Filsafat Modern Kelompok 3
Semester 5
Utilitarianisme dan Kebebasan
Menurut J.S. Mill
Pendahuluan: Tesis Dasar
J.S. Mill lahir di London pada tahun 1806. Ayahnya adalah James Mill, yang bersama Jeremy Bentham mengembangkan filsafat radikal. Ayahnya mendidiknya sejak kecil untuk menggali utilitarianisme. Hasilnya adalah dalam usia muda J.S. Mill sudah menjadi pemimpin dari kelompok filsuf radikal muda. Sangat dipahami bahwa J.S. Mill mengerti betul teori-teori Bentham tentang utilitarisme, bahkan ia menjadi penulis dalam jurnal Bentham. Namun, ia mengalami depresi dan tidak mempercayai lagi ajaran Bentham. Ia kemudian memulai penggaliannya sendiri tentang filsafat. Pada tahun 1859-1865 ia menulis bukunya On Liberty, Representative Government, Utilitarianism yang membuatnya sangat dikenal dan dikagumi. Ia kemudian bergabung dengan partai radikal sejak tahun 1865 dan mengadakan pembelaan terhadap hak-hak kaum wanita, perang, perbudakan, dan hal-hal kemanusiaan lain. Ia meninggal di Avignon 1873 setelah menulis Autobiography.
Bentham berfilsafat dengan berlandaskan pada hedonisme psikologis. Hedonisme yang dimaksud di sini, yakni bahwa manusia menurut kodratnya berusaha untuk mengejar kesenangan dan menghindari rasa sakit. Bagi Bentham, kebahagiaan manusia perlu diusahakan dan semakin besar jumlah orang yang menikmatinya semakin baiklah pilihan tersebut. Mill sependapat dengan Bentham sampai pada tahap ini. Namun, bagi Mill tidak cukup jika hanya sampai di situ. Kebahagiaan itu sendiri punya kualitasnya, sehingga tolak ukur sebuah pilihan bukan hanya aspek kuantitatif tapi juga aspek kualitatif. Suatu perbuatan adalah benar sejauh perbuatan itu menghasilkan kebahagiaan yang berkualitas.
Mill juga berbicara mengenai kebebasan. Menurutnya, kebebasan berpikir dalam diri manusia seringkali terhalangi oleh pendapat-pendapat umum yang sudah diterima oleh seluruh umat manusia dan kesejahteraan bersama justru ditentukan oleh kebebasan individual.
Sesuatu Perbuatan Adalah Benar Sejauh Perbuatan Itu Menghasilkan Kebahagiaan yang Berkualitas
Apa yang baik adalah berguna, berfaedah dan menguntungkan. Sebaliknya yang jahat atau yang buruk itu tidak berguna, tidak berfaedah dan tidak menguntungkan. Sejalan dengan Bentham, bagi Mill tujuan perbuatan manusia itu pada akhirnya harus mendatangkan kebahagiaan bagi banyak orang dan bukan kerugian dan kesakitan.
Menurut utilitarianisme suatu perbuatan baru dapat dinilai jika akibat dan tujuan sudah dipertimbangkan. Dasar argumen bahwa manusia itu tidak hidup sendirian melainkan hidup bersama-sama. Apabila ada kebijakan atas nama kepentingan bersama, maka kepentingan pribadi harus tunduk pada kepentingan bersama. Karena suatu perbuatan itu lebih mendatangkan kebahagiaan kepada banyak orang.
Utilitarianisme Mill sebenarnya merupakan sebuah utilitarianisme yang minimal di mana ia berargumen bahwa kita secara moral wajib untuk menjauhkan diri dari beban yang membahayakan atau dengan kata lain kita secara aktif menghindari bahaya. Dengan demikian, seseorang melakukan sesuatu harus memperhatikan kebahagiaan bagi banyak orang.
Kebahagiaan dapat menjadi kesenangan dan kebebasan dari rasa sakit atau sesuatu itu dibebaskan sejauh mungkin dari kemungkinan penderitaan dan kaya dalam kesenangan. Kebahagiaan kemudian dapat menjadi sesuatu yang sangat diinginkan sebagai tujuan akhir. Aspek minimalis dari utilitarianisme mengizinkan Mill untuk memberi saran bahwa dalam melakukan sesuatu harus membangkitkan kebahagiaan yang berkualitas kepada banyak orang.
Menurut pemikiran utilitarian bahwa perlu juga standar moralitas di mana dapat menegaskan aturan-aturan untuk memimpin manusia. Hasil pokok dari utilitarianisme sebagai sebuah teori moral adalah untuk membedakan suatu tindakan yang benar dan yang salah dari kebaikan atau keburukan dari pribadi yang melakukan suatu perbuatan. Seorang dapat menjadi baik secara moral dalam pandangan bahwa ia dapat selalu bertindak dari maksud yang baik. Dari sini kita dapat mengerti bahwa kesenangan dan kebahagiaan tidak diukur secara kuantitatif melainkan secara kualitatif. Begitu pula kesenangan manusia harus lebih tinggi dari pada kesenangan hewan yang tidak mempunyai kemampuan yang sama dengan manusia.
Standar moral dari kebahagiaan utilitarian dari apa yang benar tidak hanya baik menurut diri sendiri, tetapi juga untuk kebaikan dan kebahagiaan orang lain. Kaum utilitarian sendiri menunjuk pada aturan emas (golden rule) Yesus dari Nazaret bahwa lakukanlah apa yang engkau ingin lakukan. Lakukanlah apa yang hendak kau lakukan, dan cintailah orang lain seperti dirimu sendiri. Kata-kata ini menegaskan kesempurnaan ideal dari moralitas utilitarian.
Kebebasan Berpikir dan Bertindak
Pokok mengenai kebebasan berpikir dan bertindak dapat menghantar kita pada pertanyaan-pertanyaan berikut ini,
Mengapa hal itu bisa terjadi? Mengapa kebebasan berpikir seringkali terhalangi oleh pendapat-pendapat umum yang sudah ada, diterima, bahkan dihidupi oleh berbagai kalangan, golongan bahkan negara?
Pendapat-pendapat umum apa yang sudah tidak dapat diganggu gugat?
Diskusi yang bebas tidaklah sebebas arti kata itu. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Apa yang menyebabkan diskusi bebas tidaklah sebebas arti kata bebas itu?
Jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu:
Manusia diciptakan dan dilahirkan di dunia ini memiliki kodrat yang sama. Thomas Hobbes dalam filsafat politiknya mengatakan "apabila seseorang itu sungguh mengerti dan mengenal kodrat manusia maka ia bisa menyusun filsafat politik." Menurut Thomas Hobbes, manusia mempunyai kodrat yang sama misalnya mempunyai hak yang sama, mempunyai kebebasaan yang sama, mempunyai kekuasaan atas individu, mempunyai rasa takut dan gelisah, manusia itu tidak jauh berbeda dengan serigala (homo homini lupus) dan mempunyai keinginan untuk bertahan hidup dan melindungi hidupnya.
Untuk mencapai suatu hidup yang damai manusia sepakat untuk menyerahkan hak-haknya dan membiarkan kebebasannya dibatasi. Itu yang dinamakan dengan kontrak sosial (persetujuan antar individu). Oleh kontrak sosial itu, lahirnya suatu pemerintahan/penguasa dan negara di mana rakyat memberikan haknya pada penguasa yang dipilih (bisa satu orang atau dewan) untuk mengatur rakyat agar terciptalah suatu kehidupan yang damai.
Dalam pemerintahan ada peraturan-peraturan yang telah dibuat dengan tujuan untuk menciptakan kedamaian, ketertiban, dan keteraturan. Peraturan-peraturan tersebut sudah mencakup berbagai bidang kehidupan misalnya politik ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, keagamaan bahkan hidup privasi tiap-tiap keluarga. Tentu bagi seseorang yang telah sepakat untuk menjadi warga negara suatu negara sudah harus menerima peraturan-peraturan itu (pendapat-pendapat umum tersebut) bahkan menghidupi pendapat-pendapat umum tersebut. Sama halnya dengan seseorang yang secara sadar dan ingin masuk dalam satu komunitas keagamaan, tentu ia mau menerima segala peraturan yang ada dalam komunitas kegamaan itu bahkan menghidupi peraturan-peraturan dalam komunitas itu (pendapat-pendapat umum). Tetapi pertanyaannya adalah ketika muncul sesorang yang dengan sadar menggunakan hak bebasnya dalam berpikir lalu mengutarakan pendapatnya bagi suatu negara atau agama apalagi pendapatnya itu bertentangan dengan peraturan-peraturan agama atau negara yang sudah diterima, berjalan bahkan dihidupi oleh masyarakat, tidak jarang orang itu segera disingkirkan bahkan dihilangkan dalam muka bumi ini. Banyak orang sebenarnya mempunyai pikirannya sendiri mengenai negara atau agama tapi mengurungkan niatnya dalam mengutarakan pendapatnya di hadapan publik karena mengingat apa yang ingin disampaikan bertentangan dengan pendapat-pendapat umum yang sudah ada.
Pemerintah yang paling baik tidak lebih berhak untuk menggunakan paksaan daripada pemerintah yang tidak baik. Hal itu berbahaya, atau lebih berbahaya lagi apabila dilakukan sesuai dengan pendapat umum daripada apabila berlawanan dengan pendapat umum. Jika seluruh umat manusia minus satu orang sependapat, maka umat manusia tidak lebih benar karena membungkam orang yang satu itu daripada karena membungkam umat manusia, jika ia mempunyai kekuasaan. Kita ambil contoh, misalnya Sokrates dan Yesus sendiri. Bagaimana ketika Sokrates yang memiliki pikiran sendiri mengenai negara tetapi bertentangan dengan pendapat umum dianggap penyesat bagi kaum muda, lantas dijatuhi hukuman mati. Bagaimana Yesus yang mempunyai pandangan sendiri mengenai hal kerajaan Allah yang sangat bertentangan dengan pendapat-pendapat umum saat itu juga dijatuhi hukuman mati.
Menurut John Stuart Mill, itu adalah kejahatan apabila mematikan hak untuk mengungkapkan pendapat. Itu seperti merampok umat manusia baik generasi yang di kemudian hari maupun yang ada sekarang ini lebih-lebih terhadap mereka yang menolak pendapat itu ketimbang mereka yang berpegang pada pendapat tersebut. Menolak mendengarkan pendapat pihak lain yang mempunyai pendapat sendiri (karena kebebasan pikirnya) itu disebabkan karena mempunyai kepastian bahwa pendapat itu salah. Itu mengasumsikan bahwa kepastian mereka yang menolak itu sendiri adalah kepastian mutlak. Dalam keputusan praktis manusia, meskipun setiap orang benar-benar tahu bahwa ia sendiri dapat keliru, namun hanya sedikit orang saja yang menganggap perlu untuk mengambil tindakan mencegah kekeliruan mereka. Pendapat yang berbeda dari berbagai pendapat umum yang sudah ada tentu juga dapat mengoyahkan keutuhan suatu komunitas yang sedang berjalan dan matang. Komunitas merasa ada duri dalam daging yang mesti segera dikeluarkan dan dihilangkan agar komunitas itu dapat berjalan dengan baik kembali.
Bebas berarti tidak ada paksaan, tidak ada halangan, tidak ada hambatan, terlepas dari segala belenggu-belenggu yang ada. Dalam diskusi terdapat berbagai pendapat yang muncul, baik dari pendapat pribadi dalam peserta diskusi maupun pendapat-pendapat yang memang sudah ada terlebih dahulu yang mendahului pendapat–pendapat pribadi, misalnya pendapat-pendapat umum yang sudah tertanam dalam diri setiap peserta diskusi. Tapi tak jarang, dalam berjalannya diskusi seringkali terjadi pembungkaman pendapat yang dilakukan salah satu pihak pada pihak yang lain. Membungkam suatu diskusi berarti mengandaikan diri sendiri tidak dapat keliru (infallibility). Melarang suatu diskusi boleh jadi didasarkan atas argumen umum ini, tidak terlalu jelek sebagai argumen. Seringkali dalam berdiskusi ketika melemparkan pendapat oleh seseorang dan pendapat itu diserang maka yang melemparkan pendapat itu segera mempertahankan pendapatnya. Seringkali pendapat itu hanya diterima oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan yang sama dengan yang melemparkan pendapat (misalnya sekte yang sama, partai yang sama, golongan yang sama). Dalam berdiskusi ada suatu fenomena yaitu aneh bahwa orang mau menerima keabsahan argumen-argumen untuk diskusi yang bebas, tetapi menolak kalau argumen-argumen itu diteruskan sampai ekstrem. Adalah aneh bahwa mereka harus membayangkan bahwa diri mereka tidak dapat sesat padahal mereka mengakui bahwa harus ada diskusi bebas tentang segala hal yang mungkin diragukan, tetapi berpendapat bahwa suatu prinsip atau ajaran tertenu tidak boleh dipermasalahkan karena demikian pastinya, artinya karena mereka merasa pasti bahwa hal itu pasti. Dengan kata lain sebenarnya bukan diskusi yang bebas karena tidak diperbolehkan mengutak-atik yang sudah pasti meskipun para peserta diskusi mempunyai pikiran yang mungkin berbeda dengan hal yang pasti itu.
Pada umumnya pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum hanya dapat memperoleh sidang pendengar kalau menggunakan bahasa yang dengan sengaja diperlunak dan kalau dengan sangat hati-hati menghindari rasa sakit hati yang tidak perlu. Inilah jalan keluar yang ditawarkan Mill.
Kesejahteraan Bersama Justru Ditentukan oleh Kebebasan Individual
Kebebasan individu harus dibatasi sejauh menjadi gangguan bagi orang lain. Kebebasan individu menurut Mill bukanlah semau gue. Berarti kebebasan orang lain membatasi kebebasan individu. Namun, serentak hal tersebut menyiratkan pengertian bahwa saat seseorang tidak mengganggu orang lain melainkan menyangkut dirinya sendiri maka ia harus bebas mengungkapkan dan melaksanakan pendapat-pendapatnya tanpa boleh diganggu. "It is desirable that in things which do not primarily concern others, individuality should assert itself." Apa yang dapat menggangu?
Kebebasan individu sangat terkait dengan kebahagiaan manusia karena kemajuan individu dan sosial ditentukan oleh watak orang sendiri. Hal ini nampak dalam banyak hal yakni peradaban, pengajaran, pendidikan dan kebudayaan. Perkembangan semua hal itu terletak dalam individualitas. Hal ini dipertentangkan dengan tradisi atau ikut kebiasaan orang lain. Itulah yang menjadi pengganggu bahkan penghalang perkembangan. Perkembangan tidak terjadi dalam ikut-ikutan saja tradisi dan kebiasaan orang lain. Sebabnya adalah dalam tradisi dan kebiasaan spontanitas individual tidak diakui. Mill sendiri mengakui bahwa orang perlu belajar dan berlatih untuk mengetahui dan memperoleh manfaat dari hasil-hasil pengalaman manusia; itulah yang diperoleh dalam tradisi. Tapi, hal itu harus dipandang menjadi bukti saja dari apa yang telah diajarkan pengalaman, bukan menjadi yang utama. Mengapa demikian? Mill berpendapat,
…But in the first place, their experience may be too narrow, or they may not have interpreted it rightly. Secondly, their interpretation of experience may be correct, but unsuitable to him. Customs are made for customary circumstances and his character may be uncostumary. Thirdly, though the customs be both good as customs, and suitable to him, yet to conform to costom, merely as costom, does not educate or develop in him any of the qualities which are the distinctive endowment of a human being.
Dengan demikian, Mill menekankan pada pengembangan sifat-sifat yang merupakan anugerah khusus dari seorang manusia. Pengembangan sifat-sifat khas ini tak akan terjadi dalam himpitan tradisi dan kebiasaan, bahkan dapat dilihat sebagai yang bertentangan.
Kebahagiaan dan perkembangan manusia dapat terwujud jika manusia tidak dipandang sebagai mesin yang bekerja otomatis. Manusia memiliki watak. Seorang dikatakan berwatak jika "memiliki keinginan dan dorongannya sendiri yang merupakan pengungkapan kodratnya sendiri sebagaimana telah berkembang dan dimodifikasi oleh kebudayaannya." Bagi Mill, melihat, memutuskan, merasa dengan jelas, melakukan aktivitas mental dan bahkan untuk mengadakan pilihan moral, hanya dilatih dengan mengadakan pilihan; sebagaimana otot manusia hanya dapat berkembang jika digunakan terus menerus. Dengan mengikuti kebiasaan maka orang tidak mengadakan pilihan, berarti manusia dijadikan robot yang dikendalikan dari luar. Daya hidupnya dimatikan jika mendirikan rumah, mengadili perkara, mendirikan gereja, dan berdoa dilakukan dengan gaya mesin.
Setiap orang itu bernilai bagi dirinya sendiri dan fakta ini membuat orang sekaligus yakin bahwa ia bernilai bagi orang lain. Di sini Mill mau menegaskan bahwa individualitas tidak hanya berpengaruh bagi diri sendiri tapi terlebih secara sosial. Baginya, dengan adanya kebebasan maka orang mungkin untuk mengendalikan segi egoistiknya. Pengendalian ini menyebabkan kodrat sosialnya berkembang. Hal ini lebih jelas dalam pandangannya mengenai individu dalam masyarakat.
Perkembangan suatu masyarakat itu sendiri ditentukan oleh individu-individu dengan perbedaannya yang khas. Tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat itu berbeda-beda, dan tidak harus bahwa masyarakat itu disama-ratakan. Perbedaan-perbedaan ini justru yang membawa kemajuan. Mill melihat bahwa peran dari orang-orang jenius itu penting. Memang orang jenius tidak banyak tapi bukan berarti bahwa pendapat mereka harus dikalahkan oleh pendapat massa yang belum tentu baik. Mill mengatakan bahwa orang jenius hanya bernapas dalam suasana kebebasan. Dalam suasana itu mereka membiarkan diri untuk berkembang secara bebas baik dalam pikiran maupun dalam praktek.
Justru hal-hal bijaksana dilahirkan oleh individu dalam individualitasnya. Mill melihat bahwa yang menolong Eropa dari kejatuhannya bukanlah uniformitas, melainkan perbedaan watak dan budaya. Bahaya dari uniformitas itu sendiri yakni manusia tidak akan mampu lagi memahami perbedaan karena tidak terbiasa melihatnya. Kebebasan individu ini sendiri sudah ada sejak dahulu. Sangat jelas bahwa pemegang kekuasaan adalah individu yang memiliki bakat atau kedudukan sosial. Tapi, kini individu hilang dalam massa (individuals are lost in the crowd). Mill berpendapat bahwa massa itu tidak lain dari pada "keadaan bersemangat sedang-sedang yang kolektif" (collective mediocrity). Tentu semangat sedang-sedang saja tidak akan memberikan dampak banyak karena terikat pada jumlah. Mill melihat bahwa meski massa selalu berbicara mengenai watak bersama tapi sebenarnya watak dari massa adalah tanpa watak tertentu.
Penutup: Beberapa Pertimbangan
Ada beberapa kekuatan dan kelemahan dari prinsip moral dari J.S. Mill, antara lain:
Kekuatan
Utilitarianisme Mill sendiri menggunakan sebuah prinsip yang jelas dan rasional. Di samping itu juga utilitarianisme mempunyai unsur yang cocok bagi suatu moralitas manusia sebagai makhluk sosial. Kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga apa yang kita lakukan itu harus berdampak bagi kepentingan dan kebahagiaan banyak orang dan bukan mendatangkan kesakitan dan penderitaan. Utilitarianisme menciptakan suasana pertanggungjawaban suatu keputusan, sikap dan tindakan moral. Demikianpun prinsip ini berlaku pada pemerintah di mana ia mempunyai pegangan yang jelas untuk membentuk kebijaksanaan dan mengatur masyarakat.
Kebebasan berpikir, sebagaimana pemikiran Mill, sangat dibutuhkan dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Kita ambil contoh Galileo Galilei. Pikiran dan pendapatnya mengenai sistem tata surya sudah melalui berbagai uji coba dan penelitian. Pendapat ini sungguh ditentang oleh Gereja, sampai akhirnya ia diberi hukuman ekskomunikasi. Namun, terbukti kemudian bahwa teorinya memang benar. Selain itu, kebebasan berpikir diperlukan juga dalam banyak bidang lain seperti bidang teknologi. Kebebasan berpikir dapat memicu lahirnya teknologi-teknologi muktahir yang dapat membantu hidup manusia. Dulu orang tidak pernah terpikir mengenai komunikasi tatap muka dengan jarak yang jauh, tapi kini hal tersebut mungkin dengan teknologi komunikasi skype. Kebebasan berpikir bisa membangun atau menghancurkan tergantung dari maksud pribadi itu sendiri.
Pandangan Mill mengenai individualitas menjadi kritik bagi kehidupan manusia yang berjalan bagaikan mesin. Menjadi kenyataan bahwa manusia sepertinya menjadi robot karena ia dikendalikan oleh hal-hal di luar dirinya. Dalam gaya hidup sekuler, seorang pekerja melakukan pekerjaan dan tindakan yang sama setiap hari, tanpa sempat berpikir mengenai mengembangkan hidup, membina keluarga yang baik, apalagi tentang Tuhan. Sedangkan ada orang yang mengaku diri beriman dengan memeluk agama tertentu, tapi hanya menjalankan agamanya sebagai kewajiban, sebagai kegiatan yang harus dilakukan, menaati hukum agamanya secara buta, berdoa sekedar saja, serta mengucapkan kata-kata dalam ibadah dengan cepat-cepat dan tanpa penghayatan. Hidup adalah pilihan. Dan, yang memilih adalah individu. Sehingga setiap tindakan perlu untuk dihayati. Manusia tidak boleh hidup dengan meleburkan diri pada massa, melainkan berani berpendapat, bebas, mandiri, dan membuat keputusan-keputusan mengenai hidup yang penuh nilai dan berkembang.
Kelemahan
Suatu perbuatan moral disebut baik jika apa yang dilakukan oleh seseorang itu membawa kegunaan dan keuntungan. Di sini yang sangat ditekankan oleh Mill adalah kegunaan dan keuntungan. Pertanyaannya, berguna untuk siapa? Mill sendiri menekankan subyektifitas yang menilai apakah menguntungkan atau tidak. Padahal pandangan untuk membawa kegunaan dan keuntungan itu dipandang berbeda oleh banyak orang. Jika subyektivisme yang ditekankan jalan menuju relativisme terbuka lebar. Pandangan tentang yang berguna, bermanfaat, menguntungkan berbeda dari orang ke orang.
Pandangan Mill terlalu menekankan akibat dan bukan hakekat dari suatu perbuatan. Atas nama kebahagiaan sebesar-besarnya untuk banyak orang, orang tidak perlu sibuk memikirkan apa hakikat dari suatu perbuatan, tetapi akibatnya bagi hidup kita. Tidak jarang atas nama kebahagiaan sebesar-besarnya dengan tenang melanggar hak asasi manusia seperti hak milik.
Mill menyepelekan tradisi sebagai sebuah sumber pengetahuan dan mengandalkan kebebasan individu. Memang baik jika dikatakan bahwa setiap orang pada hakekatnya bernilai pada dirinya sendiri, hal ini tidak dapat disangkal. Namun, dalam tradisi tergambar banyak hal. Dengan tradisi kita dapat belajar banyak dari apa yang sudah dialami oleh generasi terdahulu dengan demikian kita tidak mengulangi kesalahan itu. Memang salah jika kemudian tradisi dijadikan pelarian dari ketakberdayaan manusia, baik dalam memecahkan persoalan atau dalam menghadapi tantangan hidup. Tradisi bukan menjadi tempat pelarian melainkan sebagai sarana untuk berkonsultasi.
Daftar Pustaka
Fitzpatrick, John R. John Stuart Mill's Political Philosophy. London: Continuum, 1988.
Heydt, Colin. "John Stuart Mill". Dalam Internet Encyclopedia of Philosophy. Last updated: October 24, 2006. Diunduh pada tanggal 1 November 2013.
Kolak, Daniel & Garret Thomson. "On Liberty." Dalam, The Longman Standard History of Philosophy. New York: Pearson Longman, 2006.
Mangunhardjana, A. Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z. Yogyakarta: Kanisius, 1997.
Popkin, Richard H. dan Avrum Stroll. Philosophy Made Simple. London: W. H. Allen & Company Ltd, 1969.
Suseno, Frans Magnis. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius, 1987.
Bdk, Colin Heydt, "John Stuart Mill", dalam Internet Encyclopedia of Philosophy. Last updated: October 24, 2006. Diunduh pada tanggal 1 November 2013.
Daniel Kolak & Garret Thomson, "On Liberty," dalam The Longman Standard History of Philosophy (New York: Pearson Longman, 2006), hlm. 836.
John R. Fitzpatrick, John Stuart Mill's Political Philosophy (London: Continuum, 1988), hlm. 108.
Richard H. Popkin dan Avrum Stroll, Philosophy Made Simple (London: W. H. Allen & Company Ltd, 1969), hlm. 34.
Bdk. Kolak, Daniel & Garret Thomson. "On Liberty." Ibid., hlm. 839.
Bdk. Ibid., hlm. 846.
Bdk. Ibid.
Bdk. Ibid.
Ibid.
Ibid.
Ibid., hlm. 855.
Ibid., hlm. 856.
"Mankind speedly become unable to conceive diversity, when they have been for some time unaccustomed to see it." Ibid., hlm. 861.
Bdk. Frans Magnis Suseno, Etika Dasar (Yogyakarta: Kanisius, 1987), hlm. 125.
A. Mangunhardjana, Isme-Isme dalam Etika dari A sampai Z (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 230.
Page " 8