Tumor Jinak pada Tulang: Sebuah tinjauan
David N. Hakima, Theo Pellyb, Myutan Kulendranc, Jochem A. Carisd.
aImperial College London, UK
bLeeds University, UK
cSt George's Hospital,UK
dAcademic Surgical Unit, Imperial College London, UK
ABSTRAK
Tumor jinak pada tulang tidak bersifat kanker dan tidak akanbermetastasis ke area lain pada tubuh. Namun, tumor tersebut dapat tumbuh di bagian manapun di kerangka tubuh. Tumor ini jugaberbahaya karena dapat tumbuh dan memampatkan jaringan tulang yang sehat. Terdapat beberapa jenis tumor jinak yang dapat diklasifikasikan oleh jenis matriks yang dihasilkan sel-sel tumor; seperti tulang, tulang rawan, jaringan fibrosa, lemak atau pembuluh darah. Secara keseluruhan, terdapat 8 jenis tumor jinak yang dapat dibedakan menjadiosteochondroma, osteoma, osteoid osteoma, osteoblastoma, tumor sel raksasa, kista tulang aneurisma, fibrosis displasia dan enchondroma.
Insiden tumor tulang yang jinak bervariasi tergantung pada jenisnya. Namun, tumor ini paling sering muncul pada orang yang berusia kurang dari 30 tahun, sering dipicu oleh hormon yang menstimulasi pertumbuhan normal. Jenis yang paling umum adalah osteochondroma.
Ulasan ini membahas berbagai jenis tumor jinak tulang yang umum berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari literatur sebelumnya.
Pengantar
Tumor jinak pada tulang terdiri dari berbagai macam neoplasma yang berbeda. Tumor ini bervariasi dalam hal insidensi, presentasi klinis dan memerlukan beragam pilihan terapeutik. Insiden tumor jinak pada tulang diperdebatkan karena presentasi mereka sering asimptomatik dan sulit dideteksi [1]. Secara keseluruhan, terdapat 8 jenis tumor tulang jinak yang dapat dibedakan menjadiosteochondroma, osteoma, osteoid osteoma, osteoblastoma, tumor sel raksasa, kista tulang aneurisma, fibrosis displasia dan enchondroma. Secara umum, tumor ini dapat dibagi ke dalam kategori berdasarkan jenis sel mereka, yaitu pembentuk tulang, pembentukan tulang rawan, serta jaringan ikat dan vaskular [2]. Beberapa bentuk lain tumor jinak juga dapat muncul, namun karena rendahnya insidensi hal tersebut tidak akan dibahas.
Osteochondroma
Tumor tulang rawan ini mewakili sebagian besar tumor jinak pada tulang (sekitar 30%). Osteochondroma paling sering ditemukan di tulang paha dan tibia, osteochondroma terjadi terutama dalam metafisis dan diametaphysis dan tulang yang menonjol pada bagian bawah. Tutup kartilago adalah tempat pertumbuhan tumor tulang rawan ini, yang biasanya berkurang setelah kematangan kerangka. Sementara osteochondroma soliter (eksostosis) biasanya ditemui dalam empat dekade pertama [3], bentuk turun-temurun dan autosomal terjadi pada usia yang lebih muda dan dapat hadir dengan pemendekan dan deformitas ekstremitas.
Radiologi konvensional (menggunakan lokasi anatomi, zona transisi dan mineralisasi matriks) digunakan untuk mendiagnosis tumor chondroid [4]. Ketika tidak ada mineralisasi korteks, diagnosis sulit dilakukan sehinggaComputer Tomography (CT) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dapat digunakan. MRI memberikan gambaran yang sangat baik dari kompromi arteri dan vena [5]. Karakteristik yang paling umum adalah endosteal scalloping, reaksi periosteal yang menebal dan pengait kortikal. Operasi pengangkatan tendon tumor dapat memberikan hasil klinis yang sangat baik [6].
3. Tumor raksasa sel tulang
Dua puluh persen dari semua tumor jinak pada tulang adalah tumor sel raksasa (Giant Cell Tumour/GCT) yang kebanyakan muncul pada usia antara 20 dan 40 [7,8]. Lokasi GCT dapat bervariasi, sebagian besar terdapat di tulang panjang,terutama di daerah lutut (50-65%). Secara histologi, GCT terdiri dari sel-sel raksasa dengan fungsi seperti osteoclastyang dikelilingi oleh sel-sel stroma sepertispindledan sel monocytic lainnya [7,9]. GCT biasanya bersifat jinak (80%). Namun, rekurensi setelah eksisi dapat terjadi pada 20-50%, dengan 10% menjadi ganas ketika terjadi kekambuhan [10].
GCT muncul pada radiografi polos dengan munculnya lesi kistik litik, batasan yang dapat ditentukan dengan jelas, dan non-sklerotik [7,10]. GCT biasanya terletak di epiphysis tulang, dengan pola pertumbuhan eksentrik. Karakteristik umum lainnya termasuk penipisan kortikal,perubahan berntuk tulang secara luas, dan trabekulasi yang menonjol [9]. Pada tumor agresif, radiografi dapat menunjukkan penipisan kortikal, destruksi tulang kortikal, dan zona transisi yang luas [9]. Fraktur patologis terdapat pada fitur antara 11% dan 37% pasien. [9,11].
Meskipun GCT biasanya didiagnosis berdasarkan bukti radiografi, sejumlah alat pencitraan tambahan dapat membantu untuk mengkonfirmasi diagnosis tersebut. Dalam 57% kasus,"donat sign" ada pada skintigrafi tulang yang merupakan hasil dari peningkatan serapan radionuklida perifer [12].
Penggunaan pencitraan CT sangat membantu dalam memeriksa sejauh mana batasan tumor. CT lebih unggul daripada pencitraan radiografi dalam membantu melihat fitur GCT tertentu, termasuk perubahan kortikal dan reaksi periosteal [9]. Pencitraan MR adalah alat yang paling akurat untuk melihat batasan GCT [9,13]. Namun, pencitraan MR kurang efektif daripada pencitraan CTsaat menunjukkan perubahan pada korteks tulang [13].
Alat pencitraan fungsional seperti tomografi emisi positron fluoro-2-deoxyD telah diidentifikasi sebagai alat yang berpotensi berguna untuk mengidentifikasi keganasan pada tumor muskuloskeletal [14]. Terdapat beberapa penelitian tentang penggunaan PET dalam mengidentifikasi tumor jinak pada tulang [15]. Ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa dalam GCT. PET dan tumor lain yang mengandung sel raksasa menunjukkan pengambilan FDG yang tinggi [15-17]. Disarankan bahwa PET FDG mungkin dapat berguna dalam pencitraan tumor sel raksasa ketika terjadi kekambuhan, di mana anatomi normal dapat terdistorsi [18].
Manajemen GCT yaitu kuretase yang diikuti oleh pengisian dengan semen tulang [7,19]. Namun hal ini dikaitkan dengan tingkat kekambuhan yang tinggi. Perawatan tambahan dengan bantuan sering digunakan untuk mengurangi munculnya kekambuhan. Tambahan pemberian bantuan dapat berupa seng klorida, bifosfonat, fenol, nitrogen cair dan alkohol. [20–23]. Tumor agresif juga dapat diobati dengan eksisi yang lebih luas dan penggunaan prostesis bedah [9].
Perkembangan terbaru dalam pengobatan GCT adalah penggunaan obat kemoterapi, denosumab, antibodi monoklonal yang dapat menghambat aktivitas osteoklastik GCT [7]. Hal ini berguna ketika lokasi tumor membuat operasi sulit dilakukan, misalnya di sakrum atau pelvis [7]. Hasil sementara dari percobaan fase II telah menunjukkan bahwa obat tersebut dapat digunakan untuk mengurangi kebutuhan untuk operasi yang lebih luas yang sulit dilakukan untuk reseksi tumor [24].
4. Osteoblastoma
Osteoblastoma adalah tumor jinak pada tulang yang bersifat langka yang bertanggung jawab atas 14% tumor tulang [25]. Osteoblastomapaling sering terjadi pada orang-orang dalam empat dekade pertama kehidupan, probabilitas yang lebih besar dari itu terjadi pada dekade kedua dan ketiga [26]. Osteoblastoma muncul pada kerangka aksial dengan lesi spinal yang merupakan sepertiga dari kasus yang dilaporkan [27]. Pada pencitraan CT, penampilan osteoblastoma dapat berubah dan sering terlihat seperti tumor lain, termasuk ganas. Osteoblastoma dapat dibedakan karena ukuran nidusnya yang sangat besar (berdiameter 42 cm, kadang-kadang hingga 15 cm) dibandingkan dengan osteoid osteoma [28], tetapi diagnosis perlu dikonfirmasikan dengan dilakukannya biopsi. Nidus dibentuk oleh tulang tenunan sklerotik padat dan tumor trabekula yang sering terhubung dengan tulang sekitarnya. Osteoblastoma cenderung hanya tetap terdapat pada tulang dan biasanya tidak menembus korteks, oleh karena itu osteoblastomabiasanya memiliki prognosis yang baik dan tingkat kekambuhan rendah yaitu sekitar 15-20% [29].
Pengobatan pertama yang dapat dilakukan adalah tindakan medis [30], jika terbukti tidak berhasil, radioterapi dan kemoterapi dapat dilakukan sebelum dilakukan intervensi bedah. Hanya ada beberapa kasus yang dilaporkan di mana osteoblastoma berkembang menjadi osteosarcoma [31].
5. Osteoma
Osteoma adalah pertumbuhan tulang membranosa yang jinak. Osteoma paling sering ditemukan pada sinus para-nasal, tulang tengkorak dan tulang panjang [32]. Tumor jinak ini dapat menumbuhkan tulang (homoplastik) dan dapat hadir pada jaringan lain (heteroplastik atau eteroplastik) [33]. Osteoma terdiri dari jaringan osseous yang terdiri dari tulang kental dengan batas yang jelas, tanpa permukaan yang tidak teratur atau lesi satelit Gejala osteoma tidak sulit untuk didiagnosis. Insiden osteoma meningkat terjadi pada penyelam dan perenang, respon peradangan dianggap sebagai salah satu mekanisme yang mendasari munculnya tumor ini [34]. Osteoma soliter biasanya tidak berbahaya, tetapi beberapa osteoma ditemukan sebagai risiko bahwa pasien mungkin memiliki kondisi yang mendasari munculnya gejala lain, seperti sindrom Gardner [35]. Meskipun jarang dilakukan, operasi pengangkatan diindikasikan dalam keadaan apabila pasien memiliki risiko munculnya gejala lain tersebut.
6. Osteoma osteoporum
Osteoma osteoporum jarang yang melebihi 1,5 cm, osteoid osteoma adalah tumor jinak pada tulang yang terdiri dari tulang osteoid dan tenunan. Osteoid osteoma membentuk 12% dari semua neoplasma skeletal. 50% dari lesi osteoma osteoid ditemukan di bia atau tibia. Korteks tulang panjang adalah lokasi lesi paling umum dimana tumor ini ditemukan. Osteoma osteoporum dapat ditandai dengan sifatnya yang padat, fusiform, dan sklerosis [36]. Osteoma osteoporum sering ditemukan pada laki-laki muda yang berada pada usia di bawah 40 tahun[37], sementara pada bayi tumor ini jarang ditemukan. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit. Tumor ini jarang ditemukan di daerah kerangka aksial, tulang tengkorak dan wajah. MRI, CT scan dan pemindaian Isotop dapat digunakan untuk diagnosis dan untuk identifikasi kalsifikasi sentral yang dikelilingi oleh nidus (penembusan ovoid) [26]. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Assoun dkk, 19 pasien diperiksa menggunakan CT dan MRI, pada 63% kasus hasil menunjukkan bahwa CT lebih akurat daripada pencitraan MR dalam deteksi osteoid osteoma nidus [38].
Tulang osteoid dan tulang tenunan dapat dilihat sebagai trabekula yang saling berhubungan (tipis atau lebar) atau berupa lembaran. Tulang yang mengelilingi lesi (tulang inang) yang kuat terbuat dari berbagai campuran tenunan dan tulang pipih [36]. Gambaran radiologis osteoma osteoid kortikal yang timbul di batang dari tulang panjang memiliki karakteristik tertentu. Ini mungkin radiolusen dan mengandung jumlah mineralisasi yang berubah-ubah yang dbiasanya diposisikan secara terpusat di area osteosklerosis reaktif (fusiform padat, reaktif). Sklerosis dapat menurun setelah dilakukan operasi pengangkatan tumor. Administrasi pra operasi tetrasiklin dan penggunaan sinar UV untuk pemeriksaan selama prosedur dapat meningkatkan pandangan ahli bedah terhadap kondisi nidus. Teknik ini bekerja karena posisi tetrasiklin pada osteoid yang cepat bermetabolisme dari nidus, berlawanan dengan tulang host mineralisasi yang bergerak lambat [36].
Dari 860 kasus yang ditinjau oleh Jackson dkk, hanya 1,6% yang menemukan tidak adanya rasa sakit paa pasien [39]. Sebagian besar pasien mengalami pembengkakan, massa atau kelainan bentuk pada tulang. Pembengkakan mungkin terjadi terkait dengan lesi yang superfisial.
Tabel menunjukkan lokasi anatomi osteoma osteoid dan karakteristiknya:
Lokasi morfologis dan anatomi osteoma Osteoid
Karakteristik
Intracortical
Sklerosis padat di sekitar nidus
Periosteal
Reaksi periosteal
Spongiosal
Menghasilkan tulang reaktif yang sangat sedikit
Subarticular
Mensimulasikan arthritis karena menghasilkan reaksi sinovial
7. Kista tulang aneurisma
Kista tulang aneurisma (Aneurysmal Bone Cysts/ABC) adalah lesi kistik jinak yang jarang terjadi yaitu sekitar 9,1% dari semua tumor tulang [41]. Pembuluh darah yang berisi kista dibagi oleh jaringan ikat septa yang mengandung campuran osteoklas, sel raksasa, dan tulang tenunan reaktif. [42-44] .Kontroversi terjadi pada patogenesis kista tulang aneurisma. 30% kasus lesi predisposisi dapat diidentifikasi, namun beberapa temuan lainnya menunjukkan bahwa kista tulang aneurisma adalah proses reaktif untuk perubahan patologis lain dari pada jenis tumor yang berbeda [42,44]. Lesi yang paling umum adalah tumor sel raksasa atau GCT [44]. Area yang paling sering dikaitkan dengan ABC adalah tulang paha, tibia, humerus dan bula, meskipun tumor ini dapat muncul di area lainnya [42].
ABC muncul pada radiografi sebagai lesi radiolusen asal eksentrik dalam metafisis tulang panjang [42]. Istilah 'gelembung sabun' digunakan untuk menggambarkan lesi ini, deskripsi yang menggambarkan erosi korteks tulang dan elevasi periosteum [43]. Pencitraan CT dapat membantu dalam mengidentifikasi batasan dari kista [21]. MRI memungkinkan dilakukannya identifikasi terhadap septa tipis yang membagi kista serta dapat menunjukkan jumlah cairan yang terdapat di dalam kista [42]. Biopsi dan pemeriksaan histologis dari ABC diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis [41,42].
Terdapat sejumlah opsi manajemen yang dapat dilakukan untuk ABC, diantaranya kuretase dengan pencangkokan tulang atau reseksi dan rekonstruksi untuk lesi eksentrik secara tradisional [43]. Kuretase sering melibatkan terapi bantuan untuk mengurangi tingkat kekambuhan setinggi 31% [41]. Ini mungkin melibatkan skleroterapi [45] atau cryotherapy, yang telah terbukti mengurangi tingkat kekambuhan hingga 5% [46]. Prosedur yang sangat kontroversial adalah penggunaan imbolization, yaitu injeksi alkohol zein atau embolisasi arteri selektif [41].
Sejumlah pengobatan baru yang dilakukan untuk tumor dengan jenis ABC adalah seperti yang telah dijelaskan dalam studi kasus. Perawatan ini kurang invasif sehingga lebih menguntungkan dibandingkan opsi bedah agresif. Penggunaan Denosumab sebagai agen terapeutik untuk pengobatan ABC dijelaskan dalam sebuah penelitian yang melibatkan dua pasien dengan ABC di C5, yang keduanya menunjukkan regresi tumor pada 2 atau 4 bulan [47]. Namun perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Materi cangkokan baru seperti sel mononuklear sumsum tulang autologus dikombinasikan dengan B -tricalcium fosfat dan atelocollagen jugamengakibatkan osifikasi kista pada satu pasien [48]. Studi kasus ini menunjukkan potensi untuk menghasilkan perawatan inovatif untuk ABC, namun uji coba yang lebih luas diperlukan sebelum kesimpulan kuat dapat ditarik.
8. Fibrous displasia
Fibrous dysplasia (FD) menyumbang 5-7% dari semua tumor jinak pada tulang [49]. Displasia fibrosa hadir dalam dua bentuk utama, yaitu dmonostotik, yang mempengaruhi satu tulang, atau polyostotic, yang mempengaruhi beberapa tulang. 75% kasus displasia fibrosa adalah alam bentuk monostotik [50]. Monostotic fibromus dysplasiabiasanya mempengaruhi pada dekade ke-3 kehidupan yang menunjukkanwhist polyostotic di dekade 1 [51]. FD Polyostotic umumnya mempengaruhi tulang kraniofasial, tetapi juga dapat mempengaruhi tulang rusuk, tulang paha atau tibia [51]. Fibrous dysplasia terdiri dari fibrosa stroma dengan komponen seluler, sel fibroblast yang bermutasi dan osteoblas dengan berbagai fungsi, yang menghasilkan trabekula berbentuk tulang anyaman yang abnormal [51,52]. FD kebanyakan menjadi tidak aktif saat anak-anak menuju masa dewasa, namun terdapat risiko transformasi ganas yang terjadi sekitar 1-4% seumur hidup [53].
FD muncul secara radiografi sebagai daerah radiolusen yang kemudian berkembang sehingga terlihat seperti tampilan kacang tanah yang sebagian buram [51]. Fitur lain yang memungkinkan adalah endosteal scalloping, ekspansi tulang, dan 'tulang' yang tebal dan reaktif [54]. Pencitraan MRI dapat menjadi alat yang lebih efektif untuk mengidentifikasi ukuran area yang dipengaruhi oleh FD, selian itu pencitraan MR dapat berguna ketika gambaran radiografi dari suspek FD tidak terlihat jelas [54].
FD biasanya diobati secara konservatif dengan perawatan tulang, seperti olahraga teratur dan diet [50]. Terapi medis yang efektif adalah penggunaan bifosfonat, terutama pamidronat, mungkin untuk mengurangi nyeri, namun diperlukan uji coba lebih lanjut untuk membuktikan hal ini [55]. Terdapat saran terhadap terapi medis lain seperti denosumab dan pregabalin yang merupakan perawatan yang berpotensi bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit dari FD [55]. Namun hipotesis ini memiliki sedikit bukti.
Tindakan pembedahan dipertimbangkan pada pasien dengan gejala progresif atau ketika penyakit ini mengancam struktur anatomi yang penting [51]. Perawatan berupa kuretase diikuti dengan dilakukannya cangkok tulang autologus. Cangkok tulang kortikal dianggap lebih unggul dari cangkok tulang cancellous, didasarkan pada kemampuan untuk menolak penggantian lesi FD [49]. Ketika FD telah mengakibatkan deformitas, operasi korektif mungkin perlu untuk dilakukan, misalnya osteotomy dan fiksasi intramedullar [49,53]. Kekambuhan biasanya terjadi pada sekitar 18% kasus [56].
9. Enchondroma
Hanya 2,6% dari semua tumor jinak pada tulang yang dianggap sebagai enchondroma [52]. Tumor tanpa gejala ini dapat hadir pada usia berapa pun, namun 59% terjadi di antara usia 10 dan 39 tahun [52]. Tumor ini terdiri dari massa kartilago hialin dalam formasi lobular, biasanya muncul dalam tulang tubular panjang, paling sering pada tangan dan kaki [52,57]. Tumor ini biasanya merupakan lesi soliter, namun untuk beberapa enchondromas menjadi suatu kondisi yang digambarkan sebagai enchondromatosis atau penyakit Ollier [58].
Selama diagnosis, penting untuk membedakan antara enkondroma jinak dan chondrosarcoma kelas rendah. Enchondroma lebih sering terjadi di bagian tangan dan kaki sementara chondrosarcoma di skeleton aksial, diagnosis yang akurat diperlukan mengingat rute pengobatan yang berbeda yang diperlukan untuk kedua lesi [59]. Fitur radiografi enchondromas termasuk kalsifikasi stippled, endosteal scalloping, dengan area osifikasi atau perluasan daerah korteks [52,57].MRI memungkinkan untuk mengidentifikasi fitur klasik keganasan seperti kerusakan kortikal, massa jaringan lunak, penampilan multilokular, dan keterlibatan tulang yang datar [ 60]. Kartilago yang dikelilingi oleh lemak juga bisa menjadi tanda diagnostik yang berpotensi untuk terdeteksi pada MRI scan [61].
Enchondromas tidak secara rutin memerlukan perawatan bedah, kecuali menunjukan gejala tertentu seperti ukuran yang bertambah besa, atau terdapat risiko fraktur patologis. Biasanya pengobatan enchondromas dapat melibatkan eksisi intralesi yang diikuti oleh pengisian cangkok tulang autologus atau sediaan sintetis [57]. Bantuan perawatan digunakan untuk mengurangi tingkat kekambuhan, namun biasanya bantuan perawatan tersebut dtidak diperlukan karena dalam rentang 10 tahun risiko kekambuhan sekitar 0,04% [57,62]. Dalam beberapa tahun terakhir uji coba menunjukkan bahwa kuretase tanpa augmentasi atau rekonstruksi adalah pengobatan baru yang mungkin untuk dilakukan [63]. Bukti ini menunjukkan bahwa waktu untuk pembentukan tulang baru adalah serupa pada kelompok pasien yang menerima cangkokan atau menjalani kuretase sederhana [64]. Arecentcase seriesmenyarankan bahwa pendekatan lateral selama eksisi tumor diperlukan, dibandingkan dengan pendekatan dorsal tradisional yang dapat membantu mengurangi risiko pasca operasi [65].
Tabel kesimpulan
Tipe Fitur Patologi
Insiden (% dari semua tumor jinak pada tulang)
Diagnosis Tingkat Kekambuhan
Osteochondroma
35
Radiografi, CT, dan MRI berguna, tetapi perlu dilakukan biopsi untuk menegakkan diagnosis.
Lesi terjadi di metafisis dan diametaphysis dan yang mendasari tulang yang menonjol
Pembedahan diperlukan jika aktif atau agresif
>2%
Tumor sel raksasa
20
Radiografi. CT atau MR imaging mungkin berguna
Tumor lunak, abu-abu atau merah sering dengan kista darah kecil
Diperlukan karena risiko transformasi maligna
20-50%
Osteoblastoma
14
Radiologi konvensional. MDCT memainkan peran utama dalam mengidentifikasi matriks osseous. CT atau MRI dapat membantu ketika tidak ada mineralisasi korteks.
Kista tulang aneurisma bisa menjadi superimpose dan mungkin berhubungan dengan osteoblastoma. Pada tulang panjang, reaksi periosteal mungkin mudah dilihat
Baris pertama: medis diikuti oleh radio / kemoterapi kontroversial atau operasi pengangkatan
9.8%
Osteoma
12.1
Radiografi, CT dan MRI berguna, tetapi biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis
Jaringan tosseous yang terdiri dari tulang kental dengan batas sehat, tanpa permukaan tidak beraturan atau lesi satelit
Pembedahan diperlukan jika aktif atau agresif
N/A
Osteoid osteoma
10.8-13.5
Radiografi, CT dan MRI berguna, tetapi biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
Osteoma osteoid intralortikal menghasilkan sklerosis padat di sekitar nidus. Jenis subperiosteal menghasilkan reaksi periosteal sementara tipe spongiosal menghasilkan sangat sedikit tulang reaktif.
Pembedahan diperlukan jika aktif atau agresif
4.5%
Kista tulang aneurisma
9.1
Radiografi, CT dan MRI berguna, tetapi biopsi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
Ruang-ruang cekungan yang penuh darah dengan septa
Pembedahan diperlukan jika aktif atau agresif
31%
Fibrous dysplasia
5-7
Radiografi. CT atau MR imaging mungkin berguna
Jaringan fibrosa padat dengan osteoid trabeculae
Pembedahan diperlukan jika nyeri tulang kronis terjadi setelah perawatan medis, atau jika rumit karena patah tulang
18%
Enchondroma
2.6
Radiografi, CT, dan MRI. Evaluasi histologis diperlukan untuk menyingkirkan chondrosarcoma
Massa kartilago hialin dalam bentuk lobular
Pertimbangkan apakah gejala dapat berisiko fraktur
0.04%
10. Kesimpulan
Tumor jinak pada tulang adalah kelompok neoplasma yang paling sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, meskipun tumor ini juga dapat hadir pada tahap akhir kehidupan. Tumor jinak pada tulang paling sering didiagnosis berdasarkan bukti radiografi; namunpencitraan CT dan pencitraan MRI juga berguna dalam menentukan tingkat penyebaran tumor secara lokal. Secara umum pengobatan hanya ditunjukkan pada pasien yang menunjukkan gejala tertentu atau jika terdapat risiko fraktur patologis atau kelainan bentuk, dengan pilihan pemgobatan yang pasti adalah dilakukannya intervensi bedah. Perawatan aktif biasanya hanya diperlukan di GTC dan kista tulang aneurisma karena risiko keganasannya. Namun, untuk sebagian besar tumor jinak pada tulang tidak ada konsensus umum tentang standar pengobatan dan jumlah bantuan yang digunakan dalam perawatan yang artinya tingkat kekambuhan sangat bervariasi.
REFERENSI
[1] Eyesan SU, et al. Surgical consideration for benign bone tumors. Niger J Clin Pract 2011;14(2):146–50.
[2] Woertler K. Benign bone tumors and tumor-like lesions: value of crosssectional imaging. Eur Radiol 2003;13(8):1820–35.
[3] Subbarao K. Benign tumors of bone. Nepal J Radiol 2012;2(1):1–12.
[4] Kenney PJ, Gilula LA, Murphy WA. The use of computed-tomography to distinguish osteochondroma and chondrosarcoma. Radiology 1981;139(1):129–37.
[5] Woertler K, et al. Osteochondroma: MR imaging of tumor-related complications. Eur Radiol 2000;10(5):832–40.
[6] Palmer FJ, Blum PW. Osteochondroma with spinal-cord compression – report of 3 cases. J Neurosurg 1980;52(6):842–5.
[7] Chakarun CJ, et al. Giant cell tumor of bone: review, mimics, and new developments in treatment. Radiographics 2013;33(1):197–211.
[8] Turcotte RE. Giant cell tumor of bone. Orthop Clin N Am 2006;37(1):35–51.
[9] Murphey MD, et al. From the archives of AFIP. Imaging of giant cell tumor and giant cell reparative granuloma of bone: radiologic–pathologic correlation. Radiographics 2001;21(5):1283–309.
[10] Szendroi M. Giant-cell tumour of bone. J Bone Joint Surg Br 2004;86(1):5–12.
[11] van der Heijden L, et al. Giant cell tumor with pathologic fracture: should we curette or resect? Clin Orthop Relat Res 2013;471(3):820–9.
[12] Levine E, et al. Scintigraphic evaluation of giant cell tumor of bone. Am J Roentgenol 1984;143(2):343–8.
[13] Herman SD, et al. The role of magnetic resonance imaging in giant cell tumor of bone. Skelet Radiol 1987;16(8):635–43.
[14] Smith MA, O'Doherty MJ. Positron emission tomography and the orthopaedicsurgeon. J Bone Joint Surg Br 2000;82(3):324–5.
[15] Aoki J, et al. FDG-PET for evaluating musculoskeletal tumors: a review. J Orthop Sci 2003;8(3):435–41.
[16] Strauss LG, et al. 18F-FDG kinetics and gene expression in giant cell tumors. J Nucl Med 2004;45(9):1528–35.
[17] Hoshi M, et al. Overexpression of hexokinase-2 in giant cell tumor of bone is associated with false positive in bone tumor on FDG-PET/CT. Arch Orthop Trauma Surg 2012;132(11):1561–8.
[18] Manohar K, et al. Recurrent giant cell tumor of foot detected by F18-FDG PET/ CT. Indian J Nucl Med 2012;27(4):262–3.
[19] Zuo DQ, et al. Contemporary adjuvant polymethyl methacrylate cementation optimally limits recurrence in primary giant cell tumor of bone patients compared to bone grafting: a systematic review and meta-analysis. World J Surg Oncol 2013:11.
[20] Zhen W, et al. Giant-cell tumour of bone – the long-term results of treatment by curettage and bone graft. J Bone Joint Surg-Br 2004;86B(2):212–6.
[21] Yang T, et al. Postoperative irrigation with bisphosphonates may reduce the recurrence of giant cell tumor of bone. Med Hypotheses 2013.
[22] Errani C, et al. Giant cell tumor of the extremity: a review of 349 cases from a single institution. Cancer Treat Rev 2010;36(1):1–7.
[23] Malawer MM, et al. Cryosurgery in the treatment of giant cell tumor. A longterm followup study. Clin Orthop Relat Res 1999(359):176–88.
[24] Chawla S, et al. Safety and ef cacy of denosumab for adults and skeletally mature adolescents with giant cell tumour of bone: interim analysis of anopen-label, parallel-group, phase 2 study. Lancet Oncol 2013;14(9):901–8.
[25] Lucas DR. Osteoblastoma. Arch Pathol Lab Med 2010;134(10):1460–6.
[26] Schajowi F, Lemos C. Osteoid osteoma and osteoblastoma – closely related entities of osteoblastic derivation. Acta Orthop Scand 1970;41(3):272.
[27] Greenspan A. Benign bone-forming lesions – osteoma, osteoid osteoma, and osteoblastoma – clinical, imaging, pathological, and differential considerations. Skelet Radiol 1993;22(7):485–500.
[28] Dias LDS, Frost HM. Osteoid osteoma–osteoblastoma. Cancer 1974;33(6):1075–81.
[29] Zileli M, et al. Osteoid osteomas and osteoblastomas of the spine. Neurosurg Focus 2003;15(5):E5.
[30] McLeod RA, Dahlin DC, Beabout JW. The spectrum of osteoblastoma. Am J Roentgenol 1976;126(2):321–5.
[31] Bertoni F, et al. Osteosarcoma resembling osteoblastoma. Cancer 1985;55(2):416–26.
[32] Atallah N, Jay MM. Osteomas of the paranasal sinuses. J Laryngol Otol 1981;95(3):291–304.
[33] Goetsch GD. Homoplastic osteoma of frontal bone of mule. Vet Med 1946;41:142.
[34] Wang MC, et al. Ear problems in swimmers. J Chin Med Assoc 2005;68(8):347–52.
[35] Swanson KS, Guttu RL, Miller ME. Gigantic osteoma of the mandible: report of a case. J Oral Maxillofac Surg 1992;50(6):635–8.
[36] Kransdorf MJ, et al. Osteoid osteoma. Radiographics 1991;11(4):671–96.
[37] Jaffe HL. Osteoid-osteoma of bone. Radiology 1945;45(4):319–34.
[38] Assoun J, et al. Osteoid osteoma – Mr-imaging versus Ct. Radiology 1994;191 (1):217–23.
[39] Pettine KA, Klassen RA. Osteoid-osteoma and osteoblastoma of the spine. J Bone Joint Surg-Am 1986;68A(3):354–61.
[40] Klein MH, Shankman S. Osteoid osteoma: radiologic and pathologic correlation. Skelet Radiol 1992;21(1):23–31.
[41] Cottalorda J, Bourelle S. Current treatments of primary aneurysmal bone cysts. J Pediatr Orthop B 2006;15(3):155–67.
[42] Rapp TB, Ward JP, Alaia MJ. Aneurysmal bone cyst. J Am Acad Orthop Surg 2012;20(4):233–41.
[43] Hecht AC, Gebhardt MC. Diagnosis and treatment of unicameral and aneurysmal bone cysts in children. Curr Opin Pediatr 1998;10(1):87–94.
[44] Kransdorf MJ, Sweet DE. Aneurysmal bone cyst: concept, controversy, clinical presentation, and imaging. Am J Roentgenol 1995;164(3):573–80.
[45] Varshney MK, et al. Is sclerotherapy better than intralesional excision for treating aneurysmal bone cysts? Clin Orthop Relat Res 2010;468(6):1649–59.
[46] Peeters SP, et al. Aneurysmal bone cyst: the role of cryosurgery as local adjuvant treatment. J Surg Oncol 2009;100(8):719–24.
[47] Lange T, et al. Denosumab: a potential new and innovative treatment option for aneurysmal bone cysts. Eur Spine J 2013;22(6):1417–22.
[48] Bulgin D, et al. Autologous bone marrow derived mononuclear cells combined with beta-tricalcium phosphate and absorbable atelocollagen for a treatment of aneurysmal bone cyst of the humerus in child. J Biomater Appl 2013;28(3):343–53.
[49] DiCaprio MR, Enneking WF. Fibrous dysplasia. Pathophysiology, evaluation, and treatment. J Bone Joint Surg Am 2005;87(8):1848–64.
[50] Riddle ND, Bui MM. Fibrous dysplasia. Arch Pathol Lab Med 2013;137(1):134–8.
[51] Feller L, et al. The nature of brous dysplasia. Head Face Med 2009;5:22.
[52] Dahlin DC. Bone tumors: general aspects and data on 6,221 cases. 3rd ed..Spring eld, IL: Thomas; 1978. p. 445.
[53] Stanton RP. Surgery for brous dysplasia. J Bone Miner Res 2006;21(Suppl 2):P105–P109.
[54] Shah ZK, et al. Magnetic resonance imaging appearances of brous dysplasia. Br J Radiol 2005;78(936):1104–15.
[55] Chapurlat RD, et al. Pathophysiology and medical treatment of pain in brous dysplasia of bone. Orphanet J Rare Dis 2012;7(Suppl 1):S3.
[56] MacDonald-Jankowski D. Fibrous dysplasia: a systematic review. Dentomax-illofac Radiol 2009;38(4):196–215.
[57] Marco RA, et al. Cartilage tumors: evaluation and treatment. J Am Acad Orthop Surg 2000;8(5):292–304.
[58] Pansuriya TC, Kroon HM, Bovee JVMG. Enchondromatosis: insights on the different subtypes. Int J Clin Exp Pathol 2010;3(6):557–69.
[59] Murphey MD, et al. Enchondroma versus chondrosarcoma in the appendicular skeleton: differentiating features. Radiographics 1998;18(5):1213–37 quiz 1244-5.
[60] Choi BB, et al. MR differentiation of low-grade chondrosarcoma from enchondroma. Clin Imaging 2013;37(3):542–7.
[61] Vanel D, et al. Enchondroma vs. chondrosarcoma: a simple, easy-to-use, new magnetic resonance sign. Eur J Radiol 2012;82(12), http://dx.doi.org/10.1016/j.erad.2011.11.043.
[62] Bauer HC, et al. Low risk of recurrence of enchondroma and low-grade chondrosarcoma in extremities. 80 patients followed for 2–25 years. Acta Orthop Scand 1995;66(3):283–8.
[63] Schaller P, Baer W. Operative treatment of enchondromas of the hand: is cancellous bone grafting necessary? Scand J Plast Reconstr Surg Hand Surg 2009;43(5):279–85.
[64] Morii T, et al. Treatment outcome of enchondroma by simple curettage without augmentation. J Orthop Sci 2010;15(1):112–7.
[65] Lin SY, et al. An alternative technique for the management of phalangeal enchondromas with pathologic fractures. J Hand Surg Am 2013;38(1):104–9.