iii
UPAYA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM (OKI)
DALAM MENYELESAIKAN KONFLIK ISRAEL-PALESTINA
DARI TAHUN 2015-2016
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Asia Barat Daya
yang dibina oleh Ibu Lutfiah Ayundasari, S.Pd., M.Pd
Oleh
Devi Retno Nur'Aini 160731614910
Moh Nazri Adlani 160731614908
Rica Filasari 160731614846
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
April 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul "Upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Menyelesaikan Konflik Israel-Palestina dari Tahun 2015-2016," tepat pada waktunya. Makalah ini diajukan guna memenuhi tugas matakuliah Sejarah Asia Barat Daya yang diampu oleh Ibu Lutfiah Ayundasari, S.Pd., M.Pd.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dalam menyelesaikan makalah ini, yaitu kepada:
Ibu Lutfiah Ayundasari, S.Pd., M.Pd selaku dosen pengampu matakuliah Sejarah Asia Barat Daya.
Perpustakaan Universitas Negeri Malang yang telah menyediakan banyak buku untuk keperluan referensi makalah ini.
Lab. Sejarah yang juga telah menyediakan referensi untuk keperluan makalah ini.
Segala upaya telah penulis dilakukan untuk menyempurnakan makalah ini, namun bukan tidak mungkin dalam penulisan makalah ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan masukan dalam menyempurnakan makalah lain dimasa yang akan datang.
Semoga makalah ini dapat memberikan informasi bagi masyarakat dan bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan bagi semua. Serta menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.
Malang, April 2017
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang..................................................................................... 1
Rumusan Masalah................................................................................ 2
Tujuan Penulisan.................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN
Sejarah Berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI)...................... 4
Latar Belakang Konflik Israel-Palestina.............................................. 10
Upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam
Menyelesaikan Konflik Israel-Palestina dari Tahun 2015-2016......... 14
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................... 18
B. Saran................................................................................................... 19
DAFTAR RUJUKAN......................................................................................... 20
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Peta persebaran negara-negara anggota OKI.................................... 7
Gambar 2. Peta pembagian wilayah.................................................................. 11
Gambar 3. Wilayah Palestina dari masa ke masa.............................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konflik merupakan suatu kenyataan hidup, tidak dapat terhindarkan dan acap kali bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan dengan kata lain harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Menurut Fisher (2001: 4) konflik lahir karena ketidakseimbangan hubungan-hubungan antarpribadi, tingkat kelompok, organisasi, baik dalam bentuk hubungan sosial, ekonomi dan kekuasaan, kesenjangan status sosial, kurang meratanya kemakmuran, dan akses yang tidak seimbang terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak seimbang yang kemudian menimbulkan masalah-masalah, seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, penindasan, dan kejahatan.
Dalam sejarah, tidak ada konflik yang memerlukan kajian, diskusi dan perdebatan layaknya konflik Israel-Palestina. Juga, tidak ada konflik yang sedemikian kompleks dan rumit seperti hanya konflik Israel-Palestina. Bahkan di dalam sejarah dunia, tidak ada masalah yang muncul melainkan bisa dipecahkan, baik masalah itu sulit maupun mudah kecuali dari masalah Israel-Palestina (Hilal, 1993: 1). Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa sebuah konflik yang terjadi tidak disebabkan oleh satu sebab tunggal. Konflik lahir oleh sebab yang kompleks dan diliputi oleh banyak faktor dan kepentingan.
Menjamurnya berbagai polemik di dunia terutama kawasan Asia Barat Daya atau yang lebih dikenal Timur Tengah serta adanya unsur keagamaan yang menjadi asal mula dari konflik, memberikan keterikatan tersendiri bagi para pemeluk agama Islam di suatu negara untuk bergabung bersama dengan negara-negara Islam lainnya, membentuk suatu organisasi keislaman. Tujuan utama dari organisasi ini yaitu membentuk persatuan negara-negara Islam, kerjasama di bidang ekonomi, politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Selain itu, salah satu tujuan lain yang hendak dicapai dari organisasi negara-negara Islam ini yakni untuk mengatasi konflik-konflik yang bermunculan di kawasan Asia Barat Daya.
Adanya konflik ataupun masalah dalam suatu kawasan dapat menjadi suatu alasan munculnya pihak ketiga dalam upaya mendamaikan ataupun menyelesaikan suatu konflik. Organisasi Konferensi Islam (OKI) merupakan salah satunya. Dalam Noor (2014: 364) dijelaskan bahwa pada Mei 1971, organisasi negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam dibentuk, dengan nama Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pada awal berdirinya OKI dimaksudkan untuk membicarakan masalah Palestina dan Timur Tengah pada umumnya, tetapi kemudian mencakup masalah internasional di negara mayoritas maupun minoritas Islam. Kerja sama diharapkan mampu memberikan penyelesaian konflik di Timur Tengah serta memperjuangkan nasib negara-negara yang mayoritas Islam, untuk lepas dari pengaruh asing.
Pada makalah ini diambil salah satu pihak ketiga yang berusaha menyelesaikan konflik yang terjadi di Israel-Palestina yakni Organisasi Konferensi Islam (OKI). Karena Organisasi Konferensi Islam (OKI) suatu organisasi yang negara-negara anggotanya mayoritas Islam, hal ini sejalan dengan Israel-Palestina yang berada berada di kawasan Asia Barat Daya (Timur Tengah) yang mana mayoritas penduduk Palestina beragama Islam. Konflik merupakan suatu hal yang tak bisa tertinggalkan jika terdapat suatu perbedaan yang tak bisa ditoleran seperti halnya konflik Israel-Palestina. Pihak ketiga merupakan suatu pihak yang diharapkan seharusnya berperan dalam menyelesaikan atau mendamaikan suatu konlik tersebut. Salah satu pihak yang diharapkan yakni Organisasi Konferensi Islam (OKI), meskipun menurut pengamat politik OKI masih kurang berkontribusi dalam mengatasi konflik yang ada di negara-negara Asia Barat Daya.
Oleh karena itulah pada kajian kali ini dibahas tentang upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dari tahun 2015-2016. Kajian kali ini dipaparkan tentang sejarah berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI). Selanjutnya tentang latar belakang konflik Israel-Palestina dan yang terakhir akan membahas tentang upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dari tahun 2015-2016.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan maka dapat dirumuskan suatu permasalahan yang diantaranya:
Bagaimana sejarah berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI)?
Bagaimana latar belakang konflik Israel-Palestina?
Bagaimana upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dari tahun 2015-2016?
Tujuan Penulisan
Dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan maka diharapkan dapat mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan penyelesaian konflik Israel-Palestina dari tahun 2015-2016 tentang peranan Organisasi Konferensi Islam (OKI) dengan tujuan penulisan yakni:
Menjelaskan tentang sejarah berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Menjelaskan tentang latar belakang konflik Israel-Palestina.
Menjelaskan tentang upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina dari tahun 2015-2016.
BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Berdirinya Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Secara historis, jauh sebelum terbentuknya OKI, beberapa negara Islam atau yang memiliki penduduk mayoritas muslim telah beberapa kali mengadakan pertemuan internasional (konferensi) dalam rangka untuk membahas berbagai persoalan yang menimpa dunia Islam. Dalam Azhar (2002: 75) dijelaskan bahwa konferensi pertama dunia Islam (pra-OKI) diadakan di Kairo pada bulan Mei 1926, yang dihadiri oleh 11 utusan-utusan dari Mesir, Libya, Tunisia, Maroko, Afrika Selatan, Hindia Belanda (Indonesia), Johor (Malaysia), British, India, Yaman, Hijaz, Palestina, Irak dan Polandia. Konferensi ini menekankan agar umat Islam bekerja sama untuk mewujudkan lembaga kekhalifahan.
Pada pertemuan kedua, pemimpin-pemimpin Islam dari berbagai belahan dunia Islam mengadakan pertemuan di Mekah pada bulan Juni 1926 dan didukung oleh pemimpin baru Jazirah Arab Abdul Aziz Ibn Su'ud (wafat 1973). Namun konferensi ini mendapat kecaman keras dari pemerintah Turki apabila ditampilkan masalah kekhalifahan. Konferensi hanya memusatkan perhatian tentang masa depan Hijaz khususnya mengenai Haramain (Mekah dan Madinah), dan cara penyelenggaraan haji (Azhar, 2002: 76).
Kemudian, pada tahun 1931 konferensi kembali diadakan di Jerusalem. Konferensi ini dipelopori oleh Mufti Jerusalem, Amin al-Husaini (wafat 1975). Pemimpin-pemimpin khalifah di dunia, dan beberapa pemimpin Islam lainnya diajak untuk menanggapi keputusan mandat yang berhubungan dengan dinding barat Masjid al-Aqsha, dan tanggapan terhadap rencana Zionis yang ingin menguasai Palestina secara umum. Konferensi ini dianggap sebagai ancaman terhadap ide negara sekuler, karena itu pemikiran-pemikiran dalam konferensi ini mendapat tantangan serta tanggapan negatif dari beberapa pemimpin dunia (Ismatullah, 2015: 249). Penganut sekularisasi di Mesir menyatakan bahwa anti sekularisasi itu berlawanan dengan evolusi modern yang menuju kepada terbentuknya negara nasional dan tanggapan negatifpun juga muncul dari negara-negara barat seperti Inggris.
Pada tahun 1949, kegiatan konferensi kembali diadakan di Karachi. Kemudian diikuti konferensi lainnya pada tahun 1951 di kota yang sama. Sejumlah proyek yang berhubungan dengan perdagangan, pendidikan dan sosial dirumuskan didalam konferensi ini. Setelah konferensi di Karachi pada tahun 1949, lalu diikuti dengan konferensi Islam internasional yang diadakan di Teheran tahun 1950. Konferensi tersebut mengeluarkan rekomendasi dengan membentuk suatu sekretariat permanen untuk menangani pekerjaan yang meliputi:
Koleksi, kompilasi, analisis dan menyebarluaskan statistik yang berkenan dengan masalah-masalah sosial dan ekonorni.
Mempersiapkan buku statistik tiap-tiap tahun.
Melakukan penelitian terhadap kondisi-kondisi sosial ekonomi yang telah dicapai oleh beberapa negara.
Penelitian mengenai masalah-masalah ekonomi di beberapa negara.
Membantu kepada tiap-tiap negara dalam mempersiapkan rencana-rencana pembangunannya.
Mempersiapkan planning pembangunan regional dengan membantu tenaga ahli bila diperlukan.
Membantu lembaga-lembaga teknik, ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian (Azhar, 2002: 77).
Keinginan untuk bekerja sama di kalangan negara-negara Islam semakin bertambah, dan bukan hanya di dalam bidang ekonomi dan kebudayaan tetapi juga dalam pembangunan intelektual. Akan tetapi, ditengah berkembangnya hubungan baik antar negara Islam, pada tanggal 21 Agustus 1969, dunia Islam dikejutkan dengan adanya pembakaran Masjidil Aqsha di bawah pendudukan Israel. Selain itu, mereka juga gencar malakukan pengusiran warga Palestina. Bukan hanya sebuah pengusiran yang dilakukan Israel terhadap Palestina melainkan berbagai teror dan siksaan secara perlahan agar rakyat Palestina meninggalkan tanah airnya.
Dengan kejadian itu, umat Islam menambah popularitas kesadarannya. Sebagai hasilnya Jamal Abdel Nasser yang awalnya menantang diadakannya KTT Islam, karena dikhawatirkan akan memecah Gerakan Non Blok, sudah menunjukkan persetujuannya untuk KTT Islam. Dalam sidang darurat Liga Arab diusulkan agar Saudi Arabia atau Maroko memprakarsai KTT. Rangkaian peristiwa pertemuan konferensi Islam Internasional sampai kepada peristiwa pembakaran Masjidil Aqsha serta dengan berbagai konflik yang terjadi antara Israel dan Palestina sampai pada perang yang terjadi dalam merebutkan Kota Al-Quds (Jerussalem) pada tahun 1967, membuat umat islam di seluruh dunia tersadarkan dan mulai membentuk suatu organisasi. Faktor-faktor tersebutlah yang menjadi akumulasi dari background berdirinya OKI (Azhar, 2002: 78).
Secara garis besarnya gagasan pembentukan forum kerja sama ini diprakarsai oleh Raja Faisal (Arab Saudi) dan Raja Hassan (Maroko), sebagai reaksi atas tindakan Israel. Pada 25 Rabiul Awal tepatnya Senin 21 Agustus 1969 setelah Isreal membabi buta telah membakar Masjidil Aqsha, kiblat pertama umat Islam. Segera umat Islam sedunia menunjukan reaksinya.
Pada KTT tanggal 22-25 September 1969 di Rabat (Maroko) sebanyak 24 negara Muslim sepakat untuk saling tukar pandangan, menjalin pengertian dan bekerja sama yang erat dalam bidang ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan dan bidang-bidang lainnya. KTT tersebut juga memutuskan agar pada tahun berikutnya diadakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) guna membahas berbagai hasil KTT serta membentuk suatu sekretariat yang permanen sebagai media dalam mempererat kerja sama antara negara anggota (Noor, 2014: 364).
Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) I tanggal 23-25 Maret 1970 di Jeddah, Saudi Arabia diputuskan tempat kedudukan sekretariat OKI yakni di Jeddah, dan Tengku Abdurrahman Perdana Menteri Malaysia meletakkan jabatannya sebagai perdana menteri, kemudian menjadi Sekretaris Jenderal pertama untuk OKI. Pada KTM II, tanggal 29 Februari-4 Maret 1972 di Jeddah, piagam OKI disetujui. Dalam satu pasal dari piagam tersebut lembaga baru ini diberi nama "Munazhzhomah al-mu 'tamaar al-Islamy" (bahasa Arab), "The Organization of the Islamic Conference" (bahasa Inggris) dan "Oorganization de la Conference Islamique" (bahasa Perancis). Sedangkan dalam bahasa Indonesia dikenal "Organisasi Konferensi Islam " (Azhar, 2002: 79).
Gambar 1. Peta persebaran negara-negara anggota OKI
Adapun tujuan dari OKI berdiri yakni:
Untuk mengembangkan kerja sama (solidaritas) Islam di antara negara-negara anggota.
Menggalang kerja sama di kalangan negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya, juga mengadakan konsultasi di antara para negara anggota di dalam organisasi- organisasi internasional.
Berupaya untuk menghapuskan diskriminasi rasial dan menghapus kolonialisme dalam segala bentuknya.
Mengambil langkah-langkah penting untuk mendukung perdamaian dan keamanan internasional yang berdasarkan keadilan.
Menggalang usaha-usaha untuk menjaga tempat-tempat suci dan mendukung perjuangan rakyat Palestina, dan membantu mereka untuk memperoleh kembali hak-hak dan kebebasan tanah air mereka.
Memperkuat perjuangan kaum muslimin untuk melindungi martabat, kemerdekaan dan hak-hak nasional mereka.
Menciptakan suatu iklim yang layak untuk meningkatkan kerja sama dan pengertian negara-negara anggota dan negara-negara lain.
Dalam piagam OKI juga ditetapkan sejumlah prinsip yang menentukan segala bentuk aktivitas yakni:
Persamaan penuh di kalangan negara-negara anggota
Menghormati hak menentukan nasib sendiri, dan tidak campur tangan di dalam masalah-masalah dalam negeri negara-negara anggota.
Menghormati kedaulatan, kemerdekaan dan integrasi teritorial masing-masing negara anggota.
Tiap-tiap persengketaan harus diselesaikan secara damai misalnya dengan perundingan, melalui penengah, rekonsiliasi atau arbitrase.
Tidak mempergunakan kekuasaan terhadap integritas teritorial, kesatuan nasional dan kemerdekaan politik tiap-tiap anggota negara (Ismatullah, 2015: 250-251).
Di dalam sebuah organisasi besar seperti OKI juga terdapat struktural lima lembaga di dalamnya yang meliputi:
Lembaga Asasi
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang dihadiri oleh pemimpin/kepala pemerintahan setiap anggota OKI. Lembaga ini menempati kedudukan tertinggi dalam struktural organisasi. Bertugas menentukan strategi khusus yang terkait masalah politik maupun keberlangsungan organisasi. KTT diadakan setiap tiga tahun sekali.
Konferensi Menlu Anggota OKI yang diselenggarakan tiap satu tahun sekali. Bertugas merumuskan kebijakan tahunan OKI yang berkaitan dengan perkembangan terkini setiap anggota, sekaligus melakukan evaluasi umum terhadap pelaksanaan program pada tahun sebelumnya.
Sekretariat Jenderal/Umum. Lembaga ini menempati kedudukan ketiga tertinggi dalam struktural organisasi, sebab perannya sebagai lembaga pelaksana. Berperan membantu realisasi program kerja lembaga khusus maupun afiliasi.
Mahkamah Pengadilan Islam Internasional. Lembaga kehakiman ini dibentuk pada KTT OKI ketiga, beranggotakan tujuh perwakilan dari negara anggota yang dipilih pada Konferensi Menlu OKI. Bertugas meluruskan kekeliruan persepsi anggota OKI secara umum maupun khusus, serta mengeluarkan fatwa terkait permasalahan hukum setelah mendapat persetujuan dari KTT dan Konferensi Menlu.
Komisi Umum
Komisi Al Quds. Dibentuk dalam Konferensi Menlu OKI keenam di Jedah, 1975. Pada konferensi kesepuluh, Kesultanan Maroko ditetapkan sebagai kepala komisi. Komisi Al Quds beranggotakan 16 negara: Maroko, Indonesia, Yordania, Suria, Lebanon, Mesir, Pakistan, Nigeria, Arab Saudi, Irak, Palestina, Mauritania, Banglades, Iran, Senegal, dan Geneva. Bertugas memantau kondisi Al Quds, mengawasi berbagai kesepakatan terkait masalah Al Quds dalam konferensi OKI atau kesepakatan dengan negara di luar OKI, menjalin kerja sama dengan badan internasional yang berkomitmen menjaga Al Quds, dan mengajukan usulan kepada anggota OKI atau lembaga terkait menyikapi perkembangan Al Quds terkini.
Komisi Permanen Pers dan Kebudayaan. Dibentuk dalam KTT OKI ketiga di Mekah, Arab Saudi Januari 1981. Bertugas menyiarkan informasi akurat terkait problematika dunia Islam, lebih spesifik lagi masalah Palestina dan Al Quds dalam rangka mem-back up informasi subyektif yang mendiskreditkan Islam dan kaum Muslimin.
Komisi Permanen Bidang Ekonomi dan Perdagangan. Dibentuk pada KTT ketiga di Mekah, 1981. Komisi ini dikepalai oleh Turki dan bermarkas di Ankara, Turki. Bertugas melaksanakan keputusan KTT maupun Konferensi Menlu yang menyangkut ekonomi dan perdagangan. Menindak lanjuti upaya dana bantuan kepada anggota OKI demi mewujudkan kesejahteraan umum.
Komisi Permanen Bidang Iptek. Dibentuk pada KTT OKI ketiga di Mekah, 1981 bertugas melaksanakan kesepakatan bersama terkait masalah Iptek, sekaligus membahas sarana efektif untuk saling membantu antara anggota OKI dalam rangka memajukan bidang ini. Komisi ini dikepalai Pakistan dan bermarkas di Islamad, Pakistan.
Komisi Islam yang menangani Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Dibentuk pada Konferensi Menlu OKI di Istanbul, Turki 1976. Berfungsi sebagai lembaga sentral bagi lembaga-lembaga cabang dalam tubuh OKI. Bisa mengajukan usulan kepada KTT maupun Konferensi Menlu terkait masalah ekonomi, sosial-budaya, serta melaksanakan rekomendasi dalam KTT dan Konferensi Menlu OKI.
Lembaga Cabang yang Berbentuk Yayasan
Pusat riset statistik, ekonomi, sosial, dan training yang bermarkas di Trebles.
Pusat riset sejarah, seni, dan budaya Islam yang bermarkas di Istanbul.
Markas Islam menangani bakat, keahlian, dan riset yang bermarkas di Daka.
Markas Islam untuk pengembangan perdagangan yang bermarkas di Mekah.
Lembaga fikih Islam yang bermarkas di Jedah.
Komite Internasional Pemeliharaan Warisan Budaya Islam bermarkas di Istanbul.
Dewan permanen kas solidaritas Dunia Islam.
Universitas Islam di Nigeria dan di Uganda.
Yayasan Khusus
Organisasi Islam bidang pendidikan, ilmu dan budaya di Fas, Islamabad.
Organisasi Radio Internasional Islam di Jedah.
Kantor Berita Islam Internasional di Jedah.
Bank Pembangunan Islam di Jedah.
Yayasan yang berafiliasi dengan OKI
Kamar Dagang dan Industri Islam bermarkas di Karachi.
Organisasi Islam Bidang Ibukota negara dan kota bermarkas di Mekah.
Asosiasi Islam Riyadh Bidang Kompetisi bermarkas di Riyadh.
Komite Islam Bidang Bulan Sabit Internasional bermarkas di Banghazi.
Persatuan Islam untuk Kepemilikan Kapal bermarkas di Mekah.
Persatuan Keguruan Sekolah Arab dan Islam Internasional di Jedah.
Persatuan Bank Islam Internasional bermarkas di Kairo (Reydian, 2017; Azhar, 2002: 83-86; Sihbudi, 2007: 101-102).
Latar Belakang Konflik Israel-Palestina
Bukti-bukti sejarah menunjukkan bahwa persoalan Palestina merupakan akibat dari pergolakan dua peradaban yaitu peradaban Islam dan peradaban Barat. Munculnya persoalan Palestina dilatarbelakangi oleh adanya usaha untuk menggulingkan peradaban Islam, menyibukkan kaum Muslimin dengan persoalan Palestina dan permusuhan melawan Yahudi. Usaha-usaha tersebut dilancarkan agar kaum Muslimin lupa dengan perseteruan yang sebenarnya yaitu perseteruan antara kaum Muslimin dengan negara-negara yang telah merekayasa persoalan Palestina. Munculnya masalah Palestina telah dirancang oleh orang-orang kafir dengan sangat sistematis dan cukup lama untuk menjauhkan kaum Muslimin dari realitas kehidupan serta untuk memecah belah negeri-negeri kaum Muslimin dan meruntuhkan negara mereka. Orang-orang kafir berusaha tetap mempertahankan kemenangannya demi mencegah bangkitnya kembali Islam (Hilal, 1993: 13).
Merujuk perselisihan antara Israel-Palestina yang begitu panjang, berawal dari kekalahan kekaisaran Ottoman Kerajaan Turki pada pemerintahan Inggris dan sekutu-sekutunya khususnya Amerika Serikat dan Perancis. Namun pada tahun 1916, Rusia-Czar, Inggris dan Perancis menandatangani suatu perjanjian yang dikenal sebagai Sax-Picot. Perjanjian tersebut membagi atas wilayah bekas Kerajaan Turki sebagai berikut:
Perancis menguasai negeri Syria dari wilayah Turki sampai garis yang memanjang dari Aka hingga Theberia yang sekarang meliputi: Syria, Libanon dan Galil.
Rusia-Czar menguasai wilayah Istanbul.
Inggris menguasai wilayah Irak, Jordania dan Palestina (Rahmatullah, 2015: 50).
Gambar 2. Peta pembagian wilayah
Pada tanggal 2 November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, James Balfour dalam surat menyuratnya kepada Presiden Federal Zionis Inggris, Lord Walter Rothschild, mengemukakan gagasan agar wilayah Palestina yang pada waktu itu merupakan wilayah mandat Inggris dijadikan pemukiman untuk masyarakat Yahudi. Gagasan mengenai pemukiman masyarakat Yahudi dari Kenya ke Palestina tersebut, sebagai tuntutan mayoritas kelompok kaum Zionis Internasional yang berpegang pada kitab Injil kuno dan agama Yahudi, yang dikenal dengan
perjanjian Deklarasi Balfour (Sihbudi, 1994: 89).
Tujuan Deklarasi Balfour di atas, agar wilayah Palestina dijadikan "A National Home For The Jewish People". Sebagai kebijakan dari James Arthur sebagai pemberi mandat Inggris pada waktu itu, meskipun beliau memahaminya dengan meminta warga Yahudi Kenya untuk mengungsi ke wilayah Palestina Timur Tengah. Hal itu dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang begitu besar, antara orang-orang Yahudi sebagai pendatang dengan orang-orang Arab Palestina sebagai penghuni asli dari wilayah tersebut. Namun itu semua dapat terjadi akibat dari peran Amerika Serikat dalam permainan percaturan politik di Israel-Palestina. Pada tanggal 11 Mei 1942 Organisasi Zionis Amerika Serikat mengadakan pertemuan di New York dan memutuskan suatu program dengan nama Baltimore Programe dengan tujuan lebih jauh dibandingkan dengan Balfour Declaration, sehingga sempat menimbulkan protes kalangan masyarakat Yahudi moderat di Eropa dan Amerika Serikat. Isi dari rencana Biltimore Programe, yang diusulkan oleh Ben Gurion selaku Ketua Komite Eksekutif Agensi Yahudi, yaitu:
Pembentukan negara Yahudi di seluruh wilayah Palestina.
Pembentukan Angkatan Darat Yahudi.
Pembentukan lembar putih 1939 dan pelaksanaan imigrasi Yahudi tanpa batas yang akan diawasi Agensi Yahudi, bukan pemerintah Inggris (Rahmatullah, 2015: 51).
Awal mula terjadinya perselisihan Israel-Palestina juga disebabkan ketika terjadinya pengusiran orang–orang Yahudi Eropa dari Jerman, atas kediktatoran Adolf Hitler seorang fasis yang bertujuan untuk melakukan pengaruhnya di Jerman (Archer, 2006: 134). Pada waktu itu Hitler memandang bahwa orang-orang Zionis Yahudi ini adalah penyebab kekacauan di negara-negara Eropa, khususnya di wilayah Jerman. Sebagian besar pimpinan kepala negara-negara Eropa pada waktu itu, sependapat dengan alur pikiran Hitler untuk melaksanakan kebijakan atas orang-orang Zionis Yahudi agar diasingkan keluar dari negeri Jerman. Namun, kebijakan Hitler sejalan dengan maksud James Balfour selaku deklarator pendiri pemukiman Yahudi di wilayah Timur Tengah yakni Palestina.
Diplomasi inilah yang dilakukan oleh James Balfour dalam melakukan pengaruhnya terhadap negara-negara yang berada di Timur Tengah, meminta melaksanakan keputusan Deklarasi Balfour tersebut dengan pertimbangan strategis sebagai berikut:
Masyarakat Zionis Yahudi di Eropa Timur dapat hidup dengan aman dan bahagia.
Terusan Suez berada dalam penguasaan Inggris.
Agar berguna sebagai pressure group masyarakat Yahudi di Amerika Serikat dalam memperkuat dunia politik Amerika Serikat untuk kelanjutan peperangan.
Hasil keputusan Deklarasi Balfour tersebut, menyebabkan wilayah Palestina yang awalnya dimiliki warga penduduk asli Palestina, sekarang sudah bergeser ke tangan masyarakat Zionis Yahudi yang telah menguasai wilayah Palestina sebesar 2/3 dari jumlah keseluruhan wilayah Palestina, sehingga menimbulkan konflik yang tak bersudahan di antara warga sipil Palestina dengan militer Israel. Konflik terjadi di wilayah Palestina sejak mulai dari tahun 1948, 1956, 1967 dan 1973 hingga sekarang, walaupun dari sebagian besar kepala negara-negara Timur Tengah sangat ingin mendamaikan perselisihan tersebut (Sihbudi, 1993: 48-49).
Gambar 3. Wilayah Palestina dari masa ke masa
Namun dari pihak pemerintah Amerika Serikat dan Inggris tidak berhenti memberikan bantuan dukungan persenjataan teknologi kepada Israel dalam melakukan operasi penyerangan militer dan proses pembangunan pemukiman ke wilayah Palestina. Amerika Serikat tidak tanggung-tanggung memberikan dukungannya kepada pemerintahan Israel dengan melakukan kerjasama militer dalam hal pelatihan uji coba persenjataan teknologi canggih yakni Iron Dome buatan dari Amerika, yang digunakan pemerintahan militer Israel, dalam melakukan penyerangan ke wilayah Palestina. Hal penting dukungan presiden Amerika Serikat dalam kebijakan politik luar negerinya terhadap pemerintahan militer Israel adalah guna memperlancar bisnis persenjataan kedua belah pihak dalam hal pemenuhan kepentingan nasionalnya (Rahmatullah, 2015: 52).
Menurut Morgenthau (1990: 118) tujuan dari bantuan Amerika Serikat merupakan untuk menimbulkan kesan kepada negara-negara lain dengan kekuasaan yang dimilikinya atau supaya yang dimiliki itu dipercaya oleh negara-negara lain. Oleh karena itu, pemerintah Amerika Serikat tetap ikut berperan aktif di dalam setiap permasalahan-permasalahan konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah, khususnya di Palestina. Hal itu karena, Amerika Serikat ingin tetap eksis dalam mewujudkan dirinya sebagai negara super power serta memperkuat pengaruh hegemoninya terhadap negara-negara lainnya, sekaligus membuktikan diri sebagai negara adidaya yang terdepan di antara negara-negara lain, khusunya dalam penentuan penyelesaian perdamaian dunia. Meskipun kenyataannya dalam penentuan penyelesaian konflik, bukan menyurutkan konflik tetapi menambah konflik baru di atas konflik yang lama.
Upaya Organisasi Konferensi Islam (OKI) dalam Menyelesaikan Konflik Israel-Palestina dari Tahun 2015-2016
Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan yang terkecil hingga peperangan. Konflik Israel-Palestina yang bernuansa kekerasan sebetulnya sudah terjadi sejak lama dengan berbagai latar sebab. Walau demikian, bukan berarti tak ada solusi bagi terwujudnya perdamaian. Di saat dunia Barat lesu menghadapi guncangan ekonomi dan budaya, serta Jazirah Arab masih dilanda konflik sosial dan politik, maka kekuatan Dunia Islam seperti Organization of Islamic Conference (OIC) yang dikenal dengan Organisasi Konferensi Islam (OKI) didesak untuk mengambil peran penting dalam penyelesaian konflik. Sebagaimana yang dilansir media massa, pada 6-7 Maret 2016 negara-negara yang tergabung dalam OKI kembali mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa di Jakarta (Kadir, 2016).
OKI dideklarasikan melalui Deklarasi Rabat di Maroko pada 25 September 1969 dengan anggota 25 negara sebagai respon terhadap pembakaran Masjid Al-Aqsha oleh Israel ketika itu. Kini jumlah negara yang tergabung dalam OKI mencapai 57 negara. OKI didirikan berdasarkan keyakinan agama Islam dan nilai-nilai luhur universal kemanusiaan seperti penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM), kerjasama politik, ekonomi, dan sosial-budaya, mendukung perdamaian dan keamanan internasional, melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dari jajahan Israel. Dalam berbagai pertemuan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa KTT Luar Biasa yang berlangsung sebagai respon terhadap permintaan Presiden Palestina Mahmud Abas. Dengan mengangkat tema "United for a Just Solution" kali ini diharapkan akan menghasilkan resolusi yang akan memuat pernyataan dan komitmen politik negara anggota OKI dan Jakarta Declaration (Deklarasi Jakarta) yang memuat sejumlah rencana aksi penyelesaian isu Palestina dan Al-Quds Al-Syarif. Isu-isu utama yakni masalah perbatasan, pengungsi Palestina, sengketa Kota Yerusalem, permukiman ilegal, keamanan, dan akses air bersih (Setiawanto, 2016).
Pada KTT Luar Biasa kali ini ada beberapa langkah strategis yang ditempuh oleh OKI, menurut Kadir (2016) langkah yang ditempuh diantaranya:
Mempererat solidaritas antar negara-negara OKI dan meneguhkan Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin. Dalam situasi konflik yang tak berkesudahan di kawasan Timur Tengah (termasuk Palestina) dan fenomena Islamofobia di beberapa negara Barat, OKI perlu memperteguh konsolidasi sesama negara OKI dan memproklamirkan secara masif bahwa Islam agama yang damai dengan dilakukan secara damai pula. Bahwa umat Islam sejatinya dapat berdialog dan berdampingan secara damai dan terbuka dengan berbagai elemen kemanusiaan lintas latar belakang.
Menegaskan peran OKI dalam menyelesaikan konflik Palestina, terutama dalam mengintervensi Israel. Mesti diakui bahwa Israel telah melanggar hukum HAM Internasional dan berbagai resolusi Perserikatan Bagsa-Bangsa (PBB), karena telah menjajah Palestina yang seharusnya memiliki hak untuk merdeka dan menjalankan pemerintahanya secara bebas-aktif. Atas dasar itu, OKI mesti mendesak dan mendukung laporan Palestina kepada Mahkamah Pidana Internasional (Internastional Criminal Court, ICC) untuk melakukan penyidikan atas kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan yang dialukan Israel dan memperkuat kapasitas pemerintah serta rakyat Palestina di segala sektor (pendidikan, kesehatan, pemerintahan, infrastruktur dan lain-lain).
Mendesak negara-negara Barat dan PBB agar bersikap tegas kepada Israel. Mesti diakui bahwa selama ini negara-negara Barat dan PBB kerap menghambat resolusi perdamaian. Mereka sangat lamban dan mandul dalam menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Dengan hak vetonya, Amerika Serikat dengan begitu mudahnya mementahkan semua keputusan Dewan Keamanan dan Sidang Umum PBB (Husaini, 2004: 156). Dalam kondisi demikian, OKI sudah meyakinkan negara-negara Barat dan PBB bahwa sikap adil dan tegas adalah prinsip sekaligus kunci perdamaian yang sesungguhnya.
Meskipun peran dari OKI dalam memperjuangkan perdamaian di dunia, khususnya dunia Islam kurang maksimal, tapi OKI juga memiliki jasa yang tidak bisa dilupakan begitu saja terhadap penyelesaian konflik yang terjadi. Dalam usaha menyelesaikan berbagai konflik, OKI lebih berlatar belakang dengan jalan perdamaian, yakni dengan perundingan, penengahan, dan arbitrase. Seperti dalam halnya reaksi OKI atas tindakan Israel yang melakukan serangan terhadap Palestina, dalam Sihbudi (2007: 369) menyatakan negara-negara anggota OKI memutuskan untuk memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel, seperti Arab Saudi, Sudan dan Suriah. Mereka menarik duta besar di Israel sampai kemudian terjadinya perdamaian. Dalam hal ini negara-negara Arab memiliki legitimasi politik untuk membekukan hubungan dengan Israel, menyusul perilaku keji Israel terhadap rakyat sipil Palestina yang jelas-jelas melanggar hak asasi manusia.
Negara-negara Arab juga bisa memutuskan hubungan dengan Israel seperti dalam bidang budaya, wisata, ekonomi, serta memboikot perundingan multilateral. Hal-hal seperti ini dilakukan negara-negara OKI sampai proses damai dilakukan. Dalam artian tetap memilih jalan damai sebagai pilihan strategis dalam meyelesaikan masalah (Rahman, 2002: 212). OKI turut memainkan peran yang berarti dalam perdamaian Israel-Palestina, dengan berusaha keras untuk menggalang dukungan internasional atas kemerdekaan Palestina. Beberapa langkah telah OKI lakukan untuk merespon ketidakadilan yang ditimbulkan Israel terhadap Palestina, sehingga OKI menyadari tidak ada jalan lain bagi perdamaian Palestina selain dari Palestina harus menjadi negara merdeka yang berdaulat.
Salah satu kemajuan signifikan peran OKI dalam proses menuju kemerdekaan yang hakiki bagi Palestina adalah diakuinya Palestina sebagai salah satu negara anggota PBB melalui resolusi Sidang Umum PBB di New York pada 10 September 2015 silam. Suatu kemajuan yang menambah optimisme OKI untuk berperan lebih maksimal hingga Palestina benar-benar merdeka dan memperoleh kedaulatan negara (Kadir, 2016).
Adapun tantangan ataupun kendala OKI sampai sekarang dalam kegiatan yang dilakukan antara lain:
Meminimalisasi perbedaan orientasi politik diantara negara anggota OKI.
Mengubah dan menghapuskan salah penafsiran dunia Barat terhadap Islam yang selalu negatif, seperti mengaitkan Islam, dengan kegiatan fundamentalis, terorisme, dan kekerasan lainya.
Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan serta solidaritas antar anggota.
Meningkatkan kerjasama dalam berbagai bidang untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat seluruh negara anggota OKI.
Mengupayakan kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Pelestina
Mengurangi ketergantungan negara anggota OKI terhadap negara-negara Barat (Azhar, 2002: 80-81; Noor, 2014: 367-368, Sihbudi, 2007: 105).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
OKI (Organisasi Konferensi Islam) merupakan suatu organisasi yang terdiri dari negara-negara yang mayoritas penduduknya Islam. Gagasan pembentukan forum kerja sama ini diprakarsai oleh Raja Faisal (Arab Saudi) dan Raja Hassan (Marokko), sebagai reaksi atas tindakan Israel pada 25 Rabiul Awal tepatnya Senin 21 Agustus 1969 Israel membabi buta telah membakar Masjidil Aqsha, kiblat pertama umat Islam. Segera umat Islam sedunia menunjukan reaksinya. Berdirinya OKI ini merupakan suatu perkembangan yang cukup berarti bagi kehidupan Islam modern. OKI memiliki tujuan dan prinsip dalam alasanya berdiri hingga saat ini salah satu tujuan dan prinsip utama ditujukan untuk membangun kerja sama antara negara-negara Islam.
Munculnya persoalan Palestina dilatarbelakangi oleh adanya usaha untuk menggulingkan peradaban Islam, menyibukkan kaum Muslimin dengan persoalan Palestina dan permusuhan melawan Yahudi. Merujuk perselisihan antara Israel-Palestina yang begitu panjang, berawal dari kekalahan kekaisaran Ottoman Kerajaan Turki pada pemerintahan Inggris dan sekutu-sekutunya Amerika Serikat dan Perancis. Pada tahun 1916, Rusia-Czar, Inggris dan Perancis menandatangani suatu perjanjian yang dikenal sebagai Sax-Picot. Perjanjian tersebut membagi atas wilayah bekas Kerajaan Turki, di mana Inggris menguasai daerah Palestina. Lalu pada tanggal 2 November 1917 Menteri Luar Negeri Inggris, James Balfour mengemukakan gagasan agar wilayah Palestina yang pada waktu itu merupakan wilayah mandat Inggris dijadikan pemukiman untuk masyarakat Yahudi dengan nama Deklarasi Balfour, agar wilayah Palestina dijadikan "A National Home For The Jewish People". Hal itu yang menjadi akibat terjadinya konflik yang begitu besar, antara orang-orang Yahudi sebagai pendatang dengan orang-orang Arab Palestina sebagai penghuni asli dari wilayah tersebut.
Dari setiap konflik ada beberapa diantaranya yang dapat diselesaikan, tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Konflik Israel-Palestina yang bernuansa kekerasan sebetulnya sudah terjadi sejak lama dengan berbagai latar sebab. Walau demikian, bukan berarti tak ada solusi bagi terwujudnya perdamaian. Sebagaimana yang dilansir media massa, pada 6-7 Maret 2016 negara-negara yang tergabung dalam OKI kembali mengadakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa di Jakarta. Pada KTT Luar Biasa kali ini resolusi yang ditempuh oleh OKI seperti mempererat solidaritas antar negara-negara OKI dan meneguhkan Islam sebagai agama rahmatan lil'alamin, menegaskan peran OKI dalam menyelesaikan konflik Palestina, terutama dalam mengintervensi Israel, dan mendesak negara-negara Barat dan PBB agar bersikap tegas kepada Israel. Dalam usaha menyelesaikan berbagai konflik, OKI lebih berlatar belakang dengan jalan perdamaian, yakni dengan perundingan, penengahan, dan arbitrase.
Saran
Konflik merupakan suatu hal yang tak bisa tertinggalkan, jika terdapat suatu perbedaan ataupun kesenjangan. Sebagai manusia yang cerdas akan hal ini, jangan jadikan suatu perbedaan ataupun kesenjangan menjadi suatu masalah yang besar hingga menimbukkan suatu konflik yang merugikan. Jadilah pihak ketiga yang bisa melerai suatu masalah, mendamaikan suatu pertentangan, bukan menumbuhkan masalah baru di atas masalah yang sudah ada, ataupun hanya bisa menonton saja. Khusus masalah konflik Israel-Palestina ada beberapa resolusi yang bisa ditempuh OKI untuk mencapai penyelesaian, yakni kembali kepada posisi awal perundingan dua belah pihak Israel-Palestina melalui mediasi yang dilakukan Dewan Keamanan PBB, dan menghimbau Dewan Keamanan PBB untuk berperan aktif dan lebih tegas memberikan sanksi bagi negara-negara yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan mengajukan ke Mahkamah Internasional.
DAFTAR RUJUKAN
Archer, J. 2006. Kisah Para Diktator. Yogyakarta: Narasi.
Azhar, M. 2002. Mengenal dari Dekat: Organisasi Konferensi Islam (OKI). Jurnal Tarjih, (Online), 3(1): 74-95, (http://www.jurnaltarjih.or.id), diakses 5 Februari 2017.
Fisher, S. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak. Jakarta: The British Council Indonesia.
Hilal, I. 1993. Palestina: Akar dan Solusinya. Depok: Pustaka Thariqul Izzah.
Husaini, A. 2004. Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Ismatullah, D. 2015. Politik Hubungan Internasional Islam (Siyasah Dauliyah). Bandung: Pustaka Setia.
Kadir, S. 2016. Konflik Palestina dan Peran Strategis OKI, (Online), (https://akarsejarah.com/2016/03/09/konflik-palestina-dan-peran-strategis-oki/), diakses 1 April 2017.
Morgenthau, H.J. 1990. Politik Antarbangsa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Noor, Y. 2014. Sejarah Timur Tengah (Asia Barat Daya). Yogyakarta: Ombak.
Rahman, M.A. 2002. Jejak-Jejak Juang Palestina. Jakarta: Kompas
Rahmatullah. 2015. Peran Amerika Serikat dalam Menciptakan Perdamaian dan Penyelesaian Konflik Israel dan Palestina, Jurnal Ilmiah Widya, (Online), 3(1): 49-55, (http://www.jurnal.widya.or.id ), diakses 1 April 2017
Reydian, R. 2017. Kerjasama Multilateral Organisasi Konferensi Islam (OKI), (Online), (http://www.academia.edu/11380114/kerjasama_multilateral_ organisasi_konferensi_islam_oki), diakses 1 April 2017.
Setiawanto, B. 2016. KTT OKI Perjuangan Indonesia Untuk Palestina, (Online), (http://www.antaranews.com/berita/548808/ktt-oki--perjuangan-indonesia-untuk-palestina), diakses 1 April 2017.
Sihbudi, R. 1993. Konflik dan Diplomasi di Timur Tengah. Bandung: Eresco.
Sihbudi, R. 1994. Palestina Solidaritas Islam dan Politik Dunia Baru. Bandung: Pustaka Hidayah.
Sihbudi, R. 2007. Menyandera Timur Tengah: Kebijakan AS dan Israel atas Negara-negara Muslim. Jakarta: Mizan Publika.