TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER GANJIL diajukan untuk memenuhi tugas take home Mata Kuliah Kurikulum Pendidikan yang diampu oleh : DR. H. DINN WAHYUDIN, MA.
oleh :
Nur Afrylyanty
1202788
PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI KURUKULUM TEKNOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA BANDUNG 2013/2014
SOAL : 1. Jelaskan keterkaitan kurikulum dan pembelajaran! 2. Sebutkan dan jelaskan peranan kurikulum! 3. Sebutkan dan jelskan 4 landasan kurikulum! 4. Sebutkan dan jelaskan komponen kurikulum! 5. Jelaskan pengembangan prinsip pengembangan kurikulum! 6. Jelaskan secara singkat model pengembangan kurikulum menurut Tyler, Taba dan Olifa! 7. Model konsep pengembangan kurikulum ada 4 . jelaskan secara komprehensif! 8. Jelaskan sepengetahuan kalian mengenai perbedaan KTSP dan kurikulm 2013! Jawaban : 1. Keterkaitan kurikulum dan pembelajaran Kurikulum adalah pengalaman belajar yang terorganisasi dalam bentuk tertentu dibawah bimbingann dan pengawasan sekolah, sedangkan pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk membimbng dan mengarahkan pesarta didik agar terjadi tindakan belajar sehingga memperoleh pengalaman belajar. Kurikulum merupakan program pembelajarnnya sedangkan pembelajaran adalah cara bagaimana mempersiapkan pengalaman belajar bagi peserta didik.Hubungan lain antara kurikulum dan pembelajaran dapat juga dilihat adri silabus setiap mata pelajaran. Silabus dalam satu semester dan terdiri atas berbagai komponen antara lain : standar kompetensi, ko petensi dasar, tujuan pembelajaran, urutan topiktopik, skenario pembelajaran, pendekatan dan strategi, media dan sumber belajar serta sistem penilaian. Jika diperhatikan, komponen-komponen silabus ini memiliki kesamaan dengan komponen-komponen pembelajaran. Jika kurikulm programnya, maka pembelajaran merupakan implementasinya. Jika kurikulm adalahkonsepnya, maka pembelajaran merupakan penerapannya.Jika kurikulm adalahteorinya, maka pembelajaran merupakan praktiknya. Apa yang dilihat dan dilakukan dalam pembelajaran, itulah sesungguhnya kurikulum nyata (real currriculum). Kurikulum dan pembelajaran merupakan dua istilah yang berbeda tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keduanya mempunyai posisi yang sama. Apa artinya apabila sebuah kurikulum yang sudah dirancang dengan sebaik-baiknya, tetapi tidak ada proses pembelajarannya. Jadi sudahlah jelas jika hubungan antara kurikulum dan pembelajaran mempunyai hubungan yang sanga erat. 2. Peranan kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Apabila dirinci secara lebih mendetail terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting, yaitu peranan konservatif, peranan kreatif, dan peranan kritis/evaluative (Oemar Hamalik, 1990) a. Peranan Konservatif Peranan konservatif menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generas muda, dalam hal ini para siswa. Peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat mendasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses social. Salah satu tugas pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai social yang hidup di lingkungan masyarakatnya. b. Peranan Kreatif Perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat. Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang. Kurikulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengembangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berfikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya. c. Peranan kritis dan evaluative Peranan ini di latarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu diseusaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembangan yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, peranan kurikulum tidak hanya mewariskan nilai dan budaya, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Dalam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam control atau filter social. Nilai-nilai social yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kin dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaanpenyempurnaan.
Ketiga peranan kurikulum di atas tentu saja harus berjalan secara seimbang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum persekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pendidikan, diantaranya : guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya dapat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang diterapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing. 3. Ada 4 landasan krikulum, diantaranya: a. Landasan filosofis Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti : perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran – aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (2003), di bawah ini diuraikan tentang isi dari-dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum. 1. Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu. 2. Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu. 3. Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri. Aliran ini mempertanyakan : bagaimana saya hidup di dunia ? Apa pengalaman itu ?
4. Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif. 5. Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan
tentang
perbedaan
individual
seperti
pada
progresivisme,
rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya. Aliran ini akan mempertanyakan untuk apa berfikir kritis, memecahkan masalah, dan melakukan sesuatu ? Penganut aliran ini menekankan pada hasil belajar dari pada proses. Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional. Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara eklektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan
kurikulum,
yaitu
dengan
lebih
menitikberatkan
pada
filsafat
rekonstruktivisme. b. Landasan psikologis Minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji
tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan sekaligus mendasari pengembangan kurikulum. Masih berkenaan dengan landasan psikologis, Ella Yulaelawati memaparkan teori-teori psikologi yang mendasari Kurikulum Berbasis Kompetensi. Dengan mengutip pemikiran Spencer, Ella Yulaelawati mengemukakan pengertian kompetensi bahwa kompetensi merupakan “karakteristik mendasar dari seseorang yang merupakan hubungan kausal dengan referensi kriteria yang efektif dan atau penampilan yang terbaik dalam pekerjaan pada suatu situasi“. Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu : 1. motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi. 2. bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi. 3. konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang; 4. pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang; dan 5. keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental. Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan. Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2002) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
c. Landasan sosiologis Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat, Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan. Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat. Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya. Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
d. Landasan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang.
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di Bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan. Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal. Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.. Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.
4. Komponen kurikulum a. Tujuan Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing. Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki esensi yang sama. Seperti
yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994) bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu: 1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest possible extent. 2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring them an equal basic education. 3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the generation but also guide education towards mutual understanding and towards what has become a worldwide realization of common destiny.) Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut. 1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut. 3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya. Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam tujuan kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan. Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap mata pelajaran.
Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang “what will the student be able to do as result of the teaching that he was unable to do before” (Rowntree dalam Nana Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor. b. Materi Pembelajaran Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk : 1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan menspesifikasi hubungan – hubungan antara variabel-variabel dengan maksud menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut. 2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan, merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala. 3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian. 4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan hubungan antara beberapa konsep. 5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang harus dilakukan peserta didik. 6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari terminologi, orang dan tempat serta kejadian. 7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam materi. 8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk memperjelas suatu uraian atau pendapat. 9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum. Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran, yaitu : 1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu. 2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-akibat. 3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi. 4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari keseluruhan menuju bagianbagian, dan dari yang kompleks menuju yang sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke masalah mengapa. 5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks. 6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b) penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e) interpretasi hasil tes. 7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya. 8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik, berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir. c. Strategi pembelajaran
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya, sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya proses pembelajaran melalui dinamika kelompok. Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta didiknya secara personal. d. Organisasi Kurikulum Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu: 1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan dengan mata pelajaran
lainnya.
Masing-masing
diberikan
pada
waktu
tertentu
dan
tidak
mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua materi diberikan sama 2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu. 3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata pelajaran dapat dijadikan “core subject”, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan dengan core tersebut. 4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah, dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau analisisnya diberikan secara terintegrasi. 6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik. e. Evaluasi Kurikulum
Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : “curriculum evaluation may be defined as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the curriculum”. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu, Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ; “ objective, it’s scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students, the relative importance of various subject, the degree to which objectives are implemented, the equipment and materials and so on.” Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses dan hasil belajar siswa.
5. Pengembangan prinsip pengembangan kurikulum Secara bahasa, prinsip berarti asas atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak, dan sebagainya. Nah, dalam pelaksanaan pengambangan kurikulum pun
membutuhkan prinsip-prinsip mengapa suatu kurikulum harus dikembangan. Dalam kenyataannya prinsip tidak bisa hadir begitu saja, karma pada dasarnya sebuah prinsip haruslah bersumber dari sesuatu. Adapun macam-macam sumber prinsip pengembangan kurikulum merupakan hal yang menunjukkan dari mana asal muasal lahirnya suatu prinsip. Setidaknya ada empat sumber yang menjadi prinsip pengembangan kurikulum, yaitu: dala empiris (empirical data), data eksperimen (experiment data), cerita/ legenda yang hidup dari masyarakat (folklore of curriculum), dan akal sehat (common sense). Dengan demikian, ke empat prinsip tersebut dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan pengembangan kurikulum. Selanjutnya ialah tipe-tipe pengembangan kurikulum, hal ini sangat berkaitan erat dengan tingkat ketepatan (validity) dan ketetapan (realibility) mengenai prinsip yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut, tipe-tipe prinsip tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe prinsip, yaitu: anggapan kebenaranutuh atau menyeluruh (whole truth), anggapan kebenaran parsial (partial truth), dan anggapan kebenaran yang masih memerlukan pembuktian (hypothesis truth). Tipe yang pertama yaitu kebenaran utuh atau menyeluruh adalah fakta. Artinya konsep dan prinsipnya telah diuji dalam penelitian ketat, berulang, sehingga dapat digeneralisasikan. Yang kedua, anggapan kebenaran parsial juga merupakan suatu fakta dan telah di uji, naman kebenaran ini tidak dapat di generalisasikan. Yang ketiga ialah hipotesis, di mana tipe ini didasarkan pada dugaan-dugaan sehingga membutuhkan pembuktian terlebih dahulu. Berdasarkan hal tersebut di atas maka terdapat berbagai macam prinsip pengembangan kurikulum. Terdapat banyak prinsip yang mungkin saja digunakan dalam pengembangan kurikulum. Sehingga macam-macam prinsip ini dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu: prinsip umum dan prinsip khusus. Namun, prinsip khusus hanya bisa berlaku di tempat tertentu dan situasi tertentu.. a. Prinsip Umum Prinsip umum biasanya digunakan hampir dalam setiap pengembangan kurikulum dimanapun dan bagaimanapun. Menurut Sukmadinata (2000: 150-151) menjelaskan bahwa terdapat lima prinsip umum pengembangan kurikulum, yaitu: 1.Prinsip relevansi Prinsip relevansi artinya prinsip kesesuaian. Di mana terdapat dua jenis prinsip relevansi, yaitu: relevansi eksternal dan relevansi internal. Relevansi eksternal ialah kurikulum harus
sesuai dengan kebutuhan masyarakat, baik kebutuhan masyarakat masa kini maupun masa yang akan datang. Sedangkan relevansi eksternal internal ialah kesesuaian antara komponen kurikulum itu sendiri. 2.Prinsip fleksibilitas Prinsip feksibilitas berarti suatu kurikulum harus lentur (tidak kaku) tertutama dalam pelaksanaannya. Hal ini bermaksud agar kurikulum didesain untuk mencapai suatu tujuan tertentu sesuai dengan jenis dan jenjang pendidikan. 3.Prinsip kontinuitas Prinsip kontinuitas artinya kurikulum dikembangkan secara berkesinambungan, yang meliputi sinambung antarkelas maupun sinambung natar jenjang pendidikan. Hal ini dimaksudkan agar proses pendidikan atau belajar siswa bisa maju secara berkesinambungan. 4. Prinsip praktis atau efisiensi. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan prinsip praktis, yaitu dapat dan
mudah
diterapkan di lapangan. 5. Prinsip efektifitas Prinsip ini menunjukkan pada suatu pengertian bahwa kurikulum selalu berorientasi pada tujuan tertentu yang ingin dicapai. Kurikulum merupakan instrument untuk mencapai tujuan.
b. Prinsip Khusus Prinsip khusus hanya bisa berlaku di tempat tertentu dan situasi tertentu. Prinsip ini juga merujuk pada prinsip-prinsip yang digunakan dalam pengembangan komponen kurikulum secara khusus (tujuan,, isi, metode, dan evaluasi) yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tertentu.
6. Model pengembangan kurikulum a. Model Tyler Pengembangan kurikulum model Tyler yang dapat ditemukan dalam buku klasik yang sampai sekarang banyak dijadikan rujukan dalam proses pengembangan kurikulum yang berjudul Basic Principles of Curriculum and Insturction. Sesuai dengan bukunya, model pengembangan kurikulum Tyler ini, lebih bersifat bagaimana merancanng suatu kurikulum sesuai dengan tujuan dan misi suatu institusi pendidikan. Dengan demikian, model ini tidak menguraikan pengembangan kurikulum dalam bentuk langkah-langkah konkrit atau tahapan-tahapan secara rinci. Tyler hanya memberikan dasar-dasar pengembangannya saja.
Menurut Tyler ada empat hal yang dianggap fundamental untuk mengembangkan kurikulum. Pertama, berhubungan dengan tujuan pendidikan yang ingin dicapai; kedua,berhubungan
dengan
pengalaman
belajar
untuk
encapai
tujuajn;
ketiga,pengorganisasian pengalaman belajar, dan ke empat, berhubungan dengan evaluasi. a) Menentukan Tujuan Dalam langkah penyusunan suatu kurikulum, merumuskan tujuan merupakan langkah pertama dan utama yang harus dikerjakan. Sebab, tujuan merupakan arah atau sasaran pendidikan. Tyler memang tidak menjelaskan secara detail tentang sumber tujuan. Namun demikian, Tyler menjelaskan bahwa sumber perumusan tujuan dapat berasal dari siswa, studi kehidupan masa kini, disiplin ilmu, filosofis, dan psikologi belajar. Merumuskan tujuan kurikulum, sebenarnya sangat tergantung dari teori dan filsafat pendidikan serta model kurikulum apa yang dianut. Bagi pengembang kurikulum subjek akademis, maka penguasaan berbagai konsep dan teori seperti yang tergambar dalam disiplin ilmu merupakan sumber tujuan utama. Kurikulum yang demikian yang kemudian dinamakan sebagai kurikulum yang bersifat “discipline oriented”. Berbeda dengan pengembang kurikulum model humanistic yang lebih bersifat ”child centered”, yaitu kurikulum yang lebih berpusat kepada pengembangan pribadi siswa, maka yang menjadi sumber utama dalam perumusan tujuan tentu saja siswa itu sendiri, baik yang berhubungan dengan pengembangan minat dan bakat serta kebutuhan untuk membekali hidupnya. Lain lagi dengan kurikulum rekonstruksi social. Kurikulum yang lebih bersifat “society centered” ini memosisikan kurikulum sekolah sebagai alat untuk memperbaiki kehidupan masyarakat, maka kebutuhan dan masalah-masalah social kemasyarakatan merupakan sumber tujuan utama kurikulum. b) Menentukan Pengalaman Belajar Langkah kedua dalam proses pengembangan kurikulum adalah menentukan pengalaman belajar (learning experiences) sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Pengalaman belajar adalah segala aktivitas siswa dalam berinteraksi dengan lingkungan. Pengalaman belajar bukanlah isi atau materi pelajaran dan bukan pula aktivitas guru memberikan pelajaran. Tyler (1990:41) mengemukakan “Pengalaman belajar menunjuk kepada aktivitas siswa di dalam proses pembelajaran. Dengan demikian yang harus dipertanyakan dalam pengalaman ini adalah”apa yang akan atau telah dikerjakan siswa”bukan”apa yang akan atau telah diperbuat guru”. Untuk itulah guru sebagai
pengembang kurikulum mestinya memahami apa minat siswa,serta bagaimana latar belakangnya. Dengan pemahaman tersebut, akan memudahkan bagi guru dalam mendesain lingkungan yang dapat mengaktifkan siswa memperoleh pengalaman belajar. c) Mengorganisasi Pengalaman Belajar Langkah ketiga dalam merancang suatu kurikulum adalah mengorganisasikan pengalaman belajarbaik dalam bentuk unit mata pelajaran, maupun dalam bentuk program.Langkah pengorganisasian ini sangat penting, sebab dengan penbgorganisasian yang jelas akan memberikan arah bagi pelaksanaan proses pembelajaran sehingga menjadi pengalaman belajar yang nyata bagi siswa. Ada dua jenis pengorganisasian pengalaman belajar. Pertama, pengorganisasian secara vertikaldan kedua secara horizontal. Pengorganisasian secara vertical apabila menghubungkan pengalaman belajar dalam satu kajian yang sama dalam tingkat yang berbeda. Sedangkan pengorganisasian secara horizontal jika kita menhubungkan pengalaman belajar dalam bidang geografi dan sejarah dalam tingkat yang sama. Ada tiga prinsip menurut Tyler (1950:55) dalam mengorganisasi pengalaman belajar, yaitu kontinuitas, urutan isi, dan integrasi. d) Evaluasi Ada dua aspek yang perlu diperhatikan sehubungan dengan evaluasi. Pertama, evaluasi harus menilai apakah telah terjadi perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan yang telah dirumuskan. Kedua, evaluasi sebaiknya menggunakan lebih dari satu alat penilaian dalam suatu waktu tertentu. Ada dua fungsi evaluasi : Pertama, evaluasi digunakan untuk memperoleh data tentang ketercapaian tujuan oleh peserta didik. Fungsi ini dinamakan sebagai fungsi sumatif. Kedua, untuk melihat efektivitas proses pembelajaran. Fungsi ini dinamakan fungsi formatif. b. Model Taba Model taba lebih menitik beratkan kepada bagaimana mengembangkan kurikulum sebagai suatu proses perbaikan dan peyempurnaan. Oleh karena itu, dalam model ini dikembangkan tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh para pengembang kurikulum. Pengembangan kurikulum biasanya dilakukan secara deduktif yang di mulai dari langkah penentuan prinsip-prinsip dan kebijakan dasar, merumuskan desainkurikulum, menyusun unit-unit kurikulum, dan mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Hilda Taba tidak sependapat dengan langkah tersebut. Alasannya, pengembangan kurikulum secara deduktif tidak dapat menciptakan pembaruan kurikulum.oleh karena itu, menurut Hilda Taba, sebaiknya kuirikulum dikembangkan secara terbalik yaitu
dengan pendekatan induktif. Ada lima langkah moel pengembangan kurikulum terbalik dari Taba ini. a) Menghasilkan
unit-unit
percobaan
(pilot
unit)
melalui
langkah-langkah:
Mendiagnosiskebutuhan. Pada langkah ini pengembangan kurikulum memulai dengan menentukan kebutuhan-kebutuhan siswa melalui diagnosis tentang “gaps”, berbagai kekurangan (defeciencies), dan perbedaan latar belakang siswa. Memformulasikan tujuan. Setelah kebutuhan-kebutuhan siswa didiagnosis, selanjutnya para pengembang kurikulum merumuskan tujuan.Memilih isi. Pemilihan
isi
kurikulum
sesuai
dengan
tujuan
merupakan
langkah
berikutnya.Mengorganisasiisi. Melalui penyeleksian isi, selanjutnya isi kurikulum yang telah ditentukanitu disusun urutannya, sehingga tampak pada tingkat atau kelas berapa sebaiknya kurikulum ini diberikan. Memilih pengalaman belajar. Pada tahap ini ditentukan pengalaman-pengalaman belajar yang harus dimiliki siswa untuk
mencapai
tujuan
kurikulum.
Mengorganisasi
pengalaman
belajar.Menentukan alat-alat evaluasi serta prosedur yang harus dilakukan siswa.Menguji isi keseimbangan kurikulum. b) Menguji unit eksperimen untuk memperoleh data dalam rangka menemukan validitas dan kelayakan penggunaannya. c) Merevisi dan mengonsolidasikan unit-unit eksperimen berdasarkan data yang diperoleh dalam uji coba. d) Mengembangkan seluruh kerangka kurikulum. e) Implementasi dan diseminasi kurikulum yang telah teruji
c. Model Oliva Menurt Oliva suatu model kurikulum harus bersifat simple, komprehensif dan sistematik. Komponen-komponen seperti yang tampak di bawah ini menurut Oliva adalah komponen pokok saja. Namun dalam kenyataannya yang dikemukakan oleh Oliva dalam mengembangkan suatu kurikulum ada 12 komponen yang satu sama lain saling berkaitan
Komponen I adalah perumusan filosofis, sasaran, misi serta visi lembaga pendidikan, yang kesemuanya bersumber dari analisis kebutuhan siswa, dan analisis kebutuhan masyarakat.
Komponen II adalah analisis kebutuhan masyarakat di mana sekolah itu berada, kebutuhan siswa dan urgensi dari disiplin ilmu yang harus diberikan oleh sekolah.
Komponen III dan IV, berisi tentang tujuan umum dan tujuan khusus kurikulum yang didasarkan kepada kebutuhan seperti yang tercabtum pada komponen kesatu dan kedua.
Komponen
V
adalah
bagaimana
mengorganisasikan
rancangan
dan
mengimplementasikan kurikulum.
Komponen VI dan VII mulai menjabarkan kurikulum dalam bentuk perumusan tujuan umum dan tujuan khusus pembelajaran. Apabila tujuan pembelajaran telah dirumuskan, maka selanjutnya menetapkan strategi
pembelajran yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan seperti yang terdapat pada komponen kedelapan. Selama itu pula dapat dilakukan studi awal tentang kemungkinan strategi atau teknik penilaian yang akan digunakan (komponen IX A). Selanjutnya pengembangan kurikulum dilanjutkan pada komponen X yaitu mengimplementasikan strategi pembelajaran. Setelah strategi diimplementasikan, pengembangan kurikulum kembali pada komponen IX Buntuk menyemb\purnakan alat atau teknik penilaian. Teknik penilaian seperti yang telah ditetapkan pada komponen IX A bias ditambah atau direvisi setelah mendapatkan masukan dari pelaksanaan atau implementasi kurikulum.Dari penetapan alat dan teknik penilaian itu, maka selanjutnya pada komponen XI dan XII dilakukan evaluasi terhadap pembelajaran dan evaluasi kurikulum. Menurut Oliva, model yang dikembangkan ini dapat digunakan dalam beberapa dimensi:
Pertama, untuk menyempurnakan kurikulum sekolah dalam bidang-bidang khusus, misalkan penyempunaan kurikulum bidang studi tertentu di sekolah, baik dalam tataran perencanaan kurikulum maupun dalam proses pembelajarannya.
Kedua model ini model ini juga dapat digunakan untuk membuat keputusan dalam merancang suatu program kurikulum.
Ketiga model ini dapat digunakan dalam mengembangkan program pembelajaran secar khusus.
7. Model konsep pengembangan kurikulum ada 4
a. Kurikulum Disiplin Ilmu Menurut Longstreet(1993) (Wina Sanjaya,2010:64) desain kurikulum ini merupakan desai kurikulum yang berpusat kepada pengetahuan (the knowledge centered design) yang dirancang berdasarkan struktur ilmu, oleh krena itu model desain ini dinamakan juga model kurikulum subjek akademis yang penekanannya diarahkan untuk
pengembangan inteektual siswa. Para ahli memandang desain kurikulum ini berfungsi mengembagkan proses kognitif atau pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui latihan menggunakan gagasan dan melakukan proses penelitian ilmiah (McNeil1990). Model kurikulum yang berorientasi pada pengembangan intelektual siswa, dikembangkan oleh para ahli mata pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing. Mereka menyusun materi pelajaran apa yang harus dikuasai oleh siswa baik k menyangkut data dan fakta, konsep, maupun teori yang ada dalam setiap disiplin ilmu mereka masing-masing. Materi pembelajran tentu saja disusun sesuai dengan tingkat perkembangan siswa. Selain memenentukan materi kurikulum, juga para pengembang kurikulum menyusun bagaimana melakukan pengkajian materi pembelajaran melalui proses penelitian ilmiah sesuai dengan corak atau masalah yang terkandung dalam disiplin ilmu. Jadi, dengan demikkian dalamdesain ini bukan hanya diharapkan siswa semata-mata dapat menguasai materi pelajaran sesuai dengan disiplin ilmu, akan tetapi juga melatih proses berpikir melalui proses penelitian ilmiah yang sistematis. Dalam implementasinya, strategi yang banyak digunakan adalah strategi ekspositori. Melalui strategi ini, gagasan atau informasi disampaikan oleh guru secara langsung oleh guru kepada siswa. Selanjutnya siswa dituntut untuk memahami, mencari landasan logika, dan dukungan fakta yang dianggap relevan. Siswa dituntut untuk membaca buku-buku atau karya-karya besar dalam bidangnya untuk dimegerti, dipahami, dan dikuasai . selanjutnya, penguasaan materi disiplin ilmu itu dijadikan kriteria dalam keberhasilan implementasi kurikulum. Evaluasi yang digunakan bervariasi sesuai dengan tujuan mata pelajaran. Dalam pelajaran humaniora evaluasi dilakukan dalam bentu essay. Mata pelajaran kesenian diukur berdasarkan unsur subyektifitas. Matematika dinilai berdasrkan penguasaan aksiomanya bukan sekedar kebenaran dalam menghitung. Penilaian ilmu alam diberikan dalam bentuk pengujian proses berpikir bukan sekedar benar dalam jawaban. Terdapat 3 bentuk organisasi kurikulum yang berorientasi pada disiplin ilmu (Wina Sanjaya,2010:65), yaitu : 1) Subject Centered Curriculum Pada Subject Centered Curriculum, bahan atau isi kurikulum disusun dalam bentuk mata pelajaran yang terpisah-pisah, misalnya mata pelajaran sejarahj ilmu bumi, kimia, fisika berhitung dan sebagainya. 2) Correlated Curriculum
Pada organisasi kurikulum ini, mata pelajaran tidak disajikan secara terpisah, akan tetapi mata peajaran-mata pelajaran yang memiliki kedekatan atau mata pelajaran sejenis dikelompokkan sehingga menjadi suatu bidang studi(broadfield), seperti misalnya mata pelajaran geografi, sejarah, ekonomi dikelompokkan dalam bidang studi IPS 3) Integrated Curriculum Pada organisasi kurikulum ini, tidak lagi menampakkan nama-nama mata pelajaran atau bidangn studi. Belajar berangkat dari suatu pokok masalah yang harus dipecahkan. Masalah ter sebut kemudian dinamakan unit. Belajar berdasarkan unit bukan hanya menghafal sejumlah fakta, akam tetapi juga mencari dan menganalisis fakta sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Belajar melalui pemecahan masalah itu diharapkan perkembangan siswa tidak hanya terjadi pada segi intelektual saja akan tetapi seluruh aspek seperti sikap, emosi, atau keterampilan. b. Kurikulum Berorientasi pada Masyarakat Asumsi yang mendasari bentuk rancangan kurikulum ini adalah bahwa tujuan dari sekolah adalah untuk melayani kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, kebutuhan masyarakat harus dijadikan dasar dalam melakukan isi kurikulum. (Wina Sanjaya,2010:67) Contoh desain kurikulum ini seperti yang dikembangkan oleh Smith, Stanley, dan Shores dalam buku mereka yang berjudul Fundamental of Curriculum(1950) atau dalam buku Curriculum Theory yang disusun oleh Beauchamp(1981). Mereka merumuskan kurikulum sebagai sebuah desain kelompok sosial untuk dijadikan pengalaman belajar anak di dalam sekolah. Artinya, permasalahan yang dihadapi dan dibutuhkan oleh suatu kelompok sosial, harus menjadi bahan kajian anak didik di sekolah Ada 3 kriteria yang harus diperhatikan dalam proses mengimplementasikan kurikulum ini(Wina Sanjaya,2010:70). Ketiganya menuntut oembelajaran nyata (real) berdasarkan tindakan(action), dan mengandung nilai (values). Ketiga kriteria tersebut adalah pertama, siswa harus memfokuskan kepada salah satu aspek yang ada di masyarakat yang dianggapnya perlu untuk diubah, kedua, siswa harus melakukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi masyarakat itu, dan ketiga, tindakan siswa harus didasarkan kepada nilai(values), apakah tindakan itu patut dlaksanakan atau tidak, apakah memerlukan kerja individual atau keompok tau bahkan keduanya. Dalam mengorganisasi kegiatan belajar siswa disusun berdasarkan tema utama. Selanjutnya tema itu dibahas kedalam beberapa topik yang relevan. Topik itulah
selanjutnya ditindaklanjuti, dibahas, dan dicari penyelesaian melalui latihan-latihan dan kunjungan-kunjungan.Mengenai evaluasi pembelajaran diarahkan kepada kemapuan siswa mengartikulasi isu atau masalah, mencari pemecahan masalah, mendefinisikan ulang tentang problema, memiliki kemauan untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu. Oleh karena itu evaluasi pembelajaran kurikulum rekonstrusi sosial dilakukan secara terus-menerus pada setiap saat
c. Kurikulum Berorientasi pada Siswa Asumsi yang mendasari desain ini adalah bahwa pendidikan diselenggarakan untuk membantu anak didik. Oleh karenanya, pendidikan tidak boleh terlepas dari kehidupan anak didik. Kurikulum yang berorientasi pada siswa menekankan kepada siswa sebagai sumber isi kurikulum tidak boleh terlepas dari kehidupan peserta didik. (Wina Sanjaya,2010:71) Anak didik adalah manusia yang sangat unik. Mereka memiliki karakteristik tertentu. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan, anak adalah makhluk yag berkembang, yang memiliki minat dan bakata yang beragam. Kurikulum harus dapat menyesuaikan dengan irama perkembangan mereka. Dalam mendesain kurikulum yang berorientasi pada siswa, Alice Crow (Crow & Crow, 1995) menyarankan hal-hal sebagai berikut : 1) Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak 2)
Isi kurikulum harus mencakup keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.
3)
Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk belajar sendidri. Artinya siswa harus didorong untuk melakukan berbagai aktivitas belajar, bukan sekedar menerima informasi dari guru.
4)
Diusahakan apa yang dipelajari siswa sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat perkembangan mereka. Artinya apa yang seharusnya dipelajari bukan ditentukan dan dipandang baik dari sudut guru atau sudut orang lain tetapi ditentukan dari sudut anak itu sendiri. Desain kurikulum yang berorientasi pada anak didik, dapat dilihat minimal dari dua perspektif, yaitu :
1) Perspektif Kehidupan Anak di Masyarakat Dalam perspektif ini, menharapkan materi kurikulum yang dipelajari di sekolah serta pengalaman belajar, didesain sesuai dengan kebutuhan anak sebagai persiapan
agar mereka dapat hidup dimasyarakat. Anak dituntut untuk mempelajari berbagai macam yang bersifat abstrak, akan tetapi teori atau berbagai konsep yang dihubungkan dengan kehidupan nyata. Dengan demikian, apa yang dipelajari di sekolah relevan dengan kenyataan dimasyarakat. 2) Perspektif Psikologis Dalam perpektif sikologis, desai kurikulum yang berorientasi kepada siswa, sering diartikan juga sebagai kurikulum yang bersifat humanistik, yang muncul sebagai reaksi terhadap proses pendidikan yang hanya mengutamakan segi intelektual. Dalam perspektif ini, tugas dan tanggung jawab pendidikan di sekolah bukan hanya mengembangkan intelektual siswa saja, akan tetapi mengembangkan seluruh pribadi siswa sehingga dapat membentuk manusia yang utuh Kurikulum humanistik menekankan kepada integrasi, yaitu kesatuan pribadi secara utuh antara intelektual, emosional, dan tindakan. Oleh karena prinsipnya demikian, maka kurikulum humanistik harus dapat memberikan pengalaman yang menyeluruh dan utuh, bukan pengalaman yang terpenggal-penggal. Organisasi kurikulum tidak mementingkan sequence, sebab, dengan sequence yang kaku siswa tidak mungkin dapat mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya. Sequence dalam kurikulum humanistik harus menckup elemenelemen tentang nilai, konsep, sikap, dan masalah. Dari hal-hal tersebut, disusun kegiatankegiatan yang memungkinkan siswa mengembangkan elemen-elemen itu. Tidak seperti pada kurikulum subjek akademis dimana pelaksanaan evaluasi diarahkan untuk melihat keberhasilan siswa dalam menguasai matri pelajaran, pelaksnaan evaluasi dalam kurikulm humanistik lebih ditekankan kepada proses belajar. Kriteria keberhasilan ditentukan oeh perkembangan anak supaya menjadi manusia yang terbuka dan berdiri sendiri. Kurikulum hunanistik mengevaluasi berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, dan bagaimana kegiatan tersebut
mampu
memberikan
nilai
untuk
kehidupan
yang
masa
datang.
Proses
pembelajaranyang bagus menurut kurikulum ini dalah manakala memberikan kesempatan kepada siswa untuk tumbuh berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. d. Kurikulm Teknologis Model desain kurikulum teknologis difokuskan kepada efektifitas program, metode, dan bahan-bahan yang dianggap dapat mencapai tujuan. Perspektif teknologi telah banyak dimanfaatkan pada berbagai konteks, misalnya pada program pelatihan di lapangan industri dan militer. Desain sistem instruksional menekankan kepada pencapaian tujuan yang mudah diukur, aktivitas, dan tes, serta pengembangan bahanbahan ajar.
Teknologi mempengaruhi kurikulum dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi penerapan hasil-hasil teknologi dan penerapan teknologi sebagai suatu sistem. Sisi pertama yang berhubungan penerapan adalah perencanaan yang sistematis dengan menggunakan media atau alat dalam kegiatan pembelajaran. Penggunaan dan pemanfaatan alat tersebut semata-mata untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pembelajaran. Dengan penerapan hasil-hasil teknologi sebagai alat, diasumsikan pembelajaran akan berhasil secara efektif dan efisien. Contohnya pembelajaran dengan bantuan komputer. Sisi kedua, teknologi sebagai suatu sistem, menekankan kepada penyusunan progam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan sistem yang ditandai dengan perumusan tujuan khusus sebagai tujuan tingkah laku yang harus dicapai. Proses pembelajaran diarahkan untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, keberhasilan pembelajaran itu diukur sejauh mana siswa dapat menguasai tujuan khusus tersebut. Jadi, penerapan teknologi sebagai suatu sistem itu tidak ditentukan oleh penerapan hasil-hasil teknologi akan tetapi bagaimana merancang implementasi kurikulum dengan pendekatan sistem. (Wina Sanjaya,2010:75) Kurikulum teknologi, banyak dipengaruhi oleh psikologi belajar behavioristik. Salah satu ciri dari teori belajar ini adalah menekankan pola tingkah laku yang bersifat mekanis seperti yang digambarkan dalam teori Stimulus-Respon. Lebih lanjut dalam pandangan tentang beljara kurikulum ini memiliki karakteristik sebagai berikut (Wina Sanjaya,2010:76): Belajar dipandang sebagai proses respon terhadap rangsangan. Belajar diatur berdasarkan langkah-langkah tertentu dengan sejumlah tugas yang harus dipelajari Secara khusus siswa belajar secara individual, neskipun dalam hal-hal tertentu bisa saja belajar secara kelompok. Menurut McNeil(1990) (Wina Sanjaya,2010:76), tujuan kurikulum teknologis ditekankan kepada pencapaian perubahan tingkah laku yang dapat diukur. Oleh karena itu tujuan umum dijabarkan kedalam tujuan-tujuan khusus. Tujuan-tujuan itu biasanya diambil dari setiap mata pelajaran (disiplin ilmu). Tujuan yang berorientasi kepada tujuan kemasyarakatan jarang dgunakan. Semua siswa diharapkan dapat menguasai secara tuntas tujuan pengajaran yang ditentukan. Ciri-ciri kurikulum teknologis adalah : Pengorganisasian materi kurikulum berpatokan kepada rumusan tujuan Materi kurikulum disusun secara bejenjang Materi kurikulum disusun dari mulai yang sederhana menuju yang kompleks
Hal –hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kurikulum teknologis adalah sebagai berikut : Kesadaran akan tujuan, artinya perlu memahami bahwa pembelajaran diarahkan untuk mencpai tujuan . oleh karena itu, siswa perlu diberi penjelasan tujuan apa yang harus dicapai. Dalam pembelajaran siswa diberi kesempatan mempraktikkan kecakapan sesuai dengan tujuan. Siswa perlu diberi tahu hasil yang telah dicapai. Dengan demikian siswa perlu menyadari apakah pembelajran sudah dianggap cukup atau masih perlu bantuan.
8. Perbedaan KTSP dan kurikulm 2013 No KTSP Kurikulum 2013 1 Mata pelajaran tertentu mendukung Tiap mata pelajaran mendukung semua kompetensi kompetensi tertentu (Sikap, Keteampilan, Pengetahuan) 2 Mata pelajaran dirancang berdiri sendiri dan Mata pelajaran dirancang terkait satu dengan yang lain memiliki kompetensi dasar sendiri dan memiliki kompetensi dasar yang diikat oleh kompetensi inti tiap kelas 3 Bahasa Indonesia sejajar dengan mapel lain Bahasa Indonesia sebagai penghela mapel lain (sikap dan keterampilan berbahasa) 4 Tiap mata pelajaran diajarkan dengan Semua mata pelajaran diajarkan dengan pendekatan pendekatan berbeda yang sama (saintifik) melalui mengamati, menanya, mencoba, menalar… 5 Tiap jenis konten pembelajaran diajarkan Bermacam jenis konten pembelajaran diajarkan terkait terpisah dan terpadu satu sama lainKonten ilmu pengetahuan diintegrasikan dan dijadikan penggerak konten pembelajaran lainnya 6 Tematik untuk kelas I-III (belum integratif) Tematik integratif untuk kelas I-III 7 TIK mata pelajaran sendiri TIK merupakan sarana pembelajaran, dipergunakan sebagai media pembelajaran mata pelajaran lain 8 Bahasa Indonesia sebagai pengetahuan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan carrier of knowledge 9 Untuk SMA ada penjurusan sejak kelas XI Tidak ada penjurusan SMA. Ada mata pelajaran wajib, peminatan, antar minat, dan pendalaman minat 10 SMA dan SMK tanpa kesamaan kompetensi SMA dan SMK memiliki mata pelajaran wajib yang sama terkait dasar-dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap. 11 Penjurusan di SMK sangat detil Penjurusan di SMK tidak terlalu detil sampai bidang studi, didalamnya terdapat pengelompokkan peminatan da
Sumber Bacaan: ________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang _________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya. Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya. Tim Dosen Pengembang Kurikulum dan Pembelajaran (2009) Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung: FIP Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan UPI. Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek