METABOLISME SENYAWA PORFIRIN I.
Pendahuluan Asam amino merupakan prekursor dari banyak senyawa komplek nitrogen
yang penting dalam fungsi fisiologis. Porfirin salah satu dari komplek tersebut, adalah senyawa siklik yang membentuk heme dan klorofil. Sebagai gugus prostetik dari banyak protein, heme membentuk sejumlah hemeprotein yang secara terus menerus mengalami proses sintesa dan degradasi. Sebagai contoh, 6 sampai 7 gram hemoglobin disintesa setiap hari untuk menggantikan heme yang hilang dalam proses katabolismenya. Pembentukan dan pemecahan komponen porfirin dari hemoglobin berperan dalam menjaga keseimbangan nitrogen tubuh. Sejumlah kelainan dapat terjadi selama proses sintesa porfirin dan hasil penguraian senyawa porfirin akan membentuk pigmen empedu yaitu bilirubin. Gangguan dalam metabolisme bilirubin selanjutnya akan memunculkan keadaan klinis yang sering dijumpai yaitu ikterus. Ikterus disebabkan adanya kenaikan kadar bilirubin karena sintesanya yang berlebih atau gangguan ekskresinya, biasanya muncul pada sejumlah penyakit yang berkisar dari anemia hemolitik hingga hepatitis serta penyakit kanker pankreas. II.
Pengertian Porfirin
Porfirin adalah suatu senyawa organik yang mengandung empat cincin pirol, suatu cincin segi lima yang terdiri dari empat atom C dengan atom N pada satu sudut yang dihubungkan melalui jembatan methyne (=HC-).
1 | Page
Empat atom nitrogen ditengah molekul porfirin dapat mengikat ion logam seperti Mg, Fe, Zn, Ni, Co, Cu, Ag. S eperti terlihat dalam gambar di bawah, dimana Fe++ ditambahkan di tengah-tengah dan disebut heme :
Beberapa macam porfirin berbeda pada rantai samping (side chains). Uroporfirin : tiap pirrol mengikat asam asetat dan asam popionat sebagai rantai samping. 2 | Page
Koproporirin : metil dan asam propionat sebagai rantai samping. Protoporfirin : tiap dua pirrol mengikat metil dan propionat dan yang dua lagi mengikat metil dan fenil sebagai rantai samping. Porfirinogen adalah suatu senyawa yang tidak berwarna, dan dapat dioksidasi oleh cahaya secara spontan menjadi porfirin yang stabil. Porfirin adalah gugus prostetik dari bermacam-macam protein, yang kita pelajari disini adalah heme dari hemoglobin. Tabel 2.1 Beberapa Hemoprotein Protein
Fungsi
Hemoglobin
mengangkut oksigen di dalam darah
Mioglobin
menyimpan oksigen di dalam otot
Sitokrom c
keterlibatan pada rantai transpor elektron
Sitokrom P450
hidroksilasi xenobiotik/obat-obatan
Katalase
degradasi hidrogen peroksida (H2O2)
Triptofan pirolase
oksidasi triptofan
III.
Porfiria Penyakit turunan atau bisa berupa penyakit yang didapat yang disebabkan
oleh defisiensi salah satu enzim pada jalur biosintesa heme dan mengakibatkan penumpukan dan peningkatan porfirin atau pra-zatnya dijaringan atau didalam urine. Kelainan ini jarang dijumpai tapi perlu dipikirkan dalam keadaan tertentu misalnya sebagai diagnosa banding pada penyakit dengan keluhan nyeri abdomen, fotosensitivitas dan gangguan psikiatri . Porfiria dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu : 1. Porfiria eritropoetik 2. Porfiria hepatik 3. Protoporfiria (gabungan)
3 | Page
Porfiria eritropoetik, merupakan kelainan kongenital. Terjadi karena ketidak seimbangan enzym kompleks uroporfirinogen sintase dan kosintase. Pada jenis porfiria ini dibentuk uroporfirinogen I yang tidak diperlukan dalam jumlah besar. Juga terjadi penumpukan uroporfirin I,koproporfirin I dan derivat simetris lainnya. Penyakit ini diturunkan secara otosomal resesif dan memunculkan fenomena berupa eritrosit yang berumur pendek, urine pasien merah karena ekskresi uroporfirin I dalam jumlah besar, gigi yang berfluoresensi merah karena deposisi porfirin dan kulit yang hipersensitif terhadap sinar karena porfirin yang diaktifkan cahaya bersifat sangat reaktif . Porfiria hepatik dibagi menjadi beberapa jenis antara lain : - Intermitten acute porfiria ( IAP ) - Koproporfiria herediter - Porfiria variegata - Porfiria cutanea tarda - Porfiria toksik IAP terjadi karena defisiensi partial uroporfirinogen I sintase, diturunkan secara otosomal dominan. Pada penyakit ini dijumpai ekskresi porfobilinogen dan asam amino levulenat yang meningkat menyebabkan urine berwarna gelap. Koproporfiria herediter terjadi karena defisiensi partial koproporfirinogen oksidase, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi koproporfirinogen dan menyebabkan urine berwarna merah. Porfiria variegata terjadi karena defisiensi partial protoporfirinogen oksidase, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi hampir seluruh zat-zat antara sintesa heme. Porfiria cutanea tarda terjadi karena defisiensi partial uroporfirinogen dekarboksilasi, diturunkan secara otosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi uroporfirin yang bila terpapar cahaya menyebabkan urine berwarna merah. Porfiria ini paling sering dijumpai dibanding yang lainnya . Porfiria toksik atau akuisita disebabkan oleh obat atau zat toksik seperti griseofulvin, barbiturat, heksachlorobenzene, Pb dan sebagainya. Protoporfiria
4 | Page
atau
protoporfiria
gabungan
dikarenakan
terjadinya
defisiensi
partial
ferrokatalase, diturunkan secara autosomal dominan. Terdapat peningkatan ekskresi protoporfirin dalam urine. Gejala klinis yang dapat muncul dapat dikelompokkan dalam dua patogenesa yaitu bila kelainan enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan asam amino levulenat dan porfobilinogen disel atau cairan tubuh akan menghambat kerja ATP- ase dan meracuni neuron sehingga menimbulkan gejalagejala neuro-psikiatri sedangkan bila kelainan enzym sintesa heme menyebabkan penumpukan porfirinogen dikulit dan dijaringan lain akan teroksidasi spontan membentuk porfirin yang apabila terpapar dengan cahaya, porfirin akan bereaksi dengan O2 molekuler membentuk suatu radikal bebas yang sangat reaktif dan merusak jaringan atau kulit dimana porfirin terdeposisi, peristiwa ini memunculkan gejala-gejala fotosensitivitas. Therapi yang dapat diberikan hanyalah bersifat simptomatik karena therapi kausal yang bersifat genetik masih sulit dikerjakan. Obat yang dapat dipakai dan beberapa tindakan yang dianjurkan seperti misalnya hindari preparat atau obat yang merangsang aktifitas sitokrom P- 450 seperti obat anestesia, alkohol, steroid dan lain-lain. Hindari zat-zat toksik penyebab porfiria. Pemberian zat-zat seperti glukosa dan hematin yang menekan kerja ALA sintase untuk menghambat pembentukan pra-zat porfirin. Pemberian anti oksidan seperti karoten, vitamin E dan C juga dapat dianjurkan pemakaian tabir surya guna menggurangi pemaparan terhadap cahaya. IV.
Biosintesis Heme Heme adalah kompleks senyawa protoporfirin IX dengan logam besi yang
merupakan gugus prostetik berbagai protein seperti hemoglobin, mioglobin, katalase, peroksidase, sitokrom c dan triptophan pirolase. Kemampuan hemoglobin dan mioglobin mengikat oksigen tergantung pada gugus prostetik ini yang sekaligus memberi warna khas pada kedua hemeprotein tersebut. Heme terdiri atas bagian organik dan suatu atom besi. Bagian organik protoporfirin tersusun dari empat cincin pirol. Keempat nya terikat satu sama lain 5 | Page
melalui jembatan metenil, membentuk cincin tetrapirol. Empat rantai samping metil, dua rantai samping vinil dan dua rantai samping propionil terikat kecincin tetrapirol tersebut . Atom besi didalam heme mengikat keempat atom nitrogen dipusat cincin protoporfirin. Atom besi dapat berbentuk fero (Fe2+) atau feri (Fe3+) sehingga untuk hemoglobin yang bersangkutan disebut juga sebagai ferohemoglobin dan ferihemoglobin atau methemoglobin. Hanya bila besi dalam bentuk fero, senyawa tersebut dapat mengikat oksigen . Sintesa heme terjadi di dalam semua sel. Dua tempat utama sintesa heme adalah hepar (15%) dan retikulosit, suatu sel pembentuk eritrosit. Regulasi sintesa di kedua tempat ini berbeda. Dalam sel hepar, sintesa heme diinduksi untuk menyediakan gugus prostetik guna keperluan sitokrom P450. Dalam retikulosit sintesa heme dimulai secara besar-besaran (masiv) selama pembentukan eritrosit untuk menyediakan heme guna keperluan hemoglobin. Setelah eritrosit matang sintesa heme dan hemoglobin berhenti. Sintesa heme dimulai dengan kondensasi glisin dan suksinil-KoA membentuk d-aminolevulinic acid (ALA), dengan menggunakan enzim ALA sintase. Reaksi ini terjadi dalam mitokhondria. Enzim ini merupakan enzim
6 | Page
regulator yang dapat dihambat oleh heme (sintesanya dihambat oleh hemin). Piridoksal fosfat bertindak sebagai koenzim. Dua molekul ALA membentuk porfobilinogen (PBG). Reaksi ini terjadi dalam sitosol, dan dikatalisa oleh enzim ALA dehidrase (PBG sintase). Kemudian empat porfobilinogen berkondensasi membentuk tetrapirrol linier yang kemudian membentuk cincin uroporfirinogen III. Ini terjadi dalam sitosol dan memerlukan dua enzim, uroporfirinogen I sintase. Enzim ini mengkatalisa pembentukan uroporfi-rinogen I, yang strukturnya seperti di bawah ini.
Uroporfirinogen I A= asam asetat P= asam propionat Enzim yang kedua adalah uroporfirinogen III kosintase, yang mengubah uroporfirinogen I menjadi uroporfirinogen III.
Uroporfirinogen III 7 | Page
Reaksi selanjutnya adalah dekarboksilasi asam asetat rantai samping yang menjadi gugus metil, membentuk koproporfirinogen III (coprorphyrinogen III). Enzim yang dipergunakan dalam reaksi ini adalah uroporfirinogen dekarboksilase. Reaksi ini juga terjadi dalam sitoplasma. Kemudian terjadi pembentukan protoporfirin IX, dengan mengubah dua asam propionat rantai samping dari koproporfirinogen III, menjadi gugus vinil (vinyl = -CH=CH2 ), enzimnya koproporfirinogen oksidase. Kemudian enzim protoporfirinogen oksidase mengoksidasi tiga jembatan metilin menjadi jembatan metilidin.
Protoporfirin IX Enzim koproporfirinogen oksidase dan protoporinogen oksidase berada dekat membran mitokhondria luar. Zat besi (dalam bentuk fero) dimasukkan ke dalam protopofirin IX, enzimnya ferokhelatase (ferrochelatase) yang terdapat dalam mitokhondria. Akhirnya heme diikatkan pada protein globin dalam sitoplasma. V.
Kontrol dan Aspek klinik Metabolisme Heme (Porfiria)
Sintesa porfirin diatur oleh perubahan aktivitas d-aminolevulinic acid synthase (ALA sintase). Secara keseluruhan ALA sintase berperan sebagai enzim pengatur dari sintesa heme. Heme dapat melakukan hambatan “feedback” terhadap ALA 8 | Page
dehidrase dan “ferrochelatase”. Hemin (oksidasi Fe2+ dalam heme yang bebas menjadi Fe3+) dapat menghambat (represses) sintesa ALA sintase dan juga dapat menghambat aktivitasnya (negatif efektor). Selain itu hemin dalam eritrosit mengaktivasi sintesa globin dan mempengaruhi transport ALA ke mitokhondria dari sitoplasma. Beberapa aspek klinik yang penting misalnya : 1. Keracunan Pb (lead poisoning). Pb dapat mengikat sulhifril (tiol, -SH) dari enzim ALA dehidrase, uroporirinogen I sintase dan ferrochelatase. Keracunan Pb dapat menyebabkan akumulasi dari senyawa antara, terutama ALA dan protoporfirin IX. 2. Porfiria (porphyria), adalah suatu kelainan yang kebanyakan karena bawaan (genetik). Plumbum (Pb=lead), dan logam berat lainnya, heksakhlorobenzin, dan griseofulvin juga dapat menyebabkan porfiria. Macam-macam porfiria: a. Protoporfiria, karena berkurangnya aktivitas ferrochelatase dalam jarin-gan eritropoitik. Protoporfirin IX titer meningkat. Gejala fotosensitivitas dengan rasa gatal dan edema. b. Congenital erythropoietic uroporphyria (congenital erythropoietic porphy-ria). Aktivitas enzim uroporfirinogen III kosintase berkurang. Terjadi akumulasi uropofirinogen I. Akibatnya terjadi fotosensitivitas yang berat, hingga dapat mengakibatkan luka parut. Giginya mungkin juga terjadi perubahan warna. c. Acut intermitten porphyria, yang ditandai dengan terjadinya gangguan neurotik bahkan psikotik. Kekurangan enzim uroporfirinogen I sintase dalam hepar dan eritropoietic, menyebabkan sintesis heme menurun sehingga feedback inhibisi terhadap ALA sintase menurun, sehingga aktivitas ALA sintase meningkat. Penderita mengeksresi porfobilinogen dan ALA dalam jumlah yang besar. Penderita dapat mengalami nyeri abdomen dan berkelakuan yang tidak bisa diduga inkonsistan. d. Porphyria cutanea tarda (hepatic), yang ditandai eksresi uroporfirin dalam urina dan fotosensitivitas. Kelainan ini disebabkan karena menurunnya aktivitas enzim uroporfirinogen decarboxylase. 9 | Page
e. Hereditary coproporphyria, yang ditandai dengan fotosensitivitas, dan kelainan neuropsikiatrik. Urin propAda dua macam : kelainan coproporphyrinogen oxidase dan protoporphyrinogen oxidase,terjadi peningkatan atau akkumulasi coproporphyrin atau protoporphyrin dalam feses. VI.
Katabolisme Heme
Dalam keadaan fisiologis, masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit mengalami lisis 1-2×108 setiap jamnya pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh limpa. Apoprotein dari hemoglobin dihidrolisis menjadi komponen asam-asam aminonya. Katabolisme heme dari semua hemeprotein terjadi dalam fraksi mikrosom sel retikuloendotel oleh sistem enzym yang kompleks yaitu heme oksigenase yang 10 | P a g e
merupakan enzym dari keluarga besar sitokrom P450. Langkah awal pemecahan gugus heme ialah pemutusan jembatan α metena membentuk biliverdin, suatu tetrapirol linier. Besi mengalami beberapa kali reaksi reduksi dan oksidasi, reaksireaksi ini memerlukan oksigen dan NADPH. Pada akhir reaksi dibebaskan Fe 3+ yang dapat digunakan kembali, karbon monoksida yang berasal dari atom karbon jembatan metena dan biliverdin. Biliverdin, suatu pigmen berwarna hijau akan direduksi oleh biliverdin reduktase yang menggunakan NADPH sehingga rantai metenil menjadi rantai metilen antara cincin pirol III – IV dan membentuk pigmen berwarna kuning yaitu bilirubin. Perubahan warna pada memar merupakan petunjuk reaksi degradasi ini. Bilirubin bersifat lebih sukar larut dalam air dibandingkan dengan biliverdin. Pada reptil, amfibi dan unggas hasil akhir metabolisme heme ialah biliverdin dan bukan bilirubin seperti pada mamalia. Keuntungannya adalah ternyata bilirubin merupakan suatu anti oksidan yang sangat efektif, sedangkan biliverdin tidak. Efektivitas bilirubin yang terikat pada albumin kira-kira 1/10 kali dibandingkan asam askorbat dalam perlindungan terhadap peroksida yang larut dalam air. Lebih bermakna lagi, bilirubin merupakan anti oksidan yang kuat dalam membran, bersaing dengan vitamin E. Bilirubin dirubah menjadi bentuk larut Dalam setiap 1 gr hemoglobin yang lisis akan membentuk 35 mg bilirubin. Perhari bilirubin dibentuk sekitar 250–350 mg pada seorang dewasa, berasal dari pemecahan hemoglobin, proses erytropoetik yang tidak efekif dan pemecahan hemprotein lainnya. Bilirubin dari jaringan retikuloendotel adalah bentuk yang sedikit larut dalam plasma dan air. Bilirubin ini akan diikat nonkovalen dan diangkut oleh albumin ke hepar. Dalam 100 ml plasma hanya lebih kurang 25 mg bilirubin yang dapat diikat kuat pada albumin. Bilirubin yang melebihi jumlah ini hanya terikat longgar hingga mudah lepas dan berdiffusi kejaringan. Bilirubin yang sampai dihati akan dilepas dari albumin dan diambil pada permukaan sinusoid hepatosit oleh suatu protein pembawa yaitu ligandin. Sistem
11 | P a g e
transport difasilitasi ini mempunyai kapasitas yang sangat besar tetapi penggambilan bilirubin akan tergantung pada kelancaran proses yang akan dilewati bilirubin berikutnya. Bilirubin nonpolar akan menetap dalam sel jika tidak diubah menjadi bentuk larut. Hepatosit akan mengubah bilirubin menjadi bentuk larut yang dapat diekskresikan dengan mudah kedalam kandung empedu. Proses perubahan tersebut melibatkan asam glukoronat yang dikonjugasikan dengan bilirubin, dikatalisis oleh enzym bilirubin glukoronosiltransferase. Hati mengandung sedikitnya dua isoform enzym glukoronosiltransferase yang terdapat terutama pada retikulum endoplasma. Reaksi konjugasi ini berlangsung dua tahap, memerlukan UDP asam glukoronat sebagai donor glukoronat. Tahap pertama akan membentuk bilirubin monoglukoronida sebagai senyawa antara yang kemudian dikonversi menjadi bilirubin diglukoronida yang larut pada tahap kedua. Ekskresi bilirubin larut kedalam saluran dan kandung empedu berlangsung dengan mekanisme transport aktif yang melawan gradien konsentrasi. Dalam keadaan fisiologis, seluruh bilirubin yang diekskresikan ke kandung empedu berada dalam bentuk terkonjugasi. Pembentukan urobilin Bilirubin terkonjugasi yang mencapai ileum terminal dan kolon dihidrolisa oleh enzym bakteri β glukoronidase dan pigmen yang bebas dari glukoronida direduksi oleh bakteri usus menjadi urobilinogen, suatu senyawa tetrapirol tak berwarna. Sejumlah urobilinogen diabsorbsi kembali dari usus ke perdarahan portal dan dibawa keginjal kemudian dioksidasi menjadi urobilin yang memberi warna kuning pada urine. Sebagian besar urobilinogen berada pada feces akan dioksidasi oleh bakteri usus membentuk sterkobilin yang berwarna kuning kecoklatan. Hiperbilirubinemia Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana konsentrasi bilirubin darah melebihi 1 mg/dl. Pada konsentrasi lebih dari 2 mg/dl, hiperbilirubinemia akan 12 | P a g e
menyebabkan gejala ikterik atau jaundice. Ikterik atau jaundice adalah keadaan dimana jaringan terutama kulit dan sklera mata menjadi kuning akibat deposisi bilirubin yang berdiffusi dari konsentrasinya yang tinggi didalam darah. Hiperbilirubinemia dikelompokkan dalam dua bentuk berdasarkan penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang disebabkan oleh produksi yang berlebih dan hiperbilirubinemia regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah karena adanya obstruksi bilier. Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai
kapasitas mengkonjugasikan dan
mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya pada kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan menyebabkan
produksi
bilirubin
lebih
cepat
dari
kemampuan
hati
mengkonjugasinya sehingga akan terdapat peningkatan bilirubin tak larut didalam darah. Peninggian kadar bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut juga dengan ikterik acholuria. Pada neonatus terutama yang lahir premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya fisiologis dan sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian hemoglobin fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern ikterus.
13 | P a g e
Beberapa kelainan penyebab hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler Najjar I yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil transferase tidak aktif, diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang jarang, dimana didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl. Syndroma Crigler Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan pada isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat dalam getah empedu. Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis bersama dengan penurunan uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal dominan. Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering terjadi karena terdapatnya obstruksi pada saluran empedu, misalnya karena tumor, batu, proses peradangan dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe. Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan disebut sebagai ikterik choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan pada saluran empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Bilirubin terkonjugasi dapat terikat secara kovalen pada albumin dan membentuk θ bilirubin yang memiliki waktu paruh (T1/2) yang panjang mengakibatkan gejala ikterik dapat berlangsung lebih lama dan masih dijumpai pada masa pemulihan. Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia regurgitasi adalah Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada sekresi bilirubin terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum diketahui. Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada transport anion an organik termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati normal, penyebab pastinya juga belum dapat diketahui. Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi hati karena toksin seperti chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat cirhosis. Kelainan ini sering terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi muncul besama
14 | P a g e
dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua jenis bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut. Terapi phenobarbital dapat menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi preparat yang menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar. Phototerapi dengan cahaya dapat merubah bilirubin menjadi lebih polar dan merubahnya menjadi beberapa isomer yang larut dalam air meskipun tampa konjugasi dengan asam glukoronida sehingga dapat diekskresikan keempedu. Kasus obstruksi umumnya ditangani dengan tindakan bedah.
KESIMPULAN
15 | P a g e
1. Heme adalah senyawa besi porfirin, dimana empat cincin pirol disatukan oleh jembatan metenil. Delapan rantai samping dari empat cincin pirol dapat berupa gugus asetil, metil, vinil dan propionil. 2. Biosintesa cincin heme berlangsung dalam mitokondria dan sitosol melalui delapan tahapan enzymatik 3.
Gangguan dalam setiap tahapan enzymatik sintesa heme mengakibatkan kelainan bawaan yaitu porfiria.
4.
Katabolisme heme menghasilkan senyawa biliverdin yang akan direduksi menjadi bilirubin. Zat besi pada heme dan asam amino dari globin akan disimpan atau digunakan kembali.
5. Bilirubin akan diambil oleh sel-sel hati, kemudian dirubah menjadi bentuk larut dan disekresi kedalam kandung empedu. Kerja enzym bakteri dalam usus terhadap bilirubin akan membentuk urobilinogen dan urobilin yang kemudian diekskresi dalam feces dan urine. 6. Kadar bilirubin darah yang meninggi disebut hiperbilirubinemia, menjadi penyebab ikterus. Kelainan ini dikelompokkan berdasar penyebab prehepatik, hepatik dan posthepatik. Pengukuran kadar biliribin dalam darah dan urine serta urobilinogen dalam urine dapat menjadi petunjuk diagnostik dari kelompok penyebab ikterus tersebut
DAFTAR PUSTAKA Harbut,C. 150 Blood. http://www.cerritos.edu/charbut/AP150/lec_otl/150%20Blood.ppt 16 | P a g e
Kadri, H. Biosintesis Hemoglobin. Fakultas kedokteran : Universitas Andalas Padang Mardiani, H. 2004. Metabolism Heme. Fakultas kedokteran : Universitas Sumatera Utara
17 | P a g e