H ydr ydr oter ter mal Er E r uption uption
“
”
Vulkanologi dan Geologi Geothermal Geothermal | Grup 1 Geofisika
Anggota Kelompok: 1. David Andrian 2. Eka Yulianto 3. Dewi Wulandari 4. Nurul Fitrianisa 5. Reza Muflihendri
1506729191 1506725823 1506740875 1506740944 1506735856
1. Jelaskan bagaimana proses hydrothermal eruption terjadi dengan prinsip hukum termodinamika I! Pada dasarnya hukum termodinamika satu berisi: (1) ∆ = − menyatakan bahwa jika ada kalor masuk maka sistem akan melakukan kerja sebesar W dan sisa dari energi yang dihasilkan ini akan digunakan untuk menaikkan energi kinetik (dalam kasus termodinamika energi kinetik gas). Pada hydrothermal fracturing hukum termodinamika satu dapat diterapkan karena kecenderungannya yang adalah sistem tertutup. Hydrothermal tertutup. Hydrothermal Fracturing diawali dengan adanya fluida panas yang terinjeksi ke dalam tanah. Fluida panas pada mulanya, mungkin, adalah meteoric water (air (air hujan) yang masuk dan mengalami pemanasan akibat heat source yang ada di dalam bumi. Fluida panas ini mengalir ke permukaan melewati celah-celah yang mungkin disebabkan oleh hydraulic fracturing . Celah-celah ini membuat air dapat naik ke atas karena daerah yang lebih atas memiliki tekanan yang lebih rendah dibandingkan dengan tekanan di bagian bawah sehingga air dapat menga lir. Jika perbedaan tekanan ini sangat besar maka fluida akan mengalir dengan sangat cepat dan jika cukup besar dapat melebihi nilai lithostatic pressure pressure dan cohesive stress stress sehingga batuan yang ditekan dapat mengalami uplift (Smith (Smith dan McKibbin,2000) dan kemudian membuat air terus mengalami perubahan fase menjadi gas. Semakin fluida mendekati permukaan akibat hilangnya overburden pressure pressure dari batuan yang terangkat ke atas, semakin berkurang tekanan sehingga fluida berubah menjadi gas mengikuti diagram di bawah (Gambar 1.1 ). Q pada persamaan (1) berasal dari sumber panas. Sumber panas menyebabkan air meteorik yang masuk ke dalam tanah mendidih. Saat air mendidih dan menuju permukaan ia akan mengalami perubahan perubahan fase menjadi gas dan kemudiangas kemudian gas ini akan melakukan “usaha” terhadap batuan di atasnya dan ketika batuan terangkat ke atas mak a “usaha”oleh gas bernilai bernilai positif karena adanya pertambahan volume. Pertambahan volume ini dapat dilihat dari penurunan tekanan sampai ke bawah kolom erupsi. Setelah usaha dilakukan maka sisa “usaha” akan digunakan untuk meningkatkan energi kinetik fluida gas yang ada didalam kolom erupsi(Smith dan McKibbin,2000).
Gambar 1.1. Diagram Fase P VS T(Freedman and Young,2012) 2. Carilah contoh hydrothermal eruption di dunia (disertai ilustrasi yang jelas, bersumber dari paper, ebook, dll) ! Letusan hidrotermal ( Hydrothermal Eruption) adalah erupsi uap yang membawa tephra atau material kecil yang merupakan karakter bersifat periodik pada kebanyakan area fumarol. Kawah yang dihasilkan dari letusan ini biasanya berukuran kurang dari 1 km dan biasanya di dalam kawah atau disekitarnya banyak dijumpai endapan silica sinter, travertine dan lapisan breksi. Letusan hidrotermal ini dapat terjadi pada area dimana tekanan uap dari fluida geothermal melewati tekan didih hidrostatik. Titik dari letusan ini biasa terjadi pada area laju konveksi fluida yang terhalang oleh adanya sistem impermeable yaitu caprock (clay). Erupsi hidrotermal ini merupakan indikasi dari adanya sistem hidrotermal aktif di bawah permukaan. a. Yellowstone The Yellowstone Plateu Volcanic Field (YPVF) bertanggungjawab atas tiga bencana alam erupsi vulkanik yang terjadi 2,1 juta tahun yang lalu [Christiansen, 2001] serta menghasilkan serangkaian kaldera besar disepanjang Snake River Plain [Pierce dan Morgan, 1992; Smith dan Braile, 1994; Pierce dan Morgan, 2009]. Letusan dahsyat yang paling muda terjadi pada tahun 0,64Ma dan membentuk kaldera Yellowstone. Karakteristik dari kaldera yellowstone ditandai dengan seismisitas luas, terjadi beberapa episode (uplift dan subsidence), dan sistem hidrotermal yang sangat besar dan dinamis.
Gambar 2.1. Area dari Yellowstone National Park
Volcanic H istory & State of Magmatic System Letusan pertama di 2.059 ± 0.004Ma [Lanphere et al., 2002] menghasilkan> 2.550 km3 Huckleberry Ridge Tuff. Letusan kedua di 1.285 ± 0.004Ma [Lanphere et al., 2002], menghasilkan> 280 km3 Mesa Falls Tuff dan kaldera Henrys Fork, dan letusan terakhir 0,639 ± 0,002Ma [Lanphere et al., 2002] menghasilkan 1000 km3 Lava Creek Tuff dan Kaldera Yellowstone [Christiansen, 2001]. Kaldera Yellowstone merupakan sebuah depresi elips seluas ~ 80 × 50 km (Gambar 1) dan berisi 600-1000 km3 lava rhyolitik post-0.64Ma [Christiansen et al., 2007]. Setelah pembentukan kaldera, terjadi peningkatan di dalam kaldera membentuk Danau Mallard dan kawah kebangkitan Sour Creek [Christiansen, 2001]. Lalu terjadi letusan pascakaldera, dimana hasil dari letusan ini berupa lava ryolitik 600km3 dan hampir memenuhi vent. Fluks besar volatil yang berasal dari magma menunjukkan bahwa kerak magma silis atas dilapisi oleh Sistem basaltik [Lowenstern dan Hurwitz, 2008].
E pisodic H eat and Mass Transport F rom Magma to the H ydrothermal System Hampir semua panas dan sebagian besar gas tak terkondensasi (discharge) di Yellowstone berasal dari lapisan bawah sistem magmatik dan diangkut melalui sistem hidrotermal (Gambar 2.2). Dengan tidak adanya lubang bor, informasi tentang perpindahan pan as dan transfer ke dan melalui sistem hidrotermal hanya tersedia secara tidak langsung dari observasi geofisika dan geokimia, data dari pengeboran dalam di tempat lain. Di beberapa sumur eksplorasi panas bumi dimana suhu melebihi 370 ° C (misalnya, di Lardarello di Italia, Kakkonda di Jepang, dan Kra fl di Islandia), sebuah zona sempit dimana batuan low-permeability terbentuk oleh pengendapan silikat dan mineral lainnya
[Fournier, 1991; Ikeuchi et al., 1998; Schiffman et al., 201 2]. Gradien tekanan fluida tajam telah diukur di zona ini: bagian atas merupakan batuan rapuh dimana fluida hidrotermal yang berasal dari meteorik beredar pada tekanan hidrostatik sampai sublithostatic; & pada bagian bawah merupakan daerah yang lebih panas [Fournier, 1991, 1999; Cox , 2005]. Suhu dekat magmatic relatif kecil [Bailey, 1990; Fournier, 1999]. Suhu dan tekanan di mana transisi ductile/brittle terjadi di sumur-sumur ini serupa dengan suhu dan tekanan dimana kumpulan mineral dalam batuan silika mengalami transisi dari deformasi ductile sampai brittle di daerah yang aktif secara tektonik dengan gradien suhu tinggi [Evans et al. , 1990; Hirth dan Tullis, 1994; Dingwell, 1997; Simpson, 2001]. Dalam kisaran suhu ini kelarutan mineral silikat menurun [Fournier and Potter, 1982; Fournier, 198 5].
Gambar 2.2. Gambaran cross section dari magmatic & hydrothermal systems Pada daerah high strain, material ductile shear failure (brittle) ketika respon pada small stress. Air garam & gas yang mengandung magmatik keluar ke kerak yang brittle. Hasilnya adalah terjadi peningkatan suhu dan tekanan fluida didalam brittle crust dan menginduksi patahan & breksi yang memungkinkan terjadinya peningkatan pengukuran volatil dan panas magmatik. Dalam hydrothermal system,suhu tinggi dan reaktivitas fluida cenderung menurunkan permeabilitas. Untuk menjaga permeabilitas yang cukup yang digunakan untuk advective transport & volatile diperlukan seismisitas dan deformasi yang berkelanjutan. Dzurisin dan Yamashita [1987] mengusulkan bahwa cairan magmatik mungkin Mengontrol deformasi Kaldera Yellowstone. "Uplift mungkin disebabkan oleh intrusi basaltik di dekat dasar reservoir atau akumulasi cairan ma gmatik selama pendinginan dan kristalisasi di dalam reservoir" dan Subsidence mungkin merupakan respons terhadap perluasan tektonik regional atau pelepasan cairan magmatik yang terperangkap." Tiga gempa besar (1985) merupakan transisi dari inflation ke deflation. Dua diantaranya mengindikasikan bahwa terdapat pertambahan injeksi volatil kedalam hydrothermal system, yang dapat menyebabkan peningkatan serta pelapasan tekanan secara keseluruhan. Focal mechanism dari gempa tersebut ditafsirkan sebagai hasil dari
migrasi hidrothermal dan pelepasan tekanan [Waite dan Smith, 2002; Farrell et al., 2009, 2010; Shelly et al., 2013]. Perubahan pola deformasi kaldera dijelaskan oleh migrasi fluida hidrotermal secara radial ke luar dari Kaldera Yellowstone. Batas barat laut dari kaldera diperkirakan terjadi oleh pecahnya zona fluida bertekanan tinggi hingga menjadi crustal fault system yang mendorong pelepasan akumulasi tekanan [Shelly et al., 2013]. Pemusatan radiokarbon menunjukkan penurunan tajam 25% pada 14C, ditafsirkan sebagai akibat peningkatan emisi CO2 yang meningkat selama beberapa tahun setelah keretakan seismik pada tahun 1978 [Evans et al ., 2010]. Pengukuran debit klorida telah dilakukan sejak 1983 untuk membentuk korelasi temporal antara debit klorida dan inflation & deflation cycles dari Kaldera Yellowstone yang mengindikasikan kemungkinan kebocoran fluida magmatik. Peningkatan kecil dalam masukan air garam magmatik ke sistem hidrotermal kemungkinan akan menyebabkan perubahan yang signifikan pada debit klorida. Semua area thermal (Danau Yellowstone& geyser basin) dikaitkan dengan ano mali magnetik negatif, refleksi alterasi hidrotermal yang telah menghancurkan magnetik susecptibility dari mineral pada riolitik [Finn dan Morgan, 2002; Bouligand et al., 2014]. b. Wairakei
Tabel 1. Data Sistem Hidrotermal di Wairakei
Observasi yang dilakukan oleh Allis (1986) mengenai erupsi hidrotermal di kawah area Moon (Wairakei) menunjukkan bahwa erupsi berlangsung selama 15 menit hingga beberapa jam. Selama material dikeluarkan (terdapat material yang jatuh dan kembali dikeluarkan) tidak berakhir dalam waktu singkat. Single eviscerating eruptions yang berasal jauh di kedalaman reservoir dengan energi yang dilepaskan pada saat bersamaan. Erupsi hidrotermal analog dengan efek yang yang terus berlanjut untuk beberapa waktu tetapi berkurang secara bertahap. Kasus WK 204 di Wairakei merupakan salah satu contohnya (Thompson, 1976). Setelah blow-out secara episodik selama 13 tahun, banyak material padat membentuk kawah sekitar 15m, terjadi pelepasan material menjadi lebih basah (lebih berair) dan berhenti secara spontan. Bukti paling kuat dari penghentian aktivitas adalah persediaan air panas menjadi sedikit atau tidak cukup untuk memproduksi uap yang dapat brecciate dan mengangkat batuan dari steam vent . Vent di Kawah Moon terus mengeluarkan uap kering (dry steam), tetapi bukan batuan. Setelah diamati letusannya konsisten dengan model yang dibuat. Letusan berakhir saat vent menjadi banjir dengan air tanah. Letusan(erupsi) hidrotermal berasal dari bawah danau, misalnya, akan berhenti saat vent dibanjiri oleh air danau yang dingin. Vent juga mungkin tersumbat saat terdapa sisi yang runtuh. Pengendapan blok mineral hidrotermal menghalangi saluran masuknya cairan menuju vent berlangsung lebih lama namun lebih efektif. Wairakei termasuk daerah sistem geothermal dengan temperatur tinggi, dominan cairan. Pencegahan erupsi hidrotermal akibat kenaikan tekanan hidrostatik pernah
dilakukan di sumur WK 204, namun sayangnya usaha tersebut tidak b erhasil. Di Wairakei, ada hubungan yang jelas antara letusan dan perubahan tekanan yang diinduksi eksploitasi di waduk, atau modifikasi lapisan penutup tanah melalui tanah longsor atau penggalian.
Gambar 2.3. Peta lokasi Wilayah Vulkanik Taupo menunjukkan sistem geothermal dimana erupsi hidrotermal terjadi di berbagai tempat. Letusan hidrotermal terjadi di Wairakei dan Tauhara (Gambar 2.2) (Allis, 1981, 1983) dan kejadian ini merupakan konsekuensi dari eksploitasi sistem hidrologis ini. Dua letusan terjadi di lapangan Tauhara di Taupo PonyClub, pada tahun 1974 dan 1981, 7 km dari Wairakei Power Station, dan produk yang dikeluarkan oleh yang terakhir telah dijelaskan secara rinci oleh Scott dan Cody (1982). Allis (1979, 1984, 1986). Laporan berisi informasi tentang daerah Kawah Moon (Karapiti), di dalam lapangan Wairakei, di mana setidaknya 20 letusan hidrotermal telah terjadi dalam 20 tahun terakhir. Peristiwa terakhir terjadi pada tahun 1997 (C J Bromley pers. Comm.). Kawah yang di hasilkan hanya berdiameter sekitar 2 - 20 m dan kedalaman, namun lumpur dan batu apun g yang dibuang naik sampai ketinggian sekitar 30 m. Letusan prasejarah diakui berdasarkan simpanan yang mereka keluarkan, dan tidak diragukan lagi ada banyak letusan dimana tidak ada catatan geologi yang bertahan, atau yang depositonya belum diketahui. Wairakei diketahui memiliki kecenderungan mengeluarkan phreatomagmatic atau magmatic-hydrotermal dibandingkan hanya berupa hydrothermal .
Gambar 2.4. Komposisi stratigrafi di Rotokawa (Collar, 1985; Collar dan Brown, 1985). Tefra, ignimbrite, lapilli terdistribusi dalam wilayah tersebut. c. Waiotopu Penelitian mengenai erupsi hidrotermal dan manifestasi di lapangan Panas Bumi Waiotapu di New Zealand dilakukan oleh E. F. Lloyd (1959). Area Waiotapu sendiri berada 15 mil ke arah tenggara dari Rotorua. Dalam jurnal yang ia publikasikan, Floyd membagi komposisi kimia pada mata air panas sebagai manifestasi di Waiotapu dalam 4 kelas, yaitu acid sulphate waters, sulphate-chloride waters, chloride waters dan bicarbonate-chloride waters.Untuk aliran panas yang ada di Waiotapu diperkirakan sebesar 302,000 Kcal/detik dibawah 15ºC. Bagian Waiotapu terbagi menjadi 2 zona bagian yaitu bagian utara di patahan Ngapouri dan bagian selatan di zona termal Waiotapu. Pada bagian selatan tersebut terdapat sebaran kawah-kawah kecil, yang terbentuk dari hasil erupsi hidrotermal karena hanya batuan alterasi yang dikeluarkan. Mekanisme yang mungkin untuk memicu letusan tersebut yaitu: 1. Akumulasi tekanan dalam sistem hidrotermal sampai mereka melampaui beban litostatik dan mengganggu batuan di atasnya. 2. Intrusi magma pada kedalaman, mengganggu ekuilibrium yang ada dalam sistem hidrotermal karena efek termal yang diintensifkan. 3. Gerakan tektonik memungkinkan air panas naik ke tingkat di mana suhunya melebihi titik didih untuk kondisi kedalaman.
Referensi Allis, R.G., 1981. Changes in heat flow associated with ex field, New Zealand. N.Z. J. Geol. & Geophys., 24: 1-19 Allis, R.G., 1984. The 9 April 1983 steam eruption of Craters of the Moon thermal area, Wairakei. N.Z. D.S.I.R. Geophys. Div. Rep. 196. E. F. Lloyd (1959) The hot springs and hydrothermal eruptions of Waiotapu, New Zealand Journal of Geology and Geophysics, 2:1, 141-176 pages. Freedman,R.A., Young,H.(2012).University Physics with Modern Physics.Addison-Wesley:San Francisco. Hurwith,S.,Lowenstern,Jacob. (2014). Dynamics of the Yellowstone hydrothermal system. American Geophysical Union:Claifornia Smith,T.,McKibbin,R.(2000).An Investigation of Boiling Process In Hydrothermal Eruption. Paper tidak diterbitkan. P.R.L, Brown, Lawless. 2001. Characteristics of hydrothermal eruptions, with examples from New Zealand and elsewhere http://psdg.bgl.esdm.go.id diakses 13 Mei 2017 pukul 13.30 wib. https://pubs.er.usgs.gov/publication