TUGAS KULIAH MIKOLOGI
SUBCUTANEOUS 1. Mycetoma
Sinonim: Madura foot. Penyebab: ada dua macam yaitu: Jamur (Eumycotic mycetoma) dan Kuman (mikroorganisme) yang mirip jamur (Actinomycotic mycetoma) Jadi penyakit ini ditandai dengan infeksi subkutan yang membengkak seperti tumor dan adanya sinus yang mengeluarkan nanah. Sinus ini juga mengeluarkan granule atau grains yaitu butiran seperti pasir yang mengandung jamur atau kuman. Eumycotic mycetoma pada pewarnaan GMS menghasilkan gambaran bentuk granule tidak teratur yang di dalamnya didapatkan hyphae dan chlamydoconidia. Jamur penyebab Eumycotic mycetoma adalah Exophiala jeanselmei, Pseudallescheria boydii, Madurella mycetomatis dan Madurella grisea
2. Chromoblastomycosis
Sinonim: Chromomycosis Jamur
Penyebab:
Fonsecaea
pedrosoi,
Fonsecaea
compacta,
Phialophora
verrucosa,
Cladosporium carrionii. Chromoblastomycosis adalah jamur yang menyerang kulit dan jaringan subkutan yang ditandai dengan nodule verrucous atau plaque. Type konidia : Type cladosporium, type Rhinocladiella dan type Phialophora Biopsi dengan pewarnaan H&E : Tampak adanya bentukan sclerotic bodies yang berwarna coklat. Sclerotic bodies ini adalah suatu sel yang single atau berkelompok, berdinding tebal dan berwarna coklat. Sclerotic bodies bod ies merupakan ciri khas Chromoblastomycosis.
3. Sporotrichosis
Sinonim: Rose Gardener's disease Penyebab: Jamur Sporothrix schenckii
1
Penyakit: menyebabkan penyakit Cutaneous Sporotrichosis (sering terjadi) dan Sistemik (jarang terjadi). Ciri khas: nodule subcutan mengikuti mengikut i aliran limfe. Jamur Sporothrix schenckii merupakan jamur difasik yang artinya mempunyai dua bentuk yaitu fase mycelium (pada suhu 25±30°C) dan fase yeast (pada suhu 35±37°C) mempunyai dua fase yaitu: Sporothrix schenckii (Fase Mycelium): terbentuk hyphe bersepta dan juga conidia yang tersusun seperti bunga (Flower like conidia). Sporothrix schenckii (Fase Yeast): sel yeast terlihat bervariasi baik dalam bentuk maupun ukuran. Ukuran rata-rata 2x6 mikro meter. Juga didapatkan bentukan khas yang menyerupai bentukan seperti cerutu (cigar shape).
4. Rhinosporidiosis
Adalah Infeksi jamur yang menyerang hidung (70%) tapi dapat juga menyerang conjunctiva, kelenjar air mata, larynx, mucosa mulut, kulit, kulit, vagina da n rectum. Penyakit ini banyak terdapat pada daerah tropis sedangkan mekanisme penyebarannya tidak diketahui. Penyebab: Rhinosporidium seeberi. Macam macam sporangium : sporangium muda (immature), sporangium tua (matur) dan sporangium collapse Rhinosporidium seeberi dengan pewarnaan GMS yang menghasilkan perbedaan dengan sporangium mature. Rhinosporidium seeberi dengan Spherule Coccidioides immitis adalah sporangium mature. Rhinosporidium seeberi lebih besar dan mempunyai Eosinophilic globular body sedangkan Spherule Coccidioides immitis lebih kecil dan tidak mempunyai Eosinophilic globular body.
5. Lobomycosis
Sinonim: Lobo disease's Jamur penyebab: Loboa-loboi atau Lacazia Diagnosa: jamur ini tidak bisa dibiakkan dan diagnosa hanya bisa dengan cara biopsi dan pemeriksaan histopatologi. 2
MYCETOMA Mycetoma adalah infeksi subkutan kronis yang disebabkan oleh actinomycetes atau jamur. Infeksi ini terjadi akibat respon inflamasi granulomatosa pada lapisan dalam dermis dan jaringan subkutan yang dapat meluas ke tulang yang mendasarinya. Mycetoma ditandai dengan pembentukan butir agregat dari organisme penyebab yang mungkin keluar ke permukaan kulit melalui sinus-sinus. Penyakit ini diperkenalkan oleh Gill pada pertengahan abad ke-18 dengan nama Madura foot , yang merupakan sebuah distrik di India. Pada tahun 1860an Carter menggunakan istilah mycetoma karena jamur ditemukan sebagai agen etiologi penyakit ini. Pada tahun 1813 Pinoy menemukan etiologi lain mycetoma yaitu bakteri aerob dari klas actinomycete. Pada akhir abad ke 19 diperkenalkan bahwa jamur dan actynomycetes dapat menyebabkan mycetoma light-grain dan black-grain Mycetoma yang disebabkan oleh actinomycetes mikroaerofil disebut actinomycetoma, dan mycetoma disebabkan oleh jamur sejati disebut eumycetoma. Kondisi ini harus dibedakan dengan actinomycosis, actinomycosis, yang merupakan infeksi supuratif endogen disebabkan oleh Actinomyces oleh Actinomyces israelii atau spesies lain dari Actinomyces atau bakteri terkait. Lebih dari 20 jenis spesies jamur dan bakteri dapat menyebabkan mycetoma. Rasio kasus mycetoma disebabkan karena bakteri (actinomycetoma) dengan yang disebabkan oleh jamur sejati (eumycetoma) adalah 197:67. Epidemiologi dan Etiologi
Mycetoma adalah infeksi lokal kronis pada kulit, jaringan dasar, dan kadang-kadang pada tulang, yang disebabkan oleh actinomycetes aerobik atau bakteri filamentosa (actinomycetomas) dan jamur (eumycetomas). Organisme ini biasanya termasuk saprofit pada t anaman dan tanah. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia dengan frekuensi lebih besar pada wilayah tropis dan subtropis yang curah hujannya rendah, terutama di India, Sudan, Pakisatan, Bangladesh, negara-negara timur tengah, Somalia, Meksiko, Venezuela.
3
Mycetoma biasa terjadi pada usia dewasa (20-40 tahun) dengan laki-laki lebih dominan (14:1). Hal ini disebabkan karenan adanya perbedaan area pekerjaan laki-laki daripada perempuan, dimana laki-laki lebih dominan bekerja dilingkungan luar. Patogenesis dan Klinis
Penderita mendapatkan penyakit ini awalnya dari berjalan dengan kaki telanjang di tanah dan proses patologi dimulai adanya beberapa luka trauma minor akibatbatu, serpihan, dan duri sehingga terjadi abrasi kulit. Ini merupakan faktor predisposisi timbulnya penyakit mycetoma. Kebanyakan kasus mycetoma terjadi pada orang yang bekerja di area pinggir kota dimana mereka sering terkena duri kaktus atau pohon akasia yang merupakan tempat hidup saprofit mikroorganisme ini. Salah satu jamur atau actinomycetes penyebab masuk ke dalam jaringan subkutan (biasanya kaki, tangan, atau punggung) melalui trauma, terbentuk abses yang dapat meluas sampai ke otot dan bahkan sampai tulang, akhirnya mengalir melalui sinus-sinus. Diperkirakan 70% kasus mycetoma terdapat pada kaki dan 15% terdapat pada tangan.
Pertahanan organisme timbul setelah inokulasi awal berhubungan dengan kemampuannya untuk menghindari pertahanan host melalui berbagai adaptasi seperti menebalkan dinding sel dan mendeposit melanin sehingga dapat bertahan dari serangan netrofil host dan menimbulkan reaksi
4
peradangan kronis yang menimbulkan abses fokal netrofil dengan penyebaran giant cell dan fibrosit. Jamur dapat terlihat sebagai granula padat dalam pus. Lesi-lesi yang tidak diobati menetap selama bertahun-tahun dan meluas lebih ke dalam dan perifer, menyebabkan deformitas dan hilangnya fungsi. y
Tanda awal mycetoma adalah pembengkakan subkutan tanpa rasa sakit. Beberapa pasien diketahui memiliki riwayat cedera.
y
Beberapa tahun kemudian, terlihat nodul subkutan tanpa rasa sakit. Setelah beberapa tahun terjadi pembengkakan masif di area tersebut dengan indurasi, ruptur kulit dan pembentukan saluran sinus.
Penyebab y
Mycetoma sering terjadi pada petani, gembala, orang badui, nomaden dan orang yang tinggal di pedesaan.
y
Terpaparnya luka oleh duri atau pecahan merupakanfaktorrisiko
y
Actinomycetoma dapat disebabkan oleh: o
Actinomadura madurae
o
Actinomadura pelletieri
o
o
y
S somaliensis N ocardia
species
Eumycetoma terutama disebabkan oleh P seudoallescheria boydii (S apiospermum).
Pengobatan
Pembedahan direkomendasikan untuk lesi mycetoma lokal yang dapat diangkat seluruhnya tanpa cacat sisa. Bedah reduksi pada lesi besar dapat meningkatkan respon pasien terhadap perawatan medis, namun, bedah reseksi parsial tanpa dilanjutkan pemberian antimikroba atau antijamur yang tepat akan rentan terhadap kegagalan. Actinomycetoma adalah infeksi bakteri yang berespon terhadap dengan antibiotik jika pengobatan dimulai sejak dini. Pengobatan dilakukan dengan kombinasi dua macam obat selama dua minggu, biasa dipakai kombinasi trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMZ), dapsone (diaminodiphenylsulfone), and streptomycin sulfate.
5
Eumycetoma dapat berespon sebagian terhadap antifungal, walaupun terapi bedah lebih diutamakan pada lesi lokal. Madurella mycetomatis mycetoma dapat merespon ketoconazole (200 mg bid).
P
boydii ( S apiospermum) mycetoma umumnya dirawat dengan voriconazole,
walupun juga berespon dengan itraconazole. Agen lain yang menyebabkan eumycetoma dapat berespon secara intermitten adalahitraconazole (200 mg bid) atau amphotericin B. Durasi perawatan minimum adalah 10 bulan.
6
CHROMOBLASTOMYCOSIS Infeksi jaringan subkutaneus yang kronik, terlokalisasi yang disebabkan oleh beberapa spesies jamur "dematiaceous". Empat agen yang paling sering adalah: A. Fonsecaea pedrosoi B. Cladosporium carrionii C. Phialophora verrucosa D. Fonsecae compacta
Gambar 1.
Slide kultur dari jamur Fonsecaea pedrosoi ini (gambar 1), mengungkapkan keberadaan phialide dengan phialospora penyertanya.Fonsecaea
pedrosoi adalah
satu
dari pathogen
penyebab yang bertanggung jawab terhadap infeksi yang dikenal sebagai chromoblastomycosis, terutama pada bagian dunia yang lebih hangat. Secara normal jamur ini ditemukan diantara kayu yang membusuk dan tanah.
7
Gambar 2 Cladosporium (Cladophialophora) carrionii ( gambar 2 ), diperbesar 475X. Jamur C. carrionii adalah penyebab yang biasa dari infeksi chromoblastomycosis, dan prevalen di daerah dengan curah hujan yang sedikit (arid) dan semi arid, seringkali di daerah t ropis dan subtropics
Gambar 3 Conidia-laden conidiophores dari jamur Phialophora verrucosa dari kultur slide (gambar 3). Perhatikan phialides dengan bentuk "flask", yang masing-masingnya dibatasi oleh sebuah collarette. Setiap phialide berakhir dalamkumpulan bundaran, ke konidia ovoid. Phialophora spp.Dikenal menyebabkan chromoblastomycosis, dan phaeohyphomycosis
Infeksinya disebabkan oleh trauma disertai masuknya elemen jamur ke dalam kulit dan secara kronis, perlahan progresif dan local, proliferasi jaringan biasanya terjadi di sekitar area inokulasi dan dapat berbentuk seperti kutil Jamur-jamur ini, yang dikenal dengan berbagai macam nama, merupakan"saprobe" (organisme yang mengambil makan dari pembusukan) yang terletak ditanah dan tumbuhan yang membusuk. Jalan masuk ke tubuh biasanya melalui luka akibat trauma. Lesinya subkutaneus dan permukaannya dapat rata atau verukosa (gambar 4).
8
Gambar 4 Lesi chromoblastomycosis paling sering ditemukan pada bagian tubuh yang terbuka dan biasanya dimulai dengan papula bersisik kecil atau nodul yang tidak menimbulkan rasa sakit tetapi mungkin gatal. Angka kesakitannya sendiri berhubungan langsung dengan tingkat keparahan penyakit. Awalnya, dalam fase papul atau nodul, penyakit ini tanpa gejala. Ketika nodul nodulnya bersatu, membentuk plak besar dan kadang-kadang melibatkan seluruh anggota badan, komplikasi mungkin muncul. Komplikasi umum termasuk ulserasi, lymphedema, dan infeksi sekunder .. Lesi sekunder secara bertahap mungkin akan timbul dan muncul sebagai penyakit ruam yang meliputi daerah yang luas, membesar dan dengan tepi tidak teratur, terdapat gambaran plak yang meninggi disertai bersisik atau verrucose.Infeksi dapat terjadi dalam waktu panjang, lesi mungkin menjadi tumor dan dalam penampilannya mirip kembang kol. Fitur menonjol lainnya termasuk hiperplasia epitel, fibrosis dan pembentukan microabscess pada epidermis. Chromoblastomycosis harus dibedakan dari infeksi jamur kulit lainnya seperti blastomycosis, lobomycosis, paracoccidioidomycosis dan sporotrichosis. Gambaran ini juga dapat meniru protothecosis, leishmaniasis, tuberkulosis verrucose, lesi lepra tertentu
dan
sifilis.
Mikologi
dan
investigasi
histopatologik
sangat
penting
untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Lesinya sendiri membutuhkan waktu beberapa tahun untuk berkembang. Organisme ini disebut jamur "dematiaceous", karena mereka berwarna hitam pada dinding selmiseliumnya (pada kultur dan pada jaringan).
9
Di dalam jaringan, jamur ini membentuk badan sklerotik yang merupakan bentuk reproduksi yang membelah dengan memecah.
Organisme ini merangsang reaksi granulomatosa.
Agen penyebab dari
chromoblastomycosis adalah berseptum, seperti jamur, bercabang, berpigmen gelap yang menghasilkan spora aseksual yang disebut konidia. Cara mengidentifikasi jamur ini dalam kultur dengan bentuk dan pembentukan konidia. Jamur ini tersebar di seluruh dunia terutama di iklim yang lebih hangat seperti daerah tropis atau bagian selatan Amerika Serikat. Organisme ini tersebar diseluruh dunia. Tidak ada terapi yang benar-benar berhasil. Eksisi dan pemanasan setempat sebagian telah berhasil. Flucytosine (5-FC), thiabendazole dan itraconazole juga telah digunakan untuk mengobati (atau mengendalikan) penyakit ini. Tidak ada tes serologis untuk membantu diagnosis.
10
Spor ot richo sis Pendahuluan
porotrichosis S
merupakan suatu infeksi granulomatosa kronis, yang terjadi pada kulit
melalui suatu trauma.1 Pertama kali ditemukan pada tahun 1898 oleh Benjamin Schenck, seorang mahasiswa kedokteran di RS Johns Hopkins di Baltimore. Setelah mengisolasi agen penyebab pada suatu kasus, dia mengirim sampel ke seorang ahli mikologis, Erwin Smith yang menyimpulkan bahwa agen tersebut sebagai suatu mikroorganisme dari genus S porotrichum. Pada tahun 1900, penyakit ini dilaporkan untuk kedua kalinya oleh Hektoen dan Perkins, yang mengklasifikasikan agen penyebabnya sebagai S porothrix schenckii, yang diisolasikan dari hasil 2
aspirasi spesimen dari lesi kulit seorang pasien.
Di Eropa, kasus pertama ditemukan pada tahun 1903 dan lebih dari 200 kasus telah dilaporkan selama 10 tahun berikutnya. Kasus sporotrichosis pertama yang terjadi di Brazil dilaporkan pada tahun 1907 oleh Lutz and Splendore, mereka juga melakukan kultur ragi secara in vitro.3 Perubahan dismorfik pada jamur ini telah diteliti oleh Howard pada tahun 1961.4 porothrix S
schenckii kemudian dinyatakan sebagai jamur patogen penyebab sporotrichosis pada
hewan dan manusia. Morfologi Spor ot hrix schenckii
S
porothrix schenckii adalah jamur dismorfik yang dipengaruhi suhu. Jamur ini
dikelompokkan ke dalam subdivisi Deuteromycotina, kelas Hyphomycetes. S porothrix schenckii banyak terdapat di alam, terutama pada tanah dan bahan organik tumbuhan (seperti duri tanaman, daun kering, dan kayu). S porothrix schenckii dapat tumbuh dengan baik dalam media agar rutin dan pada suhu kamar koloni muda terlihat hitam dan mengkilap, kemudian permukaannya berkerut/ berlipat. Pigmentasi strain bervariasi mulai dari hitam dan abu sampai putih. Organisme ini menghasilkan percabangan, hifa septate, dan conidia kecil (3-5 m). porothrix S
schenckii bersifat dismorfik karena memiliki dua fase yaitu fase mycelia dan fase
4
ragi. Fase saprofitik mycelia ditandai dengan hifa yang ramping, dan bercabang, mengandung conidiophores tipis, dengan bentuk apeks berupa vesikel kecil tersusun seperti dentikel. Setiap dentikel menghasilkan satu conidium, berukuran 2-4 m dan conidia ini tersusun seperti 11
kelompok bunga ( flower-like groups). (Gambar 1) Conidia lepas dari conidiophores, kemudian tersusun sejajar bilateral dengan hifa. Fase parasitik ragi adalah pleomorfik, yang memperlihatkan bentuk spindle dan atau sel oval dengan ukuran diameter 2,5-5 m. (Gambar 2) 0
0
Fase mycelia dan fase ragi dapat diperoleh dari kultur pada 25 C dan 37 C, terlihat koloni 5
berwarna putih pada media kultur. (Gambar 3) Faktor-faktor yang mempengaruhi peralihan 6,7
bentuk adalah penjemuran, tekanan CO2, pH, sumber karbon.
Suhu merupakan faktor yang
menentukan dalam peralihan bentuk (dismorfik) jamur ini. Koloni-koloni yang lebih tua akan menjadi berwarna hitam untuk memproduksi conidia hitam yang nantinya akan muncul langsung dari hifa. Demikanlah proses tersebut terus berjalan hingga t erbentuk lagi generasi berikutnya.
Gambar 1. Flower-like groups
Gambar 2. Fase parasitik ragi, bentuk sel ova l
Gambar 3. Koloni muda pada fase mycelia dan fase 0
ragi pada suhu 25 C 12
Gambar 4. Koloni tua berwarna hitam dan akan memproduksi conidia hitam
Struktur Sel S. schenckii
Dinding sel jamur adalah permukaan envelope yang berperan dalam pengaturan utama interaksi antara patogen dan pejamu (host ), serta sebagai perantara berbagai proses yang berhubungan dengan patogenesis mikroorganisme ini. Dinding sel S. schenckii terdiri dari alkali-soluble dan insoluble glucans yang ditemukan pada kedua bentuk fase jamur ini. Alkali soluble glucans pada bentuk ragi berhubungan dengan ikatan-ikatan (1,3) sebanyak 44%, (1,6) 28% dan (1,4) 28%, sedangkan insoluble glucans mengandung 66% ikatan (1,3), 29% ikatan (1,6), dan 5% ikatan (1,4). Tidak ada variasi dalam komposisi -glucan pada peralihan bentuk S.
8
schenckii yang diobservasi.
9,10
Terdapatnya melanin dalam dinding sel memiliki peranan proteksi pada patogen ini.
Komponen beberapa protein atau glikoprotein telah teridentifikasi terdapat dalam dinding sel jamur ini. Lapisan terluar dinding sel S. schenckii terdiri atas bahan mikrofibril tidak berbentuk, 11
yang disebut bahan kapsular, lepas dari dinding sel dan dikeluarkan di media. Hasil penelitian terbaru menunjukkan lapisan mikrofibril terlibat dalam adhesi jamur terhadap sel pejamu (host ).
12
Fraksi glikoprotein mengandung 33,5% rhamnose, 57% mannose and 14.2% protein,
yang disebut peptidorhamnomannan, diisolasi dari dinding sel
S.
schenckii pada fase ragi.13
Selain itu, polisakarida yang mengandung galaktosa juga ditemukan pada permukaan jamur ini, yang menunjukkan adanya galactomannan.5,14 Suatu peptidorhamnogalactan diperoleh dari hasil ekstraksi sel menyerupai ragi ( yeast-like cells) dengan deoxycholate dan kromatografi pada 15
DEAE-Sephadex column.
Sisa glucuronic acid ditemukan pada fraksi rhamnomannans
S.
schenckii yang bersifat asam .16
13
Epidemiologi
porotrichosis S
17
banyak dilaporkan pada daerah tropis dan beriklim sedang. Di Amerika
Selatan, penyakit ini lebih sering terjadi saat musim gugur atau musim panas. Meksiko insidensi terbesar terjadi saat musim dingin yang kering. 20,21
mengenai semua umur.
19
18,
sedangkan di
porotrichosis S
dapat
Jumlah kasus pada pria dan wanita bervariasi pada setiap suatu
22
daerah.
Secara umum, infeksi terjadi dari inokulasi jamur yang masuk melalui duri, serpihan, goresan, dan trauma kecil, yang sering terjadi saat beraktivitas memelihara bunga, bercocok tanam, memancing, berburu, bertani, berternak, pertambangan dan penebangan kayu.23,24 Epidemi kasus sporotrichosis terbesar yang pernah terjadi adalah di Afrika Selatan yang 25
mengenai sekitar 3000 penambang emas. porotrichosis S 26,27
binatang.
pada manusia secara sporadis terjadi akibat goresan atau gigitan
Kasus sporotrichosis yang terjadi melalui transmisi binatang pernah dilaporkan di 28
Rio de Janeiro.
Penelitian lainnya yang dilakukan antara 1998 dan 2004, di Evandro Chagas
Clinical Research Institute, Fiocruz, menunjukkan 1503 kucing, 64 anjing dan 759 manusia yang didiagnosis sporotrichosis dari kultur isolat S. schenckii.
17,22
Patogenesis dan Manifestasi Klinis
porotrichosis S disseminate.
29
memiliki tiga tipe, yaitu tipe lymphocutaneous, tipe fixed cutaneous, dan
Sekitar 80% bentuk klinisnya berupa lymphocutaneous. Dimulai dengan lesi
nodular atau ulser pada tempat inokulasi jamur (Gambar 5). Biasanya pada daerah ekstremitas 29
dan unilateral.
Setelah beberapa hari atau minggu infeksi menyebar secara khas mengikuti
aliran limfe secara asenden yaitu bila inokulasi pada tangan maka melalui pembuluh limfe tangan dan lengan akan menuju kelenjar limfe regional membentuk lesi nodular, ulser, fistula, atau nekrosis yang menunjukkan gambaran gumma. (Gambar 6) Pada tipe ini infeksi terbatas 29
pada kulit, pembuluh limfe, dan jaringan subkutan. Hal ini menjelaskan penamaan penyakit ini dengan istilah ascending nodular lymphangitis. Manifestasi lainnya adalah bentuk fixed cutaneous, yaitu lesi nodular, krusta tebal yang menutupi ulser, erosi, papula yang mengalami infiltrasi atau erythematosquamous yang berlokasi pada daerah yang terpapar inokulasi jamur (Gambar 7). Sering juga dijumpai lesi satelit keci-kecil. Daerah yang paling sering terkena
14
adalah muka, leher, dan badan. Infeksi ini hanya terbatas pada daerah inokulasi dan tidak 29
melibatkan pembuluh limfe.
Tipe yang ketiga adalah bentuk disseminated sporotrichosis. Tipe ini juga ditemukan 30
pada pasien imunosupresi seperti pasien dengan HIV positif. Manifestasi pada mukosa dapat 31
terjadi meskipun jarang, dan biasanya pada mukosa mata. (Gambar 8 dan 9). Bentuk extracutaneous yang paling sering terkena, melibatkan osteoartikular dan organ paru, Infeksi pada paru-paru dapat menimbulkan pneumonia, dengan nyeri dada ringan dan batuk, biasanya terjadi pada penderita penyakit paru-paru seperti emfisema. Selain itu beberapa laporan kasus menunjukkan penyebaran hematogen dengan melibatkan banyak organ. Infeksi juga bisa mengenai tulang, sendi, otot, kadang menyerang limfa, hati, ginjal, alat kelamin atau otak. Namun jamur ini tidak dapat menular dari orang ke orang. Kasus reaksi hipersensitifitas seperti eritema nodosum/multiform juga telah dilaporkan. B iasanya lesi berlokasi di lapisan dermis yang dalam atau jaringan subkutan yang menghasilkan jaringan parut.
Gambar 5. Benjolan / nodul pada jari tangan yang secara perlahan membesar dan membentuk luka.
Gambar 6. Infeksi menyebar setelah beberapa hari atau minggu. 15
Gambar 7. Infeksi yang berlanjut mengenai kelenjar limfe membentuk nodul dan ulser.
Gambar 8. Bentuk Fixed cutaneous yang menunjukkan lesi nodular pada wajah seorang anak. 29,30
A. Sebelum perawatan B. Setelah perawatan.
Gambar 9. Lesi ulserasi granulomatosa pada konjungtiva dan kulit sekitarnya pada seorang anak perempuan.31
Pemeriksaan Laboratorium S. schenckii
Spesimen termasuk bahan biopsi atau eksudat yang didapat dari lesi granula atau ulser.1 Pemeriksaan mikroskopik pada lesi manusia menunjukan organisme jarang terlihat, sedangkan hasil pemeriksaan pada tikus yang diinfeksi di laboratorium terlihat sel-sel nya yang bertunas 16
Spesimen dapat diperiksa langsung dengan KOH atau pewarnaan putih calcofluor , tetapi ragi jarang ditemukan. Pewarnaan dinding sel jamur dapat dilakukan dengan Gomori¶s methenamine silver yang mewarnai dinding sel menjadi hitam. Pewarnaan periodic acid-S chiff yang memberi 1
warna merah pada dinding sel. Cara lain yaitu dengan pewarnaan antibodi fluoresen.
Metode penegakkan diagnosis yang dapat diandalkan adalah kultur. Spesimen dibiakkan 0
pada agar Sabouraud yang mengandung antibiotik antibakteri dan diinkubasi pada suhu 25-30 C. Identifikasi dilakukan pada pertumbuhan yang terjadi pada suhu 350C dan terjadinya perubahan 1
bentuk menjadi ragi. . Hasil biakan pada agar Sabouraud, koloni-koloni tampak khas dengan pengelompokan conidia. Hasil pemeriksaan serologi menunjukkan aglutinasi suspensi sel ragi atau partikel-partikel lateks yang diliputi oleh antigen timbul dalam titer tinggi pada serum penderita yang terinfeksi, tetapi hal ini tidak diagnostik.
1
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik yang khas dan pemeriksaan penunjang, terutama kultur jamur.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding adalah pioderma, tuberkulosis kutis, Leishmaniasis, basalioma, dan drugs eruption.
Pengobatan
Pada beberapa kasus, infeksi bersifat self limited . Obat-obat yang diberikan untuk kasus sporotrichosis adalah potasium iodida, itrakonazol, terbinafin, flukonazol, dan amfoterisin B. Pilihan didasari pada kondisi klinis pasien, lesi kulit yang luas, interaksi obat, dan keterlibatan sistemik. Potasium iodida adalah obat yang pertama diberikan pada kasus sporotrichosis dan menunjukkan penyembuhan. Obat ini diformulasikan sebagai larutan jenuh yang mengandung kira-kira 142 gram potassium iodida dalam 100 ml air. Pengobatan diberikan sebanyak 5 tetes untuk 3 kali sehari, dosis dinaikkan satu tetes/dosis/hari sampai mencapai total sebesar 4-6 gram per hari (25-30 tetes, sehari tiga kali). Indikasinya adalah bentuk yang terlikalisasi ( bentuk limfokutaneus fixed atau mukosa). Potasium iodida tidak direkomendasikan selama kehamilan
17
(kategori D). Akibat yang tidak diinginkan seperti mual, rasa logam, hipotirodisme, iododerma, dan iodisme.
32,33
Intrakonazol dapat diberikan secara oral pada dosis 100 ± 400 mg/hari. Indikasinya sama seperti potassium iodide, tetapi obat dapat diberikan pada pasien imunosupresi dengan gambaran klinis berupa bentuk yang meluas dan adanya keterlibatan sistemik (kategori C). Akibat yang tidak diinginkan seperti mual, muntah, diare, sakit kepala, nyeri perut, reaksi hipersensitifitas, dan gangguan hati. Obat lain yaitu terbinafin tidak selalu menjadi indikasi meskipun laporan menunjukkan keberhasilannya. Terbinafin diberikan per oral dalam dosis 250-500 mg/hari. Akibat yang tidak diinginkan seperti keluhan pada gastrointestinal, sakit kepala, gangguan rasa kecap, dan netropenia. Interaksi obat belum banyak dilaporkan seperti pada pemberian itrakonazol. Keberhasilan pengobatan dengan flukonazol banyak disebutkan dalam studi pustaka, tetapi obat ini bukan menjadi obat pilihan utama. Flukonazol diberikan per oral dalam dosis 200400 mg/hari dan dapat diaplikasikan secara intravena pada kasus berat. Obat lainnya yaitu Amfoterisin B yang diindikasikan untuk kasus sedang sampai berat pada pasien imunosupresi dan pada individu yang tidak berespon terhadap obat yang dijelaskan sebelumnya. Amfoterisin B termasuk kategori obat B untuk kehamilan dan nefrotoksik serta kardiotoksik. Obat diberikan secara intravena dengan dosis harian maksimum 50 mg dan dosis kumulatif total 500 sampai 1000 mg. Durasi pemberian obat sampai terjadi penyembuhan adalah rata-rata 6 sampai 8 minggu pada pasien imunokompeten.
Pencegahan
Pada industri pengolahan kayu, kayu hendaknya diberi fungisida, yang mengandung zinc sulfate dan triolith serta hendaknya memakai sepatu bot, dan baju lengan panjang jika bekerja, misalnya ketika mengolah S phagnum moss (sejenis lumut yang dipakai oleh tukang bungan untuk menancapkan kembang dalam vas bunga). Usaha lainnya adalah melakukan pengawasan terhadap penderita dan lingkungan dengan cara melakukan disinfeksi serentak dan mencari penderita yang belum terdiagnosa dan yang belum diobati. Prognosis
Pada umumnya prognosis sporotrichosis adalah baik termasuk pada pasien imunosupresi, meskipun pada beberapa kasus dapat menyebabkan morbiditas atau bahkan kematian.
18
Daftar Pustaka
1. Brooks GF, Carroll KC, Butel JS, Morse SA. 2007. Jawetz, Melnick & Adelberg¶s Medical th
microbiology. 24 ed. New York: Mc Graw Hill Medical. P630-2. 2. Hektoen L, Perkins CF. 1900. Refractory subcutaneous caused by S porothrix schenckii. A new pathogenic fungus. J Exp Med 5: 77± 89. 3. Lutz A, Splendore A. 1907. Sobre uma mycose observada em homens e ratos. Rev Med São Paulo 21: 433± 450. 4. Howard DH. 1961. Dimorphism of S porotrichum schenckii. J Bacteriol 81: 464± 469. 5. Mendonca L, Gorin PAJ, Lloyd KO, Travassos LR. 1976. Polymorphism of S porothrix schenckii surface polysaccharides as a function of morphological differentiation. Biochemistry 15: 2423± 243. 6. Rodriguez DVN, Rosario M, dan Torres BG. 1983. Effects of pH, temperature, aeration and carbon source on the development of the mycelial or yeast forms of S porothrix schenckii from conidia. Mycopathologia 82: 83± 88. 7. Alsina A, Rodriguez DVN. 1984. Effects of divalent cations and functionally related substances on the yeast to mycelium transition in S porothrix schenckii. Sabouraudia 22: 1± 5. 8. Previato JO, Gorin PAJ, Haskins RH, Travassos LR. 1979. Soluble and insoluble glucans from different cell types of S porothrix schenckii. Exp Mycol 3: 92± 105. 9. Romero MR, Wheeler M, Guerreroplata A, Rico G, Torres GH. 2000. Biosynthesis and function of melanin in S porothrix schenckii. Infect Immun 68: 3696± 3703. 10. Morris JR, Youngchim S, Gomez BL, Aisen P, Ray RJ, Nosanchuk JD, Casadevall A, Hamilton AJ. 2003. Synthesis of melanin-like pigments by S porothrix schenckii in vitro and during mammalian infection. Infect Immun 71: 4026± 4033. 11. Garrison RG, Mirikitani FK. 1983. Electron c ytochemical demonstration of the capsule of yeastlike S porothrix schenckii. Sabouraudia 21: 167± 170. 12. Figueiredo C, Lima OC, Carvalho L, Lopesbezerra LM, Morandi V. 2004. The in vitro interaction of S porothrix schenckii with human endothelial cells is modulated by cytokines and involves endothelial surface molecules. Microb Pathog 36: 177± 188. 13. Lloyd KO, Bitoon MA. 1971. Isolation and purification of a peptido-rhamnomannan from the yeast form of S porothrix schenckii. Structural and immunochemical studies. J Immunol 107: 663± 671. 19
14. Mendonca PL, Gorin PAJ, Travassos LR. 1980. Galactose-containing polysaccharides from the human pathogen S porothrix schenckii. Infect Immun 29: 934± 939. 15. Nakamura Y, Ishizaki H, Wheat RW. 1977. Serological cross-reactivity between group B porothrix S treptococcus and S
schenckii, Ceratocystis species, and Graphium species. Infect
Immun 16:547± 549. 16. Gorin PAJ, Haskins RH, Travassos LR, Mendoca PL. 1977. Further studies on the rhamnomannans and acidic rhamnomannans of S porothrix schenckii and Ceratocystis stenoceras. Carbohydr Res 55: 21± 33. 17. Schubach TMP, Scubach A, Okamoto T, Barros MBL, Figueiredo FB, Cuzzi T, Fialhomonteiro PC, Reis RS, Perez MA, Wanke B. 2004. Evaluation of an epidemic of sporotrichosis in cats: 347 cases (1998-2001). JAmVet Med Assoc 224: 1623± 1629 . 18. Lopes JO, Alves SH, Mari CR, Brum LM, Westphalen JB, Altermann MJ , Prates FB. 1999. Epidemiology of sporotrichosis in the central region of Rio Grande do Sul. Rev Soc Bras Med Trop 32: 541± 545. 19. Gonzalez OA. 1965. Contribuciones recientes al conociemiento de la esporotrichosis. Gac Med Mex 95: 463± 474. 20. Rippon JW. 1988. Medical Mycology. The Pathogenic Fungi and Pathogenic Actinomycetes, 3rd ed., Philadelphia: WB Saunders Company, p. 325± 352. 21. Vismer HF, Hull PR. 1997. Prevalence, epidemiology and geographical distribution of porothrix S
schenckii infections in Gauteng, South Africa. Mycopathologia 137: 137± 143.
22. Barros MBL, Scubach A, Francesconi DAC, Gitierrez GMC, Conceica OSF, Schubach TMP, Reis RS, Marzochi KBF, Wanke B, Conceica OMJ. 2004. Cat-transmitted sporotrichosis epidemic in Rio de Janeiro, Brazil: description of a series of cases. Clin Infect Dis 38: 529± 535. 23. Pappas PG, Tellez I, Deep AE, Nolasco D, Holgado W, Bustamante B. 2000. Sporotrichosis in Peru: Description of an area of hyperendemic ity. Clin Infect Dis 30: 65± 70. 24. Barros MBL, Schubach AO, Galhardo MC, Schubach TMP, Reis RS, Conceica OMJ, Valle AC. 2003. Sporotrichosis with widespread cutaneous lesions ± a report of 24 cases related to transmission by do mestic cats in Rio de Janeiro, Brazil. Int J Dermatol 42: 677± 681. 25. Quintal D. 2000. Sporotrichosis infection on mines of the Witwatersrand. J Cutan Med Surg 4: 51± 54. 20
26. Moore J and Davis D. 1918. Sporotrichosis following mouse bite with certain immunologic data. J Infect Dis 23: 252± 265. 27. Kauffman CA. 1999. Sporotrichosis. Clin Infect Dis 29: 231± 236; quiz 237. 28. Barros MB ET AL. 2001. Sporotrichosis: an emergent zoonosis in Rio de Janeiro. Mem Inst Oswaldo Cruz 96: 777± 779. 29. Harahap M. 1998. Ilmu penyakit kulit. Jakarta: Penerbit Hipokrates. h.83-4. 30. Donabedian H, O¶Donnell E, Olszewski C, Macarthur RD, Budd N. 1994. Disseminated cutaneous and meningeal sporotrichosis in an AIDS patient. Diagn Microbiol Infect Dis 18: 111± 115 31. Vieira DD, Sena CM, Oreifice F, Tanure MAG, and Hamdan JS. 1997. Ocular and concomitant cutaneous sporotrichosis. Mycoses 40: 197± 201 32. Lesher JL, Fitch MH and Du nlap DB. 1994. Subclinical hypothyroidism during potassium iodide therapy for lymphocutaneous sporotrichosis. Cutis 53: 128± 130. 33. Sterling JB and Heymann WR. 2000. Potassium iodide in dermatology: A 19th century drug or the 21st century ± uses, pharmacology, adverse effects, and co ntraindications. J Am Acad Dermatol 43: 691± 697.
21
Rhinosporidiosis Rhinosporidium
seeberi adalah eukariotik patogen yang bertanggung jawab atas
rhinosporidiosis , penyakit yang mempengaruhi manusia, kuda, anjing, dan sapi tingkat lebih rendah, kucing, rubah, dan burung. Hal ini paling sering ditemukan di daerah tropis, terutama India dan Sri Lanka. Patogen ini pertama kali diidentifikasi pada tahun 1892 tetapi secara komprehensif dijelaskan pada tahun 1900 oleh Seeber.
Dahulu penyakit rhinosporidiosis adalah penyakit yang disebabkan oleh jamur, namun kini diyakini menjadi protistan parasit perairan ikan langka. Infeksi umumnya terjadi setelah berenang di kolam air tawar stagnan, danau, atau sungai, tetapi juga diduga terjadi dari debu atau udara. Penyakit ini paling sering terlihat pada individu usia 15-40, dengan kejadian istimewa di anak laki-laki. Rhinosporidium seeberi berlangsung melalui beberapa tahap perkembangan dan dapat didiagnosis dengan mudah melalui noda jamur tradisional. Meskipun tidak ada terapi antibiotik yang efektif, eksisi bedah dari polip sering berhasil dalam mengobati penyakit. Rhinosporidium
seeberi memiliki distribusi di seluruh dunia dengan kecenderungan untuk
hangat, lingkungan tropis. Hal ini paling umum di India selatan, Sri Lanka, dan Asia Tenggara, meskipun kasus telah dilaporkan di Amerika Selatan, Afrika, dan Amerika Serikat Tidak ada sinonim alternatif untuk penyakit ini.
Banyak aspek penyakit dan dari Rhinosporidium seeberi patogen yang masih belum diketahui. Ini mencakup, alami habitat patogen, beberapa aspek 'yang hidup' siklus, imunologi, beberapa aspek epidemiologi penyakit pada manusia dan hewan, alasan-alasan keterlambatan pada in vitro budaya dan pembentukan penyakit pada hewan percobaan dan karena kurangnya informasi tentang sensitivitas terhadap obat-obatan, dan imunologi patogen. Organisme ini telah dilaporkan diisolasi dan dikultur secara in vitro dengan sukses di Universitas Kerala, India oleh Dr V. Thankamani pada tahun 2005.
dari abad ke-20, klasifikasi Rhinosporidium seeberi tidak jelas (sedang dipertimbangkan baik jamur atau protista ), tetapi penelitian terakhir menunjukkan bahwa itu adalah bagian dari
22
kelompok yang disebut Mesomycetozoea (atau "clade menetes"), yang mencakup sejumlah ikan juga dikenal patogen seperti Dermocystidium.
Rhinosporidium
umumnya diklasifikasikan
sebagai spesies tunggal, walaupun ada beberapa bukti bahwa spesies host yang berbeda dapat terinfeksi oleh strain yang berbeda.
Infeksi dengan organisme ini telah dilaporkan dari 70 negara dengan mayoritas kasus (95%) melaporkan dari India dan Sri Lanka : per kapita Sri Lanka kejadian tertinggi di dunia. Sebuah survei di India menyatakan bahwa pada tahun 1957 telah ditemukan bahwa penyakit ini tidak hadir dari negara bagian Jummu & Kashmir , Himachal Pradesh , Punjab , Haryana dan Timur Utara negara bagian India. Di Tamil Nadu 4 daerah endemik diidentifikasi dalam survei ( Madurai , Ramnad , Rajapalayam dan Sivaganga ). Denominator umum ditemukan di daerahdaerah adalah praktek mandi di kolam umum. Terdapat beberapa teori mengenai transmisi terjadinya penyakit ini; 1.
Demellow 's teori infeksi
2.
Karunarathnae 's autoinokulasi teori
3.
Hematogen menyebar - ke tempat yang jauh
4.
Limfatik menyebar - menyebabkan limfadenitis (jarang)
Demellow mendalilkan bahwa sementara mandi di kolam umum mukosa hidung datang ke dalam kontak dengan bahan yang terinfeksi organisme yang menyerang.
Karunarathnae
mengusulkan bahwa lesi satelit di mukosa kulit dan konjungtiva muncul sebagai akibat inokulasi otomatis. Hal ini diduga bahwa karena hubungannya dengan patogen ikan yang Rhinosporidium berevolusi dari patogen perairan mirip dengan yang lain Mesomycetozoea dan berevolusi dan burung menginfeksi host mamalia. Tidak diketahui apakah ini terjadi sekali atau lebih dari sekali. Karunarathnae juga menyatakan bahwa Rhinosporidium ada dalam keadaan dimorfik sebuah saprotroph dalam tanah dan air dan ragi terbentuk di dalam jaringan hidup. Penelitian terbaru dilakukan dengan menggunakan Fluorescent hibridisasi in-situ-teknik memberikan bukti bahwa habitat alam untuk menjadi reservoir air dan mungkin tanah yang terkontaminasi.
23
Patologi penyakit ini yang menarik adalah laporan yang mengindikasikan bahwa pasien dengan rhinosporidiosis memiliki anti- R. seeberi IgG ke dinding bagian antigen disajikan hanya selama tahap sporangial matang. Temuan ini menunjukkan bahwa pemetaan protein antigen dapat menyebabkan antigen penting dengan potensi sebagai kandidat vaksin. Respon Humoral dan Cell-mediated immune respons pada pasien manusia dan tikus percobaan telah ditetapkan; beberapa mekanisme penghindaran imunitas oleh R. seeberi telah diidentifikasi.
Sebuah metode baru sedang diteliti untuk penentuan kelangsungan hidup endospores rhinosporidial oleh MTT-reduksi menyebabkan studi tentang sensitivitas endospores untuk biocides dan anti-mikroba obat (dalam persiapan untuk diserahkan). Gambaran klinis
Gambar menunjukkan massa rhinosporidial besar di oropharynx da n organ mata pasien
Organisme ini menginfeksi mukosa rongga hidung menghasilkan massa seperti lesi. Massa ini tampaknya polypoidal di alam dengan permukaan granular keputihan berbintik-bintik dengan spora. Gambaran klinis umumnya tampak sebagai massa merah muda atau merah bengkak polip dalam rongga hidung atau konjungtiva okular,dapat juga dijelaskan sebagai penyakit granulomatosa kronis yang ditandai dengan adanya lesi polypoidal besar yang hiperplastik, sangat rapuh dan tetap atau pedunculated. digambarkan sebagai stroberi seperti massa murbei.
Massa rhinosporidial telah klasik
Massa ini dapat memperpanjang dari
rongga hidung ke nasofaring dan hadir sendiri di rongga mulut . Lesi ini sering menyebabkan
24
perdarahan dari rongga hidung. Penyakit rhinosporidium juga dapat mempengaruhi kelenjar lakrimal dan juga jarang kulit dan kelamin.Predileksi yang sering pada tubuh; 1.
Hidung - 78%
2. Nasofaring - 68% 3.
Amandel - 3%
4.
Mata - 1%
5.
Kulit - sangat jarang
Pengobatan umumnya dengan operasi pengangkatan jaringan yang terinfeksi Eksisi dengan diatermi atau laser dianggap sebagai pilihan perawatan. Namun, kekambuhan sangat umum terjadi. Povidone-iodine ,-obat anti jamur seperti amfoterisin-B , Dapson dan perak nitrat dapat diberikan sebagai antiseptik. DAFTAR PUSTAKA
1. Alexis Berrocal and Alfonso López (March 2007), "Nasal rhinosporidiosis in a mule", Can Vet J . 48 (3): 305±306. 2. Morelli, L; Polce, M; Piscioli, F; Del, Nonno, F; Covello, R; Brenna, A; Cione, A; Licci, S (Aug 2006), "Human nasal rhinosporidiosis: an Italian case report." (Free full text), Diagnostic pathology 1 (1): 25, doi:10.1186/1746-1596-1-25. 3. Roger A. Herr, Libero Ajello, John W. Taylor, Sarath N. Arseculeratne, and Leonel Mendoza1 (September 1999), "Phylogenetic Analysis of Rhinosporidium seeberi¶s 18S Small-Subunit Ribosomal DNA Groups This Pathogen among Members of the Protoctistan Mesomycetozoa Clade", J Clin Microbiol 37 (9): 2750±2754. 4. Silva, V; Pereira, Cn; Ajello, L; Mendoza, L (Apr 2005), "Molecular evidence for multiple host-specific strains in the genus Rhinosporidium." (Free full text), Journal of clinical microbiology 43 (4): 1865±8. 5.
Satyanarayana C. Rhinosporidiosis with a record of 255 cases. Acta Oto-Laryng 1960;51:348-66.
6. Kwon-Chung KJ, Bennett JE. Rhinosporidiosis. In: Medical mycology. Philadelphia: Lea & Febiger; 1992.. 695-706. 25
LOBOMIKOSIS Pendahuluan
Lobomikosis adalah suatu infeksi kronis pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur Loboa loboi atau yang saat ini dikenal dengan Laca zia loboi. Klasifikasi taksonomik dari jamur ini masih kontroversi, tetapi secara genet ik mirip dengan P aracoccidiodes brasiliensis. Lobomikosis pertama kali dilaporkan oleh seorang dermatologis Jorge Lobo pada tahun 1931, dan untuk alasan inilah penyakit ini juga dikenal dengan nama penyakit Jorge Lobo atau mikosis Jorge Lobo. Nama lain penyakit ini adalah keloidal blastomikosis, blastomikosis tipe Jorge Lobo, leprosy-of-the-caiabi, false-leprosy, blastomikoid granulomatosis, Ama zon blastomycosis dan laca ziosis. (1) Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1931 pada seorang pria berusia 52 tahun di kota Recife, negara bagian Pernambuco, di timur laut Brazil. Pasien berasal dari daerah Amazon, bekerja sebagia seorang pengumpul/penyadap karet. Pasien ini menunjukkan adanya perkembangan lesi kulit yang parah yang berupa keloid dan multinodular pada regio lumbosakral dan glutea. Pada pemeriksaan langsung dan histologis, terlihat adanya parasit pada sel-sel, yang mirip dengan P aracoccidiodes brasiliensis. Jorge Lobo mencurigai pasien tersebut terkena suatu bentuk modifikasi dari paracoccidioidomycosis, yang disebutnya keloidal blastomikosis. Kasus pada manusia yang kedua dilaporkan pada tahun 1938, setelah itu penyakit ini disebut penyakit Lobo. Hingga saat ini sudah lebih dari 500 kasus yang dilaporkan terjadi pada manusia. Penyakit ini terjadi pada daerah-daerah tropis di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, terutama pada masyarakat yang tinggal di sepanjang sungai. (1,2,3) Laporan pertama mengenai penyakit ini yang bukan terjadi pada manusia terjadi pada tahun 1971 pada seekor ikan lumba-lumba Atlantik yang berasal dari Florida. Pada tahun 1973, seekor lumba-lumba dengan penyakit Lobo dilaporkan di Eropa. Pekerja yang mengurus lumbalumba tersebut kemudian terkena penyakit ini, merupakan kasus lobomikosis pada manusia yang pertama dilaporkan terjadi di luar Amerika Latin. (1) Berikut
ini
akan
dibahas
mengenai
epidemiologi
penyakit
ini,
etiologi
dan
patogenesisnya, gambaran klinis, diagnosis, serta perawatan dar i lobomikosis.
26
Epidemiologi
Penyakit lobomikosis umumnya terjadi pada daerah tropis dan subtropis dengan iklim yang panas dan lembab, terutama pada daerah Amazon (Brazil dan Columbia). Ada juga kasus yang dilaporkan terjadi di Costa Rica, Venezuela, Peru, French Guyana, Suriname, Panama, Guiana, Ecuador, Bolivia, Mexico, Canada dan United States. Di Eropa, satu kasus dilaporkan di Spanyol (Pantai Biscay) pada seorang pengurus ikan lumba-lumba.
(1)
Fakta bahwa lobomikosis dapat diperoleh melalui kontak dengan lumba-lumba yang terinfeksi menuntun pada hipotesis bahwa air mungkin merupakan salah satu tempat tinggal jamur, dan oleh karena itu distribusi geografis dari penyakit ini mungkin lebih luas daripada yang diperkirakan saat ini dan hewan vertebra mungkin juga menularkannya kepada manusia. Penularan antara manusia tidak mungkin terjadi, walaupun di antara anggota keluarga yang sama atau di antara orang-orang yang sangat akrab. (1) Penyakit ini memiliki prevalensi yang rendah, walaupun jumlah dari kasus yang dilaporkan muncul pada lokasi tertentu dengan frekuensi yang lebih besar. Mungkin juga banyak kasus yang tidak dilaporkan. Berdasarkan jenis kelamin, 90% kasus penyakit ini terjadi pada pria, mungkin karena lapangan pekerjaannya. Kecuali pada suku Caiabi, dimana 32% wanita terinfeksi, mungkin karena lebih banyak wanita yang berpartisipasi pada aktivitas di hutan. Berdasarkan usia, umumnya pasien memperlihatkan rentangan usia yang luas, yaitu antara 12 hingga 70 tahun, walaupun ada juga kasus yang dilaporkan terjadi pada anak yang berusia 1 tahun. (1,2,4) Aspek epidemiologi lain yang dipertimbangkan adalah pekerjaan dari mereka yang terkena penyakit ini. Orang-orang yang bekerja di hutan dan beraktivitas di pedesaan/ pedalaman lebih beresiko terkena pekyakit ini, seperti pekerja (penyadap/ pengumpul) karet, penambang emas dan batu berharga, pemburu, petani dan nelayan. Habitat alam dari jamur penyebabnya tidak diketahui tetapi diyakini pada air, tanah atau tumbuh-tumbuhan. (1,2,3) Secara geografis, penyakit ini umumnya terjadi pada lokasi dengan kondisi: 200-250m di atas permukaan laut, presipitasi tahunan 2000 mm, temperatur rata-rata 240C, dan pada kelembaban yang tinggi. (2,4) Tidak ada pengaruh faktor etnis dan semua ras memiliki kerentanan yang sama. Penyakit ini memiliki sifat tersembunyai dan berbahaya, dan biasanya pada saat diagnosis sudah berlangsung selama beberapa tahun. (2) 27
Etiologi dan Patogenesis
Penyebab dari lobomikosis adalah Laca zia loboi, yang sebelumnya dikenal dengan nama Loboa
juga
loboi, berasal dari kingdom Fungi, dengan filum Zygomycota, genus Laca zia. Jamur ini diberi
nama: P aracoccidioides
loboi,
Glensporella
loboi,
Blastomyces
loboi,
Glenosporopsis ama zonia. (1,4) Studi filogenik dari jamur ini, menggunakan amplifikasi dari DNA ribosom subunit 18S, mengklasifikasikannya ke dalam Ordo Onygenales, dan secara taksonomi dekat dengan P aracoccidioides
brasiliensis. Taborda dkk menggunakan pewarnaan Fontana-Masson dan
mendetekasi jenis melanin yang lain pada dinding sel dari La zacia loboi, yang berbeda daripada yang diamati pada
P.
brasiliensis dan pada ascomycetes, yang secara filogeni berhubungan
dengan famili Onygenaceae. Lalu disimpulkan bahwa tidak ada genus sebelumnya, bahkan P aracoccidioides,
yang cocok dengan jamur ini, sehingga sebuah genus baru diusulkan dengan
nama yang berlaku sekarang, yaitu
Laca zia
loboi. Nama ³ Laca zia´ diberikan sebagai
penghormatan terhadap mikologis Brazil bernama Carlos da Silva Lacaz, seorang peneliti yang memberikan sumbangan yang besar untuk pengetahuan mengenai penyakit ini, sedangkan ³loboi´ merujuk pada dermatologis Brazil bernama Jorge O. Lobo, yang pertama kali melaporkan penyakit ini. Berdasarkan studi molekular, nama Laca zia loboi merupakan nama yang direkomendasikan saat ini. Sebagaimana biasanya dalam mikologi, nama penyakit diambil dari genus agen penyebabnya, dan oleh karena itu nama laca ziosis lebih diusulkan untuk penyakit ini daripada lobomycosis. (1) Etiopatogenitas dari penyakit ini masih belum jelas. Jamur mungkin hidup sebagai saprofit di tanah, tumbuh-tumbuhan dan air, dan masuk ke kulit melalui penetrasi atau adanya trauma atau luka. Periode inkubasi masih belum diketahui jelas. Segera sesudah masuk ke dalam dermis, akan difagositosis, lalu mulailah pertumbuhan dan proses multiplikasi yang lambat yang menjelaskan lamanya periode inkubasi. Sifat patogen dari jamur adalah rendah, berproliferasi hebat pada dermis dan berinvasi ke kelenjar limfe regional pada beberapa kasus. Ditemukannya granuloma mikotik pada kelenjar limfe regional pada beberapa pasien menunjukkan terjadinya penyebaran melalui limfe. Beberapa penulis menyebutkan bahwa luasnya lesi kutaneus mendukung teori adanya penyebaran hematogen. (1,2) Xavier dkk menganalisis ekspresi TGF- pada lesi kutaneus pada lacaziosis. Mereka menemukan bahwa banyaknya kolagen bersama dengan lemahnya immunolabeling untuk CD8 28
yang terlihat pada makrofag, menunjukkan bahwa TGF- memiliki efek menghambat makrofag sekaligus menginduksi fibrosis, yang bertanggung jawab terhadap adanya lesi keloid yang seringkali muncul pada penyakit ini. Perkembangan infeksi mendukung hipotesis bahwa TGF- berperan penting dalam etiopatologi dari infeksi Laca zia loboi, dengan cara menghambat respons imun selular yang terutama diperantarai oleh makrofag atau dengan menginduksi fibrosis. (1) Pada lobomikosis terjadi penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel, yang secara klinis tampak oleh perkembangan yang lambat, kronis dan berbahaya. Selain itu, pada pasien lobomikosis tidak ada respon terhadap dinitrochlorobenzene dan reaksi respon yang lambat terhadap antigen S taphylococci, S treptococci, Trycophyton, dan Candida. Akan tetapi imunitas humoral tidak menunjukkan adanya tanda-tanda perubahan. (2) Gambaran Klinis
Gambaran klinis didominasi oleh lesi berbentuk keloid yang kronis dan terlokalisasi pada area yang terbuka, terbatas pada kulit dan semimukosa. Lesi yang mirip keloid ini akan berkembang secara perlahan, dapat menjadi verukoid dan ulserasi. Lesi juga dapat tampak berbentuk plak, papula atau nodul. Awalnya berupa lesi tunggal tetapi kemudian menjadi jamak dan menyebar. Dapat juga terjadi pleomorfisme, dimana pada pasien yang sama dapat tampak berbagai jenis lesi. (1,2,4) Lesi biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang terbuka dan mempunyai temperatur yang lebih rendah, terutama ditemukan pada ekstremitas dan telinga (gambar 1). Dapat juga ditemukan pada wajah, dahi, dada, skapula, lumbosakral, pantat dan skrotum.
Distribusi
topografi dari lesi ini berdasarkan urutannya adalah: ektremitas bawah 32%, telinga bagian luar 25%, ekstramitas atas 22%, wajah 7%, penyebaran 8%, sacrum 3%, dada 2% dan leher 1%. Umumnya lesi terjadi pada daerah yang sebelumnya pernah mengalami trauma, seperti luka, masuknya serpihan, gigitan serangga atau binatang (2,3). Lesi dapat terlihat normal (tidak ada pigmentasi), hipopigmentasi atau hiperpigmentasi, tidak kemerahan dan tidak ada tanda-tanda inflamasi.
Manifestasinya termasuk sakit saat
disentuh, gatal, rasa terbakar, tetapi bisa juga hipoesthesia atau bahkan anesthesia (tidak terasa). (1,2) Membran mukosa atau organ dalam tidak terlibat. Tidak ada keterlibatan sistemik dan kondisi pasien secara keseluruhan baik. Penyebaran dari lesi kutaneus jarang, sehingga memberikan prognosis yang baik. Pada beberapa pasien, lesi dapat menyebar ke bagian tubuh 29
lain di dekatnya atau melalui aliran limfe, sehingga menyebabkan gangguan estetik. Selain itu dapat menyebabkan keterbatasan gerakan, infeksi sekunder dan degenerasi karsinoma. (1,2,3) Prognosis penyakit ini baik, pasien umumnya meninggal oleh akibat yang lain. Meskipun demikian, Pernah dilaporkan bahwa pada lesi kronis ini cenderung berkembang sel karinoma skuomosa yang menutupinya dan bahkan setelah diangkat secara bedah lesi neoplasma ini cenderung muncul kembali. (2)
Gambar 1. Gambaran klinis lobomikosis. A, pada paha. B, pada pipi. C, pada telinga. D, pada 1 siku dan lengan. E, pada pergelangan kaki. F, pada bibir (lokasi yang jarang).
30
Diagnosis
Diagnosis lobomikosis ditegakkan dengan pemeriksaan langsung secara klinis dan melalui pemeriksaan histopatologis. Laca zia loboi hingga saat ini belum pernah dapat dibiakkan secara in vitro, walaupun sudah dapat ditransmisikan ke kura-kura, hamster dan tikus di dalam eksperimen. Pemeriksaan histopatologi merupakan standar emas dalam menegakkan diagnosis. Sampel/contoh lesi diambil melalui biopsi atau kuretase yang kemudian disiapkan dalam larutan saline atau KOH 20%. Preparat histologis dapat diwarnai dengan hematoxylin-eosin atau Gomori-Grocott (gambar 2 dan 3). Pada pemeriksaan histopatologis, lesi tersusun dari granuloma dermal dengan sel-sel raksasa multinuklear yang terisi dengan sel-sel fungal berbentuk bulat atau oval dengan diameter 6-12 m, dengan dinding sel ganda yang refraktil. Umumnya sel-sel ini tersusun dalam bentuk rantai yang dihubungkan oleh jembatan tipis yang berbentuk seperti pipa. Sel-sel ini bermultiplikasi dengan cara gemation sederhana. (1,2,3)
Gambar 2. Haematoxylin-eosin x100. Rantai sel-sel jamur di dalam dermis. Terlihat membran dengan refraksi ganda dan adanya hubungan antara sel. 2
Gambar 3. Gomori-Grocott x100. Banyak selsel Laca zia loboi dalam kelompok dengan dinding yang tebal dan bagian tengah yang jelas, dimana beberapa struktur internal dapat terlihat. 2
Pemeriksaan histopatologis menunjukkan epidermis yang atrofi, hiperplastik atau ulserasi. Hiperplasia yang iregular dan kadang-kadang pseudo-epitheliomatous biasanya terlihat pada lesi verukoid dan tepi ulser. Laca zia loboi tampak di antara lapisan kulit pada lapisan korneum, tampak sebagai titik ±titik hitam pada kulit yang menutupi lesi ulserasi atau pada permukaan yang keras maupun permukaan halus. Perubahan dermal yang khas pada penyakit ini dengan jelas mengungkapkan diagnosisnya. Infiltrat peradangan bersifat granulomatous, nodular 31
dan difus, terdiri dari makrofag dan sejumlah sel-sel multinuklear. Tampak histiosit yang berbentuk seperti busa dengan banyak parasit. Reaksi eksudatif yang jarang terjadi ditunjukkan oleh adanya kumpulan limfosit dan sel plasma di antara sel-sel fagosit atau dalam ruang perivaskular. Netrofil, jika ada, menempati dermis bagian atas pada lesi ulserasi. Nekrosis hampir tidak pernah ada. Terdapat seperti pita tipis (Gren z zone) yang memisahkan epidermis dari infiltrat, sebaliknya reaksi produktif berkontak dengan ep idermis. (1) Metode ekstraksi dari sel-sel jamur L.loboi yang berasal dari biposi lesi kulit berdasarkan aksi proteolitik dari enzim dipase terbukti efisien dan merupakan alat yang penting untuk meningkatkan studi biologi dari jamur ini. (1)
Diagnosis Diferensial
Diagnosis diferensial dari lobomikosis adalah: (1,2,3) y
Keloid
y
Leprosi (kusta), termasuk leprosi tuberculoid (BT): lesi berbentuk plak dari lobomikosis dapat membingungkan dengan leprosi, apalagi jika terjadi mati rasa (anesthesia) atau hipoesthesia pada lesi.
y
Leishmaniasis mukokutaneus
y
Tuberkulosis kutaneus
y
Paracoccidioidomycosis (penyakit dari membran mukosa o ronasal dan paru-paru)
y
Histoplasmosis
y
Chromoblastomycosis
y
Sporotrichosis: bentuk lesi plak yang iregular mirip dengan pe nyakit ini
y
Mycetoma
y
Phaeohyphomycosis
y
Blastomycosis-like pyoderma
y
Karsinoma sel skuamosa
y
Sarkoma Kaposi
y
Sarkoidosis
y
Bentuk keloidal dari skleroderma
y
Sindrom Ehlers-Danlos tipe IV
y
Bentuk skelrotik dari xanthoma 32
y
Histiositosis sel non-Langerhans
y
Neoplasma jinak bentuk nodular
y
Kanker kulit melanoma dan non-melano ma
y
Dermatofibrosarkoma
y
Limfoma, terutama mycosis fungoides dan metastase kutaneus
Perawatan
Sampai saat ini tidak ada obat yang efektif untuk perawatan lobomikosis. Ketoconazol terbukti tidak memberikan hasil yang memuaskan, begitu juga dengan myconazol. Trimethropin, amphotericine B dan 5-fluorocytosine tidak memberikan manfaat yang berarti. Meskipun demikian, clofazamine, suatu obat yang efektif pada berbagai mikosis, diketahui memiliki efek anti inflamasi pada proses granulomatous, dan menunjukkan aktivitas terapeutik pada dosis 100200 mg/hari. (2,4) Fisher dkk melaporkan penggunaan clofazamine dan itraconazole selama satu tahun menghilangkan tanda-tanda klinis dan histopatologis. Beberapa pengobatan yang lain telah diuji dengan hasil yang tidak memuaskan. Kesulitan pengobatan untuk penyakit ini adalah karena bentuknya yang menyebar. Selain efisiensi pengobatan, harus dipertimbangkan juga efek samping yang seminimal mungkin dan biaya perawatan yang rendah, karena penyakit ini umumnya terkena pada populasi dengan ekonomi rendah. (2) Perawatan lobomikosis dapat sukses jika dilakukan tindakan bedah, seperti Cryosurgery. Eksisi total secara bedah dengan tepi yang luas tetap merupakan penyelesaian yang terbaik. Pada lesi yang luas, rekurensi dapat terjadi, dan hasilnya biasanya kurang memuaskan secara estetik. (1,2,4)
Contoh Kasus
Seorang pria berusia 60 tahun, berasal dari etnis Yanomami, lahir di daerah Orinoco. Sejak remaja, pasien bekerja pada aktivitas pertambangan, dan seringkali pada daerah Yapacana di Orinoco bagian tengah, dan juga di Sungai Casiquiare yang menghubungkan Orinoco dengan Sungai Rio Negro di Amazon. Penyakit pasien ini dimulai 3 tahun sebelumnya dengan lesi papular pada satu lutut yang berkembang membentuk suatu zona yang tegang dan keras, disertai dengan keloid dan nodul, yang kadang-kadang berulserasi (gambar 4). Pasien menyatakan bahwa dia telah didiagnosa satu tahun sebelumnya di Brazil, dan telah diberikan beberapa kali 33
perawatan dengan ketoconazol dan itraconazol, tetapi tidak menunjukkan perbaikan. Pasien kemudian dirawat dengan amphotericin B disertai dengan eksisi bedah pada nodul. Pasien tidak berkonsultasi kembali dan tidak dapat dilakukan follow up. (2)
Gambar 4. Lesi lobomikosis: lesi multiple papulo-ulcerous di atas kulit yang tegang dan keras pada lutut pasien.
Kesimpulan
Lobomikosis adalah suatu infeksi kronis pada kulit dan jaringan subkutan yang disebabkan oleh jamur Loboa loboi atau Laca zia loboi. Penyakit ini umumnya terjadi pada daerah tropis dan subtropis dengan iklim yang panas dan lembab. Seringkali terjadi pada orang-orang yang pekerjaannya berhubungan dengan aktivitas di hutan, pertambangan dan pertanian. Gambaran klinis terutama berupa lesi berbentuk keloid yang akan berkembang secara perlahan, dapat menjadi verukoid dan ulserasi. Lesi biasanya ditemukan pada bagian tubuh yang terbuka dan mempunyai temperatur yang lebih rendah, biasanya terutama ditemukan pada ekstremitas bawah dan atas, telinga dan wajah. Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan histopatologis. Perawatan yang efektif untuk lobomikosis adalah dengan eksisi total lesi secara bedah, yang dapat disertai dengan pemberian obat seperti clofamazine.
34