ANALISIS LAPORAN KEUANGAN “ASET LANCAR
- PERSEDIAAN”
OLEH: KELOMPOK 9 KELAS : B MARION IRENE
3203014039
EKA PUTRA
3203014210
DENNY POANDY
3203014330
FAKULTAS BISNIS JURUSAN AKUNTANSI UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2017
1. ASET
Aset merupakan sumber daya yang dikuasai oleh suatu perusahaan dengan tujuan untuk menghasilkan laba. Aset dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu aset lancar dan aset tidak lancar. Aset lancar (current assets) merupakan sumber daya atau klaim atas sumber daya yang dapat langsung diubah menjadi kas sepanjang siklus operasi perusahaan masih berjalan. Aset lancar perusahaan pada umumnya terdiri atas kas, setara kas, efek, piutang, derivatif, de rivatif, persediaan pe rsediaan dan beban beb an diterima diteri ma di muka. Sedangkan aset tidak ti dak lancar (noncurrent assets) merupakan sumber daya atau klaim atas sumber daya yang diharapkan dapat
memberikan manfaat pada perusahaan selama periodenya melebihi periode saat ini. Aset tidak lancar sering juga disebut sebagai aset tetap (fixed assets), dimana aset tidak lancar ini terdiri atas properti, gedung atau bangunan, peralatan, aset tidak berwujud (paten, goodwill, dll), investasi dan beban yang ditangguhkan. Suatu perbedaan aset alternatif yang sering bermanfaat dalam analisis adalah membagi aset menjadi aset keuangan atau aset operasi. Aset keuangan (financial assets) terdiri atas efek (surat berharga atau sekuritas) dan investasi. Aset ini dinilai pada nilai wajar (pasar) dan diharapkan dapat memberikan timbal balik hasil yang setara dengan biaya modal yang telah disesuaikan dengan resiko mereka. Sedangkan aset operasi (operating Assets) terdiri atas sebagian besar aset perusahaan, baik aset lancar maupun aset tidak lancar. Aset ini dinilai pada biayanya dan merupakan aset operasi produktif yang diharapkan dapat memberikan timbal balik hasil di atas laba normal. Dalam makalah ini akan dibahas secara mendalam mengenai aset lancar perusahaan khususnya terkait persediaan perusahaan.
2. ASET LANCAR
Aset lancer merupakan sumber daya atau klaim atas sumber daya yang langsung dapat diubah manjadi kas, biasanya dalam jangka waktu siklus operasi perusahaan. Maksud siklus operasi yakni mencakup pembelian bahan baku, mengubah bahan baku menjadi produk jadi, dan kemudian menjual dan menagih kas dari piutang. Kas mencerminkan titik awal dan titik akhir dari siklus operasi. Aset lancar adalah aset yang diharapkan akan dijual, ditagih, atau digunakan selama satu tahun atau siklus operasi, tergantung dari mana yang lebih panjang. Yang tergolong aset lancar adalah kas, setara kas, piutang jangka pendek, efek jangka pendek, persediaan, dan beban dibayar dimuka.
3. PERSEDIAAN 3.1. AKUNTANSI DAN PENILAIAN PERSEDIAAN
Persediaan (inventory) merupakan barang yang dijual dalam aktivitas operasi normal perusahaan. Dalam prakteknya, persediaan harus diperhatikan karena persediaan merupakan komponen utama dari aset operasi dan langsung mempengaruhi perhitungan laba perusahaan. Menurut PSAK 14 (1994), persediaan adalah : a. Aktiva yang tersedia untuk dijual dalam kegiatan usaha normal; b. Aktiva yang dalam proses produksi dan atau dalam perjalanan; c. Aktiva yang dalam bentuk bahan atau perlengkapan (supplies) untuk digunakan dalam proses produksi atau pemberian jasa. Persediaan merupakan barang yang dijual dalam aktivitas operasi normal perusahaan dan persediaan harus dinilai berdasarkan biaya atau nilai realisasi bersih. Penilaian persediaan digunakan untuk proses penandingan antara pendapatan dan biaya. Proses penandingan ini dilakukan dalam menentukan besarnya biaya dari barang yang tersedia untuk dijual, untuk kemudian dikurangi dengan pendapatan pada periode berjalan, sehingga dari proses penandingan ini akan diperoleh besarnya laba perusahaan. Dalam penilaian persediaan, metode akumulasi biaya menjadi faktor yang penting karena nantinya akan berdampak pada laba bersih dan penilaian aset. Metode akumulasi biaya persediaan ini digunakan untuk mengalokasikan biaya barang yang tersedia untuk dijual (persediaan awal ditambah dengan pembelian) pada harga pokok penjualan (pengurangan laba) atau persediaan akhir. Oleh karena itu, alokasi biaya pada persediaan akan mempengaruhi baik pengukuran laba maupun pengukuran aset. Untuk memahami arus persediaan, dapat digunakan persamaan persediaan pada perusahaan dagang, yaitu : “Pembelian Bersih = Pembelian + Biaya Angkut Pembelian + Retur Pembelian + Potongan atau Diskon Pembelian” “Persediaan Akhir = Persediaan Awal + Pembelian Bersih – Harga Pokok Penjualan”
Persamaan di atas menekankan arus biaya dalam perusahaan. Arus tersebut secara alternatif dapat dinyatakan dalam diagram berikut :
Harga pokok penjualan yang tersedia untuk dijual (= Persediaan awal + biaya yang didapat selama periode)
Akhir Persediaan
Harga Pokok Penjualan
(Neraca)
(Laporan laba rugi)
Biaya persediaan awalnya dicatat di dalam neraca. Saat persediaan terjual, biaya tersebut dipindahkan dari neraca dan mengalir pada laporan laba rugi sebagai harga pokok penjualan (HPP). Biaya tidak dapat berada pada dua tempat yang sama di waktu yang bersamaan. Mereka dapat dicatat pada neraca sebagai beban masa depan atau diakui saat ini pada laporan laba rugi dan mengurangi profitabilitas yang kemudian dikatikan dengan pendapatan penjualan. Konsep penting akuntansi persediaan terletak pada arus biaya. Jika seluruh perusahaan diperoleh atau dibuat pada saat periode terjualnya, maka HPP akan sama dengan biaya pembelian atau pembuatan barang. Akan tetapi, jika persediaan tersisa di akhir periode akuntansi, penting untuk menentukan persediaan mana yang telah terjual dan biaya mana yang tersisa pada neraca.
Arus Biaya Persediaan
Persediaan memiliki karakterisik fisik dan finansial. Karakteristik fisik (arus barang) bersifat faktual dan nyata, sedangkan karakterisitik finansial (arus biaya) lebih bersifat subyektif. Finansial persediaan merupakan atribut yang diperlukan dalam mengukur dan menganalisis posisi keuangan organisasi yang dibutuhkan untuk menghitung kinerja operasi atau pendapatan selama periode waktu tertentu. Persediaan dalam pengertian akuntansi menunjukkan nilai suatu barang yang diproduksi untuk dijual atau dikonsumsi. Akun persediaan menunjukkan nilai total kekayaan dalam bentuk persediaan di tangan atau persediaan dalam proses. Besarnya persediaan tergantung pada prosedur akuntansi yang ditetapkan oleh perusahaan dalam menilai persediaan. Prosedur akuntansi juga menentukan kapan dan berapa perubahan dan nilai kekayaan yang ditransformasikan ke dalam biaya. Berdasarkan prinsip akuntansi yang berlaku umum (GAAP), ada 3 pilihan metode bagi
perusahaan untuk menentukan urutan biaya mana yang akan dipindahkan dari neraca dan diakui sebagai HPP pada laporan laba rugi. a. Metode First in, First out – FIFO
Metode ini mengasumsikan bahwa unit barang yang pertama dibeli merupakan unit barang yang pertama dijual. b. Metode Last in, First Out – LIFO
Metode ini mengasumsikan bahwa unit barang yang dibeli terakhir merupakan unit yang dijual pertama kali. c. Metode Average Cost (Biaya rata – rata)
Metode ini mengasumsikan bahwa unit barang dijual tanpa memperhatikan urutan pembeliannya dan menghitung HPP serta persediaan akhir sebagai rata – rata tertimbang.
3.2. SISTEM PENCATATAN
Perusahaan menggunakan satu atau dua tipe system untuk mencatat nilai dari persediaan. Yaitu sistem periodik dan sistem perpetual. a. Sistem Perpetual
Dalam sistem persediaan perpetual, semua kenaikan dan penurunan barang dagang dicatat dengan cara yang sama seperti mencatat kenaikan dan penurunan kas. Akun persediaan barang dagang pada awal periode akuntansi mengindikasikan stok pada tanggal tersebut. Pembelian dicatat dengan mencatat mendebit persediaan barang dagang dengan mengkredit kas atau utang usaha. Pada tanggal penjualan, harga pokok barang yang terjual dicatat dengan mendebit harga pokok penjualan dan mengkredit persediaan barang dagang. Penggunaan sistem perpetual memberikan sarana pengendalian yang paling efektif atas aktiva tesebut, demikian juga adanya kekurangan dapat ditentukan dengan mengadakan perhitungan periodik barang dan membandingkan perhitungan tersebut dengan saldo buku tambahan. Pemesanan kembali barang secara tepat waktu dan pencegahan kelebihan persediaan dapat dicapai dengan membandingkan saldo buku tambahan dengan tingkat persediaan maksimum dan minimum yang ditentukan terlebih dahulu.
b. Sistem Periodik
Dalam sistem persediaan periodic, rincian persediaan barang yang dimiliki tidak disesuaikan secara terus menerus dalam satu periode. Harga Pokok Penjualan barang
ditentukan hanya pada akhir periode akuntansi. Untuk menentukan harga pokok penjualan dalam sistem periodik, harus: 1. Menentukan harga pokok barang yang tersedia pada awal periode, 2. Menambahkannya pada harga pokok barang yang dibeli, 3. Mengurangkannya dengan harga pokok barang yang tersedia pada akhir periode akuntansi.
3.3. FOB SHIPPING POINT vs FOB DESTINATION POINT
a. FOB Shipping Point FOB Shipping Point mensyaratkan bahwa biaya angkut (ongkos kirim) barang
dari gudang penjual ke gudang pembeli menjadi tanggungjawab pembeli, sehingga kepemilikan barang telah menjadi hak pembeli dari tempat penjual. Apabila terjadi pembelian barang dari penjual dan seandainya barang terkait masih dalam perjalanan menuju tempat pembeli, barang dalam perjalanan tersebut adalah barang milik pembeli meskipun pada saat tutup buku barang tersebut belum diterima sudah harus dicatat sebagai persediaan.
b. FOB Destination Point FOB Destination Point mensyaratkan bahwa biaya angkut (ongkos kirim)
baran g dari gudang penjual ke gudang pembeli menjadi tanggungjawab si penjual, sehingga kepemilikan menjadi hak pembeli saat sudah di tempat pembeli. Apabila terjadi pembelian, dan barang tersebut masih dalam perjalanan ke tempat pembeli, baran g dalam perjalanan tersebut masih milik penjual. Pada saat akhir tahun buku baran g tersebut belum diterima, maka nilai barang tersebut tidak boleh d imasukkan sebagai persediaan oleh perusahaan pembeli pada neraca akhir tahun.
3.4. BIAYA PERSEDIAAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR DAN DAMPAK PENINGKATAN PRODUKSI
Biaya persediaan manufaktur pada umumnya terdiri atas tiga komponen : a. Bahan Baku
: biaya dari bahan dasar yang digunakan untuk membuat produk.
b. Tenaga Kerja
: biaya tenaga kerja langsung yang dibutuhkan untuk membantu penyelesaian produk.
c. Overhead
: biaya tidak langsung pada proses manufaktur (penyusutan peralatan manufaktur, gaji penyelia, biaya prasarana).
Biaya bahan baku dan tenaga kerja dapat diestimasi secara akurat dari spesifikasi rancangan dan penelitian atas waktu dan pergerakan selama proses pembuatan. Berbeda dengan bahan baku dan tenaga kerja, overhead merupakan komponen biaya produk terbesar dan sulit diukur untuk tingkat produk. Seluruh total dari biaya overhead ini harus dialokasikan pada seluruh unit yang diproduksi dan kemudian biayanya dimasukan pada biaya persediaan dengan tetap berada pada neraca sampai persediaan tersebut telah laku terjual. Dan apabila persediaan tersebut telah laku terjual maka biaya persediaan yang tadinya berada di neraca harus dipindahkan pada laporan laba rugi dengan pengakuan sebagai harga pokok penjualan. Menurut PSAK no 14 apabila suatu barang dalam persediaan di jual maka nilai tercatat persediaan harus diakui sebagai beban pada periode diakuinya pendapatan atas penjualan tersebut. Proses pengakuan nilai tercatat persediaan yang telah dijual sebagai beban menghasilkan pengaitan (matching) beban dengan pendapatan. Oleh karena itu dalam menentukan besarnya laba harus dihitung terlebih dahulu besarnya harga pokok penjualan. Persediaan yang dibeli atau dibuat selama suatu periode ditambahkan ke persediaan awal dan jumlah biaya persediaan ini disebut dengan harga pokok barang tersedia untuk dijual. Pada akhir periode akuntansi, jumlah biaya yang tersedia untuk dijual dialokasikan antara persediaan yang masih tersisa (dicatat di neraca sebagai aktiva) dan persediaan yang dijual selama periode (dilaporkan dalam laba rugi sebagai biaya, harga pokok penjualan).Berbicara mengenai pengalokasian biaya overhead, produk yang menggunakan sumber daya terbanyak harus menerima pengalokasian yang besar dari biaya overhead. Pada saat terjadi peningkatan produksi maka hal ini akan berpengaruh terhadap persediaan akhir yang juga akan mengalami peningkatan dan oleh karena itu hal ini akan mempengaruhi profitabilitas perusahaan yang juga akan semakin meningkat yang dikarenakan banyak biaya overhead yang ada pada biaya persediaan yang tertinggal pada neraca. Sebaliknya, ketika jumlah persediaan menurun, maka laporan laba rugi akan menjadi terbebani oleh biaya overheadperiode berjalan dan juga terbebani oleh biaya overhead pada tahun sebelumnya yang berakibat pada penurunan tingkat laba.
3.5. PENURUNAN NILAI PERSEDIAAN
Impairment adalah penurunan nilai aset, baik aset berwujud maupun tidak berwujud,
termasuk aset berupa persediaan. Impairment aset terjadi jika nilai tercatat aset melebihi nilai yang dapat dipulihkan. Aset yang mengalami penurunan nilai akan disesuaikan dan dampak dari penyesuaian tersebut akan diakui sebagai kerugian dalam laporan laba rugi. Semua akan memiliki potensi mengalami penurunan nilai. Pada persediaan, penurunan nilai yang dimaksud adalah penurunan harga pokok persediaan. Harga pokok persediaan bisa turun karena beberapa hal yaitu : a. Rusak / Ketinggalan Zaman Persediaan bahan baku atau barang dagangan yang datang dari suplier belum tentu langsung digunakan atau dijual habis. Bahan / barang belum terpakai / terjual tersebut disimpan dalam gudang. Selama masa menunggu untuk digunakan atau dujual bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, rusak misalnya atau penurunan harga jual untuk barang dagangan. Hal ini menimbulkan kerugian bagi perusahaan. Kerugian yang diakibatkan persediaan barang dagangan diukur dengan selisih antara harga perolehan dengan taksiran nilai bersih yang bisa direalisasi. Taksiran nilai bersih yang bisa direalisasi adalah teksiran harga jual dikurangi biaya utnuk menjual barang dagangan tersebut termasuk biaya reparasi untuk menjual barang tersebut. b. Penurunan Harga Terjadi karena stock di pasaran melimpah, daya beli masyarakat turun dan karena adanya model baru yang lebih canggih. Contoh konkrit penurunan harga adalah pada produk elektronik dan alat komunikasi handphone. Jika ada model baru maka model lama ditinggalkan / tidak lagi diminati, hal ini menimbulkan penurunan harga. c. Hilang / Rusak Parah Apabila ada satu atau beberapa produk yang rusak parah dan tidak bisa diperbaiki lagi, atau ada produk yang hilang maka jurnal untuk mencatat hilang atau produk rusak adalah: Kerugian penurunan nilai persediaan Persediaan
50.000 (D) 50.000 (K)
Produk yang hilang atau rusak tersebut dicatat sebesar harga perolehannya.
3.6. LOWE R OF COST OR NE T RE ALI ZABLE VALUE (LCNRV)
Pencatatan persediaan dicatat berdasarkan biaya yang digunakan untuk persediaan tersebut. Akan tetapi, biasanya persediaan mengalami penurunan nilai karena kerusakan,
keusangan, penurunan harga, dan lain-lain yang menyebabkan nilai persediaan juga diturunkan. Oleh karena itu, persediaan dilaporkan pada biaya/nilai terendah atau nilai realisasi bersih.
Net Realizable Value (Nilai Realisasi Bersih) Net realizable value (nilai realisasi bersih) adalah estimasi harga jual dalam keadaan bisnis normal dikurangi estimasi biaya penyelesaian dan estimasi biaya untuk penjualan.
Recording Net Realizable Value I nstead of Cost / Pencatatan Nilai Realisasi Bersih Termasuk Biaya
Ada dua metode yang biasanya digunakan untuk mencatat efek pendapatan dari penilaian pada nilai realisasi bersih. Metode pertama yaitu metode harga pokok penjualan (COGS Method), dimana HPP didebitkan untuk penghapusan persediaan. Metode kedua, yaitu metode kerugian (Loss Method), dimana kerugian didebitkan untuk menghapus persediaan. Contoh : HPP (sebelum penyesuaian ke NRV)
$ 108,000
Ending inventory (cost)
82,000
Ending inventory (at NRV)
70,000
COGS Method
HPP
12.000 Persediaan
12.000
Loss Method
Kerugian akibat penurunan NRV
12.000
Persediaan
12.000
Use of an Allowance / Menggunakan Cadangan Pada umumnya perusahaan menggunakan akun Allowance (cadangan) untuk menyesuaikan nilai realisasi bersih persediaan. Contoh jurnal: Kerugian akibat penurunan persediaan ke NRV Allowance pengurangan persediaan ke NRV
12.000 12.000
Recovery of I nventory Loss Ilustrasi, Jerry Co mengsumsikan NRV meningkat $5.000 dari $80.0000. Jerry Co. membuat jurnal menggunakan Loss Method : Allowance pengurangan persediaan ke NRV
5.000
Recovery dari kerugian persediaa
5.000
3.7. PERLAKUAN PERUBAHAN AKUNTANSI Teori Retrospektif
Penerapan retrospektif merupakan penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa, serta kondisi lain yang seolah-oleh menunjukkan bahwa kebijakan tersebut telah ditetapkan. Perubahan kebijakan akuntansi dapat diterapkan secara retrospektif, jika salah satu dari kondisi ini terjadi: a. Perubahan kebijakan akuntansi yang dicatat oleh entitas merupakan akibat dari penerapan awal PSAK yang telah diatur dalam ketentuan transisi yang terdapat didalam PSAK tersebut. b. Perubahan kebijakan akuntansi yang dilakukan oleh entitas bertujuan untuk penerapan awal suatu PSAK yang tidak mengatur ketentuan transisi untuk perubahan tersebut atau perubahan kebijakan akuntansi secara sukarela.
Dalam pelaksanaannya, entitas juga diperkenankan untuk melakukan penyajian kembali atas retrospektif tersebut. Yang dimaksudkan dengan penyajian kembali retrospektif merupakan suatu koreksi yang dilakukan atas pengakuan, pengukuran, serta pengungkapan jumlah unsur-unsur dari laporan keuangan. Hal ini bertujuan untuk membuat kesalahan yang terjadi di periode sebelumnya tidak pernah terjadi. IASB mengijinkan perusahaan untuk mengubah kebijakan akuntansinya, jika: a. Hal ini diperlukan oleh IFRS. b. Di dalam laporan keuangan menghasilkan informasi atas posisi keuangan perusahaan, kinerja perusahaan serta arus kas secara lebih handal dan relevan. Saat perusahaan mengubah kebijakan akuntansinya, maka saat pelaporan perubahan perusahaan harus menggunakan aplikasi retrospektif. Secara umum, berikut adalah hal-hal yang harus dilakukan:
a. Menyesuaikan penyajian atas laporan keuangan pada setiap periode. Sehingga informasi atas laporan keuangan pada periode sebelumnya menggunakan dasar yang sama sesuai dengan kebijakan akuntansi yang baru. b. Menyesuaikan pencatatan atas aset dan kewajiban dalam penyajian awal di tahun pertama. Akun tersebut mencerminkan efek secara kumulatif pada periode sebelumnya atas perubahan kebijakan akuntansi yang baru. Perusahaan juga membuat penyesuaian offsetting saldo awal laba ditahan atau komponen ekuitas lainnya yang sesuai atau aktiva
bersih pada penyajian awal tahun pertama.
Pelaporan Perubahan Kebijakan
Pengungkapan atas perubahan kebijakan akuntansi itu penting. Pengguna laporan keuangan menginginkan adanya konsistensi informasi pada setiap periode, maka ada beberapa persyaratan utama yang harus ada dalam pengungkapan tersebut: a. Dasar atas perubahan kebijakan akuntansi. b. Alasan mengapa penggunaan kebijakan akuntansi yang baru maka informasi akan lebih handal dan relevan. c. Untuk periode saat ini dan penyajian atas setiap periode, untuk tingkat kepraktisan, maka jumlah penyesuaian : 1. Berpengaruh pada setiap baris item pada laporan keuangan. 2. Dasar dan dilusi laba per saham. d. Jumlah
penyesuaian
terkait
penyajian
atas
periode
sebelumnya
atas
tingkat
kepraktisannya.
Keterbatasan Penerapan Retrospektif
Penerapan retrospektif dapat dilakukan jika memenuhi kondisi yang telah ditetapkan, kecuali penerapan tersebut dirasa tidak praktis untuk menentukan beberapa dampak, seperti: a. Dampak spesifik periode, yaitu dampak yang terjadi akibat perubahan keijakan akuntansi dalam informasi komparatif untuk satu atau beberapa periode. Penerapan retrospektif akan dianggap praktis jika entitas dapat menerapkan kebijakan akuntansi baru untuk jumlah yang tercatat atas aset dan liablitas pada awal periode. Entitas juga dapat membuat penyesuaian atas saldo awal setiap komponen ekuitas pada periode tersebut yang terpengaruh. b. Dampak kumulatif , yaitu dampak yang terjadi di periode awal, perioe berjalan serta untuk periode sebelumnya. Entitas harus menyesuaikan informasi komparatif dengan
menerapakan kebijakan akuntansi baru secara prospektif mulai dari tanggal praktis paling awal. Penerapan kebijakan akuntansi secara retrospektif akan dirasa praktis jika entitas menerapkan kebijakan akuntansi yang baru untuk informasi komparatif untuk periode kebelakang sejauh mungkin. Penerapan atas periode sebelumnya dirasa praktis jika dapat ditentukannya dampak kumulatif atas jumlah awal dan akhir laporan posisi keuangan pada periode tersebut. Selain atas saldo laba,penyesuaian juga dapat dilakukan pada komponen ekuitas lainnya. Jika entitas merasa bahwa penerapan atas retrospektif tidak praktis dikarenakan entitas tidak dapat menentukan dampak kumulatifnya untuk seluruh periode sebelumnya, maka entitas dapat menerapkan kebijakan baru secara retrospektif dari periode awal yang paling praktis. Hal ini menyebabkan diabaikannya porsi penyelesaian kumulatif atas aset, liabilitas dan ekuitas yang timbul sebelum tanggal tersebut.
Keterbatasan Penyajian Kembali Retrospektif
Penyajian kembali secara retrospektif tidak dapat dilakukan karena dirasa tidak praktis, jika entitas tidak dapat menentukan: -
Dampak spesifik periode, yaitu dampak yang timbul dari kesalahan atas informai komparatif untuk satu atau beberapa periode. Penyajian kembali retrospektif akan menjai praktis jika entitas menyajikan kembali saldo awal aset, liabilitas, dan ekuitas untuk periode paling awal.
-
Dampak kumulatif kesalahan, yaitu dampak yang terjadi di periode awal, perioe berjalan serta untuk periode sebelumnya. Entitas harus menyajikan kembali informasi komparatif untuk mengoreksi kesalahan secara prospektif dari tanggal praktis paling awal.
Koreksi yang dilakukan atas kesalahan pada periode sebelumnya tidak termasuk dari kesalahan yang ditemukan pada laporan laba rugi dalam periode tersebut. Setiap informasi sajian serta ringkasan data keuangan historis atas periode sebelumnya disajikan kembali sejauh mungkin ke belakang selama hal tersebut dianggap praktis. Jika hal tersebut menjadi tidak praktis maka entitas menyajikan kembali informasi komparatif secara prospektif dari tanggal praktis paling awal.
Pengaruh Langsung dan Tidak Langsung atas Perubahan a. Pengaruh secara langsung.
IASB menentukan bahwa perusahaan harus menerapkan retrospektif dari efek langsung atas adanya perubahan akuntansi. b. Pengaruh secara tidak langsung.
Perusahaan dapat memiliki efek secara tidak langsung terkait perubahan atas kebijakan akuntansi. Pengaruh secara tidak langsung adalah segala perubahaan arus kas saat ini atau masa depan dari perusahaan atas perubahan akuntansi yang diterapkan secara retrospektif.
Ketidakpraktisan
Penerapan retrospektif akan menjadi tidak praktis jika perusahaan tidak dapat menentukan efek pada periode saat ini dengan menggunakan segala upaya yang wajar. Perusahaan tidak seharusnya menerapkan retrospektif jika salah satu kondisi dibawah ini terjadi, yaitu: a. Perusahaan tidak dapat menentukan efek dari penerapan retrospektif. b. Penerapan atas retrospektif membutuhkan asumsi atas maksud manajemen pada periode saat ini. c. Penerapan retrospektif membutuhkan estimasi yang signifikan atas periode sebelumnya, dan perusahaan tidak dapat memverifikasi secara objektif informasi mengenai estimasiestimasi, seperti: 1. Menyediakan bukti atas keadaan yang terjadi pada tanggal di saat jumlah tersebut harus diakui, diukur, atau diungkapkan. 2. Tersedia ketika laporan keuangan dari periode sebelumnya yang diselesaikan dengan menggunakan informasi lain.
Ketidakpraktisan atas Penerapan Retrospektif dan Penyajian Kembali Retrospektif.
Penerapan serta peyajian kembali retrospektif menjadi tidak praktis jika dilakukan penyesuaian informasi komparatif untuk satu atau beberapa periode sebelumnya pada beberapa keadaan yang dilakukan untuk mencapai hasil perbandingan dengan periode berjalan. Contoh: Pada periode sebelumnya entitas belum memperoleh data walaupun telah dilakukan suatu usaha untuk dapat menerapkan kebijakan akuntansi retrospektif serta penyajian kembali untuk mengkoreksi kesalahan yang terjadi pada periode sebelumnya dan akan menjai hal yang tidak praktis jika entitas menciptakan ulang informasi tersebut.
Untuk menerapkan suatu kebijakan akuntansi sering kali dibutuhkan estimasi bersifat subyektif dan yang nantinya mungkin dapat dikembangkan setelah periode pelaporan. Pengembangan estimasi ini lebih sulit untuk dilakukan karena semakin panjang periode yang telah berlalu semenjak terjadinya transaksi, peristiwa, atau kondisi lain. Estimasi yang dilakukan pada eriode sebelumnya memiliki tujuan yang sama dengan estimasi yang dilakukan selama periode berjalan yaitu agar estimasi dapat mencerminkan keadaan yang terjadi pada saat terjadinya transaksi, peristiwa, dan kondisi lain. Terdapat syarat pembedaan informasi dari informasi lainnya atas penerapan retrospektif serta penyajian kembali retrospektif, yaitu: a. Menyediakan bukti untuk keadaan yang ada pada tanggal terjadinya transaksi, peristiwa, atau kendisi lain. b. Tersedia pada saat penyelesaian laporsn keuangan periode sebelumnya. Akan menjadi tidak praktis untuk menerapkan penerapan atau penyajian kembali retrospektif jika entitas membedakan jenis-jenis estimasi seperti pengukuran nilai wajar yang menggunakan input yang tidak dapat diobservasi secara signifikan. Saat entitas melakukan penerapan dan penyajian kembali retrospektif, entitas: a. Tidak menggunakan peninjauan ke belakang. b. Tidak membuat asumsi atas maksud manajemen yang terjadi pada periode sebelumnya atau estimasi atas jumlah yang diakui, diukur, ata diungkapkan pada periode sebelumnya
Teori Prospektif
Perubahan kebijakan akuntansi dan pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi diterapkan secara prospektif untuk: a. Penerapan kebijakan akuntansi baru untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lain yang terjadi setelah tanggal perubahan kebijakan tersebut. b. Pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi pada periode berjalan dan periode mendatang yang dipengaruhi oleh perubahan tersebut.
Perubahan Estimasi Akuntansi
Dampak dari perubahan estimasi akuntansi diakui secara prospektif dalam laba rugi yakni: a. Periode perubahan, jika dampak perubahan hanya pada periode tersebut. b. Periode perubahan dan periode mendatang, jika perubahan berdampak pada keduanya.
Pengakuan dampak perubahan estimasi akuntansi secara prospektif berarti perubahan diterapkan untuk transaksi, peristiwa, dan kondisi lain sejak tanggal perubahan estimasi. Perubahan estimasi akuntansi dapat berdampak hanya pada laba rugi periode berjalan saja atau laba rugi periode berjalan dan periode mendaang. Perusahaan mengungkapkan sifat dan jumlah perubahan estimasi akuntansi yang berdampak pada periode berjalan atau diperkirakan akan berdampak pada periode mendatang, kecuali untuk pengungkapan dampak pada periode mendatang ketika tidak praktis untuk mengestimasi tersebut. Jika jumlah dampak pada periode mendatang tidak diungkapkan karena estimasinya yang tidak praktis maka perusahaan mengungkapkan fakta tersebut.
4. PROFIL PERUSAHAAN (PT. POLYCHEM INDONESIA TBK. 4.1. Latar Belakang
PT. Polychem Indonesia Tbk (ADMG) adalah perusahaan yang bergerak dalam industri pembuatan polyester chips, polyester filament, engineering plastik, engineering resin, ethylene glycol, polyester staple fiber dan petrokimia, pertenunan, pemintalan dan industri tekstil. PT. Polychem Indonesia Tbk didirikan dengan akta No.62 tanggal 25 April 1986. Perusahaan berdomisili di Jakarta, dengan pabrik berlokasi di Tangerang, Karawang dan Merak. Perusahaan mulai berproduksi secara komersial pada tahun 1990. Hasil produksi dipasarkan di dalam dan luar negeri termasuk ke Asia, Amerika Serikat, Eropa, Australia dan Afrika. Divisi Polyester didirikan pada tahun 1978, diikuti oleh Divisi Kimia pada tahun 1989. Produksi Polyester dimulai pada tahun 1980 dan pada tahun 1993, Nylon dan Glycol Ethylene mulai berjalan. Pada tahun 1998 pabrik SBR mulai beroperasi, diikuti oleh etoksilat pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, yaitu 1999 PT. Polychem Indonesia juga memperluas dan membangun pabrik Polyester terbesar di Indonesia dengan kapasitas 300 ton per hari, dan juga mulai menjalankan pabrik Nylon kedua. Prioritas utama PT. Polychem Indonesia adalah kualitas produk, kegiatan proses dilisensi oleh teknologi terkemuka kelas dunia yaitu Scientific Design Inc, USA untuk produksi Ethylene Oxide, Ethylene Glycol, dan etoksilat; Zimmer AG, Jerman untuk produksi Polyester dan Nylon. Lisensi kelas dunia terkemuka lainnya, Nippon Zeon Co, Ltd Jepang memberikan kami lisensi untuk produksi SBR. Selain memiliki lisensi kelas dunia yang terkemuka, PT. Polychem Indonesia juga menggunakan teknologi pemisahan udara kelas dunia dari Linde AG, Jerman, serta dari Chicago Bridge & Iron USA untuk Ethylene Terminal Unit. Polychem memiliki penilaian reputasi tinggi dari pelanggan dan mitra bisnis. Hal ini didukung oleh seluruh pihak yang membangun Polychem Indonesia, dan melalui hal tersebut seluruh pihak saling terhubung dan bekerja sama. Perusahaan tersebut memiliki pandangan ke depan yang sangat positif dan keyakinan teguh dalam kemajuan berkelanjutan dan kemakmuran negara Indonesia, serta komitmen yang kuat untuk mempertahankan dan memajukan pertumbuhan kegiatan usaha untuk memuaskan pelanggan, mitra bisnis, pemegang saham dan karyawan.
4.2. Visi dan Misi. Visi
Menjadi pemimpin pasar dan partner regional yang paling dapat diandalkan di industri poliester dan yang terkait. Misi
Kami akan memberikan kepuasan total dengan menyediakan produk dengan kualitas dan pelayanan yang terbaik kepada semua partner bisnis kami.
4.3. Struktur Perseroan.
Polychem Indonesia memiliki dua divisi bisnis, Kimia dan Poliester, yang memproduksi produk untuk industri tekstil (Etilena Glikol, Polyester Filament dan Polyester Staple Fiber). Fasilitas perusahaan Poliester berlokasi di Karawang, sedangkan tiga pabrik kimia terletak berdekatan satu sama lain dan berbagi fasilitas umum di Merak, 130 kilometer sebelah barat Jakarta.
Alamat Perusahaan a. Kantor Pusat
Wisma 46 - Kota BNI, Lantai 20 Jl. Jend. Sudirman Kav. 1 Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta 10220 Telp : (62-21) 5744848 Fax : (62-21) 57945831 – 34 E-mail :
[email protected]
Website : www.polychemindo.com
b. Divisi Poliester - Pabrik Karawang
Taman Niaga Karawang Prima Desa Wanasari, Kecamatan Teluk Jambe, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361 Telp : (62-267) 409642 (62-267) 409649 Fax : (62-267) 409683 Email :
[email protected]
c. Divisi Kimia - Pabrik Etilena Glikol
Jl. Raya Bojonegara, Ds. Mangunreja, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Serang, Banten 42456 Telp : (62-254) 5750055 Fax : (62-254) 5750059 E-mail :
[email protected]
d. Divisi Nilon * PT Filamendo Sakti (Tanda * adalah anak perusahaan)
Kantor : Wisma Hayam Wuruk, Lantai 12 Jl. Hayam Wuruk No.8 Jakarta 10120 Telp : (62-21) 3865652 Fax : (62-21) 3805632
Pabrik: Komplek Industri Gajah Tunggal Jl. Gajah Tunggal, Desa Pasir Jaya, Kecamatan Jati Uwung Kota Tangerang Banten 15135 Telp : (62-21) 5903946 Fax : (62-21) 3848511
4.4. Kasus Perubahan Kebijakan (Estimasi) Aset Lancar – Persediaan PT. Polychem Indonesia Tbk.
Seperti yang telah kami bahas dalam profil perusahaan, PT. Polychem Indonesia adalah perusahaan manufaktur yang memproduksi polyester chips, polyester filament, engineering plastik, dan berbagai macam produk lainnya yang membutuhkan sejumlah persediaan bahan baku yang cukup besar untuk dapat menghasilkan berbagai macam produk tersebut. Dari sekian banyaknya jumlah persediaan yang dimiliki oleh perusahaan, terdapat risiko bahwa persediaan barang jadi, barang dalam proses, maupun bahan baku perusahaan ada yang menjadi usang atau cacat ketika masuk ke dalam proses produksi. Akibat adanya risiko tersebut, maka PT. Polychem Indonesia melakukan estimasi untuk menentukan nilai dari “Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan perusahaan” sebagai nilai estimasi persediaan
perusahaan secara bersih apabila terjadi keusangan maupun adanya resiko-resiko yang akan terjadi yang telah diestimasi perusahaan. Di dalam CALK – Laporan Keuangan Konsolidasian 31 Desember 2015 PT. Polychem Indonesisa Tbk., huruf J, hlm 24, nilai persediaan perusahaan ditentukan oleh: “ Persediaan dinyatakan berdasarkan biaya perolehan atau nilai realisasi bersih, mana yang
lebih rendah. Biaya perolehan ditentukan dengan metode rata-rata tertimbang. Nilai realisasi bersih merupakan estimasi harga jual dari persediaan dikurangi seluruh biaya penyelesaian dan estimasi biaya yang diperlukan untuk melakukan penjualan “
Di dalam CALK – Laporan Keuangan Konsolidasian 31 Desember 2015 PT. Polychem Indonesisa Tbk.,hlm 31, penyisihan penurunan nilai persediaan perusahaan ditentukan oleh: “ Grup membuat penyisihan penurunan nilai persediaan berdasarkan estimasi persediaan
yang digunakan pada masa mendatang. Walaupun asumsi yang digunakan dalam mengestimasi penyisihan penurunan nilai persediaan telah sesuai dan wajar, namun perubahan signifikan atas asumsi ini akan berdampak material terhadap penyisihan penurunan nilai persediaan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil usaha Grup. Nilai tercatat persediaan diungkapkan dalam Catatan 9. “
Berikut ini adalah Rincian dari Persediaan PT. Polychem Indonesia Tbk., yang ada di dalam CALK – Laporan Keuangan Konsolidasian 31 Desember 2015 PT. Polychem Indonesisa Tbk.,no. 9, hlm 36 :
Analisis.
Berdasarkan data diatas, apabila dibandingkan antara Penyisihan Penurunan Nilai
Persediaan dengan Jumlah Bahan Baku secara keseluruhan , maka didapatkan rasio
perbandingannya: Tahun 2014 : 8.866.604 / 86.900.269 = 10,20% Tahun 2015 : 202.132 / 61.486.033 = 0,33% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, kelompok kami membuat sebuah hipotesis yang menyatakan bahwa pada tahun 2014, PT. Polychem Indonesia mencadangkan persediaannya dengan jumlah yang cukup besar untuk mengantisipasi penurunan nilai persediaan di periode 2015. Di tahun 2015, perusahaan hanya mencadangkan penurunan nilai persediaannya sebanyak 0,33%, dimana hal ini terjadi akibat pencadangan yang dilakukan di tahun 2014 cukup tinggi, sehingga di tahun 2015, perusahaan hanya mencadangakan sedikit saja untuk penurunan nilai persediaan. Hal ini menyatakan bahwa estimasi penurunan nilai persediaan yang dilakukan di tahun 2014 dianggap oleh perusahaan sudah cukup menutupi penurunan nilai persediaan
Di dalam CALK – Laporan Keuangan Konsolidasian 31 Desember 2016 PT. Polychem Indonesisa Tbk.,no. 8, hlm 30, perusahaan membuat estimasi Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan dengan rasio yang lebih besar daripada tahun 2015. Perhitungan rasio tersebut kami dapatkan dari membandingkan antara penyisihan penurunan nilai persediaan dengan jumlah bahan baku secara keseluruhan :
Tahun 2015 : 202.132 / 61.486.033 = 0,33% , Tahun 2016 : 1.850.271 / 59.669.582 = 3,10%
Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan tahun 2016 lebih besar daripada tahun 2015, menurut kelompok kami, hal ini menyatakan bahwa Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan yang dilakukan di tahun 2014, hanya cukup untuk menutupi keusangan dan adanya barang cacat perusahaan untuk periode 2014 dan 2015 saja, sedangkan untuk tahun 2016, perusahaan melakukan estimasi Penurunan Nilai Persediaan yang baru, sebagai nilai pengurang di dalam Laporan Keuangan PT. Polychem 2016. Estimasi Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan PT. Polychem Indonesia ditentukan secara prospektif , karena perusahaan selalu menyisihkan / mencadangkan sejumlah persediaanya untuk periode mendatang berdasarkan hasil analisis yang dilakukan oleh perusahaan sendiri. Dengan adanya Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan yang naik turun setiap tahun, hal ini mengakibatkan jumlah persediaan PT. Polychem Indonesia memiliki nilai pengurang yang tidak menentu setiap tahunnya (Rasio selalu berubah dari tahun ke tahun), sehingga di dalam laporan keuangan, tidak dapat ditentukan secara pasti, berapakah jumlah cadangan /
Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan yang harus dicantumkan dalam Neraca PT. Polychem Indonesia. Pengaruh Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan tidak hanya berhenti sampai di situ saja. Cadangan persediaan yang diestimasikan oleh perusahaan harus dicatat dengan jurnal agar Nilai Persediaan perusahaan dapat dikurangi dengan Penyisihan Penurunan Nilai Persediaan. Ada 2 metode yang dapat digunakan oleh perusahaan (Menurut Kieso-Chapter
9,Inventories: Additional Valuation Issues, hlm 402), yaitu : a.
Cost-of-Goods-Sold Method Cost of Goods Sold
xxx
Inventory b.
xxx
Loss Method Loss Due to Decline of Inventory to Net Realizable Value Inventory
xxx xxx
Apabila perusahaan menggunakan metode (1) Cost-of-Goods-Sold Method , maka COGS atau HPP perusahaan dapat ditambahkan dengan jumlah estimasi Penurunan Nilai Persediaan (sebagai biaya di debit) untuk menyeimbangkan sisi kredit yang mengurangi nilai persediaan secara keseluruhan. Apabila perusahaan menggunakan metode (2) Loss Method , maka jumlah estimasi Penurunan Nilai Persediaan yang ada di jurnal, tidak ditambahkan kepada COGS / HPP , tetapi langsung mengurangi Gross Profit / Laba Kotor Perusahaan. Kedua metode ini akan memberikan dampak yang sama bagi perusahaan, yaitu laba perusahaan yang berkurang akibat dari adanya kenaikan COGS / HPP . Dengan adanya pencadangan persediaan, maka ROA dan ROE perusahaan akan mengalami penurunan karena return atau laba bersih perusahaan juga akan berkurang karena adanya pengakuan pencadangan.
Laporan Keuangan tahun 2015 Keterangan Tanpa Penyisihan
Dengan Penyisihan
Current Ratio
255.93%
255.58%
ROA
-73.97%
-74.02%
ROE
-116.02%
-116.10%
-4.75%
-4.81%
-7.71%
-7.77%
Gross Profit Margin (COGS Method)
Net Profit Margin
LAMPIRAN