UUPPLH No 32 tahun 2009: Tonggak Baru Keberlanjutan LH OPINI | 14 August 2010 | 05:00
2491
9
Nihil
Ada banyak sekali problem Lingkungan Hidup (LH) di Indonesia yang tidak terselesaikan. Pada saat yang sama, krisis lingkungan semakin mengancam keberlanjutan alam-atas dasar itulah sesungguhnya mengapa diperlukan Undang-Undang (UU) LH yang lebih sempurnaitulah filosofi kelahiran UU PPLH No 32 tahun 2009. (Ilyas Asaad, Deputi Menteri Lingkungan Hidup, bidang Penaatan lingkungan) Dalam sejarahnya, UU Perlindungan Lingkungan Hidup (PLH) di Indonesia telah mengalami tiga kali fase evolusi; pertama, UU No. 4 tahun 1984 yang kemudian diganti dengan UU No. 23 tahun 1997, terakhir dan sekaligus menjadi isu paling strategis adalah UU No. 32 tahun 2009. Mengapa perlu ada revisi UU PLH yang melahirkan UU No 32 tahun 2009? Ilyas Asaad, menuturkan bahwa argumen paling mendasar dari revisi tersebut adalah ketidakmampuan UU lama dalam menjawab berbagai problem LH di Indonesia. “Setelah dua belas tahun diberlakukan, kerusakan lingkungan masih dominan, begitu pula dengan kasus-kasus lingkungan yang tidak pernah bisa diselesaikan dengan baik”, tegasnya. Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) melalui laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia (SLHI) 2006 mencatat bahwa telah terjadi penurunan kualitas lingkungan hidup pada tahun 2006 disebabkan karena terjadi peningkatan polutan secara signifikan di media air dan udara. Selain itu, terjadi juga peningkatan kasus pencemaran limbah domestik dan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Data SLHI 2006 juga menunjukkan bahwa kerusakan lahan dan hutan di Indonesia telah mencapai 59,2 juta hektar dengan laju deforestasi sekitar 1,19 juta hektar per tahun. Percepatan pengurangan hutan yang tinggi ini memiliki efek yang signifikan terhadap keanekaragaman hayati dalam ekosistem hutan. Kerusakan lahan dan hutan secara umum disebabkan karena berbagai hal seperti kebakaran hutan dan lahan, illegal logging, perambahan lahan, konversi (alih fungsi) lahan dan kegiatan pertambangan. Krisis lingkungan yang terus meningkat serta banyaknya sengketa LH yang berujung bebas menjadi preseden buruk yang mengancam eksistensi lingkungan dan manusia. Salah satu problem mendasar adalah lemahnya konstitusi hukum yang berdampak pada penaatan lingkungan yang rendah. Selain penguatan institusi maupun kordinasi antar lembaga terkait yang mesti dilakukan, ternyata diperlukan penguatan rule of the game yang bisa mengatur seluruh persoalan lingkungan. UU No 23 tahun 2009 menjadi harapan baru bagi keberlanjutan lingkungan hidup. Penguatan dan idealisme UU baru tersebut sesungguhnya sangat berdasar secara filosofis dan sangat tidak berlebihan apalagi politis. Dalam UU Dasar 1945 Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Amanah UU 1945 tersebut jelas memandang bahwa kebutuhan mendapatkan lingkungan yang sehat adalah salah satu hak asasi. Negara berkewajiban memberi perlindungan dan jaminan lingkungan sehat, oleh sebab itu negara harus memiliki otoritas kuat dalam mengelola dan melindungi LH. Pasal 33 ayat (1) semakin menegaskan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi-berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Dasar hukum tersebut di atas jelas menginspirasi betapa perlunya negara membuat aturan yang kompleks yang berorientasi jangka panjang. Sejak tanggal 3 Oktober 2009, UndangUndang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (PLH) telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, yang kemudian digantikan dengan hadirnya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Undang-undang ini terdiri dari 17 bab dan 127 pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Perbedaan mendasar kedua UU tersebut adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, dan keadilan. Ilyas Asaad mengakui bahwa kelahiran UU No 32 tahun 2009 ini adalah sesuatu yang memang mutlak dilakukan untuk mengakhiri problematika LH yang semakin mencemaskan. “UU baru ini sangat sempurna dan mengatur segala hal yang dianggap kurang terutama dalam UU lama. Perubahan mendasar sangat jelas pada perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.” Meskpun terlihat sangat protektif dan tegas, namun Ilyas Asaad membantah jika UU No 32 tahun 2009 akan menghambat laju investasi dan pembangunan ekonomi, sebagaimana wacana yang berkembang terutama dari kalangan dunia usaha. Justru, kata Ilyas, UU tersebut memberi garansi kepada dunia usaha dalam keberlanjutan industrinya, sepanjang memamg tetap konsisten memperhatikan aspek LH. Menurut Anggota Komisi VII DPR-RI, Ismayatun, UU No 32 tahun 2009 ini menjadi kekuatan hukum yang cukup kuat kepada KLH, sebab KLH akan punya kekuatan untuk mengkategorisasikan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku pencemaran atau perusak lingkungan sebagai sebuah pelanggaran pidana. ”Ini suatu hal yang luar biasa” tuturnya. Soal resistensi dari kalangan pengusaha khususnya Migas, Ismayatun mengakui, wacana itu lebih disebabkan oleh belum maksimalnya sosialisasi. “Jika sosialisasi dilakukan mengenai isi UU ini maka akan mengubah pandangan mereka bahwa itu tak akan merugikan kepentingan mereka. . UU ini harus mereka hormati, karena ini untuk kepentingan pelestarian lingkungan. Jadi banyak industri yang gerah dengan UU PPLH ini, sebenarnya bukan untuk mengurangi produksi tetapi ini untuk mendisiplinkan mereka. Ini adalah untuk pembinaan dan sebagai langkah preventif. Ini ketakutan yang tidak beralasan saja.”
Hal yang sama dikemukanan Pakar Hukum Lingkungan, Dr. Asep Warlan, menurutnya UU No 32 tahun 2009 akan mendorong wacana pembangunan berkelanjutan (sustainable development), sebab semua kalangan usaha akan memiliki kesadaran penuh atas pengelolaan lingkungan berwawasan masa depan. Munculnya polemik seputar UU tersebut, menurut Asep Warlan, lebih disebabkan oleh belum adanya pemahaman mendalam. Itulah sebabnya, tahap pertama yang dilakukan KNLH sekarang ini adalah melakukan sosialisasi secara berkesinambungan kepada seluruh komponen, terutama institusi terkait agar terwujud kesamaan persepsi dalam memahami UU No 32 tahun 2009. Keistimewaan UU 32 tahun 2009 UU No 23 tahun 1997 dianggap memiliki banyak kelemahan terutama dalam hal penanganan kasus sengketa lingkungan hidup. Kalau ditelusuri lebih jauh, kata Ilyas Asaad, diidentifikasi setidaknya tiga masalah mendasar yang terlupakan dalam UU 23 tahun 1997. Pertama, persoalan subtansial yang berkaitan dengan; pendekatan atur dan awasi (command and control) Amdal maupun perizinan; lemahnya regulasi audit lingkungan; belum dijadikannya Amdal sebagai persyaratan izin dan tidak tegasnya sanksi bagi pelanggaran Amdal; penormaan yang multi tafsir; lemahnya kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan Pegawai Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH); delik pidana yang belum mengatur hukuman minimum; multi tafsir soal asas subsidiaritas dan belum adanya regulasi aturan yang spesifik yang berhubungan dengan perubahan iklim dan pemanasan global. Kedua, masalah struktural yaitu berhubungan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang belum dijadikan maenstream dalam memandang lingkungan. Problem ketiga adalah problem kultural yaitu masih rendahnya kesadaran masyarakat tentang lingkungan. UU No 32 tahun 2009 tidak sekedar menyempurnakan sejumlah kelemahan mendasar dalam UU sebelumnya, tetapi juga secara komprehensif mengatur segala hal yang berkaitan dengan problem lingkungan. UU ini pada akhirnya akan berorientasi pada penguatan institusional terutama KLH dan peran seluruh elemen untuk memandang kasus lingkungan sebagai problem bersama yang subtansial. Perubahan cara pandang dari pola pikir lama yang memandang bahwa tanggungjawab kelestarian dan pengelolaan lingkungan hanya terbatas pada KLH, kemudian lebih diarahkan pada kesadaran kolektif dan penguatan kordinasi seluruh pihak penegak hukum, terutama dalam hal menyamakan persepsi tentang definisi pencemaran lingkungan. Kalau kita menelaah lebih menyeluruh maka terdapat sejumlah keistimewaan mendasar dari UU No 32 tahun 2009 yang diharapkan tidak sekedar ideal di atas kertas tetapi bisa diimplementasikan secara nyata. Dalam aturan yang baru tersebut, terdapat pengaturan yang jelas antara kewenangan pusat dan daerah dalam hal pengawasan LH. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yang meliputi; instrumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), tata ruang, baku mutu lingkungan hidup, kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, AMDAL, upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, perizinan, instrumen ekonomi lingkungan hidup, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup, anggaran berbasis lingkungan hidup, analisis risiko lingkungan hidup, dan instrumen lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Keistimewaan lainnya adalah pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian. Perizinan lingkungan menjadi syarat utama berdirinya suatu badan usaha, ketika suatu perusahaan tidak memenuhi syarat lingkungan maka dinyatakan tidak bisa menjalankan usaha. Izin lingkungan yang bermasalah bahkan bisa membatalkan pendirian usaha. Adanya pendayagunaan pendekatan ekosistem (eco region) juga menjadi fokus utama UU No 32 tahun 2009. Memuat pula tentang kepastian dalam merespons dan mengantisipasi perkembangan lingkungan global dan penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal paling mendasar adalah penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana secara lebih jelas. Ditunjang pula dengan penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif dan penguatan kewenangan Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) lingkungan hidup. Undang-Undang ini memberikan kewenangan yang luas kepada Menteri untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup serta melakukan koordinasi dengan instansi lain. Pemerintah memberi kewenangan yang sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerah masing-masing yang tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perlu Keberpihakan Anggaran Pada akhirnya, diperlukan semacam political will dari pemerintah untuk menyediakan akses pendanaan yang memadai. Problemnya selama ini, seperti diakui Ilyas Asaad adalah minimnya anggaran dari porsi APBN untuk KLH. Bahkan kementrian lingkungan diposisikan dalam klaster institusi yang lebih rendah dibandingkan kementrian lainnya. Hal ini menyebabkan kebuntuan pada program pengelolaan maupun perlindungan lingkungan. Pada saat yang sama, support pemerintah daerah memang belum memadai. Itulah sebabnya, UU baru ini memprioritaskan peran daerah untuk berpartisipasi aktif dalam pengawasan lingkungan maupun pendanaan. Problem minimnya anggaran lingkungan hidup juga dinilai sangat mendasar oleh Asep Warlan. Ia membandingkan antara kasus terorisme yang penganggarannya bahkan unlimited karena ada pemahaman bahwa terorisme adalah problem sangat berbahaya. Toh, kata Asep Warlan, kerusakan lingkungan juga adalah teror yang jauh lebih mengancam. “Kalau setiap hari terjadi pengrusakan lingkungan, maka itu sama artinya dengan menghancurkan masa depan anak cucu kita-dan bukankah itu kejahatan besar dan sekaligus teror yang jauh lebih mengerikan. Lalu mengapa alokasi anggarannya sedikit?” Tanpa pendanaan yang memadai, Asep Warlan bahkan pesimis bila mengharapkan perbaikan signifikan dengan sekedar berharap pada penguatan teks perundang-undangan. Menurutnya, kelahiran UU baru ini dengan sendirinya akan mengubah perspektif pemerintah dan dapat memberi alokasi anggaran yang mendukung implementasi perlindungan lingkungan. Anggota Komisi VII DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI, Ismayatun, ketika ditanya soal anggaran KLH mengatakan bahwa pihaknya akan terus memperjuangkan penganggaran yang
memadai. Tetapi, dengan catatan KLH sendiri harus berusaha lebih baik. Apalagi ketika laporan keuangannya dianggap mengalami disclaimer oleh BPK, sebab akan sulit diperjuangkan di parlemen. Ismayatun menegaskan bahwa berangkat dari filosofi kelahiran UU 32 yang menempatkan lingkungan hidup sebagai hal yang sangat penting dan urgen untuk mendapat perhatian, sehingga lembaga yang menaungi pelestarian lingkungan hidup perlu diberi kekuatan yang besar. “Baik itu kekuatan hukum, SDM, anggaran dan yang penting adalah kekuatan koordinasi. UU PPLH ini akan menjadi tonggak baru yang dapat menjadi kekuatan mumpuni.” KLH sendiri terus mencoba meyakinkan pemerintah dalam hal peningkatan porsi anggaran, terutama sejak pengesahan UU No 32 tahun 2009. Menurut Ilyas Asaad, ada sejumlah penjabaran teknis yang wajib didukung pendanaan dan itu sangatlah rasional. Sertifikasi hakim misalnya, membutuhkan dana yang tidak sedikit sebab sifatnya kerjasama lintas institusi. Belum lagi perbaikan sumber daya PPNS dan dana sosialisasi. “Tetapi, itulah resiko dari sebuah itikad baik untuk perubahan penting di negara ini” tegas Ilyas. Apakah ada jaminan perubahan? UU No 32 tahun 2009 memang sangatlah ideal di atas kertas, tetapi apakah ada jaminan jika pemberlakuan UU tersebut kerusakan dan pencemaran lingkungan bisa dihilangkan? Pertanyaan ini memang bernada pesimis, tetapi bermunculan dari banyak kalangan setiap kali sosialisasi digelar. Ilyas Asaad mencoba optimis bahwa perubahan mendasar tidak bisa menunggu waktu dan harus ada keberanian dari pemerintah. “Saya yakin betul, kasus pencemaran lingkungan bisa diminimalisir dengan UU baru ini. Karena itu optimalisasi dalam hal anggaran, sosialisasi dan kordinasi kelembagaan menjadi prasyarat penting.” Berapa lama proses penguatan dilakukan untuk membenahi segala hal yang berkaitan dengan UU ini? Ilyas Asaad mengakui bahwa memang diperlukan waktu yang cukup panjang. Untuk sekedar meyakinkan kalangan internal saja tidaklah sebentar, apalagi meyakinkan pihak luar. Belum lagi membangun kordinasi lintas institusi seperti dengan kehakiman, kejaksaan dan kepolisisian. Pasca pengesahan UU No 32 tahun 2009, KLH sudah berhasil melakukan program sertifikasi hakim. Program ini bertujuan untuk memberi pemahaman yang kuat bagi para hakim tentang lingkungan agar pada saat memutuskan kasus lingkungan tidak sekedar mempersandingkan fakta hukum dalam persidangan, tetapi bisa menelaah sendiri fakta lingkungannya. Kelak, seluruh kasus lingkungan yang diperadilankan hanya bisa ditangani oleh hakim yang bersertifikasi lingkungan. Hakim bersertifikasi harus diberi insentif yang layak dan tentu saja diperlukan anggaran besar. KLH juga telah menyusun program sertifikasi jaksa dan sertifikasi kepolisian. “Program ini memang berat, karena berkaitan dengan pemahaman lingkungan. Kepolisian misalnya tidak hanya mengurusi lingkungan, tetapi berbagai macam kasus kriminal misalnya.”
Kalau pemahaman para penegak hukum sudah terkordinasi dengan baik, maka peradilan mengenai sengketa lingkungan pasti bisa memberi hasil memuaskan. Apalagi ditunjang oleh UU yang tegas dan tidak multi tafsir lagi. “Penguatan SDM para PPNS di daerah pun wajib dibenahi” tegas Ilyas. Kuatnya kewenangan PPNS sesuai amanah UU No 32 mensyaratkan perlunya peningkatan kapasitas PPNS. Bisa dibayangkan, ketika PPNS diberi kewenanangan untuk menangkap dan menahan pelaku perusak lingkungan. Karena itu program sertifikasi aparat hukum dan rekrutmen PPNS akan menjadi program berkesinambungan KLH untuk membangun kapasitas kelembagaan. Pakar hukum lingkungan seperti Asep Warlan sendiri membayangkan kelak pidana lingkungan disejajarkan dengan pidana korupsi. Harusnya ada Tindak pidana khusus lingkungan yang secara spesifik mengenai peradilan lingkungan. “Tetapi, sebagai langkah awal, pemahaman dan penguatan kapasitas pihak-pihak terkait setidaknya sudah cukup mumpuni untuk mengawali tonggak baru pengendalian kasus lingkungan.” Harapan baru terlahir dari UU No 32 tahun 2009, sekali lagi diperlukan political will dari pemerintah.