Eva Patriana (D021004 ( D0210040) 0) “Jurnalisme terbaik sering kali muncul ketika ia menentang manajemennya” Bob Woodward
Wartawan bertanggung jawab terhadap hati nurani Setiap wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Ini elemen yang kesembilan. Kesembilan elemen Bill Kovach dan rekannya, r ekannya, Tom Rosenstiel, memberikan acuan kepada jurnalis tentang siapa jurnalis itu, apa yang dikerjakan, dan bagaimana seharusnya jurnalis itu melakukannya. Jurnalis adalah sebuah profesi yang berhubungan dengan publik. Produk jurnalistik adalah sebuah berita. Berita merupakan sebuah informasi yang layak disanpaikan kepada publik yang bisa meberikan manfaat. Di Indonesia pers merupakan pilar keempat demokrasi. Semakin banyak berita dan informasi yang disebar semakin demokratis negara tersebut. Jurnalis ditantang untuk bisa menyampaikan berita yang real atau sesuai fakta, independen, menarik, relevan, komprehensif, dan proporsional. Produk jurnalistik tidak hanya cukup memenuhi kriteria-kriteria tersebut. Tapi ada standar-standar standar-standar yang juga perlu perlu diketahui oleh jurnalis sebagai sebagai pencari berita yang kemudian menyampaikannya agar berita tersebut bisa dikatakan produk jurnalistik. Apa yang seharusnya diketahui wartawan dan diharapkan publik itu terangkum dalam sembilan elemen jurnalisme. Dan yang akan penulis bahas dalam bab ini adalah elemen terakhir yang tentunya tidak hanya cukup diketahui saja namun juga wajib dimiliki oleh jurnalis. Praktisi jurnalisme harus mengikuti hati nuraninya. nuraninya. Mengapa praktisi jurnalisme harus mengikuti hati nuraninya seperti yang disampaikan Bill Kovach dan Tom Rosentiel sebagai elemen kesembilan? Beberapa studi kasus yang telah terjadi dalam pergulatan pers di Indonesia di masa orde baru hingga reformasi mungkin dapat menjawab pertanyaan itu. Seperti koin yang memiliki dua sisi, praktisi jurnalisme juga memiliki dua sisi wajah. Pertama, mereka yang tidak bisa bertanggung jawab terhadap hati nurani. Kedua, para praktisi jurnalisme yang berjuang dan bergulat dalam menegakkan menegakkan landasan fondasi moral hati nurani. Lukas Suwarso adalah wartawan untuk majalah Forum mengenai peristiwa 27 Juli 1996, penyerbuan di kantor Partai Demokrasi Indonesia oleh polisi dan tentara yang menyamar.
Baru””. Lukas Penyerbuan ini digambarkan sebagai aksi brutal sebagai hasil kekuasaan “Orde Baru Suwarso merupakan wartawan yang pertama kali sampai di tempat kejadian. Informasi yang disampaikan media mengungkapkan banyak korban ditemukan, 100 orang diberitakan tewas. Fakta dilapangan yang ia temukan tidaklah demikian, bahkan tidak ditemukan korban tewas dan bekas darah-darah seperti yang dikabarkan. Sebagai Sebagai wartawan wartawan
Lukas Luwarso Luwarso diuji kredibilitasnya, kredibilitasnya,
bagaimana ideologinya sebagai aktivis gerakan pro-demokrasi memberitakan kejadian yang sebenarnya sebenarnya terjadi sebagai fakta yang perlu disampaikan kepada publik. Dalam pemberitaan di amajalah Forum, Lukas Suwarso memberitakan sesuai fakta yang ia temukan. Meskipun Meskipun ada pergolakan. pergolakan. Lukas, Lukas, sebagai pro-demokrasi tetap menegakkan menegakkan integritas jurnalistiknya. Kejujuran yang berasal dari hati nurani menuntutnya untuk tidak merusak tanggung jawabnya sebagai sebagai praktisi jurnalisme. jurnalisme. Memberikan informasi informasi sesuai dengan dengan fakta. Tidaklah mudah menjadi praktisi jurnalisme yang selalu mengedepankan moral dan etika dalam setiap beritanya. Ini merupakan perkara yang penuh dilema dan pelik. Banyak kasus yang terjadi dimana praktisi jurnalisme seharusnya menjadi pemantau kekuasaan namun memilih diam karena tidak berani mengungkap sebuah fakta karena mendapat tekanan yang membahayakan dirinya. Pramoedya dan Thukul adalah orang yang berani. Pram dipenjara Belanda, Soekarno, dan Soeharto. Perpustakaan Pram dibakar tentara. Bukunya habis. Kupingnya budek gara-gara hajaran 1
serdadu. Thukul bahkan diculik dan hilang hingga hari ini . Tapi apa yang terjadi di negeri ini sekarang. Banyak media yang tidak bekerja untuk melayani publik lagi, intinya mereka tidak lagi independen. Banyak faktor diluar tujuan utama media yang lebih dipertimbangkan agar bisnis mereka tidak terganggu. Media lebih mengesampingkan fakta. Akibatnya banyak cerita dan kasus yang tidak diangkat dan lenyap. Wartawan atau praktisi jurnalisme secara pribadi semestinya perlu mempertimbangkan tanggung jawab sosial dan etika baik di ruang redaksi hingga ruang direksi. Lingkungan yang multikultural akan lebih membuat ruang redaksi bermutu dan intelektual dibanding yang seragam. Sayangnya tidak ada lagi sosok seperti Pramodya dan Thukul di negeri ini. Praktisi jurnalisme sekarang masih sangat tunduk dengan redaktur. Parahnya lagi redaktur juga tunduk dengan penguasa modal. Lalu bagaimana pers khususnya di Indonesia dapat disebut bertanggung jawab dan memiliki integritas? Nuranilah yang perlu dikedepankan. Bagaimana nurani bisa menjadi pendorong dan
1
Andreas Harsono. (2010). Agama Saya Adalah Jurnalisme . Yogyakarta: Kanisius. Halaman 81.
kekuatan para praktisi jurnalisme agar berani mengungkapkan fakta yang layak kepada publik. Hasil dari ketidakberanian wartawan menghasilkan tulisan yang biasa-biasa saja. Artinya berita tersebut tidak berisi kritikan yang mengkritisi sesuatu seperti kebobrokan negeri ini yang ditutuptutupi untuk kemudian diangkat secara etis ke permukaan. Mungkin keberanian Bill Kovach bisa menjadi contoh bagi insan jurnalis Indonesia. Karena mempertahankan moral dalam menyampaikan berita, ia pernah kehilangan jabatannya sebagai Journal-Constitu tion. Butuh keberanian lebih daripada menkhianati hati pemimpin redaksi Atlanta Journal-Constitution.
nurani. Hal ini merupakan tantangan berat terhadap semua profesi. Karena untuk dapat bertindak sesuai nurani perlu ada yang dikorbankan. Namun selalu ada bayaran tinggi terhadap sebuah tindakan etis. Kisah Bill Kovach menginspirasi kita bahwa perlu suatu penentangan terhadap redaktur, organisasi, manajeman, manajeman, pemilik, pengiklan, masyarakat, masyarakat, dan otoritas yang berkuasa bila tidak sesuai dengan etika moral. Apalagi jika harus mengorbankan kejujuran dan integritas maka tiap praktisi jurnalisme bertanggung bertanggung jawab secara secara pribadi untuk memeranginya. memeranginya. Ungkapan pena lebih tajam daripada pisau merupakan kiasan yang tepat. Sebab, apa yang ditulis oleh wartawan lewat penanya bisa menjadi senjata ampuh untuk membunuh obyek tulisannya. Namun tidak ada kebebasan di dunia ini yang mutlak. Kekebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan kebebasan orang lain. Kebebasan Kebebasan berpendapat yang dimiliki setiap orang orang diatur dalam pasal 28 yaitu “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan 2
dan sebagainya dietetapkan dengan Undang-Undang” . Memang dalam setiap laku wartawan
selalu dibayang-bayangi dengan aturan dan hukum yang berlaku. Tapi bukan berarti kebebasan wartawan disini dibatasi. Pelanggaran hukum dapat diminimalisasi melalui pelaksanaan kode etik jurnalistik. Dalam kaitan ini tepat sekali pendapat pakar hukum pers dan komunikasi, Prof. Dr. H. A. Muis, SH dalam bukunya “Jurnalistik Hukum dan Komunikasi Massa Menjangkau Era Cyber Communication Milenium Ketiga”, penerbit PT. Dhanu Anuttama 1999, mengatakan bahwa, fungsi kode etik jurnalistik sebenarnya dapat mengamankan pelaksanaan kebebasan dan tanggung jawab sosial pers dari incaran ranjau-ranjau hukum pers jika dilaksanakan dengan baik (dipatuhi). Kode etik jurnalistik mempunyai fungsi sebagai polisi yang dibentuk sendiri oleh pers untuk mencegah
2
UUD ’45 Hasil A mandemen
1999-2002
ancaman ranjau pers. Intervensi negara hanya dapat dicegah sejauh anggota-anggota profesi 3
kewartawanan kewartawanan membentuk sendiri “kepolisian” dan menciptakan sendiri kedisiplinannya . Para penggerak pers nasional membentuk PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) pada 9 Februari 1946 di di Surakarta sebagai wujud dari dari keprofesionalitas profesi watawan. watawan. Sejalan dengan dengan itu dibuat Kode Eik Jurnalistik yang dapat menjadi pedoman laku wartawan. Dalam Bab IV Kekuatan kode etik jurnalistik pasal 16 dengan jelas berbunyi “Wartawan Indonesia menyadari sepenuhnya bahwa penataan Kode Etik Jurnalistik ini terutama berada pada hati nurani masing-masing”. masing-masing”.
4
Dengan demikian ada rambu-rambu bagi wartawan dalam menjalankan kebebasannya, kebebasannya, yaitu kode etik jurnalistik, selain peraturan perundang-undangan maupun kendala-kendala lainnya. Kode etik ini meskipun tidak menetapkan sanksi tegas seperi Undang-Undang, namun ketentuanketentuannya ketentuannya dipatuhi oleh setiap wartawan wartawan karena jika tidak martabat profesi wartawan terpuruk. Dengan demikian, tegaknya profesional code ini sangat mengandalkan pada kata kat a “kata hati” atau 5
“hati nurani” wartawan sendiri.
Kode etik jurnalistik dibuat oleh wartawan sendiri dan untuk wartawan. Menjadi kendala bila wartawan tersebut bukan merupakan anggota dari PWI atau bukan merupakan wartawan media tertentu. Lantas apa kebebasan mengeluarkan pendapat mereka tidak bisa dibatasi? Tentu sangat sulit menerapkan menerapkan kode etik jurnalistik kepada meraka meraka yang diluar diluar anggota PWI. Tetapi mereka yang diluar anggota PWI memang tidak perlu mematuhinya. Konsekuensinya mereka harus bisa mempertanggungjawabkan mempertanggungjawabkan martabat profesinya masing-masing. Kembali pada pertanyaan dimuka. Untuk menjawab pertanyaan mengapa perlu hati nurani berperan dalam setiap langkah jurnalis maka ada baiknya kita juga melihat ke lingkup yang lebih luas. Ada bebetapa kasus yang terjadi di beberapa negara lain yang bisa menjadi contoh bagaimana pers dulu hingga sekarang dalam pergulatan nuraninya. Pada 1983, saat acara Dateline di NBC menyiapkan segmen berjudul “menunggu untuk meledak?” yang yang berisi tuduhan bahwa tanki bahan bakar
truk -truk buatan General Motors
berkecenderungan berkecenderungan robek dan meledak dalam tabrakan, reporter berita ini menyatakan keberatannya. Sekalipun koresponden Michele Gillen telah mengumpulkan gambar kejadian kecelakaan sebenarnya yang memperlihatkan para penegmudi akhirnya terjebak dalam mobil yang terbakar, ia 3
R.H. Siregar. (2005). Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan kehormatan PWI. Halaman 14. R.H. Siregar. (2005). Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan kehormatan PWI. Halaman 100. 5 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat. (2009). Jurnalistik teori dan praktik. Bandung: PT. Remaja Ros Dakarya. Halaman 4
tahu bahwa uji tabrakan yang dilakukan NBC tak memperilhatkan hal yang sama. Api kecil memercik, tetapi hanya menyala selama 15 detik sebelum padam sendiri. Maka ketika ia mengeathui bahwa stasiun itu sedang menyiapkan uji tabrakan tambahan akal-akaln agar hasilnya lebih dramastis, Gillen melakukan hal yang sama dalam tujuh bulan bekerja dalam acara itu. Ia menelepon bosnya, Jeff Diamond, dirumah dan menyatakan keberatannya. Ia ingin uji coba baru 6
dihentikan . Diamond berhasil myakinkan Gillen dari kebimbangannya berhari-hari mengenai masalah tersebut. Akhirnya setelah mendapat pengaruh dari bosnya, Gillen mau memberi narasi uji tabrakan itu dengan syarat sang produser memberi jaminan bahwa kebertan Gillen akan disertakan dalam akhir siaran. Hasil tes ujicoba tersebut akan dilabeli “tidak ilmiah”. Meskipun demikian, berita itu tak menyertakan semua keberatan Gillen. Tayangan itu tak pernah menyebut berapa lama api menyala atau ketika padam dengan sendirinya. Namun akhirnya Gillen setuju juga untuk memberi narasi tayangan itu, berlawanan dengan nalurinya, karena, katanya, “pada satu titik, Anda harus mempercayai produser eksekutif Anda, dan jika berkata kepadaku hal ini tak ada masalah, dan ia bertanggung jawab mencarikan yang terbaik untukku dan yang terbaik untuk acara itu, maka saya mempercayainya mempercayainya ”. Gillen keliru dan rasa malu yang timbul akibat ledakan akal-akalan tersebut merupakan titik rendah dalam sejarah NBC News.
7
Seperti kata Bob Woodward dari The Washington Post , kariernya telah mengajarkan satu hal kepadanya: “Jurnalisme terbaik sering kali muncul ketika ia menentang manajemennya”.
8
Jika dalam kejadian diatas, Gillen berpegang pada nuraninya tentunya ia tidak akan menaggung malu seperti itu. Namun hal ini bukan saja sepenuhnya menjadi kesalahan Gillen. Jika NBC News tidak perlu menaggung resiko yang berakibat keberatan Gillen diperhatikan, tentunya NBC News
pada turunnya kepercayaan publik terhadap integritas NBC News. Seharusnya perusahaan media memberikan bonus kepada pegawainya atas dasar kualitas pekerjaannya. Tidak berdasarkan pada seberapa untung dan rugi yang didapat perusahaan melalui berita yang disampaikannya. Meskipun tidak dipungkiri bahwa salah satu yang dapat menggerakan perusahaan adalah profit yang didapat. Namun tidak bisa menjadi alasan bagi perusahaan untuk mengedepankan profit dibanding menyediakan berita yang layak kepada publik. Karena berita bukan merupakan produk hiburan yang menjadi obyek komersil semata. Mengingkari prinsip
6
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. (2006). Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau. Halaman 237. Ibid. Halaman 237-238. 8 Ibid. Halaman 238. 7
melayani kepentingan publik. Selain itu, masyarakat masyarakat membutuhkan lembaga independen yang bebas memantau kekuasaan kekuasaan pemerintah atau badan-badan dan lembaga yang kuat. Lembaga Pers. Salah satu wartawan Kompas yang memberikan seminar Cityzen Journalism dengan mahasiswa di gedung aula Fakultas Hukum (26 Mei 2012) dalam acara Kompas Campus di Universitas Sebelas Maret Surakarta, memaparkan bahwa bonus yang diterima oleh karyawan Kompas berdasarkan tingkat kualitas kinerjanya. Setiap tahun dilakukan penghitungan agar dapat melihat kinerja tiap pegawai. Bonus dapat berkurang jika semakin banyak kesalahan yang dilakukan. Sejalan dengan prinsip Bill Kovack, sistem ini selain dapat menjaga mutu dari perusahaan perusahaan tersebut, juga j uga dapat meningkatkan tanggung jawab pada setiap praktisi jurnalisme. Secara tidak langsung sistem itu mengikat mereka harus menghasilkan produk jurnalistik sesuai fakta dengan menegakan etika moral. Tentunya masyarakat berharap semua perusaahaan media juga menerapkan sitem serupa agar bisa menjadi kontrol diri sendiri dan media. Tidak dipungkiri banyak media yang masih menggunakan gaya manajement yang biasa disebut management by obyections dimana besarnya bonus yang diterima berdasarkan keuntungan dari
perusahaan. Akibatnya akan terjadi bias yang mengakibatkan jurnalis tidak lagi bertanggungjawab terhadap masyarakat. Dengan demikian masayarakat perlu ikut turun tangan. Lalu apa peran masyarakat? Peran masyarakat disini adalah ikut mengontrol dan mengawasi bagaimana media-media bekerja agar tidak mejadi kebebasan yang kebabablasan. Karena fungsi masyarakat itu sendiri adalah sebagai kontrol sosial. Banyak teoritisi media mengatakan makin bermutu jurnalisme dalam suatu masyakat, maka Better makin bermutu pula masyarakat itu. Internatioanal Center for Journalist punya sembonyan: “ Better
journalism, better lives!”9Apa yang diharapkan publik adalah apa yang menjadi tanggungjawab awak media saat ini. Semakin berkualitas kerja insan media maka semakin berkualitas informasi yang didapat. Dengan demikian maka semakin cerdas masyarakat dalam bersikap dan mengambil keputusan dalam menanggapi menanggapi isu penting di negeri ini. Apa yang menjadi tanggung jawab media menjadi hak masyarakat. Elemen jurnalisme bukan hanya milik wartawan tapi juga milik masyarakat. Sejalan dengan fungsi pers di masyarakat maka menjadi tanggung jawab pers untuk memenuhinya. R.H. Siregar, dalam bukunya Setengah Abad Pergulatan Pergulat an Pers mengatakan “Sebagai landasan moral profesi, maka kode etik bukan “kartu
mati” melainakan “harga mati”. mati”. Hal ini mungkin bisa menjadi renungan bagi semua praktisis jurnalisme sebelum mereka keluar dari rumah dengan meninggalkan segala atributnya,
9
R.H. Siregar. (2005). Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan kehormatan PWI. Halaman 102.
kewarganegaraan, agama, suku, ras, etnis, dan bangsa untuk memenuhi tugas mulia mereka, memberikan informasi yang layak kepada masyarakat.
Daftar Pustaka Harsono, Andreas dan Budi Setiyono. (2008). Jurnalisme Sastrawi. Jakarta: PT Gramedia. Harsono, Andreas. (2010). Agama Saya Adalah Jurnalisme. Yogyakarta: Kanisius. Kovach, Bill dan Tom Rosenstiel. (2006). Sembilan Elemen Jurnalisme. Jakarta: Yayasan Pantau. Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. (2009). Jurnalistik teori dan praktik. Bandung: PT. Remaja Ros Dakarya. Siregar, R.H. (2005). Setengah Abad Pergulatan Etika Pers. Jakarta: Dewan kehormatan PWI. UUD ’45 Hasil Amandemen 1999 -2002