1.7. Jumlah populasi yang bergaji lebih dari Rp 1.500.000,- sebulan.
Gambar 3.1.8. Fraksi populasi yang bergaji lebih dari Rp 1.500.000,- sebulan.
3-1-19
Di manakah orang Indonesia bekerja?
3.2. Posisi Uang dan Investasi Pada bagian ini kita akan mengupas tentang kedudukan perekonomian makro Indonesia dari sudut pandang nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang lain di kawasan Asia Pasifik sekaligus terhadap Dollar AS serta deskripsi pasar modal Indonesia di kawasan ini.
Dari gambar di atas kita dapat melihat jarak ultrametrik antar mata uang di kawasan Asia Pasifik. Dari sini terlihat bahwa beberapa mata uang saling terkait satu sama lain. Australia dan Selandia Baru memiliki jarak ultrametrik yang sangat kecil. Artinya, pergerakan mata uang di dua negara ini sangat berhubungan. Demikian juga dengan Jepang dan Singapura, atau Makau dan Nepal. Kita juga dapat melihat bahwa kelompok Australia dan Selandia Baru serta kelompok Jepang dan Singapura saling berdekatan satu sama lain. Untuk dapat melihat pengelompokan yang terjadi dengan lebih seksama, gambar tersebut dapat kita transformasikan menjadi bentuk visual berikut (gambar 3.2.2.):
Gambar 3.2.1. Pohon hirarkis mata uang negaranegara di kawasan Asia. Grafik dibuat menggunakan data harian tiap negara terhadap USD dari Januari 2005 hingga Juli 2007 (sumber data: www.oanda.com).
Gambar 3.2.2. MST pohon mata uang di Asia Pasifik dan USD. Semakin tebal garis antar node berarti jarak ultrametrik keduanya semakin dekat.
3-2-1
Gambar 3.2.3. Volatilitas mata uang negara-negara di kawasan Asia dari Januari 2005 hingga Juli 2007. Volatilitas dihitung dengan menggunakan standar deviasi log-returns (sumber data: www.oanda.com).
Pada gambar 3.2.2. terlihat bahwa secara umum mata uang di Asia Pasifik dapat dibagi menjadi 5 buah kelompok. Kelompok pertama terdiri atas Australia, Selandia Baru, Jepang, Singapura dan Thailand. Konfigurasi ini terdiri atas negara-negara dengan GDP perkapita tinggi. Dengan membandingkan hasil tersebut ke gambar 3.2.3. terlihat bahwa kelompok ini tersusun atas negara-negara dengan tingkat volatilitas nilai tukar menengah. Di sini terlihat semakin tengah posisi sebuah mata uang di ruang ultrametrik, volatilitasnya semakin kecil. Artinya pergerakan sebuah mata uang di kelompok ini cenderung mengacu ke mata uang lain yang memiliki tingkat volatilitas yang lebih kecil. Konfigurasi kedua terdiri atas Korea Utara, India, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, Bhutan, Cina, Taiwan dan Filipina. Tingkat volatilitas pergerakan mata uang di kelompok ini relatif kecil dan menengah. Yang menarik adalah fakta bahwa ternyata mayoritas anggota partisi ini adalah negara-negara komunis atau junta militer. Kelompok ketiga terdiri atas Makau, Nepal, Laos, Kamboja, Banglades dan Vietnam. Partisi ini terdiri negara-negara di kawasan Indo Cina dan Asia Selatan bagian timur. Volatilitas kelompok ini relatif menengah dan tinggi. Kelompok keempat terdiri atas negara-negara di seputar laut Cina Selatan dan laut Cina Timur yang meliputi Hongkong, Malaysia, Brunei dan Korea Selatan. Partisi terakhir terdiri atas Indonesia, Mongolia, Afganistan dan Srilangka. Di kumpulan ini mata uang yang ada langsung berhubungan dengan Dollar AS. Dari deskripsi di atas kita dapat menemukan sebuah pola yang menarik, yaitu terjadi pengelompokan mata uang. Pola pengelompokan yang terjadi bervariasi, seperti berada di sebuah wilayah regional yang relatif sama atau memiliki latar belakang politik yang identik atau mempunyai tingkat kekayaan yang relatif berimbang. Lalu dimanakah posisi Indonesia? Pada gambar 3.2.2. terlihat bahwa pergerakan mata uang Indonesia relatif independen terhadap pergerakan mata uang negara-negara lain di kawasan Asia Pasifik. Rupiah relatif dekat ke Dollar AS, sebagai sebuah mata uang utama di dunia, dan tidak memiliki hubungan langsung dengan mata uang lain di kawasan ini. Hal ini tentu merupakan sebuah fenomena menarik. Artinya walaupun dari sisi geografis, penduduk dan GDP Indonesia relatif berada di tengah kawasan Asia Pasifik, namun nilai tukar rupiah relatif independen terhadap pergerakan mata uang yang ada di kawasan ini.
3-2-2
Gambar 3.2.4. Jarak ultrametrik korelasi indeks pasar modal di beberapa negara di Asia Pasifik dari Januari 2005 hingga Juli 2007 (sumber data: http://finance.yahoo.com).
Lalu bagaimana dengan pasar modal? Berbeda dengan pasar valuta asing, jarak indeks pasar modal di kawasan Asia Pasifik cenderung lebih dekat satu sama lain. Hal ini terlihat jelas jika kita membandingkan gambar 3.2.1. dan gambar 3.2.4. Di pasar modal terdapat banyak kelompok yang memiliki jarak ultrametrik lebih kecil dari satu. Hongkong dan Singapura memiliki jarak ultrametrik yang sangat kecil. Artinya pergerakan indeks pasar modal dua negara ini saling berkaitan. Demikian juga dengan Jepang dan Korea Selatan. Dari visualisasi di atas juga diketahui bahwa kelompok Hongkong dan Singapura serta Jepang dan Korea Selatan saling berdekatan. Gabungan dua kelompok ini kemudian berhubungan dengan pergerakan indeks di Australia dan Indonesia. Dari sini dapat kita simpulkan bahwa, berbeda dengan pergerakan nilai tukar mata uang, pergerakan indeks pasar modal di Indonesia relatif terhubung dengan pasar-pasar modal yang ada di kawasan ini.
Gambar 3.2.5. Jarak ultrametrik korelasi perubahan volume perdagangan di beberapa negara di Asia Pasifik dari Januari 2005 hingga Juli 2007 (sumber data: http://finance..yahoo.com).
Apakah kedekatan pergerakan indeks di kawasan Asia Pasifik juga berlaku di sisi volume? Berbeda dengan indeks, perubahan volume di kawasan Asia Pasifik relatif berjarak lebih jauh. Pada gambar 3.2.5. terlihat bahwa jarak ultrametrik perubahan volume selalu lebih besar dari satu. Artinya dampak pengaruh pergerakan sebuah pasar ke pasar modal lain lebih dekat ke indeks dibandingkan dengan perubahan volume perdagangan.
3-2-3
Gambar 3.2.6. Kapitalisasi pasar modal beberapa negara di Asia Pasifik, sumbu vertikal menunjukan volume perdagangan (sumber data: http://finance.yahoo.com).
Dalam dua setengah tahun ke belakang, indeks pasar modal di kawasan Asia Pasifik menunjukan tren bullish. Cina mencatat pertumbuhan indeks terbesar. Dominasi aktivitas pasar modal Cina juga terlihat dari nilai kapitalisasi pasar. Saat ini Cina merupakan pasar modal dengan tingkat kapitalisasi terbesar di kawasan Asia Pasifik, lihat gambar 3.2.6. Aktivitas pasar modal Cina yang sangat tinggi tersebut menarik jika dihubungkan dengan pergerakan nilai tukar Yuan yang relatif stabil. Tentu saja hal ini sangat terkait dengan kebijakan moneter Cina yang berusaha menjaga nilai Yuan agar tetap lemah. Kebijakan tersebut mengakibatkan terjadinya ekspansi produk Cina ke pasar internasional, termasuk Indonesia. Peningkatan aktivitas dan tren bullish pasar modal Cina ternyata juga diikuti oleh pasar modal Indonesia. Dalam dua setengah tahun ke belakang indeks pasar modal Indonesia mengalami pertumbuhan pesat, yaitu berada di posisi ketiga di belakang Cina dan India. Tren bullish pergerakan indeks tersebut ternyata juga diikuti dengan peningkatan volume perdagangan. Dalam 1 tahun ke belakang kapitalisasi pasar modal di Indonesia meningkat lebih dari 2 kali lipat. Dari sini kita dapat mempelajari beberapa hal, pertama terjadi pengelompokan mata uang di Asia Pasifik. Pengelompokan tersebut memiliki latar belakang yang bervariasi, seperti kesamaan posisi geografis yaitu berada dalam lingkup regional yang relatif sama, latar belakang politik yang identik, atau mempunyai tingkat kekayaan yang relatif berimbang. Di sini, posisi rupiah relatif lebih independen terhadap pergerakan mata uang lain di kawasan tersebut. Kedua, jarak antar indeks pasar modal di Asia Pasifik relatif lebih dekat dibandingkan dengan jarak antar mata uang. Kedekatan yang terjadi lebih kepada nilai indeks dibandingkan dengan perubahan volume perdagangan. Jadi, berbeda dengan nilai tukar rupiah, indeks pasar modal Indonesia sangat terhubung dengan pasar-pasar di kawasan ini.
3-2-4
3.3. Bursa Efek Indonesia Setiap firma yang produknya telah menguasai pasar di tengah-tengah masyarakat seyogianya punya tiga pintu tempat anggota masyarakat bisa masuk. Pintu depan adalah tempat di mana masyarakat bisa membeli barang atau jasa yang ditawarkan oleh firma tersebut. Secara sederhana ini merupakan pasar ritel di mana, masyarakat membeli apa yang mereka butuhkan sesuai dengan yang ditawarkan. Pintu samping adalah tempat di mana anggota masyarakat bisa menjual tenaganya di mana ia bisa bekerja bagi firma tersebut. Di sini firma membeli tenaganya dan anggota masyarakat menjual, sebuah tempat yang disebut sebagai pasar tenaga kerja. Pintu belakang adalah tempat anggota masyarakat dapat membeli atau menjual saham kepemilikan dari firma tersebut. Di pintu belakang ini, sebuah firma menjadi milik masyarakat, sebuah tempat yang dikenal sebagai pasar modal. Melalui tiga pintu ini, sebuah firma menjadi simbol ekonomi kapitalistik yang merupakan sebentuk sistem yang berasal dari masyarakat, oleh prakarsa masyarakat, dan memang diperuntukkan masyarakat. Di Indonesia, pasar modal adalah Bursa Efek Indonesia, sebuah penggabungan bentuknya terdahulu: Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya.
Ketiga jenis pasar ini membangun sistem ekonomi modern bersama dengan jenis pasar keempat, yaitu pasar mata uang. Setiap pasar memiliki dinamika sendiri-sendiri. Bahkan, ilmu pengetahuan ekonomi telah memiliki disiplin dan wawasan yang terspesialisasi untuk mempelajari perilaku pasar modal dan pasar mata uang. Prinsip ekonomi berupaya agar setiap interaksi di empat pasar tersebut dapat meraih keuntungan ekonomi. Di pasar modal, firma yang mendaftarkan diri di bursa efek (go public) tentunya juga mendapatkan keuntungan. Ia dapat mengumpulkan modal dari masyarakat ketika mendaftarkan diri di bursa pertama kali (initial public offering), untuk lebih meningkatkan performanya. Pasar modal juga memiliki kekhasan tersendiri. Setidaknya, bagi investor, ada dua cara mengambil keuntungan dari pasar modal. Pertama, melalui pembagian dividen atau keuntungan firma yang dikalkulasi dan dibagikan secara berkala kepada seluruh pemilik modal. Jika seorang investor memiliki sekian persen saham dari sebuah perusahaan yang performanya baik sekali maka ia berhak mendapatkan dividen, sebagai bentuk kepemilikan akan firma yang bersangkutan. Kedua, jika seseorang membeli sebuah saham ketika harganya masih rendah dan menjualnya ketika harganya telah cukup tinggi maka ia berhasil mendapatkan keuntungan ekonomi dari bursa efek. Tentu saja investor juga dapat merugi jika ia melakukan hal-hal sebaliknya. Dinamika pasar modal pada akhirnya berada pada dua polar analitik: upaya untuk memahami 3-3-1
performa aktivitas ekonomi dari sebuah firma sebagai bentuk fundamental dari firma tersebut yang direpresentasikan melalui kinerja, penjualan, apresiasi pasar atas produk, ataupun kebijakan eksekutif firma tersebut. Di sisi lain, terdapat pula upaya analitik untuk memahami gerak fluktuasi naik-turunnya harga saham sebuah firma di bursa efek berdasarkan gerak naik-turun dari harga saham tersebut atau indeks tertentu yang merepresentasikan informasi tentang situasi pasar dalam chart historis. Di Bursa Efek Indonesia, salah satu indeks yang sering menjadi acuan dalam investasi adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menggambarkan kondisi umum dari keseluruhan saham yang diperdagangkan di sana dan indeks LQ-45 yang menggambarkan gerak naik-turun 45 saham terlikuid di lantai bursa.
3.3.1. Mekanika Statistik Pergerakan Harga di Lantai Bursa Keterlibatan banyak (ekono)-fisikawan dalam analisis bursa efek telah memberikan banyak kontribusi dalam hal ekstraksi sifat-sifat statistik yang ada di dalam pergerakan harga saham-saham. Upaya ini sedikit banyak telah membantu investor dalam pengambilan keputusannya, dengan tidak lagi sekadar bersandar pada analisis ekonometri konvensional. Selain itu, beberapa penyelia bursa efek di dunia telah menggunakan piranti ini untuk meningkatkan performa pasar sehingga tercipta sistem perdagangan yang optimum dan bersifat fair dalam perdagangan di lantai bursa. Pada bagian ini kita mendiskusikan beberapa sifat dari pola perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, mulai dari sifat korelatif data-data (otokorelasi) dan antar data-data (korelasi silang antar data) hingga pemodelan berbasis agen yang dilakukan untuk memodelkan perdagangan saham.
3-3-2
ACAKKAH PERGERAKAN HARGA DI PASAR MODAL?
GERAK ACAK MODEL PAUL LEVY (1937)
GERAK ACAK MODEL ALBERT EINSTEIN (1905)
Bayangkan sebuah serbuk sari jatuh di air yang ada dalam gelas, maka serbuk sari itu akan “melompatlompat” ke sana ke mari secara acak. Ia akan menghasilkan pola ditribusi normal (gaussian).
Investor-investor saling berinteraksi satu sama lain, melalui gosip/rumor, diskusi, peniruan strategi investasi, dan sebagainya. Pola yang terjadi di pasar modal mengikuti distribusi ekor gemuk
Bayangkan anda sedang membuat kopi, dan agar kopi itu larut anda menyeduhnya. Maka partikel-partikel kopi itu akan “melompat ke sana kemari” dan saling bertumbukan satu sama lain dalam pola acak. Interaksi “tumbukan” antar partikel menghasilkan distribusi ekor gemuk.
↓ Ditribusi Levy Terpotong
IHSG bukan gerak acak murni (model Einstein), karena jika kita perhatikan beberapa kondisi khusus dari gerak fluktuasi IHSG, terdapat beberapa kali ditemui pola naik atau turun yang lebih besar relatif dari yang ditunjukkan oleh gerak Brown secara rata-rata. Hal ini ditunjukkan pada fluktuasi yang dilingkari pada gambar gerak IHSG di atas.
ACAKKAH PERGERAKAN HARGA DI PASAR MODAL?
Bentuk tak beraturan di sekitar puncak distribusi.
Sifat-sifat universal data keuangan dapat dideteksi.
Sifat skala pada distribusi return harga-harga saham.
Kejatuhan pada skala → distribusi Levy Terpotong. Penjumlahan perubah acak return harga saham pada akhirnya menjadi berdistribusi normal yang dijamin oleh TEOREMA LIMIT PUSAT.
…adalah tidak mungkin meramal secara tepat pergerakan harga saham. Namun dengan memahami sifat-sifat distribusi data kita dapat menyusun strategi perdagangan/investasi yang optimum sehingga mendapatkan hasil prediksi saham yang mungkin yang paling optimum. Karena kita melandaskan analisis pada sifat distribusi data empiris, hasil prediksi yang diperoleh lebih baik dari yang dilakukan pada ekonometri klasik.
Terdapat korelasi positif antara return harga saham dengan volume perdagangan. Perubahan harga yang b e s a r cenderung diikuti volume perdagangan yang besar pula dan sebaliknya.
TERBENTUKNYA HARGA SAHAM DARI ORDER YANG MASUK (*) Jika order yang masuk adalah order jual dengan harga A, maka: (**) Jika A≤B1(t), maka order jual tersebut akan done dengan best bid yang ada pada harga antrian, dan keduanya akan dieksekusi pada harga bid B1(t). (**) Jika A>B1(t), maka tidak ada match yang mungkin, dan order tersebut akan masuk antrian.
(*) Jika order yang masuk adalah order beli dengan harga B, maka: (**) Jika B≤A1(t) maka order beli tersebut akan done dengan best ask yang ada pada harga antrian, dan keduanya akan dieksekusi pada harga ask A1(t). (**) Jika B
P(x) ≈x-α αpasar≈1.8
Penumpukan secara berulang-ulang order di daerah yang tidak kompetitif bisa jadi merupakan pola strategi trader tertentu. Ia dapat memberikan kesan psikologis pada order book sedemikian sehingga terdapat ketidakseimbangan pada order book. Kondisi ini dapat memicu pola herding behavior yang menyebabkan terjadinya rush untuk beli atau jual oleh investor/trader lainnya. Pola ini menimbulkan pola perdagangan yang tak wajar jika saham yang diperdagangkan adalah saham-saham yang tidak likuid/tidak aktif karena sifatnya yang mempermainkan psikologis investor lain.
PROFIL MIKRO INVESTOR DI BURSA EFEK INDONESIA Apa yang paling mempengaruhi pengambilan keputusan investor? Apa metode prediksi teknikal favorit investor di Bursa Efek Indonesia? Apakah sistem perdagangan yang ada sekarang dirasakan telah cukup fair? Seberapa terpengaruh seorang trader di Bursa Efek Indonesia dengan trader lainnya? Sebuah survei dilakukan terhadap beberapa trader di lantai bursa (April 2005) dan berikut adalah petikan hasilnya. Strategi pada dasarnya menjadi atribut yang dimiliki oleh masing-masing investor yang sifatnya relatif tidak berubah selama rentang waktu perdagangan tertentu. Strategi menjadi dasar bagi setiap investor dalam mengambil keputusan transaksinya. Strategi yang berbeda-beda dari setiap investor akan menyebabkan pengambilan keputusan transaksi yang berbeda-beda ketika menyikapi suatu informasi tertentu. Perbedaan strategi ini juga bisa dipandang sebagai suatu diversifikasi atau keheterogenan agen yang menyusun pasar. Investor-investor dengan strategi fundamental cenderung menggunakan beberapa metode konvensional seperti berita, reportase, laporan dan sebagainya, sebagai suatu referensi dalam pengambilan keputusan investasi.
Interaksi memegang peranan yang sangat penting di kalangan investor/trader di bursa kita dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini cukup penting untuk kita perhatikan mengingat pada dasarnya agen-agen dalam ekonomi tidaklah independen. Mereka senantiasa berinteraksi dan beradaptasi menurut pola-pola tertentu. Dari sisi sistem transaksi saham saat ini, terdapat penilaian positif terhadap tingkat fairness pasar dari para investor. Ini setidaknya memberikan indikasi bahwa mekanisme perdagangan saat ini tidaklah begitu dipermasalahkan oleh investor.
PERGERAKAN HARGA KOLEKTIF DAN INDEKS KOMPOSIT Kita menganalisis perbandingan antara nilai karakteristik (eigen value) matriks yang acak dan matriks data korelasi saham. Secara sederhana, metode ini membandingkan antara matriks korelasi acak dengan matriks korelasi saham sedemikian sehingga kita mendapatkan ekstraksi informasi dan pola dari matriks saham. Dari sini kita ketahui mana yang merupakan bentuk gangguan (noise) serta mana informasi berguna dan merepresentasikan pasar modal. Kita sebut gangguan jika sifat statistikanya mirip dengan data acak sementara kita sebut sebagai bentuk informasi jika memiliki perbedaan yang signifikan dengan sifat statistika data acak. Ini merupakan salah satu motif dari model teori matriks acak ini, yakni membedakan antara informasi yang berguna dan pola yang dapat dikategorikan sebagai sekadar gangguan dalam fluktuasi spektrum saham. Sejauh mana penyimpangan yang terjadi antara matriks korelasi saham dengan matriks korelasi acak menjadi sebuah petunjuk bagi analis dalam menyusun portfolio. Dengan menganalisis lebih lanjut melalui observasi hanya pada informasi yang berguna (merepresentasikan pasar) dan menghilangkan informasi yang bersifat acak pada data, alhasil diperoleh arahan portofolio yang lebih optimum daripada pendekatan ekonometri tradisional yang sematamata melihat fluktuasi data saham. Pendekatan untuk melihat performa pergerakan saham-saham secara umum dirasa perlu karena tak mungkin melihat big picture dari pasar modal di Indonesia hanya melalui satu indeks IHSG (indeks harga saham gabungan) saja. IHSG merupakan sebuah besaran spektral yang dibentuk melalui “interaksi” antara satu saham dengan saham lain yang diperdagangkan di lantai bursa. Dengan melihat korelasi silang antara fluktuasi satu saham dengan saham lain di bursa, maka kita dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi di lantai bursa secara umum. Lebih jauh, pendekatan ekonofisika melihat momen-momen statistik dari koefisien korelasi tersebut, yakni nilai rata-ratanya, variansinya, dan seterusnya. Sebuah penelitian menarik menunjukkan bahwa jika nilai rata-rata dari koefisien korelasi saham-saham meninggi, maka di pasar tengah terjadi formasi harga yang hampir seragam untuk keseluruhan saham yang biasanya digambarkan dalam keadaan krisis ekonomi atau tingkat ketakpastian investasi yang tinggi di pasar. Itulah sebabnya jika kita perhatikan gambar di samping, nilai rata-rata koefisien korelasi dari saham-saham semenjak tahun 2000 di lantai bursa kita cenderung menurun yang menunjukkan ekonomi investasi cenderung makin membaik. Perkembangan riset ekonofisika juga telah menyediakan alat lain dalam analisisnya, yaitu pohon keuangan (minimum spanning tree) dengan teknik pemodelan yang mengubah koefisien korelasi menjadi nilai jarak keterhubungan antara satu saham dengan saham lain. Dari gambar kita ketahui bahwa semakin panjang jarak total pohon keuangan, maka semakin dinamis dan “independen” pergerakan satu saham dengan saham lain. Ini menunjukkan kondisi ekonomi (dalam hal investasi) semakin sehat.
POHON KEUANGAN SAHAM-SAHAM 2001
Pendekatan pohon keuangan memberikan gambaran seberapa jauh satu fluktuasi saham dengan fluktuasi saham lain secara relatif. Pada visualisasi berikut digambarkan pohon keuangan untuk tahun 2001, 2004 dan sepanjang tahun 2005-2007.
2004 Pasca krisis (tahun 1999-2001) saham-saham seperti industri, seperti :TLKM, ISAT, ASII GGRM, cukup menjadi “referensi” bagi pergerakan saham lain.
Pada tahun 2004, sahamsaham sektor perbankan mendominasi.
2007 Pada tahun 2005-2007 terjadi pengelompokan saham-saham perbankan. seperti: BDMN, BBCA, BNGA, BNII, dan lain-lain dengan dinamika yang dinamis dan dekat dengan pengelompokan saham yang sangat likuid, seperti: saham TLKM, ISAT, dan ASII. Dalam perspektif penyusunan portofolio, untuk berinvestasi, korelasi antar saham merupakan fenomena dengan tingkat kompleksitas yang tinggi, sebagai akibat interaksi perdagangan antar investor. Ia memiliki keunikan tersendiri. Dari pohon keuangan 2007 terlihat bagaimana keterhubungan antar satu saham dengan saham lainnya sedemikian hingga didapatkan deskripsi pola fluktuasi harga saham secara menyeluruh. Ini akan sangat membantu penyusunan portofolio. Berdasarkan simulasi yang dilakukan oleh ekonofisikawan J. Onella, dkk. (2003) ditunjukkan bahwa saham-saham dengan risiko minimum portofolio (dengan teknik optimisasi klasik Markowitz) senantiasa berada di sisi paling luar dari pohon keuangan. Hal ini sebenarnya dapat dipahami karena saham-saham yang terletak di bagian tengah pohon keuangan cenderung merupakan golongan saham yang sangat likuid dan memiliki volatilitas yang relatif lebih tinggi, yang secara intuitif mengandung risiko yang lebih tinggi secara fundamental. Namun tentunya kita tidak lantas menyusun portofolio pada sahamsaham yang tak likuid dengan mengikuti teknik optimisasi Markowitz. Analisis ini membuka peluang optimisasi yang akan melibatkan saham-saham yang likuid. Sesuai pemahaman umum, dalam berinvestasi kita harus melakukan diversifikasi. Untuk itu maka pengelompokan saham-saham (clustering) pohon keuangan tersebut akan dapat memberikan gambaran fluktuasi harga saham pada jangka panjang. Melalui pemahaman sederhana ini, pemilihan saham melalui diversifikasi pada pohon keuangan tentu dapat memberikan masukan intuitif dalam menyusunan portofolio.
Dua metodologi di atas, yang diperkenalkan oleh ekonofisika, memberikan kontribusi aktif dalam penajaman kalkulasi dan optimisasi portofolio, yang sangat penting bagi institusi dengan pola investasi berjangka waktu panjang. Demikian juga bagi mereka yang cenderung menggunakan analisis fundamental.
PERGERAKAN HARGA KOLEKTIF DAN INDEKS KOMPOSIT
Mana yang lebih berpengaruh pada investor Indonesia apakah informasi fundamental saham atau rumor? Seberapa jauhkah horizon investasi di bursa efek kita pada umumnya? Ilustrasi singkat ini mencoba menelusuri jejak investor dengan menggunakan pemodelan berbasis agen. Analisis kuantitatif konvensional sosial, ekonomi, dan keuangan, biasanya selalu berkutat pada upaya mengekstrak informasi dengan menggunakan perangkat statistik. Pendekatan statistika mengekstrak informasi dari data keuangan (misalnya pergerakan harga saham, indeks, dan sebagainya) melalui berbagai metode seperti regresi, analisis distribusi, dan sebagainya. Sebuah pendekatan terbaru dalam ekonofisika adalah pemodelan berbasis agen. Model ini merupakan alat untuk menjelaskan apa yang terjadi di balik fluktuasi indeks dan pergerakan harga dalam pasar modal dengan cara “menumbuhkan” investor/trader buatan dalam komputer dengan struktur fundamental yang sama seperti di dunia nyata.
Kegunaan model ini sangat banyak, di antaranya adalah ia merupakan perangkat analitik yang dapat melakukan serangkaian e ks p e r i m e n ko m p u ta s i o n a l , u nt u k mengetahui apa yang terjadi di pasar modal jika dilakukan sesuatu. Demi terciptanya tujuan, s imulasi sebelum melakukan penyusunan kebijakan. Hasil ini tentu saja akan lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Di sini kita membuat replika agen-agen buatan yang perilakunya mirip dengan investor/trader yang memasang order jual/beli berdasarkan berbagai pertimbangan. Ada agen ekonomi yang memperhatikan gerak historis harga dan mengambil keputusan dengan metode-metode statistik. Ada pula agen ekonomi yang tidak peduli pada harga namun lebih memperhatikan informasi dan berita fundamental saham yang diperjualbelikan. Ada pula trader-trader yang sekadar memperhatikan gosip/rumor yang tengah berkembang. Ada pula yang sekadar ikut-ikutan. Namun, di luar semua itu, ada pula investor yang memperhatikan semua informasi yang ada (data historis, berita fundamental, serta gosip/rumor). Tiap simulasi akan menghasilkan “data perdagangan buatan” yang tentunya akan dibandingkan dengan data saham sebenarnya. Dari ribuan kali simulasi yang dilakukan, kita akan mendapatkan konjektur struktur mikro dari aktivitas investasi yang terjadi di lantai bursa.
Berbagai hal dapat dilakukan dengan platform tersebut. Di antaranya adalah analisis memori dari investor di lantai bursa. Beberapa hal yang menarik adalah kuatnya pengaruh rumor di kalangan trader kita atau berbagai faktor fundamental lainnya. Hal lain yang menarik adalah horizon memori dari trader atau dalam keputusan investasi sejauh mana rata-rata investor menyandarkan keputusannya.
strategi chartist yang mengambil keputusan dengan analisis MA (Moving Average)
strategidagang fundamentalis sebagai otomaton
Contoh bentuk distribusi return data empirik (data per jam saham TLKM) dibandingkan dengan data hasil salah satu simulasi berbasis agen yang dilakukan.
3.3.2. Perilaku Mengerumun di Pasar Modal Kita Kerumunan beberapa spesies makhluk hidup menunjukkan dinamika yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya letak makanan, kemungkinan keberadaan predator dan bagaimana satu individu berinteraksi dengan individu lain. Beberapa hewan, seperti lebah madu, sangat responsif terhadap informasi tentang sumber makanan. Sementara itu, beberapa hewan lain cenderung lebih memperhatikan faktor-faktor selain makanan. Sebagai contoh, kerumunan Ikan Mas lebih memperhatikan pergerakan air dan keutuhan kerumunannya. Faktor ini lebih dominan daripada makanan. Pada dasarnya, pola serupa ditemukan di pasar modal. Terdapat setidaknya tiga cara satu investor mempengaruhi dan dipengaruhi oleh investor lain. Cara yang paling terkenal adalah melalui observasi investor/trader terhadap pergerakan harga. Sudah tentu pergerakan harga hari ini akan sangat dipengaruhi oleh tren yang dibentuk pada hari sebelumnya. Di sini pergerakan harga dalam tiap waktu menjadi ”media” bagaimana satu investor mempengaruhi/dipengaruhi investor lain. Jika terbentuk tren turun, maka terdapat kecenderungan kerumunan investor/trader memasang order jual terhadap sebuah saham. Cara kedua adalah melalui komunikasi langsung antara satu investor/trader dengan yang lain. Sebuah gosip atau rumor bisa menyebar melalui satu investor dengan investor lain dan ini menyebabkan perubahan harga pula. Jika seorang investor memiliki informasi tertentu tentang naik-turunnya harga sebuah saham, informasi yang disebarkannya ke rekan-rekan dekatnya akan pula dapat mengakibatkan kerumunan pemasangan order tertentu. Namun, pola kedua ini terbatas pada jaring sosial (social network) dari investor tersebut. Akibatnya, perubahan harga yang terjadipun tak akan sebesar akibat dari pembacaan tren historis sebagaimana ditunjukkan pada pola sebelumnya. Pola yang tak kalah penting adalah melalui observasi investor/trader terhadap dinamika order book (antrian pemasangan order dari investor) yang dapat diakses oleh sebagian besar pelaku saham. Ketakseimbangan order book dapat menimbulkan imagi psikologis bagi sebagian investor tentang tren pasar. Penumpukan order yang besar di order sell dapat menimbulkan kesan kelebihan suplai yang menunjukkan kecenderungan bahwa harga akan turun dalam waktu dekat. Demikian pula sebaliknya, asimetri order book pada order buy dapat menimbulkan ”kesan” bahwa harga akan naik.
3-3-10
Dari sini kita mengetahui, terdapat similaritas antara kerumunan investor/trader dengan kerumunan berbagai spesies yang ditunjukkan di awal tadi. Jelas, investor/trader akan awas terhadap berbagai informasi yang didapatkan di dalam jaring sosialnya, tren pergerakan harga secara historis, termasuk dinamika order book saham tersebut. Ketiga hal inilah yang menjadi saluran informasi antar investor/trader yang menyebabkan terjadinya pola mengerumun dalam pasar (herding behavior). Pola mengerumun ini penting, karena inilah yang seringkali menjadi biang keladi terjadinya lonjakan harga (market bubble) maupun jatuhan harga (market crash). Saluran informasi ini terkadang menimbulkan ketaksamaan akuisisi dan interpretasi atas informasi pasar yang menyebabkan terjadinya asymmetric information. Secara kognitif, hal ini dapat dikaitkan dengan keterbatasan rasionalitas pada manusia ( bounded rationality ) sebagaimana ditunjukkan oleh peraih nobel ekonomi Herbert Simon (1987). Hal ini merupakan salah satu pusat ketaklinieran dari sistem sosial (termasuk keuangan) dan juga menjadi pusat kesalahan asumtif dari banyak analisis ekonometri klasik yang sering bersandar pada anggapan fully rational dari agen ekonomi. Analisis ekonofisika menunjukkan penemuan empiris terjadinya ekor gemuk pada hampir semua distribusi return di berbagai pasar di seluruh dunia. Secara statistik, hal ini terjadi oleh karena senantiasa terjadinya pengelompokan volatilitas pada data-data tersebut. Dan secara mikrostruktur, pengelompokan volatilitas terjadi oleh karena adanya perilaku mengerumun pada investor (Cont & Bouchaud, 1995). Penelitian yang dilakukan oleh Surya Reserach International (2005) atas dinamika pasar modal Indonesia menunjukkan karakteristik yang menarik tentang kerumunan pasar ini. Kerumunan pada saham-saham yang memiliki volatilitas tinggi dan relatif fluktuatif biasanya lebih dipengaruhi oleh tren historis daripada faktor-faktor lain. Di sisi lain, kerumunan pada saham-saham yang rendah likuiditasnya serta kurang
3-3-11
fluktuatif (pada perdagangan intra-day) menunjukkan dominasi pengaruh dinamika order book. Kerumunan (herding) pada sebuah saham yang lebih dipengaruhi oleh dinamika order book, dapat memberikan peluang terjadinya upaya men-drive imagi psikologis investor lain. Kondisi ini tentu tidak menguntungkan bagi banyak pihak. Salah satu cara untuk mencegah atau mengurangi sentimen ini adalah dengan meramaikan perdagangan saham yang tak hanya terkonsentrasi pada saham-saham yang populer saja. Upaya peningkatan likuiditas saham-saham yang selama ini tak likuid perlu ditingkatkan dengan melibatkan seluruh pihak, mulai dari analis, masyarakat investor hingga perusahaan sekuritas. Hanya dengan partisipasi aktif dan cerdas melalui investasi yang tak terkonsentrasi pada saham-saham populer saja kita dapat mengatasi potensi negatif yang dapat ditimbulkan oleh kerumunan di pasar ini. Perilaku mengerumun (herding behavior) merupakan sebuah keniscayaan yang alami dan tak terhindarkan pada pasar modal. Namun, adalah tanggung jawab kita semua untuk menciptakan pasar modal yang fair, dan bebas dari berbagai potensi negatif yang mungkin saja ditimbulkan oleh perilaku mengerumun ini.
3-3-12
3.4. Inovasi untuk Indonesia Masa Depan Inovasi memegang peranan cukup penting dalam perkembangan ekonomi dan kehidupan sosial saat ini. Adanya inovasi dalam teknologi, mulai dari internet hingga teknologi telekomunikasi nirkabel telah mengubah ‘wajah’ kehidupan manusia secara umum. Dalam ekonomi sendiri, proses inovasi (dalam hal ini inovasi produk) bisa dikatakan menjadi suatu keharusan agar produk senantiasa dapat bersaing. Proses inovasi berkaitan erat dengan faktor kompetisi. Fenomena ini bisa kita amati pada berbagai produk teknologi, seperti ponsel, komputer palm, notebook dan lain-lain. Salah satu produk inovasi yang cukup dekat dengan keseharian kita dan bisa dijadikan contoh untuk menunjukkan adanya perkembangan inovasi yang begitu cepat adalah telepon selular atau disingkat ponsel. Hal ini setidaknya tercermin dari jumlah pengguna ponsel jenis GSM dari tahun 1991 hingga saat ini, yang mengalami peningkatan begitu drastis. Ponsel merupakan produk teknologi yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perkembangan ponsel terjadi baik dari sisi desain maupun teknologi. Inovasi desain, atau yang lebih dikenal sebagai mode atau fashion ponsel, terlihat dengan adanya variasi desain telepon selular yang berbeda dari waktu ke waktu, misalnya cover atau bungkus handset, pemilihan bentuk antena, dan lain sebagainya. Pemahaman tentang bagaimana proses inovasi produk teknologi tentu menjadi suatu hal yang cukup menarik untuk dilakukan. Upaya ini menarik, terutama untuk mengetahui prinsip-prinsip yang terjadi dalam proses inovasi ponsel. Penggunaan pendekatan-pendekatan evolusi dalam memahami proses inovasi produk teknologi merupakan salah satu pendekatan alternatif yang bisa dilakukan. Namun, harus kita sadari bahwa evolusi dalam dunia hayati tentunya berbeda dengan proses inovasi itu sendiri. Akan tetapi cara pandang evolusioner tentunya akan sangat bermanfaat dan mempermudah kita dalam proses analisis inovasi artefak teknologi. Dalam uraian ini, kita mencoba memahami proses inovasi produk teknologi (dalam hal ini ponsel) baik secara desain maupun teknologi, dengan menggunakan perspektif memetik. Memetika lahir dari adanya suatu semangat untuk menginkorporasi teori-teori evolusi yang berkembang dalam ilmu biologi ke dalam studi sistem sosial dan ekonomi. Penggunaan memetika, untuk menganalisis proses inovasi produk atau artefak teknologi, didasari oleh suatu kenyataan bahwa produk atau artefak teknologi sendiri merupakan suatu objek kultural manusia. Ia dihasilkan dari proses abstraksi pemikiran manusia. Oleh karenanya, proses inovasi secara kultural akan berkenaan dengan abstraksi dari artefak teknologi tersebut dan perkembangannya dari waktu ke waktu. Dari sudut pandang evolusi sendiri, dalam hal ini memetika, artefak atau 3-4-1
produk teknologi dianggap sebagai sebuah fenotip dari unit informasi terkecil yang mengkodekannya atau meme. Hal tersebut bisa dianggap serupa dengan konsep genotip dan fenotip dalam evolusi organisme. Sifat dan karakteristiknya dari artefak teknologi secara keseluruhan ditentukan oleh memetip tersebut. Ia terekspresikan dengan cara tertentu. Pada evolusi genetika, gen bisa kita temukan bentuk fisiknya. Namun dalam evolusi memetika, kita tentu akan sangat sulit mengetahui dan menemukan bentuk fisik dari unit informasi atau meme suatu artefak teknologi. Hal inilah yang kemudian membedakan konsep evolusi memetika dengan konsep evolusi genetika. Dalam analisis ini, kita mengasumsikan bahwa suatu artefak teknologi dianggap tersusun atas memetip. Memetip umumnya berupa memepleks yang tersusun atas sejumlah meme tertentu yang kemudian disebut memepleks. Memepleks akan tersusun sejumlah alomeme atau alternatif meme yang bisa didapati dalam suatu artifak teknologi. Alomeme dalam artifak teknologi bisa dinyatakan sebagai pilihan “ya” dan “tidak” atas sebuah proposisi mengenai keberadaan ciri tertentu dari artifak teknologi yang disusun dalam kerangka “JIKA ...MAKA...”. Alomeme untuk tiap meme artifak kemudian bisa direpresentasikan dengan bilangan biner (1,0). Representasi ini menunjukkan ada atau tidaknya suatu meme tertentu dalam artifak teknologi tersebut. Dari sini, suatu inovasi artefak teknologi dimodelkan sebagai perubahan atau mutasi yang terjadi dalam sekuen memepleksnya. Untuk melihat bagaimana model memetika ini diterapkan dalam artefak atau produk teknologi, kita akan melakukan kajian pada telepon selular (ponsel), sebagai sebuah studi kasus. Dalam penyusunan memepleks untuk ponsel, kita menggunakan informasi fitur-fitur suatu ponsel yang diang gap dapat merepresentasikan ciri atau sifat suatu ponsel baik desain, teknologi beserta fungsinya dan ciri lain yang dimilikinya. Informasi mengenai fitur ponsel dapat dijadikan suatu informasi dasar yang dapat membedakan tipe ponsel yang satu dengan yang lainnya. Meme-meme yang mungkin terbentuk misalnya: ? JIKA ia tipe ponsel berinframerah MAKA akan terdapat inframerah. ? JIKA ia mempunyai fungsi SMS MAKA akan terdapat teknologi SMS. ? dan seterusnya. Tentu saja kumpulan meme yang merepresentasikan seluruh ciri atau sifat dari ponsel akanlah sangat banyak. Ia terkait dengan data yang bisa kita peroleh. Informasi mengenai fitur inilah yang kemudian dijadikan dasar bagi kita untuk menyusun informasi apa saja yang bisa digunakan dalam menjelaskan proses inovasi dari produk tekologi tersebut. Di tulisan ini, kita akan menggunakan ponsel Nokia sebagai studi kasus. Penyusunan memepleks ponsel Nokia didasarkan pada informasi 3-4-2
mengenai fitur tiap-tiap tipe ponsel yang didapat di website perusahaan tersebut. Dari data-data yang diperoleh pada website tersebut, kita memilih sebanyak 66 tipe ponsel. Memepleks dari tiap-tiap tipe produk kita modelkan dengan menggunakan informasi fitur dari 66 tipe ponsel tersebut. Dari sini, kita dapat mengidentifikasi sebanyak 84 ciri atau sifat, baik desain maupun fungsi-fungsi teknologi, yang mungkin dijadikan meme-meme penyusun memepleks ponsel Nokia. Mengestimasi hubungan secara inovatif dari ponsel, dengan data berupa urutan (sequence) meme-meme penyusunnya merupakan salah satu bagian yang menarik dalam mempelajari inovasi dari ponsel secara evolusioner. Hal ini bisa kita lakukan dengan mengkontruksi pohon filomemetik. Perspektif ini terinspirasi oleh pendekatan filogenetik, yaitu suatu pohon yang menggambarkan silsilah keturunan berdasarkan kesamaan karakteristik suatu organisme. Pohon filomemetik pada dasarnya mirip dengan pendekatan tersebut. Namun di sini, komparasi dilakukan dengan menggunakan data masukan sekuen memepleks. Dari sini diharapkan, pohon filomemetik tersebut akan dapat menggambarkan sejarah evolusi ponsel, berdasarkan masukan data berupa urutan (sequence) memepleks untuk masing-masing ponsel. Untuk dapat mengkonstruksi pohon filomemetik, diperlukan metode pembuatan yang tepat guna. Hal ini penting agar kita bisa mendapatkan pohon yang cukup tepat menggambarkan sejarah evolusi dan hubungan evolusioner diantara tipe-tipe ponsel tersebut. Pada gambar 3.4.1. diperlihatkan bagaimana pohon silsilah atau pohon filomemetika dari berbagai 66 ponsel yang dikeluarkan oleh Nokia, yang dikonstruksi dengan menggunakan metode Unweighted Pair Group Method with Aritmatic Mean atau UPGMA. Sementara itu, gambar 3.4.2. dikonstruksi dengan menggunakan metode Minimum Spanning Tree (MST) dengan menggunakan algoritma Kruskal. Dari pohon filomemetika ini, kita bisa mendapatkan informasi mengenai ponsel tipe mana yang berkerabat dengannya dan mana yang jauh secara kekerabatan. Hal tersebut tentunya bisa dijadikan sebuah gambaran mengenai ponsel mana yang berinovasi dan mana yang tidak. Dengan kata lain, tipe ponsel mana yang mengalami kemajuan inovatif dan mana yang tidak. Selain itu, kita akan mengetahui bahwa dalam inovasi suatu artefak teknologi, pada suatu series yang spesifik, pada dasarnya akan merujuk pada desain atau fitur yang telah ada sebelumnya. Atau dengan kata lain, dalam bahasa evolusi, kita bisa menginterpretasi suatu proses inovasi dari artefak atau produk inovasi sebagai hubungan leluhur dan keturunan. Hal ini juga akan memberikan suatu gambaran tentang bagaimana karakteristik suatu produk teknologi dalam mengalami inovasi.
3-4-3
Gambar 3.4.1. Pohon pohon filomemetik ponsel Nokia dengan menggunakan metode UPGMA.
Gambar 3.4.2. Pohon pohon filomemetik ponsel Nokia dengan menggunakan metode MST.
3-4-4
Namun perlu diperhatikan bahwa konstruksi pohon filomemetik masih merupakan model yang sederhana dalam upaya analisis inovasi artefak teknologi. Studi filomemetik semata dirasa tidaklah cukup memberikan gambaran keseluruhan tentang proses inovasi suatu artefak teknologi serta evolusinya. Diperlukan suatu model lain yang lebih dinamik untuk menunjukan bagaimana trajektori yang dilalui oleh suatu artefak dari bentuk yang sederhana menjadi artefak yang lebih kompleks pada proses inovasinya serta bagaimana dinamika kemunculan serta kecocokannya. Hal inilah yang nanti akan kita bahas dalam ulasan selanjutnya. Tetapi yang pasti dari sini, kita bisa melihat bagaimana inovasi pada dasarnya bisa dipandang sebagai proses evolusioner, dalam hal ini memetika. Lebih jauh diketahui bahwa faktor sosial, yang juga terkait dengan karakteristik dari pengguna serta interaksi diantara mereka di dalam jaringan sosialnya, merupakan faktor yang juga menentukan sukses atau tidaknya suatu produk hasil inovasi. Seringkali kita mendengar bahwa suatu produk teknologi tidak hanya memperhatikan sisi kegunaan atau fungsinya saja melainkan juga memperhatikan bagaimana karakteristik dari pasar atau pengguna. Hal ini tentu menjadi suatu indikasi bahwa proses inovasi produk teknologi saat ini, pada dasarnya tidak hanya melibatkan aspek ekonomi semata melainkan juga aspek-aspek sosial. Selanjutnya kita akan menganalisis bagaimana suatu produk hasil inovasi bisa cocok atau tidak dengan lingkungannya secara kultural. Dalam ulasan ini, kita akan melihat bagaimana proses inovasi tersebut dalam “bahasa” evolusi. Kemudian, kita melihat bagaimana pola-pola yang terjadi dalam inovasi artefak teknologi melalui simulasi secara komputasi. Dalam bahasa evolusi sendiri, dalam hal ini memetika (seperti yang telah kita bahas pada paparan sebelumnya), inovasi produk teknologi merupakan suatu proses yang membrojolkan produk teknologi dengan karakteristik atau fitur tertentu. Proses tersebut pada dasarnya terjadi karena adanya “mutasi” pada sekuen biner memenya. Meme atau unit informasi terkecil dalam suatu artefak teknologi merepresentasikan ada atau tidaknya fitur tertentu dalam artefak tersebut. Inovasi dimodelkan sebagai pemunculan sekuen biner memepleks yang berbeda, dan kemudian memunculkan artefak yang berlainan karakteristik atau fitur. Namun, bagaimana unit informasi tersebut, yang merepresentasikan artefak secara fisik dan karakteristik makro yang bisa kita amati, bisa cocok dengan lingkungannya? Atau secara sederhana, bagaimana sebuah artefak bisa diterima oleh pengguna? Hal ini tentunya sangat ditentukan oleh interaksi antara artefak dengan pengguna. Kecocokan suatu artefak akan ditentukan oleh bagaimana karakteristik artefak tersebut cocok dengan pilihan dari penggunanya. Di sini kita tidak hanya akan berhadapan dengan proses inovasi secara independen. Selain berhadapan dengan perubahan karakteristik artefak, kita juga dihadapkan dengan bagaimana proses inovasi tersebut terjadi di tingkatan pengguna, dalam proses pemilihan atau penerimaan artefak tertentu.
3-4-5
Gambar 3.4.3. Dinamika nilai kecocokkan 60 artefak setelah 1000 iterasi (kiri) dan Pengelompokkan agen-agen berdasarkan pilihan produk teknologinya (kanan). Warna yang sama menunjukkan pilihan produk teknologi yang sama.
Variasi produk yang terjadi akibat proses inovasi, pada dasarnya akan disusul oleh proses seleksi yang menentukan tingkat kecocokan (fitness) produk tersebut. Seleksi yang terjadi pada tingkatan pengguna, tentunya akan ditentukan oleh banyak hal, terutama terkait dengan karakteristik individu, seperti: preferensinya terhadap fitur tertentu, tingkatan ekonominya, dan lain sebagainya. Hal ini ditambah lagi dengan interaksi yang terjadi diantara individu, seperti hubungan saling mempengaruhi satu sama lain. Adanya interaksi antara individu yang begitu kompleks menyebabkan inovasi teknologi menjadi kian kompleks. Kondisi ini senantiasa menghadirkan banyak sekali ketidakpastian. Kita akan sulit untuk menentukan apakah suatu teknologi bisa diterima dengan mudah atau tidak dengan hanya melihat kecanggihan atau superioritasnya saja. Banyak kasus dimana kecanggihan atau superioritas bukanlah salah satu faktor yang mentukan keberhasilan suatu produk di pasaran. Sebagai contoh adalah kasus VHS dan Betamax. Betamax yang lebih superior secara teknologi, justru gagal di pasaran, dibanding dengan VHS. Justru VHS yang pada akhirnya menjadi teknologi standar. Di sisi pengguna, yang kemudian kita sebut sebagai agen dalam model inovasi yang dikonstruksi, perbedaan karakteristik yang dimiliki tentunya akan mempengaruhi dalam proses pemilihan artefak teknologi. Beberapa karakteristik yang dominan diantaranya adalah kebutuhan atau keinginan terhadap level teknologi tertentu dan juga level ekonomi dari agen. Selain itu, interaksi sosial juga ikut mempengaruhi tingkatan atau level teknologi yang diinginkannya. Ada hubungan saling mempengaruhi antara satu agen dengan yang lainnya berupa hubungan saling mengimitasi, dalam artian agen hanya akan merujuk dan berupaya untuk menyamai level teknologi dari agen lain yang berada pada jaringan sosialnya, atau yang dikenal juga sebagai agen tetangganya. Adanya karakteristik individu yang berbeda serta interaksinya, membuat proses adopsi agen terhadap produk teknologi tertentu terjadi secara dinamik. Level teknologi yang diinginkan oleh agen akan senantiasa
3-4-6
berubah-ubah akibat adanya perubahan level teknologi tetangganya. Namun, perilaku ini akan senantiasa dibatasi oleh level uang yang dimilikinya. Level teknologi yang diinginkan serta konstrain dari level uang yang dimiliki agen inilah yang menyebabkan terjadinya dinamika kecocokan artefak atau produk teknologi tertentu. Penghitungan secara matematis dari model yang telah dijabarkan di atas tentu akan sangat sulit. Apalagi jika kita dihadapkan pada banyak agen dengan karakteristik yang berbeda. Selain itu, mereka berinteraksi secara simultan dan iteratif. Di sinilah peranan simulasi secara komputasi akan model tersebut. Dalam simulasi ini, kita memindahkan proses-proses yang terjadi dalam sistem yang hendak dianalisis ke dalam algoritma pemrograman yang bisa di jalankan di komputer. Dalam simulasi ini, ada banyak agen. Masing-masing agen memiliki karakteristik yang berbeda-beda, baik itu dalam hal level teknologi yang diinginkan maupun level uang yang dimilikinya. Agen akan mengevalusi artifak teknologi yang ada pada saat itu. Kemudian, ia memilih sebuah produk teknologi yang memiliki level teknologi yang dekat dengan keinginannya. Namun tentu saja, produk tersebut harus memiliki harga yang terjangkau olehnya. Proses inovasi sendiri kemudian direpresentasikan dengan hadirnya suatu teknologi baru (berupa sekuen memepleks yang berbeda dan tentu juga dengan harga yang berbeda) ke dalam sistem setelah beberapa iterasi. Artefak mana yang lebih dulu datang ditentukan melalui pohon filomemetika. Pada pohon tersebut, artefak yang cabangnya paling atas merupakan teknologi yang lebih dulu berinovasi. Dari sini, tingkat kecocokan suatu teknologi bisa kita amati dalam setiap waktunya, sesuai dengan banyaknya agen yang mengadopsi teknologi tersebut. Gambar 3.4.3. (kiri) menunjukkan bagaimana dinamika tingkat kecocokan dari 60 teknologi dengan level teknologi yang berbeda, harga yang berbeda dan waktu kedatangan yang berbeda juga. Di sini bisa kita lihat bahwa tingkat kecocokan suatu artefak berubah secara dinamik. Yang menarik adalah tidak semua teknologi dapat menjadi dominan. Hanya sebagian saja yang akhirnya berhasil mendominasi pasar. Yang cukup menarik, teknologi yang dominan tidak selamanya mempunyai level teknologi yang tinggi. Ini tentu beralasan mengingat bahwa hubungan saling mempengaruhi antara agen dengan agen tetangga menjadi suatu faktor yang dipertimbangkan juga oleh agen dalam proses pengambilan keputusannya. Hal ini diperkuat dengan gambar 3.4.3. (kanan) yang menunjukkan adanya pola pengelompokan. Agen-agen yang bertetangga cenderung memiliki artefak yang sama. Hal menarik lainnya adalah pola kecocokan dari artefak tersebut setiap waktunya. Pola ini kemudian kita definisikan sebagai siklus hidup dari masing-masing artefak. Dari hasil simulasi didapati bahwa pola siklus hidup setiap artefak hampir sama. Dalam kurun waktu tertentu, ia bisa naik dan kemudian turun lagi. Ia mungkin bisa naik kembali namun tetap tidak pernah ke tingkat sebelumnya. 3-4-7
Selain itu dari simulasi di atas, kita mendapati bahwa ketidakpastian juga merupakan hal yang senantiasa terjadi dalam proses inovasi produk. Suatu produk teknologi yang mempunyai kedekatan secara teknologi dan lebih inovatif dari produk sebelumnya, bisa jadi tidak sesukses produk sebelumnya. Temuan ini menunjukkan bahwa kesuksesan dari suatu produk pada dasarnya tidak hanya ditentukan oleh level teknologinya semata. Kesuksesan dari suatu produk juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti interaksi sosial antara agen-agen atau pengguna dari artefak tersebut dan juga kompetisi dengan produk yang telah ada di pasar. Yang terakhir perlu kita perhatikan adalah model berbasis agen dengan menggunakan memetika, yaitu sebuah konsep yang berupaya untuk menganalisis proses-proses tertentu dalam sisem sosial dengan prespektif evolusi, pada dasarnya dapat kita gunakan sebagai alat analisis alternatif. Perspektif ini bisa kita gunakan dalam upaya menjelaskan proses inovasi, khususnya inovasi artefak teknologi. Dari pohon filomemetik dan simulasi inovasi produk di pasar yang kita ketengahkan di sini, kita dapat mempelajari naik turunnya satu produk di antara penggunanya. Ini merupakan sebuah bentuk eksplorasi teoretis yang seharusnya dapat mengilhami kita dalam menghasilkan produkproduk domestik yang dapat memperkuat ekonomi nasional secara umum. Ada banyak produk nasional yang sebenarnya, dengan sentuhan inovasi, pantas menguasai pasaran, baik di level nasional maupun internasional. Ini adalah tantangan bagi masyarakat perindustrian kita ke depan. Inovasi adalah sebuah bidang kajian yang kurang mendapat tempat dalam kajian konvensional. Pemahaman teoretis pada subbab ini menunjukkan bahwa inovasi memiliki arti penting dalam khazanah ekonomi modern dan wawasan ekonomi keindonesiaan. Hal ini perlu diperhatikan secara lebih seksama.
3-4-8
Pendidikan dalam Teropong Kebudayaan Nasional Bab ini berusaha merekam wawasan wiyatamandala dalam paradigma kompleksitas sosial. Ketika permasalahan yang dirasakan telah menjadi bagian dari budaya, maka pendidikan menjadi satu-satunya jalan. Bagaimana kita berbahasa, menikmati musik, menonton televisi, berolahraga, dan bersekolah bisa jadi menyimpan berbagai aspek kognitif. Ia menjadi tempat bercokolnya segala permasalahan yang kita hadapi di level permukaan sistem sosial. Masing-masing aspek dari bab ini berusaha memaparkan bagaimana kita dapat mengeksploitasi sains kompleksitas sosial sebagai sebuah modal untuk mengatasi persoalan yang kita hadapi. Ini merupakan sebuah semangat yang melandasi berbagai penelitian independen yang dipaparkan dalam buku ini. Sementara itu, kekecewaan terhadap wawasan kita akan diri sendiri, khususnya dalam dunia pendidikan, merupakan sebuah sumber kreativitas. Bab ini memiliki motif untuk menunjukkan keluasan aspek sains kompleksitas sosial, sekaligus berusaha mengajak pembaca untuk melakukan refleksi atas apa yang kita punya, apa yang selama ini kita lakukan, sekaligus bagaimana memandang masa depan secara optimis. Sikap ini dapat dimunculkan dari dalam khazanah sains yang berakar pada budaya dan keterlaksanaan pranata sosial kita sendiri. Ini merupakan sebuah proposal awal untuk mencari ke ra n g ka s o l u s i a l te r n at i f j a n g ka p a n j a n g . Bagaimanapun aspek kebudayaan, dalam pengertian seluas-luasnya, adalah pusat dari banyak aspek kehidupan kita.
Bab 4
4.1. Dari Variasi ke Akuisisi Bahasa 4.1.1. Variasi Variasi bahasa di Indonesia luar biasa banyaknya. Bahasa cenderung menjadi pembeda antara satu kelompok etnis tertentu dengan etnis lainnya. Terdapat sebuah konjektur bahwa jumlah bahasa daerah di Indonesia adalah setara dengan jumlah dari kelompok etnis yang ada. Dalam kajian linguistik, bahasa mengandung banyak informasi yang berpotensi membawa kita kepada pemahaman yang lebih akan bahasa tersebut, atau mungkin etnisitas yang menggunakan bahasa tersebut. Namun sangat dirasakan bahwa kajian antar bahasa, atau linguistik komparatif belum begitu banyak di Indonesia. Terlebih lagi kajian yang didasarkan pada kompleksitas yang terkandung dalam bahasa. Padahal banyak hal menarik yang berkaitan dengan evolusi bahasa dan perkembangan evolusioner sistem kognitif kolektif etnik-etnik di Indonesia cukup potensial untuk diterangkan dalam konteks bahasa. Di Indonesia, seorang anggota masyarakat setidaknya menguasai dua bahasa dalam pertumbuhannya: bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa daerah, yakni bahasa etnik di mana ia lahir dan tumbuh. Perkembangan agama juga secara umum mempengaruhi akuisisi bahasa di Indonesia. Tak sedikit orang Indonesia yang terampil menggunakan bahasa Arab di tengah pengkajian yang berkaitan dengan agama Islam. Dari sisi perkembangan ilmu bahasa, kajian yang menggunakan berbagai pendekatan komputasional dan analisis kuantitatif masih kurang begitu dikenal. Mengingat variasi bahasa etnis di Indonesia, studi linguistik komputasional menjadi sangat urgen untuk dikembangkan. Upaya ini penting untuk diperhatikan mengingat ada banyak hal baru, yang berkenaan dengan studi etnisitas, dapat dikembangkan demi kemajuan ilmu humaniora dan sosial kemasyarakatan di tanah air. Tradisi penggunaan statistik di linguistik sebenarnya telah berlangsung sejak lama. Pada mulanya, ia kurang begitu terasa. Namun semangat interdisiplinaritas dalam sains kompleksitas, telah memperkaya diskusi ini. Sejumlah pendekatan baru bermunculan, misalnya dari bidang kajian mekanika statistik, yang pada awalnya hanya memperkaya pendekatan analitik untuk kajian ekonomi dan keuangan. Kontribusi di bidang ini diawali oleh G. K. Zipf (1949) melalui bukunya yang termasuk salah satu karya yang paling banyak disebut, Human Behavior and the Principle of Least Effort. Dalam buku ini diuraikan sebuah temuan fenomenal dari G. K. Zipf. Temuan ini diperoleh jika kita pertama-tama mendaftarkan seluruh kata-kata yang ada pada sebuah teks. Selanjutnya, kita mencatat frekuensi penggunaan kata-kata tersebut. Kemudian, kita mengurutkan 4-1-1
penggunaan kata mulai dari yang paling sering digunakan hingga kata yang paling jarang digunakan dalam teks tersebut. Dari sini selanjutnya akan didapatkan sebuah sifat berikut: frekuensi penggunaan masingmasing kata di dalam teks akan berbanding terbalik dengan ranking dari kata yang bersangkutan dengan pangkat tertentu. Hubungan ini dikenal sebagai hukum pangkat pada plot-Zipf, atau hukum Zipf. Visualisasi yang paling sering digunakan adalah dengan menggunakan plot logaritmik. Sifat hukum pangkat ditunjukkan melalui penggambaran garis lurus hubungan antara frekuensi atau peluang kemunculan kata dalam teks dengan urutan rankingnya.
Gambar 4.1.1. Hukum pangkat Zipf pada sebuah korpus (buku Luke, New Testament) untuk beberapa bahasa etnik di Indonesia.
4-1-2
Bagaimana dengan pola statistika dari bahasa-bahasa etnik yang ada di nusantara? Untuk menganalisis sifat statistika ini, kita menggunakan data dari teks yang isinya sama (bentuk translasi) dari berbagai bahasa yang ada. Pertimbangan ini membawa kita pada penggunaan korpora teks-teks biblical, mengingat teks-teks biblical cukup banyak terjemahannya. Selain itu, proses translasi yang dilakukan relatif hati-hati dan tidak bersifat penyaduran melainkan pola terjemahan per kalimat yang sedapat
mungkin berusaha agar isi dari teks yang diterjemahkan tidak meleset jauh. Konstruksi kalimat di bahasa tujuan diupayakan tetap memperhatikan aspek gramatika dan gaya bahasa. Dari beberapa data yang tersedia dalam proses penelitian, diperoleh korpus untuk bahasabahasa etnis yang ada di Sumatera Utara seperti bahasa Batak Toba, etnik Angkola, etnik Simalungun, etnik Pakpak Dairi, etnik Karo, dan dua bahasa dari pulau Jawa, yakni bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Sebagai bahan perbandingan, korpus terjemahan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris juga digunakan. Hasil yang diperoleh cukup menarik. Ternyata, untuk korpus yang berbeda-beda ditemukan pola pemangkatan yang mirip (sekitar 1) untuk semua data-data dari korpora yang ada. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pola kesamaan struktural secara statistik dari konstruksi pengkalimatan di bahasa-bahasa yang digunakan di Indonesia. Studi lebih jauh dari pendekatan statistik ini dikemukakan oleh matematikawan Benoit Mandelbrot (1983) yang menunjukkan bahwa terdapat rezim untuk kata-kata dengan ranking tertinggi. Dari penelaahan akan sifat ranking yang ada, ditemukan bahwa kata-kata tersebut merupakan kata-kata yang secara individual tidak dapat berdiri
Gambar 4.1.2. Modifikasi Mandelbrot pada Hukum pangkat Zipf pada sebuah korpus (buku Genesis, Old Testament) untuk beberapa bahasa etnik di Indonesia.
4-1-3
sendiri karena terbentuk dari pola struktur gramatika (tata bahasa) dari bahasa yang bersangkutan. Jenis kata-kata ini, pada plot-Zipf, berada di bagian ranking-ranking tertinggi dan menunjukkan pola menyimpang dari garis hukum pangkat yang digunakan sebelumnya. Modifikasi ini ternyata juga ditampilkan secara apik untuk data-data dalam bahasa etnis tersebut. Hal ini ditunjukkan pada gambar 4.1.2. Setiap bahasa memiliki nilai yang berbeda-beda. Namun, penemuan yang ada menunjukkan bahwa pola frekuensi atas kata-kata yang sensitif pada gramatika ini muncul untuk bahasa-bahasa daerah di Indonesia, sebagaimana juga ditemukan pada beberapa bahasa lain di Eropa, seperti bahasa Inggris.
Gambar 4.1.3. Tiga rezim dalam plot ranking dan frekuensi penggunaan kata dalam teks. Gambar di atas menunjukkan korpora bibel dengan bahasa Sunda sebagai studi kasus.
4-1-4
Pendekatan lanjutan dalam observasi linguistik komputasional dan mekanika statistika telah pula menyertakan konsep entropi non-ekstensif. Konsep ini menawarkan penyempurnaan atas bentuk rezim statistika yang ditawarkan oleh Mandelbrot. Jika data corpora yang disertakan dalam analisis sudah cukup banyak, terdapat pola menyimpang dari hukum Zipf (lihat gambar 4.1.1.). Penyimpangan ini terjadi untuk beberapa konsep inti yang tidak begitu sering digunakan. Sifat ini telah menunjukkan bahwa setidaknya terdapat tiga rezim dalam plot-Zipf untuk korpora yang diobservasi: diawali dengan rezim Mandelbrot (katakata yang berkenaan dengan struktur tata bahasa yang bersangkutan), rezim hukum pangkat Zipf, dan rezim Cancho-Solé-Montemurro (kata dengan konsep inti yang tidak begitu sering digunakan). Hal ini ditunjukkan pada gambar 4.1.3. Pada rezim terakhir ini, hukum pangkat dalam plot-Zipf logaritmik menurun secara lebih tajam.
Gambar 4.1.4. Tampilan bentuk umum yang mencakup semua rezim plot-Zipf untuk bahasa-bahasa yang diobservasi.
Pola ini kembali terlihat pada data korpora yang diobservasi. Kategorisasi ini memiliki banyak kegunaan. Yang pertama adalah, dengan adanya lokalisasi rezim dalam teks-teks ini, terbuka peluang untuk membandingkan satu bahasa dengan bahasa lain secara kuantitatif. Di sini, kita memperhatikan sifat gramatika dan frekuensi penggunaan kata dalam struktur kalimat. Hal ini tentu saja akan membuka peluang kedua, yakni melihat jejak evolusi etnisitas melalui bahasa. Di sini kita dapat berpegang pada sebuah konjektur yang mengatakan bahwa jika dua buah kelompok etnik memiliki kedekatan dari segi struktur bahasa maka jarak evolusioner antar keduanya relatif dekat. Penelaahan awal riset ini ditunjukkan untuk 7 kelompok etnik. Hasil yang diperoleh terlihat pada gambar 4.1.5. Pada gambar ini tampak jelas bahwa terdapat homologi bahasa yang kuat antara bahasa Pakpak, Simalungun, dan Batak Toba (3 suku di Sumatera Utara). Sementara itu, 2 suku lainnya (Angkola dan Karo) dikelompokan secara terpisah. Dari
Gambar 4.1.5. Berdasarkan hasil transformasi biner koefisien 3 rezim diperoleh pengelompokan kesamaan (homologi) bahasa. Terlihat bahasa Pakpak, Simalungun, dan Toba menjadi satu kelompok (cluster), Angkola dan Karo satu kelompok, dan bahasa Jawa dan bahasa Sunda menjadi satu kelompok.
4-1-5
pengenalan intuitif akan kelima bahasa (di Sumatera Utara) tersebut disimpulkan bahwa, hasil ini cukup akurat dalam menggambarkan kedekatan antar suku. Temuan ini diperkuat dengan mengelompoknya dua bahasa di pulau Jawa (biasa dikenal dengan sebutan etnis deutromelayu, sementara yang di pulau Sumatera disebut protomelayu). Pendekatan ini tentu menjadi sebuah shortcut dan memberi banyak peluang akan penelitian etnisitas di Indonesia.
4.1.2. Akuisisi Ada sebuah tren pendekatan “analisis” ilmu sosial di Indonesia yang agak berbeda dengan praktika dan eksplorasi teoretis di beberapa negara lain, misalnya Amerika Serikat. Jika kita membicarakan sosiologi dan sejarah yang melahirkannya, seringkali kita terjebak pada diskusi filsafat dan metafisika yang menjadi dasar transendental lahirnya sebuah teori sosiologis. Ini tak terjadi di ilmu alam. Kondisi ini terjadi karena ilmu alam memiliki seperangkat piranti empiris yang dapat menguji keabsahan sebuah teori. Sistem sosial sangat berbeda dengan sistem alam. Ia begitu dekat dengan manusia dan kehidupan sosialnya. Objek sains sosial sangat tinggi derajat kebebasannya. Hal ini berkaitan dengan akuisisi dan pemaknaan konsep “bahasa”. Secara historis, pengalaman ini dialami oleh alam filosofis yang dikenal dengan posmodernisme. Pada mulanya, posmodernisme adalah sebuah terminologi yang diungkapkan oleh sosiolog Perancis, Jean-François Lyotard (1924-1998). Lyotard awalnya tertarik pada studi-studi fenomenologi, dan filsafat paganisme. Ia berubah haluan dengan banyak berbicara tentang kondisi posmodernisme. Dalam paradigma Lyotard, kondisi posmodernisme adalah kondisi ketidakpercayaan sosial atas metanarasi. Metanarasi diartikan sebagai cerita atau teori keseluruhan tentang sejarah dan tujuan dari manusia yang menjadi dasar dan pengabsahan pengetahuan dan praktik budaya. Lyotard menggambarkan bagaimana situasi sosial setelah sekian lama dalam era modernisme (pasca pencerahan). Ia juga mengkontraskan isu perkembangan teknologi komputer dengan pendekatan filsafat sosial klasik seperti Hegel, Marx, dan seterusnya. Belakangan, posmodernisme bersandar pada hasil studi linguistik Swiss, Ferdinand de Saussure (1857-1913). Pendapat ini berkembang menjadi studi filsafat dan linguistik, yang kemudian menghasilkan klaim-klaim dalam ilmu sosial. Inti pendekatan linguistik (disebut dengan istilah intertekstualitas) difahami sebagai rantai elemen bahasa yang bebas makna. Kondisi ini terjadi karena satu kata ber-referensi atas kata lain, dan kata lain ber-referensi atas kata lain dan seterusnya, dalam rantai yang luar biasa panjang. Pandangan inilah yang melatarbelakangi munculnya filsuf sosial dan kritikus budaya Perancis yang sarat kontroversi, Jean Baudrillard, dan teoretisi lainnya, seperti Gilles Deleuze, Felix Guattari, Frederic Jameson dan sebagainya. Mereka, dengan berbagai pendapat 4-1-6
dan terminologi, mengimpor istilah-istilah sains, khususnya fisika seperti teori chaos, dan sebagainya. Lebih jauh, mereka terkadang dianggap memelintirkan makna istilah tersebut dari makna aslinya di fisika. Mereka menggunakan banyak tradisi teori psikoanalisis Jaques Lacan yang seringkali pula menggunakan terminologi serupa. Dalam beberapa diskusi (baik di media massa maupun di berbagai tempat) diakui bahwa tren posmodernitas dalam memandang masyarakat seringkali telah ‘kebablasan’. Dalam deskripsi ‘analisis’ sistem sosial, ia berkembang menjadi tren penggunaan berbagai istilah-istilah yang rumit. Pengistilahan dan jargonisasi begitu dominan mewarnai analisis sosial di tanah air. Kajian studi bahasa tentang perilaku ‘analisis’ sosial “kebablasan” tersebut, dalam linguistik komputasional, menjadi sebuah diskusi tersendiri yang cukup ramai, setidaknya semenjak satu dasawarsa lalu. Model yang digunakan dinamakan sebagai ‘model dada’, sebuah bentuk kritisisme atas gejala ‘dadaisme’ atau penggunaan abstraksi yang “kebablasan” dalam berbagai literatur posmodernisme. Secara singkat, mesin dada dapat difahami sebagai sebuah perangkat lunak komputer yang menggambarkan cara menulis 'analisis' dengan pendekatanpendekatan posmodern yang cenderung menggunakan metaforametafora yang rumit dan diimpor dari berbagai teks ilmu alam, ilmu sosial klasik, sastra dan budaya pop. Ia hanya membuat terminologi dan istilah baru. Pada dasarnya, ia tidak menunjukkan analisis apapun. Kita tinggal memasukkan daftar pustaka, kata kunci, dan seterusnya untuk menghasilkan karya-karya yang tak jauh berbeda dengan karya filsuf sosial posmodernisme atau disertasi doktoral dalam studi posmodernisme (diuji cobakan secara praktis dan terbukti). Hal ini merupakan tantangan yang sangat berat bagi perkembangan ilmu sosial. Hambatan ini muncul akibat lemahnya kesinambungan antara metodologi dan konstruksi teoretis. Sebuah contoh dari keluaran mesin dada berbahasa Indonesia pertama yang sempat dibuat sebagai eksperimen ditunjukkan sebagai berikut:
4-1-7
Analisis obyek yang cenderung positivistik serta intertekstual oleh Saptono Sedimentasi obyek urung terakumulasi lewat bantuan perwujudan budaya. Dengan demikian, budaya diskursif dan fetish tersebut kadangkadang menyembunyikan manifestasi budaya lewat logos Diri yang neoMarxian. Manifestasi Diri psikoanalitis mungkin melatari manifestasi imagi yang cenderung metaforis atas nama keniscayaan imagi simulakral. Kondisi imagi melangkah dengan mediasi logos komodifikasi. Komodifikasi berspekulasi atas nama prolegomena obyek neo-Marxian dan Lacanian. Enunsiasi obyek terkadang melatar-belakangi tinjauan Marxisme dengan multiplisitas kebermaknaan. Kebermaknaan belum berspekulasi. Analisis kebermaknaan mentransformasikan keniscayaan Liyan. Liyan nostalgis bisa saja mengejawantah. Liyan yang sekilas nostalgis mentransformasikan sedimentasi obyek. Obyek yang fetish serta Lacanian terkadang merupakan keniscayaan kuasa yang cenderung psikoanalitis atau Derridean dengan logos Marxisme meskipun sedimentasi refleksi diziarahi melalui kondisi hasrat maskulin. Jika hasrat yang diskursif dan subyektif disimulasikan oleh kondisi budaya, hasilnya, komodifikasi bisa saja bersikukuh, analisis komodifikasi terlihat fetish. Inferioritas komodifikasi menjadi pos-Whorfian sekaligus psikoanalitis dengan mediasi logos makna pos-Whorfian. Baudrillard menandaskan bahwa: ”Di luar tarikan gravitasi yang mempertahankan badan kita agar tetap dalam orbit, seluruh atom makna akan tersesat atau membebaskan diri di luar angkasa.” (Baudrillard,1999) Enunsiasi makna metaforis menyembunyikan perwujudan kuasa atas campur tangan multiplisitas imagi simulakral. Prolegomena imagi terlalu terakumulasi. Kalaulah logos imagi nampak seakan-akan subyektif sekaligus psikoanalitis atas nama manifestasi imagi, imagi akan tampak neo-Marxian dan Lacanian. Kalaupun imagi tersebut tak mustahil berjalan melalui perwujudan hasrat diskursif atau bahkan subyektif, tak heran Diri diskursif urung terbungkam. Logos Diri yang cenderung Derridean menandaskan, kondisi polivalensi yang sekilas psikoanalitis cenderung nostalgis. Enunsiasi polivalensi yang simulakral terlihat neo-Marxian. Multiplisitas polivalensi yang sekilas transpersonal terbebat. Manifestasi polivalensi akan bergeming. Tinjauan polivalensi berproduksi. Manifestasi polivalensi berproduksi melalui logos instrumen yang cenderung diskursif akibat makna tak mustahil terakumulasi. Makna transpersonal sekaligus Lacanian melatari posmodernisme atas nama prolegomena instrumen Foucauldian. Eksterioritas instrumen
4-1-8
psikoanalitis telah dibungkam oleh kondisi kuasa. Tinjauan kuasa Derridean serta Saussurean mengekstrapolasi keniscayaan strategi maskulin atau bahkan simulakral dengan analisis diskursus. Eksterioritas diskursus menjadi intimidatif melalui perwujudan feminisme Lacanian atau maskulin meskipun multiplisitas instrumen mengatasi komodifikasi yang cenderung fetish atas nama tinjauan obyek subyektif. Kalau obyek terbungkam, tak heran hasrat diskursif sekaligus neo-Marxian memperdaya multiplisitas posmodernitas metaforis serta transpersonal dengan prolegomena posmodernitas fetish atau pos-Whorfian. Posmodernitas psikoanalitis sekaligus fetish tersebut akan berubah menjadi ambigu atau bahkan neo-Marxian dengan mediasi analisis budaya maskulin. Prolegomena budaya yang positivistik menahbiskan eksterioritas hasrat lewat bantuan manifestasi feminisme. Akibatnya, sedimentasi feminisme tidak nampak seakan-akan transpersonal lewat bantuan kondisi komodifikasi psikoanalitis sekaligus positivistik. ------------Baudrillard, J. 1999. Galaksi Simulacra. Bagi orang awam tak mudah untuk memahami berbagai istilah yang digunakan dalam kutipan ‘makalah’ di atas. Namun, timbul juga keraguan bagi seorang pembaca telah cukup akrab dengan istilah-istilah di atas. Dari sini dapat disimpulkan bahwa, kutipan artikel tersebut tak bermakna apapun. Itulah sebabnya mesin ini dinamakan dengan SAPTONO, sebuah akronim untuk “Studi Aplikasi Otomata Nonsens”. Metode yang digunakan adalah metode randomisasi dalam generasi kata dengan beberapa aturan (rule) yang mematuhi sistem tata bahasa yang ada. Dalam beberapa Tes Turing informal di beberapa kalangan disimpulkan bahwa, partisipan kesulitan dalam memberikan justifikasi, hingga akhirnya ia merasa ada yang “tidak beres”. Namun, ungkapan ini baru muncul dalam waktu yang relatif lama. Dari sini, kita setidaknya menemukan dua hal. Yang pertama, model yang kita gunakan masih sangat sederhana. Pola randomisasi yang digunakan masih membutuhkan pengembangan lanjutan, hingga semakin mirip dengan artikel manusia – mulai dari sisi penggunaan jenis kata yang masih terbatas, daftar pustaka yang masih satu buah, dan pendekatannya yang saat ini masih terbatas pada pola bangunan koherensi (sehingga dari keseluruhan artikel muncul kesan “seolah-olah” hendak mengatakan sesuatu). Model ini pun sudah sulit untuk dijustifikasi oleh beberapa orang secara sepintas. Dari sini kita beranjak ke refleksi kedua, yaitu ada konjektur yang memberikan kemungkinan bahwa suatu saat nanti mesin ini semakin sempurna dalam meniru berbagai artikel bertipe posmodernisme (yang saat ini cukup banyak dimuat di surat-surat kabar dan bahkan telah menjadi tren). Bagaimanakah wajah ilmu sosial kita ketika konstruksi ‘analisis’-nya pun tak ubahnya perilaku random dengan beberapa aturan 4-1-9
sederhana soal tata bahasa yang dikerjakan secara otomatik? Hal ini tentu menjadi evaluasi seberapa bablasnya kita dalam mengakuisisi konsep “kebahasaan” ketika menganalisis sistem sosial. Kita seringkali terjebak pada sebuah wacana yang tidak memiliki keketatan formalisme, tanpa silogisme yang kuat, dan kaya istilah yang membingungkan. Hari ini kita masih punya masalah dalam hal akuisisi bahasa. Ini tentu saja sangat kontras dengan urgensitas pengembangan linguistik komputasional yang diperkuat oleh perangkat-perangkat dari diskursus mekanika statistik. Hal ini penting untuk diperhatikan, mengingat latar belakang variasi bahasa etnik di Indonesia. Ketakutan terhadap formalisme, dalam analisis sistem sosial, tentu saja sulit dimengerti. Namun penting untuk diingat bahwa, harga sebuah kelalaian kadang terlalu mahal untuk dibayarkan.
Rujukan: Khanafiah, D. & Situngkir, H. (2007). “Conjecture to Statistical Proximity with Tree of Language(?): Report on Few Austronesian Languages of Indonesian Ethnics”. Working Paper Series WPI2007. Bandung Fe Institute Situngkir, H. (2007). “Regimes in Babel are Confirmed: Report on Findings in Several Indonesian Ethnic Biblical Texts”. Working Paper Series WPC2007. Bandung Fe Institute Suroso, R. (2005). “SAPTONO: An Experiment with Nonsense”. Working Paper Series WPL2005. Bandung Fe Institute
4-1-10
4.2. Sebuah Perspektif untuk Prestasi Olahraga Nasional Olahraga menyehatkan masyarakat. Pada saat yang sama, kita juga merasakan adanya umpan balik positif dari prestasi olahraga masyarakat. Prestasi olahraga meningkatkan kebanggaan dan kolektivitas masyarakat, yang kemudian dapat melahirkan atlit berprestasi. Saat ini, persaingan antar atlit di kancah olahraga internasional semakin ketat. Seorang atlit menjadi semakin sulit untuk dapat mencapai jenjang prestasi tertinggi, apalagi di level kejuaraan internasional. Ketatnya kompetisi di tingkat dunia telah melahirkan sejumlah teknik dan peraturan baru yang menjamin fairness sebuah event olahraga. Ketatnya kompetisi olahraga tercermin dengan meningkatnya jumlah turnamen. Semakin hari, jumlah turnamen yang perlu diikuti oleh sebuah tim olahraga atau atlit perseorangan terus meningkat. Beberapa pertandingan, dari sekian pertandingan yang ada, bahkan menjadi ajang kompetisi kunci. Kapan dan melawan siapa seorang atau sekelompok tim diturunkan merupakan sebuah perdebatan yang sangat pelik. Agar sebuah tim olahraga memperoleh prestasi yang optimum dan maksimal, aspek manajerial ini perlu mendapatkan perhatian yang sangat serius. Saat ini, di awal abad ke-21, seorang manajer olahraga memainkan peranan yang sangat penting dalam menentukan performa atlit. Ilmu-ilmu kompleksitas yang berkaitan dengan sistem fisiologi manusia telah banyak mendapatkan perhatian di bidang olahraga. Bagaimanapun olahraga merupakan sebuah area interdisiplin, yang menjadikan atlit sebagai fokus observasi dan analisis. Hal ini penting sehingga, atlit dapat bertanding dalam kondisi prima dan memiliki strategi yang optimum. Namun hingga sejauh ini, kajian kompleksitas belum dieksploitasi secara maksimal dalam kajian keolahragaan. Latar belakang ini memotivasi penelitian berbasis sistem kompleks di bidang olahraga. Upaya ini dapat kita lakukan, salah satunya, dengan mengekstrak informasi dari hasil-hasil pertandingan yang ada di banyak turnamen olahraga. Salah satu pendekatan yang dapat kita konstruksi adalah dengan memodelkan pertandingan demi pertandingan sebagai sebuah keterhubungan jaringan. Perangkat ini dapat digunakan di banyak cabang olahraga, misalnya dalam permainan tenis. Dalam model graf yang dibentuk, tiap titik merepresentasikan atlit. Jika dua petenis pernah b e r te m u m a ka d u a t i t i k te rs e b u t ( ya n g m a s i n g - m a s i n g merepresentasikan seorang petenis) terhubung oleh sebuah garis yang memiliki ketebalan tertentu. Garis tersebut merupakan sebuah panah berarah. Jika anak panah tergambar menuju satu petenis maka itu menandakan bahwa ia merupakan atlit yang relatif lebih lemah (karena kalah), di bandingkan atlit tempat sumber anak panah tersebut. Ketebalan garis dihitung berdasarkan skor historis kemenangan dari pertemuan head-to-head antara kedua atlit. Semakin tebal garis maka ia 4-2-1
kalah dengan semakin telak. Demikian pula sebaliknya, garis yang tipis menunjukkan bahwa performa kedua pemain yang terhubung relatif berimbang. Beberapa waktu yang lalu nama Roby Muhamad, fisikawan Indonesia, menggema karena menemukan sebuah fenomena menarik tentang jaringan keterhubungan antar aktor/aktris film di dunia. Di sini ia berkolaborasi dengan sosiolog Amerika Serikat, Duncan Watts. Mereka menemukan adanya sifat “jaringan dunia kecil” antara pemain film di dunia. Dalam model jaringan ini, keterhubungan aktor/aktris merepresentasikan pernah tidaknya keduanya berkolaborasi dalam satu film. Dalam pekerjaan ini, pendekatan yang digunakan relatif tidak jauh berbeda. Namun, di sini kita menambahkan faktor arah panah (graf berarah). Penelitian ini dilakukan pada data turnamen tenis Grand Slam, pada tunggal putra dan tunggal putri. Keduanya menunjukkan sifat hukum pangkat. Sifat ini menunjukkan bahwa semakin terhubung satu atlit dengan atlit lain, maka peluang satu atlit baru terhubung dengannya juga semakin tinggi.
4-2-2
JARINGAN ATLET TENIS Studi kasus: Grand Slam (Amerika Serikat Terbuka, Australia Terbuka, Wimbledon dan Perancis Terbuka) Topologi jaringan petenis tunggal putra di Grand Slam
Topologi jaringan petenis tunggal putri di Grand Slam
dalam hal konstruksi jaringannya, sifat hukum pangkat pada model jaringan ini ditemukan di banyak pola keterhubungan, mulai dari jaringan aktor/aktris film di dunia, jaringan protein ragi hingga jaringan kolaborasi penulis ilmiah sedunia. Sifat hukum pangkat terlihat pada distribusi jaringan performa petenis dunia di kejuaraan Grand Slam tunggal putra (data 1980-2006) dan tunggal putri (data 1995-2006). Lima pemain dunia tunggal putra dan tunggal putri terhebat, pada jaringan yang terbentuk, dapat terlihat pada gambar di atas. Pola ini memperlihatkan bahwa sistem turnamen yang diberlakukan menunjukkan pola sistem teroptimisasi kuat (highly optimzed system). Ini merupakan salah satu pola sistemik yang menghasilkan bentuk distribusional hukum pangkat. Meski terdapat beberapa perbedaan
to
Dari jaringan yang terbentuk terlihat adanya pemain “perifer” dan pemain “pusat”. Pemain datang dan pergi dalam turnamen yang diadakan dari tahun ke tahun. Namun, hanya yang terbaik yang senantiasa bertahan. Ia terhubung ke banyak pemain lain dengan arah panah keluar. Deskripsi ini meninggalkan sebuah pertanyaan yang s a n gat m e n a nta n g . Pe r ta nya a n nya a d a l a h “bagaimana manajemen olahraga dapat mengeksploitasi sifat statistik ini demi kemajuan prestasi olahraga nasional kita”.
Gambar 4.2.1. Langkah kerja mengubah hasil pertandingan ke dalam bentuk jaringan untuk dapat dianalisis lebih lanjut. Dari setiap pertemuan head-tohead dalam setiap pertandingan di semua turnamen yang diperhitungkan, kita mengkalkulasi kekuatan relatif antar pemain berdasarkan hasil yang diperolehan. Ia kemudian akan membentuk matriks keterhubungan yang dapat direpresentasikan menjadi jaringan antar pemain dalam Olimpiade 2000-2004.
4-2-4
Teknik yang kita gunakan di bagian sebelumnya (hasil pertemuan antar petenis Grand Slam) dimodifikasi untuk melihat kekuatan tim bulu tangkis Indonesia. Analisis dilakukan pada data hasil permainan head-to-head atlit yang bertanding. Secara sederhana langkah kerjanya digambarkan pada gambar 4.2.1. Meski data yang tersedia relatif terbatas, jaringan kita sudah cukup menarik untuk dapat memperhitungkan sejauh mana performa satu atlit relatif terhadap pebulutangkis lainnya. Modifikasi ini dilakukan dengan menggunakan beberapa perangkat analisis yang berkembang di studi biokimia. Perangkat matematis ini memodelkan kemenangan satu orang sebagai bentuk katalisasi (percepatan reaksi) untuk melawan atlit/pemain lain. Sebaliknya, kekalahan satu orang merupakan bentuk inhibisi (perlambatan reaksi) untuk melawan pemain lain. Dari sini, kita dapat ‘mengisi’ performa relatif yang kosong (karena berdasarkan basis data yang ada, tidak semua atlit pernah melawan semua atlit lain). Hasilnya ditunjukkan oleh gambar 4.2.2. Pendekatan ini kita namakan HRPI (Historical Relative Performance Index). Ia menggambarkan ‘kekuatan’ relatif antara satu pebulutangkis dengan yang lainnya.
Gambar 4.2.2. Dengan model matematis (jaringan atau rantai) reaksi kimia, kita mencari HRPI dari seluruh pemain berdasarkan hasil permainan yang ada (satu atau beberapa turnamen).
Alhasil, kita memperoleh jaringan yang semua titik-titiknya terhubung. Pada gambar 4.2.2., garis putus-putus menunjukkan indeks performa yang dibuat berdasarkan proses kalkulasi atau tidak diperoleh melalui hasil pertandingan (karena keduanya tidak pernah bertemu dalam turnamen yang menjadi sumber basis data kita). Hasil ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi pengukuran kekuatan relatif antara satu pemain dengan pemain lain secara terkuantifikasi, meski keduanya belum pernah bertemu. 4-2-5
Sebagai contoh misalnya, tim Indonesia harus berhadapan dengan tim Cina. Tim Indonesia terdiri atas Sony Dwi Kuncoro, Taufik Hidayat, Hendrawan, dan Mario Mainaky. Sementara itu, Tim Cina diperkuat oleh Ji Xin Peng, Xia Xuanze, Sun Jun, Chen Hong, Lin Dan, dan Bao Chunlai. Kita tahu bahwa semua pemain Indonesia, dalam data turnamen yang digunakan, tidak ada satupun yang pernah bertanding dengan seluruh pemain Cina. Melalui ekstraksi data yang ada, kita peroleh visualisasi jaringan yang dapat terlihat pada gambar 4.2.3. Dari pola keterhubungan hipotetikal ini setidak-tidaknya, kita dapat mereka-reka dua hal. Pertama, taksiran kekuatan seluruh pemain Indonesia relatif terhadap enam pemain di tim lawan. Kedua, taksiran kekuatan relatif antara pemain-pemain Indonesia berdasarkan prestasi dan performa mereka di lapangan. Hal ini tentu sedikit banyak dapat berguna bagi pengelolaan tim bulu tangkis kita. Gambar 4.2.3. Visualisasi HRPI 4 pemain Indonesia dan 6 pemain tim Cina berdasarkan kalkulasi dari data hasil pertandingan 2 olimpiade (2000 dan 2004).
Perangkat metodologi ini memberikan sebuah tawaran yang sangat menarik. Ia merupakan sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mengekstrak informasi yang ada. Berbagai modifikasi lebih jauh dapat dilakukan berdasarkan model jaringan ini. Salah satunya adalah dengan memperhitungkan faktor waktu atau variabel tertentu yang diperoleh dari masukan dokter dan atau psikolog/psikiater yang menangani masing-masing atlit. Pengembangan ini membuat akurasi kalkulasi HRPI menjadi semakin baik. Pengembangan lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengkonstruksi model jaringan untuk olahraga permainan tim, misalnya sepak bola atau bola basket. Pengembangan ini membuka sejumlah peluang perluasan Wawasan Wiyatamandala kita akan keolahragaan nasional.
4-2-6
4.3. Telaah Seni dan Budaya Nasional 4.3.1. Kajian Matematis pada karya Seni dan Budaya Pada masa awal-awal kebangkitan seni dan budaya Eropa, terminologi sains, matematika, dan seni sungguh berada pada domain yang tak begitu jauh. Karya-karya besar masa Renaissance, katakanlah karya Leonardo da Vinci (1452-1519), menunjukkan presisi geometris yang sangat tinggi. Bahkan belakangan beberapa karya seni rupa Luca Pacioli (1145-1514), Albrecht Dürer (1471-1528), dan M.C. Escher (1898-1972) juga menunjukkan pola-pola matematis dalam refleksi estetika yang dipancarkannya. Setidaknya terdapat tiga kutub opsi di mana matematika dan estetika dapat bertemu, yaitu antara lain: 1. Seni dari konsep-konsep matematis Matematika sendiri dalam beberapa perspektif pada dasarnya menunjukkan keindahan ketika konsep-konsepnya menunjukkan polapola keteraturan. Hal ini diungkap mulai dari matematikawan purba seperti Aristoteles dalam Methaphysica-nya dan matematikawan modern seperti Godfrey H. Hardy. Konsep-konsep matematis di dalam sains memiliki keindahan estetik tertentu, meski disadari bahwa keindahan konsep-konsep tersebut tak terlihat di mata orang yang tak mengenal matematika. Kondisi ini terjadi karena banyak karya seni besar dunia hanya dapat dilihat keindahannya oleh sebagian kalangan saja.
“Ilmu matematika pada dasarnya menunjukkan keteraturan, simetri, dan batasan; konsep-konsep inilah yang merupakan bentuk hakiki dari apa yang disebut sebagai keindahan.” Aristoteles
2. Cara pandang matematis atas karya seni budaya Perspektif ini datang dari apa yang terlihat dari sebuah karya seni melalui bentuk dan pola struktural. Sebuah karya seni dan budaya dapat lahir dari banyak aspek dalam kehidupan manusia, yang kerap secara tak sadar menunjukkan pola-pola geometris. Bahkan terdapat sebuah arah pemikiran bahwa konsep simetri sangat sering terungkap ketika berbicara tentang “seni” etnis. Sebagai contoh, diskusi tentang karya seni budaya tradisional seperti batik, misalnya, seringkali terkait dengan pola simetris yang menjadi fundamentalnya. Pemahaman akan teori chaos, yang pada akhirnya melahirkan perspektif kompleksitas, telah memberi sebuah pemahaman simetri yang menarik bagi kita, yakni konsep “kemiripan pada diri” (self-similarity). Sebuah bagian memiliki simetri kemiripan struktural dengan keseluruhan yang disusun oleh bagian-bagian tersebut. Secara sederhana, ia merupakan bentuk diksi lain dari sifat skala yang sejak awal hingga akhir buku ini telah ditunjukkan sebagai pola statistik hukum pangkat. Konsep-konsep
“Pola-pola yang ditunjukkan matematikawan, sebagaimana laiknya hasil karya pelukis atau pujangga pastilah merupakan bentuk keindahan. Sebuah gagasan seperti halnya warna atau kata-kata harus cocok dalam harmoni. Keindahan adalah ujian pertamanya: tidak ada tempat di muka bumi ini untuk karya matematika yang jelek.” Godfrey Hardy
4-3-1
kemiripan pada diri sendiri ini terlihat pada banyak motif hingga arsitektural yang dibangun dalam nuansa tradisional. Sebagai contoh yang menarik adalah bentuk arsitektural candi Prambanan, seperti ditunjukkan pada gambar 4.3.1. Melalui cara pandang kedua ini, kita dapat menikmati karya seni budaya melalui perspektif matematika, yang banyak dipersepsikan terbentang pada domain yang berbeda jauh. Gambar 4.3.1. Kemiripan pada diri sendiri yang ditemui di salah satu titik pandang di Candi Prambanan.
3. Karya seni dari konsep matematis Pola pertemuan tipe ini pada dasarnya merupakan hal yang kerap dijumpai dalam sejarah peradaban manusia. Sebuah contoh yang terkenal adalah karya Leonardo da Vinci yang menunjukkan aspek geometris dari tubuh manusia dalam karyanya yang terkenal, “The Vitruvian Man”. Gambar 4.3.2. ”The Vitruvian Man” oleh Leonardo da Vinci.
4-3-2
Seniman lain yang juga terkenal dengan konsep geometrinya adalah M. C. Escher. Konsep kerja Escher merupakan bentuk cikal bakal dari seni rupa generatif, yakni bentuk-bentuk karya seni yang dihasilkan melalui proses repetisi dan langkah-langkah serta aturan-aturan algoritmik iteratif tertentu untuk kemudian meramunya secara artistik. Intinya adalah generasi karya melalui pemenuhan daerah-daerah yang kosong dari area yang hendak diisi dengan karya visual, atau seringkali disebut juga sebagai teselasi. Karya teselasi disusun atas pola dari satu atau lebih bentuk geometris tertentu yang pada gilirannya menutupi seluruh permukaan gambar tanpa ada sisi yang kosong atau tumpang tindih dari pola-pola penyusunnya.
Gambar 4.3.3. Development II karya Escher (kiri bawah) dan proses penggambaran teselasi dengan bentuk dasar reptil pada bentuk geometri heksagon (kanan bawah).
Gambar 4.3.4. Fraktal Mandelbrot (kiri) dibuat berdasarkan aturan iteratif sederhana bilangan kompleks. Pola ini menjadi dasar pembuatan seni generatif komputasional Budhabrot (kanan) oleh Melinda Green (1993).
Perkembangan interaksi antara estetika dan matematika akhir-akhir ini ditunjukkan oleh seni rupa generatif komputasional dengan konsep fraktal. Perkembangan teknologi komputasi telah memungkinkan untuk dilakukannya berbagai modifikasi, mulai dari teknik pewarnaan hingga bentuk fraktal yang tadinya lahir dalam teori chaos.
4-3-3
4.3.2. Studi Kasus: Musik Indonesia Tak kalah rumit dengan bahasa, Indonesia juga memiliki beragam jenis musik yang berkembang di tengah masyarakatnya. Salah satunya adalah variasi jenis lagu dan musik daerah. Dalam kultur modern Indonesia, setidaknya terdapat empat tipe musik yang populer di kalangan masyarakat, yaitu: lagu daerah, lagu (wajib) nasional, lagu-lagu pop Indonesia dan beberapa lagu pop internasional yang secara industrial didominasi oleh produsen musik barat. Musik merupakan artifak yang kompleks dan tersusun dari berbagai macam komponen seperti tone, pitch, ritme, tempo, kontur, timbre, volume, lokasi spasial, serta reveberasi/gaung. Namun untuk menyederhanakan pendekatan, kita hanya menggunakan melodi sebagai elemen yang paling penting dari musik, yang terdiri dari pitch serta durasi dalam sebuah lagu. Pada bagian ini, kita mencoba untuk melihat perilaku musik yang berkembang secara umum di Indonesia. Tujuannya adalah untuk melihat kemungkinan kita dapat mengungkap berbagai informasi yang terkandung dari struktur melodis yang ada pada untaian melodi lagu-lagu tersebut. Melalui observasi ini berharap bahwa bentuk kuantitatif spesifik yang diungkapkan dalam penelitian dapat dijadikan masukan dan arahan yang baik serta dapat bermanfaat untuk tujuantujuan tertentu. Dalam studi sosiologi dan komunikasi, proses akulturasi dalam masyarakat dapat mempengaruhi produksi artifak yang baru. Melodi sebagai elemen terpenting dari musik, tidak dapat dipungkiri merupakan entitas dari hal tersebut. Sebagai contoh, presentasi dan produksi musik tradisional sekarang ini tidak sepenuhnya menggunakan artifak kebudayaan asli. Campur Sari misalnya, Lagu daerah Jawa yang merupakan satu dari banyak interaksi musikal di antara beberapa kebudayaan/kultur. Pemahaman ini menyadarkan kita bahwa ketika kita membicarakan mengenai lagu-lagu Indonesia, sebenarnya kita sedang berhadapan dengan sesuatu yang lebih rumit daripada apa yang secara intuitif dapat dibayangkan mengenai musik nasional. Ada banyak tipe dan genre musik yang dinikmati oleh masyarakat Indonesia, mulai dari musik etnis, lagu nasional, lagu-lagu populer dan tentu saja lagu pop barat yang terkenal seantero dunia. Pendekatan statistik mengenai musik tidak akan pernah cukup dengan produksi musik yang selalu bergerak cepat dan penuh dengan ide inovatif dan artistik dari musisi atau artis yang senantiasa hidup dan dinamis. Dari sini perkembangan metode komputasional yang juga bergerak dengan cepat seiring kemajuan komputasi diharapkan mampu untuk mengeksploitasi kebutuhan analisis di masa yang akan datang. Dari ratusan diskografi musik yang ada, kita mengkategorikan beberapa lagu yang populer di kalangan masyarakat luas, antara lain: •
4-3-6
Lagu-lagu Daerah Indonesia. Lagu yang biasanya disertai dengan lirik dan melodi yang memiliki pola yang sensitif terhadap kultur
termasuk bahasa daerah tertentu. Walaupun begitu, beberapa lagu etnis dan tradisional memiliki tema yang bersifat nasional. Lagu tersebut biasanya mengenai kehidupan dinamis masyarakat lokal yang dirasakan oleh artis dan masyarakat tradisional tersebut. Lagu-lagu di kategori ini diberi nama sesuai dengan masing-masing kebudayaan mereka, sebagai contoh, lagu daerah Jawa “Suwe Ora Jamu”, lagu daerah Minang “Ayam den Lapeh”, lagu daerah Sunda “Bubuy Bulan”, lagu daerah Maluku “Hela Rotan” dan lain sebagainya. ?
Lagu-lagu Nasional. Lagu-lagu dengan tema patriotik yang mengekspresikan hidup sebagai warga Indonesia, pada umumnya menggunakan lirik dalam bahasa Indonesia dan dinyanyikan di berbagai tempat dan acara di Indonesia. Beberapa lagu dalam kategori ini antara lain “Gugur Bunga”, “Indonesia Pusaka”, dan “Satu Nusa Satu Bangsa”. Beberapa lagu dalam kategori ini memiliki pola Musik Kerocong, yaitu musik yang populer di antara penduduk di kawasan Jawa, contohnya dalam lagu “Sepasang Mata Bola”.
?
Lagu-lagu Populer Indonesia. Lagu-lagu populer modern yang disiarkan di media massa dan menjadi bagian dari kebanyakan kultur populer di antara anak muda. Walaupun begitu, seperti halnya beberapa musik dan lagu pop barat, terdapat sensitifitas waktu dalam kategori lagu ini. Beberapa lagu dalam kategori diskografi kita ini antara lain: “Kugadaikan Cintaku” (dinyanyikan oleh Gombloh), “Bunda” (dinyanyikan oleh Potret), “Juwita Malam” (lagu populer klasik yang belakangan kerap dirilis kembali oleh beberapa artis), dan “Dibalas dengan Dusta” (dinyanyikan oleh Audi).
?
Lagu Internasional, kategori ini digunakan dengan tujuan sebagai referensi bagi lagu-lagu populer Indonesia. Beberapa lagu dalam kategori ini antara lain: “I Want to Break Free” (Queen), “Morning Has Broken” (Cat Stevens), “Now and Forever” (Richard Marx), “It Must Have Been Love” (Roxette).
Tanpa seseorang tahu arti syair lagu “Bubuy Bulan” terlebih dahulu, suara Nining Maida dalam untaian melodi lagu yang menantikan kekasih hati itu cukup membuat suasana hati orang yang mendengarnya merasakan pesan kerinduan di dalam lagu tersebut. Tidak perlu seseorang mendengarkan dengan seksama lirik lagu “Gugur Bunga”, umumnya kita cukup mengerti pesan kesedihan yang tersiar dari gesekan biola Idris Sardi yang khidmat. Dengan kata lain, lagu yang baik memiliki struktur melodi yang kuat, yang mampu memberikan efek tertentu pada pendengarnya. Pertanyaannya, bagaimana kita dapat mengobservasi struktur melodi tersebut? Adakah cara terukur dan teruji yang mampu menunjukkan ekspresi dari sebuah lagu? Dalam bahasa puitis, lagu itu dikatakan “menggerakkan jiwa”. Melodi yang baik memberikan efek ‘spiral’ dan ‘putaran’ tertentu di hati 4-3-7
penikmatnya. Terdapat sebuah interaksi antara sistem kognitif dari pendengar dengan deretan harmoni frekuensi bunyi yang ada pada lagu. Ada lagu yang enak dan yang tak enak didengar. Tidak semua lagu yang masuk dapur rekaman, hingga beredar di pasaran, berhasil mencapai papan tangga lagu dunia. Di dalam lagu, tersimpan sebuah pola kompleks yang sungguh menarik untuk dikaji lebih jauh. Analogi tentang “putaran” harmonis pada lagu menginspirasi konstruksi sebuah model fisis yang dapat digunakan untuk membaca kompleksitas lagu ini. Setiap lagu pada dasarnya dapat digambarkan sebagai sebuah deretan time series dari nada-nada dan durasi dari nada-nada tersebut. Hal ini dicontohkan pada gambar 4.3.5. Gambar 4.3.5. Untaian nada-nada dalam melodi awal dari lagu daerah Sunda, “Bubuy Bulan”, digambarkan sebagai data deret waktu (time series).
Gambar 4.3.6. Garis tren normalisasi dalam fase ruang θd(ζ) versus θd(ζ)+1 dari lagu populer Indonesia, “Kaulah Segalanya” yang dinyanyikan oleh Ruth Sahanaya.
Pengamatan dapat dilakukan melalui deretan variabel yang merepesentasikan nada dan durasi nada tersebut. Kita visualisasikan deretan nada dari satu nada ke nada lain dalam diagram fasa ( θd(ζ) versus θd(ζ)+1), seperti pada gambar 4.3.6. Dari sini dapat kita bayangkan bahwa sebuah lagu yang dimainkan adalah ibarat memutar nada-nada tersebut melalui sebuah poros garis tren yang dapat ditarik dari deretan nadanada. Garis tren dapat memperlihatkan secara aktual struktur dari pitch dan durasi yang memunculkan melodi yang kemudian kita nikmati. Kita juga dapat melihat garis tren sebagai semacam ‘sumbu rotasi' dalam dinamika lagu. Pengukuran matematis atas garis tren ini berbeda-beda untuk tiap lagu, hal ini dinamakan sumbu putar girasi atau disingkat sumbu girasi saja. Sumbu girasi diukur sebagai bentuk sejauh mana nadanada sebuah lagu dari sumbu putarnya, di mana semakin kecil nilainya, semakin padat struktur melodiknya, demikian sebaliknya. 4-3-8
Melalui model ini, kita dapat memvisualisasikan gerakan radial dari sebuah lagu. Menariknya, gerakan radial dari lagu tersebut menunjukkan sebuah pola simetri kemiripan-pada-diri-sendiri dari gerakan lagu tersebut secara spesifik. Hal ini ditunjukkan pada gambar 4.3.7. Pada gambar tersebut ditunjukkan bagaimana terjadi pola kemiripan-pada-diri-sendiri di dalam sebuah lagu, dan juga antar lagu. Ibarat mahkota sebuah kembang, pola kemiripan-pada-diri-sendiri ini menunjukkan terjadinya sifat skala pada lagu. Lebih jauh lagi, kita juga dapat melihat pembedaan antara satu lagu dengan lagu lain melalui nilai kuantitatif dari sumbu girasi yang dapat kita kalkulasi secara spesifik. Lagu-lagu yang sangat dinamis menunjukkan pergerakan nada-nada secara radial yang semakin fluktuatif dalam sumbu putarannya, sementara terdapat perumuman bahwa lagu-lagu yang ingin mengekspresikan perasaan mendayu dan kental nuansa melodisnya secara lambat, memberikan bentuk gerakan radial yang lebih smooth dalam sumbu radialnya. Sebagai contoh, lagu “Suwe Ora Jamu” dan lagu “Gugur Bunga”. Dua lagu ini memiliki efek dinamik yang berbeda satu sama lain, karena lagu “Suwe Ora Jamu” lebih menunjukkan “gerakan” yang lebih atraktif, berbeda dengan lagu “Gugur Bunga” yang secara melodis bernuansa khidmat karena mengekspresikan suasana melankoli. Gerakan radial “Suwe Ora Jamu” terlihat menjadi lebih dinamis di sepanjang sumbu putar dengan nilai sumbu girasi yang jauh lebih besar daripada lagu “Gugur Bunga”.
Gambar 4.3.7. Skala Pergerakan Radial (Scaled Radial Movement) dalam kategori lagu daerah (kiri) dan lagu nasional (kanan).
4-3-9
Visualisasi model ini dapat dikembangkan lebih jauh lagi untuk lebih menunjukkan efek “putar” dari sebuah lagu. Hal ini dilakukan dengan mengurutkan nada-nada dari yang lebih rendah ke lebih tinggi dan menunjukkan tinggi rendahnya eksplorasi nada-nada dari sebuah lagu. Dalam model ini, kita mengetengahkan sebuah parameterisasi yang kita sebut koefisien-spiral, yaitu sebuah koefisien yang menggambarkan sejauh mana simpangan nada-nada dalam efek spiral yang terjadi. Semakin kuat koefisien spiral maka semakin besar kecenderungan penggunaan notasi yang lebih banyak dengan perbedaan nilai yang lebih tinggi dari notasi musik yang secara praktis mengakibatkan frekuensi pitch menjadi lebih tinggi. Kebanyakan lagu nasional tidak memiliki efek spiral yang terlalu tinggi, hal ini sangat berbeda dengan beberapa lagu daerah dan lagu-lagu populer. Ini tentu masuk akal mengingat lagu nasional memang tidak seharusnya bersifat terlalu dinamis dalam variasi pitch dan durasi. Meskipun begitu, beberapa lagu populer juga dapat menjadi tidak terlalu spiral sesuai dengan tema dan genre yang diangkatnya. Dalam tabel 4.3.1., kita dapat melihat secara nyata, lagu populer seperti “Bunda” yang dinyanyikan oleh band musik Indonesia Potret, memiliki efek spiral yang paling rendah dibandingkan dengan lagu populer yang lainnya. Di sisi lain, meskipun dengan perbedaan genre yang cukup jauh, lagu “I Want to Break Free” yang dinyanyikan oleh Queen juga memiliki koefisien yang kecil. Sebuah lagu akan berada pada dua kondisi ekstrim. Jika visualisasi model spiral kita membentuk lingkaran, yang ditandai dengan koefisien-spiral yang sangat kecil mendekati nol, maka lagu tersebut cenderung membosankan, karena nada dan durasinya membentuk melodi yang sangat monoton. Sebaliknya, jika koefisien Gambar 4.3.8. Untaian melodi yang enak didengar (tengah) berada di antara dua kondisi ekstrem yaitu untaian nada yang monoton datar (kiri) dan untaian nada yang murni acak (kanan).
4-3-10
Gambar 4.3.9. Perbandingan dari dua lagu populer berdasarkan koefisien spiral.
spiralnya sangat besar, maka luas cakupan nadanada menjadi sangat banyak dan efek spiral lagu menjadi kuat sekali. Hal ini mengakibatkan lagu tersebut menjadi sulit dicerna. Sebuah lagu yang enak didengar tersusun atas koefisien spiral yang tidak terlalu kecil, namun juga tidak terlalu besar sebagaimana ditunjukkan di gambar 4.3.8. Sebuah model lain untuk menganalisis pola lagulagu yang populer di kalangan masyarakat adalah pendekatan dengan menggunakan entropi. Secara sederhana, entropi adalah sebuah parameter yang digunakan untuk menghitung ketidakteraturan dari sebuah sistem dari kondisi mikro-nya. Semakin teratur sebuah sistem oleh elemen-elemen penyusunnya, maka semakin kecil nilai entropinya, demikian pula sebaliknya. Dari sisi lagu, nilai entropi ini dihitung dari variasi nada-nada dan durasi nada-nada tersebut. Semakin tinggi lompatan-lompatan dari kuantitas tinggi variasi nada dan durasi nada yang digunakan maka semakin besar pula entropinya. Lawan dari entropi adalah negentropi, yaitu tingkat keteraturan atau organisasi struktural dari sistem. Semakin besar nilai negentropi sebuah sistem, maka semakin besar pula tingkat keteraturan di dalam sistem tersebut. Dari variabel entropi ini, kita dapat mengkalkulasi tingkat kompleksitas dari sebuah sistem secara komputasional. Parameter kompleksitas ini dikalkulasi sepanjang lagu tersebut diputar. Sebuah melodi yang enak didengar tentunya a d a l a h s e b u a h la g u ya n g ko ef i s i e n kompleksitasnya menurun hingga lagu berakhir. Karena koefisien kompleksitas dihitung dari nilai entropinya, maka secara sederhana dapat 4-3-11
Tabel 4.3.1. Perputaran radius dan koefisien spiral pada beberapa lagu dalam diskografi yang kita amati.
4-3-12
dikatakan bahwa semakin tinggi lompatanlompatan dari kuantitas tinggi variasi nada dan durasi nada yang digunakan maka semakin tinggi kompleksitasnya dan konsekuensinya adalah semakin sulit sebuah melodi dinikmati. Gambar 4.3.10. Alur kompleksitas dalam lagu
Hasil analisis atas lagu-lagu di Indonesia sangat menarik, dan menunjukkan kekayaan struktural lagu-lagu tersebut, bahkan dari lagu-lagu daerah. Dari sisi penggunaan nada-nada dan durasinya, maka ditemukan bahwa lagu-lagu daerah juga memiliki kompleksitas yang tidak sederhana. Hal ini ditunjukkan pada tabel 4.3.1. Dari sisi lagu-lagu wajib nasional, kita dapat melihat beberapa hasil yang didapatkan dari obeservasi dilakukan terhadap karya W. A. Mozart dan beberapa komposer klasik Indonesia dalam lagu-lagu nasional. Pola dinamik memperlihatkan entropi yang sama namun perbedaan tumbuh sejalan dengan perkembangan kompleksitas dalam sebuah lagu. Karya Mozart sepertinya tidak mengalami penurunan secara drastis pada rentetan melodi yang panjang dari simfoninya. Sementara itu, perbedaan lainnya dapat dilihat pada gambar- gambar di sebelah tulisan ini. Pola yang menarik muncul seperti yang dapat kita lihat dari korpora lagu daerah di mana dapat kita temukan bahwa sebagian besar di antaranya diakhiri dengan negentropi yang relatif lebih tinggi dari entropi dinamiknya. Hal ini menunjukkan sepertinya suatu lagu membentuk suatu pola pengaturan diri sendiri di sepanjang lagu. Lagu daerah terlihat lebih lambat dalam kasus ini, sedikit berbeda dengan kategori lagu 4-3-13
yang lainnya. Meskipun begitu, terdapat juga beberapa lagu yang diakhiri dengan entropi yang lebih besar dibandingkan dengan negentropinya (”Suwe Ora Jamu” dan “Ayam den Lapeh”). Hal ini merupakan fakta yang cukup menarik, bahwa kita dapat melihat secara nyata dinamika lagu-lagu daerah. Agak berbeda dengan lagu-lagu populer, lagu-lagu dalam kategori populer didominasi dengan bagian akhir yang memiliki indeks organisasi yang lebih rendah (negentropi) yang relatif terhadap entropinya masing-masing. Dalam tabel 4.3.1. terlihat nilai negentropi dari beberapa lagu dan keseluruhan kompleksitas yang dihitung di bagian akhir sebuah lagu. Ketika suatu lagu menggunakan variasi pitch dan durasi yang semakin beragam maka lagu tersebut akan semakin kompleks, di samping itu semakin sering rangkaian pitch dan durasi yang digunakan maka semakin banyak struktur organisasi dari lagu yang terungkap (seperti yang digambarkan oleh negentropi). Tentu saja jika negentropi dalam sebuah lagu sangat tinggi maka lagu akan terdengar menjadi lebih membosankan dan menjadi kurang menarik yang berakibat semakin sulit lagu tersebut untuk dapat dinikmati. Meskipun begitu, tidak selalu negentropi yang besar akan secara linier berhubungan dengan perhitungan kompleksitas. Contoh yang menarik adalah lagu yang cukup panjang dari Mozart yaitu “#40th Symphony” yang terdiri dari 1500 notasi memiliki kompleksitas yang relatif rendah tetapi memiliki indeks pengorganisasian yang cukup tinggi. Untuk mendapatkan lagu yang menarik dan mudah untuk dinikmati kemungkinan besar dipengaruhi oleh dua konstrain tersebut, sementara di sisi lain inti dinamika sebuah lagu diwakili oleh dua parameter sebelumnya yaitu gerakan perputaran dan indeks spiral. Penggunaan pendekatan ini dalam studi musik Indonesia akan sangat membantu upaya pencarian karakteristik kuantitatif musik asli Indonesia, yakni musik yang dilahirkan oleh cara pandang orang Indonesia, oleh orang Indonesia, dan untuk orang Indonesia. Ini adalah tantangan wawasan musikologi wiyatamandala kita di masa mendatang.
4-3-14
4.4. Televisi dan Masyarakat Televisi, radio dan media massa lainnya merupakan media penyampaian informasi dan hiburan. Ia adalah sebuah produk kultur manusia yang mempengaruhi bagaimana kehidupan budaya masyarakat saat ini. Mereka memberikan definisi tentang bagaimana “wajah” lingkungan di sekitar kita, dan juga gambaran tentang bagaimana posisi kita di tengah lingkungan tersebut, yang disampaikannya melalui media suara, gambar, dan tulisan. Kajian mengenai pengaruh media massa, merupakan kajian yang banyak dikaji dalam psikologi dan juga sosiologi kontemporer. Media massa modern, seperti televisi, radio, hingga internet, pada dasarnya bisa mempengaruhi sistem kognitif seorang individu, dan menimbulkan fenomena psikologis tertentu, baik perasaan, kebiasaan, perilaku, emosi, perasaan terhadap identitas kolektif tertentu, dan lain-lain. Hal ini tentunya akan berpengaruh pula pada pola hubungan dan interaksi antar individu, hingga pada akhirnya membrojolkan budaya di masyarakat. Dalam bidang sosiologis, kajian tentang bagaimana pengaruh media massa dan film terhadap individu dan juga kehidupan sosial masyarakat, berkembang sangat pesat terutama ketika terjadi “kepanikan media” dengan adanya booming di industri perfilman di era 50-an. Hingga saat ini, kajian mengenai bagaimana pengaruh media massa dan juga film dalam membentuk kehidupan sosio-kultural masyarakat masih terus dilakukan, seiring dengan berkembangnya teknologi dari media massa itu sendiri. Televisi merupakan salah satu jenis media massa yang bisa kita anggap mewakili media massa modern saat ini. Ia merupakan salah satu media yang memberikan informasi yang paling lengkap, meliputi: suara, gambar dan juga tulisan. Televisi juga merupakan media massa yang mudah dimiliki oleh setiap rumah atau individu. Industri televisi swasta yang marak di Indonesia saat ini, khususnya semenjak keruntuhan rezim Orde Baru, telah menandai era keterbukaan informasi di negeri ini. Namun di sisi lain, dengan maraknya industri tersebut dan bervariasinya jenis tayangan yang ditampilkan, mau tak mau kita dihadapkan pada perubahan kondisi sosio-kultural masyarakat Indonesia saat ini. Televisi bagaimanapun telah menghadirkan berbagai realitas di ruang-ruang pribadi publik. Analisis mengenai media massa, khususnya televisi, merupakan salah satu analisis yang cukup penting untuk dilakukan, terutama untuk mengetahui gambaran mengenai struktur dan pola informasi yang disuguhkan, serta bagaimana dampaknya bagi kondisi sosio-kultural masyarakat. Tentu harus disadari bahwa televisi dengan programprogram acara yang ditawarkannya tidak hanya akan menggambarkan suatu realita tertentu, tetapi juga standardisasi mengenai bagaimana kehidupan yang ideal, cara pandang tertentu dan juga ide tertentu. Televisi menjadi tidak hanya penyampai informasi dan hiburan, tapi lebih
4-4-1
jauh merupakan media pengkonstruksi opini, ide wacana hingga gaya hidup. Dalam sudut pandang memetika, televisi bisa dianggap sebagai mesin replikator meme massal yang cukup dominan dalam membrojolkan pola kultural tertentu, yang memberikan andil dalam budaya konsumsi dan berbagai kenyataan hidup lainnya. Ia merupakan media diseminasi budaya dan sifat-sifat kultural tertentu di masyarakat. Era reformasi, merupakan era keterbukaan informasi. Hal ini diiringi juga dengan maraknya industri media massa, termasuk televisi. Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki 10 stasiun televisi swasta nasional, yang menawarkan program tayang yang berbeda-beda, mulai dari berita, sinetron, film, hingga informasi seputar hobi. Dengan menggunakan data acara harian dan deskripsi dari acara tersebut dari tanggal 4 september 2007 hingga 11 september 2007, dilakukan analisis terhadap media, berupa pola tayangan dan dampak yang mungkin ditumbulkan dari tayangan tersebut terhadap masyarakat. Secara sederhana kita dapat melakukan kategorisasi acara-acara yang ditayangkan oleh setiap stasiun tersebut, dengan klasifikasi jenis siaran sebagai berikut: 1. Siaran analisis dan diskusi Acara diskusi dan analisis terdiri dari acara yang menampilkan informasi sosial ekonomi budaya politik dan hukum yang melibatkan beberapa orang atau tokoh yang bertukar pikiran, atau informasi disampaikan sebagai hasil analisis (opini) dari sebuah permasalahan atau kejadian. 2. Berita Acara berita terdiri dari acara yang menampilkan berbagai kejadian sosial ekonomi politik, budaya, hukum, dan olahraga. Siaran ini ditandai dengan keberadaan penayangan si pembaca berita, wartawan atau juru kamera yang menyampaikan dari tempat kejadian, berita disajikan secara berurutan dalam durasi tertentu. 3. Dokumenter Acara dokumenter menyajikan informasi dalam bentuk sinematografi yang menggambarkan kisah yang nyata dan terkadang melibatkan tokoh nyata, kejadian nyata, dan tempat yang nyata. 4. Acara anak Acara anak menyajikan informasi seputar dunia anak, musik, pendidikan, atau sinema yang dibuat khusus untuk anak-anak. 5. Infotainment Acara infotainment berisi informasi tentang gosip-gosip seputar kehidupan selebritis termasuk di dalamnya acara reality show dan talk show yang dibawakan oleh para selebritis.
4-4-2
6. Film Acara film terdiri dari tayangan sinema yang melibatkan akting/penokohan di dalamnya dan bukan buatan indonesia atau tayangan sinema buatan Indonesia yang pernah tampil di bioskop. 7. Sinetron Acara sinetron terdiri dari tayangan sinematografi buatan Indonesia yang melibatkan akting/penokohan yang khusus dibuat untuk penayangan di layar kaca. Termasuk di dalamnya adalah acara komedi situasi. 8. Acara lain-lain Acara yang tidak terklasifikasikan sebagai salah satu dari acara di atas dikelompokkan dalam acara lain-lain.
Sinetron
Film
-3
-3
Infotainment Acara Anak Dokumenter
-3
-3
-3
Berita
Analisis
-3
-3
Guna mempermudah upaya melihat pola informasi yang disampaikan oleh seluruh stasiun televisi, kita mengklasifikasi-ulang setiap acara yang ditayangkan ke dalam level pengukuran tertentu. Mulai dari yang paling informatif dan nonfiksi, hingga paling menghibur dan fiksi (gambar 4.4.1.). Data deret waktu dari acara setiap stasiun TV yang diklasifikasi menurut kategorisasi tersebut dapat kita lihat pada gambar 4.4.2.
Gambar 4.4.1. Kategorisasi acara ke dalam level nonfiksi-informatif dan fiksi-hiburan.
Gambar 4.4.2 Deret waktu penayangan acara 10 stasiun televisi swasta di Indonesia berdasarkan level nonfiksi-informatif dan fiksi-hiburannya.
Dari jenis acara televisi tertentu yang disuguhkan dan frekuensi dari tayangan tersebut, kita bisa memberikan pengukuran tertentu mengenai efek yang ditimbulkannya di masyarakat. Dominasi acara hiburan-fiksi berupa sinetron, film dan infotainment merupakan pola yang bisa kita amati dari grafik tersebut. Jenis acara tersebut senantiasa hadir dan ditayangkan dalam setiap waktunya oleh stasiun yang berbeda, silih 4-4-3
berganti. Sehingga bisa dipastikan bahwa hampir dalam setiap waktu, kita bisa mendapati kategori acara tersebut ditayangkan di televisi. Disadari atau tidak, acara sinetron, film dan infotainment menggambarkan suatu realita tertentu, yang tentunya akan berdampak pada bagaimana cara pandang atau perspektif konsumennya dalam memandang realita yang terjadi di sekitarnya. Yang tentunya perlu kita perhatikan adalah bagaimana efek yang terjadi ketika konten atau isi dari jenis penayangan tersebut didominasi oleh penggambaran realita masyarakat yang jauh dari kenyataan yang sesungguhnya, seperti gaya hidup mewah dan pola-pola konsumeristik, kekerasan, dan lain sebagainya. Hal yang menarik lainnya yang bisa kita amati adalah bagaimana komposisi dari masing-masing stasiun televisi terhadap jenis acara sinetron. Seperti yang telihat pada gambar 4.4.3., terdapat total 3186 menit atau sekitar 53 jam tayangan sinetron di televisi kita rata-rata per hari. Dalam sisi stasiun televisi, SCTV, RCTI, INDOSIAR, dan TPI merupakan empat stasiun yang secara dominan menayangkan sinetron sepanjang hari. Hal ini cukup menarik jika kita kontraskan dengan jenis acara berita dan analisis (gambar 4.4.6.), di mana tayangan berita dan dokumenter yang semestinya lebih informatif bagi penonton cenderung sangat sedikit. Pengecualian tentu adalah stasiun MetroTV yang memang mengkhususkan diri sebagai televisi berita. Gambar 4.4.3. Rata-rata lama tayangan sinetron per hari sinetron di televisi (dalam menit).
Dari sisi sejarah, sinetron (sinema elektronika) merupakan sebuah solusi ketika perfilman Indonesia mandeg pada kisaran 1980-an. Jenis siaran ini lahir ketika adanya regulasi bahwa siaran televisi minimal harus 80% program produksi lokal dengan tujuan agar tayangan layar kaca lebih menggambakan kondisi sosial dan budaya nasional dan menghempang sedikit banyak pengaruh dari siaran ulang berbagai acara televisi asing di tanah air. Namun, hal ini menjadi sebuah permasalahan pelik ketika sinetron justru menampilkan berbagai hal yang justru “asing” bagi 4-4-4
masyarakat Indonesia. Analisis tematik terhadap sinetron yang dilakukan oleh Wahyudi (2005) terhadap berbagai tayangan sinetron Indonesia menunjukkan bahwa tema-tema yang dominan justru adalah tema-tema melodramatik seperti pengkhianatan, cinta segitiga, kejahatan ibu tiri, keretakan rumah tangga dan hal-hal yang identik balas dendam ditambah dengan latar belakang kehidupan glamor dan mewah yang tentu saja “asing” bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang komposisi penduduknya menunjukkan 60 juta penduduknya berada di bawah garis kemiskinan (2005). Gambar 4.4.4. Rata-rata lama tayangan sinetron dan gosip artis dan selebritis per hari di televisi (dalam jam).
Berbagai kritikus film dan hiburan audio-visual mengungkapkan adanya kecenderungan keinginan kalangan borjuis film (produsen film) untuk menampilkan apa yang tidak biasa dimiliki oleh masyarakat luas. Ia menciptakan kepuasan semu (pseudo-satisfaction) dalam bentuk seksualitas, politik, emosional, ekonomi, bahkan metafisika yang kesemuanya melegitimasi alienasi (pengasingan) yang dilakukan oleh kapitalisme. Lebih jauh, penonton akan mendelegasikan kekuatannya untuk melakukan perubahan masyarakat ke dalam karakter yang disajikan tontonan tersebut. Ini merupakan pompa masyarakat sehingga permisif dan hidup dalam dunia imajiner dan melupakan realitas yang dihadapinya sendiri. Tampilan dalam sinetron kebanyakan saat ini dikritisi memberikan proses pengasingan diri anggota masyarakat dari realitas. Energi yang seharusnya dapat tersalurkan dalam sikap kritis terhadap permasalahan dalam lingkungan sosial tersedot dalam dunia imaji yang terdelegasi ke arah sikap kritis atas tampilan karakterisasi yang ditunjukkan oleh tontonan. Apa yang tidak mungkin dalam kenyataan, adalah mungkin dalam sinematografi. Namun sebaliknya, terdapat umpan balik positif yang tidak menarik, ketika terjadi konstruksi sosial yang memunculkan pola bahwa apa yang kita lihat di layar kaca menjadi seolah mungkin terjadi dalam hidup sehari-hari. 4-4-5
Gambar 4.4.5 Fraksi jam tayang acara sinetron dan infotainment dari 10 stasiun televisi di Indonesia (atas) dan fraksi jam tayang acara berita dan analisis dari 10 stasiun televisi di Indonesia (bawah).
Konstruksi realitas dalam ruang pribadi anggota masyarakat dalam televisi, termasuk pula acara infotainment yang seperti sinetron, tak jarang menampilkan realita hidup glamor dan mewah. Pada gambar 4.4.4. kita dapat melihat bahwa setiap hari terdapat lebih dari 86 jam tayangan sinetron dan gosip artis di televisi. Ketimpangan jenis tayangan informasi dan sinetron atau infortainment terlihat pada grafik di gambar 4.4.5. Terdapat 5 stasiun televisi yang begitu dominan dalam penayangan jenis acara sinetron dan infotainment dengan fraksi jam tayang terhadap keseluruhan jam siaran hampir setengahnya. Hal ini berbeda dengan jenis acara diskusi dan analisis, di mana fraksi jam tayang yang dimiliki oleh stasiun TV tidaklah semerata tayangan jenis sinetron dan infotainment, dengan fraksi yang secara keseluruhan sangatlah kecil jika dibandingkan dengan acara jenis sinetron dan infotainment. Dari sini kita bisa melihat bahwa jenis acara sinetron dan infotainment mendominasi tayangkan televisi di Indonesia. Data deret waktu dari program-program televisi, pada dasarnya bisa kita lihat sebagai untai atau sekuen dengan pola tertentu. Secara umum, untai atau sekuen tersebut bisa kita gunakan untuk melihat bagaimana suatu stasiun yang satu mempunyai kedekatan dengan stasiun yang lainnya. Biasanya kebanyakan orang mengaitkan hal tersebut sebagai segmentasi pasar atau pemirsa. Tentunya secara sekilas kita bisa memahami bahwa “jarak” antara satu stasiun akan sangat besar tatkala program yang ditampilkannya begitu berbeda satu sama lain. Melalui metode penjajaran sekuen (sequence alignment method) yang umum digunakan dalam analisis biomolekular untuk melihat kemiripan untai-untai gen atau asam amino dari spesies yang berbeda, kita ingin mengukur kedekatan stasiun TV berdasarkan jenis kategori siarannya. 4-4-6
Gambar 4.4.6. Rata-rata lama tayangan siaran yang dikategorikan informatif per hari di televisi (dalam jam).
Pohon “stasiun televisi” yang didapatkan dengan metode yang dijabarkan di atas, dapat kita lihat pada gambar 4.4.7. Seperti terlihat pada gambar tersebut, secara umum, stasiun televisi terbagi menjadi dua kelompok besar, yaitu RCTI, SCTV, INDOSIAR, TRANSTV dan TPI sebagai kelompok pertama dan ANTV, GLOBALTV, TRANS7, LATIVI dan METRO sebagai kelompok kedua. Pola pengelompokan yang membrojol dari stasiun televisi tersebut akan menggambarkan bagaimana kesamaan dari program acara yang ditayangkannya. Dari sini kita bisa mengukur seberapa jauh stasiun televisi dengan televisi lainnya dilihat dari jadwal dan durasi dari program yang ditayangkannya. Di sini telihat bahwa METROTV dan SCTV, sebagai dua stasiun yang memiliki share jadwal dan durasi yang dominan untuk dua jenis acara yang sangat berbeda, terkelompok pada pohon yang berbeda. Gambar 4.4.7. Pohon stasiun televisi di Indonesia berdasarkan kategori acara dalam observasi selama satu minggu siaran.
4-4-7
Lebih jauh, kita juga mendapatkan 4 buah kelompok kecil stasiun televisi di Indonesia. METROTV mengelompok ke dalam satu kelompok tersendiri. Hal ini semakin menunjukkan adanya perbedaan atau segmentasi dari acara yang ditampilkan METROTV dibandingkan stasiun lainnya, dalam hal ini acara berita dan analisis. RCTI, SCTV, TPI, INDOSIAR dan TRANSTV masih mengelompok ke dalam kelompok yang sama. Hal menunjukkan tingkat kesamaan yang tinggi dari masing-masing stasiun tersebut, dari sisi acara dan durasi acara yang ditayangkan. Yang cukup menarik adalah munculnya dua kelompok stasiun televisi yang baru, yaitu TRANS7 dan GLOBALTV, serta ANTV dan LATIVI. Hal ini tentunya memunculkan dugaan bahwa kedua kelompok stasiun ini memiliki karakteristik atau segmentasi yang berbeda dalam hal jenis, jadwal penanyangan acara dan durasi. Pengelompokan stasiun televisi, ke dalam bagian-bagian tertentu, membrojol ketika ia digambarkan pada suatu pohon evolusioner yang dibuat berdasarkan data sekuen acara stasiun televisi tersebut. Dari pola pengelompokan tersebut, kita bisa mendapatkan perbedaan antar stasiun televisi berdasarkan jenis, jadwal dan durasi tayangannya. Hal ini akan memberikan gambaran bagaimana pola atau struktur kedekatan antar stasiun televisi. Lebih jauh, ia akan memberikan gambaran dari pesan dan informasi yang disampaikan stasiun televisi ke publik. Saat ini, sinema elektronika mendominasi pasar media televisi. Kondisi ini mendorong munculnya sejumlah kritik yang menyebutkan pentingnya upaya meningkatkan mutu siaran sehingga tak sekadar menunjukkan pola hidup mewah. Upaya ini diharapkan dapat memberikan umpan balik terhadap permasalahan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam realitas sosial di Indonesia. Realitas sosial imajiner yang muncul di layar kaca dapat menciptakan berbagai hal yang tak terukur dan menjadi biang keladi sifat chaotik dari realitas sosial. Sifat chaotik dan tak terprediksi tersebut, dalam dugaan kritik media modern, dapat memberi dampak buruk bagi pertumbuhan sosial. Produser media massa televisi seyogianya perlu memiliki wawasan wiyatamandala sehingga televisi tak hanya menjadi sebuah kotak hiburan di ruang pribadi anggota masyarakat. Televisi seharusnya mampu memberikan sejumlah pemahaman baru sehingga dengan kritis dapat mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi sehari-hari. Bagaimanapun, televisi memberi pengaruh bagi sustainabilitas diseminasi konsep-konsep wawasan nusantara.
4-4-8
4.5. Pendidikan Nasional: Sejati Wawasan Wiyatamandala Pendidikan adalah inti dari Wawasan Wiyatamandala. Pendidikan dalam beberapa aspek merupakan perwujudan paling nyata dari Wawasan Nusantara. Ia berkenaan dengan pembangunan abstraksi tentang bagaimana seorang individu Indonesia memandang dirinya sendiri dan bangsanya, di tengah kehidupan masyarakat lokal, nasional, maupun internasional. Wawasan Wiyatamandala seyogyanya dibangun dengan penghayatan nilai-nilai luhur bangsa dalam resultante-nya dengan metodologi dan prinsip-prinsip ilmiah. Sungguh disayangkan jika dalam beberapa sisi Wawasan Wiyatamandala justru seringkali tereduksi ke dalam bentuk hal-hal superfisial seperti inagurasi dan sertifikasi belaka, yang lupa pada hakikat dasarnya. Pendidikan dalam definisi umum sepantasnya menciptakan manusia Indonesia yang berkesadaran nasional bukan manusia-manusia picik, yang justru mengambil berbagai manfaat semu dari kehidupan saintifik untuk keperluan dan kepentingan pribadi. Pendidikan formal hanyalah sebuah bagian kecil dari definisi pendidikan secara umum. Citra masyarakat esok hari ditentukan oleh refleksi pendidikan hari ini, sama seperti apa yang terlihat hari ini adalah apa yang ditabur di masa silam.
4.5.1. Situasi Pendidikan Nasional Untuk melihat situasi pendidikan nasional, kita dihadapkan pada dua perspektif, yaitu melihat kuantitas dan kualitas hasil proses pendidikan nasional. Permasalahan pokok dari sisi kuantitas, dalam berbagai parameter di sistem pendidikan nasional, adalah masalah pemerataan. Sebuah contoh yang diketengahkan di sini adalah fraksi populasi yang pernah bersekolah hingga ke jenjang pendidikan tinggi. Ini ditunjukkan pada gambar 4.5.1. Pada kartogram tersebut ditunjukkan bahwa kebanyakan penduduk Indonesia masih memiliki jenjang pendidikan yang sangat rendah. Secara populasi, penduduk yang pernah bersekolah sampai ke tingkat perguruan tinggi masih sangat sedikit. Penduduk berijazah berkumpul di kawasan penduduk padat, yaitu wilayah-wilayah di Pulau Jawa. Hal yang unik terlihat di Propinsi Jawa Tengah. Wilayah dengan penduduk yang relatif besar tersebut memiliki fraksi pendidikan terakhir yang relatif lebih rendah daripada wilayah Jawa bagian barat dan timur. Namun, terdapat fraksi populasi berpendidikan tinggi yang terkonsentrasi di daerah Propinsi Yogyakarta. Fraksi 30% penduduknya berijazah D3/S1 hanya terdapat di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ini kontras dengan daerah lainnya di Indonesia.
4-5-1
Gambar 4.5.1. Kartogram yang luas wilayahnya dibuat proporsional terhadap jumlah penduduk dan diwarnai dengan fraksi populasi berdasarkan pendidikan terakhirnya. Semakin terang satu wilayah, semakin besar fraksi lulusan D3/S1-nya (sumber: Sensus Penduduk, 2000). NAD
SUMUT
KEPRI
SULUT
RIAU
KALBAR
SUMBAR
KALTIM KALTENG KALSEL
BABEL JAMBI
GORONTALO
SULTENG
MALUT
SUMSEL BENGKULU
SULSEL
LAMPUNG
DKI BANTEN
PAPUA SULTRA
MALUKU
JATENG
JABAR JATIM BALI DIY
NTB
NTT
Berbagai laporan telah banyak yang memberikan deskripsi sarana dan prasarana pendidikan nasional di Indonesia. Ada banyak sarana fisik pendidikan yang masih memprihatinkan. Hal ini ditambah lagi dengan faktor prasarana penunjang kegiatan belajar mengajar seperti laboratorium, lapangan olahraga, dan sebagainya. Sekolah dan perguruan tinggi terbaik di luar Pulau Jawa masih memiliki standar yang lebih rendah ketimbang berbagai lembaga pendidikan serupa di Pulau Jawa. Dari sisi kualitas, ketidakmerataan mutu pendidikan ternyata juga menyimpan banyak ketimpangan. Hal ini dapat kita lihat pada kartogram pada gambar 4.5.2. Rata-rata nasional dari UAN (Ujian Akhir Nasional) 2006 terasa telah membaik dari tahun-tahun sebelumnya (terlihat dari warna putih total wilayah pada kartogram). Namun di sini, kita perlu memperhatikan faktor sebaran hasil tersebut. Kita masih dapat melihat bercak-bercak warna kuning, yang menunjukkan masih relatif rendahnya nilai rata-rata total hasil UAN 2006 di Indonesia. Daerah-daerah di pulau Kalimantan, kawasan Timur Indonesia dan Propinsi NAD (Aceh) memiliki hasil UAN 2006 yang masih relatif rendah. Meski penduduknya relatif sedikit, perbedaan nilai rata-rata ini perlu mendapat perhatian serius karena hasil UAN sedikit banyak memberikan representasi kondisi relatif kualitas sistem pendidikan nasional di kawasan yang bersangkutan. Kawasan Pulau Jawa bagian barat dan timur memiliki nilai rata-rata UAN 2006 yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan lainnya di Indonesia.
4-5-2
Gambar 4.5.2. Kartogram yang luas wilayahnya dibuat proporsional terhadap jumlah penduduk dan diwarnai dengan fraksi populasi berdasarkan nilai rata-rata Ujian Akhir Nasional tahun 2006 (sumber: Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia).
NAD SUMUT
KEPRI
SULUT
KALTIM
RIAU
GORONTALO
KALBAR
SUMBAR
MALUT
SULTENG
KALTENG
BABEL
KALSEL
JAMBI
SULSEL
SUMSEL BENGKULU
LAMPUNG
SULTRA
DKI BANTEN
MALUKU
PAPUA
JATENG
JABAR
JATIM BALI DIY
NTB
NTT
Lalu, bagaimana dengan partisipasi peserta didik terhadap event sains dan prestasinya? Sebuah contoh yang menarik ditunjukkan pada kartogram pada gambar 4.5.3. Kartogram tersebut menunjukkan peta wilayah Indonesia yang ukurannya dibuat berdasarkan banyaknya peserta yang ikut dalam seleksi nasional tingkat provinsi untuk Olimpiade Sains Nasional 2007 bidang studi fisika. Meski masih didominasi oleh siswa-siswa di daerah Pulau Jawa (terlihat relatif lebih "gemuk" daripada wilayah-wilayah lain), namun terlihat bahwa mereka yang dari daerah luar jawa pada dasarnya mampu bersaing. Gradasi hitam ke putih (grayscale) menunjukkan persentase jumlah siswa yang dari hasil seleksi menunjukkan nilai > 10. Propinsi Jawa Barat terlihat mendominasi (dengan warna putih). Namun, beberapa wilayah di luar Pulau Jawa, meski jumlah pesertanya tidak sebanyak dari wilayah di Pulau Jawa, menunjukkan persentase yang relatif bersaing. Ini tentu sedikit banyak memberikan deskripsi tentang prestasi bangsa yang tergolong telah dihormati di dunia kompetisi fisika dunia, dengan mendominasi berbagai olimpiade fisika di level internasional. Kemampuan akuisisi saintifik ilmu fisika di kalangan pelajar ini dapat pula kita zoom pada hasil UAN 2006 untuk mata pelajaran matematika. Pada gambar 4.5.4. terlihat bahwa untuk Pulau Jawa, hanya beberapa daerah saja yang rata-rata nilai matematikanya dapat dikategorikan relatif baik (di atas nilai 8). Secara rata-rata, keseluruhan wilayah-wilayah ini relatif terdominasi oleh warna kekuningan, yang merepresentasikan nilai ratarata di atas 7. Hal ini menunjukkan kemampuan matematika yang relatif baik di samping excellency atas kemampuan akuisisi ilmu yang dikenal sulit tersebut. 4-5-3
Gambar 4.5.3. Kartogram yang luas wilayahnya dibuat proporsional terhadap banyak peserta yang berpartisipasi pada Olimpiade Sains Nasional 2007 bidang studi fisika dan skala warna berdasarkan prestasi peserta pada event tersebut (sumber: Tim Olimpiade Fisika Indonesia).
NAD SUMUT
KEPRI
RIAU SUMBAR
BABEL
JAMBI
KALTIM KALBAR KALTENG KALSEL
SUMSEL
SULUT GORONTALO
SULTENG
MALUT
SULSEL
BENGKULU
SULTRA
LAMPUNG
MALUKU
PAPUA
DKI
BANTEN
JABAR
JATENG DIY
Gambar 4.5.4. Kartogram yang wilayahnya dibuat proporsional dengan jumlah penduduk di pulau Jawa (tidak termasuk DKI) dan diwarnai dengan nilai rata-rata total pelajaran Matematika pada ujian akhir nasional pada tahun 2006 (sumber: Sensus Penduduk, 2000 dan Depdiknas RI).
JATIM BALI
NTB
NTT
TANGGERANG
BEKASI BOGOR BANDUNG
SEMARANG SURABAYA SIDOARJO YOGYAKARTA MALANG
Tren masyarakat ilmu pengetahuan dunia, bahkan termasuk di ilmu sosial, yang menuntut kemampuan akuisisi ilmu matematika tentu perlu mendapat perhatian khusus agar pencapaian anak-anak Indonesia di panggung ilmu pengetahuan dunia tidak ketinggalan. Bagaimanapun juga, berbagai prestasi yang telah diraih oleh anak-anak bangsa melalui olimpiade internasional di beragam bidang studi, yaitu Fisika, Biologi, Kimia, Matematika, Astronomi, termasuk Komputasi, telah terbilang mampu mengharumkan nama bangsa. Fokus perhatian pembangunan pendidikan nasional di bidang ini bukan tak mungkin akan menghasilkan putra bangsa yang suatu hari akan mendapatkan berbagai apresiasi internasional di berbagai bidang. Di samping ini tentunya, hal yang paling penting adalah kemampuan anak bangsa untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari dengan menggunakan perangkat sains, matematika, dan pendekatan komputasi termutakhir. 4-5-4
Tim Indonesia bersama Profesor Yohanes Surya seusai acara penutupan th International Physics Olympiad 38 2007.
4.5.2. Tren Ilmu Pengetahuan dan Akuisisi Masa Depan Adalah menarik untuk melihat perkembangan ilmu pegetahuan saat ini dari sudut pandang masyarakat luas yang memandang sains, baik sains sosial maupun sains alam, sebagai sebuah hal yang dapat menjawab berbagai kesulitan hidupnya. Untuk melihat tren ini, kita menggunakan hasil retrieve untuk beberapa kata kunci di mesin pencari Google. Kita tentu mengetahui bahwa mesin pencari dapat menggambarkan informasi apa yang diinginkan oleh kebanyakan pengguna internet. Semakin tinggi kata kunci yang sering digunakan oleh pengguna internet, khususnya pada mesin pencari, maka nilai informasi yang direpresentasikan oleh kata kunci tersebut menjadi semakin tinggi pula. Hasil tren pencarian yang diperoleh menggunakan GoogleTrends, sebagaimana ditunjukkan pada gambar 4.5.5., menggambarkan jumlah hit kata-kata kunci yang digunakan oleh pengguna internet di berbagai wilayah, termasuk seluruh kawasan pengguna internet di dunia. Dalam gambar tersebut terlihat bahwa pencarian dengan kata kunci “ekonomi” menjadi dominan. Urutan ini diikuti oleh kata kunci “matematika”, “psikologi”, “fisika”, dan akhirnya “sosiologi”. Tren ini sedikit banyak menunjukkan bahwa hal-hal yang berkenaan dengan ekonomi merupakan favorit dari urutan pencarian populasi pengguna internet di Indonesia. Hal-hal yang berkaitan dengan ilmu sosiologi kurang mendapat “tempat” di internet. Terdapat sebuah keingintahuan yang besar dari pengguna internet terhadap ikhwal “ekonomi” dibandingkan dengan aspek sosiologis. Namun perlu pula kita perhatikan bahwa volume pemberitaan online dengan kata kunci “ekonomi” juga relatif tinggi. Hal ini menandakan bahwa terdapat event yang juga cukup tinggi berkaitan dengan kata kunci tersebut. Selain itu, ikhwal ilmu sosial yang juga menarik bagi banyak pengguna internet adalah psikologi yang volume pencariannya dekat dengan bidang ilmu alam seperti fisika dan matematika.
Pemasyarakatan sains fisika dengan mengetengahkan fisika yang mampu menjawab banyak persoalan seharihari secara menyenangkan.
“Pendidikan adalah akuisisi dari seni dan penggunaan pengetahuan.” Alfred North Whitehead (1861-1947)
4-5-5
Gambar 4.5.5. Tren pencarian dengan kata kunci “ekonomi”, “sosiologi”, “psikologi”, “fisika”, dan “matematika” untuk pengguna internet di wilayah Indonesia.
Gambar 4.5.6. Tren pencarian dengan kata kunci untuk ilmu-ilmu sosial di wilayah pengguna internet di Amerika Serikat.
4-5-6
Temuan ini dapat kita bandingkan dengan tren pencarian di Amerika Serikat dan dunia yang menunjukkan pola yang agak berbeda sebagaimana digambarkan pada gambar 4.5.6. dan 4.5.7. Pencarian informasi yang berkaitan dengan “psikologi” dan “fisika” sama kuat untuk tren pencarian di wilayah Amerika Serikat dan dunia secara umum. Untuk tren pencarian di wilayah Amerika Serikat, meskipun volume pemberitaan online di bidang ekonomi sangat tinggi, pencarian di bidang fisika dan psikologi juga mendapat hit yang sangat signifikan. Adakah kaitan pencarian dengan kata kunci “psikologi” ini berkenaan dengan animo bahwa tekanan psikologis di negara maju sangat tinggi akibat individualisme yang berkembang meluas di sana? Hal ini tentu tak bisa dijawab hanya dengan sekadar melihat tren mesin pencari internet. Namun yang ingin kita soroti di sini adalah, dari sisi tren pencarian informasi di berbagai bidang ilmu pengetahuan, kata kunci “sosiologi” tetap berada jauh di bawah bidang ekonomi termasuk psikologi. Selain itu, tingginya tren pencarian “fisika” menunjukkan tingginya keingintahuan pengguna internet atas bidang ini meskipun di sisi lain, kata “matematika” berada jauh lebih rendah.
Gambar 4.5.7. Tren pencarian dengan kata kunci untuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam oleh pengguna internet di seluruh dunia.
Terdapat sebuah tren sains dunia yang apresiatif terhadap fisika, setidaknya secara populer, karena seperti yang kita lihat bersama, kata kunci di bidang matematika ternyata relatif jauh lebih rendah. Lebih spesifik, ketika kita juga ingin mengetahui sejauh mana minat pengguna internet terhadap bidang-bidang sains lain seperti biologi dan kimia maka temuan kita akan cukup menarik, karena tingkat pencarian bidang kimia sama tinggi dan terkadang lebih tinggi daripada fisika. Yang jelas, pencarian dengan kata kunci “fisika”, “kimia”, dan “biologi” masih lebih tinggi daripada kata kunci “ekonomi” padahal dari sisi volume pemberitaan, kata kunci “ekonomi” jauh mendominasi realm dunia internet. Menarik pula untuk melihat naik turunnya pencarian di bidang fisika ketika ada event fisika, seperti peristiwa penganugerahan hadiah Nobel, dan sebagainya, yang menaikkan rate pencarian kata kunci ini. Setiap kali terdapat peningkatan volume pemberitaan dengan kata kunci “fisika”, maka di publik terdapat tren lonjakan pencarian terhadap kata tersebut. Karakteristik pencarian dengan kata kunci pengguna internet di seluruh dunia dan pengguna internet di Indonesia ternyata memberikan pola yang sangat berbeda. Ketertarikan pada isu-isu ekonomi jauh lebih mendominasi daripada isu-isu di bidang sains di Indonesia, sementara isu sosiologis animonya tidak terlalu tinggi. Sedikit banyak apa yang diketik oleh pengguna Google Search Engine pada dasarnya menggambarkan 4-5-7
pola ketertarikan orang Indonesia terhadap ilmu pengetahuan tersebut secara spesifik. Ketika ekonomi menempati ranking tertinggi, ternyata sosiologi kurang begitu tinggi. Demikian pula sains alam, ilmu ini sangat terasa kurang diminati bahkan secara populer. Berbagai anggapan skeptis tentang ilmu-ilmu alam dan matematika mungkin melatarbelakangi hal ini. Di Indonesia, sains belum dianggap sebagai sebuah solusi untuk memecahkan permasalahan negeri. Hal ini tentu merupakan permasalahan yang besar bagi dunia pendidikan. Keterpisahan sains dan permasalahan bangsa berakibat lembaga pendidikan menjadi tak lebih sebagai institusi pemberi lisensi untuk keperluan penggajian, kedudukan sosial, prestise, dan sebagainya yang justru sangat tidak mencerminkan ketajaman sains dalam mengatasi persoalan.
4.5.3. Mengobati Rabun Wawasan Wiyatamandala Pendidikan seorang manusia, bagaimanapun juga, adalah sebuah sistem kompleks tersendiri yang tersimpan dalam pola kognitif masyarakat, yang terejawantah secara populis dalam cerminan budaya. Persekolahan harus menjadi semacam ajang kaderisasi bagi pengembangan masyarakat. Ia menjadi pilar-pilar kemajuan masyarakat. Lebih jauh, jika kita ingin masyarakat maju di kemudian hari, maka pendidikan harus benar-benar diperhatikan. Namun, pendidikan di Indonesia memiliki kecenderungan yang menarik di tengah-tengah kondisi masyarakat saat ini. Sekolah telah benar-benar terpisah dari realitas sosial. Siswa tidak lagi memahami Fisika sebagaimana Isaac Newton memahaminya, namun memahaminya sebagai kumpulan rumus untuk meluluskannya dalam ujian. Sekolah tidak lagi menjadi ‘barang’ yang menarik, karena ia hanyalah menjadi sebuah tempat yang rutin bagi seseorang dalam menjalani hari, dari pagi hingga petang. Sekolah dipersepsikan menjadi pelambat proses biologis, karena ia memperlambat usia pernikahan, dan tak lebih dari itu. Sekolah menjadi pencetak nama-nama anggota masyarakat di lembar-lembar ijazah dan bukan pencetak intelektual. Rutin pencetakan nama di ijazah tersebut adalah duduk di bangku sekolah/kuliah, mengerjakan tugas, praktikum, dan sebagainya sementara apa yang didiskusikan, dipraktikumkan, atau ditugaskan, menjadi terpisah dari realitas yang dialami dalam hidup sehari-hari.
“Pendidikan adalah metode yang hakiki dalam perbaikan dan kemajuan sosial. Pendidikan adalah regulasi dari proses pembentukan kesadaran sosial; dan pembinaan aktivitas individual atas dasar kesadaran sosial ini adalah metode yang pasti dari rekonstruksi sosial.” John Dewey (1859–1952)
4-5-8
Dalam lingkaran produktivitas masyarakat, seharusnya lembaga pendidikan merupakan sebuah institusi yang melahirkan generasi angkatan kerja yang memiliki kemampuan tertentu ketika akhirnya berkarya di tengah-tengah masyarakat. Sertifikasi yang diberikan oleh institusi pendidikan menunjukkan kualitas dari seorang anggota masyarakat (siswa dan mahasiswa) selama menuntut ilmu di lembaga yang bersangkutan. Sekolah dan kampus adalah tempat mengakuisisi seni budaya dan menggunakan pengetahuan bagi masyarakat maupun bagi peserta didik. Namun apa yang terjadi ketika terjadi bentuk-bentuk
pengasingan dari apa yang dipelajari di sekolah/kampus dengan kehidupan nyata bermasyarakat? Gelombang akibat pertama adalah daya saing yang rendah dari lulusan lembaga pendidikan tersebut. Para sarjana (dalam terminologi scholar, atau meliputi seluruh strata pendidikan di Indonesia), secara umum, menjadi tidak mampu menjawab tantangan sosial yang ada. Lemahnya daya saing kita, yang diperparah dengan eksisnya tren globalisasi di mana di dalamnya bermunculan kompetisi terbuka tenaga kerja asing dan nasional, melemahkan ketahanan sosial masyarakat. Gelombang akibat kedua adalah munculnya berbagai jalan pintas (short-cut) yang ingin meniadakan proses belajarmengajar di sekolah dan perguruan di Indonesia. Permasalahan jual-beli gelar dan kasus-kasus pemalsuan ijazah yang diberitakan di berbagai media massa merupakan sebuah hal yang muncul sebagai gelombang kedua ini. Gelar kesarjanaan seringkali tak lagi mencerminkan kapabilitas seseorang, melainkan hanya sebagai alat peninggi prestise dalam division of labor. Hal ini tentu menimbulkan permasalahan baru, yakni ketidakmampuan sarjana menghasilkan karya nyata dalam kehidupan sosialnya. Ideologi pekerjaan bukan lagi dipandang sebagai sebuah karya tapi justru direndahkan menjadi sebatas wahana pemenuhan bentuk-bentuk materi berupa uang, prestise, dan sebagainya yang ketika hal ini bersentuhan dengan tugas cendekiawan dan sarjana untuk menjadi “tameng” sosial dalam mempertahankan nilai-nilai luhur masyarakatnya. Ia menjadi tidak relevan. Akibatnya, tidak lain dan tidak bukan, adalah korosi di sana-sini dalam sistem sosial.
“Tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap sistem dan ‘ideologi yang dominan’ yang tengah berlaku di masyarakat, serta menantang sistem tersebut untuk memikirkan sistem alternatif ke arah transformasi sosial menuju suatu masyarakat yang adilI.” Mansour Fakih (1953-2004)
Gambar 4.5.8. Siklus produktivitas dan rekrutmen sosial dalam masyarakat serta jalan pintas yang muncul dan melemahkan pranata budaya masyarakat.
Masyarakat Rekrutmen Sosial
Nilai-nilai Sosial
Karya yang semestinya menjadi sebuah bentuk pemicu pembangunan masyarakat tidak mampu menjalankan fungsinya sebagai alat untuk meningkatkan kualitas masyarakat
Sekolah/ Perguruan
Pembangunan Masyarakat
Uang, Prestise dan Kedudukan
Pekerjaan
Ketika lembaga pendidikan formal terbukti tak mampu menjawab tantangan sosial yang ada dan ketika representasi hasil sekolah lebih berdasar pada lembaran sertifikasi daripada kualitas sumber daya manusia.
Sertifikasi Rekrutmen Sosial
Korupsi di tengah masyarakat, di mana pekerjaan menjadi terorientasi pada nilai material semata daripada suatu proses yang menghasilkan karya.
4-5-9
Secara singkat motif pendidikan yang tak lagi bersandar pada kebenaran ilmiah dan pola hidup akademis ini menimbulkan dua paradoks yang hanya jelas terlihat ketika kita berpijak pada lingkaran produktivitas sebagaimana digambarkan pada gambar 4.5.8.
“Pendidikan haruslah membebaskan peserta didik dari apa yang menindasnya. Pendidikan harus diartikan sebagai proses penyadaran bahwa nasib harus diubah.” Paulo Freire (1921-1997)
Paradoks Pertama Untuk mendapatkan sebuah pekerjaan atau proyek kerja tertentu, dibutuhkan ijazah setinggi-tingginya bahkan sistem pengupahan dibuat berdasarkan jenjang pendidikan tertentu dalam berbagai instansi baik swasta maupun pemerintah. Di sini, berkembang pemahaman umum yaitu “hanya sedikit yang kita peroleh di bangku sekolah/kuliah yang dapat diimplementasikan dalam dunia kerja kelak”. Paradoks Kedua Seseorang belajar untuk mendapatkan ijazah agar ia memperoleh uang. Namun orang yang ber-uang tidak boleh membeli ijazah. Bagaimana perspektif kompleks memandang paradoks ini secara sosial? Realitas yang terdapat antara motif mikro dan situasi makro merupakan hal yang sulit untuk dikerjakan dalam perspektif sosiologi konvensional, karena sifat hubungan keduanya yang sangat tak linier. Faktor mikro berupa motif pribadi individu dalam memperoleh pendidikan, yang dalam hal ini direduksi menjadi sebatas standardisasi mental dalam bentuk sertifikasi, membrojolkan situasi makro berupa persepsi dan ekspektasi anggota masyarakat yang besar atas sistem sosial masa depan, yang akibatnya justru mendorong orang untuk berbondong-bondong bersekolah setinggi-tingginya, namun bukan untuk perolehan pemahaman ilmu melainkan pencapaian status sosial dan ekonomi yang lebih baik. Di level ini, sekolah tak pelak menjadi candu bagi masyarakat, sebagaimana seringkali diungkapkan oleh kritikus pendidikan. Keterpisahan dari apa yang hendak diakuisisi melalui sistem pendidikan di satu sisi, dan tuntutan dunia kerja pada pasar tenaga kerja di sisi lain, menjadi kesulitan tersendiri yang dialami oleh para sarjana dalam memberikan sumbangsih nyata karya-karyanya dalam membangun masyarakat. Dari sini, berbagai jalan pintas untuk mendapatkan uang pun bermunculan, mulai dari yang legal hingga melalui praktik-praktik korupsi. Praktik korupsi tentu menyebabkan sistem ekonomi menjadi tidak efisien yang akibatnya menimbulkan korosi ekonomis di tengah kehidupan ekonomi bangsa secara umum.
Semesta Mendukung (Mestakung): bagaimana belajar menjinakkan kompleksitas kehidupan sosial dari alam untuk mencapai tujuan.
4-5-10
Di sisi lain, terdapat pula aspek kausasi sebagai umpan balik positif dari level makro ke level mikro. Di sini, situasi makro yang ada menjadi sebab dan dasar motif bagi elemen mikro masyarakat. Pandangan dan penghargaan yang kelewat tinggi dari anggota masyarakat atas pelabelan-pelabelan akademis menjadi sebab pilihan-pilihan agen sosial ekonomi untuk mencari jalan pintas. Demand atas pelabelan-pelabelan ini memunculkan berbagai institusi pendidikan fiktif yang memperjualbelikan gelar “palsu”. Terus saja, sistem yang korup cenderung menginduksi agen sosial untuk juga menjadi korup. Kalaupun
tidak korup, jalan pintas yang ditempuhnya adalah berbagai praktik bisnis dan upaya pencarian uang yang tidak bersandar pada standar keahlian. Hal ini mungkin menjelaskan fenomena di kampus-kampus belakangan ini yang sibuk dengan berbagai wahana kewirausahaan, yaitu bagaimana menjadikan satu produk menjadi saleable tapi cenderung tanpa melewati proses pertambahan nilai. Ini adalah suatu hal yang sangat terasa perkembangannya, bahkan di kampus-kampus yang berbasis teknologi. Hal ini pula yang menjadikan bisnis Multi-Level-Marketing merasuki banyak kalangan terdidik, bahkan banyak di antaranya yang tengah berprofesi sebagai profesor di perguruan tinggi. Prinsip membuat produk tertentu menjadi saleable, menjadikan upaya pembangunan networking meningkat yang pada gilirannya memperkental cluster-cluster bisnis di berbagai kalangan. Hasilnya tentu bukan karya yang membangun masyarakat, melainkan justru beragam nepotisme praksis yang mempertegas garis batas kelas sosial. Keterkaitan faktor mikro-makro dalam bentuk kebrojolan dan kausasi inilah yang akhirnya melahirkan sistem pendidikan sebagaimana yang terlihat saat ini. Dalam paradigma feodalisme modern, kaum bersekolah menjadi kaum ningrat baru di kalangan masyarakat. Budaya muncul dari interaksi kompleks antara agen, sistem norma yang lahir dari kebiasaan, dan ketersediaan pranata fisik. Budayawan dan sosiolog kenamaan Indonesia, Koentjaraningrat (1997) mengungkap pranata sosial berpola membrojol dari sistem mikro sosial mulai dari sistem norma, personal, dan pranata fisik di mana individu hidup. Melalui dua paradoks yang ada di atas, dan kenyataan faktual yang digambarkan pada berbagai situasi statistik yang dikemukakan sebelumnya telah melahirkan apa yang kemudian kita kenal saat ini. Sekarang, kita lalu boleh bertanya, apakah sistem korup merupakan awal dari seluruh masalah dalam pranata sosial kita? Apakah impotensi ketenagakerjaan kita terjadi secara eksogen ( oleh faktor luar) atau justru lahir dari dalam (secara endogen)?
“…perlu perubahan mentalitas masyarakat Indonesia agar ia dapat maju.” Koentjaraningrat (1923-1999)
Gambar 4.5.9. Skema teoretis Koentjaraningrat (1997) tentang pranata kebudayaan.
Kenyataannya, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pengentasan permasalahan korupsi tidaklah segampang bentuk solutif tebang pilih mereka yang tersangka sebagai pelaku korupsi. Secara faktual, sulit untuk membendung demistifikasi gelar akademis melalui jual beli gelar yang marak terjadi, mengingat hal ini masih memenuhi teori supply-demand yang semestinya wajar. Kondisi ini terjadi karena tanpa sikap mental yang didominasi oleh pengkultusan individu berdasarkan label akademis yang melekat padanya, jual beli gelar tidak akan pernah populer dan laku di pasaran. 4-5-11
Tali-bertalian yang kompleks antar berbagai permasalahan sosial jelas terlihat di sini. Dengan memahami sistem sosial sebagai sebuah sistem kompleks, kita mengetahui bahwa keterkaitan antara mikro-makro (micro-macro linkage) memiliki hubungan yang sangat tak linier. Bagaimanapun juga, permasalahan terletak pada pranata yang berpusat pada kelakuan berpola yaitu bagaimana personal individu berinteraksi dengan sistem norma dan pranata fisik lingkungannya. Jelas bahwa, berbagai permasalahan sosial kita mesti dilihat dari aspek budaya mengingat permasalahan ini telah berlangsung bertahun-tahun bahkan puluhan tahun. Permasalahan sosial kita terletak pada bagaimana kita melihat sistem di mana kita hidup. Ketidakmampuan memandang masalah barangkali justru menjadi titik mula mengapa kita menjadi bermasalah. Perspektif tentang bagaimana kita memandang diri sendiri sebagai sebuah bangsa semestinya penting diperhatikan sebagai tolak awal. Di sini, Wawasan Wiyatamandala menjadi inti pokok sebagai bentuk turunan atas wawasan kita bernusantara. Kajian kompleksitas, yang notabene mengubah banyak perspektif konvensional ilmu sosial dan mendorong kajian interdisiplin, menawarkan banyak hal untuk mengatasi permasalahan ini. … Seonggok jagung di kamar tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode, dan hanya penuh hafalan kesimpulan, yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan. Aku bertanya : Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ? Apakah gunanya seseorang belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, atau apa saja, bila pada akhirnya, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata : “ Di sini aku merasa asing dan sepi !” (W.S. Rendra, Potongan Sajak Seonggok Jagung, 1975)
4-5-12
REFLEKSI KINI UNTUK MASA DEPAN
Tentang Terorisme Terorisme merupakan salah satu isu sosial politik terhangat dalam horizon masyarakat internasional saat ini. Kasus pasca perang Irak, isu seputar buronan Osama bin Laden dan kelompoknya, hingga kasus pasca pengadilan terpidana aksi terorisme di tanah air, merupakan isu-isu yang mendapat perhatian banyak kalangan dalam khazanah budaya dan politik nasional. Isu ini tentu saja sangat terkait dengan hubungan internasional. Kebanyakan anggota masyarakat berinteraksi langsung dengan isu tersebut melalui media massa. Interaksi ini biasanya monologis dalam bentuk pelaporan, reportase, atau pengkajian opini dan analisis di media massa. Dalam hal ini, sikap editorial media massa merupakan hal yang sangat penting dalam proses dan dinamika formasi opini, di seputar posisi isu tersebut di tengah-tengah masyarakat. Bab ini meletakkan fokus permasalahan pada sudut pandang jaringan kompleks dari konsep-konsep linguistik yang ditemui dalam korpora editorial dan tajuk utama di editorial media cetak nasional. Tujuannya adalah untuk mencari bagaimana media mengkonstruksi imagi tentang terorisme di dalam ruang kognisi masyarakat Indonesia. Deskripsi ini kita lengkapi dengan sebuah analisis serupa untuk mendeteksi respon aktif dan spontan dari masyarakat ketika salah satu dari editorial tersebut disajikan melalui media televisi. Keterkaitan antara dua hasil analisis ini diharapkan dapat memberikan sejumlah konjektur baru. Arahan tersebut tentu saja berkaitan dengan perspektif umum masyarakat terhadap isu terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat.
Bab 5
5.1. Isu Terorisme dan Kebijakan Luar Negeri AS Di Mata Media Nasional Stigmatisasi terorisme pasca tragedi kemanusiaan di menara kembar WTC 11 September 2001 di Amerika Serikat , sedikit-banyak, berdampak luas bagi Indonesia. Stereotipe ini menguat terutama setelah tragedi nasional bom Bali 2002, yang kemudian diikuti dengan berbagai peristiwa pemboman di tanah air beberapa waktu kemudian. Hal ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dengan latar belakang Indonesia, sebagai sebuah negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Topik ini berhubungan erat dengan perang terhadap terorisme di level internasional, yang dimotori oleh Amerika Serikat. Kasus terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat telah mengubah wajah dunia belakangan ini. Di sini, pemberitaan media massa memegang peranan yang sangat penting. Dalam kajian sosiologis, tak bisa dipungkiri bahwa media massa memiliki pengaruh yang sangat dominan dalam membentuk opini. Namun di sisi lain harus diakui pula bahwa, dalam pemberitaan, media cetak dan penerbitan juga memiliki constraint yang sangat luas. Pewartaan berita, khususnya jika berhubungan dengan produksi teks yang akan dikonsumsi oleh masyarakat luas, memiliki sejumlah standar baku. Melalui pemahaman ini, kita dapat menyadari bahwa representasi teksteks, sedikit banyak, merupakan bentuk hasil pengolahan. Pewartaan berita merupakan bentuk kemasan dari konteks yang ingin dihadirkan di tengah konsumen teks, baik itu penonton, pendengar maupun pembaca. Hal ini merupakan inti kajian kritis yang sangat menarik dalam sosiologi media massa. Pada akhirnya apa yang memberikan konstruksi wacana di kalangan konsumen media merupakan hasil brojolan (emergence) dari interaksi kompleks antara teks dan konteks di meja redaksi. Keterkaitan antara teks dan konteks merupakan sebuah kajian yang sangat vital dalam sosiologi media. Hubungan dua faktor tersebut bertanggungjawab dalam membentuk genre berbagai artifak kebudayaan, contohnya musik dan film. Dalam hal ini genre dapat dipandang sebagai semacam kontrak antara teks dan pembaca. Ekspektasi teks atas pembaca dan ekspektasi pembaca terhadap teks saling berkaitan satu sama lain. Bahasa adalah sebuah elemen penting dalam membentuk realitas sosial maupun kultural. Dalam teks yang diketengahkan oleh media, ada keterkaitan yang sangat erat antara bahasa (dalam arti diksi, metafora, analogi, dan sebagainya) dengan situasi emosi (emotional states) produsen teks. 5-1-1
Demikian pula dalam hal terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Mayoritas masyarakat berinteraksi dengan isu tersebut hanya melalui media. Pertanyaan tentang bagaimana media massa mengetengahkan dua topik tersebut, menarik untuk dikaji lebih jauh. Pandangan media massa berhubungan erat dengan opini masyarakat. Akibatnya, upaya pembedahan atas sikap media dalam menampilkan liputan yang berkaitan dengan terorisme akan menunjukkan bagaimana opini terbentuk dalam masyarakat Indonesia. Untuk itu di sini, kita melakukan analisis teks dengan menggunakan jaringan linguistik. Metode ini telah digunakan pada bab sebelumnya, untuk mengkaji editorial media (cetak) nasional. Hasil yang kita peroleh melalui studi editorial media massa selanjutnya akan dikaji lebih jauh dengan faktor respon spontan masyarakat. Isu spesifik ini dibedah melalui kajian yang menggunakan model sentralitas pada data pesan singkat (SMS) pemirsa. Pesan singkat tersebut dikirimkan pada waktu yang hampir bersamaan ketika sebuah media televisi nasional menayangkan materi editorialnya di layar kaca. Fokus utama bab ini adalah melihat hubungan antara kasus terorisme dan respon aktif masyarakat atas sebuah peristiwa aktual tertentu. Bahasan ini terkait dengan sejumlah peristiwa aksi terorisme. Peristiwa tersebut antara lain isu seputar fundamentalisme Islam, kebijakan perang atas terorisme oleh Amerika Serikat (termasuk implementasinya dalam peristiwa serangan terhadap Irak dan hukuman mati atas diktator Saddam Hussein), isu tentang Al-Qaeda sebagai pelaku peristiwa 11 September, hingga dugaan bahwa Jamaah Islamiyah sebagai dalang atas berbagai serangan teroris di tanah air. Topik-topik tersebut begitu gencar muncul di media massa. Ia telah mengubah wajah dunia belakangan ini. Media berperan sebagai industri berita dan opini. Dari perspektif tersebut, di sini, kita memusatkan perhatian pada peran media massa dalam membentuk opini publik. Kajian analitik editorial media, sebagai ekspresi redaksi media massa atas sebuah kasus tertentu, menjadi diskusi yang sangat menarik. Pada bagian ini, kita mengumpulkan seluruh editorial media cetak pada periode akhir tahun 2006 hingga pertengahan tahun 2007, sebagaimana terekam dalam situs http://opini.wordpress.com. Dari kumpulan korpus yang terdiri dari berbagai editorial media nasional (dalam kategori “Kunjungan Bush”, “Terorisme”, “Timur Tengah”, “Amerika”, “Kunjungan JK ke AS”, “Politik AS”, “Saddam Husein”, dan “Anti Amerika”), kita kemudian membersihkan korpora dengan membangun sebuah leksikon kata-kata yang dapat merepresentasikan konsep yang ingin dilihat secara umum pada editorial. Dalam beberapa hal, sebuah konsep dapat diwakili dengan beberapa kata, misalnya konsep “JAMAAH-ISLAMIYAH”, “GEORGE_W_BUSH”, dan sebagainya. Dari sini, kita membuat model graf di mana satu konsep terhubung dengan konsep lain, jika ia digunakan dalam satu kalimat yang sama untuk semua teks di dalam korpora yang diobservasi. Tugas berikutnya adalah menentukan sejauh mana satu konsep menjadi signifikan relatif terhadap konsep lainnya. Pendekatan ini
5-1-2
penting karena tak selalu sebuah kata yang lebih sering digunakan menjadi lebih signifikan daripada kata lain, atau lebih dikenal dengan konsep sentralitas dalam model jaringan. Sebuah kata mendapatkan ranking sentralitas yang lebih tinggi jika konsep tersebut memiliki pengaruh yang lebih besar dalam sebuah teks. Secara sederhana, metode keterkaitan antara satu kata dengan kata lain (dalam konsep sentralitas) yang digunakan di sini pada dasarnya sama dengan prinsip PageRank. Prinsip ini pada mulanya digunakan dalam melihat keterhubungan antar situs internet (konsep ranking), oleh mesin pencari paling terkemuka saat ini, Google. Persamaan dalam prinsip tersebut menyiratkan bahwa sebuah kata menjadi penting jika ia terhubung dengan kata lain yang juga memang penting (relatif terhadap kata-kata lain yang juga terhubung dengan kata tersebut). Dari observasi terhadap berbagai korpora yang kita lakukan pada bab sebelumnya, ditemukan fakta tentang adanya rezim hukum pangkat pada penggunaan kata-kata non-gramatikal dalam berbagai teks lintas bahasa. Penggunaan konsep sentralitas, dalam memahami isu utama yang ingin diangkat dalam sebuah korpus (atau korpora), tentunya menjadi sebuah konsep yang sangat menarik. Beberapa kata atau frasa akan memiliki sentralitas yang tinggi di dalam sebuah teks, dan “interaksi”-nya dengan konsep-konsep lain di dalam teks menjadi tervisualisasikan secara apik dan mudah untuk dianalisis lebih jauh. Hal inilah yang akan kita lakukan dalam menganalisis perilaku data empiris. Gambar 5.1.1. Beberapa kata menjadi sangat tidak penting setelah diranking berdasarkan sentralitas keterhubungan vektor eigen.
5-1-3
Gambar 5.1.2. Tiga konsep terpenting dan interaksinya dengan 50 konsep penting lainnya.
Pada gambar 5.1.1. ditunjukkan hasil keseluruhan dari sentralitas konsep vektor dalam rankingnya. Di sini, kita membandingkan hasil pengurutan kata berdasarkan seringnya satu kata terkait dengan kata lain. Hal ini didasarkan pada intensitas penggunaanya dalam kalimat dan ranking kata berdasarkan sentralitasnya. Terlihat ada gap antara kelompok kata yang “penting” dan kelompok kata yang “relatif kurang penting”. Pemahaman ini tentu memudahkan kita dalam melakukan analisis terhadap teks-teks yang ada. Melalui ranking yang didasarkan pada sentralitas vektor eigen, kita melihat ada tiga konsep yang dominan (lihat gambar 5.1.2.), yaitu “Amerika Serikat”, “George W. Bush”, dan “Indonesia”. Hal ini menunjukkan bahwa kesemua korpora editorial media yang kita analisis terfokus pada tiga hal, yakni hubungan politik luar negeri Indonesia dan kebijakan pemerintahan Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Presiden George W. Bush. Tiga hal tersebut sesuai dengan orientasi awal kajian ini, yakni kebijakan luar negeri pemerintah RI, isu terorisme dan berbagai kejadian pemboman di tanah air, serta kasus perang Irak. Korpora editorial media di Indonesia terdiri atas banyak konsep. Ini tentunya akan menyulitkan proses analisis. Untuk itu, pola ranking berdasarkan sentralitas menjadi sangat penting. Ia berperan dalam menghilangkan sebagian besar populasi konsep, yang luar biasa banyak tersebut. Tujuannya tentu saja untuk mempermudah proses analisis. Berdasarkan perangkat analisis tersebut, selanjutnya kita melihat bagaimana satu konsep terkait dengan konsep lain. 5-1-4
Gambar 5.1.3. Penyempitan relasi konsep: gambaran keterhubungan konsep dengan intensitas interaksi yang tinggi.
Gambar 5.1.4. Keterhubungan konsep dengan sentralisme yang tidak terlalu tinggi menunjukkan tiga kategori konsep yang diekspresikan ketika berbicara soal isu terorisme dan kebijakan luar negeri AS.
Secara umum, dari pengamatan sekilas pada korpora editorial kita terdapat tiga konsep yang sangat dominan, yaitu “Amerika Serikat”, “George W. Bush”, dan “Indonesia”. Dari seratus konsep terpenting yang ada dalam korpus yang kita observasi, hampir seluruhnya terhubung dengan ketiga konsep yang menjadi tema dasar editorial tersebut. Hal ini ditunjukkan pada gambar 5.1.2. Konsep-konsep dengan keterhubungan yang kuat (digambarkan dengan garis yang lebih tebal) adalah keterkaitan antara isu Amerika Serikat dengan perang “Irak”, hubungan AS-“Iran”, peran AS di “dunia”, ikhwal “Saddam Hussein”, dan kunjungan presiden AS ke “Bogor”. Hubungan-hubungan inilah yang mewarnai editorial media massa dalam tema korpora editorial yang kita pilih. Beberapa hal yang cukup menarik untuk dilihat adalah ekspresi konsep “agama” dan konsep “Amerika Serikat”, serta pengaitan isu “Poso” dengan tema editorial terorisme dan seputar kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dari pola keterhubungan ini, kita dapat melihat bahwa isu terorisme dan 5-1-5
kebijakan luar negeri AS di mata media erat kaitannya dengan kehidupan beragama. Dari sini dapat terlihat bahwa respon media nasional terhadap kehidupan internasional cenderung dikaitkan dengan konsep keberagamaan. Selanjutnya dari keterhubungan antar konsep yang ada, kita hanya ingin melihat intensitas pemberitaan. Kita membuang pola keterhubungan yang rendah intensitasnya. Dari sini kemudian munculah pola keterhubungan yang dapat terlihat di gambar 5.1.3. Pada gambar tersebut tampak jelas bahwa tema yang dibawa oleh kumpulan editorial media massa nasional terkonsentrasi pada keterkaitan antara isu terorisme, perang di Irak dan Afghanistan, konflik AS dengan Iran, kunjungan presiden AS ke Bogor, ikhwal warga negara Indonesia di AS, dan beberapa kasus teror di Indonesia, seperti Bom Bali, bom di Jakarta dan lain sebagainya. Gambar 5.1.4. menunjukkan bahwa ketika 3 konsep besar kita hilangkan, maka muncul keterhubungan yang berbeda antara konsep-konsep dalam korpora yang sama. Terlihat bahwa kerusakan (damage) yang ditimbulkan justru memberikan insight baru akan apa yang dikemukakan dalam editorial media nasional tersebut. Terdapat tiga kategori konsep dari korpus editorial yang kita observasi terkait isu terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat, yakni: Ø Isu kunjungan Bush ke Indonesia. Ø Isu aksi terorisme di Indonesia. Ø Isu teror, perang, dan kiprah politik AS di Timur Tengah dan Afghanistan. Hal ini tentu sangat menarik. Ia menunjukkan benang merah yang sangat kuat. Media nasional memandang bahwa tiga isu ini sangat penting dalam pemberitaannya. Media nasional memandang bahwa kasus terorisme dan kebijakan luar negeri AS memiliki hubungan yang sangat erat. Gambar 5.1.5. Keterhubungan konsep “Terorisme” dengan konsep lain.
5-1-6
Selanjutnya, kita ingin melihat sejauh mana sebenarnya isu terorisme terhubung dengan konsep-konsep lain, dan bagaimana ia berkaitan dengan kebijakan luar negeri AS. Hal ini ditunjukkan pada gambar 5.1.5. Pada gambar 5.1.5. terlihat bahwa isu terorisme berhubungan erat dengan konsep “bom”. Konsep terorisme juga terkait dengan situasi politik “Timur Tengah” dan kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan “George W. Bush”. Secara sederhana, kita dapat mengatakan bahwa media nasional (dalam kurun waktu observasi tersebut) menghubungankan konsep “terorisme” dengan konsep-konsep lain yang ada di dalam gambar tersebut. Gambar 5.1.6. Ekspresi media atas pimpinan politik Indonesia (konsep “SBY” dan “JUSUF KALLA”) di tengah pemberitaan tentang terorisme dan kebijakan luar negeri AS dalam kehidupan internasional.
Selanjutnya, sejauh mana media nasional melihat atau mengekspresikan posisi pemimpin politik Indonesia dalam isu kebijakan luar negeri Indonesia? Hubungan tersebut dapat terlihat di gambar 5.1.6. Dalam ekspresi media terhadap politik luar negeri AS, kita mengisolasi konsep presiden, “SBY”, dan wakil presiden, “Jusuf Kalla”. Dari pengolahan hasil ekspresi media di atas terlihat bahwa, peran Wakil Presiden Jusuf Kalla justru lebih kepada kebijakan yang terkait dengan ekonomi nasional (terlihat melalui keterhubungan konsep-konsep “investasi”, “bisnis”, “Exxon”, dan sebagainya). Di lain pihak terlihat bahwa dalam ekspresi media, aktivitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih bervariasi. SBY terhubung pada beberapa konsep yang terkait dengan politik luar negeri Indonesia (melalui keterkaitan konsep “PBB”, “Global”, dan sebagainya) dan beberapa konsep lain yang tidak begitu terkait dengan kasus terorisme (seperti konsep “Microsoft”, “teknologi”, “kesehatan”, dan sebagainya). Dari sini terlihat bahwa dalam ekspresi media massa cetak nasional, kiprah kepala negara cenderung lebih dominan. Ia memiliki cakupan yang lebih luas.
5-1-7
5.2. Isu Terorisme dan Kebijakan Luar Negeri AS Dalam Respon Spontan Pada bagian sebelumnya kita telah melihat bagaimana media nasional secara umum mengekspresikan sikapnya dalam hal isu terorisme dan kebijakan politik luar negeri AS. Di sini, kita ingin membandingkan temuan yang diperoleh di bagian sebelumnya dengan sikap politik yang muncul di kalangan masyarakat di seputar isu tersebut. Dalam diskusi ini, kita menggunakan pendekatan yang kurang lebih sama (metode jaringan teks) dengan bagian sebelumnya, namun dikenakan pada data yang berbeda. Analisis dilakukan pada data pesan singkat (SMS atau short message service) yang dikirimkan secara spontan oleh publik dalam “Editorial Media Indonesia”, di stasiun MetroTV. Data yang digunakan adalah data SMS saat acara tersebut ditayangkan di layar kaca (pada pukul 06.30 WIB tanggal 13 November 2006). Editorial Media Indonesia pada episode ini bertajuk “Bom dan Kedatangan Bush”. Topik ini sedikit banyak memberikan gambaran tentang persepsi spontan masyarakat atas isu terorisme dan kebijakan luar negeri AS. Dengan menggunakan perangkat analisis yang telah dibahas di diskusi sebelumnya, kita akan mendapatkan hasil sebagai berikut (lihat gambar 5.2.1.):
Gambar 5.2.1. Gambaran ekspresi publik terhadap isu terorisme dan kebijakan AS sebagaimana terekam dalam korpus pesan pendek pemirsa MetroTV ketika penayangan program “Editorial Media Indonesia” yang berjudul “Bom dan Kedatangan Bush” yang disiarkan pada pukul 06.30 WIB tanggal 13 November 2006.
5-2-1
Dari 165 pesan pendek yang masuk terlihat bahwa isi SMS pemirsa didominasi oleh konsep yang berkaitan dengan citra presiden AS, George W. Bush, kebijakan Amerika sebagai sebuah negara, Indonesia sebagai sebuah negara, isu bom dan kasus-kasus seputar terorisme. Dalam pandangan sekilas pada graf teks yang terbentuk terlihat bahwa citra diri presiden AS, George W. Bush cukup negatif di kalangan pengirim SMS. Hal ini terkait dengan kebijakan politik luar negerinya di Irak dan respon administrasi yang dipimpinnya dalam hal terorisme. Konsep “Bush” dan “Indonesia” secara menarik terhubung dengan konsep “Islam” yang menunjukkan ekspresi kejengkelan publik Indonesia yang mayoritas beragama Islam terhadap administrasi pemerintahan Bush. Ketidaksukaan pada citra Bush ini sedikit banyak, langsung/tak langsung, tentu berkaitan dengan temuan sebelumnya. Di wilayah ini terlihat bahwa ekspresi editorial media massa nasional memang senantiasa mengaitkan isu agama Islam dan terorisme, serta sikap kritis media atas berbagai kebijakan luar negeri AS di kawasan Timur Tengah. Dari sini kita dapat melihat dengan jelas bahwa meski terdapat ekspresi yang tidak sama persis (antara respon spontan publik dan ekspresi editorial media massa terhadap isu tersebut), pada umumnya keduanya bertalian. Hanya saja, beberapa perbedaan yang dominan masih terlihat. Konsep yang berkenaan dengan citra presiden Bush dan kebijakan luar negeri AS dicakup oleh media massa dengan tak sekadar memperhatikan aspek kebijakan luar negeri AS. Ia juga dikaitkan dengan kebijakan luar negeri Indonesia dan hubungan bilateral antar kedua negara. Pemimpin Indonesia tergambar memiliki agenda-agenda yang lebih luas daripada isu terorisme dan kebijakan perang administrasi pemerintahan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Ia sedikit-banyak memberikan dampak solidaritas bagi publik Indonesia yang mayoritas adalah muslim. Dalam hal sentralitas jaringan teks, kita telah menunjukkan teknik pemodelan yang dapat digunakan untuk membuat sistem ranking dari konsep-konsep yang tercatat dalam graf yang ada. Konsep sentralitas yang digunakan adalah sentralitas vektor eigen. Pendekatan ini secara prinsipil memberikan ranking yang lebih tinggi pada sebuah konsep tertentu, yaitu ketika ia terhubung dengan konsep lain yang juga tinggi nilai sentralitasnya, demikian pula sebaliknya. Konsep yang penting bukan sekedar konsep yang sering muncul dalam korpus/korpora, melainkan sejauh mana konsep tersebut terkait dengan konsep lain dalam jaringan yang terbentuk. Model tersebut kita gunakan untuk mengobservasi hubungan isu terorisme, kebijakan luar negeri Amerika Serikat dan aksi teror yang ada di tanah air. Sebagaimana kita ketahui bahwa, ekspresi media massa nasional dalam menanggapi isu tersebut adalah refleksi sikap redaksi. Dari analisis di atas terlihat bahwa, redaksi media massa nasional cenderung bersikap kritis dalam menanggapi isu terorisme yang muncul di Indonesia. Sikap kritis tersebut berkaitan langsung dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat di Timur Tengah.
5-2-2
Hal ini merupakan pola unik yang ditemui di sejumlah media di tanah air. Dalam kaitannya dengan isu terorisme, media massa nasional cenderung menghubungkan hal ini secara kritis atas isu aktual hubungan bilateral Indonesia-Amerika (misalnya isu kedatangan Bush ke Indonesia), maraknya tindak kekerasan dan terorisme di Indonesia (misalnya kasus Poso dan gerakan anti Amerika di Indonesia), serta sejumlah refleksi kritis atas kebijakan Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah. Prioritasnya pun, sedikit banyak, mengikuti urutan tersebut. Satu hal yang menarik untuk dicermati adalah bahwa dalam ekspresinya, media massa nasional juga merekam sikap pemerintah Indonesia yang tidak serta-merta didominasi oleh isu tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam korpora editorial yang khusus berbicara soal terorisme dan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dari catatan ini tampak jelas bahwa, dalam hubungan bilateral antar kedua negara, pemerintah Indonesia bersifat cukup variatif dan memiliki pandangan yang sangat multi-aspek.
5-2-3
Tentang Epidemilogi Melalui kesadaran bahwa sistem sosial adalah sistem kompleks, epidemiologi bukan lagi sebuah lapangan yang melulu diskusi di bidang kesehatan masyarakat. Epidemiologi terkait dengan berbagai isu di luar isu medis seperti kondisi ekonomi, sosial, termasuk kesadaran publik atas sanitasi, yang berhubungan erat pula dengan tingkat pendidikan masyarakat. Penyakit baru senantiasa bermunculan, AIDS, flu burung, dan sebagainya, sementara masyarakat kita masih kelabakan dengan berbagai penyakit lama, persoalan seputar vaksin dan obat yang mahal, tentang gizi yang kurang, dan lain sebagainya. Ketimpangan ekonomi di sana-sini mengakibatkan di satu sisi sebagian kecil populasi kelebihan gizi dan sebagian besar lagi kekurangan gizi. Keduanya tak lepas dari penyakit yang menggerogoti ketahanan sosial kita. Epidemi penyakit berkaitan dengan epidemi sosial seperti kemiskinan, pengangguran, dan kebodohan. Mengatasi epidemi dengan memahami sistem kompleks tak mungkin lagi sekadar mencari vaksin karena “kompetisi” antara kemunculan penyakit baru atau mutasi penyakit lama senantiasa selalu menang dengan laju kemampuan kita mencari obat atau vaksin yang tepat. Secara populatif, kemampuan kita mengelola sistem sosial dan ekonomi rakyat merupakan sebuah langkah nyata untuk mengatasi merebaknya penyakit secara lebih jauh. Lebih jauh, pengentasan satu penyakit tak boleh terkotak-kotak. Pengentasan penyakit mesti dilakukan secara interdisiplin dari masing-masing jenis penyakit. Bagaimanapun, epidemiologi adalah permasalahan budaya masyarakat.
Bab 6
6.1. Epidemiologi sebagai Masalah Ketahanan Sosial Persebaran penyakit dan epidemiologi merupakan sebuah permasalahan serius, yang dalam hal ini adalah ketika kita berbicara tentang ketahanan nasional dalam perspektif kompleksitas, khususnya pada masa kini ketika kita sering mendengar banyaknya bermunculan penyakit baru yang mewabah di berbagai tempat di planet ini. Hal yang menyedihkan adalah ketika negeri kita masih seringkali harus berkutat dengan berbagai penyakit yang sebenarnya sudah ada obatnya atau setidaknya cara-cara penanganan standarnya, seperti malaria, tuberkolosis, demam berdarah, dan sebagainya. Sementara itu, kita juga mesti berkutat dengan permasalahan merebaknya berbagai penyakit baru, seperti AIDS, hingga yang terakhir, flu burung. Secara umum, diskusi ini berkaitan dengan banyak hal seperti permasalahan ekonomi. Kemampuan ekonomi yang lemah seringkali diikuti dengan kualitas sanitasi, lingkungan tinggal , dan pola hidup yang buruk. Tak hanya penyakit, di beberapa kawasan masih seringkali terdengar adanya permasalahan kekurangan bahan pangan, air bersih, dan sebagainya. Permasalahan epidemiologi saat ini semata-mata bukan lagi berbicara tentang bagaimana menyediakan obat atau vaksin dari penyakit yang baru terdeteksi, karena kecepatan munculnya penyakit baru selalu lebih tinggi daripada kecepatan penelitian dan perangkat pengetahuan kita untuk dapat menghasilkan obat-obatan yang dapat mengobati penyakit tersebut. Permasalahan pertama dari epidemiologi adalah bagaimana agar penyakit dihentikan atau diperlambat persebarannya sehingga dengan demikian selalu ada waktu bagi lembaga penelitian untuk mencari peluang teknis pengobatan dan penanganannya.
René Dubois “Epidemi seringkali lebih berpengaruh daripada pejabat negara atau tentara dalam membentuk sejarah politik, dan penyakit pulalah yang sering mewarnai suasana peradaban”. René Dubois
Persebaran penyakit di satu tempat tertentu yang bersifat lokal dikatakan sebagai endemi, sementara jika ia merebak beberapa kali dalam level endemik, ia dikatakan sebagai epidemi, dan epidemi dalam skala besar (bersifat mendunia) disebut sebagai pandemi. Epidemiologi merupakan sebuah pendekatan yang integral atas alam, kesehatan masyarakat, ekonomi, bahkan kemiliteran. Hal inilah yang menjadikan diskusi epidemiologi menjadi diskusi yang sangat ekstensif. Dengan kata lain, pemodelan dalam epidemiologi membutuhkan berbagai pendekatan atas ekologi makhluk hidup secara menyeluruh. Epidemiologi secara garis besar berbicara tentang bagaimana makhluk hidup dapat bertahan hidup di tengah ekosistemnya. Saat ini epidemiologi telah mengenal banyak sekali model-model persebaran penyakit. Salah satu yang paling sering digunakan model SIRS. Model ini menggambarkan tahapan-tahapan yang mungkin dialami seseorang dalam paradigma epidemi: sehat namun rentan terhadap 6-1-1
penyakit → terinfeksi penyakit → sembuh → sehat kembali, lalu rentan terhadap penyakit lagi. Tentu saja, siklus ini berhenti tatkala orang tersebut tak mampu bertahan atau setelah terinfeksi bukannya sembuh, namun justru dijemput ajal. Sebuah pendekatan berlandaskan pendekatan kompleksitas keterkaitan mikro-makro sistem sosial yang berkenaan dengan epidemiologi adalah analisis spasio-temporal dinamik dengan menggunakan model otomata selular. Model epidemiologi menggunakan otomata selular adalah model yang menitikberatkan unsur spasial penyebaran penyakit. Artinya, model dengan perspektif ini berusaha untuk menangkap struktur persebaran penyakit yang terjadi dan kemudian ia disimulasikan secara komputasional. Abstraksi sederhana persebaran penyakit dengan menggunakan model SIRS, sebagaimana telah diterangkan di atas, dapat kita kembangkan lebih jauh. Untuk dapat membantu penyelesaian masalah epidemiologi tersebut, kita dapat mengkonstruksi model otomata selular yang terdiri atas 3 kondisi (state) agen, yaitu: 1. Kondisi Susceptible, yaitu kondisi di mana sebuah agen populasi belum terkena namun memiliki potensi probabilistik tertentu untuk terkena penyakit. 2. Kondisi Infected, yaitu kondisi sebuah agen telah terkena penyakit tertentu. 3. Kondisi Recovery, yaitu kondisi saat penyakit hilang dari agen tersebut. Ini bisa dalam pengertian ia telah sembuh atau meninggal dunia. Dalam dinamika epidemiologi kita merepresentasikan pula parameterparameter perhitungan populatif seperti: ¥ Hubungan pertetanggaan (kedekatan satu agen dengan agen lainnya) secara spasial atau secara jaringan (agen secara spasial tidak bersebelahan namun memiliki keterhubungan yang dekat, misalnya hubungan transportasi, dan sebagainya). ¥ Probabilitas seseorang terkena penyakit dan tingkat kemampuan seseorang untuk meninggal dunia atau sembuh dari penyakit tersebut. ¥ Fasa-fasa akibat infeksi penyakit serta kemungkan seseorang yang sembuh untuk terkena penyakit kembali. Sebuah studi kasus tentang hal ini adalah epidemiologi flu burung, yang sangat mengkhawatirkan di Indonesia. Kekhawatiran ini terus berlanjut dengan memperhatikan bahwa pada tahun 2006 saja, dari 55 orang yang terinfeksi virus flu burung (H5N1) 45 orang tewas. Sebuah kenaikan angka kematian yang meningkat tajam dari statistik sebelumnya, di mana 19 orang tewas dari 61 orang yang dinyatakan terinfeksi. Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara lain, katakanlah Cina di mana yang diduga terinfeksi hanya 12 orang dan 8 diantaranya tewas (data dari Center for Disease Control and Prevention). Flu burung (avian influenza) disebabkan oleh virus yang sangat unik. Ia menyebar dari satu unggas ke unggas lain dengan kecepatan mutasi yang 6-1-2
sangat tinggi. Ia menyerang unggas dan dapat juga menyerang secara ganas spesies hewan lain seperti kuda, babi, mamalia laut, bahkan manusia. Pola persebarannya pun sangat unik. Ia menyerang manusia dengan kontak langsung dengan hewan-hewan terinfeksi yang hidup. Media-media penting yang menjadi penularannya adalah air liur, tinja, dan berbagai obyek yang terkena dengan media tersebut seperti kandang, dan sebagainya. Dari uraian ini kita dapat menyimpulkan bahwa tempat-tempat yang sangat rawan dalam kasus epidemiologi penyakit flu burung antara lain: - Kawasan peternakan, - Kawasan perdagangan ternak hidup, - Jalur (kawasan) transportasi distribusi ternak hidup. Gambar 6.1.1. Pola penyebaran penyakit flu burung.
Hal yang menarik dari pola penyebaran flu burung ini adalah bahwa ia mengandung dua panggung persebaran, sebagaimana digambarkan dalam gambar 6.1.1. Pada gambar ini terlihat bahwa panggung pertama adalah persebaran virus antara hewan ternak yang mengalami kontak dan interaksi: antara unggas yang terinfeksi dengan unggas lain atau antara unggas yang terinfeksi dengan hewan ternak lain seperti babi atau kuda, dan sebagainya. Kebertahanan hidup manusia terancam dengan interaksi antara manusia dengan hewan yang terinfeksi. Dari sini kita mendeteksi adanya 3 koefisien persebaran, yaitu α, sebagai koefisien yang bergantung pada transportasi virus melalui ternak unggas yang didistribusikan, β, yaitu koefisien persebaran yang berkenaan dengan kontak antar hewan di dalam peternakan, dan γ, yaitu koefisien persebaran yang bergantung pada interaksi antara manusia dengan hewan yang terinfeksi. Dari ketiga interaksi ini dapat kita katakan bahwa hubungan probabilistik dari masing-masing variabel memiliki hubungan ketidaksamaan α<β>γ. Bentuk hubungan ketidaksamaan tersebut didapatkan dengan melihat fakta-fakta bahwa hewan yang berada di satu kawasan peternakan jauh lebih mudah saling menginfeksi satu sama lain, relatif dengan infeksi yang terjadi pada manusia dan akibat transportasi hewan terinfeksi. 6-1-3
Gambar 6.1.2. Hasil simulasi spasial diskrit yang dilakukan. Titik kelabu melambangkan daerah terinfeksi dan titik hitam melambangkan peluang yang tinggi untuk infeksi pada manusia.
Dari pemahaman ini dan beberapa formalisme yang dilakukan secara algoritmik, kita dapat melakukan berbagai eksperimen dinamik tentang persebaran flu burung di Indonesia. Sebuah contoh simulasi yang dijalankan dengan memberikan kondisi awal kawasan terinfeksi (2004) di daerah Pekalongan (Jawa Tengah), Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera dengan nilai-nilai koefisien yang penting sebagaimana digambarkan pada bagian sebelumnya. Hasil simulasi yang diperoleh dapat dilihat di gambar 6.1.2.
Dari gambar tersebut kita dapat melihat dengan jelas cepatnya persebaran penyakit flu burung. Kondisi ini terjadi walaupun mayoritas wilayah di Indonesia adalah kawasan perairan dan persebaran dari manusia ke manusia tidak (belum?) terjadi. Fakta tersebut tentu saja terkait dengan faktor transportasi unggas. Hampir di setiap pulau di Indonesia mempunyai kawasan pelabuhan yang aktif dan memiliki kemungkinan menjadi tempat transportasi unggas yang terinfeksi. Secara lebih jelas, hasil simulasi dapat dilihat pada gambar 6.1.3.
6-1-4
(a)
(b)
Gambar 6.1.3 Kenaikan kawasan yang terinfeksi (a) dan jumlah orang yang terinfeksi (b).
Pada gambar tersebut terlihat kenaikan yang monotonik dari mereka yang terkena flu burung. Hal ini disebabkan karena pada model diasumsikan belum terdapat adanya tindakan kuratif atau preventif yang signifikan dalam mengatasi difusi flu burung di seluruh kawasan. Jumlah manusia yang terinfeksi memang sedikit, namun dampaknya tentu sangat besar jika tidak dilakukan penanganan serius untuk mencegah atau setidaknya memperlambat difusi. Keadaan ini terjadi karena jumlah mereka yang terinfeksi akan cenderung naik dan seketika menjadi epidemi yang mengkhawatirkan. Di sisi lain, jumlah ternak unggas yang mati dalam kawasan yang terinfeksi tentu akan menimbulkan kerugian ekonomi yang akan mengganggu sistem ekonomi nasional. Dengan menghubungkan hasil simulasi yang diperoleh dan realitas sosial, maka kita dapat melihat beberapa permasalahan dalam rangka pemecahan isu flu burung di Indonesia, yaitu antara lain: 1. Kecepatan difusi virus di kawasan yang padat penduduk. Adanya kawasan perairan yang secara fisik memisahkan wilayah-wilayah di Indonesia memang dapat mengurangi akselerasinya. Namun, hal ini menjadi tidak signifikan jika kita bandingkan dengan aktifnya migrasi komoditas industri peternakan inter-regional. 2. Obat bagi manusia yang terinfeksi belum ditemukan secara spesifik. Satu-satunya penanggulangan bagi penderita hanyalah anjuran untuk beristirahat, guna menguatkan daya tahan tubuh. 3. Permasalahan ini erat kaitannya dengan sistem perekonomian nasional. Matinya sejumlah besar ternak unggas dan larangan ekspor dari dunia internasional dapat mengganggu aktivitas ekonomi di Indonesia. 4. Kurang seriusnya birokrasi pemerintah dan perangkat politik, baik di level nasional maupun di daerah, dalam menangani permasalahan tersebut. Hal ini menjadi relevan jika kita kaitkan dengan kurang begitu diperhatikannya faktor tenaga kerja di sektor ini. Lemahnya tindakan preventif di bagian ini mengakibatkan faktor keselamatan kerja menjadi kurang begitu diperhatikan.
6-1-5
Gambar 6.1.4. Pertambahan jumlah kawasan yang terinfeksi dan jumlah manusia yang terinfeksi.
Perlu diingatkan kembali bahwa tujuan utama dari diskusi ini adalah memberikan gambaran kecepatan difusi kawasan terinfeksi virus flu burung, yang pada kenyataannya dapat membawa petaka bagi manusia. Sebelum berbicara tentang pengobatan atau berbagai tindakan kuratif lainnya, adalah penting untuk mencegah wabah ini menjadi pandemik. Anjuran utama yang diusulkan dengan memperhatikan permasalahan interdisipliner dalam kasus epidemiologi flu burung adalah isolasi daerah yang telah terdeteksi flu burung dan segera dilakukan tindakan riset medis untuk memperluas pengetahuan tentang virus ini melalui penelitian kedokteran, virologi, sanitasi, dan sebagainya. Kawasankawasan yang perlu mendapat perhatian antara lain adalah kawasan peternakan unggas, kawasan pasar yang menjual unggas hidup, di samping jalur distribusi dari segala hal yang berkenaan dengan peternakan unggas seperti kandang, bibit/telur, pakan ternak, dan sebagainya. Segala bentuk himbauan dan uraian self-help tentang flu burung tentu saja tidak akan mengurangi resiko difusi yang terus menerus. Penderita atau mereka yang memiliki resiko tinggi terinfeksi harus dikelola secara terpusat oleh instansi peternakan dan kesehatan.
6-1-6
6.2. Epidemiologi dalam Sistem Sosial Kompleks Dalam tradisi pemikiran kompleksitas, epidemiologi tidak lagi menjadi monopoli biolog atau ahli medis. Kesadaran bahwa sistem sosial adalah sebuah sistem kompleks membawa kita kepada kenyataan bahwa diskursus persebaran penyakit memiliki keterkaitan yang tak linier dengan sistem ekonomi, sosial, bahkan politik. Pengentasan flu burung perlu memperhatikan kondisi ekonomi dari masyarakat agraris yang hidup sangat berdekatan dengan unggas dan berbagai ternak lainnya, yang memiliki peluang untuk membawa dan menularkan penyakit tersebut pada manusia. Penanganan yang hanya bertumpu pada upaya pencarian vaksin terbukti kurang dapat diandalkan. Hingga saat ini, upaya penanganan kasus flu burung di Indonesia berada di tengah sorotan dunia internasional. Selain flu burung, Indonesia juga memiliki permasalahan dalam penanganan penyakit lain seperti tuberkolosis (TBC), di mana Indonesia adalah dengan penderita TBC terbesar ketiga di dunia. TBC merupakan penyebab kematian nomor satu dari golongan penyakit infeksi pada semua kelompok usia di Indonesia (Survey Kesehatan Rumah Tangga, 1995). Organisasi kesehatan dunia, WHO, memperkirakan pada setiap seratus ribu penduduk Indonesia, terdapat seratus tiga puluh penderita baru TBC dan penyakit ini menyerang sebagian besar kelompok usia kerja produktif, kelompok ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah. Secara sepintas, dapat ditunjukkan bahwa penyakit ini memiliki hubungan yang tak linier (baik langsung maupun tak langsung) dengan kondisi dan taraf ekonomi masyarakat Indonesia. Kartogram di bawah menunjukkan peta Indonesia yang wilayahnya diskala-ulang secara proporsional terhadap sepuluh ribu populasi yang terjangkit tuberkolosis. Penyakit lain yang juga mengkhawatirkan adalah penyakit Demam Berdarah. Sepanjang tahun 2007, beberapa daerah di Indonesia dinyatakan sebagai wilayah dengan Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk penyakit ini. Penyakit ini, yang disebabkan oleh virus, sangat berbahaya karena selain menimbulkan pendarahan pada pasien ia juga memiliki potensi yang mematikan. Ironis menyadari fakta bahwa penyakit yang ditemukan pada abad ke-18 ini pernah menjadi epidemi di kawasan Asia Tenggara pada tahun 1970-an dan hingga sekarang masing tetap mengkhawatirkan publik. Penyakit mematikan ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Aegepty, akibatnya ia bersifat lokal. Penyakit lain yang juga ditularkan oleh nyamuk dan rentan dengan pola hidup sosial ekonomi penduduk adalah malaria. Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Ia sebenarnya adalah penyakit yang sudah lama dikenal di dunia kedokteran. Melalui penanganan yang baik, kita dapat membatasi persebaran penyakit ini. Ketika hampir di seluruh kawasan
6-2-1
Eropa, Amerika bagian tengah dan selatan, penyakit ini telah berhasil dibasmi pada tahun 1950-an, pada tahun 1995, tiga puluh ribu orang Indonesia tewas oleh penyakit yang diderita lebih dari lima belas juta penduduk ini. Dari kartogram malaria terlihat daerah di kawasan timur Indonesia perlu mendapat perhatian yang luas biasa. Ironi masih berlanjut tatkala kita mengetahui fakta bahwa Indonesia adalah negeri penghasil Kina, obat malaria, terbesar di dunia.
Gunungan sampah di sekitar Kampus ITB dan sudut kota di Bandung.
Sulit untuk membayangkan bahwa masih banyak wilayah di Indonesia yang diisi oleh populasi yang terjangkit penyakit seperti kusta dan filariasis (penyakit kaki gajah). Penyakit kusta disebabkan merajalelanya bakteri Mycobacterium Leprae di tubuh yang dengan leluasa menyerang susunan syaraf tepi pada kulit. Hingga bulan Januari 2007, tercatat 10.443 kasus kaki gajah kronis yang tersebar di 376 kabupaten/kota di Indonesia! Penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria dan disebarkan melalui gigitan nyamuk ini masih mengancam masyarakat Indonesia. Kemiskinan merupakan tipologi sosial ekonomi dari penyakit-penyakit ini. Upaya pencegahan, pada dasarnya, dapat dilakukan melalui perbaikan gizi dan perilaku hidup bersih dan sehat. Namun, hal ini dirasakan masih sangat berat dipenuhi mengingat, berdasarkan survey, hidup sehat dan bersih masih mahal harganya di Indonesia. Pada seluruh penduduk, ratarata hampir setengah dari pendapatannya masih dialokasikan untuk kebutuhan pokok, yaitu makanan. Fakta-fakta di atas tentu sangat mengharukan. Selain itu, ada banyak penyakit yang menyebar di kalangan generasi penerus bangsa. Penyakitpenyakit seperti campak, difteri, dan pertusis misalnya, menyerang sebagian besar anak-anak yang akan mewarnai kehidupan negeri ini beberapa dekade mendatang. Mungkin secara medis, penyakit seperti campak memang kurang berbahaya, karena tidak sampai mematikan. Tetapi catatan medis menunjukkan bahwa bila penyakit ini menyerang anak yang kondisi tubuhnya lemah, antara lain kurang gizi, sedang mengidap penyakit paru-paru, ginjal, atau penyakit menahun lainnya, campak acap kali berkomplikasi dengan penyakit tersebut, misalnya yang sangat fatal adalah radang paru-paru (bronchopneumonia). Hampir semua penyebab kematian pasien campak umumnya akibat komplikasi jenis ini. Ketika Indonesia banyak dilanda bencana alam seperti tsunami, banjir, gempa, dan sebagainya, maka bisa dibayangkan jika penyakit “ringan” ini menjangkiti anak-anak korban pengungsian. Sungguh getir melihat masih banyak daerah di Indonesia yang terlihat “menggemuk” (lihat kartogram di bawah) terkait dengan banyaknya penduduk Indonesia yang berada pada usia di bawah lima tahun. Generasi penerus bangsa masih harus berjuang untuk dapat lolos dari sergapan penyakitpenyakit “klasik” tersebut. Kondisi sosial dan ekonomi yang parah di banyak daerah di Indonesia, dengan segala epidemiologi yang menyertainya, semakin diperparah dengan merebaknya sejumlah penyakit lain, seperti AIDS (Acquired Immuno-deficiency Syndrome). Penyakit ini disebabkan oleh perilaku
6-2-2
seksual yang buruk, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Kartogram pengidap AIDS yang dilaporkan menunjukkan bahwa daerah di belahan barat Pulau Jawa dan Papua merupakan daerah yang sangat memprihatinkan. Namun, mengingat stigmatisasi negatif yang sering timbul dari penyakit ini maka apa yang dilaporkan dan apa yang sungguh terjadi di lapangan terkadang seringkali sangat “jauh panggang dari api”. Bisa dibayangkan bahwa epidemiologi kompleksitas memberikan konjektur yang membentuk lingkaran setan. Dalam perspektif ilmu-ilmu kompleksitas, secara sederhana seolah-olah menggambarkan pola bahwa, pada dasarnya, epidemiologi penyakit yang ada terkait dengan rapuhnya tatanan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Kemiskinan, kebiasaan hidup yang buruk, sanitasi yang minim, justru merupakan epidemiologi yang “menyebar” di kalangan masyarakat. Jika “epidemiologi sosial” ini tak kunjung dientaskan, sementara upaya penanganan epidemiologi hanya dilakukan dengan upaya pencarian bantuan dan belas kasihan negara asing atau lembaga donor untuk sekadar proyek pengadaan vaksin semata, maka epidemiologi tak akan berkurang. Sebaliknya, ia justru dapat menambah daftar populasi orang Indonesia yang terjangkit. Tantangan ini menjadi semakin kuat, terlebih akibat efek penyakit-penyakit baru yang kerap bermunculan. Dalam paradigma ketahanan nasional kita, epidemiologi sepantasnya dipandang dan ditangani sebagai masalah sosial dan ekonomi. Ia tidak hanya sekedar isu medis.
6-2-3
NAD
SUMUT KEPRI
RIAU
KALBAR BABEL
SUMBAR
SULUT
KALTIM GORONTALO
KALTENG
MALUT
JAMBI
SUMSEL
SULTENG
KALSEL
BENGKULU
LAMPUNG
SULSEL SULTRA
BANTEN
MALUKU
DKI
PAPUA
JATENG
JATIM
JABAR
BALI
NTB
NTT
DIY
Flu burung sangat mengkhawatirkan banyak pihak. Kartogram ini menunjukkan Wilayah Indonesia yang diskala-ulang sesuai jumlah kasus yang dilaporkan di wilayah yang bersangkutan (sumber: Departemen Kesehatan RI, 30 Juni 2007).
NAD SUMUT
KEPRI
KALTIM
RIAU SUMBAR
KALBAR
JAMBI
BABEL
GORONTALO
KALTENG
BENGKULU
SULSEL
LAMPUNG
DKI
BANTEN
MALUT
SULTENG
KALSEL
SUMSEL
SULUT
SULTRA
MALUKU
PAPUA
JATENG
JABAR DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram Skala-ulang Wilayah Indonesia Berdasarkan Fraksi Populasi yang Terjangkit Campak, fraksi penderita kelompok usia <14 tahun (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NAD SUMUT RIAU KEPRI
JAMBI BENGKULU
GORONTALO
KALTIM
SULUT
MALUT
KALBAR
SUMBAR
SULTENG
KALTENG
KALSEL
BABEL
SULSEL
SUMSEL
SULTRA
MALUKU
LAMPUNG
PAPUA
JATENG JABAR
DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan fraksi Populasi yang Terjangkit Malaria, tidak termasuk wilayah DKI Jakarta dan Banten (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NAD SUMUT
KEPRI
SULUT
KALTIM
RIAU
GORONTALO
KALBAR KALTENG
SUMBAR
BABEL
JAMBI
SUMSEL
SULTENG
KALSEL
SULSEL
SULTRA
BENGKULU
LAMPUNG DKI JABAR JATENG DIY
BANTEN
JATIM BALI
NTB
Kartogram Skala-ulang Wilayah Indonesia Berdasarkan Fraksi Populasi yang Terjangkit Difteri, fraksi penderita kelompok usia <14 tahun (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NTT
MALUT
MALUKU
PAPUA
NAD SUMUT
KEPRI
KALBAR
RIAU SUMBAR
GORONTALO
MALUT
SULTENG
KALTENG
BABEL
JAMBI
SULUT
KALTIM
KALSEL
SULSEL
SUMSEL
MALUKU
SULTRA
BENGKULU
PAPUA
LAMPUNG BANTEN
DKI JABAR
JATENG DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan fraksi Populasi yang Terjangkit Pertussis, fraksi penderita kelompok usia <14 tahun (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NAD SUMUT
KEPRI
RIAU
SUMBAR JAMBI
SUMSEL
SULUT
KALTIM BABEL
GORONTALO
KALBAR
BENGKULU
KALTENG
SULTENG
KALSEL
SULSEL
LAMPUNG DKI
BANTEN
JABAR
MALUT
SULTRA
MALUKU
PAPUA
JATENG
DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan fraksi Populasi yang Terjangkit Hepatitis, fraksi penderita kelompok usia <14 tahun (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NAD SUMUT KEPRI
RIAU SUMBAR
KALTIM
KALBAR
JAMBI
SUMSEL
BABEL
GORONTALO
KALTENG
SULUT
MALUT
SULTENG
KALSEL
BENGKULU
SULSEL
LAMPUNG
SULTRA
DKI
BANTEN
MALUKU
PAPUA
JATENG JATIM
DIY
JABAR
BALI
NTB
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan Insiden Jangkitan Demam Berdarah pada 100.000 populasi (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NAD SUMUT
RIAU
KALBAR
SUMBAR
JAMBI SUMSEL
SULUT
KALTIM
KEPRI
GORONTALO
MALUT
SULTENG
KALTENG KALSEL
BABEL
SULSEL
BENGKULU
SULTRA
LAMPUNG BANTEN
DKI
JABAR
JATENG DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan fraksi populasi yang terjangkit penyakit Kaki Gajah (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
MALUKU
PAPUA
NAD
SULUT
SUMUT
KALTIM
RIAU KEPRI SUMBAR JAMBI
GORONTALO
MALUT
KALBAR KALTENG
BABEL
SUMSEL
SULTENG
KALSEL
SULSEL
BENGKULU
LAMPUNG
PAPUA
SULTRA
DKI
BANTEN
JABAR
JATENG DIY
JATIM
BALI
NTB
MALUKU
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan fraksi Populasi yang Terjangkit Kusta (Sumber: Hasil Pengumpulan dan Pengolahan Indikator Kinerja SPM bidang Kesehatan dari 325 Kab/Kota, per 1 Oktober 2004).
NAD SUMUT
KALTIM
KEPRI
RIAU SUMBAR
GORONTALO
KALBAR KALTENG
JAMBI SUMSEL
KALSEL
BABEL
SULTENG
SULSEL
BENGKULU
SULTRA
LAMPUNG BANTEN
DKI JABAR
SULUT
MALUT
MALUKU
PAPUA
JATENG
DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram skala-ulang Wilayah Indonesia berdasarkan Insiden Jangkitan Tuberkolosis pada 100.000 populasi (Sumber: Ditjen PPM-PL Depkes RI, 2003).
NAD SUMUT
KEPRI
RIAU SUMBAR
KALTIM
KALBAR
BABEL
GORONTALO
KALTENG
JAMBI
SUMSEL
SULUT
MALUT
SULTENG
KALSEL
BENGKULU
LAMPUNG
SULSEL SULTRA
DKI
BANTEN
MALUKU
PAPUA
JATENG
JABAR
DIY
BALI
JATIM
NTB NTT
Kartogram wilayah Indonesia yang diskala-ulang sesuai dengan jumlah penderita AIDS yang tercatat. Berdasarkan data yang dipublikasikan di http://www.sahiva.or.id/, sebuah lembaga swadaya masyarakat untuk AIDS/HIV. Terdapat lebih dari 7000 kasus AIDS/HIV yang dilaporkan di tanah air, dengen konsentrasi seperti ditunjukkan pada kartogram ini.
NAD SUMUT
RIAU
KEPRI
SUMBAR
BABEL
JAMBI SUMSEL
KALBAR KALTENG
KALTIM GORONTALO SULTENG
SULUT
MALUT
KALSEL
SULSEL
BENGKULU
LAMPUNG
DKI
BANTEN
JABAR
SULTRA
JATENG DIY
JATIM
BALI
NTB
NTT
Kartogram di mana masing-masing wilayah di skala-ulang luasnya sesuai dengan jumlah KK miskin dan indeks warna yang mewakili cakupan JPKM Keluarga Miskin 2003 di mana makin hitam berarti makin kecil cakupan JPKM di wilayah tersebut (Sumber: Bank Data Departemen Kesehatan RI).
MALUKU
PAPUA
Menerawang Dinamika Ekonomi dan Keuangan Ke Depan
Ekonomi yang mengglobal dan kapitalistik mau tidak mau telah menobatkan ekonomi dan keuangan sebagai kaisar ilmu sosial. Bab ini memberikan wawasan ke depan. Deskripsi ini dapat menjadi penggaris dalam memandang sistem ekonomi dan keuangan secara khusus di masa yang akan datang. Bab ini berdiskusi tentang pergerakan harga-harga saham di bursa efek per sektor yang menggunakan metodologi kompleks, yang biasa digunakan dalam ilmu hayat, tepatnya biokimia dan genetika. Hasil yang diperoleh sungguh menarik. Di sini, kita dapat melihat bagaimana pola klasifikasi dari saham-saham per sektor bahkan dari sisi informasi fundamentalnya, tak hanya memperhatikan pergerakan harga saham semata. Lebih lanjut, kita juga dapat melihat pergerakan harga beberapa komoditas yang diperdagangkan di pasar internasional. Tentunya sedikit banyak, ia akan mempengaruhi pola investasi dan kehidupan sosial ekonomi Indonesia, terutama bila dikaitkan dengan proses pengambilan kebijakan dan anggaran publik secara nasional. Bab ini mengakhiri perjalanan kita. Ulasan ini sekaligus menjadi contoh konkrit bagaimana wawasan wiyatamandala taman akademia dapat memberikan sumbangsih dalam memperluas cakrawala wawasan nusantara, yang dilengkapi dengan cara pandang sistem kompleks.
Bab 7
7.1. Investasi di Lantai Bursa: Struktur Pasar dan Industri Indonesia Sungguh menarik jika kita memiliki sebuah perangkat untuk menggambarkan pengelompokan saham-saham berdasarkan performa fundamentalnya. Dengan memperhatikan kondisi fundamental saham sekaligus bersama dengan pola korelatif yang ada sedikit banyak akan menambah jangkauan wawasan kita akan dinamika pasar modal. Pendekatan ini dilakukan dengan menggunakan metodologi yang telah akrab diakuisisi dalam kajian biologi evolusioner. Tujuannya adalah agar mendapatkan gambaran sejauh mana satu saham memiliki perbedaan berdasarkan nilai-nilai yang merepresentasikan kondisi fundamentalnya. Semakin berbeda kondisi fundamentalnya, maka akan semakin jauh jarak antara satu saham dengan saham lain dalam pohon keuangannya. Demikian pula sebaliknya. Saham-saham yang memiliki kemiripan nilainilai representasi kondisi fundamentalnya akan cenderung berada pada ranting yang sama, dalam pohon keuangan yang terbentuk. Antara satu ranting dengan ranting yang lain akan diisi oleh saham-saham dengan kondisi fundamental yang relatif jauh berbeda. Pendekatan yang ditunjukkan dalam sub-bab ini melihat data-data fundamental 334 perusahaan yang sahamnya diperjualbelikan di Bursa Efek Indonesia selama tahun 2006. Data-data fundamental tersebut di antaranya adalah aset total firma tersebut, investasinya, liabilitas total dan liabilitasnya saat ini, total ekuitasnya, pendapatan dan keuntungan firma, pendapatan bersih, kapitalisasi pasarnya, perolehan per saham, nilai dividen per saham yang dapat diterima oleh investor, dan PER (price earning ratio) dari firma tersebut. Data-data ini diperoleh dari laporan yang dilakukan oleh surat kabar ekonomi, Pustaka Bisnis Indonesia (2007) yang berjudul JSX Watch 2007-2008. Gambar 7.1.1. Matriks berwarna kemiripan fundamental perusahaan-perusahaan yang menarik modal dari Bursa Efek Indonesia selama tahun 2006.
7-1-1
Gambar 7.1.2. Pohon fundamental keuangan sahamsaham dengan kesamaan warna menunjukkan kesamaan sektornya.
7-1-2
Gambaran keseluruhan saham-saham tersebut akan menunjukkan pola kedekatan dan kemiripan fundamental dari perusahaan-perusahaan terebut, mana yang secara fundamental memiliki nilai yang tinggi dan mana yang rendah. Secara umum, kita jadi dapat melihat pengelompokan saham-saham yang memiliki nilai fundamental baik dan yang relatif rendah. Lebih lanjut, pendekatan serupa kita lakukan juga untuk tiap sektor dari emiten-emiten tersebut, antara lain sektor pertanian, perbankan, industri bahan dasar dan kimia, industri produk konsumen, sektor infrasturktur emiten, asuransi, multi-finance, bisnis properti, sektor jasa dan perdagangan, dan sektor lain-lain (miscellaneous).
Dari hasil komparasi antar sekuen hasil penjajaran, kita akan mendapatkan matriks nilai kesamaan yang kita asumsikan sebagai jarak antar perusahaan berdasarkan nilai faktor fundamentalnya. Matriks jarak ini kemudian kita jadikan sebagai dasar bagi penyusunan diagram serupa pohon, yang umumnya digunakan dalam analisis filogenetik. Gambar 7.1.1. menunjukkan matriks jarak/kemiripan dari perusahaanperusahaan tersebut dalam bentuk pewarnaan. Kita menggambarkannya dengan mengurutkannya berdasarkan sektor dari saham-saham tersebut. Nomor urut 1-11 adalah sektor pertanian, 12-37 adalah sektor perbankan, 38-90 adalah sektor bahan dasar dan kimia, 91-126 adalah sektor produk konsumen, 127-146 adalah sektor infrastruktur, 147-157 adalah sektor asuransi, 158-203 adalah sektor miscellaneous, 204-231 adalah sektor mutifinance, 232-268 adalah sektor properti, dan 269-334 tersusun atas perusahaan-perusahaan sektor perdagangan. Terlihat bahwa dalam tiap urutan sektor terdapat garis-garis dengan warnawarna yang lebih terang yang menunjukkan saham yang sangat berbeda keadaan fundamentalnya. Matriks jarak yang dihasilkan menunjukkan kedekatan fundamental antar perusahaan dengan node dengan warna yang sama menunjukkan firma dengan sektor yang sama: merah (pertanian), ungu (perbankan), kuning (bahan dasar & kimia), merah jambu (produk konsumen), hijau muda (infrastruktur), biru terang (multifinance), merah gelap (properti), biru (jasa dan perdagangan), hitam (sektor lain-lain). Terlihat pengelompokan banyak saham berada pada kelompok-kelompok tertentu (clustering), khususnya untuk sektor jasa & perdagangan, bahan dasar dan kimia, properti, produk konsumen, perbankan, dan sektor lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan saham-saham dalam sektor-sektor tersebut memiliki kemiripan fundamental. Namun beberapa saham yang sangat berbeda fundamentalnya juga terlihat seperti saham-saham AALI, ASII, UNTR, TLKM, PNLF, BHIT, dan ISAT yang muncul di lapis terluar dari ranting di mana sektor properti mengelompok, atau saham MERK dan TBMS yang dekat dengan firma-firma pada sektor perbankan. Yang menarik lagi adalah perusahaan-perusahaan terkenal seperti firma SMGR, BBCA, HMSP, ADMF, GGRM, INTP, INDF, UNSP, TKIM, yang seolah membentuk ranting tersendiri dari sisi fundamentalnya. Saham-saham tersebut menjadi saham yang unik dan di sektor masing-masing relatif lebih populer. Hal ini merupakan fakta yang sangat menarik dan sedikit banyak dapat memberikan manfaat dalam keputusan investasi.
A. Sektor Agrikultur Sektor agrikultur tumbuh secara impresif sepanjang tahun 2006. Hal ini dapat dikaitkan dengan meningkatnya harga crude palm oil (CPO) di pasar dunia. Kondisi ini mendorong terjadinya peningkatan kapitalisasi pasar di saham-saham perkebunan seperti AALI, LSIP dan UNSP. Sektor ini semakin semarak terutama dengan masuknya dua pemain potensial seperti CPRO (akhir 2006) dan Sampoerna Agro (2007). 7-1-3
Gambar 7.1.3. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor agrikultur sepanjang tahun 2006.
Secara fundamental, saham-saham sektor agrikultur dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama ditempati oleh tiga saham yang memiliki aset total dan kapitalisasi terbesar, yaitu AALI, LSIP dan CPRO. Sebagai salah satu perusahaan CPO terbesar di Indonesia, AALI begitu dominan hingga menguasai 58% kapitalisasi pasar di sektor agrikultur, walaupun pada kenyataannya ia hanya memiliki 25% dari nilai aset total di sektor tersebut. AALI juga memiliki nilai rasio net income per aset total terbesar di sektor ini, yaitu sebesar 0,225. Ia adalah satusatunya perusahan di sektor agrikultur yang berhasil membagi dividen sepanjang tahun 2006, yaitu rata-rata 5% dari nilai nominal saham. LSIP dan CPRO adalah saham yang memiliki aset total dan kapitalisasi pasar terbesar kedua dan ketiga, setelah AALI. Keduanya memiliki rasio net income per aset total yang juga relatif tinggi, yaitu sebesar 0,102 dan 0,054. Kelompok kedua tersusun atas saham-saham dengan nilai kapitalisasi pasar yang relatif kecil. Sepanjang tahun 2006, kapitalisasi gabungan 8 saham di kelompok ini hanya 10% dari nilai total kapitalisasi perdagangan di sektor agrikultur. Demikian juga dengan aset total kelompok ini. Mayoritas rasio net income per aset total kelompok ini bernilai negatif, kecuali UNSP, MBAI dan IIKP. Gambar 7.1.4. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor pertambangan sepanjang tahun 2006.
7-1-4
B. Sektor Pertambangan Secara fundamental, sektor pertambangan mencatat pertumbuhan yang sangat meyakinkan sepanjang tahun 2006. Secara rata-rata, net income sektor ini tumbuh lebih dari 60%. Tentu saja hal ini sulit dipisahkan dengan kenaikan harga komoditas pertambangan di pasar internasional. Sepanjang tahun 2006, nikel mencatat kenaikan harga yang sangat tinggi, dari kisaran 15 ribu menjadi 40 ribu. Demikian juga dengan timah, dari 761 menjadi 1.034. Tren ini terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2007. Gambar 7.1.5. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor industri bahan dasar dan kimia sepanjang tahun 2006.
7-1-5
Secara umum, sektor ini dapat dibagi menjadi lima kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh dua buah saham yang memiliki aset total dan kapitalisasi terbesar, yaitu BUMI dan INCO. Mereka adalah dua saham besar yang berhasil membagikan dividen sepajang tahun 2006. Selain itu, mereka juga memiliki price earning ratio yang positif dan kecil nilainya. Kelompok kedua adalah saham dengan aset total dan kapitalisasi menengah, yaitu ANTM dan MEDC. Dari sisi equity dan gross profit dua saham ini relatif berimbang. Namun, karena aset total-nya kurang lebih hanya setengah dari MEDC maka rasio net income per aset total ANTM lebih baik. Faktor fundamental ini menarik jika kita hubungkan dengan tren bullish harga saham ANTM dan tren mendatar saham MEDC. Dua saham ini sama-sama tidak membagikan dividen sepanjang tahun 2006. Kelompok ketiga ditempati sendirian oleh Energi Mega Persada (ENRG). Dari sisi aset total dan kapitalisasi kelompok ini identik dengan kelompok kedua, namun ENRG memiliki rasio hutang terhadap aset yang sangat tinggi. ENRG, semenjak listing tahun 2004, tumbuh dengan sangat pesat. Namun semenjak Mei 2006, ia berada di tengah sorotan publik terkait dengan peristiwa semburan lumpur panas di Sidoarjo. Kelompok keempat ditempati oleh tiga buah saham yang memiliki aset total dan kapitalisasi pasar yang relatif kecil, yaitu APEX, PTBA dan TINS. Walaupun berukuran kecil, ketiga saham ini sukses membagikan dividen sepanjang tahun 2006. Mereka juga memiliki nilai price earning ratio yang cukup menarik. Kelompok terakhir ditempati oleh saham-saham yang memiliki aset total yang sangat kecil disertai aktivitas perdagangan yang sangat rendah sekali, yaitu CNKO dan CTTH. Keduanya sama-sama memiliki nilai rasio net income per aset total yang sangat kecil. Bahkan, CTTH tercatat sebagai satu-satunya saham yang memiliki net income negatif di sektor pertambangan. Berbeda dengan sektor pertanian yang sangat didominasi oleh industri CPO, kegiatan di sektor pertambangan relatif lebih beragam. Sebuah kelompok kedekatan fundamental selalu ditempati oleh perusahaan dari industri yang berbeda-beda. Ini tentu saja sulit dipisahkan dengan faktor diversifikasi kekayaan tambang di Indonesia.
C. Sektor Industri Bahan Dasar dan Kimia Industri bahan dasar dan kimia merupakan salah satu sektor yang sangat besar. Ada 53 buah saham yang terdaftar di sektor ini. Secara umum, kita dapat membagi sektor ini menjadi 12 kelompok. Kelompok pertama diisi oleh saham-saham dari industri kertas (TKIM, INTP INKP) dan produsen semen raksasa di Indonesia, yaitu SMGR. Keempat saham ini memiliki aset total dan kapitalisasi yang sangat besar di sektor tersebut. SMGR, sebagai sebuah perusahaan non-kertas yang berhasil masuk kelompok elit tersebut, memiliki catatan tersendiri. Di sektor industri dasar dan kimia, SMGR merupakan perusahaan terbaik dari sisi rasio net income per total aset, yaitu sebesar 0,173. Sementara itu, sepanjang tahun 2006, raksasa-raksasa dari industri kertas mencatat 7-1-6
performa yang cenderung mendatar. Kelompok kedua ditempati oleh enam buah saham dari latar belakang industri yang berbeda-beda, yaitu TBMS, CPIN, CTBN, SMCB, MLIA dan JPFA. Kelompok ini terdiri atas saham-saham dengan ukuran besar dan menengah. Di kelompok ini CTBN memiliki catatan tersendiri. Ia memiliki rasio net income per aset total sebesar 0,134. Nilai ini menarik jika kita hubungan dengan tren bullish saham tersebut sepanjang tahun 2006, walaupun dari sisi likuiditas ia belum begitu baik. Kelompok keempat terdiri atas saham SAIP, TOTO dan UNIC. Kelompok kelima terdiri atas saham AMFG, ALMI, FASW dan BRPT. Kelompok keenam terdiri atas saham SUDI, SULI dan SOBI. Dari segi aset total dan kapitalisasi pasar, saham-saham tiga kelompok ini berukuran menengah. Mayoritas saham di tiga kelompok menengah tersebut merupakan industri pengolahan produk hutan. Sementara itu, enam kelompok lainnya terdiri atas saham-saham dengan ukuran aset total dan kapitalisasi yang sangat kecil. Gabungan enam kelompok lainnya hanya memiliki share kapitalisasi pasar sebesar 7%. Dari deskripsi di atas, kita dapat melihat bahwa di sektor ini, industri pengolahan produk hutan memiliki peranan yang sangat besar. Ini tentu tidak dapat dipisahkan dengan besarnya kekayaan hutan di Indonesia. Gambar 7.1.6. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor industri produk konsumen sepanjang tahun 2006.
7-1-7
D. Sektor Industri Produk Konsumen Secara umum, sektor industri produk konsumen dapat kita bagi menjadi 9 kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh empat saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar terbesar, yang meliputi UNVR, GGRM, HMSP dan INDF. Namun pada tahun 2006, dua raksasa besar industri rokok, yaitu GGRM dan HMSP, mencatat hasil yang bertolak belakang. Gross profit HMSP tumbuh lebih dari 17,06%. Sementara itu, GGRM justru turun hingga 8,28%. Demikian juga dengan kapitalisasi pasar GGRM, turun lebih dari 12%, tidak sampai setengah HMSP. Ini merupakan babak baru di tengah persaingan industri rokok yang selama bertahuntahun sangat didominasi oleh GGRM. Pada tahun 2006, GGRM adalah satu-satunya perusahaan di kelompok ini yang tidak membagikan dividen. Dua raksasa lain yang berada di kelompok ini adalah UNVR dan INDF. UNVR memiliki catatan tersendiri, yaitu memiliki rasio net income per aset total terbaik di sektor industri produk konsumen. Catatan ini menarik jika kita hubungkan dengan meningkatnya harga saham UNVR dari level 4.000 rupiah menjadi lebih dari 6.000 rupiah perlembar, di akhir tahun 2006. Kelompok kedua ditempati oleh perusahaan dari industri farmasi dan makanan yaitu KLBF dan SMAR. Dua perusahaan ini memiliki ukuran aset total dan kapitalisasi pasar yang juga cukup besar. Dua saham ini sama-sama membagikan keuntungan pada tahun 2006. Keduanya memiliki price earning ratio yang positif dan lebih kecil dari kelompok pertama. Secara fundamental, KLBF sedikit lebih baik daripada SMAR. Namun, tren harga yang terjadi cenderung bertolak belakang. SMAR naik tajam sementara itu KLBF bergerak mendatar. Kelompok ketiga dihuni oleh TSPC, SHDA, RMBA dan DAVO. Kelompok ini memiliki memiliki aset total yang berukuran menengah, namun dari sisi kapitalisasi pasar ia berukuran menengah-atas. Kelompok keempat diisi oleh ULTJ, MYOR, TBLA dan KAEF. Kelompok ini memiliki memiliki aset total yang berukuran menengah, namun dari sisi kapitalisasi pasar ia berukuran menengah-bawah. Mayoritas saham di kelas ini tidak membagikan dividen. Dibandingkan kelompok ketiga, kumpulan ini memiliki rasio net income per aset total yang jauh lebih kecil. Sementara itu, lima kelompok lainnya diisi oleh saham-saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar yang sangat kecil. Gabungan lima kelompok itu hanya memiliki bagian kapitalisasi pasar sebesar 5%.
E. Sektor Properti Sektor properti begitu mengeliat sepanjang tahun 2006. Kapitalisasi pasar di sektor ini tumbuh lebih dari 54%. Demikian juga dengan aset total dan sales revenues. Di periode ini, ada banyak saham yang menunjukkan tren bullish. Secara fundamental, saham-saham di sektor properti dapat kita bagi menjadi 11 kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh LPKR dan CTRA, sebagai dua buah saham yang memiliki aset total terbesar. Namun dua 7-1-8
buah raksasa properti ini mencatat hasil yang bertolak belakang. Dari sisi income statement, seperti sales revenues, gross profit dan net income, LPKR mencatat penurunan yang sangat signifikan. Sementara itu, CTRA mencatat pertumbuhan yang sangat tinggi. Fenomena ini cukup menjelaskan terjadinya tren bullish harga saham CTRA serta peningkatan kapitalisasi pasar hingga mencapai 900,71%. Dari sisi fundamental, CTRA mencatat rekor tertinggi dalam hal rasio net income per aset total di sektor properti. Sementara itu, kelompok kedua ditempati oleh pemain menengah (dalam hal total aset) seperti ADHI, DUTI, JIHD, SMRA dan TRUB. Dari sisi laporan keuangan, empat saham pertama memiliki perilaku yang sangat dekat. TRUB merupakan sebuah fenomena tersendiri. Dalam tempo dua setengah bulan (perusahaan ini baru listing pertengahan Oktober 2006), ia mencatat rekor tertinggi dalam hal kapitalisasi pasar di sektor properti, bahkan melebihi kapitalisasi LPKR dan CTRA sepanjang tahun 2006. Geliat ini juga diikuti dengan tren bullish harga saham TRUB. Kelompok ketiga dihuni oleh BKSL, CTRS, DART, DILD, ELTY, JRPT, PWON, KIJA, MLND dan TOTL. Dari sisi aset total, saham-saham dikelompok ini berukuran menengah. Namun secara umum, ia sedikit lebih kecil jika dibandingkan dengan kelompok kedua. Dibandingkan dengan tiga kelompok di atas, delapan kelompok lainnya diisi oleh sahamsaham dengan aset total dan kapitalisasi pasar yang sangat kecil. Gabungan delapan kelompok itu hanya memiliki share kapitalisasi pasar sebesar 8,2%.
7-1-9
Gambar 7.1.7. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor properti sepanjang tahun 2006.
7-1-10
Gambar 7.1.8. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor infrastruktur dan transportasi sepanjang tahun 2006.
F. Sektor Infrastruktur dan Transportasi Secara umum, sektor ini dapat kita bagi menjadi sembilan kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh perusahaan dengan aset total terbesar, yaitu TLKM. Saham ini memiliki kapitalisasi pasar tertinggi, bahkan empat kali lipat dari PGAS yang menempati urutan kedua. Dari sisi sales revenues, gross profit dan net income, sepanjang tahun 2006, perusahaan ini tumbuh dengan sangat pesat hingga semakin jauh meninggalkan ISAT (sebagai pesaing utama). Ia juga mencatat nilai rasio net income per aset total yang sangat tinggi. Catatan ini juga diikuti dengan tren bullish harga saham TLKM di sepanjang tahun 2006, dari level 6.000 rupiah menjadi lebih dari 10.000 rupiah perlembar. Kelompok kedua ditempati oleh ISAT. Walaupun dari sisi income statement kurang begitu memuaskan, namun secara teknikal, ia memiliki catatan yang tidak begitu mengecewakan. Sepanjang tahun 2006, ia memiliki aset total terbesar kedua (setelah TLKM) dan menempati urutan ketiga dari sisi kapitalisasi pasar (setelah TLKM dan PGAS). Kelompok ketiga ditempati oleh pemilik aset total dan kapitalisasi besar lainnya, yaitu PGAS dan EXCL. Keduanya memiliki rasio total liabilities per aset total yang berdekatan. Kelompok keempat ditempati oleh BLTA, yang merupakan salah satu alternatif portofolio yang menarik untuk diperhatikan. Sepanjang tahun 2006, net profit saham ini tumbuh 14,56%. Ia juga memiliki rasio net income per aset total tertinggi di sektor ini, yaitu mendekati 15%. Kelompok kelima dihuni oleh FREN, APOL dan SMDR. Kelompok keenam 7-1-11
ditempati oleh BTEL, CMNP dan HITS. Dua kelompok ini adalah sahamsaham berukuran menengah, baik dari sisi aset total maupun kapitalisasi pasar. Namun, keduanya memiliki perilaku yang berbeda dalam hal rasio hutang. Kelompok kelima cenderung memiliki rasio total liabilities per aset total yang lebih besar, namun memiliki rasio current liabilities per current assets yang lebih kecil, relatif terhadap kelompok keenam. Sementara itu, tiga kelompok lainnya diisi oleh saham-saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar yang berukuran sangat kecil. Gabungan tiga kelompok itu hanya memiliki share kapitalisasi pasar sebesar 0,8%.
7-1-12
Gambar 7.1.9. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor perdagangan, jasa dan investasi sepanjang tahun 2006.
7-1-13
Gambar 7.1.10. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor perbankan sepanjang tahun 2006.
Dari ulasan di atas kita dapat melihat bahwa sektor ini sangat didominasi oleh industri telekomunikasi. Pertumbuhan yang terjadi dimotori oleh pasar selular. Pasar ini mencatat pertumbuhan yang sangat besar. Ratarata pengguna telepon selular tumbuh sebesar 63,7% setiap tahun, dari 1996 hingga 2005. Pengguna baru (dari tahun 2004) tersebut berturutturut direbut oleh TLKM (66,8%), ISAT (11%) dan EXCL (18%). Namun dalam dua tahun belakangan ini, muncul sejumlah pesaing baru. Ini adalah babak baru persaingan di industri telekomunikasi.
G. Sektor Perdagangan, Jasa dan Investasi Perdagangan, jasa dan investasi adalah sektor yang sangat besar. Sepanjang tahun 2006, ada sekitar 66 saham terdaftar di sini. Sektor ini mencatat pertumbuhan net income yang relatif rendah, hanya sebesar 4,74%. Secara umum, bagian ini dapat kita bagi menjadi 14 kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar terbesar, yaitu UNTR. Walaupun beberapa rasio vital di sisi income statement perusahaan ini menurun drastis, namun secara relatif, ia tetap merupakan salah satu perusahaan besar dengan rasio net income per aset total yang terdepan di sektor ini. Saham ini menunjukkan tren bullish sepanjang tahun 2006, naik dari level 3.500 menjadi lebih dari 6.500 7-1-14
rupiah per lembar. Kelompok kedua ditempati oleh BMTR, BNBR, MLPL dan MPPA. Aset total dan kapitalisasi kelompok ini relatif berukuran besar. Selain berukuran relatif sama, empat saham ini juga mencatat pertumbuhan aset total yang sangat tinggi, yaitu pada rentang 18,48% hingga 36,47%. Kelompok ketiga ditempati oleh AKRA, EPMT, HERO, MAPI, PLIN, RALS dan TURI. Kelompok keempat diisi oleh TGKA, SCMA, LTLS, JSPT dan ALFA. Aset total dan kapitalisasi dua kelompok ini berukuran menengah, namun dari sisi sales revenues kelompok ketiga relatif lebih dominan. Dari sini terlihat bahwa, dua kelompok ini sangat didominasi oleh industri retail. Kelompok kelima dihuni oleh sahamsaham dengan aset total dan kapitalisasi pasar berukuran menengah, seperti FAST, GRIV, HEXA, IDKM, LPLI, MDRN, MTDL dan PJAA. Kelompok ini ditempati oleh perusahaan yang memiliki latar belakang industri yang sangat beragam. Dari sisi income statement dan balance sheet, ia sangat beragam. Sementara itu, sembilan kelompok lainnya ditempati oleh saham-saham yang relatif tidak begitu likuid, dengan jumlah kapitalisasi keseluruhan sebesar 9,6%. Gambar 7.1.11. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor multifinance sepanjang tahun 2006.
7-1-2
7-1-15
H. Sektor Perbankan Setelah sektor infrastruktur dan transportasi, perbankan adalah sektor dengan kapitalisasi pasar terbesar. Sektor ini dibangun oleh sahamsaham dengan aset total yang sangat besar. Lima saham yang memiliki aset total terbesar berada di sektor ini, yaitu BMRI, BBCA, BBNI, BBRI, dan BDMN. Dalam penyusunan pohon kedekatan fundamental, kita juga memperhatikan beberapa besaran khas sektor perbankan seperti CAR, NPL Gross dan ROA. Saham-saham di sektor ini dapat kita kelompokan menjadi 9 kelompok. Kelompok pertama diisi oleh saham-saham yang memiliki kapitalisasi pasar terbesar, yaitu BMRI, BBRI dan BBCA. Kelompok ini memiliki nilai ROA yang sangat tinggi, kecuali BMRI. BMRI, sebagai sebuah perusahaan yang memiliki aset total dan kapitalisasi terbesar, mempunyai nilai NPL Gross yang sangat tinggi, yaitu sebesar 17,08%. Hal ini tentu saja perlu diwaspadai. Kelompok kedua ditempati oleh BBNI dan BDMN. Keduanya adalah perusahaan yang memiliki aset total dan kapitalisasi pasar berukuran menengah-atas. Seperti BMRI, BBNI juga memiliki nilai NPL Gross yang sangat tinggi. Kelompok ketiga ditempati oleh barisan bank swasta papan atas lainnya, seperti BNGA, BNII, BNLI, LPBN, MEGA, dan NISP. Enam saham ini memiliki nilai balance sheet, income statement, financial ratios dan technical review yang relatif berimbang. Sementara itu enam kelompok lainnya ditempati oleh saham-saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar yang sangat kecil. Secara keseluruhan, mereka hanya memiliki share kapitalisasi pasar sebesar 8,9%.
I. Sektor Multifinance Sektor ini memiliki kapitalisasi pasar yang sangat kecil, nomor dua setelah asuransi. Selain itu, sektor multifinance juga mencatat pertumbuhan kapitalisasi pasar terendah sepanjang tahun 2006. Namun demikian, dari sisi pertumbuhan indeks sektoral, ia relatif menjanjikan. Gambar 7.1.12. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor asuransi sepanjang tahun 2006.
7-1-16
Sektor ini dapat kita bagi menjadi 10 kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh lima buah saham yang memiliki aset total dan kapitalisasi terbesar (di sektor ini), yaitu ADMF, BFIN, BHIT, SMMA dan WOMF. Di sini, BHIT dan WOMF mencatat pertumbuhan aset yang luar biasa tinggi, yaitu berturut-turut 427,83% dan 207,73%. Namun, mereka memiliki tingkat pertumbuhan net income yang bertolak belakang. BHIT tumbuh 346,74% sementara itu WOMF justru turun hingga –44,92%. Namun dari sisi rasio net income per aset total, ADMF dan BFIN membukukan nilai tertinggi. Kelompok kedua ditempati oleh saham dengan aset total dan kapitalisasi berukuran menengah-atas, yaitu BBLD, GSMF dan MKDO. Kelompok ketiga ditempati oleh saham dengan aset total dan kapitalisasi berukuran menengah-bawah, yaitu BCAP, CFIN, MFIN, PANS dan TRIM. Secara umum, kelompok kedua memiliki nilai price earning ratio yang lebih tinggi dan mempunyai rasio net income per aset total yang lebih rendah, kecuali saham BBLD. Kondisi diduga berhubungan dengan faktor pembiayaan di saham tersebut. Sekitar Oktober 2006, BBLD menandatangai kontrak hutang sebesar 28 juta USD ke sebuah sindikat bank asing. Pada waktu yang kurang lebih bersamaan, harga saham BBLD jatuh hingga kurang dari setengahnya. Sementara itu, tujuh kelompok lainnya ditempati oleh saham-saham yang relatif tidak begitu likuid, dengan jumlah kapitalisasi keseluruhan sebesar 11,6%.
J. Sektor Asuransi Walaupun memiliki kapitalisasi pasar terendah, sektor ini mempunyai tingkat pertumbuhan kapitalisasi pasar sebesar 97,75%. Pertumbuhan pesat juga terjadi dalam hal aset total. Sektor ini tumbuh hingga 22,12%. Sebelas saham di sektor ini dapat kita bagi menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama dihuni oleh dua saham dari Panin Group, yaitu PNIN dan PNLF. Dua saham ini memiliki aset total dan kapitalisasi pasar terbesar. Total kontribusi keduanya yaitu kurang lebih sebesar 89,74%. Selain itu, dua saham asuransi yang listing pertama kali ini juga sangat menonjol dalam hal pertumbuhan aset total (59,49% dan 99,89%), jauh meninggalkan peringkat kedua, ASRM (dari kelompok kedua), yang hanya tumbuh sebesar 13,58%. Kondisi yang kurang lebih sama terjadi dalam hal sales revenues. Sementara itu, dua kelompok lainnya ditempati oleh saham-saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar yang sangat kecil, yang nilai totalnya hanya sebesar 7% dari aktivitas perdagangan di sektor asuransi.
K. Sektor Lain-Lain Sektor ini ditempati oleh beberapa jenis industri yang tidak termasuk dalam 10 sektor yang ada di atas. Beberapa industri yang tergabung dalam sektor ini antara lain otomotif, tekstil, kabel dan industri sepatu. Sepanjang tahun 2006, kapitalisasi pasar sektor ini tumbuh sebesar 42,6%, jauh dibawah rata-rata sektor lainnya yang mencapai angka 7-1-17
50,7%. Sektor ini dapat kita bagi menjadi 11 kelompok. Kelompok pertama ditempati oleh raksasa otomotif nasional, ASII. Ia adalah saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar terbesar. Walaupun dari sisi income statement terjadi penurunan yang cukup signifikan, relatif terhadap tahun 2005, namun performanya di sektor ini masih relatif baik. ASII masih mampu membukukan rasio net income per aset total sebesar 6,4%. Kelompok kedua diisi oleh GDYR, HDTX, POLY, IMAS dan BATA. Kelompok ketiga dihuni oleh GJTL, TFCO, INDR, ADMG dan AUTO. Ada perbedaan dalam hal aset total. Ukuran saham-saham di kelompok ketiga cenderung lebih besar dari saham di kelompok kedua. Namun dari sisi kapitalisasi pasar, mereka cenderung berimbang, yaitu berukuran menengah. Sementara itu, delapan kelompok lainnya diisi oleh saham-saham dengan aset total dan kapitalisasi pasar yang relatif lebih kecil. Gabungan delapan kelompok itu hanya memiliki bagian kapitalisasi pasar sebesar 9,6%. Dari proses pengelompokan yang dilakukan, ada sebuah perilaku menarik. Pada 10 sektor sebelumnya, kelompok-kelompok saham yang muncul cenderung memiliki rangking aset total dan rangking kapitalisasi pasar yang cenderung konsisten satu sama lain. Namun di sektor ini, sifat tersebut tidak muncul. Kondisi ini diduga karena sektor ini diisi oleh perusahaan-perusahaan dari latar belakang industri yang sangat beragam.
7-1-18
Gambar 7.1.13. Pohon kedekatan fundamental sahamsaham sektor lain-lain sepanjang tahun 2006.
7-1-19
Secara umum, dari analisis yang kita lakukan, didapati bahwa kebanyakan perusahaan yang berada pada sektor yang sama memiliki kedekatan faktor fundamental dengan terbentuknya kerumunan (clustering) perusahaan-perusahaan yang berada dalam sektor yang sama. Temuan ini sangat menarik karena menunjukkan pola perdagangan dan perindustrian di Indonesia secara umum, setidaknya yang sahamnya diperdagangkan di lantai bursa. Pola ini menunjukkan bahwa terdapat karakter-karakter unik dari sektor-sektor usaha di Indonesia. Dari sisi investasi di pasar modal, kita juga dapat meraba perusahaan-perusahaan yang menarik untuk dijadikan obyek investasi di pasar modal. Beberapa saham yang sangat kuat secara fundamental pada umumnya membentuk untai ranting sendiri atau dengan kata lain tervisualisasi dengan jelas mengelompok tidak peduli ia berada pada sektor manapun. Observasi serupa yang dilakukan dalam pohon yang dibangun untuk tiap sektor menunjukkan lebih detail lagi tentang aspek sektoral perusahaanperusahaan tersebut. Di dalam tiap sektor terdapat pengelompokanpengelompokan yang merepresentasikan aspek fundamental dari firmafirma yang ada. Terlihat secara jelas bahwa saham-saham yang ada di tiap sektor membentuk kelompok-kelompok tertentu di mana terdapat kecenderungan bahwa di dalam tiap sektor terdapat beberapa saham “unggulan”, yakni firma-firma yang aspek fundamentalnya sangat berbeda dengan kebanyakan perusahaan di dalam sektor tersebut. Saham-saham ini pada model pohon jaringan umum membentuk kelompok ranting sendiri, misalnya saham ASII, TLKM, dan lain-lain. Hal ini secara umum memberikan arahan intuitif bagi kita untuk menyadari bahwa perbedaan aspek fundamental antar perusahaan-perusahaan tersebut cenderung sangat besar. Secara umum, di lantai bursa kita terdapat saham-saham yang sangat mendominasi di tiap sektornya yang pada gilirannya di level umum secara fundamental membentuk ranting tersendiri. Saham-saham perusahaan inilah yang dikatakan merupakan saham-saham yang memiliki peran besar dan mendominasi pergerakan indeks komposit dan konsekuensinya nilai proses ekonomi di Indonesia secara umum. Dari sisi investasi di pasar modal, kita kini dimudahkan untuk melakukan pemilihan saham perusahaan yang ingin dijadikan sebagai obyek investasi. Beberapa perusahaan yang memiliki aspek fundamental yang unik dan fluktuasi yang tidak terlalu besar relatif terhadap saham-saham lain tentunya menjanjikan risiko yang tidak terlalu besar, dan demikian pula sebaliknya.
7-1-20
7.2. Menerawang Harga-harga Prediksi itu perlu meski ilmu pengetahuan menyadari bahwa satusatunya kenyataan yang pasti hanyalah ketakpastian hasil observasi kita. Prediksi diperlukan untuk melakukan antisipasi masa depan. Dalam hal ini, sains merupakan sebuah alat yang dapat membantu kita untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa depan, yang secara inheren memang tak tertebak. Manfaat bagian terawang harga-harga adalah untuk memberi gambaran tentang hal ini. Bagaimanapun sistem ekonomi modern saat ini telah mengakibatkan perubahan harga di suatu pasar, ataupun di sebuah tempat entah di mana, dapat memberikan pengaruh pada kehidupan ekonomi di Indonesia. Pergerakan harga suatu bahan logam di pasar internasional dapat memberikan pengaruh besar bagi performa pergerakan harga saham perusahaan tambang logam di Indonesia. Inilah letak kompleksitas dari sistem ekonomi modern dalam era globalisasi. Pergerakan beberapa harga-harga komoditas di pasar internasional juga saling kait-mengkait antara satu produk dengan produk lain. Ketika harga bahan bakar minyak naik, misalnya, hal ini tentu akan memberikan pengaruh bagi harga kacang kedelai, karena bagaimanapun juga proses produksi dan distribusi dari kacang kedelai membutuhkan suplai bahan bakar. Kaitmengkait antara pergerakan harga-harga di pasar komoditas internasional secara korelatif ditunjukkan pada gambar 7.2.1.
Gambar 7.2.1. Pohon ultrametrik dari harga-harga beberapa komoditas di pasar komoditas internasional. (sumber data: http://futures.tradingcharts.com/)
7-2-1
Gambar 7.2.2. Prakiraan beberapa harga komoditas di pasar internasional
Gambaran keseluruhan saham-saham di samping menunjukkan pola kedekatan dan kemiripan fundamental dari perusahaanperusahaannya. Terlihat mana yang secara fundamental memiliki nilai yang tinggi dan mana yang rendah. Secara umum, kita jadi dapat melihat pengelompokan saham-saham yang memiliki nilai fundamental baik dan yang relatif rendah. Lebih lanjut, pendekatan serupa kita lakukan juga untuk tiap sektor dari emiten-emiten tersebut, antara lain sektor pertanian, perbankan, industri bahan dasar dan kimia, industri produk konsumen, sektor infrastruktur emiten, asuransi, multi-finance, bisnis properti, sektor jasa dan perdagangan, dan sektor lain-lain (miscellaneous). Hal yang sangat sensitif dan sangat menantang dalam analisis ekonomi pasar, baik dari sisi fundamental (hal-hal seputar isu ekonomi, sosial, dan politik yang mempengaruhi pergerakan harga), maupun sisi teknikal (hal-hal seputar pemodelan yang digunakan dalam analisis) adalah pergerakan harga minyak dunia, yang di semester kedua tahun 2007 menembus angka lebih dari 90 USD per barrel. Dari terawangan analitik yang dilakukan terlihat bahwa secara chart telah terdapat tekanan turun dari pergerakan harga minyak bumi sebagaimana juga terkait dengan pergerakan harga emas dunia. Hal ini ditandai dengan batas bawah yang sangat besar dan tren kecenderungan batas atas harga yang diperkirakan tak akan melebihi kisaran 100 USD atau lebih, hingga pertengahan tahun 2008. Namun, harga minyak bumi sangat ditentukan oleh kartel ekonomi energi negara-negara yang tergabung dalam organisasi pengekspor minyak dunia, OPEC. Yang jelas, beberapa a n a l i s i s f u n d a m e nta l te r ka i t i s u berakhirnya musim dingin di belahan utara bumi, kawasan dengan tingkat penyerapan energi fosil paling banyak,
7-2-2
ataupun suhu politik militer di kawasan Timur Tengah, tentu akan memperkaya perkiraan yang kita lakukan. Agak berbeda dengan pergerakan harga bahan-bahan metal atau logam yang diwakili dengan prakiraan harga tembaga kelas tinggi dan alumunium sebagaimana terdapat pada pasar komoditas internasional COMEX. Terlihat bahwa tren bullish masih cenderung menyertai tren pergerakan harga bahan-bahan logam. Hal ini tentu dapat dikaitkan dengan berbagai perusahaan Indonesia yang produksinya cukup mewarnai produksi metal dunia. Bagaimanakah hal-hal ini mempengaruhi perekonomian Indonesia secara umum? Sebagai bahan diskusi yang menarik ditunjukkan pada gambar 7.2.3. dan gambar 7.2.4. yang menggambarkan analisis dengan jejaring saraf untuk pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat dan prakiraan p e rge ra ka n I n d e ks H a rga S a h a m Gabungan di Bursa Efek Indonesia. Secara umum terlihat bahwa tren meningginya nilai mata uang asing Dollar Amerika Serikat masih diperkirakan terasa pada semester pertama tahun 2008. Namun, yang menarik untuk dicermati adalah tren bullish dari pergerakan IHSG yang merefleksikan pergerakan hargaharga saham yang diperdagangkan di lantai bursa pasar modal nasional. IHSG terlihat terus saja menunjukkan tren naik dan hampir tiap hari mencatatkan rekor baru nilai tertingginya. Prakiraan dengan menggunakan jejaring saraf buatan menunjukkan bahwa tekanan untuk turun telah sangat besar. Hal ini menunjukkan bahwa akselerasi kenaikan nilai IHSG secara teknikal seharusnya cenderung melemah dari waktu ke waktu. Namun demikian, peluang IHSG untuk tetap naik dan mempertahankan tren naik ini masih terbuka lebar. Terdapat peluang bahwa IHSG akan terus mempertahankan tren naik hingga akhir semester pertama tahun 2008. Lagi-lagi hal ini akan ditentukan dengan berbagai situasi fundamental e ko n o m i ya n g m e m a n g s a n gat mempengaruhi investor di Bursa Efek Indonesia.
Gambar 7.2.3. Prakiraan kurs mata uang USD terhadap Rupiah. (sumber: Bank Indonesia)
Gambar 7.2.4. Prakiraan pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia (sumber: Bursa Efek Indonesia)
7-2-3
Prediksi harga-harga dan indeks ini memperhatikan pergerakan historis dari harga dan indeks yang bersangkutan. Namun pada praktiknya hal-hal ini telah cukup menarik untuk dijadikan sebagai sebuah kerangka acuan untuk melihat wajah ekonomi internasional beberapa waktu mendatang. Poin yang tertinggal adalah, bagaimana pergerakan indeks-indeks tersebut memberikan pengaruh yang kuat pada sistem perekonomian dan kesejahteraan masyarakat? Hal ini merupakan aspek yang paling penting dalam pengambilan kebijakan terkait dengan proyeksi berbagai parameter ekonomi tersebut di atas. Hasil analisis ini menyimpan tugas dan tantangan bagi kita untuk menghadapi masa depan. Ia akan senantiasa berguna untuk memperkaya wawasan kita dalam lingkup wiyatamandala, sebuah kerangka untuk menegakkan bangunan konsep yang kokoh dalam menjawab berbagai tantangan sosial masyarakat Indonesia di masa depan.
7-2-4
EPILOGIA
Jangan sampai sakit jantung ini berlarutlarut. Hingga suatu saat nanti berakhir pada sebuah serangan, yang fatal akibatnya, bagi kelangsungan hidup bangsa.
a
Entah mengapa setiap kali ada talk-show yang berbicara tentang Indonesia dan masa depannya, selalu saja pesimisme bermunculan. Kerumitan permasalahan di level makro yang ditandai dengan kolektivitas di banyak bidang dapat mengakibatkan disintegrasi laten, yang memiliki umpan balik positif yang memperkeruh sistem sosial tersebut. Akibat dari sebuah penyebab dapat menjadi sebab yang memperburuk lagi akibat yang ditimbulkannya. Satu hal pada dasarnya bertali-talian. Intinya adalah bahwa kesulitan sosial dan semakin sulitnya tercapai perasaan bahagia (self-sufficiency) yang berdampak bagi hilangnya rasa persaudaraan dalam sistem sosial. Dalam teknik pengobatan kedokteran modern, mengenal secara pasti sebuah penyakit yang diderita pasien pada dasarnya sudah merupakan satu langkah yang sangat penting dalam pengobatan dan upaya penyembuhan. Sebagai sebuah sistem kompleks, tubuh manusia mungkin mirip dengan sebuah negeri. Memahami persoalan secara utuh sebagaimana dikemukakan dalam sebagian besar isi buku ini merupakan sebuah langkah yang amat penting dalam perumusan solusinya. Sungguh disayangkan, kegagalan pendefinisian masalah malah lebih sering berakhir pada nuansa pesimistik di kalangan pemimpin-pemimpin bangsa kita. Tentu saja bukan hanya pemimpin di bidang politik, tapi juga pemimpin di berbagai bidang, mulai dari pemimpin ideologis, pemimpin sosial kemasyarakatan, pemimpin budaya dan pendidikan, dan seterusnya. Pesimisme menjadi dapat diartikan sebagai bentuk kemalasan berfikir dan hanya akan mengubah setiap diskusi untuk memperbaiki keadaan menjadi diskusi-diskusi tautologis yang tak berujung pangkal. Di sepanjang perjalanan buku ini, kita meninjau Indonesia dalam beberapa tahun terakhir melalui berbagai macam metodologi yang sedikit banyak mengubah cara pandang b
kita dalam memandang permasalahan bangsa. Ini menjadi modal dasar kita dalam melangkah lebih jauh dalam upaya pencarian solusi. Terkadang dengan memahami permasalahan yang ada kita sudah dapat membayangkan berbagai solusi yang dapat diambil. Pesimisme justru seringkali muncul karena kita tak memiliki cara pandang yang komprehensif atas situasi yang ada. Di sinilah peran dasar pentingnya merevisi wawasan kita akan nusantara, akan tempat dan masyarakat di mana kita hidup. Ini yang menyebabkan buku ini senantiasa menyoroti “wawasan” sebagai hal yang mesti diubah. Era kompleksitas menunjukkan wawasan yang semestinya lebih luas dalam konstruksi kognitif konsepsi Wawasan Nusantara di kepala anak-anak bangsa. Wawasan Nusantara yang benar bukanlah doktrin, demikian pula dengan nasionalisme atau patriotisme. Perkembangan ilmu pengetahuan dan peradaban manusia mesti mendorong pemahaman akan konsepsi wawasan nusantara dan bukannya melemahkan sendi dasar kehidupan berbangsa ini. Permasalahan bangsa yang kompleks semestinya harus diselesaikan dengan konsepsi, wawasan, dan pemahaman akan kompleksitas dari sistem. Berbagai pendekatan konvensional yang dominan di masyarakat mesti digebrak dengan perspektif yang komprehensif, luas menjangkau banyak sendi dan aspek, di samping bersifat interdisipliner . Cara pandang yang seluas-luasnya ini membawa kita pada kenyataan, bahwa saat ini, ketika akuisisi atas informasi menjadi hal yang sangat vital, maka pendidikan merupakan bentuk yang memadukan antara apa yang makro dan apa yang mikro. Secara makro, permasalahan sosial dapat diparameterisasi, dikalkulasi melalui indeks dan berbagai pendekatan agregatif lainnya. Secara mikro, kerumitan akan permasalahan yang ada cenderung menjadikan kita sulit meramalkan apa-apa secara populasi. Dalam aspek ini, ilmu-ilmu kompleksitas dalam c
bidang sosial memberikan Wawasan Wiyatamandala yang baru dalam memahami berbagai fenomena dan permasalahan yang ada dengan cara yang tidak dapat dilakukan dengan tradisi keilmuan konvensional. Ketika berbagai aspek di Indonesia sepertinya menjadi carut-marut dan sulit, seringkali muncul banyak aspek yang memberikan pandangan negatif terhadap hasil sebuah analisis, misalnya pemikiran konspiratif, yang cenderung dekat dengan suudzon, dalam menilai kemungkinan munculnya motif-motif negatif pada agen atau aktor sosial tertentu, inkapabilitas seorang pakar, dan sebagainya. Padahal pandangan negatif tersebut bisa saja muncul karena cara kita mengobservasi, yang ternyata, terlalu linier dan tidak sensitif kepada kompleksitas permasalahan. Berbagai permasalahan yang kita tilik dalam buku ini menunjukkan indikasi ini.. Berbagai bidang yang diobservasi dalam buku ini, satupersatu menjawab pertanyaan kita tentang kenapa berbagai permasalahan yang selama ini sulit dicarikan solusi alternatifnya, yaitu karena cara pandang kita. Perilaku korup dalam masyarakat terkait dengan sistem pendidikan, berbagai aspek di bidang kesehatan terkait dengan pola hidup masyarakat, hingga rasa tidak aman yang muncul dalam kehidupan sosial muncul dari ketaktersediaan lapangan kerja. Evaluasi cara pandang merupakan hal yang terpenting, dan mengingat bahwa sistem pendidikan formal kita merupakan sebuah lembaga sosial yang terkait dengan wawasan ini, maka keterkaitan antara sistem pendidikan dan bidang keilmuan yang diajarkan menjadi tak lagi terpisahkan. Dengan kata lain, reforma sistem pendidikan mestinya bersifat kultural dan bukan struktural, lembaga formal mestinya mampu mengasah kreativitas dalam memandang persoalan, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan solusi dalam pengentasan berbagai permasalahan sosial yang ada.
d
Ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Seringkali permasalahan itu tidak melulu dapat`dikategorikan sebagai ikhwal kuantitas ataupun kualitas semata. Permasalahan pendidikan yang menjadi dasar solusi alternatif terhadap berbagai persoalan sosial terkait dengan bagaimana kita memandang dan menggunakan institusi pendidikan, gelar kesarjanaan dan kecendikiaan, dan lebih jauh lagi cara pandang kecendikaan yang terkadang perlu diperbaiki metodologinya. Wawasan Nusantara, dengan turunan rumusan kebijakannya, semestinya melandasi cara kita memandang dan mengatasi permasalahan sosial. Lebih jauh, Wawasan Nusantara mesti secara komprehensif menyadari kompleksitas sosial yang inheren, agar diperoleh pemahaman yang selengkapnya tentang sistem. Ini merupakan kunci yang terpenting dalam memahami Indonesia dan semua ini hanya dapat dilakukan melalui perspektif wiyatamandala yang bersandar pada data dan kesadaran akan kompleksitas yang direpresentasikan oleh data tersebut. Dalam hal ini, kita memiliki permasalahan akan keduanya. Apresiasi yang rendah pada data memunculkan berbagai masalah tersendiri seperti rendahnya akurasi data dan keterbatasan akses yang sangat tinggi. Di pihak lain, mereka yang memiliki data seringkali tidak memiliki kesadaran akan kompleksitas yang inheren dalam data. Permasalahan Indonesia sangat banyak yang berujung pada kesulitan yang ditemui dalam kehidupan sosial. Langkah awal yang ditawarkan sebagai bentuk solusi alternatif adalah penegakan sendi-sendi Wawasan Wiyatamandala, tentang apresiasi data dan kesadaran akan kompleksitas yang inheren dalam data tersebut.
e
f
Kerja Yang Menjadi Referensi WPA'2003, "SDA, Masyarakat dan Perusahaan Tambang dalam Lotka-Volterra", oleh: Yun Hariadi. WPB'2003, "Inequality and Oil Subsidy in Indonesia", oleh: Hokky Situngkir. WPC'2003, "BBM : Harga, Threshold dan Subsidi", oleh: Yun Hariadi. WPD'2003, "Money-Scape : A Generic Agent-Based Model of Corruption", oleh: Hokky Situngkir. WPE'2003, "Keuangan Komputasional : Jaringan Saraf Buatan untuk Prediksi Data Deret Waktu Keuangan", oleh: Hokky Situngkir. WPF'2003, "Kulminasi Prediksi Data Deret Waktu Keuangan: Volatilitas dalam Garch (1,1) ", oleh: Yun Hariadi. WPG'2003, "Persepsi Jaringan Saraf pada Peta Pointcare Keuangan", oleh: Yohanes Surya dan Hokky Situngkir. WPH'2003, "Peramalan dalam Selang GARCH (1,1)", oleh: Yohanes Surya dan Yun Hariadi. WPJ'2003, "Evolusi Kontrak Sosial di Indonesia: Catatan Awal", oleh: Hokky Situngkir dan Yun Hariadi. WPK'2003, "Dinamika Evolusioner Kontrak Sosial di Indonesia", oleh: Hokky Situngkir dan Yun Hariadi. WPL'2003, "Marketing : Antara Teori dan Praktik", oleh: Rendra Suroso. WPM'2003, "Cultural Studies through Complexity Science: Beyond Postmodern Culture without Postmodern Theorists", oleh: Hokky Situngkir. WPN'2003, "NGO's and The Foreign Donations : The Possibilities of Fuzzy Corruption in The Fuzziness of Social Empowerment (?)", oleh: Hokky Situngkir dan Rio Siagian. WPO'2003, "Guts in The Edge of Wealth : An Inquiry to Human Creativeness", oleh: Hokky Situngkir dan Rendra Suroso. WPP'2003, "Menengok Kembali Jaringan Autokatalisis Kolektif", oleh: Deni Khanafiah. WPQ'2003, "Dari Transisi Fasa ke Sistem Keuangan", oleh: Yohanes Surya dan Hokky Situngkir. WPR'2003, "Peramalan Jangka Pendek Deret Waktu Keuangan di Indonesia : Eksperimentasi Persepsi Jaring Saraf Buatan pada Peta Pointcare", oleh: Yohanes Surya dan Hokky Situngkir. WPS'2003, "Platform Bangunan Multi-Agen Dalam Analisis Keuangan : Gambaran Deskriptif Komputasi", oleh: Yohanes Surya dan Hokky Situngkir. WPT'2003, "Multifraktal : Telkom, Indosat dan HMSP", oleh: Yun Hariadi dan Yohanes Surya. WPU'2003, "Sifat Statistika Data Ekonomi Keuangan: Studi Empirik Beberapa Indeks Saham Indonesia", oleh: Yohanes Surya dan Hokky Situngkir. WPV'2003, "Metabolism” of Social System : N-Person Iterated Prisoner's Dilemma Analysis in Random Boolean Network", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPA'2004, "Agent Based Model Construction In Financial Economic System", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPB'2004, "DFA pada Saham", oleh: Yun Hariadi dan Yohanes Surya. WPC'2004, "Economic Agency through Modularity Theory", oleh: Rendra Suroso.
g
WPD'2004, "On Massive Conflict : Macro-Micro Link", oleh: Hokky Situngkir. WPE'2004, "Epidemiology with Cellular Automata : Case of Study The Epidemics of Avian Flu in Indonesia", oleh: Hokky Situngkir. WPF'2004, "Tracing Cultural Evolution Through Memetics", oleh: Tiktik Dewi Sartika. WPG'2004, "On Selfish Memes : Culture as Complex Adaptive System", oleh: Hokky Situngkir. WPH'2004, "Evolutionary Stable Properties of Political Parties in Indonesia 2004 : Memetic Approach", oleh: Tiktik Dewi Sartika, Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPI'2004, "LQ45* dalam Teori Matriks Acak", oleh: Yun Hariadi dan Yohanes Surya. WPJ'2004, "Penggunaan Fuzzy Cognitive Mapping dalam Konstruksi Analisis Sosial", oleh: Hokky Situngkir. WPK'2004, "Power-Law Signature in Indonesian Legislative Election 1999-2004", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPL'2004, "Pola Selisih Sebaran Suara Pemilu Parlemen 2004", oleh: Yun Hariadi. WPM'2004, "The Political Robustness in Indonesia", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPN'2004, "Social Balance Theory : Revisiting Heider's Balance Theory for Many Agents", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPO'2004, "Urban Area Development in Stochastic Cellular Automata", oleh: Ivan Mulianta dan Yun Hariadi. WPP'2004, "GARCH (2,1) Pada LQ45*", oleh: Yun Hariadi dan Yohanes Surya. WPQ'2004, "Democracy : Order Out of Chaos", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPR'2004, "Edukasi Natural dan Arsitektur Kognitif", oleh: Rendra Suroso. WPS'2004, "Statistical Facts of Artificial Stock Market: Comparison with Indonesian Empirical Data", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPT'2004, "Power-Law Signature in Indonesian Population", oleh: Ivan Mulianta, Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPU'2004, "Mungkinkah Muncul Anti-Lonjakan Harga Minyak Dunia? Analisis LogPeriodik Lonjakan Harga September-Oktober 2004", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPV'2004, "Innovation as Evolution : Phylomemetic of Cellphone Designs", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPW'2004, "Pemilu Indonesia Dilihat dari Kacamata Sains Kompleksitas", oleh: Tiktik Dewi Sartika. WPX'2004, "Isu di Teoretisasi Folk", oleh: Rendra Suroso. WPA'2005, "Godel untuk semua", oleh: Ivan Mulianta. WPB'2005, "Asimetri GARCH dan Simulasi Monte Carlo pada Peramalan GBP/USD", oleh: Yun Hariadi dan Yohanes Surya. WPC'2005, "Simulasi Investasi dengan Hukum Pangkat Zipf: Analisis Zipf – (m,2) dalam Teks Data Indeks Keuangan", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPD'2005, "Antara Saham Likuid dan Tak Likuid di Bursa Efek Jakarta : Perspektif Mekanika Statistika", oleh: Hokky Situngkir, Yun Hariadi dan Yohanes Surya. WPE'2005, "What can we see from Investment Simulation Based on Generelized (m,2) Zipflaw? ", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPF'2005, "Jejak Trading System pada Profil Investor", oleh: Deni Khanafiah, Hokky
h
Situngkir dan Yohanes Surya. WPG'2005, "Membandingkan Sistem Perdagangan Saham dalam Aspek Likuiditas", oleh: Hokky Situngkir, Hariadi dan Yohanes Surya. WPH'2005, "On Stock Market Dynamic through Ultrametricity of Minimum Spanning Tree", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPI'2005, "Tree of Several Asian Currency", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPJ'2005, "Evaluating Indonesia Composite Index Drop", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPK'2005, "What is Relatedness of Matematics and Art and why we should care? ", oleh: Hokky Situngkir. WPL'2005, "SAPTONO : An Experiment with Nonsense", oleh: Rendra Suroso. WPM'2005, "Isu Teoretisasi di Ekonomi Behavioral", oleh: Rendra Suroso. WPN'2005, "PERCH : Towards Computational Psychology", oleh: Rendra Suroso. WPO'2005, "Herding to a Side of Order Book Balance", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPP'2005, "Theorizing Corruption", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPA'2006, "Innovation as Evolutionary Process", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPB'2006, "Analisis Teori Matrik Acak untuk Data Saham dan IHSG", oleh: Yun Hariadi. WPC'2006, "Theorizing Corruption through Agent-Based Modeling", oleh: Hokky Situngkir dan Deni Khanafiah. WPD'2006, "Value at Risk yang Memperhatikan Sifat Statistika Distribusi Return", oleh: Yohanes Surya dan Hokky Situngkir. WPE'2006, "The Collision of Products among Products: A Short Marketing Survey", oleh: Rendra Suroso. WPF'2006, "Advertising in Duopoly Market", oleh: Hokky Situngkir. WPG'2006, "Perspektif Kompleksitas dalam Melihat Fenomena Empiris Sistem Ekonomi", oleh: Hokky Situngkir dan Rolan Mauludy Dahlan. WPH'2006, "What Can We Do with The Research Institutefor Social Complexity Sciences in Indonesia? : Bandung Fe Institute Perspective", oleh: Hokky Situngkir. WPI'2006, "Kerangka Kerja Ekonofisika dalam Basel II", oleh: Hokky Situngkir. WPJ'2006, "Knowledge Representation for Content Generation", oleh: Rendra Suroso. WPK'2006, "Statistical Facts of Artificial Stock Market", oleh: Hokky Situngkir dan Yohanes Surya. WPL'2006, "An Alternative Evolutionary Insight on Innovation", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPA'2007, "An Observational Framework to the Zipfan Analysis among Different Language : Studies to Indonesian Ethnic Biblical Texts", oleh: Hokky Situngkir. WPB'2007, "The Ribbon of Love : Fuzzy-Ruled Agents in Artificial Societies", oleh: Hokky Situngkir. WPC'2007, "Regimes in Babel are Confirmed : Report on Findings in Several Indonesian Ethnic Biblical Text", oleh: Hokky Situngkir. WPD'2007, "Kompleksitas Pasar Modal dalam Ekonofisika", oleh: Hokky Situngkir. WPE'2007, "Korelasi Pasar Modal dalam Ekonofisika", oleh: Yun Hariadi. WPF'2007, "Trees of Electoral District in Indonesian Legislative Election : Empirical Case of
Ii
Assortments in 2004 General Election", oleh: Hokky Situngkir dan Rolan Mauludy Dahlan. WPG'2007, "Bird's Eye View to Indonesian Mass Conflict : Revisiting the Fact of SelfOrganized Criticality", oleh: Hokky Situngkir dan Deni Khanafiah. WPH'2007, "Computational Experiments with the Fuzzy Love and Romance", oleh: Hokky Situngkir. WPI'2007, "Conjecture to Statistical Proximity with Thee of Language (?) : Report on Few Austronesian Languages of Indonesian Ethnics", oleh: Hokky Situngkir dan Deni Khanafiah. WPJ'2007, "Karakteristik pada Sekitar Tindak Pengawasan", oleh: Yun Hariadi. WPK'2007, "An Alternative Postulate to see Melody as ‘Language’ ", oleh: Hokky Situngkir. WPL'2007, "Zip-Mandelbrot Law Attracts the Market Fluctuations", oleh: Hokky Situngkir. WPM'2007, "’Evolutionary’ Investment Strategies : A White Paper Towards the Artificial Trading Intelligence Prototype", oleh: Deni Khanafiah dan Rolan Mauludy Dahlan dan Hokky Situngkir. WPN'2007, "Historical Relative Performance Index over Interconnectedness of Badminton Athletes", oleh: Deni Khanafiah, Rolan Mauludy Dahlan dan Hokky Situngkir. WPO'2007, "Small World Network of Athletes : Graph Representation of the World Professional Tennis Player", oleh: Hokky Situngkir. WPP'2007, "Peluang untuk Studi Kartografi Politik Indonesia : Representasi Spasial Sistem Sosial Kompleks", oleh: Hokky Situngkir. WPQ'2007, "Model Jaringan dalam Analisis Media: Peluang Eksploitasi Studi Kultural Pada Sifat Skala Topografi Tekstual", oleh: Hokky Situngkir. WPR'2007, "Menuju Perspektif Ekonofisika untuk Posisi Strategis Ekonomi Indonesia di Kawasan Asia Pasifik ", oleh: Rolan Mauludy Dahlan dan Hokky Situngkir. WPS'2007, "Antara Merek, Iklan, dan Kepuasan Konsumen: Karakterisasi Konsumen Indonesia dengan Jaring Saraf Buatan", oleh: Hokky Situngkir. WPT'2007, "Towards Complexity Studies of Indonesian Songs", oleh: Hokky Situngkir. WPU'2007, "Konsep Sentralitas Dalam Jaringan Teks", oleh: Hokky Situngkir. WPV'2007, "Etnik dan Konflik Sosial di Indonesia", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPW'2007, "Komposisi Siaran TV dan Stasiun TV", oleh: Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPX'2007, "Pohon Keuangan Untuk Aspek Fundamental Firma", oleh: Rolan Mauludy Dahlan, Deni Khanafiah dan Hokky Situngkir. WPY'2007, "Pekerja, Pengangguran dan Tindak Kejahatan: Dalam Simulasi Berbasis Agen", oleh: Yun Hariadi. WPZ'2007, "Geometri Fraktal pada Batik : Tinjauan Kompleksitas dalam Seni Tradisional", oleh: Yun Hariadi. WPAA'2007, "Spreading of Information through “Silaturahmi” Network : Reading Data from Social Structure of Alumni", oleh: Hokky Situngkir.
j
S ebuah C atatan Buku ini berasal dari pergulatan pemikiran selama bertahun-tahun, bahkan semenjak penulis masih duduk di bangku-bangku usang di Student Center kampus tempat menuntut ilmu hingga di lembaga penelitian tempat berkecimpung hingga saat ini. Saat ini bukanlah momentum untuk merebut kemerdekaan dari pemerintahan kolonial. Namun saat ini, tempat kita tinggal juga seringkali dikatakan berada dalam kondisi kritikal. Ketakutan yang dirasakan oleh kakek dan nenek dahulu ketika mesti menyeberangi bukit di malam hari: perasaan takut berpapasan dengan tentara kumpeni. Ketakutan itu masih terjadi hari ini, walaupun dengan bentuk yang lain. Kita seringkali ketakutan saat begitu ingin membeli mpek-mpek di suatu malam di sebuah kawasan di bawah Jembatan Ampera, Kota Palembang, Sumatera Selatan, atau tiba di sebuah terminal tak dikenal di sebuah kota. Sebuah fakta ironis. Padahal jelas kita sekarang sudah merdeka. Jelas bahwa sekarang merah putih bebas berkibar di manapun di pelosok nusantara. Ini adalah refleksi ketika ada suatu masa kita tak puas dengan pemerintahan Orde Lama, Orde Baru, dan orde-orde susulan yang ditawarkan. Di sinilah letak ruh yang merasuki proses penulisan buku ini. Buku ini ingin menantang agar kita tak mencari-cari siapa yang salah, siapa yang mesti dihukum, siapa yang mesti jadi kambing hitam. Buku ini menantang kita untuk mengubah paradigma dalam memandang sistem di mana kita tinggal. Ia berusaha mengajak kita melihat kembali bagaimana kita melihat diri sendiri melalui Wawasan Nusantara dan kemudian mau belajar dan memulai menyusun Wawasan Wiyatamandala dalam proses pembelajaran tanpa henti. Pendidikan in loco materna, di bawah asuhan ibu kandung kita, di bawah asuhan ibu almamater tempat kita belajar membaca, menulis, dan berhitung, dan di bawah bimbingan ibu pertiwi adalah sebuah siklus yang sepantasnya berhenti hanya ketika tubuh telah berkalang tanah. Ini adalah latar belakang lahirnya institut penelitian yang didirikan, Bandung Fe Institute, yang kemudian berpadu secara sinergis dalam semangat metodologi ilmiah dan pembangunan bangsa melalui sains di Surya Research International. Buku ini tidak menawarkan solusi, tak pula menawarkan senjata pamungkas pengentas kondisi kritikal atau sekian deret retorika yang membuat adrenalin menggelegak. Ia hadir sebagai sebuah ekspektasi atas visi kompleksitas yang lahir dari dan untuk kesadaran keindonesiaan. Buku ini berdiskusi tentang kondisi kritikal, dan bahwa kita seharusnya mampu menangani kompleksitas dari sistem tersebut dalam pola-pola pengaturan dirinya. k
Apa Yang Kita Sebut Sebagai Krisis? Krisis demi krisis bermunculan di surat kabar, mulai dari krisis ekonomi dan moneter, krisis politik, krisis hukum, krisis moral, krisis berkepanjangan, krisis kepribadian nasional, dan berpuluh-puluh frasa dengan kata krisis, sehingga justru malah sering menimbulkan ambiguitas pemaknaan kata krisis itu sendiri. Tiap orang dengan sekenanya menggunakan kata “krisis” tanpa sering mendalami apa sebenarnya krisis, dan mengapa kata “krisis” ditempatkan di sana. Semua orang sepertinya boleh membentuk frasa dengan kata krisis, dan yang lebih aneh lagi, frasa itu terasa masuk akal dengan realitas sosial yang memang sedang dihadapi oleh masyarakat. Menilik pendefenisian kata “krisis” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian dari kata “krisis” adalah (1) keadaan yang berbahaya (dalam menderita sakit), (2) keadaan yang genting, kemelut, (3) keadaan yang suram (tentang ekonomi, moral, dan sebagainya). Dengan demikian, disesuaikan dengan frasa yang terbentuk, maka kondisi Indonesia memang tergambarkan sangat berbahaya dan menakutkan. Indonesia saat ini membutuhkan treatment yang luar biasa intensif, di mana sekadar hasil diagnosis yang menyertakan frasa dengan kata krisis di depannya, tak mungkin cukup. Permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah permasalahan sosial dan kultural. Semua orang dengan mudah melabelkan frasa dengan kata “krisis” karena diagnosis terhadap penyakit Indonesia yang tak kunjung dirumuskan dengan baik. Semua orang merasa dirinya cukup representatif untuk menjadi sosiolog untuk memberikan diagnosis sehingga tak seorangpun dari kita memiliki rumusan yang benar, apa yang sebenarnya tengah dihadapi oleh bangsa kita. Ini semua terjadi karena ilmu sosial adalah ilmu yang telanjur dianggap mudah oleh anak-anak bangsa. Ilmu sosial dianggap sebagai ilmu hafalan dan cenderung retoris bahkan tidak terlalu membutuhkan kemampuan analitik. Ilmu pengetahuan alam yang cenderung lebih matematis jauh lebih dianggap bergengsi. Akhirnya lahirlah sarjana hukum, ahli antropolog, ahli ekonomi, ahli sosiologi, ahli sejarah kebanyakan yang mengandalkan adu mulut. Yang lebih mengerikan lagi adalah bahwa mereka yang berada di area ilmu pengetahuan alam dan teknologi – dengan anggapan akan kemudahan ilmu sosial – dengan sekenanya memberi berbagai komentar akan apa yang seharusnya menjadi area bermain ilmuwan sosial - tanpa memiliki pengetahuan bahkan rujukan pustaka yang cukup. Benarkah ilmu sosial lebih mudah daripada ilmu alam? Di mata awam, ilmu alam sarat dengan rumus-rumus matematika yang cenderung sulit untuk dipahami. Sementara formulasi matematika, di kalangan ilmuwan sosial seringkali dianggap sarat reduksionisme, kuantifikasi yang naif, karena menganggap bahwa terlalu banyak hal di bidang sosial yang tak mungkin diukur dan didekati secara kuantitatif. Akibatnya adalah timbulnya polaritas yang bukan lagi antara ilmu sosial dan ilmu alam, l
namun lebih dangkal lagi yakni antara ilmu kualitatif dan ilmu kuantitatif. Dengan sekenanya timbul pelabelan bahwa ilmu alam itu kuantitatif sementara ilmu sosial kualitatif. Pelabelan inilah yang merusak tatanan ilmu sosial, karena perdebatan ilmu bukan lagi akan obyek yang akan didekati, namun lebih kepada metodologi apa yang digunakan untuk mendekati obyek permasalahan. Apa yang seharusnya dapat didekati secara kuantitatif atau ditarik ke dalam struktur aljabar yang ketat ditinggalkan, sehingga berakibat tumpulnya analisis yang dihasilkan. Yang diukur dan dianalisis dari sebuah fenomena alam adalah faktorfaktor yang cenderung tetap dengan universalitas yang dapat dilokalisasi dengan mudah, sehingga analisis ilmu alam di Eropa akan bisa diterapkan dengan mudah di Indonesia, dengan memperhatikan variabel-variabel lokal yang mudah dideteksi, seperti percepatan gravitasi, kelembaban udara, dan seterusnya. Berlawanan dengan hal itu, ilmu sosial berhadapan dengan manusia sebagai penentu utama variabel tersebut. Sudah sangat terbukti bahwa analisis sosiologis atau ekonomi yang berkembang di negara maju belum tentu efektif di Indonesia. Ada similaritas di dalam berbagai fenomena sosial di seluruh dunia, namun tidak sama. Contohnya, krisis di Eropa memiliki similaritas dengan di Indonesia, namun tentunya tidak sama oleh berbagai faktor yang berkaitan dengan kultur dan ideologi yang berkembang. Meminjam istilah yang kerap digunakan dalam ilmu alam, terlalu banyak noise atau pengganggu (disturbance) dalam berbagai fenomena sosial. Artinya pendekatan analitis dalam ilmu sosial harus benar-benar kuat di mana asumsi-asumsi yang lahir dan menjadi aksiomanya harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode pemodelan permasalahan sosial tidak boleh dibuat seenaknya karena berbeda dengan ilmu alam, ilmu sosial tidak memiliki laboratorium untuk mencobanya secara trial and error. Laboratorium sosial adalah masyarakat itu sendiri, yang artinya adalah pemodelan fenomena sosial harus dibuat berbasis simulasi dengan rule-rule yang bisa dipertanggungjawabkan dengan baik. Setelah lolos dengan analisis dan ujian simulatif yang ketat, baru bisa diterapkan di dalam realitas masyarakat.
Ilmu Kompleksitas sebagai Jawaban Kompleksitas adalah sebuah perkembangan matematika yang lahir dari teori yang dikenal dengan sebutan teori chaos, sebuah teori yang melihat obyek sebagai sebuah sistem yang sangat tergantung kepada kondisi awal sistem dan sangat sensitif terhadap perubahan yang mengganggunya. Pada awal kelahirannya, teori ini dikembangkan oleh ilmuwan meteorologi, Edwin Lorenz, yang pada akhirnya sampai kepada kesimpulan yang menjadi pemeo di kalangan ilmuwan chaos, “kepakan kupu-kupu di pantai Amerika Selatan bisa menyebabkan badai bandang di New York”.
m
Kompleksitas memandang semua sistem sebagai sebuah sistem yang senantiasa berubah secara dinamis dan adaptif. Ia memandang sistem berubah secara iteratif dan mengikuti similaritas tertentu dalam tiap iterasinya: sangat tergantung kepada kondisi awal iterasi dan sangat peka terhadap gangguan di mana tiap gangguan kecil dapat mengakibatkan perubahan besar yang muncul (emergence), tak dapat diprediksi secara linier dari pola analisis biasa. Sistem sosial adalah juga sistem yang evolutif yang berupaya mencari daerah-daerah optimum sehingga ia dapat berjalan secara efektif. Inilah pernyataan yang membangun ilmu sosial, bahwa ada similaritas tertentu sehingga ada kondisi yang sangat mirip di berbagai fenomena sosial di berbagai belahan dunia. Namun kondisi inisial berupa faktor budaya, ekonomi, dan sosial yang berbeda serta “gangguan” sistem yang berbeda menuntut analisis solutif yang berbeda pula untuk tiap tatanan masyarakat. Permasalahan sosial harus dijawab secara spasio-temporal karena tingginya sensitivitas sistem sosial tersebut. Perkembangan teknologi komputer telah memungkinkan analisis komputasional yang serumit apapun untuk diselesaikan. Prinsipnya adalah bagaimana melahirkan struktur yang ada dalam masyarakat dalam sebuah sistem simulasi komputasional sehingga menghasilkan masyarakat buatan (artificial societies). Dari sini kita akan dapat melakukan berbagai eksperimentasi akan berbagai hal yang berkenaan dengan sistem sosial itu. Berbagai fenomena sosial akan dapat lebih tajam didekati dengan metode ini. Semua fenomena sosial yang selama ini didekati secara kualitatif dapat ditarik ke level struktur permasalahan, untuk kemudian disimulasikan dan melihat faktor besar yang mungkin muncul (emergent) untuk dapat diantisipasi dalam realitas masyarakat yang ada. Ini menjadi perbedaan yang mendasar dengan metode konvensional, yang berupaya mengukur semua faktor secara kuantitatif dan membuat model statistikanya, seolah sistem sosial adalah sistem yang linier. Bagaikan air yang mengalir dengan turbulensinya yang sangat sensitif, demikianlah sistem sosial yang mengalir dan mudah sekali berubah. Inilah yang menyebabkan sistem sosial sedemikian rumit bahkan dekat dengan analisis Navier-Stokes yang menggambarkan kondisi batas tertentu sistem yang bisa membawa sistem ke dalam kondisi chaotik hidrodinamika. Namun tentu pengetahuan analitik yang biasa digunakan dalam ilmu alam ini bukanlah satu-satunya modal dasar untuk memahami sistem sosial dengan pendekatan ini. Setiap analisis yang lahir harus dimodali dengan pengetahuan akan sistem sosial komprehensif dan ketat, yang selama ini didekati dengan pendekatan kualitatif. Hal ini jelas diperlukan mengingat kerumitan sistem sosial tersebut yang jauh lebih ruwet daripada fenomena alam biasa. Dengan pengetahuan akan fenomena sosial yang kualitatif tadi, ilmu sosial akan menjadi kaya dengan bagaimana melakukan pengukuran secara sintaktik sistem sosial yang ada, dan merumuskan bagaimana sistem tersebut berevolusi. Itulah sebabnya perlu antar-muka yang baik antara ilmuwan sosial yang kenal n
betul dengan fenomena sosial dengan ilmuwan alam yang mungkin telah terbiasa menggunakan metode ini dalam mengamati fenomena alam.
Mengatasi ‘Impotensi’ Ilmu Sosial Kita Dengan pendekatan ini, kita akan mampu melahirkan analisis sistem sosial yang muncul dari bawah ke atas (bottom-up) dan tidak lagi sekadar mengekor terhadap analisis sosial yang digunakan dari “barat”. Dengan kata lain, kita harus mampu merumuskan permasalahan sosial kita dengan lebih gamblang. Ia harus sesuai dengan spesifikasi masyarakat kita sendiri. Pada akhirnya, yang berbicara dalam area permasalahan sosial adalah mereka yang memang paham dengan sistem sosial, sebagaimana mereka yang paham tentang ilmu alam berbicara tentang fenomena alam. Ilmu sosial bukan lagi ilmu yang mudah dan bersifat hapalan, namun memiliki tingkat kerumitan dan keketatan sendiri yang perlu didekati secara komprehensif agar dapat mengeluarkan berbagai premis yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Hanya dengan pendekatan ini, kita dapat mengatasi impotensi ilmu sosial yang ada. Anggapan bahwa hanya dengan pendekatan kualitatif saja permasalahan sosial bisa dijawab adalah anggapan keliru yang merusak sistem analisis ilmu sosial itu sendiri. Ilmu sosial tidak lagi kaya dengan istilah serapan asing yang aneh-aneh dan sukar dimengerti, namun memiliki kemampuan analitik yang juga mendalam dan mampu memberikan alternatif solusi bagi permasalahan yang ada. Ini menjadi kritik yang konstruktif sekaligus tantangan yang positif bagi perkembangan ilmu sosial kita untuk melahirkan tatanan epistemologis ilmu yang khas Indonesia, spasio-temporal dan mampu mendiagnosis bahkan mengkonstruksi alternatif solusi yang jauh dari sekadar retorika belaka.
Tentang Judul “Indonesiaku Indonesiamu v2” Judul yang dipilih secara eksplisit menunjukkan bahwa buku ini memiliki versi sebelumnya, yaitu “Indonesiaku Indonesiamu v1”. Sebagaimana telah disebutkan, draft “Indonesiaku Indonesiamu” dikeluarkan oleh sebagian besar dari tim penulis v2 ketika mereka masih berkecimpung dalam perkumpulan mahasiswa Komunitas Ganesha-10 di Institut Teknologi Bandung, yang kala itu merupakan sebuah pusat kajian dan diskusi humaniora dan gerakan mahasiswa. Komunitas Ganesha 10 lahir di tengah nuansa reformasi ketika rezim Orde Baru jatuh. Dalam beberapa hal, individu-individu di Komunitas Ganesha-10 menyadari bahwa inti permasalahan pada dasarnya tidak terletak pada ikon kepemimpinan Soeharto. Masyarakat terbelenggu pada suatu pola pemikiran dan mentalitas bahwa pengunduran diri Soeharto adalah semata-mata awal dari masa depan yang lebih baik tapi melupakan fakta dinamika
Logo “Komunitas Ganesha-10” Institut Teknologi Bandung
o
kesejarahan dan aktual bahwa hal ini juga akan menjerumuskan dirinya ke dalam budaya postmodern dan postkapitalis, yang justru akibatnya bumi Indonesia menjadi tempat yang tidak nyaman untuk hidup dan ditinggali. Hal-hal ini tercermin dalam draft “Indonesiaku Indonesiamu v1” yang dikeluarkan saat itu. Komunitas Ganesha-10 akhirnya membubarkan diri, bersamaan dengan pembubaran sebuah lembaga kajian besar lain di ITB saat itu, “Lembaga Kajian & Praksis Demokrasi Veritas ITB” dengan mempertimbangkan banyak constraint yang berdimensi aktual kemahasiswaan ITB pada masa tersebut. Gerakan mahasiswa kala itu seperti “melempem” dalam menyuarakan visi kemasyarakatannya akibat reformasi di dunia pendidikan tinggi, khususnya di ITB – dengan berbagai kebijakan baru yang terasa bersifat terlalu administratif namun kurang bernuansa pengembangan sains. Namun, sebagaimana manusia ditakdirkan untuk tetap berada pada laju dinamiknya, dan pembelajaran terhadap kondisi sosial masyarakat Indonesia terus dilakukan secara intensif hingga pada suatu saat, ditemukanlah konsepsi-konsepsi sains dalam “ilmu-ilmu kompleksitas”. Reformasi dianggap kurang memberikan dampak luas bagi kesejahteraan masyarakat karena landasan pijak untuk memperbaiki keadaan cenderung tidak bersandar pada kondisi kemasyarakatan kita sendiri, namun lebih kepada apa-apa yang dipaparkan dalam buku-buku teks dan pemahaman konvensional atas sains sosial. Sebagian dari mereka yang saat itu ada dalam Komunitas Ganesha-10 dan LKPD Veritas ITB saat itu menyadari hal ini sepenuhnya dan pada akhirnya mendirikan Bandung Fe Institute, terinspirasi oleh cara beberapa ilmuwan besar kontemporer dunia di Amerika Serikat dalam mengakuisisi sains secara interdisiplin, komprehensif, dan non-linier dalam wadah kelembagaan Santa Fe Institute. Nama ini jelas pada awalnya merupakan sebuah joke yang santai, namun dalam praktiknya memiliki tendensi serius dengan ghiroh memperbaiki kondisi kemasyarakatan melalui pengembangan sains secara intensif. Kompleksitas komputasional, ekonofisika, sosiofisika, merupakan bidang interdisiplin tempat bersandarnya kesadaran tersebut. Bandung Fe Institute lahir dari kekecewaan mendalam atas rasionalitas anak-anak muda dalam menghidupi kajian-kajian yang diadakan di Student Center ITB. Kekecewaan akan bagaimana pemimpin-pemimpin “reformis” menangani situasi pasca-Orde Baru dan secara lokal, bagaimana ITB pada akhirnya “menemukan” cara baru dalam menekan dinamika aktivitas kemahasiswaan, merupakan latar belakang yang meningkatkan intensitas dan semangat untuk sesegera mungkin mampu mengakuisisi ilmu kompleksitas untuk memahami permasalahan masyarakat di samping menghasilkan toolbox untuk memperbaikinya. ITB merupakan sebuah institusi pendidikan tinggi terbaik di Indonesia saat itu sehingga tidak berlebihan status ini telah turut menjadikannya salah satu “tiang” bangsa. Selain itu, dinamika temporalnya ini telah, secara tak langsung, “mencetak” sebagian anak-anak muda yang semangat belajarnya luar
p
biasa tinggi tersebut merasa bahwa rantai yang menyebabkan kepincangan sistem masyarakat harus diputus. Upaya mempelajari sains kompleksitas secara luar biasa intensif adalah bentuk pemberontakan yang sekaligus menjadi spirit dalam menciptakan masyarakat Indonesia lebih baik. Melalui latar belakang ini, jelas sekali bahwa pemilihan judul “Indonesiaku Indonesiamu v2” mencerminkan beberapa hal, antara lain: v Konsistensi, bahwa keberadaan Bandung Fe Institute sebagai pusat penelitian dan studi kompleksitas sosial tak bisa dilepaskan dari kerinduan akan masyarakat yang lebih baik sebagaimana terrefleksikan dalam kajian-kajian intensif semasa gerakan mahasiswa ITB di masa lampau. v Dinamika aktivisme dan perjuangan, bahwa penelitian di Bandung Fe Institute dilakukan murni untuk perkembangan sains dengan manfaat seluas-seluasnya bagi masyarakat Indonesia dan tidak memiliki motif terkait perkembangan sains di Indonesia saat itu (yang mungkin masih berlangsung saat ini) sebagaimana tercermin dalam istilah-istilah seperti kredit, cum, proyek, dan berbagai hal seremonial yang secara prinsip sama sekali tidak berkenaan dengan pengembangan sains itu sendiri apalagi berimplikasi positif bagi masyarakat luas. v Pendidikan yang membebaskan, bahwa pendidikan harus bersandar pada individu yang ingin belajar dan bukan pada motifmotif semu yang berujung pangkal pada konstruksivisme sosial baik keuntungan materi, popularisme semu, atau apapun, dan bahwa pendidikan yang baik membebaskan individu untuk berkreasi. Pendidikan yang baik tidak sekadar menghasilkan koridor atau gang sempit yang tercermin dalam kurikulum dan akhirnya jalur karir yang mengkotak-kotakkan ilmu pengetahuan sebagai tempat untuk menjebloskan manusia ke dalamnya. Pendidikan yang baik meningkatkan derajat kebebasan manusia sehingga dapat menghasilkan “tonggak” kebudayaan dan peradaban manusia yang membuatnya berbeda dengan spesies lain di muka bumi ini. v Kemurnian gagasan, bahwa gagasan apapun yang tercermin dalam penelitian yang dilakukan di dalam lingkungan Bandung Fe Institute adalah murni dari keprihatinan akan situasi dan bagaimana mengakuisisi metodologi ilmiah untuk memperbaiki keadaan. v Perkembangan dan pertumbuhan, bahwa mereka yang ada dalam Bandung Fe Institute senantiasa berkembang dan tumbuh dalam wacana, tidak statik. Tidak ada hal yang berubah dari draft “Indonesiaku Indonesiamu v1” dan “Indonesiaku Indonesiamu v2” selain pemahaman yang semakin komprehensif, refutable, dan lebih berdasar ilmu pengetahuan. Semangat juang, kesadaran, dan keprihatinannya niscaya senantiasa sama, tidak berubah walau sedikit.
q
PROFIL SINGKAT Pengarah (Supervisor)
P
rofesor Yohanes Surya, lahir pada tanggal 6 November 1963 merupakan fisikawan yang menjadi peneliti senior (senior fellow) di Surya Research International. Gelar PhD diperolehnya dengan yudisium cum laude dari Dept. Physics College of William and Mary, Virginia, Amerika Serikat. Aktif dengan berbagai penelitian di berbagai tempat dan bidang, mulai dari penelitian fisika nuklir, fisika nanoteknologi, hingga ekonofisika sebagaimana tergambar dari berbagai publikasi ilmiahnya di Physical Review C, Physical Review D, Physica A, dan sebagainya, di samping berbagai penghargaan yang diperolehnya pada bidang-bidang ini. Sosok Profesor Surya sudah tidak asing di bidang pendidikan sains, khususnya fisika di Indonesia. Hal ini tercermin dalam aktivitasnya dalam berbagai upaya meningkatkan ketertarikan dan pengetahuan masyarakat luas Indonesia melalui berbagai karyanya berupa literatur pendidikan fisika termasuk ratusan artikel dan puluhan buku populer di bidang ini. Kiprahnya sebagai President of Indonesian Physics Olympiad Team dan Vice President of The First Step to Nobel Prize in Physics telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional lewat berbagai penghargaan yang dipersembahkan oleh kontingen Indonesia. Profesor Surya aktif dalam berbagai seminar dan konferensi baik dalam skala nasional dan internasional sebagai pemakalah ataupun sebagai keynote speaker, termasuk sebagai Chairman pada International Econophysics Conference di Bali. Di Indonesia, Profesor Surya merupakan seorang perintis dan pembuka jalan bagi studi teoretis, aplikatif dan implementatif ekonofisika.
Ketua Tim Pelaksana/Editor/Penanggungjawab
H
okky Situngkir, lahir pada tanggal 7 Februari 1978 dan merupakan peneliti Surya Research International dengan berbagai area penelitian interdisipliner mulai dari studi artificial societies and social simulations, memetics and cultural studies, dynamical system analysis, neural network and statistical modeling, dan financial analysis. Situngkir juga merupakan salah seorang pendiri dan ketua departemen Computational Sociology di Bandung Fe Institute, organisasi penelitian kompleksitas pertama di Indonesia. Berbagai penelitian di bidang ekonofisika dilakukan bersama Profesor Yohanes Surya dan Profesor Roy Sembel di lingkungan Surya Research International, termasuk di dalamnya analisis fluktuasi harga dan indeks keuangan dan penelitian konsultatif di Bursa Efek Jakarta. Puluhan publikasi penelitian Situngkir telah diterbitkan di berbagai tempat baik dalam skala nasional maupun internasional seperti Journal of Social Complexity, Physica A, Journal of Peace and Conflict Resolution, dan Journal of Literary Complexity Studies. Situngkir aktif pula dalam maintenance web tutorial Sosiologi Komputasional berbahasa Indonesia di http://compsoc.bandungfe.net dan situs kartogram Indonesia http://compsoc.bandungfe.net/kartografi-indonesia. Ia juga aktif dalam berbagai pertemuan ilmiah berskala nasional dan internasional seperti Conference of Application of Physics in Financial Analysis, International Conference on World of Heterogenous and Interacting Agents, Complexity in Cultural and Literary Studies, World New Economic Window, dan International Conference in Computational Intelligence in Economics and Finance. Saat ini Situngkir juga menjabat sebagai presiden di Bandung Fe Institute dan seorang research fellow di Surya Research International.
P e r s o n a
u
Penulis
H
oferdy Zawani, dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah, 21 Juni 1983, merupakan salah seorang penulis dalam proyek publikasi buku ini. Telah berkecimpung di dunia tulis-menulis bahkan sebelum meluluskan diri dari Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Bandung, yaitu ketika masih duduk di bangku sekolah menengah melalui prestasinya menjuarai berbagai perlombaan karya tulis di tempat ia dibesarkan, Palembang, Sumatera Selatan, baik tingkat kotamadya dan propinsi. Prestasi di bidang ini masih terus diraihnya sebagai salah seorang finalis pada Bayer Young Environmental Envoy, dan Program Pelayaran Pemuda Indonesia-Australia-Jepang yang diadakan Departemen Pendidikan Nasional. Di samping aktivitasnya sebagai asisten mata kuliah Kependudukan dan di Laboratorium Komputer Planologi ITB ia juga memiliki kepedulian tinggi di bidang sosial humaniora, terlihat dari berbagai aktivitas kemahasiswaannya di ITB dan ketika ia menjabat sebagai Ketua The First South East Asia Student Forum on Technology (2006).
R
olan Mauludy, lahir di Palembang, Sumatera Selatan pada tanggal 2 Desember 1981 dan saat ini menjadi scholar di Bandung Fe Institute. Penelitiannya berpusat pada analisis ekonomi kompleksitas dan evolusioner dengan menggunakan berbagai perangkat ekonomi kontemporer termasuk simulasi dan pemodelan dinamik. Sebelum bergabung di Bandung Fe Institute dan Surya Research International, semasa kuliah di Teknik Industri Institut Teknologi Bandung, pernah menjabat sebagai Ketua Institut Sosial Humaniora Tiang Bendera ITB, yang banyak melakukan kajian kritis di bidang pendidikan dan kemasyarakatan. Penelitian terbarunya adalah seputar aspek inovasi pada sistem ekonomi dan penelitian tentang dinamika kewirausahaan (selfemployment) termasuk beberapa kajian strategis di bidang pasar valuta asing dan pendekatan politik ekonomi Indonesia di Asia Pasifik melalui berbagai perangkat dalam ilmu-ilmu kompleksitas.
Penulis Peneliti
Y
un Hariadi, lahir di Blitar, Jawa Timur, pada tanggal 5 September 1978 memiliki ketertarikan penelitian untuk bidang aljabar, geometri diferensial, sistem dinamik, dan sistem logika. Sebagai salah seorang pendiri dan anggota Board of Science Bandung Fe Institute, kebanyakan penelitian yang dilakukannya dalam fokus permasalahan kriminalitas dan pengangguran dengan menggunakan analisis diferensial non-linier. Dalam fisika keuangan ia mengkhususkan diri pada analisis data deret waktu dengan menggunakan pendekatan otoregresi dalam kolaborasi penelitian dengan Yohanes Surya termasuk penelitian konsultatif dalam kerja sama penelitian antara Surya Research International dan Bursa Efek Jakarta. Hariadi telah menerbitkan belasan makalah penelitian di lingkungan Bandung Fe Institute termasuk di Journal of Social Complexity dengan penelitian terakhirnya seputar analisis self-similarity pada motif batik Jawa. Yun Hariadi saat ini menjabat sebagai kepala Departemen Dynamical System Modeling di Bandung Fe Institute.
D
eni Khanafiah, lahir di Garut, Jawa Barat, pada tanggal 6 September 1979 dan saat ini merupakan salah seorang scholar penelitian di Dept. Computational Sociology, Bandung Fe Institute. Penelitiannya berfokus pada pemodelan evolusioner dalam analisis sosial, organisasi, dan teori tentang inovasi. Ia juga tertarik pada penelitian konflik sosial dan kemiskinan. Semasa berkuliah di Jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung, ia juga aktif di berbagai lapangan kemahasiswaan dan kemasyarakatan serta pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kelompok Kajian dan Diskusi Komunitas Ganesha-10 Institut Teknologi Bandung, serta seorang pendiri Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB. Di samping aktif
v
dalam penelitian di Bandung Fe Institute, ia juga aktif dalam komunitas internasional untuk pemodelan berbasis agen dengan menggunakan platform SWARM dan konferensi internasional seperti International Conference in Computational Intelligence in Economics and Finance. Beberapa makalahnya telah dimuat dalam Journal of Social Complexity dan saat ini merupakan Editor in Chief dari jurnal tersebut. Saat ini, Khanafiah juga duduk sebagai Kepala Unit Penelitian dan Pendidikan Bandung Fe Institute.
R
endra Suroso, lahir di Ponorogo, Jawa Timur, pada tanggal 31 Maret 1980 yang tadinya memiliki ketertarikan analitis dalam ilmu astronomi namun berubah haluan ke kajian Sistem Kognitif. Area penelitiannya dimulai dari psikologi evolusioner yang terkait dengan kecerdasan buatan (artificial intelligence) dan philosophy of mind. Kebanyakan makalah penelitiannya melingkupi area ini, dengan penekanan pada pikiran terotomasi (automated reasoning). Saat ini ia juga aktif memoderasi dan me-manage proyek CogSciFunPage sebuah proyek penerbitan online tutorial tentang sistem kognitif di http://cogsci.bandungfe.net. Belakangan ini, ia juga aktif dalam penelitian di bidang linguistik komputasional dengan ketertarikan utama pada ikhwal generators dan generations. SAPTONO (Studi Aplikasi Otomata Nonsense) merupakan sebuah hasil kerjanya di bidang generasi teks. Suroso saat ini duduk sebagai kepala departemen Cognitive Science Bandung Fe Institute.
Manajemen & Organisasi
Y
ohanis, dilahirkan di Palembang, Sumatera Selatan, pada tanggal 4 Februari 1978 saat ini merupakan Presiden Direktur dari Surya Research International. Meski tergolong muda, pengalamannya di bidang manajerial dan keuangan telah cukup luas yang tercermin dalam berbagai kiprahnya di Kelompok Studi Ekonomi Pasar Modal ITB, Pojok BEJ di Universitas Padjajaran Bandung, dan merupakan pendiri sekaligus pernah menjabat sebagai President of Ganesha Investment Club ITB. Semasa berkuliah di Universitas Widyatama (d.h. Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Bandung (STIEB)) merupakan Presiden II Senat Mahasiswa dan saat ini menjabat juga sebagai Sekretaris II Ikatan Alumni Universitas Widyatama. Pengalamannya di bidang keuangan telah membawanya menjadi pembicara di berbagai seminar di berbagai perguruan tinggi termasuk beberapa kali talkshow di berbagai stasiun radio di Bandung. Sebelum menjadi pimpinan di Surya Research International, ia adalah Direktur PT Surya Cipta Global International, Kepala Departemen Riset dan Analisis BBMWatch, bekerja di System Analysis & Marketing PT Netcom Indonesia, dan Marketing Research & Analysis and Product Research & Development PT eStockSimulation Dot Com. Yohanis juga memegang berbagai sertifikat di bidang brokerage dan manajemen keuangan dan akuntasi berskala nasional.
Asisten Peneliti
L
a Ode Ardian Maulana Effendy, dilahirkan di Raha (Muna), Sulawesi Tenggara, pada tanggal 2 Januari 1982, merupakan asisten calon peneliti di Bandung Fe Institute dengan ketertarikan penelitian di bidang sosiologi dan ilmu politik komputasional serta geometri voting/pemilihan. Semenjak duduk sebagai Ketua Organisasi Siswa Intrasekolah Sekolah Menengah Umum 1 Raha dan diteruskan ketika berstatus mahasiswa di Departemen Teknik Material Institut Teknologi Bandung, memiliki ketertarikan dan keprihatinan yang kuat akan pendekatan sains untuk pengembangan ilmu sosial dan kemasyarakatan, tercermin dari aktivitasnya saat menjabat sebagai Ketua Institut Sosial Humaniora “Tiang Bendera” ITB dan menjadi steering committee untuk The First South East Asia Student Forum on Technology (2006). Saat ini, Ardian tengah mengerjakan proyek penelitian di bidang Teori Keseimbangan Sosial di bawah arahan Deni Khanafiah di Dept. Computational Sociology Bandung Fe Institute.
w
x