TRANSFORMASI TEORI GERAK SUBSTANSI (MULLA SHADRA) DALAM MENGKONSTRUKSI PROSES PERENCANAAN DI INDONESIA
TUGAS AKHIR
RADITYA PAMUNGKAS AS 10070301016
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 1426 H / 2005 M
TRANSFORMASI TEORI GERAK SUBSTANSI (MULLA SHADRA) DALAM MENGKONSTRUKSI PROSES PERENCANAAN DI INDONESIA
TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung Tahun Akademik 2004/2005
oleh RADITYA PAMUNGKAS AS 100703.01.016
Dinyatakan Lulus dalam Sidang Terbuka yang Dilaksanakan pada Tanggal 23 Agustus 2005 Mengesahkan,
IMAM INDRATNO, Ir., MT. Pembimbing
IVAN CHOFYAN, Ir., MSP Ketua PUS PWK
Hj. SRI HIDAYATI DJOEFFAN, Ir., MT Ketua Program Studi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI Nama
: RADITYA PAMUNGKAS A.S.
NPM
: 100703.01.016
Tempat & tanggal lahir
: Cirebon, 18 Januari 1984
Suku Bangsa
: Jawa dan Sunda
Warga Negara
: Indonesia
Agama
: Islam
Alamat
: JL. Ciremai Giri Blok M I No. 5 - Cirebon
Telepon/Hp
: 08157-304-1044
DATA KELUARGA Nama Bapak
: ARIE SOEBIJAKTO HARSONO NOTOHADINEGORO
Nama Ibu
: CICIH WARNIASIH
Alamat
: JL. Ciremai Giri Blok M I No. 5 - Cirebon
Anak Ke
: 4 dari 4 bersaudara
PENDIDIKAN TK
: TK Pertiwi II Kota Cirebon
(1987-1989)
SD
: SDN Pamitran II Kota Cirebon
(1989-1995)
SMP
: SLTP Negeri 1 Kota Cirebon
(1995-1998)
SMU
: SMUN 1 Kota Cirebon
(1998-2001)
S1
: Fakultas Teknik
(2001-2005)
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Ban dung
“Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia” (Jalaluddin Ar-Rumi)
Kini dan disini... Haruslah diam....dan biarlah semua seperti ini adanya Tangan tetap jadi tangan jangan jadi kaki Kaki tetap jadi kaki jangan jadi tangan Mata tak boleh lagi buta...hidung jangan tersumbat... Apalagi telinga...tak boleh tuk tuli... Jaga agar tak lengah...lupa dan tak tahu... Sadarlah sesadarnya sadar... Raih, genggam...hisap...dan simpan... Lalu keluarkan perlahan sisa asap hitam yang menghalangi... Jernihkan hati, bersihkan akal... Hancurkan ragu...bunuh tanya... Abaikan materi yang menggangu... Tanggalkan semua agar telanjang Karena jiwa harus menang... Lebur bersama ketiadaan diri tuk gapai keberadaan abadi Terus dalam kemanunggalan... Tuk gerak menuju sempurna dengan Bingkai waktu dan ruang (dit)
Teruntuk Ayah dan Bunda Tercinta Demi Sebuah Kata dan Nama, Semoga Selalu menjadi Kekasih-Nya
Abstraction Planning is about yield of thinking can’t separate from human side life. In Islam human study to can plan and manage life however good for achieve happiness and perfection in the world and the here after (although the Prefection is Allah SWT property). Since planning practies in region and city is applying at beak in two dekade 1970 (first government in new forced labor) set of problem is in habitant development, efforts emergence economic is warn out, problem in land benefit and transportation and many more. We can see in planning practies in Indonesia. Is an fact more direct to one concept socialism an capitalism, actualy have it’s main office to Positivistm Ideology. Refer from urgency about various Planning is while bloom in Indonesia and explanation about planning already reveal by Friedman (Planning is “from knowledge to ation”) in Islam theory to Rahmatan lil alamin, writter try to look for the alternative way as a solution or correction in a planning is enable an applying in future, certain in the contents from shape thinking philosophy Islam Mulla Shadra about ‘Subtantion Movement’ theory with “Kearifan Puncak” concept, that is as follow: •
Learning social process in a community social etnics
•
Political and advocacy process in government system in justness
•
Mobilitation and coordination process of planning in Amanah
•
Animism and total comprehension a process system Islam Planning
From thinking Mulla Shadra talked about oventualy to conversion to a planning process have the quality of Holistik and comprehension with orient one selt to Islam theory in that theory will explain about some Value System in each stages end eavor to return Planning essence to Teocentris Planninmg Process.
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’aalamiin, saya panjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan Kebahagiaan-Nya, sehinggga saya sebagai penyusun Tugas Akhir ini dapat menyelesaikannya sesuai dengan waktu yang telah ditentukan oleh Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Unisba. Shalawat serta salam semoga terlimpah pada suri teladan kita Rasulullah SAW. beserta keluarga dan para sahabat-sahabatnya yang di Ridhai Allah SWT. Kepada para Filosof yang telah membuka jalan untuk berfikir. Laporan ini merupakan salah satu syarat untuk pelaksanaan Penyusunan Tugas Akhir Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Bandung tahun Akademik 2004/2005. Tugas Akhir ini mengambil judul tentang “Transformasi
‘Teori
Gerak
Substansi’
(Mulla
Shadra)
Dalam
Mengkonstruksi Proses Perencanaan di Indonesia”. Untuk itu penyusun ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Ibunda dan Ayahanda tercinta atas Cintanya yang sepanjang masa. 2. Eyang Putri yang selalu memberi nasihatnya pada penulis 3. Jalalluddin Maulana Rumi, penuntun Jiwaku dalam Keheningan 4. Ibu Sri Hidayati Djoeffan, Ir., MT. Selaku Ketua Jurusan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung. 5. Bapak Ivan Chofyan, Ir., MSP Selaku Koordinator Tugas Akhir 6. Bapak Imam Indratno, Ir., MT., selaku Dosen pembimbing yang telah membuka jalan untuk berfikir bagi penulis ”Semoga Tak Hanya sampai disini Saja” 7. Bapak Ernady Syaodih Ir., MT, selaku Dosen Wali penulis. 8. Bapak Bambang Pranggono, Ir., MBA, Kharisma Bapak akan selalu terkenang dihati. 9. Seluruh
Dosen
Program
Studi
Perencanaan
Wilayah
dan
Kota
Universitas Islam Bandung. 10. Seluruh Staf Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Islam Bandung. Kang Ade, Kang Didin, Teh Yuli, Pak Nana, Kang Dayat 11. Teh Nia sebagai Dosen, Orang tua, Kakak, sekaligus Teman bagi penulis selama kuliah. 12. “Sang Jiwa” yang berada dalam dimensi Kerinduan dan Kebahagiaan vi
13. Sohib-sohibku, Oke, Asep, Amed, Onte , Faridl, Upay & Dede Sri, Yudi & Finna dan Usep Epul 14. Kakak-kakakku Mas Eko & Mba Euis dengan Kemal, Mas Wieb & Teh Indri dengan Salman dan Mba Dinie & Separuh Hatinya, semoga Ridho Allah SWT selalu menyertai kita semua. 15. Barudak Balatax eks-Melur 17, A’ Ibro, A’ Iwan, A’Izal, A’Youpi & T’Rima, A’ UQ, A’ Abad, A’ Gobul, A’ Adun, A’ Gaga, A’ Koseng, A’ Chitoz, A’ Agus, A’ Yuyus, A’ Zaki dan semua yang pernah singgah di Melur 17. 16. Temen-temen Taman Sari, Egi, Ayi, Dewan, Benny, Edy, Budi, Ferry, Ade, A’ Rully, Abo 17. Serta rekan-rekan mahasiswa Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Bandung, khususnya angkatan 2001 Akhirnya penyusun berharap semoga Allah SWT me-Ridhai apa yang telah kita lakukan dan selalu melindungi kita agar selalu berusaha mencari KEBAHAGIAAN yang HAQ dan selalu dalam Dimensi Kemanunggalan yang Majemuk milik-Nya. Amien. Bandung, September 2005 M
Penyusun
vii
DAFTAR ISI PRAKATA ...................................................................................................... DAFTAR ISI .................................................................................................. DAFTAR TABEL ........................................................................................... DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... BAB I
Hal. vi vii x xi
PROLOG 1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1.2 Perumusan Masalah ................................................................ 1.3 Tujuan dan Manfaat ................................................................ 1.4 Ruang Lingkup Studi................................................................ 1.5 Metodologi Studi ...................................................................... 1.5.1 Kerangka Pemikiran...................................................... 1.5.2 Pendekatan Studi.......................................................... 1.6 Definisi Operasional ................................................................ 1.7 Sistematika Penyajian..............................................................
1 8 8 8 10 10 15 17 20
BAB II KAJIAN TEORITIS: ‘TELAAH HISTORIS DAN TEORI’ 2.1 Praktek Perencanaan di Indonesia .......................................... 2.2 Kajian Teori Perencanaan........................................................ 2.2.1 Peta Paradigma Perencanaan...................................... 2.2.2 Teori Perencanaan ....................................................... 2.3 Kajian Filsafat Umum ............................................................... 2.3.1 Filsafat Modern ............................................................. 2.3.2 Filsafat Perencanaan .................................................... 2.4 Kajian Teoritis sains Islam ....................................................... 2.4.1 Kajian Filsafat Islam...................................................... 2.4.2 Konsep “Kearifan Puncak” ............................................ 2.4.3 Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) ............. 2.5 Sebuah Pijakan untuk Proses Transformasi ............................ 2.5.1 Pandangan Islam ......................................................... 2.5.2 Pandangan Filsafat Kotemporer ..................................
21 24 24 31 46 47 54 57 57 59 62 63 63 67
BAB III KONTRUKSI PARADIGMA: ‘REAKSI ATAS KRISIS PROSES PERENCANAAN INDONESIA’ 3.1 Substansi Perencanaan di Indonesia....................................... 3.1.1 Sebuah Peta Substansi Perencanaan Indonesia ......... 3.1.2 Kelemahan yang terjadi pada Sistem Perencanaan Indonesia ...................................................................... 3.1.3 Positivistme .................................................................. 3.1.4 Perencanaan Indonesia dengan Positivistme .............. 3.1.5 Kritik terhadap Filsafat Perencanaan Positivistme........ 3.2 Membangun Konsep Perencanaan Islam ................................ 3.2.1 Dari Antroposentris kepada Teosentris......................... 3.2.2 Usulan Perencanaan Teosentris................................... 3.2.3 Konsep Wujud............................................................... 3.2.4 Teori Gerak Substansi .................................................. 3.3 Sebuah Pijakan Untuk Melangkah pada Transformasi ............ 3.3.1 Asumsi Dasar................................................................ 3.3.2 Pijakan untuk Proses Transformasi .............................. 3.3.3 Penentuan Sistem Nilai ................................................ viii
71 71 78 87 86 89 92 92 94 95 96 97 97 100 102
3.4 Aktualisasi Sistem Nilai Proses Perencanaan Teosentris........ 115 3.4.1 Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat Yang beretika................................................................ 115 3.4.2 Proses Politis dan Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang berkeadilan ....................................... 126 3.4.3 Proses Mobilisasi dan Koordinasi Pemerintah yang Amanah......................................................................... 135 3.4.4 Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam ....................................................... 144 BAB IV EPILOG: “CATATAN PENYIMPUL DAN PENUTUP” 4.1 Dampak Positivistme: “Sebuah Krisis Perencanaan”............... 4.2 Urgensi dalam Proses Perencanaan di Indonesia: “Jalan Menuju Perubahan .................................................................. 4.3 Teori Gerak Substansi: “Terlahirnya Paradigma Alternatif” ..... 4.4 Kelemahan dalam Paradigma Proses Perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi ............................................................ 4.5 Pra Syarat: “Masukan menuju Perubahan” ............................. 4.6 Rekomendasi ........................................................................... 4.7 Studi Lanjutan: “Kedinamisan Proses Berfikir”.........................
156 157 159 162 163 163 164
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 165
ix
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 2.2 2. 3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 3.1 3.2 4.1
Hal. Periode Perkembangan Teori Perencanaan dan Sifatnya ............ 28 Penjelasan Tentang Substansi dan Proses yang Terkandung dalam sebuah Teori Perencanaan ............................ 36 Empat Aliran Teori Perencanaan dan Isu-isu Moral yang Melandasinya........................................................................ 44 Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis Dengan Pengambilan Keputusan Demokratis .......... 47 Sumber Pokok Pengetahuan dari Berbagai Paradigma ............... 54 Perbandingan Positivist, Rasionalis, Fenomenologi dan Konsep Pemikiran Islam ........................................................ 55 Perkembangan Teori Perencanaan dan Filsafat yang Memayunginya...................................................................... 57 Peta Pokok-Pokok Pikiran Tradisional Islam ................................. 58 Transformasi Pendekatan Teori Gerak Substansi Ke dalam Proses Perencanaan .................................................... 71 Peta Pokok-Pokok Pikiran Tradisional Islam ................................. 92 Substansi Sistem Nilai yang terdapat dalam Setiap Tahapan Proses Perencanaan Teosentris ................................................... 152 Perbandingan antara Perencanaan Positivistme & Perencanaan Teosentris ...................................................................................... 161
x
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 1.2 1.3 1.4 2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 4.1
Kerangka Berfikir .......................................................................... Langkah Kerja .............................................................................. Fase aktualisasi Nilai Normatif ..................................................... Kerangka Alur Proses Kontruksi Paradigma ................................ Kerangka Lahirnya Ilmu Perencanaan ......................................... Pengaruh Intelektual terhadap Teori Perencanaan di Amerika .... Advocacy Pluralism dan Transactive Planning based on The Live of Dialogue ..................................................................... Bagan Alur Aktualisasi Proses Perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi ........................................................................... Proses Perencanaan Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika ................................................................................ Proses Politis dan Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan ................................................................................... Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah ... Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam . Model Perencanaan Teosentris ....................................................
xi
Hal. 13 15 16 19 29 32 45 113 125 135 144 151 162
BAB I PROLOG 1.1
Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah hasil pemikiran yang tidak dapat
terpisahkan dari sisi-sisi kehidupan manusia. Dalam Islam manusia diajarkan untuk dapat merencanakan dan mengelola hidup dengan sebaik-baiknya untuk mencapai kebahagiaan dan kesempurnaan dunia akhirat (walau kesempurnaan yang akan dicapai manusia di dunia tidak akan pernah Sempurna, karena Kesempurnaan yang Hakiki ialah milik Allah SWT). Manusia dan perencanaan tidak dapat terpisahkan, karena manusia bersifat dinamis yaitu selalu berevolusi dalam hidupnya (bergerak menuju ke arah yang lebih baik), begitupun dengan rencananya selalu berdasarkan hasil pemikirannya yang dari waktu ke waktu mengalami perubahan mengikuti pola fikir manusia tersebut. Seperti yang tertuang dalam Al Quran surat Al Hasyr ayat 18 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr :18) Hal tersebut diatas sebenarnya terdapat sinkronisasinya dengan dasar teori perencanaan, sebagaimana yang telah disebutkan dalam teori perencanaan bahwa sebuah perencanaan bertujuan untuk pencapaian menuju kearah yang lebih baik dan sempurna. Apa pun definisi perencanaan, ia bermuara pada hakekatnya penciptaan “kondisi” yang lebih baik dimasa yang akan datang. Suatu perencanaan berpijak pada pendekatan filosofis. Maksudnya ialah perencanaan sebagai suatu ilmu pengetahuan pastilah memiliki landasan teoritis yang didalamnya terdapat suatu faham tertentu, karena faham itulah yang membuat sebuah teori mengandung pendekatan filosofisnya. Kekuatan perencanaan terdapat pada orientasinya untuk mewujudkan pengetahuan dan pemahaman menjadi tindakan. Perencanaan tidak saja berhenti pada pengetahuan, ide atau gagasan, tetapi juga pada bagaimana ide tersebut diwujudkan. Perencanaan, dengan demikian, merupakan satu disiplin
2
yang sarat dengan “prescription” yakni upaya untuk mencari solusi terhadap satu persoalan.
Perencanaan
memanglah
terkait
erat
dengan
‘dunia
nyata’
perencanaan berorientasi pada masa depan dan praktek. Sejak praktek perencanaan wilayah dan kota diterapkan pada tahun 1970’an (awal pemerintahan orde baru) permasalahan yang dihadapi ialah perkembangan penduduk, upaya penumbuhan ekonomi yang sudah memburuk, masalah pemanfaatan lahan dan transportasi dan masih banyak lagi masalah lainnya. Walaupun masalah kecil namun hal tersebut bisa menjadi masalah yang cukup rumit untuk diselesaikan dalam era selanjutnya. Dalam menghadapi semua aspek tersebut, para perencana mencermatinya dalam pendekatan yang sangat ideal. Filosofi pada saat itu ialah bahwa permasalahan pembangunan hanya dapat ditangani dengan membangun secara besar-besaran, memerlukan investasi yang besar, perencanaan di seluruh aspek namun sebenarnya perencanaan itu sendiri belum bersifat terintegrasi (holistik), secara menyeluruh di semua sisi kehidupan dan juga berkesinambungan. Dapat dilihat pada praktek perencanaan di Indonesia yang sebenarnya lebih mengarah pada suatu faham sosialisme dan kapitalisme. Sosialisme
yang
mengandung
makna
penghapusan
penindasan
keterasingan individu di dalam masyarakat industri modern, namun dalam kenyataan praktek sosialisme mengalami krisis indentitas karena dua hal penting didalamnya yakni: 1. Keterbatasan ideologi, strategi, analisis, leadership. 2. Penyelesaian masalah dari luar, seperti identifikasi dengan gerilya bersenjata di dunia ketiga (Che Guevara, Castro, Mao) Kemudian sikap kapitalisme yang sebenarnya muncul terlebih dahulu daripada sosialisme. Kapitalisme sendiri berarti sebuah faham yang mengajarkan proses industrialisasi besar-besaran, teknologisasi, saintifikasi dan lainnya. Hal tersebut menjadikan identitas sebuah negara yang menjalankan
sistem
kapitalisme mengalami degradasi moral dan sisi kemanusiaan, karena orientasinya lebih materialistis. Sedangkan Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan dan peradaban secara menyeluruh. Ia merupakan sistem holistik yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Etika dan nilai-nilainya menyerap setiap
3
aktivitas manusia, termasuk di dalamnya sains. Islam mengajarkan kita untuk memperhatikan sisi-sisi religius-spiritual (diniyah ruhiyah). Dengan mengadopsi pemikiran Islam, bahwa hidup ini ialah rahmat untuk semua alam semesta (rahmatan lil alamin) maka seluruh dimensi yang terkandung di alam semesta ini haruslah sejalan dengan perintah Allah SWT. Membatasi suatu keilmuan yang sesuai dengan ajaran agama Islam dan tidak bertentangan, bukan berarti ruang lingkupnya menjadi terbatas, namun sebenarnya apa yang termuat dalam Islam sendiri telah merangkum seluruh hal yang terdapat dimuka bumi ini. Seperti yang terkadung dalam Al Quran surat Al Maa’idah ayat 48 yang artinya: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.....” (Q.S. 5 : 48) Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa baik itu sosialisme atau kapitalisme sekalipun, sebenarnya terdapat beberapa kelemahan. Hal ini yang membuat Islam tampil sebagai solusi terbaik untuk menciptakan sebuah penghidupan yang lebih baik, dengan memandang sesuatu hal dari berbagai sisi dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Ajaran agama Islam sendiri pada hakekatnya bertujuan pada suatu kondisi rahmatan lil alamin. Seperti yang tertuang Al Quran surat Al Anbiyaa ayat 107 yang artinya: “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. 21 :ayat 107) Dapat terlihat secara nyata bahwa perencanaan masa lalu dan masa sekarang lebih menaruh perhatian pada proses pembuatan rencana, yang merupakan proses yang berkelajutan dan berkesinambungan, namun hasil dari perencanaan tersebut tetap disajikan secara konvensional yaitu berupa dokumen fisik, suatu rencana dengan peta-peta dan kebijakan-kebijakan untuk di
4
implementasikan. Sebenarnya hal tersebut baik, karena mengantisipasi semua kebutuhan penggunaan lahan dan menempatkannya pada berbagai lokasi dalam suatu
wilayah
perencanaan,
namun
suatu
konsep
perencanaan
yang
mendominasi dan dijadikan sebagai praktek perencanaan di Indonesia (terutama yang dipayungi oleh sikap Positivistme) masih terdapat beberapa kelemahan. Terlepas dari upaya terbaik dari seorang perencana, rancangan penggusuran daerah kumuh, pinggiran kota yang steril, atau keputusan perencanaan yang menyingkirkan masyarakat kecil dibantaran sungai juga hilangnya bangunan bersejarah telah mengungkapkan ada masalah yang terjadi pada Praktek perencanaan di Indonesia. Hubungan antara perencana dengan komunitas talah berubah secara dramatis. Perencanaan sendiri telah berubah menjadi sebuah proses politis. Menilai perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai proses atas pilihan-pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan sangat terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan sebuah pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan publik. Parktek perencanaan yang tidak memandang sebuah pluralitas dan hanya bersifat materiilisme semata membuat praktek Perencanaan yang berlangsung di Indonesia selama ini dianggap banyak memiliki kekurangan. Indonesia sendiri yang lebih mengusung budaya timur dengan keberagamannya, juga yang manyoritas penduduknya memeluk agama Islam telah secara jelas menapik praktek Perencanaan yang lebih kearah Westernisasi. Westerniasasi ialah sebuah sikap yang mengusung nilai-nilai dunia barat (terutama Kapitalisme dan Sosialisme), Sebuah Peta Perkembangan Praktek Perencanaan di Indonesia Sebelum melihat permasalahan apa yang sebenarnya muncul pada perencanaan di Indonesia, dapat dilihat sejarah perkembangan perencanaan yang berkembang di Indonesia dari tahun 1970 sampai saat ini, yaitu sebagai berikut: Pada era tahun 1970’an, perencanaan di Indonesia bertumpu pada pendekatan sektoral, dan ditambah dengan pendekatan wilayah juga terjadi sinkronisasi program walau masih melibatkan intervensi politik. Pada era 1980’an, perencanaan di Indonesia masih berbasis pengembangan wilayah dan
5
program,
ditambah
dengan
pendekatan
lingkungan
dan
desentralisasi
perencanaan. Pada era ini juga mulai dikembangkan perencanaan partisipatif. Datangnya arus globalisasi dari dunia Barat sangat memiliki peran penting dalam menentukan apa yang terjadai dalam praktek perencanaan di era 1990’an. Sangat jelas sekali proses industrialisasi mempengaruhi proses perencanaan di Indonesia. Lahirnya undang-undang tata ruang cukup berarti bagi perencanaan di Indonesia, karena dengan itu perencanaan di Indonesia akan memiliki koridor tersendiri. Perencanaan saat ini dimaksud dengan perencanaan era 2000’an. Sebuah paradigma baru tentang otonomi daerah terlahir pada era ini. Menjawab beberapa pertanyaan pada era-era sebelumnya, perencanaan era 2000’an mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan di beberapa sisi perencanaan. Dengan pengoptimalan peran stakeholder diharapkan mampu mendongkrak perencanaan Indonesia kedalam suatu perencanaan yang ideal. Dengan perencanaan partisipatif yang semakin gencar dan terintegrasi dengan baik. Pengembangan potensi lokal makin diefektifkan. Setelah melihat beberapa fenomena yang terjadi di setiap era dalam perencanaan di Indonesia yang dirintis dari tahun 1960’an sampai dengan masa sekarang maka terdapat dua hal konsep perencanaan yang telah dipraktekkan yaitu Top down planning dan Bottom Up Planning, namun pendikotomian antara Bottom up Planning dan Top down Planning membuat hasil sebuah perencanaan tidak optimal. 1. Top Down Planning Pada tahap-tahap pendekatan awal program pembangunan kota-kota di Indonesia
dilakukan
secara
sektoral.
Selain
sektoral
pendekatan
perencanaan dilakukan secara top down. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah/Kota
merencanakan
pembangunan
kota-kota
dengan
program/proyek untuk ukuran area yang sangat luas dan sifatnya lebih kepada instruksi dari instansi-instansi atas ke instansi-instansi di bawahnya. Pendekatan ini berhasil apabila disetujui secara luas oleh masyarakat luas, terkait dengan perumusan tujuan pengembangan dan kewenangan pengaturan dan prosedur administrasi bagi seluruh kelompok masyarakat. Pendekatan tersebut ternyata banyak yang gagal, sehingga belum bisa mengangkat tingkat kemiskinan masyarakat di kota-kota tersebut akibat
6
kurangnya sumber daya manajemen lokal, sulitnya penegakan hukum dan aspek-aspek politis lainnya. Masyarakat di daerah perkotaan negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, pada kenyataannya tetap miskin, sulit mencari pekerjaan, masa depan
belum
jelas
dan
yang
bekerja
selalu
khawatir
kehilangan
pekerjaannya. Di samping itu terjadi kompetisi yang tinggi antar berbagai kelompok masyarakat dan terjadinya penurunan kualitas lingkungan di perkotaan. Masalah-masalah dan kelemahan tersebut di atas menyebabkan diperlukannya
inisiatif
baru
di
dalam
pendekatan
proses
penyusunan
perencanaan pembangunan kota, untuk tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas. Inisiatif baru ditujukan kepada kegiatan penyusunan perencanaan pembangunan kota, dengan melibatkan masyarakat setempat (komunitas lokal) secara luas. Pemberdayaan dan peningkatan peran-serta masyarakat secara luas
yang
dimulai
sejak
awal,
yaitu
sejak
penyusunan
perencanaan
pembangunan merupakan paradigma baru. 2. Bottom Up Planning Penjabaran dari deklarasi dunia ini oleh masing-masing negara diadopsi dengan konsensus bahwa "masyarakat" lah yang menjadi target programprogram publik. Siapa yang akan terpengaruh langsung oleh perencanaan pembangunan kota dan perencanaan pembangunan berhak memberikan share dalam keputusan-keputusan yang diterbitkan. Hal ini dilatar-belakangi kekurang-berhasilan system perencanaan nasional dan komprehensif yang penyusunannya didominasi pemerintah. Dalam perjalanan sejarah perencanaan pembangunan kota, wilayah dan kawasan, munculnya berbagai pendekatan dengan terminologi baru seperti bottom-up planning, participatory planning, democratic planning, grass root planning, public involvement, collaborative planning, advocacy planning, dan sebagainya menunjukkan adanya kesamaan dalam hal filosofi dasar yaitu dalam suatu demokrasi anggota masyarakat harus memiliki kesempatan berperan serta di dalam proses pengambilan keputusan untuk menentukan masa depan mereka.
7
Perencanaan sebagai upaya menjembatani pengetahuan ilmiah dan teknik (scientific and technical knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan sosial dan proses transformasi sosial. Perencanaan pembangunan kota sebagai ilmu pengetahuan sosial, pada hakekatnya bukan hanya merencanakan pembangunan fisik semata, tetapi adalah merencanakan ruang (spatial-plan), di mana "manusia" terdapat di dalamnya
yang
memiliki
cita-cita
sama
mendapatkan
kehidupan
dan
penghidupan yang aman, adil dan sejahtera. Maka dari itu mengacu dari berbagai kekurangan tentang berbagai perencanaan yang selama ini berkembang di Indonesia dan pengertian sebuah perencanaan yang telah diungkapkan Friedmann (planning is “from knowledge to action”) juga ajaran agama Islam (rahmatan lil alamin), penulis mencoba mencari jalan alternatif sebagai solusi atau koreksi sebuah perencanaan yang memungkinkan diterapkan dimasa yang akan datang dengan berlandaskan teori pemikiran Islam, yakni isinya mengadopsi dari pemikiran tokoh Filosof Islam Mulla Shadra mengenai Teori Gerak Substansif dengan konsep “Kearifan Puncak” yaitu sebagai berikut: •
Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
•
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
•
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
•
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan Dari pemikiran Mulla Shadra tersebut nantinya dikonversikan kedalam
sebuah proses perencanaan yang bersifat holistik dan komprehensif dengan berpedoman ajaran agama Islam yang didalamnya akan disebutkan beberapa sistem Nilai pencapaian pola berfikir tersebut dalam setiap tahapannya. “Pada hakekatnya suatu konsep normatif yang terdapat didalam ajaran agama islam perlu melalui proses reaktualisasi di bidang intelektual. Sebuah paradigma teoretis atas dasar kerangka epistemik dan etisnya sendiri. Untuk beroperasi sebagai acuan aksiologis, sebenarnya konsep-konsep normatif islam yang berakar pada sistem nilai wahyu (lebih bersifat transendental) dapat diturunkan melalui dua medium, yakni ideologi dan ilmu”. (Dr. Kuntowijoyo, Paradigma Islam “interpretasi untuk aksi”1991, hal 37)
8
1.2
Perumusan Masalah Dari sejarah perkembangan sebuah perencanaan yang telah dan masih
berlangsung di Indonesia dapat ditarik sebuah permasalahan yang banyak terjadi di sebuah perencanaan Indonesia, keterlibatan dari sebuah pemikiran yang kapitalisme dan sosialisme menjadikan praktek Indonesia hanya mementingkan pada tampilan muka saja dengan melupakan sisi-sisi yang menurut Islam diperlukan dalam sebuah penghidupan (sosio-religius). Setelah mencermati permasalahan yang telah terjadi selama ini pada sebuah praktek perencanaan di Indonesia, penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan pokok yaitu: “Bagaimana mengkontruksi proses perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi (Mulla Shadra)?” 1.3
Tujuan dan Manfaat Dengan melihat latar belakang dan permasalahan yang telah disebutkan
diatas, disatu sisi terdapat banyak kekurangan yang terjadi dalam praktek perencanaan yang terdapat di Indonesia dengan konsep perencanaan yang dianut selama ini yaitu lebih kearah positivistme, serta belum adanya suatu tinjauan teoritis yang membahas dengan jelas konsep berfikir Islam yang dikonversikan atau dituangkan dalam sebuah Perencanaan Islam maka studi ini dilakukan dengan tujuan “Mengkontruksi proses perencanaan Teosentris dengan Sistem Nilai Islam”. Manfaat yang diharapkan nantinya diperoleh dari hasil penelitian ini ialah “Mengungkapkan sitem nilai proses perencanaan Teosentris berbasis Teori Gerak
Substansi
tersebut
dalam
tataran
aksiologinya
agar
dapat
terimplementasikan di sistem proses perencanaan di Indonesia pada masa yang akan datang”. 1.4 Ruang Lingkup Studi Dalam studi perencanaan banyak sekali terkait ilmu-ilmu lain dan masalah-masalah yang melingkupinya, baik dilihat dari sisi substansi, ruang maupun waktu perencanaan, namun terdapat satu sisi perencanaan yang merupakan pokok dari lahirnya sebuah perencanaan sebagai sebuah konsep maupun pedoman dalam praktek perencanaan, yaitu metodologi perencanaan. Dalam studi ini penulis mencoba untuk menyajikan suatu tinjauan teoritis
9
terhadap suatu paradigma proses perencanaan yang telah dan masih berlangsung di Indonesia. Pada substansi, ruang maupun waktu dalam perencanaan semuanya menggunakan metodologi perencanaan yang meliputi sistem perencanaan, penentuan
masalah,
penentuan
kriteria
penilaian,
mencari
alternatif,
mengevaluasi alternatif evaluasi dalam penunjukan dan pemantauan hasil penerapan (praktek) perencanaan. Metodologi inilah yang banyak mempengaruhi bentuk dari kebijakan dalam produk perencanaan. Semua itu terangkum dalam lima pertanyaan pokok yang sangat mendasar yaitu : apa, dimana, kapan, siapa, dan bagaimana (what, where, when, who, and how). Kesesuaian sebuah produk perencanaan dengan ajaran agama Islam bukan hanya dilihat dengan bentuk nyata (fisik) dari sebuah reflleksi agama Islam itu sendiri yaitu yang biasa dibandingkan dengan ada atau tidaknya bangunan tempat beraktivitas orang Islam (pondok pesantren, masjid, mushala, dll) dalam sebuah perencanaan, namun lebih kepada sebuah spirit yang dianutnya dalam sebuah perencanaan yang sesuai dengan ajaran agama Islam (tidak bertentangan dengan Al Quran dan Al Hadist). Selagi metodologi yang dipakai dalam sebuah perencanaan itu berdasarkan pemikiran salah satu Tokoh Filosof Islam, diharapkan kebijakan yang merupakan suatu hal terpenting dalam sebuah praktek perencanaan akan mengikuti juga penerapan konsep berfikir Islam. Ketika kebijakan yang ditentukan telah berdasarkan konsep berfikir dari Tokoh Filosof Islam maka secara tidak langsung produk perencanaan yang akan terimplementasikan juga akan berdasarkan ajaran Islam (tidak bertentangan dengan Al Quran dan Al Hadist). Hal pertama yang harus dilakukan dalam penelitian ini ialah mengkaji dan melihat praktek perencanaan yang selama ini berlangsung di Indonesia dari awal orde baru sampai sekarang (awal 70’an sampai sekarang). Kemudian dari penjelasan tersebut, baru didapatkan informasi tentang teori perencanaan apa saja yang telah diadopsi oleh praktek perencanaan di Indonesia. Setelah mengetahui teori yang selama ini digunakan dalam praktek perencanaan di Indonesia dapat diketahui pula pola atau dasar filsafat yang memayunginya dan mengevaluasi kelemahan apa saja yang terdapat didalamnya. Islam
yang
tampil
sebagai
suatu
solusi
terbaik
ketika
praktek
perencanaan di Indonesia masih terdapat beberapa titik kelemahan. Dilihat dari
10
teori dan filsafat yang terkandung didalamnya, penulis berusaha mengeluarkan atau mentransformasikan salah satu pokok pikiran dari Mulla Shadra tentang Teori Gerak Substansi (Kearifan Puncak) ke dalam sebuah aturan normatif dalam proses perencanaan di Indonesia. Melihat dari berbagai fenomena yang terjadi pada praktek perencanaan di Indonesia sampai saat ini, dari yang pola dasarnya dipayungi oleh filsafat barat dan ke sebuah praktek yang tidak sesuai dengan teori yang digunakannya. Bukan berarti filasafat barat (Positivistme) tidak baik, namun ketika dimasukan ke dalam pokok pikiran Islam terdapat beberapa kekurangan. Misalnya masalah pengetahuan tentang Allah tidak dijabarkan secara jelas. Hal ini yang dianggap menjadi salah satu kelemahan yang mendasar ketika filsafat barat dibandingakan dengan filsafat Islam sendiri. Lalu mengenai sumber pengetahuan yang menjadikan pengetahuan inderawi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan yang absolut. Penelitian ini dilakukan dalam upaya mencari sebuah paradigma baru yang diharapkan mampu meminimalisasi atau menutup kekurangan yang ada dalam praktek perencanaan di Indonesia. Sebuah kontruksi paradigma proses perencanaan yang berlandaskan pokok pikiran Islam berusaha dijabarkan untuk mendapatkan sebuah kriteria ideal sebuah proses perencanaan di Indonesia. Hasilnya diharapkan mampu diimplementasikan pada proses perencanaan di Indonesia, walaupun awalnya hanya terlihat seperti aturan yang normatif. Dalam ruang
lingkup
administratifnya
penelitian
ini
hanya
membahas
proses
perencanaan di tingkat lokal. 1.5
Metodologi Studi
1.5.1 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari studi ini adalah seperti terlihat pada gambar dibawah ini, dimana sebagai kerangka berfikir awal adalah dengan melihat apa sebenarnya latar belakang sebuah perencanaan (ontologi), kemudian dilanjutkan dengan kajian epistemologi dari perencanaan itu sendiri, lalu diterapkan dalam sebuah penentuan kriteria (metodologi) yang telah berdasarkan ajaran atau pola berfikir Islam untuk nantinya diterapkan dalam, tataran aksiologinya. Dengan melewati tahapan yang mengacu pada aspek filasat yaitu ontologi, epistemologi, metodologi dan aksiologi diharapkan mampu mengupas, mengkaji dan
11
menemukan solusi atau sebuah metodologi pendekatan yang Islami untuk sebuah praktek perencanaan Islami di Indonesia kelak. seperti yang diungkapkan Harris, (1999) “Disiplin filosofi dapat menjadi sebuah pembaharuan, inspirasi dan pengembangan teori perencanaan”. Selanjutnya akan ditelusuri implikasi epistemologi ini dengan peran perencana dimasa yang akan datang khususnya di Indonesia dan sesuai dengan pola berfikir Islam. Melihat dari beberapa fenomena yang terjadi selama ini dalam bidang perencanaan baik itu perkembangan teori perencanaan ataupun suatu praktek perecanaan yang terjadi di Indonesia dari era setelah kemerdekaan (1970 sampai sekarang), maka dapat disimpulkan terjadi urgensi sebuah perencanaan di Indonesia ketika disinkronkan terhadap suatu pokok pikiran Islam yang sebenarnya menjadi landasan utama dari suatu kehidupan yang rahmatan lil alamin, derasnya faham kapitalis dan sosialis yang masuk ke Indonesia sangat tidak sinkron dengan ajaran agama Islam, maka perlu suatu perencanaan yang Islami. Setelah ditinjau dari berbagai sudut konsep (filsafat, praktek perecanaan, dan pokok ajaran Islam) maka teridentifikasi suatu kekurangan pada praktek perencanaan di Indonesia. Dengan mencoba mentransformasikan sebuah pokok pikiran dalam Islam yang diutarakan oleh Mulla Shadra (Filosof Islam) yang mencoba merasionalkan suatu pemikiran yang bersifat mistisme (Irfan Wujud) ke dalam konsep “Kearifan Puncak” yang berbcara tentang Keyakinan yang Hakiki pada Tuhan. Filsafat ketuhanan adalah merupakan tujuan utama filsafat Islam, karena tujuan utama para filosof dan para teolog Muslim adalah bagaimana menjelaskan dan membuktikan wujud Allah yang Esa, sebagai pencipta segala yang ada. Pembahasan mengenai filsafat ketuhanan ini berhubungan dengan berbagai persoalan metafisika lainnya yang di antaranya adalah mengenai bukti adanya ketuhanan, hakikat ketuhanan, perbedaan Tuhan dengan semua makhluknya, perbuatan dan sifat-Nya. Dalam tataran teoritis, para filosof Muslim mengangkat persoalan-persoalan metafisika ini dalam nama yang beragam Shadruddin Mulla Shadra yang dikenal dengan Mulla Shadra dengan julukan Shadr al-Muta'allihin. Filsafat yang dikembangkannya adalah bagaimana mensintesiskan antara filsafat, tasawuf (irfan) dan syariah. Dalam konsep filsafatnya ini, ia berusaha hidup dalam dunia isyraq/irfan lalu diungkapkan melalui pembuktian rasional dan baginya, syariah adalah merupakan media
12
untuk mencapai pengalaman itu. Mulla Shadra mengambil ajarannya dari tasawuf, terutama al-Hallaj dan Ibn Arabi serta al-Ghazali. Dari sisi syari'ah ia mengambilnya secara langsung dari sumber otentik Islam, yaitu Sunnah dan AlQuran. Prestasi inilah yang selama ini terlupakan oleh sebagian besar orientalis. Mereka juga lupa bahwa sampai abad ke 19, Persia masih melahirkan beberapa filosof yang pemikirannya sangat besar. Dengan melakukan beberapa evaluasi dari kasus dan konsep dalam berbagai paradigma. Kemudian, juga melihat studi yang pernah dilakukan sebelumnya oleh yang lain (Azharfauzi, 1995), dari situlah penulis mencoba menentukan suatu proses perencanaan yang dianggap sebagai proses perencanaan yang ideal untuk Indonesia pada masa yang akan datang guna menutupi atau setidaknya meminimalisasi kekurangan yang selama ini terjadi. Sebuah perencanaan berbasis Teori Gerak Subtansif (Mulla Shadra) tentang konsep gerak substansi “Kearifan Puncak”, yang hasilnya berupa penentuan sistem nilai untuk sebuah proses perencanaan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar kerangka pemikiran dibawah ini dan kerangka tahapan pengerjaan pada gambar selanjutnya.
13
Gambar 1.1 Kerangka Berfikir Hakekat Perencanaan
perencanaan Indonesia (th 70’an samapi saat ini)
Urgensi dari praktek yang terjadi di Indonesia
ISLAM sebagai SOLUSI
Filsafat Islam
Filososf Islam Mulla Shadra, Teori Gerak Substansif Konsep “Kearifan Puncak”
Konsep Sistem Perencanaan yang Ideal untuk masa yang akan datang
Paradigma Antroprosentris
Faham Kapitalisme dan Sosialisme
POSITIVISTME
TEOSENTRIS
14
Gambar 1.2 Langkah Kerja Latar Belakang - Urgensi Perencanaan di Indonesia - Faham Sosialisme dan kapitalisme yang merebak di konsep Perencanaan di Indonesia - Perlunya Perencanaan Islam
TINJAUAN KONSEPSI
Perencanaan di Indonesia - Sejarah perkembangan praktek perencanaan di Indonesia - Permasalahan yang terjadi pada setiap era perencanaan di Indonesia
Identifikasi filsafat yang memayungi praktek perencanaan Indonesia selama ini
Konsep Berfikir Islam - Manusia ingin mencapai kesempurnaan - Eksistensi manusia (khalifah) di dunia - Tatanan kehidupan Islami (rahmatan lil alamin), dan kaitan dengan konsep gerak
Mulla Shadra sebagai filsafat yang dipilih untuk mencari solusi menurut Islam
Evaluasi dari kasus dan konsep dari berbagai paradigma
Konsep perencanaan yang ideal untuk di terapkan pada masa mendatang
Teori Gerak Substansif
Pokok pikiran Islam : Konsep Kearifan Puncak: ● Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan ● Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan ● Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan ● Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan TRANSFORMASI Proses Perencanaan Islam • Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika • Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan • Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah • Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
Penetuan Sistem Nilai Setiap Tahapan dan Proses Perencanaan Teosentris
15
1.5.2 Pendekatan Studi Untuk mencapai tujuan studi dengan batasan ruang lingkup dann kerangka berfikir diatas, dilakukan beberapa pendekatan studi sebagai berikut: 1. Mengevaluasi metodologi perencanaan yang telah dan masih berlangsung di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk dapat melihat secara jelas hal-hal yang dianggap belum atau masih bertentangan dengan perencanaan yang Islami duna menjadi landasan dalam proses Islamisasi dan penentuan konseptualisasi
metodologi
perencanaan
Islam
yang
dapat
terimplementasikan di perencanaan pada masa yang akan datang. 2. Tinjauan terhadap konsep berfikir Islam yang nantinya akan dikonversikan dengan teori perencanaan yang telah ada. Untuk mencapai hal tersebut diatas dilakukan beberapa metode pendekatan yaitu metode pendekatan konvensional dan metode pendekatan sains Islam, dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Konvensional Metode pendekatan konvensional yang dipakai dalam studi ini ialah Deskripsi Kualitatif. Adapun pengertian dari metode deskripsi kualitatif ialah sebagai berikut: Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki (Nazir, M., 1985: 63). Menurut Whitney (1960), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Gay (1976) mendefinisikan metode penelitian deskriptif sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian (Sevilla, 1993: 7).
16
Metode deskriptif ingin
mempelajari norma-norma atau standar-standar,
sehingga peneliti deskriptif ini disebut juga survai normal. Dalam metode deskriptif dapat diteliti masalah normatif bersama-sama dengan masalah status dan sekaligus membuat perbandingan-perbandingan antar fenomena. Studi demikian secara umum disebut sebagai studi atau penelitian deskriptif. Perspektif waktu yang dijangkau dalam penelitian deskriptif adalah waktu sekarang atau sekurang-kurangnya jangka waktu yang masih terjangkau dalam ingatan responden. Secara harfiah, metode deskriptif adalah metode penelitian untuk membuat gambar mengenai situasi atau kejadian, sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka. Tetapi dalam pengertian metode penelitian yang lebih luas, penelitian deskriptif mencakup metode penelitian yang lebih luas di luar metode sejarah dan eksperimental, dan secara lebih umum sering diberi nama, metode survai. Kerja peneliti, bukan saja memberikan gambaran terhadap fenomena-fenomena, tetapi juga menerangkan hubungan, menguji hipotesa-hipotesa, membuat prediksi serta mendapatkan makna dan implikasi dari suatu masalah yang ingin dipecahkan. Dalam mengumpulkan data digunakan teknik wawancara, dengan menggunakan schedule questioner ataupun interview guide. 2. Metode Pendekatan Sains Islam Metode pendekatan yang digunakan pada sains Islam yaitu metode transformasi. Adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif menjadi teori sebelum diaktualisasikan ke dalam tataran aksiologi (perilaku). Pendekatan yang dilakukan secara menyeluruh tidak hanya bersifat pendekatan legal saja. Aktualisasi suatu nilai normatif kedalam bentuk teori ilmu dengan melalui beberapa fase, yaitu : Teologi
Filsafat Sosial
Teori Sosial
Perubahan Sosial
Gambar 1.3 Fase aktualisasi Nilai Normatif
17
Sedangkan langkah-langkah diatas perlu dilengkapi oleh beberapa syarat, yaitu : a. Perlu adanya penafsiran sosial struktural lebih daripada penafsiran individual ketika memahami ketentuan-ketentuan pada Islam b. Mengubah cara berfikir subjektif kedalam cara berfikir objektif. Tujuannya agar menyuguhkan cara berfikir pada sains Islam pada cita-cita yang objektif. c. Mengubah Islam yang normatif kedalam suatu yang teoretis. Dengan pendekatan teoretis memungkinkan kita akan memahami ketentuan ajaran agama Islam pada konteks yang lebih real, lebih faktual, sesuai dengan kondisi-kondisi sosial, ekonomi dan kulutural. d. Mengubah pemahaman yang ahistoris menjadi historis. Membuat cara berfikir kita terhadap kisah-kisah didalam al Quran sebenarnya selalu terjadi sepanjang masa, namun terkadang konteksnya saja yang berbeda. e. Merumuskan formulasi-formulasi Islam yang bersifat general (umum) menjadai formulasi-formulasi yang bersifat spesifik. Dari penjelasan diatas dapat kita analogikan dalam sebuah sudut pandang perencanaan ialah sebagai berikut: a. Landasan yang perlu kita pegang sebagai pedoman dalam melakukan segala hal pada hidup ini ialah berpegang teguh pada suatu Keyakinan yang Hakiki yaitu Allah SWT b. Melihat seberapa jauh filsafat perencanaan yang berkembang, yang memayungi setiap paradigma teori perencanaan c. Praktek perencanaan yang telah terjadi (khususnya di Indonesia) d. Melihat
dan
mengidentifikasi
kekurangan
proses
dan
hasil
praktek
perencanaan e. Merumuskan suatu cara pandang baru yang ideal untuk menutup atau meminimalisasi kekurangan yang terjadi dan juga menyesuaikannya dengan pokok ajaran agama Islam. Salah satu caranya ialah menentukan sistem nilai dalam setiap proses perencanaan yang berbasis salah satu pokok pikiran Islam. 1.6 Definisi Operasional Pengertian yang diungkapkan dibawah ini untuk memperoleh kesamaan pemahaman agar tidak menimbulkan kerancuan pengertian dalam pembahasan selanjutnya.
18
●
Transformasi Perubahan rupa (Bentuk, sifat, dan sebagainya). Merubah struktur inti atau beberapa inti menjadi struktur yang lain.
●
Pola Pemikiran Tradisional Islam Cara, proses berfikir, kajian tentang filsafat dari tokoh-tokoh pemikir Islam (Mulla Shadra) yang berbasikan ajaran agama Islam.
●
Konstruksi Susunan (model, tata letak) suatu inti hal.
●
Lokal: Batasan administratif dengan ruang lingkup yang meliputi Desa, Kecamatan dan Kabupaten atau Kota.
●
Proses Perencanaan Suatu rangkaian tindakan, perbuatan atau pengolahan untuk menghasilkan mengenai persoalan-persoalan sosial, ekonomi, dan fisik yang berorientasi pada masa mendatang. Hubungan antara tujuan dan keputusan-keputusan kolektif dan mengusahakan kebijaksanaan program yang menyeluruh. Sedangkan tahapan yang pertama dalam mengkontruksi paradigma yaitu
menelaah sejarah substansi perencanaan di Indonesia (awal 70’an) dan menganalisanya untuk mengetahui kekurangan yang terjadi. Kemudian proses perbandingan (falsifikasi) antara Filsafat Positivisme dan Teori Gerak Substansi Mulla Shadra. Setelah itu dapat ditemukan desinkronisasi antar keduanya yang nantinya diajukan sebuah solusi menurut filsafat Teori Gerak Substansi dengan Konsep Kearifan Puncak. Berusaha mengembalikan perencanaan kepada sebuah perencanaan yang lebih baik dan kembali pada khitohnya.
19
Gambar 1.4 Kerangka Alur Proses Kontruksi Paradigma
Identifikasi substansi perencanaan di Indonesia terhadap paham positivisme
Peta paradigma sistem perencanaan Indonesia (th. 70an – saat ini)
Evaluasi Kelemahan yang terdapat dalam sistem perencanaan Indonesia
Mengembalikan hakekat perencanaan berkesesuaian dengan Nilai Islam
Kritik terhadap perencanaan Positivisme Teosentris Planning
Proses perencanaan berbasis teori gerak substansi
Proses transformasi
Penentuan sistem nilai proses perencanaan berbasis teori gerak substansi “Kearifan Puncak”
Paham Positivisme
Konsep “Kearifan Puncak”
20
1.7 Sistematika Penyajian Secara garis besar, sistematika pembahasan studi yang akan dilakukan natinya disusun dengan urutan sebagai berikut: BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini menjelaskan tentang latar belakang, perumusan permasalahan, tujuan, ruang lingkup dan metodologi juga kerangka berfikir yang akan digunakan dalam studi ini.
BAB II
KAJIAN TEORITIS Pada bab ini akan menampilkan landasan teoritis yang nantinya akan digunakan untuk merekontruksi paradigma perencanaan dari sudut pandang perencanaan yang konvensional dan perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi
BAB III KONTRUKSI PARADIGMA Pada bab ini berisikan tentang tahapan kontruksi paradigma proses perencanaan dan penentuan sistem nilai dalam setiap tahapan paradigma perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi yang telah melewati proses transformasi. BAB IV KESIMPULAN Pada bab ini akan mencoba menyajikan beberapa rekomendasi hasil konstruksi paradigma proses perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi pada bab sebelumnya.
BAB II TELAAH HISTORIS DAN TEORI Dalam bab ini akan menyajikan beberapa landasan teoritis yang nantinya akan digunakan dalam mengkontruksi paradigma proses perencanaan. 2.1
Praktek Perencanaan di Indonesia Sebelum melihat permasalahan apa yang sebenarnya muncul pada
perencanaan di Indonesia, dapat dilihat sejarah perkembangan perencanaan yang berkembang di indonesia dari tahun 1970 sampai saat ini, yaitu sebagai berikut: Pada era tahun 1970’an, perencanaan di Indonesia melakukan beberapa usaha, terdapat beberapa pendekatan yang terjadi pada era ini yaitu : 1. Pendekatan Sektoral Perencanaan wilayah sudah mulai berkembang meskipun konsepnya sebatas untuk kepentingan sektoral dan diantara sektor-sektor masih berjalan masing-masing. Kurang memperhatikan visi misi wilayah secara menyeluruh dan saling berkaitan (tidak terintregrasi), yang bersifat normatif dan sentralisasi sehingga terjadi dissinkronisasi program per aspeknya. 2. Pendekatan Pengembangan Wilayah Berkembangannya paham regional analisis. Muncullah sebuah pemikiran hubungan sebab akibat/causal effects oleh Walter Isard dengan faktor-faktor utama pembentuk wilatah seperti fisik, sosial, budaya dan ekonomi. Berkembangnya model-model analisis seperti backward-foward linkage, urban-rural linkage, shift share, input-output, gini coefficient, economic threshold dan sebagainya. 3. Pengembangan Pembangunan Infrastruktur Sutami (1973) mengembangkan teori Walter Isard yang mendasarkan kepada interaksi antara manusia dan segala kegiatan sosial ekonominya dengan alam dan lingkungan juga lebih mengutamakan kepada sebuah pembangunan infrastruktur yang intensif. 4. Pengembangan Wilayah Berbasis Pada Sistem Kegiatan Ekonomi Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatan satuan-satuan wilayah ekonomi yang bertumpu pada teori Losch, yang juga mengadopsi teori
22
interdependency bahwa antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar (hubungan supply demand). Penggabungan pembangunan sektoral dengan pengembangan wilayah secara partial membuat paradigma yang menonjol ialah rasionalisme. 5. Koordinasi Antar Daerah Administrasi Mengintroduksikan pengelompokan wilayah perencanaan menjadi sebuah wilayah perencanaan yang lebih luas dengan penggabungan antara wilayah perencanaan yang satu dalam lingkup kecil dengan wilayah lainnya agar tercipta wilayah perencanaan yang lebih luas. 6. Sinkronisasi Program Pembangunan Konsep Top down dan bottom up planning yang mulai berkembang. Namun dilema dengan sentralisasi yang masih terjadi, dan intervensi politis pusat yang dititipkan pada pengembangan didaerah Pada era 1980’an, perencanaan di Indonesia semakin menuju kepada suatu konsep yang lebih baik, namun hal tersebut tidak di imbangi oleh praktek yang optimal dari para stakeholder. Ketidak optimalan peran stakeholder dalam perencanaan tidak seimbang dengan pengeluaran beberapa aturan baru yang mendukung praktek perencanaan di indonesia, hal ini menjadikan perencanaan di Indonesia hanya bersifat wacana saja. Berikut ini disenutkan beberapa usaha perbaikan praktek perencanaan di Indonesia: 1. Pengembangan Wilayah Dengan Melalui Program Pembangunan Perkotaan Pengklasifikasian kota menurut besaran penduduknya (metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil). Pengelompokan kota berdasarkan fungsi pelayanannya
(nasional,
interregional,
regional,
dan
lokal.
Praktek
perencanaan didasarkan oleh pengelompokan seperti diatas. 2. Pendekatan Lingkungan Mengoperasionalkan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan (UU no. 4/1982 tentang Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup). Adalah Suyono Sosrodarsono dengan pendekatan Ecological system, yaitu pengembangan wilayah dilakukan secara terpadu dengan mengakitkan program pembangunan jaringan pengairan, jaringan transportasi, dengan parasarana lainnya dilakukan secara terpadu secara satu kesatuan fungsional wilayah.
23
3. Desentralisasi Perencanaan Keluarnya kebijakan desentralisasi yang mulai diberlakukan, salah satunya dengan dikeluarkannya PP No. 14 tahun 1987 tentang penyerahan sebagian urusan kepemerintahan di bidang ke-PU-an kepada daerah. Implikasinya dari kebijakan tersebut yaitu diperlukan upaya pemberdayaan daerah. 4. Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang dan juga Sistem Informasi Geografis Pendekatan
perencanaan
secara
partisipatif
mulai
dikembangkan.
Sinkronisasi program pembangunan secara sektoral, yang memberikan kemudahan untuk investasi dan terjadi hubungan peran serta stakeholder dengan pemerintah. Datangnya arus globalisasi dari dunia barat sangat memiliki peran penting dalam menentukan apa yang terjadai dalam praktek perencanaan di era 1990’an. Sangat jelas sekali proses industrialisasi mempengaruhi proses perencanaan di Indonesia. Lahirnya undang-undang tata ruang cukup berarti bagi perencanaan di Indonesia, karena dengan itu perencanaan di Indonesia akan memiliki koridor tersendiri. 1. Globalisasi di Indonesia Peningkatan desentralisasi yang diikuti oleh pengembangan kawasan strategis dengan pemerataan ekonomi berbasis proses industrialisasi di berbagai kawasan di Indonesia. Berubahnya fungsi pemerintah dari yang semula
hanya
sebagai
penyedia
kebutuhan
perencanaan
menjadi
pemberdaya bagi keberlangsungan perencanaan. Penyederhanaan proses birokrasi yang dirasakan cukup rumit pada era sebelumnya membawa suasana kondusif bagi para stakeholder. 2. Pendekataan Wilayah Lahirnya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang membuat koridor tertentu bagi sebuh perencanaan yang terstruktur dan tersistematis. Spatial planning yang terintegrasi oleh konsep action plan. Faham fenomenologi mulai merambah sedikit demi sedikit di era ini pada perencanaan di Indonesia. Perencanaan saat ini dimaksud dengan perencanaan era 2000’an. Sebuah paradigma baru tentang otonomi daerah terlahir pada era ini. Menjawab
24
beberapa pertanyaan pada era-era sebelumnya, perencanaan era 2000’an mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan di beberapa sisi perencanaan. Dengan pengoptimalan peran stakeholder diharapkan mampu mendongkrak perencanaan indonesia kedalam suatu perencanaan yang ideal. Fenomena yang terjadi pada era ini lebih terfokus pada pembangunan yang menitik beratkan kesejahteraan, keterpaduan, mikro, dan local based. Model abstrak yang ideal (memperhatikan pluralitas), pandangan yang bersifat subjektif tidak lagi diacuhkan. Akibat itu semua perkembangan Bottom up approach dan partisipatory mulai diminati bagi perencanaan di Indonesia. Keterlibatkan semua stakeholder pada setiap tahapan perencanaan, sehingga secara otomatis memajukan kemampuan bertindak lokal dengan kerangka berfikir global. Konsep yang dikeluarkan Friedmann (1987) tentang social learning dan social mobilization mulai diterapkan walau tidak menyeluruh di semua kawasan di Indonesia. Hal tersebut membuat kemajuan yang cukup berarti dengan mulainya suatu perencanaan yang holistik walaupun belum optimal. 2.2
Kajian Teori Perencanaan
2.2.1 Peta Paradigma Perencanaan (Classic - Modern) Evolusi pemikiran pendekatan Perencanaan Wilayah mulai dilihat sejak tahun 1920’an, pada saat pemikiran pendekatan Perencanaan Wilayah dinyatakan
secara
pengembangan
formal
Wilayah
(Friedmann,
terus
1979).
berkembang
Konsep
mengikuti
Pendekatan perkembangan
permasalahan Wilayah, yang dimaksudkan untuk memberikan konsep yang lebih bermanfaat bagi pengembangan wilayah. Konsep pemikiran perencanaan Utopia (Utopia Planning) muncul pada tahun 1925, yang dipelopori oleh 3 pemikir, yaitu: Lewis Munford, Howard Odum, Thomas Adam. Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan membentuk suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam, dalam rangka menyesuaikan diri dan menghadapi perkembangan yang luar biasa dari suatu peradaban industri. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh keadaaan-keadaan yang semakin mengkhawatirkan pada saat itu, yaitu : ●
Pertumbuhan kota yang semakin tidak terkendali
●
Pengabaian dan penganiayaan budaya setempat
25
●
Degradasi sosial
●
Eksplorasi sumber daya alam yang merusak lingkungan Meskipun
konsep
ini
baik
untuk
menangani
dan
mengatisipasi
permasalahan wilayah namun konsep ini dinilai sangat Utopia dan tidak mudah dilanjutkan ke penerapannya di dalam praktek perencanaan. Didasari oleh kegagalan yang dialami perencanaan Utopia yang menganut dasar pemikiran dari aliran filsafat utopianiame idealisme, maka seiring dengan itu muncul suatu teori-teori perencanaan beru seperti Positive Planning, Normative Planning, dan Blue Print Planning, yang kesemuanya mengandung dasar pemikiran filsafat aliran positivisme. Karakter perencanaan pada era ini dengan melihat filsafat yang memayunginya dapt dikatakan bahwa perencanaan pada era ini dilandaskan pada “realitas” sebagaimana yang ditangkap oleh iderawi. Pertimbangan nilai (value judgement) bukan merupakan patokan pengetahuan pada saat itu. Lebih bersifat empiris materialisme, yaitu sesuatu yang menutup kemungkinan pandangan subjektif yang bersifat metafisik. Namun pada dasarnya teori perencanaan yang berkembang pada era ini masih menganut dasar Theory “for” Planning, Theories for planning, di sisi lain, menekankan pada hakekat dan fungsi perencanaan itu sendiri. Berkembang dalam semangat ‘critical approach’, aliran ini bersemangat mempertanyakan dan mengkritisi “apa arti perencanaan?” dan lebih jauh lagi “apakah perencanaan membawa manfaat bagi kehidupan? Dengan kata lain, aliran ini secara kritis mempertanyakan praktek-praktek perencanaan selama ini yang dipandang tidak atau belum membawa kebaikan bagi masyarakat kebanyakan dan justru memperparah ketidak-adilan. Aliran ini memandang bahwa perencanaan bukanlah bebas nilai dan bebas politik. Sistem politik dan kekuasaan yang timpang, aliran ini menekankan pada pentingnya emansipasi politik dan sosial dalam perencanaan. Aliran ini merupakan pelopor radical planning yang mencoba merumuskan kembali hakekat dan praktek perencanaan, namun dibalik sisi baiknya dari aliran ini bahwa telah menyelamatkan teori dari biasa pribadi atau ideologis dan konflik nilai, di sisi lain positivist telah memudar ketika melihat bahwa para teoritisi itu sendiri bekerja dari landasan nilai (dan bias) paradigma mereka. Dan tidak mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai tersembunyi. Perhatian kita jadi terfokus
26
pada suatu pendekatan yang bersifat teknis (cara), bukan pada tujuannya sendiri. Pada era selanjutnya mulai berkembang teori-teori perencanaan lainnya yang dipayungi oleh aliran filsafat rasionalisme yaitu seperti, Procedural Planning, Rational Comprehensive Planning. Teori tentang perencanaan mendominasi debat tentang perencanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Faludi (1973a), debat ini menekankan pada pertanyaan besar “bagaimana melakukan proses perencanaan yang baik dan benar?” Dengan kata lain, debat ini menekankan pada perencanaan sebagai satu proses dan berupaya untuk mencari proses yang terbaik dan teroptimal (procedural debate). Perencanaan sebagai proses, menekankan pada model- model analitis untuk pengambilan keputusan. Seperti yang telah dijleaskan terlebih dahulu bahwa praktek perencanaan yang tidak memandang sebuah pluralitas dan hanya bersifat materiilisme semata membuat praktek perencanaan Komprehensif Rasional kurang bisa diterima oleh Islam sendiri.suatu pendekatan teori perencanaan yang masih berpatokan pada dokumen
fisik
saja
yaitu
berupa
peta-peta
dan
kebijakan
untuk
di
implementasikan, membuat perencanaan ini bersifat kaku. Perencanaan Komprehensif
Rasional
tidak
begitu
memperhatikan
kenyataan
yang
menyebutkan bahwa praktek perencanaan itu berbeda sekali dengan teori perencanaan, dimana praktek perencanaan membutuhkan suatu pengetahuan diluar yang rasional (irrasional) juga. Suatu pengetahuan yang tidak akan didaptkan oleh cara berfikir rasional. Dengan melihat beberapa kelemahan pada era sebelum, muncullah teori perencanaan lain seperti Plural Planning, Politics of Planning, Social Planning, Implementation and Policy Pragmatisme Planning, The New Humanism, Political Economy Empowerment. Dari itu semua dapat dilihat bahwa filsafat yang memayunginya ialah pokok pikiran Fenomenologi. Sebuah filsafat yang mengusung suatu hal yang realistis dan mengemukakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem yang bebas nilai, namun realitas sosial ialah hasil dari interpretasi oleh para aktor masyarakat kedalam suatu realitas objektif. Dapat dikatakan bahwa praktek perencanaan ini hanya bersifat pemaknaan subjektif dari para aktor perencana. Walau begitu, sebenarnya pada era ini cukup memberikan
27
banyak hal positif dan juga masukan yang cukup banyak terhadap praktek perencanaan sebelumnya. Sebuah pergeseran atau transfomasi tradisi klasik dalam sebuah paradigma perencanaan yang berkembang dari masa ke masa, perencanaan klasik yang lebih bersifat fisik, statis dan sebagian besar berkenaan dengan pengaturan fisik kegiatan dalam ruang. Namun pada akhirnya sebvuah paradigma baru dalam bidang perencanaan melahirkan suatu perencanaan “modern” seperti yang diutarakan Friedmann (1987) bahwa “perencanaan modern diterapkan seruluh peermasalahan yang timbul dalam domain publik. Dimana masukan yang luas dalam perencanaan modern bukan hanya dari aktor perencana saja namun dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan berbeda (kalangan ilmuwan lingkungan, ekonom, organisasi kemasyarakatan)”. Hal tersebut membuktikan bahwa terdapat pergeseran dari perencanaan klasik sampai dengan perencanaan modern, dari perencanaan yang lebih bersifat fisik sampai perencanaan yang partisipatif dan terintregrasi. Sebagai akibatnya di dalam ilmu perencanaan selalu terjadi pergeseran paradigma. Menurut Ruthman dan Hugentobler, 1986, selama perkembangan telah terjadi pergeseran pada 5 periode., untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel II.1 tentang periode perkembangan teori perencanaan dan sifatnya. Sedangkan sejarah Ilmu Perencanaan (kota) bermula dengan terjadinya revolusi industri serta kemajuan teknologi yang terjadi di Eropa Barat pada abad XIX yang melahirkan suatu permasalan baru yang menyangkut eksistensi manusia didalam lingkungan alam tempat kehidupannya. Kemudian Inggris sebagai tempat pertama terjadinya revolusi industtri yang menerapkan Ilmu Perencanaan sehingga disebut sebagai “The mother planning”.
28
Tabel II.1 Periode Perkembangan Teori Perencanaan dan Sifatnya No. 1.
Periode Pra Paradigma
Tahun Akhir abad ke18 s.d. 1920’an
● ● ●
● 2.
Periode Pengembangan Paradigma
1920-1960’an
● ● ●
3.
Periode Paradigma Artikulasi
1940-1960’an
● ● ●
4.
Periode Paradigma Anomali
1960-1970’an
● ● ● ● ●
5.
Periode Paradigma Kritis
1970-1990’an dan berlanjut sampai sekarang
● ● ● ● ● ● ●
Sifatnya Belum ada konsesus mengenai paradigma dasar Terjadi persaingan antar scholl of thought Berkembang berbagai pendekatan perencanaan (City Beautiful, Master Planning, Park Movement, Reformasi Sosial dalam perumahan dan pemukiman, dan reformasi pemerintah kota Pra paradigma lebih bersifat beragam dan penuh gejolak Munculnya formulasi masyarakat yang menganut beberapa bentuk konsesus yang berkiblat pada faham tertentu Dalam perencanaan kota muncul pendekatan land use secara comprehensive Terbentuknya kewenangan perencanaan dan zoning, dan perencanaan land use disahkan sebagai salah satu kewenangan pemerintah daerah/kota Lebih condong kepada perencanaan fisik Penelitian Problem Solving, dan pengembangan toeri terpadu oleh paradigma tertentu (Rasionalis) Teori Rasionalis teraktualisasi lebih baik oleh Simon Linblom dkk. Kontribusi ilmu sosial terus bertambah Periode ini merupakan gejala paradoxial. Kebimbangan terhadap beberapa anomali muncul Adanya ketidak mampuan dalam memprediksi atau menguraikan permasalah krisis sosial, dan etnis Kritik terhadap teknik perencanaan Munculnya formulasi aksi sosial dan advocacy yang menerapkan taktik konflik Munculnya upaya memecahkan anomali dengan paradigma yang ada, maupun dengan merumuskan alternatif pemecahan Muncul kembali persaingan beberapa school of thought Fragmentasi antar school of thought makin luas Berbagai pilhan teori muncul diantara profesional Batas antar berbagai profesional semakin tidak jelas Perhatian terhadap perumusan teori semakin berkembang Konsep perencanaan sosial mengemuka lewat policy analysis school
Sumber : Ruthmann dan Hugentobler, 1986, dalam Mochtaram. K dan Sony H, 1999, Paradigma Keberpihakan dan Peran Profesi / Pendidikan Perencanaan
29
Gambar 2.1 Kerangka Lahirnya Ilmu Perencanaan PRA REVOLUSI INDUSTRI
REVOLUSI INDUSTRI
INDUSTRIALISASI & URBANISASI
DEGRADASI SOSBUD, SOSEK, FISIK BIOLOGIS
REFORMASI POLITIK
REFORMASI SOSIAL
REFORMASI LINGKUNGAN
KONSEPSI KEHIDUPAN MANUSIA YANG MANUSIAWI
FENOMENA IKUTAN DAN DAMPAK
PERKEMBANGAN DAN PERKEMBANGAN TEORI PERENCANAAN
DESKRIPTIF
EVOLUSI KOTA DAN PEMUKIMAN
FENOMENA DAN PERKEMBANGAN KOTA
PRESKRIPTIF
KONSEP TATA RUANG KLASIK
- TEORI - STRUKTUR
REFORMIS
UTOPIS
REVOLUSIONER
RADIKAL
INKREMENTAL
HOLISTIK
PEREMAJAAN KOTA
TEORI ORGANISASI TATA RUANG
PERENCANAAN TATA RUANG
KOTA IDEAL
30
Di Indonesia sudah sejak jaman Kolonial Belanda telah dikenal perencanaan kota. Sejak itu pula cara pendekatan metode dan teknik perencanaan kota yang dianut dan dikembangkan dalam rangka mengatasi permasalahan perkotaan didasari oleh Ilmu Perencanaan Kota yang pernah dikembangkan di negara-negara industri maju dimana segala sistemnya relatif telah mapan. Ilmu Perencanaan ruang mulanya diembrioi oleh Ilmu Perencanaan Kota yang munculnya dilatar belakangi dengan kondisi yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di perkotaan. Di awali oleh aliran penduduk dari daerah pedesaan ke daerah-daerah pemusatan industri yang kemudia dinamakan kota, mulai muncul secara menonjol sejak abad industri teknologi ini. Kebutuhan fasilitas perumahan dikota, kebutuhan tanah untuk perluasan kota, kebutuhan fasilitasfasilitas kota baik jasmaniah maupun rohaniah dan lain-lainnya telah meningkat. Disamping itu didalam kota telah muncul daerah-daerah dengan kepadatan tinggi atau penggunaan tanah diperkotaan yang tidak teratur. Keadaan tersebut didalam
banyak
hal
telah
memerosotkan
nilai-nilai
kemanusiaan
yang
menyangkut aspek fisik, susunan sosial maupun moralitas. Selanjutnya
kegiatan
permesinan
dengan
teknologi
baru
makin
menimbulkan pengotoran udara, air maupun suara ditambah lagi dengan permasalahan laulu lintas (pergerakan). Sekarang kita harus menghadapi bukan hanya memecahkan masalah kota sebagai lingkungan yang terpisah dari daerah sekitarnya seperti halnya pada jaman dahulu. Usaha pemecahan masalah kota akan memerlukan pemikiran yang luas dari sejumlah masalah yang kompleks yang menyangkut aspek-aspek kehidupan sosial, ekonomi, kultural, fisik serta aspek-aspek politik dan administrasi. Suatu kota dapat saja berkembang atau tumbuh dengan sendirinya dengan tenaga-tenaga potensial yang ada tanpa pengarahan. Tetapi kemudian para pemikir menganggap ada cara-cara untuk memberikan pengarahan serta tujuan perkembangan dan pertumbuhan tadi. Hal inilah yang menyebabkan munculnya ilmu dan perkembangan Ilmu Perencanaan Ruang (Kota, dan lainnya) dalam jajaran ilmu-ilmu untuk kesejahteraan umat manusia. Selajutnya untuk lebih jelas lagi pada bagian ini akan dejelaskan tentang pengaruh intelektual dalam teori perencanaan di Amerika. Dari bagan dibawah ini dapat dilihat bahwa terjadi tiga bagian besar, yaitu : bagian paling kiri berbicara
31
tentang ideologi konservatif, bagian kanan berbicara tentang utopis, sosial anarkis dan radikal, bagian tengah berbicara tentang pertemuan antara yang ideologi konservatif dan utopis sosial anarkis. Ideologi konservatif lebih didominasi oleh konsekuensi akan kedudukan teknis suatu substansi. Model yang diutamakan dalam hal ini ialah tentang model kualitatif yang lebih bersifat komputerisasi dan robotnik. Yang masuk kedalam bagian ini ialah System Analysis, System Engineering, Neo Classical Economic, Public Administration. Utopis, Sosial anarkis, dan radikalisme, lebih berbicara tentang transformasi atau trasenden dari adanya hubungan yang terjadi atara penguasa dan masyarakat sipil. Dominasi penguasa ditekan untuk menaikan dominasi masyarakat sipil. Orientasi pemikiran ini lebih mengacu pada pemikiran Marxisme. Bagian
tengah
yang
berbicara
tentang
pertemuan
dua
bagian
sebelumnya, lebih berorientasi pada penekanan perencanaan sebagai ilmu sosial yang mengusung pemikiran Scientific Management. Dengan pemikiran yang rasional untuk mencapai demokrasi yang sehat. Pada bagian ini diutarakan tentang ilmu pengetahuan sosial yang berbicara mengenai rasa kepedulian terhadap masyarakat sosial. 2.2.2 Teori Perencanaan Sebelum masuk kepada sebuah teori perencanaan yang selama ini berkembang baik itu di Indonesia ataupun di negara lain, kita lihat segi kekhususan fungsional yang dijadikan pembeda dalam sebuah perencanaan. Karena dalam memahami lebih jauh tentang perencanaan yang ada dan digunakan dalam konsep perencanaan pembangunan sekarang perlu diuraikan lebih lanjut segi-segi yang ada dalam perencanaan. Dalam segi kekhususan fungsional, perencanaan dapat dibedakan kepada empat bagian yaitu: a. Perencanaan Ekonomi Bertujuan
meningkatkan
kemakmuran
dan
kesejahteraan
melalui
kebijaksanaan penurunan inflasi, penetapan upah, alokasi public investment, dan sebagainya. Kemudian secara khusus muncul pula tujuan lain yaitu mengurangi ketidak seimbangan kesejahteraan antar region dan alokasi sumber daya terhadap sektor dan region.
32
33
b. Perencanaan Fisik Jenis perencanaan ini sering disebut dengan istilah lain yaitu town dan country planning, spatial planning, urban dan regional planning, land use planning. Perencanaan ini bertujuan untuk menciptakan struktur ruang dan tata guna lahan yang lebih baik. c. Perencanaan Sosial budaya Menyangkut kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok dalam kerangka sosial, berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur sosial penduduk, rumah tangga dan keluarga, serta efeknya terhadap pola pemukiman/ perumahan dan keseluruhan jalan hidupnya. d. Perencanaan Lingkungan Penekanan diletakkan pada perencanaan untuk manusia dan lingkungan alamnya, yang menyangkut apa dan bagaimana interaksi antara manusia dengan lingkungan, nilai hakekat lingkungan potensi yang ada, kendala yang ada dalam lingkungannya, dan lain-lain. Dalam penjelasan diatas mengenai bentuk-bentuk perencanaan dari beberapa segi, pada hakekatnya tidak dapat terpisahkan satu sama lain. Hal tersebut dikarenakan, semua komponen yang telah dijelaskan diatas adalah sebuah kesempurnaan bagi perencanaan. Namun pada prakteknya masih saja ada atau terdapat komponen yang hilang atau terlewat. Hal ini dapat mengakibatkan tidak optimalnya sebuah perencanaan. Berangkat dari pembedaan perencanaan dari beberapa segi kehidupan atau
komponen
aktifitas
masyarakat,
maka
berdasarkan
tipe-tipenya
perencanaan dapat dibedakan menjadi beberapa tipe perencanaan, yaitu: a. Blueprint Planning : merupakan tipe perencanaan yang dipengaruhi oleh cara-cara kerekayasaan (engineering) dengan memiliki karakteristik : ●
Kecilnya uncertainty (ketidaktentuan) dan hanya sedikit exogenous variable yang terkait
●
Tujuannya jelas sekali dan tahapannya tersistematis secara nyata
●
Terdiri atas segenap informasi yang dibutuhkan untuk implementasi
b. Process Planning : merupakan sebuah tipe perencanaan yang banyak ketidaktentuan dalam the operative environment (yaitu dampak dari tujuan serta dampaknya terhadap variabel luar yang tidak perlu. Penetuan pilihan yang
didasarkan
dengan
melihat
subjek-subjek
lain
yang
akan
34
mempengaruhi masalah yang dihadapi. Dalam menentukan kebujakan lebih mengutamakan sesuatu yang dianggap sebagai prioritas yang tinggi. c. Rational Comprehensive Planning: merupakan sebuah perencanaan dengan hasil berdasarkan memilih alternatif terbaik dengan melihat kondisi yang ada. Namun sebelum memilih alternatif terbaik, dasar pertimbangan lainnya yaitu harus dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai. d. Partisipatif Planning : menciptakan kesempatan yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat secara aktif mempengaruhi dan memberi kontribusi pada proses pembangunan dan berbagi hasil-hasil pembangunan secara
adil.
Dalam
perencnaan
partisipasi
mencoba
menciptakan
kebersamaan dalam pembuatan keputusan yang berhubungan dengan penentuan tujuan, penyusunan kebijakan-kebijakan dan perencanaan serta penerapan program pembangunan ekonomi dan sosial. Bentuk masyarakat yang kemudian diharapkan muncul dari pendekatan ini adalah masyarakat yang mandiri, mampu mengenali masalah dan potensi yang dimiliki, mampu mengelola dan mengembangkan sumberdaya yang dikuasai untuk memecahkan persoalan yang dihadapi; serta masyarakat yang mampu berpikir jangka panjang, produktif dan mampu merencanakan masa depan. Ada beberapa azas yang diterapkan dalam konsep ini yaitu: ● Solidaritas, yaitu sikap dan semangat untuk membantu dan menyokong antara pelaku pembangunan ● Partisipasi, yaitu perwujudan dari kesepakatan dan komitmen terhadap program dimana setiap pelaku secara aktif melibatkan diri ● Kemitraan, merupakan sinergi dan pelaksanaan program dimana pelaku dengan tugas dan perannya masing-masing bekerjasama dengan mendudukkan diri dalam semangat kesejajaran dan saling niembantu
● Memampukan, yaitu kegiatan pembangunan harus dapat rnengarahkan pelaku pembangunan sehingga dapat secara mandiri mengembangkan diri.
● Pemerataan, ditujukan pada distnibusi yang proporsional dalam kesempatan memanfaatkan peluang pembangunan bagi semua warga masyarakat. e. Disjointed Incrementalism Planning : sebuah perencanaan yang sasaran dan tujuan yang digariskan dalam perencanaan bersifat langsung pada
35
kebutuhan pengembangan suatu unsur atau sub sistem tertentu saja. Selain itu model ini juga dapat menghemat dana, waktu dalam penelaahan, analisis maupun proses teknis perencanaannya. Ciri dari model Disjointed Incrementalism (perencanaan terpilih) ●
Tidak terlalu ditunjang oleh penelaahan serta evaluasi alternative rencana secara menyeluruh
●
Hanya mempertimbangkan bagian-bagian tertentu dari kebijaksanaan umum yang terkait langsung dengan unsur atau sub sistem yang diprioritaskan
●
Berdasarkan batasan lingkup perencanaan, maka perencanaan dan pelaksanaan model ini lebih mudah.
f.
Normative Planning : merupakan perencanaan dimana perencana memiliki otonomi dan dimungkinkan penekanan aspek tanpa campur tangan politisi. Hal baik dalam meminimalisasi kemungkinan intervensi politis yang berlebihan. Namun terkadang hal ini mampu diterapkan pada suatu sistem pemerintahan yang didalamnya sendiri sudah bak. Lain halnya jika masih terdapat sebuah kepentingan yang dominan dari para “penguasa”.
g. Functional
Planning
:
perencana
hanya
melakukan
studi
tentang
bagaimana suatu tujuan yang telah ditetapkan (oleh politisi) dapat dicapai berdasarkan
kombinasi
perangkat
yang
sebaik-baiknya.
Perencana
diposisikan selayaknya seorang birokrat yang mengharuskan merencana sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan sebelumnya. Hal ini sangat memungkinkan banyaknya intervensi politis yang masuk dalam sebuah produk perencanaan nantinya. h. Mixed Scanning Planning : mencoba menggabungkan antara Rational Comprehensive Planning dengan Incrementalism., yang menggambarkan komponen keduanya kedalam satu konsep. (Marios Camhis, 1979). Pendekatan perencanaan dengan metode Mixed Scanning memberikan keuntungan sendiri dalam prosedurnya yang bersifat tidak eksak, tidak utopian, dan masih mungkin dilakukan yang kesemuanya mewakili pemikiran dari rasionalisme, juga tidak kuno (konservatif), memiliki inovasi, tidak dipaksakan dan untuk kepentingan umum yang kesemuanya tadi mewakili pemikiran Disjointed incrementalism.
36
Strategi yang dilakukan didalam menjalankan mixed scanning planning ialah sebagai berikut: ●
Mencoba mendaftar semua alternatif yang relevan
●
Memilah nya kedlam suatu pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan
●
Mengulangi kembali proses seleksi sampai dengan menyisakan satu alternatif yang terbaik
●
Setelah teriplementasi. Evaluasi tahapan yang telah dilalui. Tabel II.2 Penjelasan Tentang Substansi dan Proses yang Terkandung dalam sebuah Teori Perencanaan
Teori Perencanaan
Substansi
1. BluePrint Planning
● Cara-cara engineering ● Menitikberatkan pada objek fisik rencananya ● Jenis variabel yang terkait tidak banyak
● Tahapan pembangunan dijabarkan saling berurutan ● Terdiri atas kumpulan informasi yang sudah dirumuskan sesuai kebutuhan untuk implementasi
Proses
2. Procces Planning
● Menitik beratkan pada utilitas kebijakan yang digunakan terhadap objek fisiknya
3. Rational Comprehensive Planning
● Mengutamakan lingkungan manusia dalam kehidupan seharihari ● Pengetahuan akan fakta, nilai tanggung jawab, perseptif waktu, dan pengetahuan tentang ketidak pastian menjadi sangat penting
● Penentuan pilhan didasarkan dengan melihat subjek yang lainnya, yang akan mempengaruhi masalah yang dihadapi ● Dalam menentukan kebijakan mengutamakan prioritas tertinggi ● Menetapkan sasaran perencanaan ● Identifikasi alternatif kebijakan ● Evaluasi terhadap komponen untuk capaian tujuan dengan melihatb konsekuensi yang didapat dengan hasil alternatif terbaik ● Implementasi keputusan hasil pertimbangan akan konsekuensi yang timbul
4. Disjointed Incrementalism Planning
● Tidak terlalu ditunjang oleh penelaahan serta evaluasi alternative rencana secara menyeluruh ● Hanya mempertimbangkan bagian-bagian tertentu dari kebijaksanaan umum yang terkait langsung dengan unsur atau subsistem yang diprioritaskan ● Pengambilan keputusan melalui model ini bersifat remedial yang ditujukan untuk mengatasi masalahmasalah yang dihadapi pada saat itu.
● Menolak kemungkinan terjadinya konsensus dalam isu perencanaan yang luas ● Konsensus hanya dapat dicapai pada hal-hal yang menghendaki perubahan secara bertahap ● Diperlukan mekanisme perencanaan yang bersifat desentralisasi ● Pengambilan keputusan menekankan perhatian pada kebijaksanaan yang telah berlaku ● Hanya mempertimbangkan sejumlah kecil alternative kebijaksanaan, hanya sejumlah kecil konsekuensi penting saja yang dievaluasi. ● memperhitungkan penyesuaian tujuan dan cara yang ditempuh, sehingga masalah dapat dihadapi dengan mudah.
37
5. Mixed Scanning Planning
6. Normative Planning
7. Funcional Planning
8. Partisipatif Planning
● Penggabungan antara Rational Comprehensive dan Disjointed Incrementalism ● Tidak Eksak, tidak utopian, dan masih mungkin dilakukan ● Tidak konservatif (kolot), untuk kepentingan publik, memiliki inovasi dalam penyelesaiannya dan tidak dipaksakan ● Otoritas perencana tinggi, melakukan rencana sesuai idealisme perencana ● Penekanan campur tangan politisi yang berlebihan ● Perencana hanya melakukan studi tentang tujuan yang telah ditetapkan (oleh Politisi) untuk dapat dicapai ● Intervensi politis sangat berpengaruh
● Mencoba mendaftar semua alternatif yang relevan ● Memilah nya kedlam suatu pilihan yang memungkinkan untuk dilakukan ● Mengulangi kembali proses seleksi sampai dengan menyisakan satu alternatif yang terbaik ● Setelah teriplementasi. Evaluasi tahapan yang telah dilalui.
● Peran aktif masyarakat turut diperhitungkan dalam proses perencanaan ● Masyarakat diajak untuk mengenali masalah, mengetahui potensi danagar lebih mandiri dalam pelaksanaan pembangunan
● Pembuatan keputusan yang berhubungan dengan penentuan tujuan, penyusunan kebijakan-kebijakan dan perencanaan serta penerapan program pembangunan ekonomi dan sosial melibatkan masyarakat ● Peran pemerintah sebagi mitra dalam pelaksanaan perencanaan ● Menciptakan kesempatan kepada masyarakat secara aktif mempengaruhi dan memberi kontribusi pada proses pembangunan dan berbagi hasil-hasil pembangunan secara adil
● Perencana melakukan tinjauan terhadap konsep perencanaan yang ideal untuk sebuah perencanaan ● Kepentingan atau intervensi politis dihilangkan ● Ketentuan normatif diterapkan dalam sebuah perencanaan ● Posisi perencana hanya sebagai birokrat yang mengharuskan merencana sesuai dengan arahan yang telah ditetapkan sebelumnya ● Kepentingan politis harus diterapkan dalam sebuah perencanaan ● Kebijakan yang dihasilkan buah dari posisi perencana tersebut dan beberapa kepentingan “penguasa”
Sumber: Hasil rangkuman Beberapa Literatur
Perencanaan
merupakan
satu
pengertian
yang
kompleks
untuk
didefinisikan. Apabila dituruti, dapat disusun daftar panjang definisi tentang perencanaan. Definisi paling sederhana tetapi mempunyai kekuatan eksplanasi yang dalam sesungguhnya mengatakan planning sebagai “from knwoledge to action.’ Kekuatan perencanaan terdapat pada orientasinya untuk mewujudkan pengetahuan dan pemahaman menjadi tindakan. Perencanaan tidak saja berhenti pada pengetahuan, ide atau gagasan, tetapi juga pada bagaimana ide tersebut diwujudkan. Perencanaan, dengan demikian, merupakan satu disiplin yang sarat dengan “prescription” yakni upaya untuk mencari solusi terhadap satu
38
persoalan.
Perencanaan
memanglah
terkait
erat
dengan
‘dunia
nyata’
perencanaan berorientasi pada masa depan dan praktek. Dalam terminologi perencanaan, ide atau gagasan ini disebut sebagai tujuan/goals. Menentukan tujuan/goals setting, dengan demikian, merupakan satu tahap perencanaan yang sangat penting. Tujuan, tentunya dirumuskan berdasar satu kondisi tertentu, dan biasanya sesuatu yang kurang kurang/tidak memuaskan (unsatisfied condition). Kondisi yang kurang atau tidak memuaskan ini bisa disebut sebagai persoalan/problems. Oleh karena itu sebelum dirumuskan tujuan atau gagasan, biasanya dimulai dengan perumusan tentang apa persoalan yang dihadapi (problems identification/formulation) Gap antara tujuan dengan persoalan ini dijembatani dengan serangkaian tindakan yang dalam terminologi perencanaan disebut sebagai means. Perencanaan berarti harus mengandung serangkaian tindakan, tentunya yang efektip dan efisien, untuk membawa satu perubahan dari kondisi atau persoalan tertentu ke kondisi yang diinginkan (tujuan/goals). Oleh karena perencanaan mencoba menghubungkan antara pengetahuan dan tindakan, dimensi penting perencanaan adalah waktu, yang menghubungkan kondisi saat ini dengan satu masa dimana ide atau gagasan tersebut dapat diujudkan. Kerangka waktu dalam perencanaan dapat bersifat jangka pendek, menengah, maupun panjang, sesuai tujuan atau gagasan yang dinginkan. Persoalannya adalah, apabila secara generik perencanaan merupakan perwujudan dari “knowledge to action” dan dapat diterjemahkan secara sederhana dalam skema proses di atas, pada tataran yang lebih konseptual masih tersisa banyak pertanyaan antara lain: bagaimana keseluruhan proses perencanaan tersebut dilakukan dengan baik dan benar? Lebih jauh, sebagaimana diingatkan Alexander (1996) perlu selalu dipertanyakan adakah prinsip-prinsip dan norma-norma yang dapat dipakai untuk merumuskan bahwa tujuan atau gagasan yang hendak dicapai tersebut benar dan baik? Dan tidak kalah penting, untuk siapa tujuan tersebut dikatakan benar dan baik? Upaya-upaya untuk menjawab tiga pertanyaan di atas berkembang menjadi tiga kategori debat yakni: (1) theory of planning; (2) theory for planning; dan (3) theory in planning.
39
Masing masing dapat dijelaskan sebagai berikut. Theory of planning atau teori tentang perencanaan mendominasi debat tentang perencanaan. Sebagaimana dikatakan oleh Faludi (1973a), debat ini menekankan
pada
pertanyaan
besar
“bagaimana
melakukan
proses
perencanaan yang baik dan benar?” Dengan kata lain, debat ini menekankan pada perencanaan sebagai satu proses dan berupaya untuk mencari proses yang terbaik dan teroptimal (procedural debate). Perencanaan sebagai proses, menekankan pada model- model analitis untuk pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, perencana lebih dilihat sebagai ‘problem solver’ yang memberikan alternatip-alternatip
solusi
terhadap
persoalan
yang
telah
dirumuskan
sebelumnya. Praktek perencanaan yang berada di bawah kerangka ini antara lain model perencanaan rasional komprehensip yang dipromosikan oleh Faludi (1973a), atau juga mixed scanning oleh Etzioni (1973). Theory in planning merupakan aliran yang menekankan pada aspek substansif perencanaan. Debat dalam aliran ini ditekankan pada upaya-upaya untuk mencari satu output atau bentuk ideal perencanaan, salah satunya kota. Dalam kategori ini, perencana meminjam banyak ilmu dan teori dari berbagai disiplin untuk memperkaya upaya-upaya dalam menghasilkan perencanaan yang berkualitas dan ideal, bahkan cenderung utopian. Salah satu pertanyaan besar yang dicoba jawab dalam aliran ini menyangkut “bagaimana bentuk kota yang ideal.” Dalam konteks ini banyak perencana, kemudian, mencoba memanfaatkan berbagai ilmu lain (misalnya: ilmu sistem, ilmu estetika, dan ilmu ekologi) untuk merumuskan jawaban atas kota yang ideal. Perencana dalam hal ini berperan sebagai normative agent yang mempunyai posisi kuat dalam mengarahkan bentuk dan wujud satu kehidupan termasuk kota. Ide tentang Garden City oleh Ebenezer Howard merupakan contoh klasik kelompok ini. Begitu pula ide- ide tentang sustainable city atau green city juga dapat dikategorikan masuk dalam kerangka ini. Theories for planning, di sisi lain, menekankan pada hakekat dan fungsi perencanaan itu sendiri. Berkembang dalam semangat ‘critical approach’, aliran ini bersemangat mempertanyakan dan mengkritisi “apa arti perencanaan?” dan lebih jauh lagi “apakah perencanaan membawa manfaat bagi kehidupan? Dengan kata lain, aliran ini secara kritis mempertanyakan praktek-praktek perencanaan selama ini yang dipandang tidak atau belum membawa kebaikan
40
bagi masyarakat kebanyakan dan justru memperparah ketidak-adilan. Aliran ini memandang bahwa perencanaan bukanlah bebas nilai dan bebas politik. Dan karena sistem politik dan kekuasaan yang timpang, aliran ini menekankan pada pentingnya emansipasi politik dan sosial dalam perencanaan. Aliran ini merupakan pelopor radical planning yang mencoba merumuskan kembali hakekat dan praktek perencanaan. Sebagaimana kita dapat pelajari dari literatur, perkembangan tiga aliran perencanaan di atas telah membuahkan berbagai model dan praktek perencanaan. Beragam model dan praktek ini membawa kita pada pemahaman yang semakin meluas dan berkembang tentang apa itu perencanaan. Meskipun demikian, pengalaman menunjukkan bahwa keragaman model dan praktek perencanaan tidak selalu menjamin hasil perencanaan yang benar, baik, dan bermanfaat, khususnya bagi rakyat kebanyakan. Dalam konteks ini menjadi penting bagi perencana untuk selalu meninjau kembali aliran-aliran dalam perencanaan, karena setiap aliran akan berimplikasi pada proses dan hasil perencanaan itu sendiri. Setiap aliran juga dikembangkan berdasar landasan filsosofis tertentu, oleh karenanya mempunyai dasar-dasar yang khusus pula tentang
keadilan,
persamaan,
dan
juga
peran
perencana
itu
sendiri.
Sebagaimana telah diuraikan oleh Friedmann (1987) terdapat empat aliran dalam teori perencanaan yakni: 1) Social Reform Social reform merupakan arus utama teori dan praktek perencanaan. Aliran ini melihat bahwa perencanaan adalah satu bentuk atau upaya rasionalilmiah untuk mewujudkan satu ide atau tujuan tertentu – biasanya tujuan negara/pemerintah. Tiga hal penting dalam aliran social reform yakni: adanya satu tujuan tunggal – biasanya merupakan tujuan negara/penguasa, penggunaan metode ilmiah rasional, dan usaha yang efisien. Social reform percaya bahwa terdapat tujuan tunggal masyarakat yang dapat dirumuskan dan diwujudkan melalui mekanisme ilmiah-rasional. Aliran
ini
meyakini
peran
metode
ilmiah-rasional
dalam
proses
pengambilan keputusan. Karena begitu percaya pada metoda rasional, aliran ini cenderung terlalu melihat perencanaan sebagai proses teknis yang bebas nilai. Proses perencanaan juga diyakini bebas politik sehingga dikritik sebagai tidak
41
peka terhadap struktur politk dan sosial yang biasanya timpang. Keadilan dan persamaan bukan merupakan agenda utama aliran ini. Meskipun banyak kritik dan koreksi terhadapnya, aliran social reform terus mendapat pengikutnya dan dipraktekan di banyak belahan dunia. 2) Policy Analysis Merupakan respon dan pengembangan konsep social reform, policy analysis menekankan pentingnya proses-proses pengambilan keputusan yang rasional dan sistematik. Dengan asumsi tidak adanya tujuan yang bertentangan, policy analysis berasumsi bahwa jika barang-barang publik dimaksimalkan ketersediannya, akan menjamin kesejahteraan sosial. Dalam kerangka pemikiran ini tidak ada penjelasan eksplisit tentang keadilan dan karena berasumsi bahwa perencanaan rasional akan menjamin keberadaan barang-barang publik. Dalam pemikiran ini, proses perencanaan menjadi privilage perencana. Peran perencana adalah sebagai teknokrat yang menyediakan data dan informasi, membentuk model- model penjelasan dan memberikan alternatifalternatif cara untuk mencapai tujuan. Dalam kerangka ini perencana cenderung bekerja untuk kepentingan pemegang kekuasaan, baik itu kapital ataupun pemerintah. Keadilan dan persamaan bukan isu utama dalam pola pikir ini karena keduanya dipandang sekedar sebagai efek dari keseimbangan pasar. Dengan kata lain, keadilan dan kesamaan bukan tujuan utama perencanaan, karena tujuan utama perencanaan adalah efisiensi pasar dan maksimalisasi hasil. 3) Social Learning Sebagai reaksi atas kegagalan pola pikir social reform dan policy analysis, terutama dalam merespon kebutuhan masyarakat kebanyakan, dikembangkan pemikiran social learning. Ide dasar social learning bertumpu pada pentingnya menjembatani jurang antara model- model pemikiran rasional dengan ide-ide popular dan aspirasi masyarakat, melalui proses proses transaktip antar perencana dengan masyarakat – oleh karena itu social learning disebut juga sebagai transactive planning. Dengan demikian, peran perencana disini lebih merupakan mediator atau fasilitator yang secara ulang-alik bergerak
42
antara pengetahuan dan realita, antara rasionalitas-ilmiah formal dengan khasanah pengetahuan dan ketrampilan hidup masyarakat awam. Perspektif
ini
menekankan
pada
realitas
kekuatan
dan
aspirasi
masyarakat awam dalam menyusun rencana. Dengan demikian aliran social learning menempatkan keadilan dan kesamaan sebagai prioritas utama perencanaan. Oleh karena penekanannya pada hak masyarakat awam, aliran ini mementingkan proses-proses perencanaan yang demokratis dan meyakini bahwa pluralitas masyarakat harus diakomodasi dalam perencanaan. Social learning meyakini tidak adanya tujuan tunggal, terutama oleh karena pluralitas masyarakat yang ada. Oleh karena itu social learning mementingkan proses negosiasi yang demokratis dalam proses perencanaan. Peran perencana, demikian lebih sebagai moderator, fasilitator, dan aktifis sosial. 4) Social mobilization Social mobilization muncul sebagai upaya untuk secara radikal untuk merubah struktur kekuasanaan yang timpang dan tidak adil. Social mobilization, dengan demikian menekankan pada proses-proses politik untuk mencapai keadilan dan kesamaan politik, ekonomi, dan sosial. Aliran ini cenderung menegasi peran pemerintah serta tidak percaya pada model-model scientifik rational karena model ini cenderung dimanipulasi untuk memepertahankan kekuasaan dan status quo. Dengan kata lain social mobilization menekan akan pada upaya-upaya penggalangan kekuatan sosial, ekonomi, dan politik rakyat untuk merubah hegemoni power yang selama ini dikuasai pemerintah dan kapital. Peran perencana dalam konteks ini adalah sebagai aktifis social-politik yang membantu dan mendampingi masyarakat untuk mendapatkan hak-haknya. Aliran ini mengakomodasi pemikiran-pemikiran baru yang radikal dalam perencanaan dan membawa perubahan yang signifikan terhadap pemikrian perencanaan yang sebelumnya sangat rasional-positivistik. Contoh praktek aliran ini adalah advocacy planning (Davidof, 1973). Pengembangan lebih lanjut dari advocacy planning dikemukakan oleh Forester dan disebut sebagai ’progressive planning’ (Forester, 1989). Sementara Friedmann sendiri mengusulkan model perencanan
empowerment
(1992)
yang
menekankan
pada
otonomy
komunitas/lokal, demokrasi, dan proses pembelajaran sosial yang menerus.
43
Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by people sebagai sifat perencanaan dalam social learning. Ada dua rational kunci bagi peran serta masyarakat, yaitu : 1. Etika, yaitu bahwa di dalam masyarakat demokratik, mereka yang kehidupan,
lingkungan
dan
penghidupannya
dipertaruhkan
sudah
seharusnya dikonsultasikan dan dilibatkan dalam keputusan-keputusan yang akan mempengaruhi mereka secara langsung. 2. Pragmatis, yaitu atas program dan kebijakan seringkali tergantung kepada kesediaan orang membantu kesuksesan program atau kebijakan tersebut Tabel II.3 Empat Aliran Teori Perencanaan dan Isu-isu Moral yang Melandasinya
Aliran Perencanaan
1.Social Reforms
2.Policy Anaysis
3.Social Learning
4.Social Mobilization
Contoh Praktek
Isu-isu Moral-etika Landasan moral-etika Keadilan
Masterplan, Land use, City Beautiful/ Garden City
System Approach, Incrementalism, Mixed scanning
Transactive planning, Communitarian
Radikal Planning, Advocacy, Feminism, Environmental Planning
Universalism, Absolutism, Rationality, Penekanan pada hasil/output Universalism, Utilitarianism, Rationality, Penekanan pada proses Relativism, Culturalism, Penekanan pada perbedaan/ Keragaman Radicalist Dekonstruksi Postmodernism Subjectivism
Kurang peka
Kurang peka
Utama
Utama
Kesejahteraan
Kesejahteraan bersama yang dirumuskan oleh negara
Kurang peka
Utama
Utama
Kekuasaan
Peran Perencana
Hirarkis, Memusat di pemerintah, Pemerintah sebagai penyedia /penjamin
Birokrat, Teknokrat, Designer
Pemerintah sebagai regulator
Prakmatis, Teknokrat, Analis,
Egalitarian, Reciprocal, Konsensus/ negosiasi
Translator, Komunikator, Mediator, Aktivis sosial
Konfrontasi thdp pemerintah Emansipasi, Penegasian thdp pemerintah
Advocacy Mobilisator
Sumber: Setiawan, 1996 disarikan dari berbagai sumber, khususnya Hendler (1995); Friedmann (1987) dan Harper dan Stein (1992, 1995)
44
Teori Advocacy Planning Teori ini dilandasi oleh sejarah kehidupan bangsa Amerika, dengan berbagi konflik seperti: a. Diskriminasi Rasial (kulit berwarna) b. Ketidakadilan Sosial ( Gap Tingkat Sosial dari Ras) c. Kemiskinan (ESP. Kulit hitam)
DAVIDOFF: Keadilan
dalam
alokasi
kesejahteraan
social,
pengetahuan,
dan
keterampilan. Pergesaran pendekatannya adalah: Non Teknis dan Sosial. Davidoff beranggapan bahwa perlu kondisi “URBAN DEMOCRACY” yang mapan yang setiap warganegara berperan aktif dalam pengambilan proses tranformasi: “PUBLIC POLICY”.
FRIEDMAN: Friedman
memandang
bahwa
tidak
efektifnya
komunikasi
karena
menganggap dirinya superior dibandingkan kliennya. Sedangkan masyarakat beranggapan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Karena pendapat ini Friedman mengusulkan transsactive sebagai penghubung. Dalam perencanaan transactive didasarkan pada efektifitas antara perencana dan klien, pertama adalah tingkat komunikasi person centered yang berhubungan dengan segala macam tingkah laku manusia. Yang kedua subjectmatter-related communication yang didukung oleh hubungan primer dari dialog serta tidak untuk dipahami secara sendiri-sendiri. PERENCANA PERENCANA (EXPERTTIES) (EXPERTTIES)
MASYARAKAT MASYARAKAT (PENGALAMAN) (PENGALAMAN)
Jembatan Komunikasi Yang Jembatan Yang Bersifat Aktif Komunikasi dan Timbal Balik Bersifat Aktif dan Timbal Balik Gambar 2.3 Advocacy Pluralism dan Transactive Planning based on The Live of Dialogue
45
Karakteristik The Live of Dialogue: 1. Originalitas Interactive dialog yang berdasarkan hubungan antara kedua belah pihak yang dilakukan atas dasar ‘keaslian’ dari setiap pendapat orang yang terlibat. 2. Objective dalam tindakan yang berdasrkan pada pemikiran, pertimbangan moral, perasaan yang bersatu sebagai satu kesatuan. 3. Komplemanter konflik bukan kendala 4. Ekspresi – Subtansi Perencanaan, berdasarkan pada komunikasi yang ditunjang dengan gestures yang lain sama pentingnya dengan subtansi komunikasi. 5. Interest dan Komitmen harus dalam kesepahaman yang seimbang 6. Interactive Hubungan timbale balik 7. Time Frame Equal didasarkan pada satuan waktu yang setara, adanya suatu hubungan ‘sekarang’ serta kondisi ‘pada saat ini’, jangka pendek, jangka panjang dll. Contoh konsep Advocacy Pluralism dan Transactive Planning yang biasa diterapkan dalam sebuah perencanaan sosial ialah sebagai berikut: ●
Interactive Decission Making
●
Partisipatory Planning
●
Human Action Modek (Jans Erich)
●
Bottom Up Planning Approach (UU4/81)
●
Partisipatory Rural Appraisal (PRA)
●
Community Based Development Perencanaan sebagai sebuah proses, yang menekankan lebih sebagai
proses atas-atas pilihan. Sehingga dalam sebuah proses perencanaan, akan sangat terkait sekali dengan proses penentuan pilihan-pilihan yang merupakan sebuah pengejewantahan dari proses politik yang terjadi dalam proses perumusan kebijakan publik. Proses pengambilan keputusan publik secara demokratis merupakan suatu proses yang sangat kondusif terhadap konsep perencanaan sebagai sebuah proses pembelajaran sosial, dimana peran masyarakat
sebagai
sebuah
stakeholder
menjadi
sangat
diperhatikan
dibandingkan proses pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan pada pola rasional semata
46
Tabel II.4 Perbedaan Antara Proses Pengambilan Keputusan Teknokratis Dengan Pengambilan Keputusan Demokratis
Apek Perbandingan
Pihak yang paling berperan dalam proses pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan secara Teknokratis
Tenaga ahli dari pemerintah
Pengambilan keputusan secara Demokratis
Masyarakat dan lembaga atau organisasi masyarakat
•Tenaga ahli memeiliki keahlian untuk mempertimbangkan keputusan yang paling menguntungkan dan dapat meminimasi kerugian yang Asumsi yang digunakan mungkin ditimbulkan •Masyarakat mungkin terlibat secara emosional dengan isu terkait sehingga tidak bisa bertindak secara rasional
• Masyarakat yang langsung terkena dampak mengetahui penilaian yang pantas untuk diberikan untuk sebuah persoalan • Suara masyarakat menetkan hal yang menjadi persoalan publik
Kriteria dalam evaluasi kebujakan
Keterjangkauan proses dan tanggapan atas kebijakan bagi mereka yang terkena damapak keputusan
Efesiensi dan rasionalitas
Sumber : Kweit dalam Astuti dan Mirnasari, 2002
2.3
Kajian Filsafat Umum Selanjutnya bagaimana peranan pengetahuan berbasis Islam terhadap
sains? Sebagian pendapat mengatakan “sains Islam” atau “islamisasi sains” sebagai sesuatu yang membinggungkan karena beragamnya pemahaman mamupun adanya implikasi pada relativis sains yang selama ini dipandang universal. Pada sisi lain Steve Fuller berpendapat bahwa pada sisi pesan tetap bersifat universal sedangkan medianya memerlukan daya tarik (appeal) yang lebih personal (Mulyadi Kartanegara, 2003). Untuk menafsirkan proses islamisasi sains memerlukan beberapa catatan (Mulyadi Kartanegara, 2003), yaitu : Pertama, unsur Islam dalam kata islamisasi tidak mesti dipahami secara ketat sebagai ajaran yang harus ditemukan rujukan secara harfiah dalam Al-Quran dan hadits, sebaliknya dilihat dari spiritnya yang tidak bertentangan dengan dengan ajaran fundamental Islam seperti tauhid, kenabian, hari akhir, dan sebagainya. Kedua, islamisasi sains harus beroperasi pada level epistemologi dengan cara mendekontruksi epistemologi barat yang
47
berkembang sekarang dan kemudian merekontruksi dengan epistemologi yang bersumber pada tradisi intelektual Islam. Proses kontruksi ini meliputi pembahsan status ontologis obyek ilmu, klasifikasi, dan metodologi ilmu. Ketiga, proses islamisasi sains merupakan sesuatu yang tidak pernah terbebas dari nilai. 2.3.1 Filsafat Modern Periode sejarah yang lazim disebut “modern” mempunyai banyak perbedaan pandangan tentang jiwa dengan periode pertengahan. Ada dua hal penting yang menandai sejarah modern, yakni runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas sains. Otoritas sains, yang kebanyakan filosof dipandang sebagai epos modern, sangat berbeda dengan otoritas gereja, karena otoritas sains bersifat intelektual, bukan politisotoritas sains hanya mengungkapkan segala sesuatu yang ada pada saat itu telah dipastikan kebenarannya secara ilmiah. Displin, intelektual, moral, dan politik oleh pikiran-pikiran manusia Renaisans. (Bertrand Russell, 2002: p.646). Kata “Renaisans” berarti kelahiran kembali di mana manusia merasa lahir kembali dalam keadaban. Manusia merasa lahir kembali kepada sumber-sumber yang murni bagi pengetahuan dan keindahan. Langkah-langkah yang dilakukan oleh Galileo (1564-1642) dalam bidang astronomi menanamkan pengeruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan modern, karena menunjukan beberapa hal seperti : pengamatan (observation), penyingkiran segala hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, idealisasi, penyusunan
teori
secara
spekulatif
atas
peristiwa
tersebut,
peramalan
(prediction), pengukuran (meassurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.pada era ini muncul dua aliran besar pemikiran yang dikenal dengan “empirisisme” dan “rasionalisme”. EMPIRISISME (Francis Bacon,1561-1626) Para penganut aliran empirisisme dalam berfilsafat bertolak belakang dengan para penganut aliran rasionalisme. Menurut aliran empirisisme metode ilmu pengetahuan itu bukanlah bersifat a priori, tetapi a posteriori yaitu metode yang berdasarkan atas peristiwa yang datangnya kemudian. Bagi penganut empirsisme sumber pengetahuan yang memadai itu adalah
pengalaman.
Aliran
ini
berkeyakinan
bahwa
manusia
tidak
48
mempunyai ide-ide bawaan. Pelopor empirisisme adalah Francis Bacon (1561-1626), ia bermaksud meninggalkan ilmu pengetahuan yang lama karena dipandang tidak memberi kemajuan, tidak memberi hasil yang bermanfaat dan tidak
memberikan
hal-hal
yang
baru
berfaedah
bagi
hidup.
Usaha
mensistematisir secara logis prosedur ilmiah menjadikan asas filsafat ini bersifat praktis, yaituuntuk menjadikan manusia menguasai kekuatan-kekuatan alam atau dengan
perentaraan
penemuan-penemuan
ilmiah.
Francis
Bacon
mengungkapkan bahwa tujuan ilmu ialah memperbaiki nasib umat manusia di atas muka bumi ini, dan baginya tujuan itu akan dicapai dengan mengumpulkan fakta-fakta melalui observasi yang teratur dan kemudian menarik teori-teori dari observasi itu (Radliyah Khuza’i., 2003) Berikut disampaikan beberapa tokoh-tokoh besar yang terlahir atas pemikiran Francis Bacon dengan pemikiran-pemikirannya. 1. Thomas Hobbes (1588-1679), “pengenalan atau pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman” 2. John Locke (1632-1704), mengemukakan tentng asal mula gagasan manusi, menemukan
fakta-fakta,
menguji
kepastian
pengetahuan
dan
memeriksabatas-batas pengetahuan manusia. 3. david Hume (1711-1776), sumber satu-satunya pengetahuan adalah pengelaman. Ia mengajarkan bahwa manusia tidak mebawa pengetahuan ke dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah pengamatan, dengan pengamatan ini manusia memperoleh dua hal yaitu : kesan-kesan (impression) dan pengertian-pengertian atau ide-ide (ideas). Kesan-kesan
adalah
pengamatan
langsung
yang
diterima
dari
pengalaman, baik lahiriah maupun batiniah. Kesan-kesan ini menampakkan diri dengan jelas hidup dan kuat terhadap pengamat. Sementara pengertian dari ideide ialah gambaran tentang pengamatan yang redup, kabur atau samar-samar yang diperoleh dengan merenungkan kembali atau merefleksikan dalam kesadaran kesan-kesan yang telah diterima melalui pengamatan langsung. (Radliyah Khuza’i, 2003).
49
RASIONALISME (Rene Descartes, 1596-1650) Metode filsafat telah berubah secara radikal sebagai hasil argumen Rene Descartes (1596-1650). Descartes ini merintis tahap dimana kekaguman filosofis sendirilah yang dijadikan objek penyelidikannya; daripada sekedar mengagumi kenyataan perubahan atau waktu atau diri, filsafat mengagumi pengetahuan sendiri. Masalah umum dari pengetahuan muncul sebagi objek kesibukannya sendiri : pengetahuan menjadi problematik bagi dirinya sendiri. Suatu pikiran yang telah mencapai tingkat refleksi tidak dapat dipuaskan dengan kembali kepada jaminan-jaminan anggapan umum, tetapi justru menuju tingkat yang baru, menjadikan kepastian yang sekarang dicari didasari oleh keraguan. Salah saru usaha yang paling radical dan cerdik yang dikemukan oleh descartes manjawab masalah pencarian kepastian dengan keraguan, ialah prosedur “Keraguan Universal”. Adalah suatu prosedur yang menjelaskan tentang penggunaan keraguan untuk mengatasi keraguan sebelumnya. Descartes menguatkan teori bahwa akal adalah subtansi (inti hal). Menempatkan peran akal sebagai sesuatu yang paling tinggi pada manusia. Sedangkan berfikir ialah salah satu atributnya akal itu sendiri. Metode yang digunakan oleh Descartes bersifat skeptis. Pengetahuan yang dapat dipercaya kebenarannya, bukanlah sesuatu yang dijabarkan dari pengalaman, malainkan alam fikiran seseorang, pengetahuan itu sudah ada dalam dirinya, berupa ide-ide bawaan.kebenaran atau kesalah bukan terletak diluar manusia tetapi terletak pada ide dalam dirinya. KRITISISME (IMMANUEL KANT, 1724-1804) Adalah Immanuel Kant seorang filosof dari Jerman, yang menjadi seorang penengah dari perdebatan antara Empirisisme dan Rasionalisme, dengan “dogmatisme“ (percaya mentah-mentah pada kemampuan rasio dan kemampuan indera, tanpa penyelidikan lebih dahulu) sebagai suatu hal yang dilawannya. “Kritisisme” (kritik atas rasio murni) adalah sebutan bagi filsafat Kant. Dahulu para filsuf mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa subjek mengarahkan diri kepada objek. Kant memperlihatkan bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek, tiga taraf yang disampaikan oleh Kant dalam proses pengenalan:
50
1. Pengenalan pada taraf indera daya-daya inderawi membentuk kesan-kesan dari objek yang tampak (pengamatan) menjadi suatu gambaran (salinan) atas penampakan (bukan bendanya sendiri), kemudian dibuat putusan-putusan. 2. Pengenalan pada taraf akal Kant memberdakan akal
dengan rasio. Tugas akal mengatur data-data
inderawi, yaitu mengemukakan putusan-putusan. Berfikir menurutnya adalah menyusun putusan. Suatu putusan terdiri dari subjek dan predikat, yang terdiri dari bentuk dan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah pengertian-pengertian atas ide bawaan pada taraf akal. 3. Pengenalan pada taraf rasio. Tugas rasio adalah menarik kesimpulan dari putusan-putusan akal. Ada tiga ide yang menjadi argumen dasar, yaitu: jiwa, dunia dan Allah. Ketiganya disebut sebagai a priori. Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis). Ide dunia menyatakan gejala jasmani. Sedangkan ide Allah mendasari semua gejala baik yang jasmani maupun rohani. POSITIVISME (AUGUST COMTE) Pada zaman Kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam teknologi mulai memasuki zaman keemasannya, memperkokoh posisi ilmu-ilmu alam secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin menjadi kenyataan. Namun Kant masih mengakui keberadaan bentuk-bentuk pengethuan lain, seperti etika dan estetika. Trend untuk meletakan ilmu-ilmu alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan. Memuncaknya pada positivisme Comte, pengetahuan inderawi khususnya yang terwujud dalam ilmu-ilmu alam bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan (F. Budi Hadirman, 2003). Dalam kata ‘positif’ bukan hanya termuat prinsip keras “pengetahuan kita hendaknya tidak melampaui fakta objektif”, melainkan juga tamapak usaha penghancuran subjek yang berfikir dengan prinsip keras “pengetahuan kita peroleh dengan menyalin fakta objektif”. Dalam positivisme, pendulum epistemologis bergerak ke pihak objek lagi, namun objek yang sekarang muncul dari kegiatan pengetahuan ini adalah objek inderawi.
51
Antinomi-antinomi yang dibuat oleh Comte dapat diterjemahkan kedalam norma-norma sebagai berikut (F. Budi Hadirman, 2003): 1. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian pengamatan sistematis yang terjamin secara intersubjektif. 2. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian. Kesahihan pengetahuan ilmiah dijamin oleh kesatuan metode. 3. Ketepatan pengetahuan kita dijamin hanys oleh bangunan teori-teori yang secara formal kokoh yang mengikuti deduksi hipotesis-hipotesis yang menyerupai hukum 4. Pengetahuan ilmiah harus dapat dipergunakan secara teknis. 5. Pengetahuan kita pada prinsipnya tak pernah selesai dan relatif, sesuai dengan sifat relatif dan semangat positif Pandangan positivisme yang menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial, panangan seperti mengandung
tiga
prinsip:
bersifat
ini melihat ilmu-ilmu
empiris-objektif,
modern
deduktif-nomologis,
intrumental-bebas nilai. Ketiga asmusi itu dalam ilmu-ilmu sosial ini oleh Anthony Giddens dijelaskan sebagai berikut: 1.
Prosedur-prosedur metodologis ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial. Gejala-gejala subjektivitas manusia, tidak menganggu observasi, yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini, objek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia almiah.
2.
Hasil-hasil penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk ‘hukum’hukum seperti dalam ilmu-ilmu alam
3.
ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat teknis, yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan dapat dipakai secara bebas nilai, tidak bersifat etis.
FENOMENOLOGI (Edmund Husserl) Edmund Husserl, pendiri pendekatan ini, dalam bukunya yang termasyur, The
Crisis
of
European
Science
and
Transcendental
Phenomenology,
menyatakan bahwa konsep dunia kehidupan merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi ilmu pengetahuan yang mengalami krisis akibat cara berfikir positivistis dan sainstistis itu.
52
Fenomenologi memandang bahwa dunia kehidupan ini adalah unsurunsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau menrefleksikannya secara filosofis. Dunia kehidupan sosial itu bersifat pra teoritis dan pra ilmiah, bukan sekedar penjumlahan makna para pelaku individual serta berlapis-lapis menurut struktur yang ditetapkan oleh masyarakat. Adalah hermeneutik sebagi pendekatan kedua yang akan memperkukuh pendekatan pertama (fenomenologi), yang memiliki pandangan dunia kehidupan sosial bukan hanya dunia yang hanya dihayati individu-individu dalam masyarakat, namun juga merupakan objek penafsiran yang muncul karena penghayatan
tersebut.
Apa
yang
dalam
fenomenologi
disebut
sebagai
“kesadaran yang mengkonstitui (membentuk) kenyataan” dan yang kemudian dalam hermeneutik ditunjukan dalam pengertian kata hermeneutik itu sendiri yaitu penafsiran, menunjukan peranan subjek dalam kegiatan pengetahuan. Pendekatan
ketiga
yang
sekaligus
mnjadi
pendukung
bagi
dua
pendekatan yang diatas untuk mengatasi positivist. Prespektif baru yang dikembangkannya ialah paradigma komunikasi bagi ilmu-ilmu sosial.
Sejauh
praksis komunikasi dimaksudkan untuk mencapai pemahaman timbal balik, oleh karena itu hermeneutik juga memiliki peranan penting. Terdapat hubungan yang tidak terpisahkan antara Fenomenologi, hermeneutik dan teori kritis (paradigma komunikasi) yang berkaitan dalam usaha pada taraf epistemologis dan metodologis untuk membuka konteks yang lebih luas dari nilmu-ilmu, khususnya ilmu-ilmun sosial. Konsep dunia kehidupan, pemahaman, dan tindakan komunikatif menjadi suatu usaha menangani positivist.
53
Tabel II.5 Sumber Pokok Pengetahuan dari Berbagai Paradigma Teori I. Plato Plato (abad ke – 5 SM)
II. Rasionalisme Rene Descartes (1596 – 1650), Immanuel Kant (1724 – 1804) III. Empirisisme John Locke (1632 – 1704), Berkeley (1684 – 1753), David Hume (1711 – 1776)
Positivisme August Comte
Marxisme Kalx Marx, Mao Tse Tung (1893 – 1976)
Fenomenologi
Konsepsi Pengetahuan Pengetahuan adalah fungsi mengingat kembali informasi yang telah lebih dulu diperoleh. Dua proposisi utama : Jiwa telah ada sebelum adanya badan di alam yang lebih tinggi daripada alam materi; Pengetahuan rasional tidak lain pengetahuan tentang realitas-realitas yang tetap di alam yang lebih tinggi atau arketip (archetypes) Sumber konsepsi atau pengetahuan adalah : Penginderaan (sensasi), konsepsi panas, cahaya, rasa ada karena penginderaan. Fitrah (ide “Tuhan”), artinya akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indera. Penginderaan atau eksperimen ilmiah merupakan sumber persepsi yang menghasilkan konsepsi. Sumber segala pengetahuan tersembunyi dalam penginderaan oleh organ penginderaan dalam jasmani manusia terhadap alam objektif. Langkah mendapatkan pengetahuan (Mao Tse Tung) : Hubungan primer atau kontak langsung dengan lingkungan luar – tahap penginderaan Akumulasi – pengurutan dan pengorganisasian – pengetahuan yang diperoleh dari persepsi-persepsi inderawi Pendapat aliran positis terhadap proposisi filosofis : Tidak mungkinmengukuhkan proposisi filsafat, sebab subjek yang dikaji diluar batas eksperimen dan pengalaman manusia Tidak mungkinmenggambarkan kondisi, yang jika dimiliki, maka proposisi itu benar, dan jika tidak, proposisi itu salah sebab tidak terdapat perbedaan dalam konsep aktualitas apakah proposisi itu benar atau salah Karena itu, proposisi filisofis tidak bermakna, karena ia tidak memberikan informasi tentang alam Tidak dibenarkan untuk melukiskan proposisi filosofis sebagai benar atau salah Doktrin empirakal dalam perspektif Marxist : Semua pengetahuan telah sempurna pada tahap awal, yaitu pada tahap penginderaan dan pengalaman sederhana; Adanya dua langkah pengetahuan : langkah empirakal dan mental, yaitu aplikasi dan teori, atau tahap pengalaman dan tahap pengertian dan penyimpulan.jadi titik tolak pengetahuan adalah indera dan pengalaman. memandang bahwa dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan kita, unsur-unsur dunia sehari-hari yang kita libati dan hidupi sebelum kita menteorikannya atau menrefleksikannya secara filosofis pembentukan dunia Objektif dalam kesadaran subjek sosial
54
IV. Disposesi Filosof Muslim
Membagi konsepsi mental menjadi dua bagian : Konsepsi primer yaitu dasar konseptual akal manusia yang lahir dari persepsi inderawi terhadap suatu kandungan Konsepsi sekunder (turunan) yaitu ide baru yang muncul karena aktivitas akal melalui daur penciptaan – inovasi dan kontruksi (intiza’ atau disposesi) yang jangkauannya diluar indera
Sumber : Resume beberapa sumber (Imam Indratno, dalam makalah Paradigma Perencanaan dalam Persepektif Positivisme dan Islam)
Tabel II.6 Perbandingan Positivist, Rasionalis, Fenomenologi Positivist ● Pengetahuan dibangun dengan merujuk pada yang termanifestasikan, yakni hanya yang mapu ditangkap secara indera ● Model yang digunakan pada ilmuilmu alamiah memberikan standart logis untuk menilai penjelasan ilmu sosial. ● Pengetahuan hanya bersifat objektif ● Bersifat empiris, didasarkan hubungan kausalitas, yang memungkinkan hanya bersifat praktis dan pragmatis. ● Bebas nilai
Rasionalis ● Pengetahuan muncul sebagai objek kesibukannya sendiri (pengetahuan menjadi problematik bagi dirinya sendiri ● Mengethui pengetahuan yang “apa adanya pengethuan itu” ● Akal adalah substansi (logika sebagai cara berfikir ilmiah) ● Pengetahuan berdasarkan pengalamanpengalaman subjektif
●
●
●
●
Fenomenologi Sebuah penjelasan yang reasonable (masuk akal) secara struktur dan terorganisir. Genarailsasi secara luas, yang mengusung ide subjektifitas yang tinggi Mengabaikan hal yang bersifat historis, struktural dan sistemikkecenderun gan untuk menolak penjelasan alternatif ketika subjektifitas diangkat ketempat yang paling tinggi. konseptualisasi teoritik
Sumber : Resume beberapa sumber
2.3.2 Filsafat Perencanaan Awal mula pemikiran teori perencanaan yang mulai di kembangkan pada sebuah perencanaan ialah suatu perencanaan Utopia (Utopia Planning), yang dipelopori oleh 3 pemikir, yaitu: Lewis Munford, Howard Odum, Thomas Adam. Inti dari konsep ini adalah ingin menciptakan keadaan yang akan membentuk suatu hubungan yang harmonis antara makhluk hidup dan alam, dalam rangka menyesuaikan diri dan menghadapi perkembangan yang luar biasa dari suatu peradaban industri. Pemikiran ini dilatarbelakangi oleh keadaaan-keadaan yang semakin mengkhawatirkan pada saat itu, yaitu : ●
Pertumbuhan kota yang semakin tidak terkendali
●
Pengebaian dan penganiayaan budaya setempat
55
●
Degradasi sosial
●
Eksplorasi sumber daya alam yang merusak lingkungan Didasari oleh kegagalan yang dialami perencanaan Utopia yang
menganut dasar pemikiran dari aliran filsafat Utopianiame Idealisme, maka seiring dengan itu muncul suatu teori-teori perencanaan beru seperti Positive Planning, Normative Planning, dan Blue Print Planning, yang kesemuanya mengandung dasar pemikiran filsafat aliran Positivisme. Karakter perencanaan pada era ini dengan melihat filsafat yang memayunginya dapt dikatakan bahwa perencanaan pada era ini dilandaskan pada “realitas” sebagaimana yang ditangkap oleh inderawi. Pertimbangan nilai (value judgement) bukan merupakan patokan pengetahuan pada saat itu. Lebih bersifat empiris materialisme, yaitu sesuatu yang menutup kemungkinan pandangan subjektif yang bersifat metafisik. Berkembang dalam semangat ‘critical approach’, aliran ini bersemangat mempertanyakan dan mengkritisi “apa arti perencanaan?” dan lebih jauh lagi “apakah
perencanaan
membawa
manfaat
bagi
kehidupan?.
Aliran
ini
memandang bahwa perencanaan bukanlah bebas nilai dan bebas politik, yang memiliki tujuan melakukan percobaan merumuskan kembali hakekat dan praktek perencanaan. Peran Positivist dalam Perencanaan telah memudar ketika melihat bahwa para teoritisi itu sendiri bekerja dari landasan nilai (dan bias) paradigma mereka. Dan tidak mengatakan sesuatu tentang nilai-nilai tersembunyi. Perhatian kita jadi terfokus pada suatu pendekatan yang bersifat teknis (cara), bukan pada tujuannya sendiri. Procedural Planning, Rational Comprehensive Planning ialah sebuah teori yang berbicara tentang perencanaan mendominasi debat tentang perencanaan pada paradigma selanjutnya, yang juga lebih kearah filsafat Rasionalisme. Debat kali ini menekankan pada perencanaan sebagai satu proses dan berupaya untuk mencari proses yang terbaik dan teroptimal (procedural debate). Perencanaan sebagai proses, menekankan pada modelmodel analitis untuk pengambilan keputusan.
56
Rasionalisme dengan pandangannya tentang praktek perencanaan yang tidak memandang sebuah pluralitas,. Suatu pendekatan teori perencanaan yang masih berpatokan pada dokumen fisik saja yaitu berupa peta-peta dan kebijakan untuk di implementasikan, membuat perencanaan ini bersifat kaku. Perencanaan Komprehensif
Rasional
tidak
begitu
memperhatikan
kenyataan
yang
menyebutkan bahwa praktek perencanaan itu berbeda sekali dengan teori perencanaan, dimana praktek perencanaan membutuhkan suatu pengetahuan diluar yang rasional (irrasional) juga. Suatu pengetahuan yang tidak akan didaptkan oleh cara berfikir rasional. Setelah rasionalisme dengan beberapa teori perencanaannya yang dirasakan masih diperlukan beberapa masukan untuk menyempurnakan sebuah konsep perencanaan, muncullah teori perencanaan lain seperti Plural Planning, Politics of Planning, Social Planning, Implementation and Policy Pragmatisme Planning, The New Humanism, Political Economy Empowerment. Dari itu semua dapat
dilihat
bahwa
filsafat
yang
memayunginya
ialah
pokok
pikiran
Fenomenologi. Sebuah filsafat yang mengusung suatu hal yang realistis dan mengemukakan bahwa masyarakat ialah suatu sistem yang bebas nilai, namun realitas sosial ialah hasil dari interpretasi oleh para aktor masyarakat kedalam suatu realitas objektif. Dapat dikatakan bahwa praktek perencanaan ini hanya bersifat pemaknaan subjektif dari para aktor perencana. Walau begitu, sebenarnya pada faham ini cukup memberikan banyak hal positif dan juga masukan yang cukup banyak terhadap praktek perencanaan sebelumnya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pad tabel dibawah ini, tentang filsafat modern yang banyak memayungi filsafat perencanaan.
Tabel II.7 Perkembangan Teori Perencanaan dan Filsafat yang Memayunginya
Filsafat
Teori Perencanaan
Karakteristik Perencanaan
Kategori Teori
Utopianisme Idealisme
Utopian Planning Romantic Planning Authoritarian Planning
Urban Design Rural Design
Theory “for” Planning
Positivisme
Positive Planning Normative Planning Blue Print Planning
Urban Design Urban Engineering Urban Planning Land Use Planning Development Planning
Theory “for” Planning
57
Rasionalisme
Fenomenologi
Procedural Planning Rational Comprehensive Planning Plural Planning Politics of Planning Social Planning Implementation and Policy Pragmatisme Planning The New Humanism Political Economy Empowerment
Policy Analysis Scientific Analysis
Theory “of” Planning
Social Learning Social Mobilization
Theory “in” Planning Theory “for” Planning
Sumber : Dr. Ir. Uton Rustan Harun Msc. “Proyek Akhir Sebagai Alternatif Tugas Akhir bagi Program S1 Pendidikan Planologi”, Makalah Seminar Intern, 1997
2.4
Kajian Teoritis Sains Islam
2.4.1 Kajian Filsafat Islam Sebuah kajian teoretis yang sangat diperlukan untuk mengungkap suatu pokok pikiran dari para filisof Islam terdahulu, dan dianggap mampu untuk menjadi suatu yang dapat ditransformasikan kedalam suatu ilmu pengetahuan. Sebelum masuk pada pembahasan apa, siapa dan bagaimana pokok ajaran Islam yang berkembang dari sudut filosofisnya, pokok pikiran Islam tersebut akan terbagi kedalam beberapa faham (aliran) yang dapat dilihat dibawah ini. Tabel II.8 Peta Pokok-Pokok Pikiran Tradisional Islam Kalam Mu’tazilah
Hikmat Masya’iyah
Hikmat Isyraqiyah
Irfan Wujudiyah
Hikmat Muta’aliyah
Eksistensi (wujud)
Riil
Riil
mental
riil
riil
Esensi (mahiyyah)
Riil
Riil
riil
mental
mental
Hubungan Eksistensi dan Esensi
Eksistensi mendahului esensi
Esensieksi mendahului esensi
Stensi mendahului eksistensi
Eksistensi mendahului esensi
Eksistensi mendahului esensi
Polaritas mutlak
Jenjang eksistensi
Gradasi esensi
Jenjang esensi
Gradasi eksistensi
Rasio, Wahyu
Rasio, Wahyu
Rasio, Intuisi, Wahyu
Intuisi, Wahyu
Rasio, Intuisi, Wahyu
Struktur Realitas Metode Keilmuan
Sumber : Fazlur Rahman, “Filsafat Shadra”, 2000
58
Kaum Mu’tazilah memiliki kecenderungan berfikir simplitis dalam menuntut pahala bagi yang baik dan siksa bagi yang tidak, lebih berwawasan hampa-utopia. Aliran ini juga yang memandang suatu keilmuan dengan menggunakan rasio dan wahyu. Kaum Hikmah Masya’iyah (peripatetik) dengan tokoh utamanya Ibnu Sina yang cenderung memilki pola pikir berdasarkan rasio dan wahyu juga menempatkan para pengikutnya pada sumber realitas dengan sentuhan pengalaman (experiental touch). Menjadikan aliran ini dipandang kearifan yang lebih luas. Kemudian Hikmah Isyraqiyah (iIuminasi), membicarakan tentang intrumen intuisi, rasio, dan wahyu sebagai metode keilmuannya. Perpaduan antara mistisme dan filsafat peripatetik yang secara harfiahnya berarti menyempurnakan diri sendiri. Aliran ini dipelopori oleh Al-Suhrawardi, mengganti pandangan realitas yang terdiri dari rangkaian objek dengan realitas sebagai derajat cahaya yang bertingkat. Maksudnya ialah menggabungkan metode intuitif mistikus dengan metode rasional sebagai pelengkapnya. Selanjutnya ialah Irfan Wujudiyah (mistisme) yang dipelopori oleh Ibnu Arabi, menjelaskan bahwa benda-benda fisik tak lain hanyalah bayangan dari realitas-realitas tetap itu. Mencurigai penggunaan rasio dan akal, sebagai gantinya aliran ini menggunakan intuisi atau pengalaman batin mengenai realitas sebagai sumber utama pengetahuan disamping wahyu tentunya. Untuk pemikiran dari Mulla Shadra sendiri yang nantinya akan digunakan dalam studi ini, Hikmah Muta’aliyah mengusung pemikiran bahwa kebenarana mistisme hasil pengetahuan intuisi secara esensi adalah identik dengan kebenaran
intelektual,
dan
pengalaman
mistis
pada
dasarnya
adalah
pengalaman kognitif, tetapi kebenaran pengetahuan intelektual dan muatan kognitif (kesadaran yang utama) ini harus “dihayati” jika ingin diketahui secara seutuhnya. Jika kebenaran-kebenaran itu diketahui secara intelektual sebagai proporsproporsi rasional, maka mereka akan kehilangan karakter esensialnya, halm ini membuat bahwa penggabungan antara objektifitas proporsional nalar (rasional) dan sebjektifitas emosional hati (intusi) dengan wahyu tentunya, akan membuat sebuah pengetahuan akan sesuatu lebih baik dan mendalam. Super realis Mulla Shadra dengan baik menjelaskan fungsi alam imajinal. Pemikiran oleh Aristoteles tentang kesalingbergantungan (interpendence) antara ontologi dan metafisik telah terjelaskan secara jernih oleh Mulla Shadra. Suatu
59
pandangan yang mencoba merasionalkan suatu realitas mistime (memandang lebih suatu pengalaman subk\jektif kedalam suatu konsep yang objektif). 2.4.2 Konsep Kearifan Puncak Pemikiran Mulla Shadra tentang konsep “Kearifan Puncak” menyebutkan beberapa tahapan menuju sebuah keyakinan keimanan kepada Allah SWT. Dalam hal ini penulis memandang sebagai suatu proses yang bersifat transendental. Pemahaman transendental diartikan sebagai gambaran kita mengenai sebuah bangunan ide yang sempurna mengenai kehidupan, suatu ide murni yang bersifat metahistoris dan pengetahuan supra inderawi. Al quran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagain cara berfikir. Pola pikir dasar Mulla Shadra (Kuliah-kuliah Tasawuf, 2000, “Mengenal Mulla Shadra” oleh Agus Efendi, hal 194) : 1. Diawali dengan mempelajari filsafat-filsafat yang mendahuluinya, kemudian menggabungkan pemikiran-pemikiran ‘irfan dan pandangan-pandangan keagamaan 2. Mengeliminasi ekstremitas-ekstremitas tertentu dalam pemikiran filsafat dan ‘irfan 3. Mempelajari mazhab-mazhab kalam, menghindari prinsip-prinsip dialektika yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip logika, mengambil yang sebaliknya 4. Mempelajari mazhab-mazhab tafsir dan penafsiran di sekitar Al Quran 5. Menjadikan wujud sebagai titik tolak dan titik orientasi dalam segala pemikiran 6. Melahirkan metode baru pemikiran yang didasarkan pada prinsip-prinsip dan akurasi pemikiran yang komprehnsif dan unik 7. Dengan metode-metode di atas, mazhab hikmah melahirkan prinsip-prinsip baru dalam filasafat dan ilmu Cara berfikir inilah yang dinamakan sebagai suatu paradigma Islam. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan paradigma Al Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Struktur transendental Al Quran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Dengan melakukan hal tersebut kita telah melakukan aktualisasi misi manusia dimuka bumi sebagai
60
khalifah di muka bumi dengan tujuan kemaslahatan bagi umat manusia. Mulla Shadra menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional dan intelektual dengan
cara
menyerupai
kaum
‘urafa
berkeyakinan
bahwa
seseorang
pengembara akan menempuh empat perjalanan “Kearifan Puncak”, yaitu: •
Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan Safar yang pertama ialah safar min al-khalq ila’ al-Haq, dari alam makhluk menuju Allah (dari “yang plural” menuju ke “Yang Singular”, dari “yang majemuk” menuju “Yang Tunggal”). Kita semua akan menuju Al-Haq, yakni Allah SWT. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, salah satunya engan membuktikan adanya ayat-ayat Allah. Dengan melihat ayat-ayat Allah, yakni ciptaan-ciptaan Allah, kita akan mengenal bahwa dibalik semua itu ada Sang Khlaik (Q.S. 51 : 20-21) Pada safar ini dipahami bahwa kita ingin menuju Allah. Sebagi makhluk kita terpisahkan dengan Al-Haq (transenden) oleh berbagai martabat. Seseorang yang ingin melewati safar ini harus melewati tiga Maqam yaitu: alam nafs, alam qalb dan alam ruh. Di alam nafs, bukan menghilangkan atau melenyapkannya, namun membatasi dan melepas nafs yang dapat mengotori kita (contoh: nafs ammarah) (Q.S. 91 : 7-8). Selanjutnya dalam alam qalb, yang merupakan tingkatan alam ruhani. Kalbu memeberikan kita cahaya, tetapi kadangkadang kita terpaku dalam alam kalbu. Misalnya, manusia suah dapat memebersihkan dan memelihara jiwanya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT. Bisa saja dia sudah terhiasi oleh akhlak-akhlak yang baik, namun setiap harinya hanya dalam tahapan itu saja, tidak menjadi stimulan yang mendorongnya ketingkatan yang lebih tinggi. Sedangkan hijab yang terakhir dalam safar yang pertama ialah alam ruh, ruh yang dimaksudkan disini hanyalah istilah. Mengapa kita harus melewati ruh ini? Karena kita adalah materi.dibandingkan dengan sesuatu yang spiritual, materi adalah gelap. Namun sebelum melewati alam ruh harus berhenti di terminal yang disebut sebagai maqam aql. Akal disini berarti luas ketimbang akal yang kita pahami, akal yang identik dengan sebuah pemikiran yang rasional materialisme akan membawa kita terjebak dengan alam materi, yang sebenarnya harus kita tinggalkan sebleum masuk kelam ruh. Namun bukan berati meninggalkan fungsi akal, hanya menempatkan akal untuk memahami
61
suatu yang supra inderawi atau supra logis dengan menyatu padukannya dengan hati dan intuisi. •
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan Selanjutnya dalam tahapan berikutnya yakni safar fil Al-Haq ma’a Al-Haq (dalam Allah bersama Allah). Safar ini dilakukan dengan syarat harus melewati safar pertama. Pada safar ini juga harus melewati beberapa maqam, yakni maqam sirr (fana’fi Dzat) yang iasanya para arif sering berada dalam kemabukan (ekstase). Kedua, maqam khafiy (fana’) yaitu seoarang arif akan menghadapi kefanaan dalam sifat Allah. Ketiga yakni maqam akhfa, yaitu maqam Dzat dan Sifat sekaligus.
•
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan Selanjutnya safar yang ketiga setelah melewati dua safar sebelumnya dengan tujuh maqam yakni safar min al-Haq ila khalq ma’a al-Haq (dari Allah menuju makhluk bersama Allah). Seakan-akan safar ini bagian dari antiklimaks (menurun), hal ini memang sulit dijelaskan. Seoarang salik tidak lagi melihat Allah dari sesuatu, namun dibalik menjadi melihat sesuatu karena Allah sebelumnya. Adanya Sang Pencipta membuktikan adanya alam semesta ini. Dalam tahapan ini manusia berada dalam sebuah “peniadaan diri” yang menganggap bahwa seluruh yang terdapat dialam ini tidak ada kecuali Allah, dan melakukan segala sesuatunya dalam kehidupan ini hanya untuk kemashlahatan semesta.
•
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan Tahapan selanjutnya yang merupakan tahapan tertinggi dari seluruh perjalanann yang dilakukan seorang salik yakni, safar fil al-khalq ma’a al-Haq (dengan Allah tetapi dalam Allah). Dalam safar ini seseorang yang telah mengarungi alam-alam yang harus dilalui dan sampai pada puncaknya, dia harus turun kembali dan membenahi masyarakatnya. Menyatukan diri dengan Allah membuat dia bukan hanya sempurna namun menyempurnakan masyarakatnya. Seoarang salik yang telah berada dalam tahapan ini harus kembali lagi menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhlukNya berdasarkan kemampuan mereka (bahasan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh yang lain).
62
2.4.3
Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) Dalam pengertian klasik, gerakan (kinesis) meliputi seluruh perubahan
bentuk kulaitas, kuantitas, posisi, maupun potensi. Secara meterial, gerakan terkait dengan perubahan lokasib spasial dari benda-benda relatif satu sama lain atau gerak yang diberikan dari luar pada suatu benda. Tetapi ada juga jenis gerakan yang bersumber dari dalam yaitu gerakan oleh jiwa secara internal. Jadi gerak tidak saja berhubungan dengan perubahan materi secara umum, namun meliputi dimensi imateri dan spuiritual.( Musa Asy’arie, 2002: p. 207) Salah satu pikiran yang cukup penting ialah tentang Gerak Substansif (AlHarakah Al-jauhariyyah) yang memuat tentang, menempatkan seluruh bidang wujud dalam gerak yang terus menerus dengan mengetakan bahwa gerak tidak hanya terjadi
pada kualitas-kualitas sesuatu, tetapi juga pada substansinya.
Ajaran tentang Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) yang merupakan sumbangan pemikiran dari Mulla Shadra bagi filsafat Islam ini mengubah “tingkatan-tingkatan” Al-Suhrawardi yang tepat kedalam suatu gagasan tentang kerancuan sistematis (tasykik) wujud. Hasilnya ialah sebagai berikut: 1. “Tingkatan-tingkatan” wujud tidak lagi tetap dan statis, tetapi tidak pernah berhenti bergerak dan mencapai bentuk-bentuk wujud yang lebih tinggi dalam waktu. 2. “Wujud” dapat diterapkan pada seluruh tangga evolusi bi al-tasykik, yakni dengan kerancuan sistematis dan tidak ada konsep lain yang mempunyai karakter ini, hanya wujudlah prinsip yang berdasarkan kesederhanaan dan kesatuan (basith) menciptakan perbedaan-perbedaan 3. Gerak alam semesta (yang tidak dapat dibalik dan satu arah) ini berakhir pada Manusia Sempurna yang menjadi anggota Alam Ketuhanan dan Bersatu dengan Sifat-sifat Tuhan. 4. Masing-masing tangga wujud yang lebih tinggi meliputi semua tangga yang lebih rendah dan melampaui mereka, ini diungkapkan dengan formula “realitas sederhana adalah segala sesuatu”. Semakin tinggi realitas, semakin sederhana dan semakin meliputi 5. Semakin banyak sesuatu mempunyai atau mencapai wujud, semakin sedikit ia memiliki esensi. Karena jika wujud riil, konkrit, menentukan, individual, dan bercahaya, esensi benar-benar kebalikannya dan muncul hanya dalam pikirn karena pengaruh realitas terhadapnya.
63
Ibn Sina berkaitan dengan gerak, mengatakan bahwa, ada dua gagasan yang dapat dibedakan. Pertama, adalah konsep gerak sebagai suatu kontinunitas, yakni bagian gerak dari titik yang satu ke titik yang lain atau dari awal ke yang terakhir sebagai sebuah keseluruhan. Ini hanya ada dalam pikiran, karena gambaran mental dapat menyimpan berbagai titik di mana badan yang bergerak yang telah melintasi terlibat meninggikan dan menurunkan saat bagian dan membangunkan ke dalam saat ini yang disatukan seluruhnya. Kedua, yang secara aktual dapat diperhatikan dalam dunia eksternal adalah kondisi tidak berubah dan permanen dari badan yang bergerak, yakni kondisi wujud yang berada antara permulaan dan akhir. (Fazlur Rahman, 2000: p. 125-126) Menurut Shadra, karena gerak yang berpindah sebagai kata kerja, yakni “kebaruan dan ketergelinciran yang kontinu”, dari bagian-bagian gerak adalah tidak mungkin bahwa sebabnya yang langsung harus sesuatu yang tetap atau wujud yang abadi. Karena, suatu entitas yang tetap atau abadi mengandung dalam dirinya fase-fase gerak yang dilalui sebagai kenyataan saat ini, dan kebersamaan melewati fase-fase gerak yang dilalui sebagi kenyataan saat ini, dan kebersamaan melewati fase-fase sama dengan diam, bukan gerak. Dengan demikian, ada perubahan lain disamping perubahan aksiden-aksiden, perubahan yang lebih fundamental, yaitu perubahan-perubahan dalam substansi. (Fazlur Rahman, 2002: p. 127) Gerak Substansif berlangsung sepanjang masa sehingga tidak ada sesuatu yang sama pada dua saat yang berbeda. Gerakan ini senantiasa mengarah ke bentuk-bentuk yang lebih tinggi. Diluar gerakan itulah kita menganggit konsep waktu yang sebenarnya tidaklah nyata sebab ia tidak lebih dari ukuran perubahan atau ciri khas yang kita sangkutkan pada hal yang menggejala di luar kita. 2.5
Sebuah Pijakan Untuk Proses Transformasi
2.5.1 Pandangan Islam Iman kepada Sang Pencipta membuat Muslim lebih sadar akan segala aktivitasnya. Mereka bertanggung jawab atas perilakunya dengan menempatkan akal di bawah otoritas Allah SWT. Karena itu, dalam Islam, tidak ada pemisahan antara alat berpengetahuan dan tujuan dari ilmu pengetahuan. Keduanya tunduk pada tolak ukur etika dan nilai keimanan. Ia harus mengikuti prinsip bahwa
64
sebagai ilmuwan yang harus mempertanggung jawabkan seluruh aktivitasnya pada Dzat Maha Sempurna, maka ia menunaikan fungsi sosial pengetahuan untuk melayani masyarakat dan dalam waktu yang bersamaan melindungi dan meningkatkan institusi etika dan moralnya. Dengan demikian, pendekatan Islam pada ilmu pengetahuan dibangun di atas landasan moral dan etika yang absolut dengan sebuah bangunan yang dinamis berdiri di atasnya. Akal
dan
objektivitas
dianjurkan
dalam
rangka
menggali
ilmu
pengetahuan ilmiah, di samping menempatkan upaya intelektual dalam batasbatas etika dan nilai-nilai Islam. Para Filsuf Islam menyebutkan ada beberapa cara untuk dijadikan sebagai alat atau sumber pengetahuan, yaitu: 1. Alam fisik (indera) Manusia sebagai wujud yang materi, maka selama di alam materi ini ia tidak akan
lepas
hubungannya
dari
hubungannya
dengan
materi
dengan
materi
menuntutnya
secara
untuk
interaktif, dan
menggunakan
alat
yang sifatnya materi pula, yakni indra (al hiss), karena sesuatu yang materi tidak
bisa
dirubah
menjadi
yang
tidak
materi
(inmateri).
Contoh yang paling konkrit dari hubungan dengan materi dengan cara yang sifatnya materi pula adalah aktivitas keseharian manusia di dunia ini, seperti makan, minum, hubungan suami istri dan lain sebagainya. Tanpa indra manusia tidak dapat mengetahui alam tabi'at. Disebutkan bahwa, barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. Dalam filsafat Aristoteles klasik pengetahuan lewat indra termasuk dari enam pengetahuan yang aksioamatis (badihiyyat). Meski indra berperan sangat signifikan dalam berpengetahuan, namun indra hanya sebagai syarat yang lazim bukan syarat yang cukup. Peranan indra hanya memotret realita materi yang sifatnya parsial saja, dan untuk menggeneralisasi-kannya dibutuhkan akal. Malah dalam kajian filsafat Islam yang paling akhir, pengetahuan yang diperoleh melalui indra sebenarnya bukanlah lewat indra. Mereka mengatakan bahwa obyek pengetahuan (al ma'lum) ada dua macam, yaitu, (1) obyek pengetahuan yang substansial dan (2) obyek pengetahuan yang aksidental. Yang diketahui secara substansial oleh manusia adalah obyek yang ada dalam benak, sedang realita di luar diketahui olehnya hanya bersifat aksidental. Menurut pandangan ini, indra hanya merespon saja dari realita luar ke relita dalam.
65
2. Alam akal Kaum Rasionalis, selain alam tabi'at atau alam fisika, meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akal-lah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yanng berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indra saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indra pangetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada. 3. Analogi Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca; predikat) atas sesuatu dengan hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu. Analogi tersusun dari beberapa unsur; (1) asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya. (2) cabang, yaitu kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, (3) titik kesamaan antara asal dan cabang dan (4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal. Analogi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu: Analogi interpretatif : Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui illatnya atau sebab penetapannya. Analogi Yang Dijelaskan illatnya : Kasus yang sudah jelas hukum dan illatnya. 4. Hati atau Ilham Kaum empiris yang memandang bahwa ada sama dengan materi sehingga sesuatu yang inmateri adalah tidak ada, maka pengetahuan tentang in materi tidak mungkin ada. Sebaliknya kaum ILLAHI (theosopi) yang meyakini bahwa ada lebih luas dari sekedar materi, mereka mayakini keberadaan hal-hal yang inmateri. Pengetahuan tentangnya tidak mungkin lewat indra tetapi lewat akal atau hati. Tentu yang dimaksud dengan pengetahuan lewat hati disini adalah pengetahuan tentang realita inmateri eksternal, kalau yang internal seperti rasa sakit, sedih, senang,
66
lapar, haus dan hal-hal yang iintuitif lainnya diyakini keberadaannya oleh semua orang tanpa kecuali. Karena ilmu pengetahuan menggambarkan dan menjabarkan aspek realitas yang sangat terbatas, ia dipergunakan untuk mengingatkan akan keterbatasan dan kelemahan kapasitas manusia. Al-Qur’an juga mengingatkan agar sadar pada keterbatasan sebagai manusia sebelum terpesona oleh keberhasilan penemuan-penemuan sains dan hasil-hasil penelitian ilmiah, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Yasin : 77-83: “ Tidakkah manusia mengetahui, bahwa Kami menjadikan dia dari sperma, kemudian ia menjadi musuh yang nyata. Dia memberikan perumpamaan bagi kami dan ia lupa akan kejadiannya. Ia berkata: “ Siapakah yang bisa menghidupkan tulang belulang yang telah rusak binasa?’ Katakanlah: “Yang akan menghidupkannya ialah (Tuhan) yang menjadikan dia pada pertama kali. Dia Maha Mengetahui semua makhluk-Nya. Yang mendatangkan untukmu api dari pohon kayu yang hijau (basah), tiba-tiba kamu menyalakan api dengannya. Bukankah (Tuhan) yang menjadikan langit dan bumi, berkuasa menjadikan seumpama mereka? Ya, (memang berkuasa). Dia Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui. Hanya urusan-Nya (Allah), bila ia menghendaki sesuatu , Ia berkata kepadanya: Jadilah Engkau! Maka jadilah ia. Maha Suci Allah yang memiliki segala sesuatu di tangan-Nya dan kepada-Nya tempat kamu kembali (QS. Yasin:77-83) Terdapat beberapa masukan untuk berpengetahuan menurut Islam yang terangkum dalam syarat-syarat berpengetahuan seperti yang dijelaskan dibawah ini: a. Percaya pada wahyu; b. Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mendapat keridhaan Allah: ia merupakan bentuk ibadah yang memiliki fungsi spritual dan sosial; c. Banyak metode berlandaskan akal dan wahyu: objektif dan subjektif, semuanya sama-sama valid; d. Komitmen emosional sangat penting untuk mengangkat usaha-usaha ilmu pengetahuan spritual maupun sosial;
67
e. Pemihakan pada kebenaran: yakni, apabila ilmu pengetahuan merupakan salah satu bentuk ibadah, maka seorang peneliti harus peduli pada akibatakibat penemuannya sebagaimana juga terhadap hasil-hasilnya; ibadah adalah satu tindakan moral dan konsekuensinya harus baik secara moral; mencegah peneliti agar jangan menjadi agen tak bermoral; f.
Adanya subjektivitas: arah ilmu pengetahuan dibentuk oleh kriteria subjektif: validitas sebuah pernyataan ilmu pengetahuan bergantung baik pada buktibukti pelaksanaannya maupun pada tujuan dan pandangan orang yang menjalankannya; pengakuan pilihan-pilihan subjektif pada penekanan dan arah sains mengharuskan ilmuwan menghargai batas-batasnya;
g. Sintetis: cara yang dominan untuk meningkatkan kemajuan ilmu pengetahuan h. Holistik: ilmu pengetahuan adalah sebuah aktivitas yang terlalu rumit yang dibagi kedalam lapisan yang lebih kecil; ia adalah pemahaman interdisipliner dan holistik; i.
Universalisme: buah ilmu pengetahuan adalah bagi seluruh umat manusia,
j.
Orientasi nilai: ilmu pengetahuan seperti halnya semua aktivitas manusia adalah syarat nilai (ajaran Islam)
k. Loyalitas pada Allah SWT dan makhluk-Nya: hasil pengetahuan baru merupakan cara memahami ayat-ayat Tuhan dan harus diarahkan untuk meningkatkan kualitas ciptaan-Nya: 2.5.2 Pandangan Filsafat Kontemporer Salah satu cara yang dapat diadopsi dari pemikiran filsafat kontemporer untuk berpengetahuan atas pengetahuan yang didasarkan kecenderungankecenderungan bawah sadar, “ditafsirkan” melalui figur atau gambarangambaran yang secara sematik disebut sebagai “metafor” (Bambang Sugiharto 1996). Sifat dari metafor sendiri ialah didasarkan oleh pengalaman dan “ruang logis”. Ruang logis sendiri diartikan sebagai penafsiran logis atas sesuatu dengan proses rasionalisasi yang menuntut konseptualisasi. Persoalan mendasar sehubungan dengan derajat kebenaran yang diungkap oleh metafor. Metafor ialah sesuatu yang mebawa kita kepada bahasa suatu dunia pra-objektif. Dunia dimana kita sudah selalu berakar dan sekaligus tempat kita senatiasa memproyeksikan kemungkinan-kemungkinan terdalam kita sendiri. Dengan kata lain metafor membawa kita kepada bahasa keterikatan
68
primodial kita dengan dunia, yang disatu sis mendahului kita dan di sisi lain kita bentuk sendiri juga. Jadi derajat kebenaran dari metafor sendiri hanya dikenali secara penuh bila ia dirumuskan dalam bentuk konvensi (kesepakatan publik), konvensi yang baru tentunya. (Bambang Sugiharto, 1996). Selain “Metafor”, ada beberapa cara lagi yang dapat digunakan untuk berpengetahuan, yaitu: 1. Relativist : realitas tampil sebagai konstruksi mental, dipahami secara beragam berdasarkan pengalaman serta konteks lokal dan spesifik para individu yang bersangkutan 2. Subjektivist : peneliti dan realitas/fenomena yang diteliti menyatu sebagai suatu entitas. Temuan penelitian merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. 3. Dialectic/Hermeneutic : kontruksi mental individu digali dan dibentuk dalm setting ilmiah, secara hermeneutik, serta diperbandingkan secara dialektik yang menekankan empati, interaksi dialektis antara peneliti-responden untuk merekontruksi realitas yang diteliti, melalui metode-metode kualitatif seperti participant observation. Dengan dasar pokok pikiran Islam yang diantarkan oleh Mulla Shadra yang isinya mengenai “Kearifan Puncak” dengan tahapan sebagai berikut: ●
Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
●
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
●
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
●
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan Melalui metode pendekatan Transformasi yang digunakan untuk mengubah
teori-teori yang bersifat normatif dalam sains Islam kedalam suatu nilai-nilai yang lebih objektif dan real. Untuk itu setelah melihat bahwa sumber pengetahuan dapat
diperoleh
seperti
cara-cara
diatas
maka
penulis
mencoba
mentransformasikan pokok pikiran Islam yang disampaikan Filosof Islam Mulla Shadra mengenai “Kearifan Puncak” kedalam suatu Konsep Paradigma Proses Perencanaan dengan tahapan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya yaitu sebagai berikut
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
69
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam Tuhan dengan suatu Kekuatan Yang Tunggal dan Manusia sebagai suatu
yang diatur oleh Tuhan dalam sebuah sistem penghidupan yang ada di semesta alam ini, dianalogikan sebagai sebuah hubungan Pemerintah dan Masyarakat. Pemerintah yang di Indonesia saat ini dijadikan sebagai sebuah otoritas pengembilan keputusan tertinggi dan Masyarakat sebagai suatu yang dijamin penghidupannya oleh pemerintah. Ayat dibawah ini menunjukan Kekuatan Tunggal Tuhan terhadap makhluknya, yang artinya: Al Quran Surat Al Fushshilat ayat 15 “Adapun kaum 'Aad maka mereka menyombongkan diri di muka bumi tanpa alasan yang benar dan berkata: "Siapakah yang lebih besar kekuatannya dari kami?" Dan apakah mereka itu tidak memperhatikan bahwa Allah Yang menciptakan mereka adalah lebih besar kekuatan-Nya daripada mereka? Dan adalah mereka mengingkari tanda-tanda (kekuatan) Kami.” Al Quran Surat As Sajdah ayat 5 “Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepadaNya dalam satu hari yang kadarnya adalah seribu tahun menurut perhitunganm (Maksud urusan itu naik kepadaNya ialah beritanya yang dibawa oleh malaikat. Ayat ini suatu tamsil bagi kebesaran Allah dan keagunganNya)” Al Quran Surat Al Mu’minuun ayat 80 “Dan Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan Dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?” Al Quran Surat Ar Ra’d ayat 2 “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu.”
70
Dalam setiap tahapan proses perencanaan yang disebutkan diatas hasil transformasi dari sains Islam Mulla Shadra, akan terbagi lagi masing-masing tahapan menjadi beberapa langkah yang memiliki kecondongan atau kesamaan dengan suatu teori perencanaan yang telah ada. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel II.9 Transformasi Pendekatan Pokok Pikiran Islam kedalam Proses Perencanaan Pendekatan Sains Islam Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
Proses Transformasi Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
Perjalanan dari Tuhan menuju
Proses Mobilisasi dan Koordinasi
makhluk dengan Tuhan
Perencanaan yang Amanah
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan Sumber : Hasil Analisis, 2005
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
BAB III KONTRUKSI PARADIGMA SEBAGAI REAKSI ATAS KRISIS PROSES PERENCANAAN INDONESIA Proses kontruksi paradigma dalam bab ini membicarakan tentang membangun sebuah paradigma pada suatu rangkaian proses perencanaan yang sesuai dengan teori gerak substansif dari Mulla Shadra. Atas dasar kekurangan yang terjadi pada proses perencanaan yang telah berlangsung di Indonesia pada awal pemerintahan orde baru (awal 70’an). Proses perencanaan yang selama ini berlangsung di Indonesia terlalu banyak mengusung nilai-nilai filosofi barat, dalam hal ini didominasi oleh paham positivisme, yang banyak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Tahapan yang pertama dalam mengkontruksi paradigma yaitu menelaah sejarah substansi perencanaan di Indonesia (awal 70’an) dan menganalisanya untuk mengetahui kekurangan yang terjadi. Kemudian proses perbandingan (falsifikasi) antara Filsafat Positivisme dan Teori Gerak Substansi Mulla Shadra. Setelah itu dapat ditemukan desinkronisasi antar keduanya yang nantinya diajukan sebuah solusi menurut filsafat Teori Gerak Substansi
dengan
Konsep
Kearifan
Puncak.
Berusaha
mengembalikan
perencanaan kepada sebuah perencanaan yang lebih baik dan kembali pada khitohnya. 3.1
Substansi Perencanaan di Indonesia
3.1.1
Sebuah Peta Substansi Perencanaan Indonesia (1970-saat ini) Tahun 1970’an merupakan awal bagi pembangunan yang terencana
setelah mengalami keterpurukan akibat perang selama beratus-ratus tahun. Sejalan dengan itu kebijakan nasional menitik beratkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Perencanaan pendekatan sektoral dan parsial (adanya garis pemisah antara kota dan daerah/desa dan lebih terfokus pada perencanaan di perkotaan). Pertumbuhan dan kosentrasi kegiatan sosial ekonomi terdapat di perkotaan, sementara di pedesaan sering ditemui kemunduruan, stagnasi dan kemiskinan. Adanya dikotomi antara perencanaan kota dan desa/daerah (tidak adanya interdepency) pendekatan yang terjadi pada era ini yaitu:
Terdapat beberapa
72
1. Pendekatan Sektoral Perencanaan wilayah sudah mulai berkembang meskipun konsepnya sebatas untuk kepentingan sektoral dan diantara sektor-sektor masih berjalan masing-masing. Perencanaan sektoral yang dimaksud diatas ialah suatu perencanaan dengan tujuan peningkatan optimasi penggunaan ruang dan sumber daya wilayah dalam hubungannya dengan pemanfaatannya, namun masih menitikberatkan kepada kepentingan setiap sektornya. Kurangnya pertimbangan tentang visi misi daerah yang harus dijalankan dengan cara terintegrasi antar setiap sektornya. Benturan konflik kepentingan sektoral masalah mana yang diprioritaskan terlebih dahulu dan pendanaan untuk menjalankan program tersebut. Konflik antar sektor pun semakin merebak. 2. Pendekatan Pengembangan Wilayah Suatu
pendekatan
perencanaan
di
perencanaan bidang
yang
pembangunan
mengutamakan ekonomi,
aspek-aspek
demografi,
dan
kependudukan. Berkembangannya paham regional analisis dan muncullah sebuah pemikiran hubungan sebab akibat ’Causal effects’ oleh Walter Isard dengan faktor-faktor utama pembentuk wilayah seperti fisik, sosial, budaya dan ekonomi. Berkembangnya model-model analisis seperti backwardfoward linkage, urban-rural linkage, shift share, input-output, gini coefficient, economic threshold dan sebagainya. Dibalik kemajuan yang terjadi, pemerintah sendiri belum secara baik menerapakan model ini. Terbukti masih terjadi sentralisasi pembangunan. Sentralisasi pembangunan ialah suatu pembangunan yang terpusat pada satu daerah yang memiliki potensi besar saja. Terjadi kesenjangan dan ketidakmerataan pertumbuhan pada wilayah-wilayah yang terbilang kecil. 3. Pengembangan Pembangunan Infrastruktur Sutami (1973) mengembangkan teori Walter Isard yang mendasarkan kepada interaksi antara manusia dan segala kegiatan sosial ekonominya dengan alam dan lingkungan juga lebih mengutamakan kepada sebuah pembangunan
infrastruktur
yang
intensif.
Pembangunan
yang
mengutamakan pembangunan fisik sebagai prioritas utama. Manusia hanya diletakkan sebagai elemen pendukung, padahal seharusnya manusia sebagi peran utama dalam perencanaan. Spatial planning yang dilakukan pada
73
pendekatan ini berakibat pusat-pusat pertumbuhan menyerap sumberdaya daya daerah yang kecil. Hal ini mengakibatkan tertutupnya peluang berkembangnya daerah-daerah kecil. 4. Pengembangan Wilayah Berbasis Pada Sistem Kegiatan Ekonomi Poernomosidi Hadjisarosa melalui pendekatan satuan-satuan wilayah ekonomi yang bertumpu pada teori Losch, yang juga mengadopsi teori interdependency bahwa antara wilayah yang satu dengan wilayah yang lainnya akan terjadi saling ketergantungan melalui mekanisme pasar (hubungan supply demand). Konsep hirarkie telah terlahir pada masa ini. Penggabungan pembangunan sektoral dengan pengembangan wilayah secara partial membuat paradigma yang menonjol ialah rasionalisme. Dibalik penggabungan dua paradigma perencanaan tersebut telah terjadi kegagalan. Salah satu kegagalan yang terjadi ialah ketika suatu wilayah yang dijadikan sebagai induk kebergantungan mengalami kemunduran, hal tersebut mengakibatkan wilayah lain yang tadinya bergantung pada wilayah induk akan mengalami kemunduran juga. 5. Koordinasi Antar Daerah Administrasi Mengintroduksikan pengelompokan wilayah perencanaan menjadi sebuah wilayah perencanaan yang lebih luas dengan penggabungan antara wilayah perencanaan yang satu dalam lingkup kecil dengan wilayah lainnya agar tercipta wilayah perencanaan yang lebih luas. Namun pada prakteknya sentralisasi masih terjadi. Kegagalan menghasilkan pemerataan hasil pembangunan dalam segala aspek disebabkan oleh kegagalan untuk menciptakan pusat-pusat pertumbuhan. Tumbuhnya kota-kota besar sebagai pusat-pusat perekonomian nasional tidak mampu beriteraksi secara global. 6. Sinkronisasi Program Pembangunan Konsep Top down dan bottom up planning yang mulai berkembang. Namun dilema dengan sentralisasi yang masih terjadi, dan intervensi politis pusat yang dititipkan pada pengembangan didaerah. Sehingga dari kejadian tersebut telah melahirkan sebuah wacana tentang ”kekuatan politik yang berkuasa mendapat peran dominan dalam hal pemabngunan”. Intervensi politik semakin kental dalam pengambilan kebijakan yang pada hakekatnya berhubungan dengan kepentingan publik secara luas. Aspirasi yang
74
tersampaikan kepada pemerintah hanya merupakan manifestasi kepentingan golongan saja. Pada era 1980’an, perencanaan di Indonesia semakin menuju kepada suatu konsep yang lebih baik, namun hal tersebut tidak di imbangi oleh praktek yang optimal dari para stakeholder. Ketidak optimalan peran stakeholder dalam perencanaan tidak seimbang dengan pengeluaran beberapa aturan baru yang mendukung praktek perencanaan di indonesia, hal ini menjadikan perencanaan di Indonesia hanya bersifat wacana saja. Berikut ini disebutkan beberapa usaha perbaikan praktek perencanaan di Indonesia: 1. Pengembangan Wilayah Dengan Melalui Program Pembangunan Perkotaan Pengklasifikasian kota menurut besaran penduduknya (metropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil). Pengelompokan kota berdasarkan fungsi pelayanannya
(nasional,
interregional,
regional,
dan
lokal.
Praktek
perencanaan didasarkan oleh pengelompokan seperti diatas. Sentralisasi perencanaan pada kota berakibat tidak ratanya pembangunan di pedesaan bila dibandingkan di kota. Hal ini berakibat kesenjangan antara kota dan desa. 2. Pendekatan Lingkungan Mengoperasionalkan kebijakan pembangunan yang berwawasan lingkungan (UU no. 4/1982 tentang Ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup), adalah Suyono Sosrodarsono dengan pendekatan Ecological system, yaitu pengembangan wilayah dilakukan secara terpadu dengan mebangkitkan program pembangunan jaringan pengairan, jaringan transportasi, dengan parasarana lainnya dilakukan secara terpadu secara satu kesatuan fungsional wilayah. Dibalik semua konsep tersebut pada implementasinya terjadi kejanggalan. Degradasi kualitas lingkungan yang serius terjadi pada era ini. Pertama, penurunan luas mangrove di Indonesia dari 5.209.543 ha (1982) menjadi 3.235.700 ha pada tahun 1987 hingga pada awal 1993 menyisakan sebesar 2.496.185 ha. Kedua, interusi air laut pun terjadi karena terjadi penghisapan air tanah secara berlebihan. 3. Desentralisasi Perencanaan Keluarnya kebijakan desentralisasi yang mulai diberlakukan, salah satunya dengan dikeluarkannya PP No. 14 tahun 1987 tentang penyerahan sebagian
75
urusan kepemerintahan di bidang ke-PU-an kepada daerah. Implikasinya dari kebijakan tersebut yaitu diperlukan upaya pemberdayaan daerah. Padahal seperti yang kita ketahui bersama bahwa setiap wilayah perencanaan belum tentu memiliki potensi untuk mandiri melakukan pemberdayaan daerah. Perlunya bimbingan dari pemerintah pusat untuk proses perencanaan pembangunan agar terjadi sinkronisasi dengan sasaran yang akan ditargetkan oleh pemerintah. Terjadinya kebocoran dan duplikasi dana pembangunan karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih antara program daerah dan program regional. Keterlambatan waktu pun sering dialami yang merupakan implikasi dari pembebanan pembangunan kepada daerah secara mandiri. 4. Pengembangan Sistem Informasi Penataan Ruang dan juga Sistem Informasi Geografis Pendekatan
perencanaan
secara
partisipatif
mulai
dikembangkan.
Sinkronisasi program pembangunan secara sektoral, yang memberikan kemudahan untuk investasi dan terjadi hubungan peran serta stakeholder dengan pemerintah. Kemajuan teknologi dalam hal penyampaian informasi ini merupakan hal yang baik. Tetapi ketika keterbukaan informasi ini dijadikan oknum sebagai suatu peluang untuk melakukan eksploitasi besar-besaran pada sumberdaya di daerah tersebut. Pemanfaatan untuk mencari untung sebesar-besarnya oleh pihak swasta yang menjual informasi tentang penataan ruang juga kelemahan dari implementasi pengembangan Sistem Informasi perencanaan. Dengan globalisasi dan meningkatkan aliran kapital melalui perdagangan bebas, dimulai pula peningkatan komersialisasi dan privatisasi dalam banyak bidang termasuk ruang/space. Datangnya arus globalisasi dari dunia barat sangat memiliki peran penting dalam menentukan apa yang terjadai dalam praktek perencanaan di era 1990’an. Sangat jelas sekali proses industrialisasi mempengaruhi proses perencanaan di Indonesia. Lahirnya undang-undang tata ruang cukup berarti bagi perencanaan di Indonesia, karena dengan itu perencanaan di Indonesia akan memiliki koridor tersendiri.
76
1. Globalisasi di Indonesia Peningkatan desentralisasi yang diikuti oleh pengembangan kawasan strategis dengan pemerataan ekonomi berbasis proses industrialisasi di berbagai kawasan di Indonesia. Berubahnya fungsi pemerintah dari yang semula
hanya
sebagai
penyedia
kebutuhan
perencanaan
menjadi
pemberdaya bagi keberlangsungan perencanaan. Penyederhanaan proses birokrasi yang dirasakan cukup rumit pada era sebelumnya membawa suasana kondusif bagi para stakeholder. Dibalik semua itu terdapat beberapa kekurangan di era ini. Salah satunya ialah tentang ketidak mampuan suatu daerah melakukan proses industrialisasi, yang berakibat ketidakmerataan kesejahteraan antar daerah. 2. Pendekataan Wilayah Lahirnya UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang membuat koridor tertentu bagi sebuah perencanaan yang terstruktur dan tersistematis. Spatial planning yang terintegrasi oleh konsep action plan. Akan tetapi spatial planning yang dilakukan dalam era ini masih terlalu berlebihan, akibatnya ekploitasi
sumberdaya
alam
secara
berlebihan
untuk
kepentingan
pembangunan. Penyelewengan lahan konservasi yang mengalami alih fungsi. Salah satu bukti terjadinya degradasi lingkungan ialah penurunan luas kawasan resapan air pada pulau-pulau besar akibat dari kebakaran dan penjarahan / penggundulan. Antara tahun 1997-1998 tidak kurang dari 1,7 juta ha hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan. Dengan kerusakan hutan yangberfungsi lindung tersebut maka akan menimbulkan run off yang besar, mengganggu siklus hidrologis, memperluas kelangkaan air bersih pada jangka panjang, serat meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada kawasan pesisir. Perencanaan saat ini dimaksud dengan perencanaan era 2000’an. Sebuah paradigma baru tentang otonomi daerah terlahir pada era ini. Menjawab beberapa pertanyaan pada era-era sebelumnya, perencanaan era 2000’an mengalami beberapa penyesuaian dan penyempurnaan di beberapa sisi perencanaan. Dengan pengoptimalan peran stakeholder diharapkan mampu mendongkrak perencanaan indonesia kedalam suatu perencanaan yang ideal. Fenomena yang terjadi pada era ini ialah:
77
1.
Lebih terfokus pada pembangunan yang menitik beratkan kesejahteraan, keterpaduan, mikro, dan local based. Model abstrak yang ideal (memperhatikan pluralitas), pandangan yang bersifat subjektif tidak lagi diacuhkan. Kesulitan yang dihadapi pada masa ini ini ialah menyatukan pendapat dari banyak pihak, sehingga proses demokrasi disalah artikan sebagai kebebasan berpendapat tanpa aturan. Perilaku yang mengarah pada sikap anarki membuat proses demokrasi keluar dari jalur yang sebenarnya.
2.
Akibat itu semua perkembangan Bottom up approach dan partisipatory mulai diminati bagi perencanaan di Indonesia di tingkat lokasi atau komunitas. Keterlibatkan semua stakeholder pada setiap tahapan perencanaan, sehingga secara otomatis memajukan
kemampuan
bertindak lokal dengan kerangka berfikir global, namun kepentingan kekuatan politis yang bekuasa masih memiliki pengaruh yang sangat besar dalam hal kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pada saat implementasinya terjadi penyimpangan ketika arti dari partisipasi disalah artikan sebagai sebuah wewenang penuh dan sama dengan wewenang pemerintah. 3.
Pelaksanaan aturan dan hukum perencanaan yang masih bersifat wacana, salah satu implikasinya Kelestarian lingkungan yang mengalami kemunduran akibat penjarahan hutan yang banyak terjadi. Menurut data statistik penjarahan yang terjadi pada era ini ialah sebesar 350.000 ha sehingga luas hutan tersisa sebesar 23% saja dari luas daratan Pulau Jawa. Alih fungsi lahan pun terjadi dari lahan konservasi pertanian untuk penggunaan non-pertanian seperti Industri, permukiman dan jasa di pulau jawa, penurunannya antara tahun 1979-1999 mencapai 1.002.005 ha atau 50.100 ha/tahun. Hal tersebut meledak pada awal 2000an. Dapat dilihat juga fenomena bencana terjadi dalam rentang tahun 2002-2004, seperti banjir, longsor dan kekeringan di berbagai wilayah Indonesia. Semua
itu
indikasi
yang
kuat
terjadi
ketidakselarasan
dalam
pemanfaatan ruang, antara manusia dengan alam maupun antara kepentingan ekonomi dengan pelestarian lingkungan. Hasil akumulasi dari alih fungsi lahan yang tidak semstinya, penggulan hutan, perilaku
78
masyarakat yang tidak patuh hukum perencanaan tentang kegiatan membangun rumah didaerah yang dilarang. 3.1.2
Kelemahan yang terjadi pada Sistem Perencanaan Indonesia Sistem perencanaan pembangunan yang diimplementasikan pada era
2000’an masih menunjukkan belum mampu memberikan hasil pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Indikator kegagalan pembangunan dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan sebagainya. Sistem perencanaan pembangunan berdasarkan UU No 25 Tahun 2005 mencakup lima pendekatan, terdiri dari: pendekatan politis, teknokratis, patisipatoris, atas-bawah (top down), dan bawahatas (bottom up), belum mampu dilakukan dan dilaksanakan secara penuh tanggung jawab oleh para pelaku perencanaan pembangunan. Bila diruntun perencanaan yang terjadi di era 70’an sampai dengan saat ini (2000’an) dapat dilihat beberapa kekurangan yang terjadi di setiap eranya, antara lain: Melihat dari kekurangan yang terjadi pada era tahun 70’an, bahwa perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut: 1. Masih bersifat sektoral, sehingga benturan kepentingan antar sektor terjadi baik masalah pendanaan maupun masalah prioritas yang didahulukan juga perencanaan yang tidak terintegrasi dengan baik. 2. Kesenjangan antara desa dan kota sehingga terjadi sentralisasi pembangunan ke pusat kota. Ketimpangan sosial merupakan implikasi nyatanya. 3. Pendikotomian antar aspek perencanaan (tidak terintegrasi), akibatnya program pembangunan berjalan masing-masing. 4. Pembangunan perencanaan fisik mendapat porsi yang berlebihan. Ekploitasi besar-besaran terhadap ruang terbuka hijau untuk diajdikan wilayah komersil. 5. Ego masing-masing wilayah perencanaan masih berjalan sendiri-sendiri, karena kurangnya suatu ikatan wilayah perencanaan secara lingkup regional 6. Konsep Bottom up hanya sebagai wacana yang tidak terimplementasikan dengan baik karena intervensi politis yang berlebihan dari pusat masih
79
banyak. Akibatnya aspirasi masyarakat yang sesungguhnya tidak tersampaikan. Melihat dari kekurangan yang terjadi pada era tahun 80’an, bahwa perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut: 1. Hanya beberapa titik dari kota tersebut yang dibangun karena dianggap sebagai prioritas utama, sehingga terjadi belum adanya pemerataan pembangunan. 2. Kegiatan analisis mengenai dampak lingkungan masih bersifat sektoral dan partial belum menyeluruh. Belum terintegrasinya antara perencanaan berdasarkan wilayah administrasi dengan perencanaan berdasarkan fungsional sehingga tidak terjadi sinkronisasi antar program yang dijalankan, akibatnya tumpang tindih mengenai program yang akan dijalankan memberi peluang untuk penggelapan dana pembangunan. 3. Peraturan dan undang-undang mengenai perencanaan pembangunan hanya
bersifat
normatif
belum
teroperasional
dengan
baik.
Penyelewengan hukum perencanaan menjadi hal yang biasa didalam sebuah pembangunan. 4. Pembangunan perencanaan fisik mendapat porsi yang berlebihan sehingga perencanaan non fisik terlupakan, padahal itu merupakan point penting
dalam
melakukan
perencanaan
yang
holistik.
Degradasi
lingkungan pun tidak terelakan akibat alih fungsi lahan yang dipaksakan terjadi karena tuntutan pembangunan fisik. Sedangkan yang terjadi pada era tahun 90’an, bahwa beberapa kelemahan di bidang perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut: 1. Proses indutrialisasi yang tidak merata karena tidak semua wilayah memiliki potensi yang mampu melakukan proses industrialisasi. 2. Pengembangan kawasan strategis terkadang dicampuri oleh intervensi politis. Pembangunan yang terlaksana bukan lagi berdasarkan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. 3. Terkadang upaya penyederhanaan sistem birokrasi banyak disalah gunakan oleh oknum perencanaan. Dengan birokasi yang mudah
80
berakibat oknum dengan seenaknya melakukan pembangunan yang tidak berkesesuaian dengan wilayah perecanaan 4. Sistem pasar bebas semakin memberi peluang kepada pihak asing untuk melakukan perubahan dengan pola pikirnya yang terkadang belum tentu berkesesuaian dengan karakteristik wilayah di Indonesia 5. Perecanaan non spatial kurang begitu diperhatikan yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan maksimal. Aspek-aspek yang justru penting malah terabaikan dengan konsentrasi pembangunan fisik. Lagi-lagi degradasi lingkungan pun terjadi. Melihat dari kekurangan yang terjadi pada era tahun 2000’an, bahwa perencanaan yang telah terlaksana di Indonesia ialah sebagai berikut: 1. Spatial planning masih mendapat porsi yang cukup besar. Degradasi lingkungan pun tidak terelakan akibat alih fungsi lahan yang dipaksakan terjadi karena tuntutan pembangunan fisik. Perecanaan non spatial kurang begitu diperhatikan yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan maksimal 2. Pendekatan bottom up planning hanya dilakukan dan diterapkan pada tingkat lokal saja, namun ditingkat regional dan nasional belum optimal. Perencanaan partisipasi tidak berada pada hakekat yang benar. Dampak nyata yang terjadi pembangunan yang terimplementasi tidak sinkron dengan sasaran yang sesungguhnya. 3. Kekuatan politik yang berkuasa memiliki pengaruh yang besar terhadap perencanaan pembangunan untuk masa mendatang. Urgent problem yang mestinya didahulukan untuk program pembangunan malah terabaikan akibat beberapa kepentingan suatu golongan yang berkuasa dijadikan acuan dalam pengambilan kebijakan. Dalam sistem P5D yang berlaku pada awal tahun 80’an dan sampai pelaksanaannya yang memakan waktu lebih dari satu dasawarsa ternyata masih banyak kekurangan yang perlu dievaluasi lebih lanjut. Untuk itu akan dijelaskan beberapa kekurangan pada sistem P5D, yaitu:
81
1. Kurangnya sosialisasi dan Koordinasi dengan masyarakat daerah tentang tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam Rencana Pembangunan Tahunan Daerah atau biasa disebut REPETADA. 2. Belum adanya pedoman khusus dalam P5D yang membicarakan tentang prosedur/teknik
yang
lebih
detail
dan
rinci
dalam
pelaksanaan
perencanaan dan pembangunan didaerah 3. Belum adanya penjelasan dalam P5D yang menjelaskan tentang keterkaitan antara satru program pembangunan dengan program pembangunan lainnya, dengan kata lain masih bersifat sektoral dan partial saja (tidak terpadu) 4. Pelatihan yang tersedia saat ini hanya bersifat proses secara umum saja, namun belum bersifat fokus pada produk perencanaan pembangunan di daerah 5. Dokumen
perencanaan
yang
menjadi
kunci
(Rencana
Umum
Pembangunan Daerah / RUPTD) belum disusun dengan tepat waktu yang berakibat perencanaan tersebut hanya bersifat proyek, tanpa memperhatikan kerangka kebijaksanaan program yang telah menjadi pedoman dalam merencana, konsekuensinya program tersebut tidak mencerminkan kebijaksanaan yang berlaku. Setelah melihat materi yang terdapat dalam UU no. 25 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, ternyata masih terdapat beberapa kekurangan yang sangat menonjol terutama pembehasan mengenai partisipaasi masyarakat dan hak yang diperolehnya dari Penyelengaraan Penataan Ruang. Untuk itu dibawah ini akan menjelaskan perihal tambahan mengenai tata aturan apa saja yang dapat menjadi masukan sebagai evsaluasi, antara lain: a. Mengatur tentang hal-hal yang berkaitan dengan upaya mempertahankan nilai-nilai kearifan tradisional dalam penyelenggaraan penataan ruang b. Membahas tentang tata cara masyarakat untuk mengetahui rencana tata ruang
melalui
Lembaran
Negara/Daerah,
pengumuman
dan
atau
penyebarluasan oleh pemerintah. Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui masyarakat antara lain dari pemasangan peta rencana tata ruang dari wilayah yang bersangkutan pada tempat-tempat
82
umum, kantor kelurahan dan atau kantor-kantor yang secara fungsional menangani rencana tata ruang tersebut. c. Mengatur tentang hak dan kewajiban yang sama pada setiap warga negara, karena itu hak penduduk asli atas ruang hidupnya perlu dilindungi. Penduduk asli di sini bukan semata-mata diartikan atas faktor suku, ras, agama, tetapi juga faktor lamanya penduduk tinggal dalam suatu wilayah sesuai dengan perikehidupan sosial budaya setempat. d. Tata aturan mengenai pelaksanaan kewajiban masyarakat dalam menjaga, memelihara dan meningkatkan kualitas ruang lebih ditekankan pada keikutsertaan masyarakat untuk lebih mematuhi dan mentaati segala ketentuan normatif yang ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan mendorong terwujudnya kualitas ruang yang lebih baik. e. Aturan
yang
berbicara
tentang
pengelolaan
kawasan
tertentu
oleh
Pemerintah yang tidak berarti menghilangkan kewenangan daerah dalam menyelenggarakan pembangunan di wilayahnya yang termasuk ke dalam kawasan tertentu. Keterlibatan Pemerintah dimaksudkan untuk menjamin terselenggaranya fungsi-fungsi pemerintahan yang berkaitan dengan nilai strategis kawasan secara nasional. f.
Aturan yang membahas tentang Hak masyarakat agar dapat melaksanakan penyusunan rencana detail tata ruang dan rencana teknik ruang kawasan antara lain dalam pengembangan kawasan skala besar yang pembiayaannya sepenuhnya bersumber dari masyarakat dengan tetap mendapat fasilitasi dan rekomendasi teknis dari Pemerintah Kabupaten/Kota terkait. Dalam penyusunan rencana detail tata ruang dan rencana teknik ruang kawasan yang dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah Kabupaten/Kota terkait memberikan rekomendasi untuk hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Masukan untuk bahan evaluasi pada UU No 22 tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah (Hasil Rakernas APKASI III, 2003) a. Pengawasan legislatif terhadap eksekutif dan pengawasan legislatif oleh masyarakat perlu diatur lebih jelas mekanismenya sehingga masing-masing dapat berjalan sesuai fungsi dan peranannya. Penyempurnaan aturan
83
tentang pengawasan ini perlu juga diikuti dengan program dan kegiatan nyata dalam memberdayakan masyarakat dan lembaga legislatif di daerah. b. Menetapkan pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan yang jelas antara Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa melalui pendekatan
Kompetensi,
Pendekatan
Dampak
Eksternalistis
serta
Pendekatan Kemampuan, serta menggeser kembali pembagian kewenangan antar Kepala Daerah dan DPRD pada titik keseimbangan, agar dapat tercipta pemerintahan yang demokratis dengan ciri Check and Balance. c. Menetapkan kembali Sistem Kepegawaian Pemerintah secara nasional melalui system campuran (Mixed system), perpaduan antara sistem terintegrasi dengan Rapat Kerja system terpisah. d. Menetapkan kembali pengaturan pemanfaatan dan pembagian sumber daya nasional yang ada di daerah agar lebih adil dan proporsional. Pembagian sumber-sumber pendapatan pajak, bea dan cukai antara Pusat dengan Daerah tidak hanya menggunakan asas domisili melainkan juga asas sumber-sumber, sehingga daerah yang memiliki sumber berbagai pungutan memperoleh bagian yang adil dan proporsional. e. Menegaskan kembali kedudukan Pemerintah Desa yang selama ini bersifat Ambivalen. f.
Memperkuat posisi masyarakat sebagai pemilik kedaulatan melalui proses pemberdayaan yang sistematis dan berkelanjutan dalam rangka membentuk masyarakat sipil. Upaya pemberdayaan tersebut perlu secara Eksplisit dicantumkan dalam batang tubuh undang-undang. Kekurangan dalam UU No. 25 Tahun 2004 tentang Penataan Ruang,
ialah sebagai berikut: a. Perencanaan jangka panjang juga memiliki landasan hukum yang lemah. Baik RPJP nasional maupun daerah yang ditetapkan dengan undang-undang atau Perda, dapat saja berubah atau diganti, seiring dengan pergantian pemerintahan nasional maupun daerah. Akibatnya, RPJP daerah bisa saja terus dirubah pada saat pergantian pemerintahan sehingga tidak berbeda dengan RPJM daerah yang selalu dirumuskan 5 tahunan. b. Ketidak-sinkronan bahkan pertentangan antara RPJM Daerah dengan RPJM Nasional
84
c. Dalam penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), tidak disebutkan Padahal,
perlunya RKPD
keterlibatan
sebagai
masyarakat
rencana
tahunan
dalam
penyusunannya.
merupakan
perencanaan
berdasarkan kebutuhan masyarakat yang paling up-to-date dan langsung dirasakan masyarakat. Sedangakn, mendorong partisipasi masyarakat dalam penyusunan RKPD hanya dalam hal pendanaan pembangunan. d. RKPD sebagai penjabaran RPJM daerah memiliki derajat hukum lemah, karena hanya ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah e. Dari
segi
institusi
yang
berperan
sangat
memungkinkan
terjadinya
overlapping peran antara Bappeda yang mengusung RKPD dengan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang mengusung arah kebijakan APBD yang juga tercantum dalam RKPD. Kemungkinan, yang terjadi apabila kedua institusi ini tidak melakukan koordinasi maka DPRD akan menerima dua RKPD dari institusi yang berbeda. Dari
segi
perundang-undangan
dan
peraturan
yang
selama
ini
memayungi sistem perencanaan di Indonesia terdapat beberapa hal penting yang dianggap sebagai kelemahan yang terjadi dalam setiap isi atau program dan pedoman dari perundang-undangan dan praktek dilapangan yang selama ini agak terabaikan, yaitu: 1. Perihal pedoman teknis yang mengatur sistem proses perencanaan belum sampai pada lapisan masyarakat yang paling bawah 2. Pembelajaran mengenai perencanaan yang akan dilakukan masyarakat bersama pemerintah belum terakomodir dengan baik 3. Antara pemerintah daerah dan Pemerintah pusat harus terkoordinasi dengan baik masalah visi dan misi yang akan dijalankan oleh daerah dan pusat dalam perencanaan pembangunan 4. Proporsi kewenangan pemerintah pusat dan daerah mengenai keputusan kebijakan dan sumber daya (alam, dana, tenaga kerja) harus diatur melalui peraturan yang jelas Dapat dilihat diatas bahwa terdapat beberapa kelemahan yang terjadi dari awal 70’an sampai dengan saat ini yaitu: Pertama, pembangunan sektoral masih tetap ada, yang membuktikan bahwa sistem perencanaan di Indonesia
85
belum terintegrasi dengan baik. Masih terjadinya benturan antara sektor yang akan didahulukan. Terjadinya kebocoran dan duplikasi dana pembangunan karena penyusunan program sektoral yang tumpang tindih antara program daerah dan program regional. Keterlambatan waktu pun sering dialami yang merupakan implikasi dari pembebanan pembangunan kepada daerah secara mandiri. Kedua, perencanaan pembangunan spatial (perencanaan fisik) masih mendapat proporsi yang berlebihan dan tingkatan yang terlalu tinggi bila dibandingkan dengan perencanaan non-spatial. perecanaan non spatial kurang begitu diperhatikan yang menyebabkan pembangunan tidak berjalan maksimal. Aspek-aspek yang justeru penting malah terabaikan dengan konsentrasi pembangunan fisik. Alih fungsi lahan yang tidak semestinya sering terjadi. Ketiga, Intervensi kekuatan politik yang berkuasa masih berlebihan dan
terlalu
campur
tangan
dalam
urusan
publik.
Demokratisasi
dan
desentralisasi, jelas merupakan tantangan berikutnya yang harus dipahami perencana. Demokratisasi yang salah satu dimensinya adalah menguatnya peran masyarakat sipil, mempunyai implikasi pentiung bagi bidang perencanaan yang salah satu tantangannya adalah memediasi antara public dan private spheres (Friedmann, 1997). Proses demokratisasi yang terjadi di Indonesia mempunyai implikasi langsung bagi bidang perencanaan oleh karena ia akan mempengaruhi bagaimana kepentingan publik dan private (termasuk misalnya dalam
pemanfaatan
ruang)
dinegosiasikan
dan
dimediasikan.
Proses
demokratisasi akan memungkinkan proses negosiasi dan mediasi ini dapat dilakukan lebih fair, terbuka, dan adil. Demokratisasi tentaunya memungkinkan kita untuk mengkoreksi apakah proses-proses perencanaan selama ini membawa kemaslahatan bagi banyak pihak, khususnya mereka yang selama ini dirugikan atau dimarginalkan. Keempat, tentunya globalisasi dengan segala muatan dan implikasinya. Telah banyak hal ini dibahas dan didiskusikan, tapi yang seringkali alpa didiskusikan adalah menyangkut realita bahwa globalisasi bukan sekedar mewujud dalam bentuk material seperti aliran kapital dan informasi. Globalisasi adalah sebuah ideologi, ideologi tentang gaya hidup, kebebasan, kebudayaan, dan sistem politik. Globalisasi, apabila tidak dipahami dan direspon secara benar dan pas, akan dapat memicu proses-proses materialisasi dan pada akhirnya
86
mengarah pada dehumanisasi. Globalisasi yang ‚inevitable’ dengan demikian tidak harus dilawan dengan kebencian atau juga perasaan kekalahan, akan tetapi harus secara tegar dan cerdik di respon untuk kepentingan kita semua. Terkait erat dengan globalisasi, komersialisasi dan privatisasi merupakan konteks penting yang harus dipahami perencana. Dengan globalisasi dan meningkatkan
aliran
kapital
melalui
perdagangan
bebas,
dimulai
pula
peningkatan komersialisasi dan privatisasi dalam banyak bidang termasuk ruang/space. Sebagaimana dikatakan oleh Nisbit, masyarakat dunia akan menjadi consumer society yang hedonis dan memuja privatisasi, dimana cenderung untuk mengkomodifikasikan segala hal. Bagi perencana, yang salah satu bidang garapannya adalah space atau ruang, proses komersialisasi dan privatisasi ruang ini jelas telah terjadi dan bahkan menunjukkan gejala yang cenderung tidak/kurang terkontrol. Seluruh proses pembangunan kota bahkan cenderung disetir oleh pasar dan ini mengakibatkan semakin terdesaknya public dan civic space (Setiawan, 2004) Hal ini tentunya harus menjadi perhatian perencana, oleh karena proses komersialisasi dan privatisasi ruang ini telah mengarah pada isu ketidakadilan pemanfaatan ruang, dimana sekelompok kecil masyarakat mengakumulasi dan memanfaatkan ruang yang besar, sementara sebagian besar masyarakat lain justru kekurangan ruang atau bahkan sama sekali tidak mempunyai akses terhadap ruang. Kelima, Krisis lingkungan adalah konteks sekaligus tantangan bidang perencanan yang tidak boleh diabaikan. Sebagaimana telah banyak ditulis, krisis lingkungan di berbagai belahan dunia dan di Indonesia telah terjadi dan menunjukkan kecenderungan yang semakin parah. Di Indonesia, krisis lingkungan tidak hanya meliputi perusakan dan menipisnya sumber daya alam seperti hutan, biodiversity, tanah, dan air, melainkan juga menyangkut proses pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan terbangun, baik perkotaan maupun perdesaan (KLH, 1998). Pencemaran udara, tanah, dan air terus terjadi dimana - mana, sementara persoalan limbah sampah padat dan sanitasi juga terus belum dapat ditangani secara baik di hampir seluruh kota di Indonesia. Persoalan lingkungan harus direspon secara bijaksana oleh bidang perencanaan oleh karena salah satu misi perencanaan adalah menciptakan satu lingkungan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh kehidupan ini.
87
Keenam atau terakhir, tapi tidak kalah penting, adalah isu kemiskinan dan kerentanan. Sebagaimana diketahui, sampai sebelum krisis ekonomi pada tahun 1998, Indonesia telah berhasil menekan angka kemiskinan menjadi sekitar 14 persen dari total pendduk Indonesia. Selama krisis, akan tetapi, angka kemiskinan di Indonesia kembali meningkat, mulai dari sekitar 24 persen pada tahun 1999 – 2000, dan sekitar 18 persen sekitar tahun 2002 – 2003. Berapapun prosentase yang paling tepat, ini tetap menyangkut nasib puluhan juta manusia, baik di perkotaan dan di perdesaan yang masih mempertanyakan “apa yang akan dimakan esok hari.” Bidang perencanaan langsung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap kondisi ini, oleh karena hal ini mengindikasikan kegagalan bidang perencanaan untuk melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, termasuk ruang, yang adil, khususnya bagi masyarakat miskin Dari keenam permasalahan utama diatas munculah sebuah pemikiran baru akan proses perencanaan hasil penggabungan antara bottom up planning
dan
top
down
plannning
secara
terpadu.
Didasari
atas
pendikotomian yang terjadi selama ini antara bottom up planning dan top down plannning, menjadikan perencanaan hanya berjalan satu pihak tertentu saja. Hasil dari perencanaan yang menempatakan salah satu pihak menjadi tokoh sentral dalam pembangunan dapat dilhat dari keenam permasalahan utama diatas tersebut. Urgensi ini yang menimbulkan perlunya perubahan. 3.1.3
Positivisme Pada zaman Kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam teknologi
mulai memasuki zaman keemasannya, memperkokoh posisi ilmu-ilmu alam secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin menjadi kenyataan.
Namun
Kant
masih
mengakui
keberadaan
bentuk-bentuk
pengetahuan lain, seperti etika dan estetika. Trend untuk meletakan ilmu-ilmu alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan. Memuncaknya pada positivisme Comte, pengetahuan inderawi khususnya yang terwujud dalam ilmu-ilmu alam bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satusatunya norma bagi kegiatan pengetahuan. (F. Budi Hadirman, , 2003). Pernyataan Bebas Nilai yang ada pada positivisme ialah suatu pengingkaran
88
terhadap Eksistensi Tuhan, dapat dibilang bahwa positivistme lebih kepada Humanisme Atheis. 3.1.4
Hubungan perencanaan di Indonesia dengan paham positivisme Paham positivisme yang bergerak dalam wiilayah pengetahuan secara
padangan inderawi dan materialisme yang berlebihan ini, jelas-jelas secara nyata berhubungan dengan perencanaan pembangunan di Indonesia, antar lain: 1. Perencanaan
pembangunan
yang
berorientasi
pada
fisik.
Dibelakangkannya urusan sosial, budaya dan kelestarian lingkungan, juga salah satu keterkaitan antara perencanaan di Indonesia dan positivisme. Terjadinya kesenjangan sosial dan kemiskinan disinyalir akibat dari konsentrasi pada perencanaan fisik yang berlebihan. 2. Era globalisasi yang membawa paham kapitalisme merebak pada proses industrisialisasi besar-besaran di Indonesia. Kekuatan politik terbesar dijadikan
sebagai
acuan
perencanaan
pembangunan,
dengan
menyingkirkan yang kecil. Permainan bebas pasar diberlakukan di indonesia. Nyatanya kegiatan ekonomi yang berkembang pun tetap kurang mampu menyerap tenaga kerja secara merata, kegiatan ekonomi tradisional mulai ditinggalkan sehingga mengurangi kesempatan kerja yang ada dan ketimpangan wilayah semakin lebar. Isu kemiskinan pun mejadi sesuatu yang menggejala. Bidang perencanaan langsung maupun tidak langsung bertanggung jawab terhadap kondisi ini, oleh karena hal ini mengindikasikan kegagalan bidang perencanaan untuk melakukan alokasi dan distribusi sumber daya, termasuk ruang, yang adil, khususnya bagi masyarakat miskin Kemudian dengan terjadinya ekploitasi besarbesaran terhadap sumberdaya alam yang berlebihan untuk mendukung kegiatan ekonomi dengan pengalihan fungsi lahan konservasi menjadi lahan komersial. Bukti tersebut mengungkapkan bahwa terjadi ketidak pedulian akan lingkungan. 3. Pandangan bebas nilai tentang ilmu sosial oleh kaum positivist merupakan kontribusi yang paling besar bagi perencanaan di Indonesia. Ilmu perencanaan di Indonesia tidak lagi berorientasi bagi kemashlahatan semesta. Pulralitas di abaikan begitu saja. Hal tersebut terbukti dengan
89
terjadinya intervensi politis yang berlebihan dan proses demokrasi yang tidak berjalan sepenuhnya di Indonesia. 3.1.5
Kritik Terhadap Filsafat Perencanaan Positivistme Positivistme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial
yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, atau kumpulan hukum teori. Asumsi bahwa penjelasan tunggal bersifat universal, artinya cocok untuk semua, kapan saja, dimana saja suatu fenomena sosial. Mereka percaya bahwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni objektivitas, netral, dan bebas nilai. Prosedurnya harus dikuantifikasikan dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah. (Fakih, Mansour,2002: 24) Faham-faham yang dianut oleh positivistme dalam sebuah ilmu perencanaan telah melahirkan sebuah aliran aliran yang yang memiliki prinsip sama dengan positivistme yaitu kapitalisme. Kapitalisme sebagai sebuah paham dimana dalam arti secara etimologis berasal dari kata caput yang berarti kepala, kehidupan dan kesejahteraan, yang kemudian diartikan sebagai akumulasi keuntungan yang ada dalam setiap transaksi ekonomi. Masalahnya dalam perkembangan selanjutnya, terutama dalam era revolusi industri,
kapitalisme
didefinisikan sebagai paham yang mau melihat serta memahami proses pengambilan dan pengumpulan modal balik (tentu saja yang sudah dikumpulkan secara akumulatif) yang diperoleh dari setiap transaksi komoditas ekonomi. Pada saat itu pula, kapitalisme tidak hanya dilihat sebagai ideologi teoritis tapi berkembang menjadi paham yang mempengaruhi perilaku ekonomi manusia. Dalam sejarah manusia perkembangan kapitalisme dimulai sejak jaman Babilonia, Mesir dan Romawi yaitu sejak masyarakat mengenal sistem pemerintahan kerajaan atau kekaisaran yang feodal. Para ahli ilmu sosial menamai tahapan kapitalisme purba ini dengan sebutan commercial capitalism. Kapitalisme komersial berkembang ketika pada jaman itu perdagangan lintas suku dan kekaisaran sudah berkembang dan membutuhkan sistem hukum ekonomi untuk menjamin fairness perdagangan ekonomi yang dilakukan oleh para pedagang, tuan tanah, kaum rohaniwan.
90
Tiga tokoh atau ikon ilmuwan filsafat sosial yang cukup memberikan pengaruh yang dramatis terhadap perkembangan kapitalisme industri modern. Mereka adalah Thomas Hobbes dengan pandangan egoisme etisnya, yang pada intinya meletakkan sisi ajaran bahwa setiap orang secara alamiah pasti akan mencari pemenuhan kebutuhan dirinya. John Locke menekankan pada sisi liberalisme etis, di mana salah satu adagiumnya berbunyi bahwa manusia harus dihargai hak kepemilikan personalnya. Tokoh lainnya adalah Adam Smith dan David Ricardo yang mencoba menukikkan pandangan dua tokoh sebelumnya dengan filsafat Laissez Faire dalam prinsip pasar dan ekonomi. Pandangan klasik Adam Smith menganjurkan permainan bebas pasar yang memiliki aturannya sendiri. Persaingan, pekerjaan dari invisible hands akan menaikkan harga kepada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja dan modal beralih dari
perusahaan
yang
kurang
menguntungkan
kepada
yang
lebih
menguntungkan. Laissez faire adalah ungkapan penyifat. Pandangan ini menekankan bahwa sistem pasar bebas diberlakukan sistem kebebasan kepentingan ekonomi tanpa campur tangan pemerintah. Kapitalisme di tiga tokoh itu (Hobbes, Locke dan Adam Smith) mendapatkan legitimasi rasionalnya. Akselarasi perkembangan kapitalisme rasional ini memicu analisa dan praktek ekonomi selanjutnya. Akselarasi kapitalisme semakin terpicu dengan timbulnya “revolusi industri”. Kapitalisme mendapatkan piranti kerasnya dalam pencapaian tujuan utamanya, yaitu akumulasi kapital (modal). Industrialisasi di Inggris dan Perancis mendorong adalah industri-industri raksasa. Perkembangan raksasa industri mekanis modern ini memicu kolonialisme dan imperialisme ekonomi. Tidak mengherankan apabila dalam konteks ini terjadi exploitation l’homme par l’homme. Situasi penindasan yang ada menimbulkan reaksi alamiah dari orang-orang yang kebetulan mempunyai kepedulian sosial–kolektif yang mengalami trade-off dalam era industri. Dengan demikian dalam sistem kapitalisme telah menciptakan manusia yang serakah. Hubungan manusia satu dengan manusia yang lain telah mengalami degradasi sampai akhirnya terputus begitu saja. Hubungan manusiawi berganti dengan hubungan yang lebih bersifat bisnis. Tuntutan yang mengharuskan ilmu sosial atau realitas sosial sebagai suatu yang objektif, jelas banyak dikritik oleh beberapa kalangan. Sesuangguhnya realitas sosial adalah
91
nisbi dan bersifat subjektif, hanya dapat dipahami dari pandangan orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial tertentu. Seseorang hanya bisa mengerti dengan ‘memasuki’ kerangka pikiran orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagi pelaku dalam tindakan tersebut. Salah satu yang paling jelas tentang kritikan terhadap positivistme datang dari “idealisme Jerman”. Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat oleh indera, tetapi justru pada “ruh” atau gagasan. Peristiwa kemanusiaan yang bersifat subjektivitas lebih penting dan menolak cara atau bentuk penelitian dengan metode ilmu alam. (Fakih, Mansour, 2002: 26) Sama halnya dengan aliran hermeuneutic knowledge atau juga dikenal dengan nama paradigma interpretatif, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam paradigma ini ‘hanya’ dimaksud untuk memahami secara sungguh-sungguh. Semboyan yang dipegang oleh paradigma ini ialah “biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri”. Pandangan bebas nilai tentang ilmu sosial oleh kaum positivist mendapat masukan dari aliran atau kaum paradigma kritik. Paradigma kritik ini menganjurkan bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin bersifat netral atau bebas nilai. Pemihakan dan upaya emansipasi rakyat dalam pengalaman hidup meraka sehari-hari diperjuangkan dalam paradigma kritik. Padangan aliran ini justru menempatkan rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Hal inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory research. (Fakih, Mansour, 2002) Pada perkembangan ilmu perencanaan selanjutnya yang terjadi di Indonesia faham sosialisme mulai merebak yang ‘hanya’ menempatkan manusia sebagai tokoh sentral dalam pembangunan. Pemerataan hak-hak sosial menjadi sesuatu yang banyak melibatkan aktivisme politik, namun tidak memperhatikan realitas keseimbangan yang ada dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya. Secara tidak langsung ‘hanya’ mengutamakan masalah yang bersifat duniawi saja.
92
Dari
sekian
banyak
penjelasan
diatas
dapat
dikatakan
bahwa
perkembangan ilmu perencanaan di Indonesia mengalami suatu kekurangan. Apalagi jika dilihat dari sudut pandang agama Islam sendiri. Mengembalikan perencanaan pada hakekat aslinya yaitu untuk mencapai titik rahmatan lil alamin. Tidak lagi berbicara tentang kepentingan duniawi dan manusia saja, namun kembali kepada sebuah konsep ke-Tuhanan yang jelas meliputi semua isi alam semesta ini dengan melihat realitas yang sesungguhnya. 3.2
Membangun Konsep Perencanaan Islami
3.2.1
Dari Perencanaan berbasis Antroposentris kepada Perencanaan
Teosentris Sejak kritik terhadap filsafat barat yang dilancarkan oleh para sarjana, baik di Barat sendiri, dan lebih-lebih lagi di Timur, mulai bermunculan.pada umumnya, kritik tersebut menyoroti pandangan hidup Barat yang tidak mampu memahami manusia dan posisinya di alam semesta ini. (Muhammad, Afif, 2004: 84). Bangunan teori perencanaan khususnya sistem perencanaan pembangunan yang diajarkan pada dunia akademis maupun pada praktek perencanaan di Indmnesia masih berorientasi pada pengetahuan dari barat. Sebagaimana diketahui bahwa teori tersebut bersumber pada paradigma antroporosentris (manusia sebagai pusat) yang lebih berorientasi pada akar filsafat positivisme maupun
empirisisme.
Sistem
perencanaan
pembangunan
yang
diimplementasikan menunjukkan belum mampu memberikan hasil pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Indikator kegagalan pembangunan dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan sebagainya.
Sistem perencanaan pembangunan
berdasarkan UU No 25 Tahun 2005 mencakup lima pendekatan, terdiri dari : pendekatan politis, teknokratis, patisipatoris, atas-bawah (top down), dan bawahatas (bottom up). Sedangkan Friedman (1987) mengenalkan empat pendekatan dalam sistem perencanaan, yaitu: pendekatan reformasi sosial, analisis kebijakan, pembelajaran sosial, dan mobilisasi sosial. Membangun
sistem
perencanaan
pembangunan
alternatif
yang
berorientasi pada pengetahuan dari timur (filsafat Islam) menjadi tantangan bagi peneliti. Pada tahap awal akan dilakukan kajian teoritik yang memfokuskan pada kajian Teosentris. Manusia harus memiliki interpretasi komprehensif tentang
93
wujud, yang menjadi dasar bagi interaksinya dengan wujud lainnya. Interpretasi yang memberikan pemahaman tentang sifat dan hakikat besar, yang dengannya manusia
berinteraksi.
Interaksi
ini
mencakup
hubungan
antara
hakikat
Ketuhanan dengan hakikat kehambaan, yang meliputi hakikat alam, hakiakat kehidupan dan hakikat manusia. (Muhammad, Afif, 2004: 85). Konsep Islam berupaya menciptakan masyarakat tauhidi, yaitu suatu tatanan kemasyarakatan yang berdasarkan kepada nilai-nilai _TauhiduLLah_ serta bermuara kepada terciptanya masyarakat madani yang egaliter, terlepas dari berbagai perbudakan termasuk perbudakann terhadap hawa nafsu sendiri, lingkungan masysrakat, orang lain dan yang terpenting, perbudakan dalam keyakinan dan peribadatan selain kepada Allah SWT. Dengan demikian sekali lagi, konsep masyarakat tauhidi (ummatan wahidah) berbeda dengan konsep sosialis yang humane dan bersifat relatif. Konsep ini adalah baku, karena berasal dari
Allah
yang
Maha
Benar
(AL-HAQ).
Usaha perubahan atau tagyiir dalam rangka mencapai atau mewujudkan masyarakat tauhidi tersebut, sebagaiman disinyalir Q.S. Ar Ra’d ayat 11 : “Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka
dan
di
belakangnya,
mereka
menjaganya
atas
perintah
Allah.
Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia” Perbedaan itu semakin nampak ketika Karl Marx mengumandangkan upaya perubahan kaum tertindas dengan ajakan untuk menjauhkan manusia dari ajaran Tuhan dan bertumpu pada kemampuan dirinya sendiri. Sementara Islam, mengajak kaum tertindas untuk melakukan perubahan dengan dimulai dari pembangunan akidah dan keimanan yang kokoh kepada Allah SWT, lalu keyakinan tersebut diaplikasikan dalam kehidupannya yang nyata.
94
3.2.2
Usulan perencanaan Teosentris yang berbasis Gerak Substansi Pada tahap awal akan dilakukan kajian teoritik yang memfokuskan pada
teori gerak substansi (Al Harakah Al Jauhariyyah) dengan konsep “Kearifan Puncak” dari Mulla Shadra. Konsep kearifan puncak menjelaskan tentang hakekat perjalanan manusia. Gerak manusia dalam menuju kesempurnaannya mau tidak mau mestilah melalui pembebasan dirinya dari kondisi-kondisi alam dan masyarakat yang melingkupinya. Secara bertahap, bertolak belakang dengan anggapan sosialisme, “makin sempurna manusia makin bebas dia dari hal-hal material dan makin bertumpu pada kekuatan pemikiran dan ideologi. Dengan kata lain, kesempurnaan manusia ditentukan oleh dasar ideologinya, lantaran kesempurnaan yang hakiki bukanlah kemajuannya dibidang-bidang teknis, melainkan kesempurnaan perikemanusiaan. Oleh karena itu, langkah semestinya manusia menuju kesempurnaan berbading lurus dengan langkah pembebasannya dari materi dan pendekatannya pada keimanan dan ideologi. Maksud dari ungkapan “bebas dari materi” bukanlah “hidup dalam kevakuman yang jauh dari alam materi”, melainkan penguasaan pengendalian manusia atas materi dan bukan sebaliknya. Jika di masa lampau manusia sedemikian bergantung dan bertakuk lutut di hadapan kondisi material dan komunal yang mengurungnya, dimasa-masa yang akan datang dia akan makin mandiri dari lingkungan material dan komunal di sekitarnya dan makin sanggup mengendalikan serta memanfaatkannya. (Muthahhari, Murtadha 2002: 101). Hal tersebut diatas ssesuai dengan misi utama perencanaan berdasarkan Islam yaitu menuju “rahmat bagi seluruh alam semesta”. Penolakan Islam terhadap kapitalisme jelas terlihat dalam konsep dasar muamalah Islam, di mana Islam mengingatkan akan celaka orang yang mengumpulkan harta untuk kesia-siaan. Jadi dalam sistem muamalah Islam, praktek yang mengarah pada penimbunan atau penumpukan modal dan barang adalah dilarang. Demikian juga Islam melarang praktek riba. Nilai sosialisme dalam Islam, terlihat dari misi yang disandang Nabi Muhammad bahwa ia datang untuk rahmat bagi seluruh alam. Jadi sejatinya orang Islam dimanapun berada selalu menebarkan cinta kasih dalam niat dan perbuatan, menyebarkan rasa kemanusiaan yang tinggi, menjunjung nilai-nilai luhur,
bukan
hanya
pada
ideologi
atau
agamanya
saja
tapi
pada
kemanusiaannya juga, bukan hanya pada manusia saja tapi pada makhluk
95
lainnya juga. Dengan demikian tidak ada lagi perusakan baik di daratan maupun lautan, tidak ada lagi eksploitasi terhadap binatang, tumbuhan dan alam lainnya. Sikap inilah sebetulnya yang harus dijadikan acuan. Umat Islam harus mengambil pelajaran dari tindakan Nabi yang sangat menjunjung nilai kemanusiaan dan menentang perbudakan. Nabi mengatakan, "Tentang budakbudakmu berilah makan padanya saperti yang kamu makan sendiri, dan berilah pakaian padanya seperti pakaian yang kamu pakai sendiri. Apabila kamu tidak dapat memelihara mereka, atau mereka melakukan kesalahan, lepaskan mereka. Mereka itu hamba Allah seperti kamu juga, dan kamu harus berlaku baik-baik kepada mereka." Dengan memperhatikan suatu sistem sosial budaya dan spirit religi suatu masyarakat yang terkumpul dalam suatu ruang, diharapkan kita dapat melihat apa saja yang sebenarnya perlu dimasukan dalam proses perencanaan pada masa yang akan datang sesuai kebutuhan dari masyarakat itu sendiri dan diterima dari sisi sosial budaya dan religi kemasyarakatannya. Hal ini dapat terimplementasikan dalam sebuah pembangunan yang berdaya guna tinggi, dan merekontruksi suatu ruang yang memiliki “jiwa” atau energi yang kuat dan sesuai dengan spirit religi yang kita yakini. Karena apabila hal tersebut dapat teksktualisasikan
akan
membuat
suatu
tameng
tersendiri
bagi
sistem
modernisasi Barat yang terbilang cukup mematikan nilai-nilai kemanusiaan dan religi suatu tatanan masyarakat pada umumnya dan lebih bersifat individualisme yang materiilisme. 3.2.3
Konsep Wujud Sebelum berbicara mengenai konsep kearifan puncak dari Mulla Shadra,
terlebih dahulu membahas mengenai Konsep Wujud dan pengertian akan Wujud itu sendiri. Wujud adalah satu-satunya realitas yang bersifat unik dan serba meliputi yang tak sesuatupun lepas darinya. Bagi Mulla Shadra, benda-benda disekitar kita bukanlah ilusi atau tanpa eksistensi, namun pasti memiliki eksistensi dan ada. Tuhan sendiri bereksistensi atau Ada tanpa memliki esensi pendampingnya, jika Tuhan memiliki esensi Tuhan tidak lagi menjadi Wujud yang absolut, namun akan menjadi wujud yang mungkin. Maka dari itu Tuhan dianggap sebagai Wujud Murni dan Absolut.
96
Menurut Ibnu Sina (Leaman, Oliver, 2001: 116), Tuhan dan alam raya tidak dibahas sebagai dua hal yang terpisah. Tanpa Tuhan tidak akan ada alam sebagimana alam adalah hasil kotemplasi Tuhan terhadap Diri-Nya sendiri. Eksistensi Tuhan dibuktikan dengan adanya alam raya itus sendiri. Segala sesuatu adalah satu dalam arti, berasal dari satu Tuhan an memainkan perannya masing-masing dalam struktur realitas yang rasional dan tidak mungkin terjadi hal yang sebaliknya. Tuhan dan peran-Nya sebagi Sumber Eksistensi segala yang ada, semua pengetian inilah yang dinamakan sebagai Wahdah al-Wujud. Pembahasan selanjutnya mengenai struktur Realitas yang terdapat dalam Hikmah Muta’aliyah dari Mulla Shadra tentang gradasi Eksistensi, bahwa sesungguhnya semua yang terdapat disekitas kita itu memiliki eksistensi. Eksistensi dijadikan sebagai bangunan riil dan esensi hanya sebagai bangunan mental saja.Tuhan sebagai Sebab pertama akan menurunkan akibat pertama, dan dari akibat pertama akan berubah menjadi sebab kedua untuk membentuk akibat kedua yang nantinya juga akan menjadi sebab ketika, dan seterusnya. Hal tersebut membuktikan bahwa Wujud Tuhan memiliki bentuk yang absolut dan wujud yang dibawahnya menjadi wujud mungkin dalam sebuah hirarkis. Semua Wujud itu menjadi sebuah unitas bukan lagi entitas yang terpisah, bahkan masing-masing wujud itu unik dan berbeda, dan Wujud Tuhan adalah wujud yang Sempurna tanpa esensi yang malahan akan menjadikannya sebagai sesuatu yang bersifat dualitas. Pernyataan diatas secara tidak langsung menyatakan bahwa (jika dihubungkan dengan kehidupan nyata), realitas alam semesta merentang dari kutub Tiada Mutlak ke kutub ADA mutlak. Dari Ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi ”ada-ada nisbi” yang tak terhingga banyaknya. 3.2.4
Teori Gerak Substansi Sebuah kajian teoretis yang sangat diperlukan untuk mengungkap suatu
pokok pikiran dari para filisof Islam terdahulu, dan dianggap mampu untuk menjadi suatu yang dapat ditransformasikan kedalam suatu ilmu pengetahuan. Mulla Shadra dengan Hikmah Muta’aliyah mengusung pemikiran bahwa kebenaran mistisme hasil pengetahuan intuisi secara esensi adalah identik dengan kebenaran intelektual, dan pengalaman mistis pada dasarnya adalah pengalaman kognitif, tetapi kebenaran pengetahuan intelektual dan muatan
97
kognitif (kesadaran yang utama) ini harus “dihayati” jika ingin diketahui secara seutuhnya. Jika kebenaran-kebenaran itu diketahui secara intelektual sebagai proporsproporsi rasional, maka mereka akan kehilangan karakter esensialnya, hal ini membuat bahwa penggabungan antara objektifitas proporsional nalar (rasional) dan sebjektifitas emosional hati (intusi) dengan wahyu tentunya, akan membuat sebuah pengetahuan akan sesuatu lebih baik dan mendalam (memandang lebih suatu pengalaman subjektif kedalam suatu konsep yang objektif). Salah satu pikiran yang cukup penting ialah tentang Gerak Substansif (AlHarakah Al-jauhariyyah) yang memuat tentang, menempatkan seluruh bidang wujud dalam gerak yang terus menerus dengan mengatakan bahwa gerak tidak hanya terjadi
pada kualitas-kualitas sesuatu, tetapi juga pada substansinya.
Gerak tidak saja berhubungan dengan perubahan materi secara umum, namun meliputi dimensi imateri dan spiritual (Asy’arie, Musa, 2002: 207) Mulla Shadra menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional dan intelektual dengan cara menyerupai kaum ‘urafa berkeyakinan bahwa seseorang pengembara akan menempuh empat perjalanan “Kearifan Puncak”, yaitu: •
Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
•
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
•
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
•
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
3.3
Sebuah Pijakan Untuk Melangkah Pada Proses Transformasi
3.3.1
Asumsi dasar Dimulai dengan asumsi dasar tentang alam, yang nantinya dapat
dianalogikan dalam sebuah bahasa perencanaan, yaitu: Pertama, alam yang “terbatas” dalam proses pembentukannya, dari kata “terbatas” itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang dimulai oleh peristiwa “awal” yaitu perihal penciptaan alam sendiri yang memang memiliki awal pembentukannya oleh Allah SWT dan juga peristiwa yang berhenti dikata “akhir”, yaitu terdapat batasan suatu yang diciptakan pasti akan ada akhirnya atau tempat pemberhentian bukan persinggahan. Bumi atau tempat hidup manusia dan makhluk lainnya diartikan sebagai sesuatu yang memilki awal dan pada masanya nanti akan mengalami akhir. Seperti seseorang yang akan dan sedang melakukan sebuah perjalanan
98
yang ada tempat awalnya sebelum kita bergerak menuju suatu tempat yang merupakan akhir atau tujuan dari perjalanan, sedangkan proses perjalanan itu sendiri merupakan sesuatu yang harus dilewati. Didalam atau diantara awal dan akhir perjalanan itu sendiri terdapat pemandangan yang indah, siang dan malam, ataupun hambatan berupa tanjakan dan hujan sekalipun, mungkin juga melewati dan singgah di tempat peristirahatan sejenak, untuk sekedar beristirahat diri. Sama halnya dengan alam yang memiliki tempet persinggahan yang salah satunya ialah bumi sebagai persinggahan untuk kita untuk menuju alam berikutnya. Kedua, alam yang diluar “alam materi”, yaitu alam bukan hanya yang dilihat, didengar dirasakan oleh inderawi kita saja, namun alam juga merupakan sesuatu yang lebih luas dari itu karena alam yang dapat dirasakan oleh inderawi hanya alam bumi, sedangkan alam lainnya tidak dapat dirasakan oleh inderawi kita, misalnya alam ghaib, yang tidak dapat kita bayangkan. Seperti melihat tubuh kita pada sebuah cermin, kita hanya dapat melihat beberapa bagian dari tubuh ini saja namun beberapa bagian lainnya tidak dapat kita lihat di cermin itu sendiri. Dengan menggunakan atribut berpengetahuan yang diajarkan oleh Islam sendiri yaitu dengan menyelaraskan objektivitas proposional nalar dan subjektivitas emosional hati kita baru bisa “merasakan” apa saja yang tak dapat dirasakan oleh inderawi kita. Selanjutnya tentang perubahan yang terjadi atau yang dilakukan oleh alam itu sendiri tidaklah terbatas oleh ruang dan waktu namun lebih dari itu, sebenarnya alam bergerak dan selalu melakukan “gerak” dari sisi substansinya. Kesempurnaan yang menjadi tujuan “gerak” alam tersebut diraih dan didapatkan oleh pergeseran “nilai” atau “inti hal” dari alam itu sendiri. Subtansi itu sendiri tidak dapat diukur oleh sesuatu yang terinderai saja, namun lebih dari itu terdapat banyak hal yang tidak terinderai oleh kita (khalayak kebayakan). Melakukan suatu perubahan yang lebih baik dari waktu sebelumnya ialah sesuatu yang diajarkan oleh Islam sendiri. Seperti yang tertuang dalam Al Quran surat Al Hasyr ayat 18 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr :18)
99
Dengan dua asmumsi dasar tadi dapat disimpulkan, bahwa dalam memahami atau menjalankan sebuah perencanaan yang “apa adanya” dari objek yang direncanakan (yang sebenarnya diperlukan oleh objeknya itu sendiri). Dengan itu kita dapat menaruh prioritas pembangunan fisik sebagai prioritas yang paling akhir setelah prioritas sistem nilai (norma) dari stakeholder perencanaan dan pembangunan, yang merupakan satu kesatuan terdepan dalam
merencanakan
sesuatu
atau
objek
tertentu.
Stakeholder
yang
dimaksudkan di atas meliputi berbagai pihak yang terlibat dalam perencanaan pembangunan yaitu, masyarakat, pemerintah, swasta dan lingkungan. Dengan memperhatikan itu semua kita dapat “melihat” dan “merasakan” apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh objek itu sendiri, yang mudah-mudahan tujuan akhirnya dapat menjadi rahmat bagi seluruh semesta, baik itu hubungannya langsung dengan makhluk dan Sang Pencipta, ataupun makhluk dan makhluk lainnya (termasuk lingkungan juga). Dari penjelasan diatas terdapat dua persamaan dari Teori Gerak Substansi dan hakekat perencanaan, jika dikaitkan dengan realitas dari keduanya. Pertama, antara Teori Gerak Subastansi dan Perencanaan Islami sama-sama bertujuan menuju kesebuah yang lebih Tinggi atau lebih baik (keKesempurnaan Eksistensi). Pembangunan harus lebih intensif lagi dalam usahausahanya ke sebuah perbaikan dari kekurangan yang ada, dan tidak berhenti dalam usahanya tersebut. Kedua, baik itu Gerak Substansi dan Perencanaan Islami telah memaparkan tentang peninggalan alam materi. Perencanaan yang berorientasi pada bangunan fisik tidak lagi ditempatkan ditingkatan paling atas, namun yang lebih utama dari itu ialah sistem nilai manusianya sendiri yang terlibat dalam proses perencanaan sampai dengan implementasinya sebuah perencanaan. Dengan mencoba untuk mentransformasikan spirit religi yang normatif menjadi suatu sistem yang teoritis dan dengan mentransformasikan spirit religius tadi yang bersifat subjektif kedalam suatu kategori objektif (dalam hal ini-pola keruangan) maka kita akan siap menghadapi pelbagai bentuk tantangan struktural dari perkembangan masyarakat yang mulai meruntuhkan nilai-nilai budaya dan spirit religius. Demi mewujudkan itu semua diperlukan suatu sistem pemikiran dalam sebuah proses perencanaan yang memiliki objektivitas
100
proposional nalar dan subjektivitas emosional hati yang mengandung nilai-nilai religi yang lebih. Proses perencanaan Islam seperti yang disebutkan diatas yang lebih kearah Teosentris diharapkan dapat memperbaiki sistem perencanaan yang telah ada. Suatu proses yang secara kritis berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ilusi, false needs yang dinampakan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial yang mudah-mudahan atas seizin Dzat Maha Sempurna dapat memperbaiki dan mengubah kondisi kehidupan masyarakat Indonesia pada masa yang akan datang. 3.3.2
Pijakan untuk proses transformasi Dengan dasar pokok pikiran Islam yang diantarkan oleh Mulla Shadra
yang isinya mengenai “Kearifan Puncak” dengan tahapan sebagai berikut: ●
Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
●
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
●
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
●
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Melalui metode pendekatan Transformasi yang digunakan untuk mengubah teori-teori yang bersifat normatif dalam sains Islam kedalam suatu nilai-nilai yang lebih objektif dan real. Untuk itu setelah melihat bahwa sumber pengetahuan dapat
diperoleh
seperti
cara-cara
diatas
maka
penulis
mencoba
mentransformasikan pokok pikiran Islam yang disampaikan Filosof Islam Mulla Shadra mengenai “Kearifan Puncak” kedalam suatu Konsep Paradigma Proses Perencanaan dengan tahapan yang tidak terpisahkan satu sama lainnya yaitu sebagai berikut •
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
•
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
•
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
•
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam Tuhan dengan suatu Kekuatan Yang Tunggal dan Manusia sebagai suatu
yang diatur oleh Tuhan dalam sebuah sistem penghidupan yang ada di semesta alam ini, dianalogikan sebagai sebuah hubungan Pemerintah dan Masyarakat. Pemerintah yang di Indonesia saat ini dijadikan sebagai sebuah otoritas
101
pengembilan keputusan tertinggi dan Masyarakat sebagai suatu yang dijamin penghidupannya oleh pemerintah. Tabel III.2 Proses Transformasi Analogi Substansi
Teori Perencanaan
Perjalanan dari Makhluk menuju Tuhan
Kearifan Puncak
Pencarian dan pembersihan diri untuk menuju perjalanan kepada Allah Seseorang yang ingin melewati safar ini harus melewati tiga Maqam yaitu: alam nafs, alam qalb dan alam ruh. Di alam nafs, bukan menghilangkan atau melenyapkannya, namun membatasi dan melepas nafs yang dapat mengotori kita Alam qalb, yang merupakan tingkatan alam ruhani. Kalbu memeberikan kita cahaya, tetapi kadang-kadang kita terpaku dalam alam kalbu. Bisa saja dia sudah terhiasi oleh akhlak-akhlak yang baik, namun setiap harinya hanya dalam tahapan itu saja, tidak menjadi stimulan yang mendorongnya ketingkatan yang lebih tinggi. Alam ruh, ruh yang dimaksudkan disini hanyalah istilah. Mengapa kita harus melewati ruh ini? Karena kita adalah materi.dibandingkan dengan sesuatu yang spiritual, materi adalah gelap. Namun sebelum melewati alam ruh harus berhenti di terminal yang disebut sebagai maqam aql. akal yang identik dengan sebuah pemikiran yang rasional materialisme akan membawa kita terjebak dengan alam materi
Pembelajaran sosial oleh stakeholder dalam perencanaan pembangunan Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan). Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan partisipatif. Prioritasi usulan kegiatan yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah (persamaan dan kesetaraan). Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis daerah; Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah terealisasikan; Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan Desa/Kelurahan pada tahun sebelumnya Menetapkan Kahalifah (wakil) yang Amanah terhadap aspirasi masyarakat
Perjalanan dengan Tuhan dalam Tuhan
Berpengetahuan tentang sifat dan dzat Allah • maqam sirr (fana’fi Dzat) yang iasanya para arif sering berada dalam kemabukan (ekstase). • Kedua, maqam khafiy (fana’) yaitu seoarang arif akan menghadapi kefanaan dalam sifat Allah. • Ketiga yakni maqam akhfa, yaitu maqam Dzat dan Sifat sekaligus.
Proses politis dalam stakeholder untuk merumuskan perencanaan Islam Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap peran legislatif oleh masyarakat Muhasabbah yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh legislatif Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar dapat sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah Penetapan kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah Pengembangan diri dalam memlihara prinsip Ummah Qaanitah Mengembalikan Kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Wasatha Pembentukan forum koordinasi dengan sikap Tasamuh
102
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk dengan Tuhan
Keberleburan diri dengan sifat dan dzat Allah Selanjutnya safar yang ketiga setelah melewati dua safar sebelumnya dengan tujuh maqam yakni safar min al-Haq ila khalq ma’a al-Haq (dari Allah menuju makhluk bersama Allah). Seakanakan safar ini bagian dari antiklimaks (menurun), hal ini memang sulit dijelaskan. Seoarang salik tidak lagi melihat Allah dari sesuatu, namun dibalik menjadi melihat sesuatu karena Allah sebelumnya. Adanya Sang Pencipta membuktikan adanya alam semesta ini. Dalam tahapan ini manusia berada dalam sebuah “peniadaan diri” yang menganggap bahwa seluruh yang terdapat dialam ini tidak ada kecuali Allah, dan melakukan segala sesuatunya dalam kehidupan ini hanya untuk kemashlahatan semesta.
Mobilisasi dan koordinasi perencanaan Islam yang amanah Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap peran legislatif oleh masyarakat Muhasabbah yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh legislatif Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar dapat sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah Penetapan kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah Pengembangan diri dalam memlihara prinsip Ummah Qaanitah Mengembalikan Kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Wasatha Pembentukan forum koordinasi dengan sikap Tasamuh
Perjalanan dalam Makhluk bersama Tuhan
Menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhluk-Nya berdasarkan kemampuan mereka Tahapan selanjutnya yang merupakan tahapan tertinggi dari seluruh perjalanann yang dilakukan seorang salik yakni, safar fil al-khalq ma’a al-Haq (dengan Allah tetapi dalam Allah). Dalam safar ini seseorang yang telah mengarungi alam-alam yang harus dilalui dan sampai pada puncaknya, dia harus turun kembali dan membenahi masyarakatnya. Menyatukan diri dengan Allah membuat dia bukan hanya sempurna namun menyempurnakan masyarakatnya. Seoarang salik yang telah berada dalam tahapan ini harus kembali lagi menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhluk-Nya berdasarkan kemampuan mereka (bahasan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh yang lain).
Proses penjiwaan perencanaan Islam untuk di aktualisasikan dalam Action Plan Meningkatkan intensitas dan kualitas partisipasi masyarakat Meningkatkan kualitas perencanaan Mewujudkan keseimbangan antara pencapaian sasaran strategis dengan pencapaian sasaran tahunan Mewujudkan prinsip Ummah Haadiyah Sosialisasi hasil Forum Koordinasi Sosialisasi RAPBD Sosialisasi berbagai Informasi Menerima masukan dari berbagai ususlan yang telah disosialisasikan sebagai bahan pertimbangan untuk evaluasi
Sumber: Hasil Kontruksi Paradigma, 2005
3.3.3
Penentuan Sistem Nilai dalam Proses Transformasi Nilai-nilai yang nantinya terkadung dalam sebuah perencanaan Islami
harus mencakup 3 prinsip utama, yaitu : Keseimbangan, Keteraturan, dan Etika. Bila dilihat dari sebuah Kehidupan 3 prinsip diatas merupakan hal yang paling penting dalam melakukan sebuah aktivitas yang Islami. Untuk pengertian yang lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut: 1. Keseimbangan, tidak ada makhluk hidup, selain manusia, yang mengganggu keseimbangan alam. Bahkan, mereka tercipta dengan sifat-
103
sifat yang mempertahankan keseimbangan itu. Namun, keseimbangan bumi selalu terancam oleh tindakan bodoh manusia. Misalnya, jika manusia menyakiti seekor hewan tanpa kenal ampun, hewan itu akan punah. Punahnya hewan itu menyebabkan jumlah mangsanya meningkat terlalu banyak, yang kelak akan membahayakan hidup manusia dan alam itu sendiri. Jadi, ada suatu keseimbangan alami dalam penciptaan makhluk hidup. Mereka sepenuhnya cocok dengan keseimbangan alam, tetapi kecuali untuk manusia, mereka bisa menyebabkan kehancuran keseimbangan yang sudah tepat itu. (Harun Yahya, Let’s Learn Our Islam: Indahnya Islam Kita), seperti yang terkandung dalam Al Quran surat Al Mulk ayat 1-3, yang artinya sebagai berikut: “Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun, Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?” (Q.S. 67 : 1-3) 2. Keteraturan, Allah telah menciptakan dunia yang indah dalam alam semesta yang sempurna untuk kita, dan Dia menciptakan hewan-hewan dan tumbuhan di dalamnya. Dia menciptakan matahari untuk memberikan energi dan menghangatkan kita. Jarak matahari dari bumi telah diatur dengan tepat sehingga jika lebih dekat akan sangat panas, tetapi jika lebih jauh kita semua akan membeku. Ketika para ilmuwan menemukan lebih banyak bukti-bukti ini, kita pun mengetahui kekuasaan Allah lebih baik. Hal ini karena benda-benda tidak bisa mengambil keputusan atau pun melaksanakan keputusan itu. Ini berarti bahwa ada Pencipta yang telah merancang dan menciptakan alam semesta ini. Materi, yaitu zat dasar bintang-bintang, manusia, hewan, tanaman, dan segalanya, hidup atau tak hidup, berada di bawah kendali Allah. Itulah sebabnya segala hal di bumi ini teratur. Karena segalanya
104
diciptakan oleh Allah, Yang Maha Pencipta dan Pemberi Bentuk. (Harun Yahya, Let’s Learn Our Islam: Indahnya Islam Kita), seperti yang terkandung dalam Al Quran, yang artinya: Surat Al Fathir ayat 1: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendakiNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. 35: 1) Surat Ash-Shaaf ayat 4: “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (Q.S. 61:4) 3
Etika, adalah cabang filsafat yang mencari hakikat nilai-nilai baik dan jahat yang berkaitan dengan perbuatan dan tindakan seseorang, yang dilakukan
dengan
penuh
kesadaran
berdasarkan
pertimbangan
pemikirannya. Persoalan etika adalah persoalan yang berhubungan dengan eksistensi manusia, dalam segala aspek kehidupan, baik individu maupun masyarakat, yang hubungannnya dengan Tuhan dan selain Tuhan diberbagai bidang. Setidaknya dalam prinsip Etika ini menyangkut hal-hal penting lainnya, yaitu: 1) Moralitas terhadap kitab suci 2) Etika Teologis 3) Etika Kefilsafatan dan 4) moralitas Agama. (Asy’arie, Musa 2002: 89), seperti yang terkandung dalam Al Quran surat An-Nisaa’ ayat 36, yang artinya adalah: “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karibkerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (Q.S. 4:36)
105
Dari ketiga prinsip utama
yang telah disebutkan diatas, kemudian
terdapat sistem nilai yang mengacu pada tiga prinsip utama yang telah dijelaskan diatas. Sistem nilai Islam ini yang nantinya dijadikan sebagai acuan dalam
proses
perencanaan
yang
Teosentris
didalam
setiap
tahapan
perencanaan yang telah di transformasi-analogikan dari Teori Gerak Mulla Shadra tentang “Konsep Kearifan Puncak”. Bila dilihat dari karakteristik sistem nilainya ketiga prinsip utama tadi akan terkandung didalamnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada uraian sebagai berikut: 1. KEADILAN Adil menurut kamus besar Bahasa Indonesia berarti tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak pada yang benar, sepatutnya dan tidak sewenang-wenang. Adil dalam arti seimbang diidentikan dengan kesesuaian atau proposional. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan sarat bagi semua bagian unit agar seimbang, bisa saja satu bagian dengan bagian berrukuran kecil atau besar sedangkan yang lainnya kebalikan dari itu, namun yang terpenting sesuai dengan ketentuan fungsi yang diharapkan sebelumnya (Tamyiez Dery’, 2002). Dalam kehidupan sosial keadilan diartikan sebagai keberhakkan individu dalam komunitas masyarakat dapat meraih kebahagiaan yang baik mesti diwujudkan dan dipelihara agar sejahtera. Keadilan sosial sendiri harus mengandung 3 kriteria bawaannya, yaitu: Kebebasan, Kesadaran dan tanggung jawab, seperti yang terkandung dalam Al Quran , yang artinya: Surat al- Rahman ayat 7 “Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan).“(Q.S. 55:7) Surat Al Maa-idah ayat 8 “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah
sekali-kali
kebencianmu
terhadap
sesuatu
kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. 5 : 8)
106
2. PERSAMAAN Sama disini dikaitkan dengan memberi kesan pada adanya dua pihak atau lebih, karena kalau hanya satu pihak, tidak akan terjadi adanya persamaan. Maksud dari persamaan disini ialah persamaan Hak, yang dikaitkan dengan nilai sebelumnya (keadilan). Persamaan disini tetap memegang teguh pluralitas, tanpa harus menghilangkan stratifikasi sosial yang telah menjadi realitas sosial. Mengusung kesamaan Hak dan kewajiban dari masing-masing kelompok sosial yang selaras dengan fungsinya di masyarakat. Surat Al Maidah ayat 48: “Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat diantara kamu], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.”(Q.S. 5:48) Allah SWT dalam melihat, memandang dan manilai Makhluk ciptaan-Nya tidak lagi membedakan karena Allah menganjurkan masuk dalam seberagaman atau pluralitas dan saling mengenal, Taqwalah yang menjadi ukuran kemuliaan bagi Allah. Surat Al Hujuraat ayat 13 “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. 49 : 13)
107
3. KETERBUKAAN Menurut Karl Popper, konsep masyarakat terbuka yang bebas ini memungkinkan segala bentuk pengetahuan dan seluruh kebijakan sosial akan dapat dikritik karena bersifat transparan. (Asy’arie, Musa, 2002:100). Bagi Popper, masyarakat yang terbuka itu akan menjadi bentuk sosial yang mampu melakukan proses falsifikasi yaitu kritik rasional terhadap bangunan epistemologi pengetahuan sosial, politik, dan lain-lain di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Tanpa keterbukaan memungkinkan terjadinya kesalahpahaman, kecurigaan dalam berprasangka dan pada akhirnya terjadi konflik, seperti yang terkadung dalam Al Quran, yang artinya: Surat Al Hujaraat ayat 12: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Q.S. 49:12) 4. MUSYAWARAH Adalah sebuah partisipasi warga ummat untuk turut andil dalam menentukan keputusan dan menganali persoalan apa yang mengikat mereka, dan bagaimana persoalan itu ditangani atau diselesaikan. Bermusyawarah ialah etika sosial yang fundamental, karena kodrat kehidupan masyarakat adalah perbedaan dan pertentangan pendapat. (Asy’arie, Musa, 2002: 101). Dengan musyawarah yang terbuka, untuk dapat mengikuti pendapat yang lebih baik, artinya juga tidak membiarkan masyarakat dalam berprasangka, karena kecurigaan tersebut bukanlah suatu kebenaran.
108
Surat Az Zumar ayat 18 yang artinya: “mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Q.S. 39:18) 5. KEPEMIMPINAN Kaum muslimin adalah ummat yang senatiasa menjaga dan memelihara sikap mental kepemimpinan. Nilai kepemimpinan selalu beriringan dengan nilai lainnya, seperti keadilan dan kebenaran. Allah akan mewariskan
kepemimpinan
kepada
kaum
yang
tertindas,
bahwa
penyampaian ini ditujukan kepada kaum yang beriman Dengan demikian, tanpa keimanan dan akidah yang benar, mereka yang tertindas sekalipun tak jaminan untuk diberikan kepemimpinan di atas bumi ini. Melihat hirarki kepemimpinan Allah dan Rasul, serta manifestasi ketaatan kepada keduanya, sudah jelas mencontohkan pada ummat tentang nilai kepemimpinan. Surat Al Qashash ayat 5-6: “Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu “ (Q.S. 28 : 5-6) 6. KEBENARAN DAN KEBAIKAN Manusia secara fitrahnya pasti mempunyai nurani untuk menghargai dan menyukai kebenaran dan kebaikan tanpa membedakan suku, agama dan ras. Kebenaran dan kebaikan menurut Islam tidak bersifat relatif (pandangan kebanyakan orang), namun memang sesuatu yang hakiki untuk kemashlahatan semesta ini. Secara etis makna ‘baik’ mengarah pada persetujuan, anjuran, keunggulan, kekaguman dan keselarasan. (Asy’arie, Musa, 2002: 90). Dilihat dari etika, niali kebenaran dan kebaikan bersifat universal dan absolute. Ketika nilai kebenaran dan
109
kebaikan jatuh pada tataran aplikasi dalam realitas kehidupan, terkadang bisa saja terjadi perbedaan-perbedaan, seperti bentuk penghormatan antara satu daerah dengan daerah lain memiliki cara yang berbeda. Untuk itu validitas ‘relatif’ kebenaran dan kebaikan tersebut dapat dipertanggung jawabkan dengan cara ‘berijtihad’, yang memungkinkan agar Islam senantiasa sesuai dan berlaku sepanjang masa tanpa melupakan ketetapan yang utama yaitu Al Quran dan Hadist. Surat Al Imran ayat 104, artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar[217]; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. 3:104) 7. TANGGUNG JAWAB Suatu konsekuensi logis yang diterima oleh setiap ummat, ketika menghadapi dan menyikapi suatu pilihan dalam hidup untuk nantinya dijalankan dalam realitas kehidupan, pasti akan mempunyai akibat yang harus dipertanggung jawabkan. Kepekaan kepada setiap orang akan timbul ketika orang tersebut akan mengambil suatu pilihan. Sikap hati-hati dan berupaya agar tidak berbenturan dengan aturan Islam, karena Islam sendiri mengharuskan Keteraturan dalam Hidup, menjadikan manusia melakukan suatu pemikiran yang matang sebelum bertindak agar hasilnya dapat dipertanggung jawabkan secara etika dan agama, yang pada akhirnya nanti manusia dituntut untuk bertanggung jawab di dunia dan di akhirat. Surat Al A’raaf ayat 164: “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata: "Mengapa kamu menasehati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?" Mereka menjawab: "Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa” (Q.S. 7:164)
110
8. MORALITAS Prinsip kemanusiaan dan kemashlahatan pada realitas kehidupan akan menjadi tolak ukur dalam melakukan suatu perbuatan atau aktivitas di dunia. Nilai moral atau moralitas merupakan suatu konsekuensi beragama dan bermasyarakat. Legitimasi Allah dalam hukum Islam (Al Quran dan Al Hadist) akan mendapat proporsi yang paling tinggi. Tidak hanya memandang mana yang pantas ditataran masyarakat kebanyakan, namun lebih dari itu menjadikan moral memiliki beban langsung secara vertikal pada ketentuan Allah SWT. Relatrivisme masyarakat dalam aspek kehidupan bukan menjadi tolak ukur satu-satunya terhadap nilai moralitas, Allah SWT dengan Al Quran akan menjadi tolak ukur yang utama. Suatu nilai yang menyangkut individu dalam bersikap pada seluruh aspek kehidupan untuk kemashlahatan semesta. Surat Al Baqarah ayat 177: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orangorang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. 2 : 177) 9. EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektifitas dan efesiensi lebih dikaitkan pada perihal persoalan alokasi sumber daya, perilaku manusia dan sistem kemasyarakatan dalam tindakan atau tatanan aspek kehidupan bermasyarakat. Kondisi dimana manusia dihadapkan dengan persoalan keadilan bermasyarakat, yang menuntut kita bersikap sesuai dengan aturan ke-Tuhanan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia. Efektif dan efesian dapat juga
111
diartikan sebagai tindakan taktis dan strategis untuk mencapai tujuan dengan tidak melakukan hal-hal yang tidak penting atau tidak berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai. Fokus, optimal dan tidak berlebihan dalam mengambil setiap langkah untuk diaplikasikan dalam sebuah tindakan nyata yang tersusun secara teratur untuk mencapai tujuan tertentu. Surat Al Furqaan ayat 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (Q.S. 25:67) Surat Al ‘Ashr ayat 1-3 “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat
menasehati
supaya
mentaati
kebenaran
dan
nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S.103:1-3) 10. PEMBAHARUAN Suatu nilai dengan pandangan membuat suatu perubahan yang berarti untuk
meningkatkan
dengan
penciptaan
atau
karya
baru
yang
berkesesuaian dengan tuntutan kedinamisan zaman. Searah dengan proses perubahan dan pergeseran struktur sosial yang terjadi dalam realitas kehidupan, dimana manusia dituntut untuk melakukan suatu pembaharuan. Melakukan inovasi dan kreasi untuk kemashlahatn semesta
ini
merupakan
sesuatu
yang
diajarkan
dalam
Islam.
Kedinamisan sendiri merupakan salah satu alasan kenapa harus melakukan suatu pembaharuan, karena sesuatu yang baru secara esensinya terdapat perubahan substansinya. Pembaharuan sendiri dilakukan dengan dasar ketentuan yang tidak bertentangan Al Quran dan Al Hadist. Surat Adh Dhuhaa ayat 4: “Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan)” (Q.S. 93 : 4)
112
11. BERKELANJUTAN Tidak berhenti pada suatu titik tertentu, namun terus melakukan proses kedinamisan yang terus menerus merupakan inti dari nilai berkelajutan. Perubahan yang ingin dicapai haruslah dijalankan dalam periode waktu yang tidak terbatas, karena hidup bukan untuk saat sekarang saja. Perlunya nilai berkelanjutan demi memandang esensi hidup pada masa yang akan datang juga. Manusia secara kodrati diberi keinginan dan pemikiran untuk merencanakan tindakan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang. Allah SWT sendiri mencontohkan kita dengan emanasi sifatnya yang melakukan pengurusan semesta itu tiada henti atau terus menerus, seperti salah satu contohnya ialah bahwa Allah menciptakan proses siang dan malam yang selalu kita jalani. Surat Ali Imran ayat 2: “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya” (Q.S. 3:2) 12. KOREKSI Perwujudan dari sikap saling mengingati dari ummat yang satu pada ummat yang alin untuk tetap dalam koridor ketentuan Islam sendiri. Terlepas dari siapa dan kepada siapa kita melakukan suatu koreksi. Aktualisasi nilai koreksi pada tataran realitas kehidupan sosial harus dengan cara-cara yang baik pula (tidak anarkis), karena bila caranya saja tidak baik bagaimana dengan hasil dari koreksi itu sendiri yang berbentuk suatu perubahan apakah akan sesuai dengan diharapkan. Tata cara koreksi sendiri sebenarnya memang sudah diatur dalam setiap peraturan dan undang-undang di Indonesia. Surat An Nuur ayat 1: “(Ini adalah) satu surat yang Kami turunkan dan Kami wajibkan (menjalankan hukum-hukum yang ada di dalam)nya, dan Kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya” (Q.S. 24:1)
113
13. LOYALITAS Bentuk nyata dari sikap kesetiaan terhadap sesuatu hal yang bangkit dari sikap cinta akan sesuatu hal tersebut. Kepedulian dan pengorbanan karena rasa memiliki yang tinggi dengan komitmen terhadap sesuatu yang telah menjadi ketetapan bersama, yang juga tertanam dalam setiap individu, menjadikan suatu nilai loyalitas yang tinggi. Ingin melakukan yang terbaik bagi sesuatu yang dicintai merupakan fitrah sebagai manusia. Tentunya ketika loyalitas itu ada pastilah terdapat suatu alasan tertentu yang menjadikan loyalitas itu ada. Selagi alasan itu memang tapat dan sesuai dengan Islam maka bentuk kesetiaan tersebut diperbolehkan, namun jika sebaliknya, sebuah loyalitas dilakukan dengan alasan yang tidak baik maka itu tidak dibenarkan. Salah satu aktulaisasi loyalitas dalam Islam ialah berjihad. Surat Al Hajj ayat 78: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu [994], dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Q.S. 22:78) 14. PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Persaudaraan adalah salah satu nilai sosial kemanusiaan yang sangat ditekankan di dalam ajaran Islam. Kehidupan didalam persaudaraan dijiwai saling mencintai, saling memperkuat, saling menyayangi, dan saling menolong. Sistem kemasyarakatan yang menetapkan persudaraan sebagi nilai yang mesti dijunjung tinggi akan berdampak keselarasan dan keharmonisan dalam menjalankan segala sesuatunya. Ikatan di dalam bangunan ummat bukan lagi ikatan formalitas melainkan ikatan kejiwaan
114
dan ruhaniyah. Inilah yang sebenarnya menjadi bagian esensial yang emngubah potensi-potensi konflik menjadi kerukunan dan menggantikan permusuhan menjadi persaudaraan. Surat Al Anfaal ayat 73 “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Q.S. 8 :73) 15. MELAMPAUI FENOMENA Nilai ini merupakan sesuatu yang menjadi keharusan ummat dalam proses berfikir untuk melakukan sesuatu hal. Anugerah Allah SWT pada kita berupa Indera, akal dan hati (intuisi) dijadikan sebagai atribut dalam mengenali, mengetahui, memahami apa yang sebanarnya terjadi dalam suatu problematika sosial. Tidak lagi hanya sekedar mengatahui saja, namun ikut berempati dan merasakan apa yang sebenarnya terjadi pada yang lain. Memahami jiwa-jiwa yang menjalankan sesuatu hal dapat menjadikan kita mengerti sejauh mana kita berdiri dan tahu akan langkah apa yang mesti diambil ke depannya. Jiwa disini diartikan sebagai suatu refleksi diri dari sebuah subjek yang terpancarkan dan terserap oleh alam inderawi dan akal, dan dijadikan sebagi alat penghubung antara alam inderawi dan alam rasa. Emanasi jiwa yang terefleksikan dalam bentuk kehendak dan keinginan yang apda akhirnya diaktualisasikan dalam bentuk “bangunan objek” oleh akal dan inderawi kita. “tidak termuat Aku oleh Bumi-Ku dan petala langit-Ku, tetapi yang mampu memuat-Ku adalah Qalb hamba-Ku yang mu’min” (hadist Qudsi)
115
3.4
Aktualisasi Sistem Nilai dalam Proses Perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi
3.4.1 Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika Tahapan perencanaan yang paling awal dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla
Shadra
tentang
konsep
”Kearifan
Puncak”
ialah
Proses
Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika. Dalam tahapan ini, sesuai dengan safar yang pertama ialah safar min al-khalq ila’ al-Haq, dari alam makhluk menuju Allah (dari “yang plural” menuju ke “Yang Singular”, adari “yang majemuk” menuju “Yang Tunggal”), kita semua akan menuju Al-Haq, yakni Allah SWT. Ada berbagai cara untuk mengenal Allah, salah satunya dengan membuktikan adanya ayat-ayat Allah. Dengan melihat ayat-ayat Allah, yakni ciptaan-ciptaan Allah, kita akan mengenal bahwa dibalik semua itu ada Sang Khalik. Dalam proses perencanaan ini, masyarakat diajak untuk meninggalkan perannya sebagai individu atau pribadi. Setiap individu lebih berperan dengan fungsinya sebagai anggota masyarakat yang membawa kepentingan masyarakat secara luas. Peninggalan kepentingan pribadi bukan berarti tertinggal begitu saja, namun secara tidak langsung dari kepentingan tiap pribadi akan tergabung dalam bentuk kesepakatan bersama yang nantinya akan disampaikan atau diusulkan ke pemerintah selaku pengayom masyarakat. Untuk merealisasikan sebuah Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika yang sesuai dengan ajaran Islam haruslah mengandung nilai-nilai Islam juga. Adapun sistem nilai yang terkandung dalam proses ini ialah sebagai berikut: ●
KEADILAN Nilai keadilan yang terkandung dalam proses perencanaan yang pertama, diartikan sebagai sebuah ketaatan akan hukum dan aturan yang diberlakukan oleh pemerintah. Sikap adil dari masyarakat terhadap fungsinya sebagai individu atau kelompok kepada pemerintah dengan melakukan apa yang menjadi tanggung jawabnya terhadap pemerintah, dengan timbal balik menerima hak dari pemerintah. Peran masyarakat sebagai individu atau kelompok juga harus mengusung niali keadilan, yaitu sikap individu atau kelompok yang tidak memihak kepada salah satu kepentingan individu atau kelompok itu sendiri, namun juga adil dalam mengakomodir kepentingan individu atau kelompok lain yang nantinya disampaikan pada pemerintah sebagai sebuah masukan.
Masyarakat RT, RW atau Dusun
Kep.Desa, Perangkat Desa
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta. Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena) Tidak ada satu pun lapisan masyarakat dan elemen lokal lainnya yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, semua sektor penduduk harus diaktifkan untuk melakukan proses ini
BPD/Badan Perwakilan Desa
LPM
Kelompokkelompok masyarakat
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika tingkat Desa atau Kelurahan
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika tingkat Kecamatan
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika tingkat Kabupaten atau Kota
Sistem Masyarakat yang Beretika Islam dan para Khalifah (wakil)
Organisasi Masyarakat
Pengusaha
Perihal yang dibicarakan: Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan). Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan partisipatif. Prioritasi usulan kegiatan yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah (persamaan dan kesetaraan). Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis daerah; Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah terealisasikan; Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan Desa/Kelurahan pada tahun sebelumnya Menetapkan Kahalifah (wakil) yang Amanah terhadap aspirasi masyarakat
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
Gambar 3.1
116
117
●
PERSAMAAN Nilai persamaan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika diartikan sebagai penempatan peran masyarakat yang
bersanding
dengan
pemerintah
dalam
pengambilan
kebijakan.
Kebijakan tersebut berhubungan dengan kepentingan masyarakat itu sendiri, namun kedudukan masyarakat dalam hal ini harus sesuai dengan proporsi yang semestinya, bukan berarti wewenangnya harus sama dengan pemerintah. Berikut ini berbagai peran masyarakat sesuai dengan tingkatan strategi pembangunan pemerintah. 1. Pembangunan daerah tingkat proyek lokal atau komunitas, masyarakat berperan sepenuhnya dan terlibat langsung (berperan dominan). Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian perencanaan pembangunan secara langsung dengan menjadi sumber data dan informasi pada pemerintah, serta pengambilan dan pelaksana dalam perencanaan pembangunan. 2. Pembangunan daerah tingkat kota, hanya perwakilan masyarakat saja yang terlibat dalam pembangunan. Berperan serta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan dan pengendalian perencanaan pembangunan yang diaspirasikan pada wakil-wakil masyarakat di pemerintahan 3. Pembangunan daerah tingkat regional, masyarakat berperan sebagai sumber data dan informasi pada pemerintah. Masukan informasi yang tentang arah pengembangan, potensi dan masalah bukan pengambilan keputusan. 4. Pembangunan daerah tingkat nasional, peran masyarakat tidak dominan secara langsung, namun bertindak sebagai kontrol sosial terhadap prose perencanaan yang dilakukan oleh pemerintah pusat. ●
KETERBUKAAN Nilai keterbukaan dalam Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat
yang
Beretika,
berarti
sikap transparan
dan
koordinasi
masyarakat sebagai individu atau kelompok pada pihak lain (individu atau kelompok yang lain dan pemerintah). Kebijakan-kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus
118
diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat tanggapan publik. Demikian pula informasi tentang kegiatan pelaksanaan kebijakan tersebut dan hasil-hasilnya harus terbuka dan dapat diakses publik. Upaya pembentukan masyarakat transparansi, forum komunikasi langsung dengan eksekutif dan dengan legislatif, wadah komunikasi dan informasi lintas pelaku baik melalui media cetak maupun elektronik, merupakan contoh wujud nyata dari nilai keterbukaan. ●
MUSYAWARAH Nilai musyawarah pada Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika lebih kepada kegiatan pengambilan keputusan dalam masyarakat itu sendiri. Masyarakat yang terdiri dari individu dan kelompok untuk menyepakati perihal apa yang akan diusulkan ke pemerintah untuk
dijadikan
masukan
pada
perencanaan
pembangunan
masa
mendatang. Masukan disini lebih diutamakan perihal informasi atau data, kritikan dan juga solusi yang tepat, sesuai dengan aspirasi didalam masyarakat itu sendiri. Demokrasi merupakan kata yang tepat untuk nilai musyawarah yang diterapkan pada proses pengambilan keputusan. ●
KEPEMIMPINAN Nilai kepemimpinan pada Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, dimaksudkan pada perihal penunjukan tokoh masyarakat dan para cendikiawan sebagai penengah dan pengatur seluruh elemen masyarakat. Pemimpin yang dipilih dalam sistem masyarakat harus mampu melakukan sebuah koordinasi dan konsolidasi dari masyarakat menuju pemerintah dan didalam masayarakat itu sendiri. Perihal aspirasi apa yang nantinya ditetapkan oleh pemimpin didalam masyarakat harus sesuai dengan apa yang disuarakan oleh masyarakat umum
●
KEBENARAN DAN KEBAIKAN Nilai Kebenaran dan kebaikan pada tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika lebih menekankan pada proses penetapan dan pengajuan usulan, gagasan, kritikan atau ide tentang
119
perencanaan pembangunan kepada pemerintah. Masukan tersebut lebih mengutamakan kemashlahatan semesta, dalam hal ini ialah masyarakat secara umum bukan individu atau komunitas kelompok saja. Serta tentang kelestarian lingkungan yang dalam islam dendiri dikategorikan sebagai anggota dari semesta ini. Tata cara penyampaian masukan tadi juga diatur oleh prosedur yang memang selayaknya dilakukan oleh masyarakat kepada pemerintah. ●
TANGGUNG JAWAB Nilai tanggung jawab dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, ditekankan dalam hal proses menjalankan fungsi oleh masyarakat. Kedudukan masyarakat dalam sebuah negara ialah sebagai salah satu elemen yang membentuk sebuah negara iru sendiri, turut andil dalam kepatuhannya terhadap aturan dan hukum yang berlaku. Beban tanggung jawab harus dilaksanakan dan disikapi dengan kesadaran diri yang tinggi oleh setiap individunya. Keinginan untuk memajukan negara dengan tidak melanggar hukum juga meruapakn salah satu itikad baik dalam proses bernegara.
●
MORALITAS Nilai moral atau moralitas merupakan suatu konsekuensi beragama dan bermasyarakat. Legitimasi Allah dalam hukum Islam (Al Quran dan Al Hadist) akan mendapat proporsi yang paling tinggi. Tidak hanya memandang mana yang pantas ditataran masyarakat kebanyakan, namun lebih dari itu menjadikan moral memiliki beban langsung secara vertikal pada ketentuan Allah SWT. Setiap peran serta masyarakat harus dilandaskan dengan kesadaran diri yang tinggi tentang mana yang semetinya dialkukan dengan konsekuensi “apa pun yang diperbuat di dunia ini akan dipertanggung jawabkan di akherat nanti”.
●
EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektivitas lebih berhubungan kepada pemanfaatan sumber daya (alam, manusia dan modal). Masyarakat harus memanfaatkan sumber daya secara optimal, tidak menghambur-hamburkan apa yang telah disediakan oleh
120
pemerintah. Nilai efisiensi berorientasi pada kegunaan waktu yang harus seoptimal mungkin dan sesuai dengan sasaran perencanaan pembangunan Melakukan perubahan yang optimal dengan waktu yang telah ditentukan sebelumnya agar sasaran pembagunan masa mendatang bisa terealisasi dalam waktu berikutnya. ●
PEMBAHARUAN Nilai pembaharuan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, dikaitkan dengan proses inovasi dan kreasi tentang mengembangkan suatu hal baru. Hasilnya nanti dapat dijadikan masukan bagi perencanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Usulan yang bersifat pembaharuan bagi sistem perencanaan yang akan diberlakukan dan sedang dilaksanakan. Pemabaharuan yang dilakukan sebagai wujud menjawab tantangan dari era globalisasi. Dari nilai pembaharuan ini akan berkaitan erat dengan nilai berkelanjutan.
●
BERKELANJUTAN Nilai berkelanjutan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, berkorelasi dengan sikap Kedimamisan. Terdapat beberapa hal yang memerlukan nilai berkenajutan ini anatara lain: dalam proses kemitraan yang terus menerus dari masyarakat pada pemerintah. Jangan sampai terputus koordinasi yang dialkukan masyarakat pada pemerintah. Kemudian perihal inovasi dan kreasi untuk menemukan solusi bagi permasalahan yang terjadi harus juga berkenajutan. Pengadaan program-program pemerintah disusun agar menjadi rantai yang tak terputus lagi, tidak bersifat sektoral dan partial saja.
●
KOREKSI Nilai Koreksi dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, mengenai perihal koordinasi dan aspirasi dari masyarakat
pada
pemerintah.
Proses
koreksi
yang
dilakukan
oleh
masyarakat harus dalam koridor hukum yang berlaku. Saling mengingatkan tentang perihal perencanaan pembangunan yang sesuai dengan sasaran atau tujuan semula. Ketika terdapat suatu kejanggalan yang mengakibatkan
121
proses implementasi perencanaan keluar jalur sasaran, maka disitulah peran masyarakat dengan nilai koreksi harus diterapkan. Saat ini badan atau lembaga yang bertugas dalam hal koreksi ialah LSM, namun untuk ke depannya perihal koreksi bukan hanya menjadi tanggung jawab LSM saja namun seluruh elemn masyarakat baik individu atau kelompok. Perlu diingat juga tentng bagainmana memberikan masukan dengan aturan beraspirasi yang sesuai dengan hukum yang berlaku. ●
LOYALITAS Nilai Loyalitas dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, lebih diutamakan tentang rasa cinta terhadap negara kita dan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah. Dengan rasa cinta tadi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Sesama, manusia dengan Alam dan manusia dengan karya yang tercipta akan berjalan selaras dan harmonis. Dukungan masyarakat terhadap pembanguan yang dilakukan pemerintah selagi pembangunan itu bertujuan untuk kesejahteraan bersama (semesta: lingkungan, masyarakat dan pemerintah) sangat diperlukan.
●
PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam tahapan Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika, mengutamakan sikap koordinasi yang baik didalam masyarakat itu sendiri dan kepada pemerintah. Proses kemitraan dijadikan sebagai salah satu aplikasi nyata tentang nilai persaudaraan dan kebersatuan, yang menjadikan peran masyarakat sebagai partnership dalam perencanaan pembangunan. Berjalan berdampingan dengan pemerintah dalam perencanaan pembangunan merupakan aksi nyata dari masyarakat. Bukan hanya di tahapan perencanaan awal namun sampai dengan evaluasi perencanaan juga.
●
MELAMPAUI FENOMENA Nilai melampaui fenomena dalam tahapan proses perencanaan dari masyarakat menuju pemerintah, bahwa masyarakat juga harus mengetahui usulan apa yang sesuai dengan kondisi sebenarnya yang terjadi dalam
122
masyarakat luas dan apa tujuan pemerintah melakukan suatu perencanaan pembangunan. jangan mengambil kesimpulan secara sepihak saja. Ketika suatu usulan atau masukan diajukan kepada pemerintah maka itu seharusnya telah merangkum semua kepntingan dan kebutuhan dari semua alpisan masyarakat tersebut. Mengungkap ”the real structures” dibalik ”false needs”
yang
dinampakan
dunia
materi,
dengan
tujuan
membantui
membentuk suatu keasaran sosial agar terjadi perbaikan kondisi kehidupan masyarakat kearak yang lebih baik lagi. Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika Tingkat Desa/Kelurahan 1. Tujuan Koordinasi perencanaan pembangunan yang partisipatif dimulai sejak dilakukan kegiatan identifikasi kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang kemudian dibahas dan disepakati dalam Musyawarah Pembangunan Tingkat Desa/Kelurahan. Sebelum masuk pada tingkat Desa/kelurahan, diadakan kordinasi terlebih dahulu di tingkat RT/RW atau dusun oleh lembaga setempat. Hasil dari situ disampaikan dalam bentuk draft aspirasi yang diketahui dan disetujui oleh masyarakat tingkat RT/RW atau dusun, dan diserahkan pada
perwakilan
untuk
dibicarakan
ditingkat
Desa atau
Kelurahan. Hasil dari sini nantinya dibicarakan kembali ditingkat kecamatan sebagi sebuah masukan terhadap perencanaan pembangunan. 2. Agenda Agenda yang dibicarakan pada tingkat ini adalah:
Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci desa/kelurahan berikut peta potensi dan permasalahan Desa/Kelurahan (peta kerawanan kemiskinan, pengangguran, dll), dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan secara partisipatif.
Prioritasi usulan kegiatan yang Tawazun (Keseimbangan) dan Musawah (persamaan
dan
kesetaraan).
Sebuah
proses
pemilahan
atau
kategorisasi kegiatan berdasarkan pada sumber pendanaan yang
123
diperlukan (swadaya, dunia usaha, Pemda dsb). dan informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang perkiraan jumlah Dana Alokasi
Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis daerah;
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan Desa/Kelurahan pada tahun sebelumnya.
Menetapkan Kahalifah (wakil) Desa/Kelurahan yang Amanah terhadap aspirasi masyarakat untuk menghadiri musyawarah tingkat Kecamatan;
3. Keluaran Adapun keluaran utama yang diharapkan adalah:
Daftar
usulan
kegiatan/program
pembangunan
yang
memerlukan
pembiayaan APBD Kabupaten/Kota, APBD Propinsi dan APBN.
Daftar
Usulan
kegiatan
yang
memerlukan
pembiayaan
swadaya
masyarakat.
Daftar Usulan kegiatan pembangunan yang memerlukan pembiayaan dunia usaha berasaskan kemitraan, baik itu dengan Komunitas masyarakat setempat atau swasta dan pemda.
Daftar/ nama-nama wakil desa untuk mengikuti Musrenbang tingkat Kecamatan.
4. Pihak yang terlibat Adapun peserta musyawarah adalah: Tokoh masyarakat; Ketua RT/RW; Kepala Dusun; Kepala dan Perangkat Desa, Badan Perwakilan Desa (BPD), Lembaga
Pemberdayaan
Masyarakat
(LPM);
Kelompok
Perempuan,
Kelompok Pemuda, Organisasi Masyarakat, Pengusaha, dan kelompokkelompok masyarakat marginal, dan lain-lain. Tingkat Kecamatan 1. Tujuan Ditujukan
untuk
mensinergikan
dan
mensinkronisasikan
hasil-hasil
musyarwarah Desa/Kelurahan dalam satu wilayah kecamatan sehingga menjadi suatu usulan yang sistematis, mantap dan terpadu untuk dibawa ke Forum Koordinasi selanjutnya, yaitu tingkat kabupaten/kotamadya.
124
2. Agenda Agenda yang dibicarakan pada tingkat ini adalah:
Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci kecamatan berikut peta potensi dan permasalahan Kecamatan (peta kerawanan kemiskinan, pengangguran, dll) dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan secara partisipatif. usulan
kegiatan
yang
Tawazun
(Keseimbangan)
dan
Musawah
(persamaan dan kesetaraan) terhadap prioritasi usulan kegiatan di tingkat kecamatan, seleksi prioritas progeam pembangunan berdasarkan pada sumber pendanaan yang diperlukan (swadaya, dunia usaha, Pemda dsb). dan informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang perkiraan jumlah Dana Alokasi
Informasi dari pemerintah Kabupaten/Kota tentang isu-isu strategis kecamatan
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan kecamatan pada tahun sebelumnya.
Menetapkan Kahalifah (wakil) kecamatan yang Amanah terhadap aspirasi masyarakat untuk mengahadiri musyawarah tingkat kabupaten atau kotamadya
3. Keluaran Adapun keluaran utama yang diharapkan adalah:
Daftar usulan kegiatan pembangunan di wilayah Kecamatan untuk dibahas pada musyawarah Daerah Kabupaten/Kota, yang akan didanai melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya. Usulan kegiatan ini merupakan hasil kesepakatan serta pemanduserasian antara usulan dari Satuan Kerja Perangkat Daerah kabupaten/Kota dengan usulan dari masing-masing Desa/Kelurahan. Selanjutnya, daftar tersebut juga disosialisasikan kepada masing-masing Desa/Kelurahan oleh para wakilnya yang mengikuti musyawarah Kecamatan;
125
Terpilihnya wakil Kecamatan untuk mengikuti musyawarah ditingkat Kabupaten/Kota.
4. Pihak yang terlibat Adapun peserta musyawarah adalah: perwakilan sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah Kabupaten/Kota, Anggaran DPRD yang mewakili Kecamatan bersangkutan, unsur Aparat Kecamatan, Perwakilan dari masingmasing
Desa/Kelurahan,
Kelompok
Perempuan,
Lembaga
Swadaya
Masyarakat yang memiliki aktifitas di kecamatan tersebut, pengusaha, para pelaku pembangunan (stakeholder) lainnya yang mewakili individu maupun kelompok yang peduli terhadap pembangunan atau disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi masing-masing daerah. Tingkat Kabupaten/ Kota 1. Tujuan Ditujukan
untuk
mensinergikan
dan
mensinkronisasikan
hasil-hasil
musyawarah Kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten/Kota adalah menjadi media utama konsultasi publik bagi segenap pelaku pembangunan (stakeholder) daerah untuk menetapkan program dan kegiatan daerah serta rekomendasi kebijakan guna
mendukung implementasi program/kegiatan
tahun anggaran berikutnya, sehingga menjadi suatu usulan yang sistematis, mantap dan terpadu. 2. Agenda Agenda yang dibicarakan pada tingkat ini adalah:
Mengidentifikasi potensi dan masalah kunci kabupaten atau kota berikut peta potensi dan permasalahan kabupaten atau kota (peta kerawanan kemiskinan, pengangguran, dll), dengan konsep Ta’aruf (mengetahui), Tafahum (memahami), dan Ta’awun (Kebersamaan).
Perumusan usulan rencana kegiatan pembangunan secara partisipatif yang
Tawazun
(Keseimbangan)
dan
Musawah
(persamaan
dan
kesetaraan) terhdap prioritasi usulan kegiatan di tingkat propinsi, seleksi prioritas progeam pembangunan berdasarkan pada sumber pendanaan
126
yang diperlukan (swadaya, dunia usaha, Pemda dsb). dan informasi dari pemerintah propinsi tentang perkiraan jumlah Dana Alokasi
Informasi dari pemerintah propinsi tentang isu-isu strategis kabupaten
Informasi tentang jumlah usulan yang dihasilkan pada forum sejenis di tahun sebelumnya yang telah terealisasikan;
Proses Muhasabbah (evaluasi) dalam pelaksanaan pembangunan kabupaten/kota pada tahun sebelumnya.
Menetapkan
Kahalifah
(wakil)
kabupaten/kota
untuk
menghadiri
musyawarah tingkat propinsi (DPRD) 3. Keluaran Adapun keluaran utama yang diharapkan adalah:
Daftar usulan kegiatan pembangunan di wilayah kabupaten atau kota hasil koordinasi ditingkat-tingkat sebelumnya
Terpilihnya wakil Kabupaten atau kota untuk mengikuti musyawarah ditingkat propinsi
4. Pihak yang terlibat Adapun peserta musyawarah adalah: Camat, Wakli Kecamatan, Perwakilan masing-masing
Satuan
Kerja
Perangkat
Daerah
Kabupaten/Kota,
LSM,
Perguruan Tinggi, Perwakilan Dunia Usaha, Perwakilan Asosiasi Profesi dan Media Masa. Prasyarat:
Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan
15
sitem
nilai
(Keadilan,
Persamaan,
Keterbukaan,
Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena)
Tidak ada satu pun lapisan masyarakat dan elemen lokal lainnya yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, semua sektor penduduk harus diaktifkan untuk melakukan proses ini
Wakil Masyarakat hasil penunjukan pada proses pertama
Dinas-dinas dan Instansi Lokal
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta. Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena) Tidak ada satu pun Elemen terkait yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, semua sektor pemerintah harus diaktifkan untuk melakukan proses ini
LEGISLATIF
EKSEKUTIF
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
Musyawarah untuk Menentukan Susunan Strategis untuk Perencanaan Pembangunan
Wakil Perguruan Tinggi dan LSM
Dunia Usaha
Perihal yang dibicarakan: Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap peran legislatif oleh masyarakat Muhasabbah yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh legislatif Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar dapat sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah Penetapan kewenangan yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah Pengembangan diri dalam memlihara prinsip Ummah Qaanitah M b lik K
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
Gambar 3.2
127
128
3.4.2
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah Berkeadilan Tahapan perencanaan yang kedua dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan. Dalam tahapan ini, sesuai dengan safar fil Al-Haq ma’a Al-Haq (dalam Allah bersama Allah). Safar ini dilakukan dengan syarat harus melewati safar pertama. Pada safar ini juga harus melewati beberapa maqam, yakni maqam sirr (fana’fi Dzat) yang iasanya para arif sering berada dalam kemabukan (ekstase). Kedua, maqam khafiy (fana’) yaitu seoarang arif akan menghadapi kefanaan dalam sifat Allah. Ketiga yakni maqam akhfa, yaitu maqam Dzat dan Sifat sekaligus. Dalam konteks perencanaan, pada tahapan ini diartikan sebagai sebuah proses perencanaan yang menciptakan sistem pemerintahan yang baik. Selain itu peran pemerintah, dalam tahapan proses perencanaan kedua ini, ditekankan pada sikap pemerintah dalam kepemrintahan itu sendiri. Revitalisasi peran lembaga pemerintahan (eksekutif dan legislatif daerah/pusat, dinas-dinas yang terkait) perlu dialkukan untuk menciptakan kepemerintahan yang baik. Peningkatan kualitas sumber daya aparat pemda dan elemen pemerintah lainnya, dilakukan dengan cara peningkatan pemahaman pemerintah tentang perencanaan pembangunan yang ideal dan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Adapun nilai-nilai yang terkandung didalamnya ialah, sebagai berikut: ◘
KEADILAN Nilai keadilan yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada sikap dan tindakan dari elemen pemerintah (aparat pemerintah lokal sampai kepada pemerintahan pusat) sesuai dengan etika jabatan yang dipegangnya. Setiap
instansi
pemerintah
mempunyai
kewajiban
untuk
mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan oleh masyarakat. Kinerja suatu instansi pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan terhadap atasan, anggota DPRD,
organisasi
nonpemerintah,
lembaga
donor,
dan
komponen
masyarakat lainnya. Dengan nilai keadilan yang telah diterapkan didalam keperintahan itu sendiri, diharapkan akan berdampak pada sikap pemerintah yang adil untuk masyarakat umum. Kepastian hukum juga merupakan
129
indikator penting dalam menimbang tingkat kewibawaan suatu pemerintahan, legitimasinya di hadapan rakyatnya, dan dunia internasional. ◘
PERSAMAAN Nilai persamaan yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada tindakan pemerintah lokal sampai pusat untuk konsolidasi, koordinasi, dan pembagian wewenang sesuai dengan tugas yang dianut masing-masing. adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, diketahui publik di satu pihak, serta upaya penegakan hukum yang efektif, konsisten, dan tanpa pandang bulu di pihak lain. Ketika dalam pemerintahan itu sendiri terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh oknum didalamnya, harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
◘
KETERBUKAAN Nilai Keterbukaan dalam pelaksanaan program-program pemerintah selama ini, praktis pertanggungjawaban keuangan di akhir tahun anggaran merupakan satu-satunya mekanisme yang berjalan. Untuk dapat memberikan masukan (feed-back) di tengah perjalanan suatu program, diperlukan adanya mekanisme pelaporan reguler (misalnya: bulanan). Selain itu, dibutuhkan adanya mekanisme verifikasi oleh pihak yang independen atas laporan tersebut. Hanya dengan adanya mekanisme pelaporan, pertanggungjawaban publik, dan verifikasi inilah tingkat keandalan laporan pengelola program dapat ditingkatkan dan tingkat pencapaian suatu program dapat terukur dengan mudah.
◘
MUSYAWARAH Nilai musyawarah yang dilakukan pemerintah didalam kepemerintahan itu sendiri ialah mengenai perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dalam konteks ini wakil-wakil rakyat di DPR/D diberi akses untuk secara aktif menyuarakan kepentingan masyarakat, dan menindaklanjuti aspirasi mereka sampai terwujud secara nyata. Keputusan-keputusan yang diambil, baik oleh lembaga eksekutif
130
maupun legislatif, dan keputusan antara kedua lembaga tersebut harus didasarkan pada konsensus agar setiap kebijakan publik yang diambil benarbenar merupakan keputusan bersama. ◘
KEPEMIMPINAN Nilai kepemimpinan dalam tahapan kedua ini diartikan sebagai upaya mendelegasikan kewenangan pusat kepada daerah untuk dapat mengurusi rumah tangganya telah dilakukan di seluruh daerah, namun demikian, pendelegasian kewenangan tersebut harus juga dilakukan di daerah seperti pendelegasian
wewenang
oleh
bupati
kepada
dinas-dinas
atau
badan/lembaga teknis yang ada di bawahnya, agar mereka memiliki keleluasaan
yang
cukup
untuk
memberikan
pelayanan
publik
dan
menyukseskan pembangunan di daerah. Wujud nyata dari prinsip tata pemerintahan yang terdesentralisasi adalah pemberian kewenangan yang luas disertai sumberdaya pendukung kepada lembaga dan aparat yang ada di bawahnya untuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah yang dihadapi. ◘
KEBENARAN DAN KEBAIKAN Nilai kebenaran dan kebaikan dalam penyelenggaraan kepemerintahan baru tercapai bila dalam penerapan otoritas politik, ekonomi dan administrasi ketiga unsur tersebut memiliki jaringan dan interaksi yang sinerjik dan setara. Interaksi dan kemitraan seperti itu biasanya baru dapat berkembang subur bila ada standar moral dan etika penyelenggaraan pemerintahan yang tinggi, kepercayaan (trust), transparansi, partisipasi, serta supremasi hukum, Good governance yang sehat juga akan berkembang sehat dibawah kepemimpinan yang berwibawa dan memiliki visi yang jelas.
◘
TANGGUNG JAWAB Nilai tanggung jawab yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada sikap atau rasa patuh terhadap amanat dari jabatan yang dibebankan pada aparat pemerintahan. Malakukan apa yang menjadi wewenang dari jabatan yang diterimanya. Di dalam pemberian pelayanan publik dan
131
pembangunan dibutuhkan aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, dengan profesionalisme yang sesuai. Oleh karenanya, dibutuhkan upaya untuk menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi kemampuan dan profesionalisme. Tingkat kemampuan dan profesionalisme aparat pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali, dan berdasarkan penilaian tersebut dilakukan peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai tuntutan pekerjaan dan tanggung jawab melalui pendidikan, pelatihan, lokakarya, dan sebagainya. Wujud nyata dari prinsip kompetensi dan profesionalisme dapat dilihat dari upaya penilaian kebutuhan dan evaluasi yang dilakukan terhadap tingkat kemampuan dan profesionalisme sumber daya manusia yang ada, dan dari upaya perbaikan atau peningkatan kualitas sumber daya manusia. ◘
MORALITAS Nilai Moralitas yang terkandung dalam tahapan Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan pada kesadaran akan setiap tindakan kita bakal diketahui oleh Sang Khalik. Sikap sadar yang seperti ini akan menuju kepada suatu kepemerintahan yang baik, karena tanggung jawab moral pada Allah dalam menjalankan fungsi profesionalisme jabatan menjadi acuan utama dalam nilai moralitas
◘
EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektifitas dan efesiensi lebih dikaitkan pada perihal persoalan alokasi sumber daya. perlunya penetapan target kuantitatif atas pencapaian suatu program. Selama ini, disadari maupun tidak, kita seringkali berorientasi pada indikator input seperti alokasi anggaran dan penyerapannya, dan melupakan pencapaian (output) program tersebut. Untuk menjaga efektivitas suatu pengeluaran, diperlukan pemantauan yang berdasarkan pada pencapaian target berbagai indikator kinerja (performance indicators) yang ditetapkan sebelumnya dan menunjukkan tingkat keberhasilan suatu program secara menyeluruh. Agar dapat meningkatkan kinerja tata pemerintahan dibutuhkan dukungan struktur yang tepat. Oleh karena itu, pemerintahan baik pusat maupun daerah dari waktu ke waktu harus selalu menilai dukungan struktur
132
yang ada, melakukan perubahan struktural sesuai dengan tuntutan perubahan
seperti
menyusun
kembali
struktur
kelembagaan
secara
keseluruhan dan menyusun jabatan dan fungsi yang lebih tepat. Di samping itu, pemerintahan yang ada juga harus selalu berupaya mencapai hasil yang optimal dengan memanfaatkan dana dan sumber daya lainnya yang tersedia secara efisien. Dalam konteks ini, harus ada upaya untuk selalu menilai tingkat efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang tersedia. ◘
PEMBAHARUAN Nilai pembaharuan dalam tahapan kedua ini diartikan pada perbaikan sistem keja kepemerintahan untuk menuju yang lebih baik. Penciptaan hal baru yang dapat mengoptimalkan kinerja kepemerintahan. Salah satunya dengan pelatihan dan pemahaman ilmu perencanaan yang sedang berkembang diluar dan dapat berkesesuaian dengan karakteristik wilayah perencanaan didalam
negeri,
tanapa
meninggalkan
prinsip-prinsip
yang
Islami.
Kedinamisan suatu kepemerintahan perlu dialakukan di setiap lapisan kepemerintahan. Nilai pembaharuan juga dimasukan dalam penyusunan program pemerintah yang bertujuan untuk memperbaiki kekurangan dari perencanaan pembangunan yang sebelumnya telah terimplementasikan ◘
BERKELANJUTAN Nilai berkelanjutan dalam proses kedua ini, menekankan bahwa semua kegiatan pemerintahan berupa pelayanan publik dan pembangunan di berbagai bidang seharusnya didasarkan pada visi dan misi tertentu disertai strategi implementasi yang jelas. Lembaga-lembaga pemerintahan pusat dan daerah perlu memiliki rencana strategis (Renstra) sesuai dengan bidang tugas masing-masing sebagai pegangan dan arah pemerintahan di masa mendatang. Dengan demikian Program Pembangunan Nasional (Propenas), Program Pembangunan Daerah, Rencana Strategis Departemen/ Lembaga/ Dinas merupakan wujud dari prinsip tata pemerintahan yang berdasarkan visi strategis.
133
◘
KOREKSI Nilai Koreksi didalam sistem kepemerintahan sendiri adalah diterapkannya mekanisme penanganan pengaduan dan keluhan oleh lembaga Pemeriksa kinerja aparat pemerintahan. Walaupun berbagai upaya tersebut di atas telah dklaksanakan, tentunya masih ada kemungkinan terjadinya suatu masalah dan penyelewengan yang timbul dalam pelaksanaan program ataupun pelayanan publik. Untuk menanganinya, diperlukan suatu bagian khusus dalam pengelola program atau instansi pelayanan masyarakat (misalnya air minum, listrik, puskesmas, dan sebagainya) yang bertugas untuk menangani pengaduan masyarakat yang masuk, baik secara langsung ataupun melalui pemberitaan di media massa. Tentunya, juga dibutuhkan kerjasama dengan berbagai lembaga pemeriksa dan penyidik yang sudah ada (inspektorat, kepolisian, kejaksaan, dan sebagainya), sehingga setiap pengaduan yang berindikasi penyelewengan dan tindak pidana dapat segera ditindaklanjuti. Karakteristik yang terpenting dalam mekanisme ini adalah perlunya kepastian bagi masyarakat bahwa pengaduan mereka akan ditangani dalam jangka waktu tertentu dan si pengadu berhak menerima laporan atas tindak lanjut pengaduannya itu.
◘
LOYALITAS Nilai loyalitas di dalam etika profesionalisme aparat pemerintahan memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, tentunya sesuai dengan profesionalisme jabatan
yang
dipegang.
Oleh
karenanya,
dibutuhkan
upaya
untuk
menempatkan aparat secara tepat, dengan memperhatikan kecocokan antara
tuntutan
profesionalisme.
pekerjaan Tingkat
dengan
kemampuan
kualifikasi dan
kemampuan
profesionalisme
dan aparat
pemerintahan yang ada perlu selalu dinilai kembali. Kepedulian terhadap tanggung jawab dan tugas yang dibebankan perlu dikedepankan. ◘
PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, lebih menekankan kepada sistem koordinasi dan proses konsolidasi antar elemen kepemerintahan ditingkat lokal
sampai
dengan
tingkat
pusat.
Sesungguhnya
antar
elemen
134
keperintahan tersebut terdapat saling bergantung dan terikat satu sama lainnya.
dinas
yang
satu
dengan
dinas
yang
lainnya
juga
harus
mengkoorsinasikan program pemabngunan apa yang akan dilakukan, hal ini perlu dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya tumpang tindih antar sektor pembangunan ◘
MELAMPAUI FENOMENA Nilai melampaui fenomena dalam tahapan Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan, mengutamakan pada tindakan pemerintah dalam tahapan pengambilan keputusan mengenai kebijakan yang berkaitan dengan publik. Pemahaman akan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan untuk menjalankan tugas kepemerintahan secara baik. Perihal kebijakan yang akan diputuskan haruslah berguna bagi kemashlahatan semesta, baik itu manusia, lingkungan dan hasil cipataan manusia itu sendiri (infrastruktur).
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan 1. Melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap peran legislatif oleh masyarakat sebagai sarana pengembangan demokrasi Pengawasan legislatif oleh masyarakat perlu diatur lebih jelas mekanismenya sehingga masing-masing dapat berjalan sesuai fungsi dan peranannya. Penyempurnaan aturan tentang pengawasan ini perlu juga diikuti dengan program dan kegiatan nyata dalam memberdayakan masyarakat dan lembaga legislatif di daerah. 2. Evaluasi yang transparan dan objektif dalam lembaga eksekutif oleh legislatif sebagai sarana pengembangan demokrasi. Meningkatnya peranan dan fungsi legislatif dalam mengawasi eksekutif tidak diikuti
dengan
peningkatan
peranan
masyarakat
dalam
melakukan
pengawasan terhadap legislatif. Hal ini cenderung mendorong timbulnya arogansi kekuasaan legislatif di Daerah. Fungsi legislatif dalam menyuarakan dan memperjuangkan aspirasi masyarakat bergeser menjadi kepentingan pribadi atau golongan tertentu.
135
3. Penetapan proporsi fungsi dan peran untuk urusan pemerintahan agar dapat tercipta pemerintahan yang demokratis dengan ciri ‘Check and Balance’, yang sesuai dengan prinsip Ummah Muqtashidah Menetapkan pembagian kewenangan dan atau urusan pemerintahan yang jelas antara Pemerintah Pusat, Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa melalui pendekatan
Kompetensi,
Pendekatan
Dampak
Eksternalistis
serta
Pendekatan Kemampuan, serta menggeser kembali pembagian kewenangan antar Kepala Daerah dan DPRD pada titik keseimbangan, 4. Penetapan kewenangan perihal optimalisasi pemakaian sumber daya sesuai dengan proporsinya dengan prinsip efesiensi dan efektivitas, yang sesuai dengan prinsip Ummah Qaaimah Menetapkan kembali pengaturan pemanfaatan dan pembagian sumber daya nasional yang ada di daerah agar lebih adil dan proporsional. Pembagian sumbersumber pendapatan pajak, bea dan cukai antara Pusat dengan Daerah tidak hanya menggunakan asas domisili melainkan juga asas sumber-sumber, sehingga daerah yang memiliki sumber berbagai pungutan memperoleh bagian yang adil dan proporsional. 5. Pengembangan
diri
dalam
sistem
pemerintah
agar
mengalami
pembaharuan yang berkelanjut dalam memlihara prinsip Ummah Qaanitah Lembaga Teknis yang telagh ditunjuk menjalankan fungsinya yang meliputi bidang penelitian dan pengembangan, perencanaan, pengawasan, pendidikan dan pelatihan, perpustakaan, kearsipan dan dokumentasi, kependudukan dan pelayanan 6. Mengembalikan Kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asalusulnya (kembali pada hakekatnya) yang sesuai dengan prinsip Ummah Wasatha
Kewenangan yang timbul dari hak asasi komunal, yakni hak atas pengembangan kebudayaan dan hak kekayaan intelektual, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kewenangan yang belum diatur oleh peraturan perundang-undangan dan atau yang belum dilaksanakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah
136
Kewenangan untuk melakukan kerja sama dengan pihak luar dalam mengelola dan atau memperoleh manfaat dari sumber daya yang ada di desa
Penyelenggaraan urusan pemerintahan lainnya yang belum dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
7. Pembentukan forum koordinasi sebagai sarana kesepakatan bersama dengan sikap Tasamuh Forum Koordinasi ditujukan untuk menghasilkan kesepakatan dan komitmen diantara para pelaku pembangunan (pemerintah daerah, masyarakat, perguruan tinggi, dunia usaha, dll) atas program, kegiatan dan anggaran tahunan daerah, di mana pengambilan keputusannya dilakukan secara partisipatif dengan berpedoman pada dokumen dokumen perencanaan pembnagunan daerah. Pemaduserasian setelah usulan kegiatan dari kecamatan, dinas, badan, lembaga dan kantor, perguruan tinggi dan swasta di daerah. Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta. Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena) Tidak ada satu pun Elemen terkait yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, semua sektor pemerintah harus diaktifkan untuk melakukan proses ini
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta. Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena) Tidak ada satu pun Elemen terkait yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, Pengadaan pelatihan dan pembinaan dari
Elemen masyarakat yang telah melakukan Proses Pembaharuan Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
Terwujudnya Pemahaman dan Penghayatan Akan Perencanaan Pembangunan yang Islam
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
Elemen pemerintah yang telah melakukan Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
Pihak Lainnya yang Terkait dalam Aspek Perencanaan Pembangunan
Perihal yang dibicarakan Meningkatkan intensitas dan kualitas partisipasi masyarakat Meningkatkan kualitas perencanaan Mewujudkan keseimbangan antara pencapaian sasaran strategis dengan pencapaian sasaran tahunan Mewujudkan prinsip Ummah Haadiyah Sosialisasi hasil Forum Koordinasi Sosialisasi RAPBD Sosialisasi berbagai Informasi Menerima masukan dari berbagai ususlan yang
Hasil Keputusan Strategis untuk Perencanaan Pembangunan setelah melewati Proses Tahap Kedua
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
Gambar 3.3
137
138
3.4.3
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah Tahapan perencanaan yang ketiga dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah. Dalam tahapan ini, sesuai dengan safar yang ketiga setelah melewati dua safar sebelumnya dengan tujuh maqam yakni safar min al-Haq ila khalq ma’a al-Haq (dari Allah menuju makhluk bersama Allah). Seakan-akan safar ini bagian dari antiklimaks (menurun), hal ini memang sulit dijelaskan. Seoarang salik tidak lagi melihat Allah dari sesuatu, namun dibalik menjadi melihat sesuatu karena Allah sebelumnya. Adanya Sang Pencipta membuktikan adanya alam semesta ini. Dalam tahapan ini manusia berada dalam sebuah “peniadaan diri” yang menganggap bahwa seluruh yang terdapat dialam ini tidak ada kecuali Allah, dan melakukan segala sesuatunya dalam kehidupan ini hanya untuk kemashlahatan semesta. semsntara jika kita meninjau safar ketiga ini dari sisi perencanaan, bianlogikan sebagai sebuah proses perencanaan yang diikuti dengan tindakan mobilisasi dan koordinasi hasil berpengetahuan dua proses perencanaan sebelumnya. dua proses perencanaan pada tahap ini, melibatkan masyarakat yang telah melakukan proses reformasi sosial dan pemerintah yang telah melakukan proses politis dan advokasi perencanaan dalam sistem pemerintah secara global dan menyeluruh. Koridor atau benang merah yang memisahkan tahapan ini dengan dua tahapan sebelumnya ialah mengenai tugas pemerintah dan masyarakat dalam hal menggerakan semua elemennya dalam sistem yang ada untuk melakukan tahapan koordinasi mengenai pengetahuan proses perencanaan pada dua tahapan sebelumnya, yang sesuai dengan sistem nilai dalam Islam. Adapun nilainilai yang terkandung didalamnya ialah, sebagai berikut: ●
KEADILAN Nilai keadilan yang terkandung dalam Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, diartikan sebagai sebuah ketaatan akan hukum dan aturan yang berlaku baik oleh pemerintah ataupun masyarakat itu sendiri. Legitimasi hukum dan aturan tentang perencanaan antara elemen masyarakat dan pemerintah harus ditegakkan. Sikap adil dari Pemerintah untuk memberi apa yang layak dan sesuai dengan hak masyarakat dalam perencanaan pembangunan masyarakat. Suatu tindakan nyata dalam
139
masyarakat dalam proses mobilisasi dan koordinasi tentang pengetahuan perencanaan yang berkesesuaian dengann nilai Islam kepada masyarakat oleh pemerintah. ●
PERSAMAAN Nilai
persamaan
Perencanaan
dalam
yang
tahapan
Amanah,
Proses
diartikan
Mobilisasi
sebagai
dan
Koordinasi
penempatan
peran
masyarakat yang bersanding dengan pemerintah dalam mobilisasi proses perencanaan. Pengetahuan tentang proses perencanaan setelah melakukan reformasi sosial dalam masyarakat dan proses politis yang berkeadilan menurut nilai Islam, di koordinasikan pada masyarakat luas oleh pemerintah sebagai koordinatornya dan masyarakat lainnya membentu sebagai tenaga bantuan dalam proses sosialisasinya. Memberi informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam perencanaan pembangunan mengenai proses perencanaan yang baik. ●
KETERBUKAAN Nilai keterbukaan dalam Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, berarti sikap transparan dan koordinasi kejelasan mengenai visi dan misi pembangunan dari pemerintah kepada masyarakat. Kebijakan-kebijakan publik baik yang berkenaan dengan pelayanan publik maupun pembangunan di daerah harus diketahui publik. Isi keputusan dan alasan pengambilan kebijakan publik harus dapat diakses oleh publik dan harus diumumkan agar mendapat tanggapan publik. Demikian pula penyampaian informasi tentang sasaran yang ingin dicapai pembangunan kepada masyarakat. Administrasi perencanaan yang diketahui juga oleh masyarakat, mengenai pengeluaran dan pemasukan pembiayaan pembangunan.
●
MUSYAWARAH Nilai musyawarah pada Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, lebih kepada kegiatan Pembentukan wadah dialogis di masyarakat yang langsung berhubungan dengan pemerintah. Demokrasi merupakan kata yang
tepat
pengambilan
untuk
nilai
keputusan.
musyawarah Proses
yang
teknokrasi
diterapkan yang
pada
demokrasi
proses dengan
mendengar pendapat dari masyarakat sebagai masukan pembangunan.
140
Pemerintah sebagai pemegang keputusan harus mampu mengalokasikan aspirasi masyarakat pasda proporsi yang tepat sesuai dngan kapasitasnya. ●
KEPEMIMPINAN Nilai kepemimpinan pada Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, dimaksudkan pada perihal penunjukan Wakil pemerintah duduk sebagai pengatur dan pengawas yang konsisten terhadap tanggung jawabnya sebagai pelayan publik dalam proses pembangunan. Perwakilan dari masyarakat pun juga dipilih untuk mengakomodir kepentingan dan memberi masukan kepada pemerintah mengenai aspirasi mayarakat yang sesungguhnya. Perihal aspirasi apa yang nantinya ditetapkan oleh pemimpin didalam proses pengembilan keputusan oleh pemerintah harus sesuai dengan apa yang disuarakan oleh masyarakat umum.
●
KEBENARAN DAN KEBAIKAN Nilai Kebenaran dan kebaikan pada tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah lebih menekankan pada proses pembelajaran kelestarian
tentang
orientasi
lingkungan,
pembangunan
kesejahteraan
yang
masyarakat
bertujuan dan
untuk
pelaksanaan
pembangunan yang sesuai dengan visi dan misi pembangunan. Masukan tersebut lebih mengutamakan kemashlahatan semesta. Mengenai tata cara peembelajaran tentang visi dan misi pembangunan ditetapkan oleh pemerintah atas dasar pemerataan penyampaian informasinya. Perihal yang semestinya dilakukan oleh masyarakat untuk mendukung perencanaan pembangunan yang dialkukan oleh pemerintah dan masyarakat itu sendiri. ●
TANGGUNG JAWAB Nilai tanggung jawab dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, ditekankan dalam hal proses menjalankan fungsi pemrintah kepada masyarakat. Kedudukan pemerintah dalam sebuah negara ialah sebagai salah satu elemen yang memberi pelayanan publik, turut andil dalam kepatuhannya terhadap aturan dan hukum yang berlaku. Beban tanggung jawab harus disikapi dengan kesadaran diri yang tinggi oleh pemerintah. Sementara masyarakat juga berperan melakukan tugas yang dibebankannya
sebagai
pendukung
pemerintah
dalam
pelaksanaan
141
pembangunan yang siap menerima pembelajaran tentang perencanaan pembangunan yang berkesuaian dengan visi dan misi pemerintah. ●
MORALITAS Nilai moral atau moralitas Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah merupakan suatu konsekuensi beragama dan bermasyarakat. Legitimasi Allah dalam hukum Islam (Al Quran dan Al Hadist) akan mendapat proporsi yang paling tinggi. Tidak hanya memandang mana yang pantas ditataran masyarakat kebanyakan, namun lebih dari itu menjadikan moral memiliki beban langsung secara vertikal pada ketentuan Allah SWT. Setiap pelaksanaan tanggung jawab baik itu pemerintah maupun masyarakat harus dilandaskan dengan kesadaran diri yang tinggi tentang mana yang semetinya dilakukan dengan konsekuensi bagi kemashlahatan semesta.
●
EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektivitas Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, Penentuan limit waktu dalam pembangunan untuk acuan pada tahap
implementasi
perecanaan
pembangunan
yang
dilakukan
oleh
pemerintah dan masyarakat. Pembatasan mengenai pemanfaatan sumber daya yang dikelola pemerintah agar optimal digunakan oleh masyarakat Masyarakat harus memanfaatkan sumber daya secara optimal, tidak menghambur-hamburkan apa yang telah disediakan oleh pemerintah. Melakukan yang semestinya dilakukan tanpa melebihkan prosesnya, mengingat bahwa dalam setiap perencanaan pembangunan pasti memiliki target waktu untuk penyelesaian dari pembangunan itu sendiri. ●
PEMBAHARUAN Nilai pembaharuan dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, dikaitkan dengan pengadaan dan pelaksanaan Loka Karya dan seminar yang diselenggarakan pemerintah untuk masyarakat umum dan aparat pemerintah loka dengan materi tentang perencanaan pembanguan yang akan diterapkan masa mendatang. Kedinamisan suatu ilmu pengetahuan perencanaan yang berkembang diluar harus diketahui oleh masyarakat Indonesia untuk dapat diterapkan didalam negeri, dengan syarat tidak bertentangan dengan Islam. Dengan melihat karakteristik dari wilayah di
142
Indonesia,
perencanaan
yang
natinya
akan
dibelakukan
harus
berkesesuaian. ●
BERKELANJUTAN Nilai berkelanjutan dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, berkorelasi dengan sikap Kedimamisan. Usaha Pelaksanaan
pemberitahuan
mengenai
program
pembangunan
yang
dilakukan rutin dengan frekuensi waktu tertentu proses perencanaan dan pemabngunan yang tidak begitu saja berhenti dalam tahapan tertentu. Pembangunan yang baik dilakukan terus menerus. Hal tersebut membuktikan keseriusan pelaku perencana dalam mendukung berkembangnya suatu negara. ●
KOREKSI Nilai Koreksi dalam tahapan proses perencanaan dari pemerintah menuju masyarakat dengan pemerintah, mengenai perihal koordinasi dan aspirasi dari masyarakat pada pemerintah. Melakukan kegiatan interaksi antara masyarakat dan pemerintah untuk proses koordinasi dan konsolidasi mengenai kekurangan yang terjadi dalam pembangunan sebagai evaluasi kedepan. Proses koreksi yang dilakukan harus dalam koridor hukum yang berlaku. Saling mengingatkan tentang perihal perencanaan pembangunan yang sesuai dengan sasaran atau tujuan semula.
●
LOYALITAS Nilai Loyalitas dalam tahapan Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah, lebih diutamakan tentang rasa cinta terhadap negara kita dan semua makhluk yang diciptakan oleh Allah. Dengan rasa cinta tadi hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan Sesama, manusia dengan Alam dan manusia dengan karya yang tercipta akan berjalan selaras dan harmonis. Melakukan kegiatan interaksi antara masyarakat dan pemerintah untuk proses koordinasi dan konsolidasi mengenai kekurangan yang terjadi dalam pembangunan sebagai evaluasi kedepan. Sikap peduli dan ingin membantu dari pemerintah kepada masyarakat dalam hal memberi pengetahuan tentang pembangunan yang berlangsung dan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
143
●
PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Nilai persaudaraan dan kebersatuan dalam tahapan proses perencanaan dari pemerintah menuju masyarakat dengan pemerintah, mengutamakan sikap Kemitraan
dan
pendekatan
partisipasi
untuk
kegiatan
sosialisasi
perencanaan pembangunan. Proses kemitraan dijadikan sebagai salah satu aplikasi nyata tentang nilai persaudaraan dan kebersatuan, yang menjadikan peran masyarakat sebagai partnership dalam sosialisasi mengnai visi dan misi perencanaan yang dialkuakn oleh pemerintah yang berkesesuaian dengan Islam. Bukan hanya di tahapan perencanaan awal namun sampai dengan evaluasi perencanaan juga masyarakat harus mengetahuinya dan ikut serta didalamnya, tentunya sesuai dengan perannya. ●
MELAMPAUI FENOMENA Nilai melampaui fenomena dalam tahapan proses perencanaan dari pemerintah menuju masyarakat dengan pemerintah, bahwa Mengetahui apa yang menjadi pertanyaan masyarakat selama pembangunan berlangsung dan perihal proses perencanaan. Jangan mengambil kesimpulan secara sepihak saja, namun Memfasiltasi pertanyaan tersebut dengan jawaban yang tepat. Mengungkap ”the real structures” dibalik ”false needs” yang dinampakan dunia materi, dengan tujuan membantu membentuk suatu kesadaran sosial agar terjadi perbaikan kondisi pembangunan.
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah 1. Tujuan
Meningkatkan intensitas dan kualitas partisipasi masyarakat
Meningkatkan kualitas perencanaan
Mewujudkan keseimbangan antara pencapaian sasaran strategis dengan pencapaian sasaran tahunan
Mewujudkan prinsip Ummah Haadiyah
144
2. Agenda
Sosialisasi hasil Forum Koordinasi Setelah hasil Forum Koordinasi tersepakati oleh peserta, maka Forum Koordinasi mempublikasikan hasil-hasil tersebut secara luas. Mekanisme penyebarluasan hasil Forum Koordinasi ini diserahkan kepada masingmasing daerah, sesuai dengan kondisi serta instrumen yang efektif.
Sosialisasi RAPBD Setelah RAPBD disusun, maka Tim Fasilitasi Forum Koordinasi juga mempublikasikan hasil-hasil tersebut secara luas. Adapun mekanisme serta pihak-pihak yang perlu memperoleh informasi tentang RAPBD adalah sama dengan yang berlaku pada sosialisasi hasil Forum Koordinasi.
Sosialisasi berbagai Informasi Memberikan informasi dan memahami isu strategis, inventarisasi dan impilasi usulan program/ kegiatan, evaluasi kinerja APBD tahun lalu dan tahun berjalan, dan pemaduserasian berbagai usulan yang masuk;
Menerima masukan dari berbagai ususlan yang telah disosialisasikan sebagai bahan pertimbangan untuk evaluasi Sebelum kebijakan disahkan dan dijalankan menjadi keputusan mutlak, berbagai
usulan
ataupun
keluhan
dari
pemerintah,
DPRD
maupun
masyarakat tentang kebijakan dapat disampaikan ke Forum Koordinasi untuk selanjutnya disampaikan kepada DPRD. Untuk itu, hendaknya Forum Koordinasi juga dapat mengumumkan secara luas mekanisme penyaluran usulan dan keluhan tentang semua kebijakan kepada DPRD. 3. Pihak yang terlibat Adapun pihak-pihak yang perlu memperoleh informasi ini adalah:
Komisi- Komisi DPRD Kabupaten/Kota.
Masing-masing Dinas/Badan/Lembaga/Kantor.
Seluruh Camat
Seluruh Lurah atau kepala desa
Berbagai Forum dan asosiasi yang terlibat dalam Forum Koordinasi (LSM, organisasi kemasyarakatan lokal lainnya)
145
Prasyarat:
Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan
15
sitem
nilai
(Keadilan,
Persamaan,
Keterbukaan,
Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena)
Tidak ada satu pun Elemen terkait yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini,
Pengadaan pelatihan dan pembinaan dari pemerintah pada masyarakat tentang proses perencanaan pembangunan Islam
3.4.4
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam Tahapan perencanaan yang terakhir dalam hasil transformasi Teori Gerak
Mulla Shadra tentang konsep ”Kearifan Puncak” ialah Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam. Dalam tahapan ini, sesuai tahapan tertinggi dari seluruh perjalanann yang dilakukan seorang salik yakni, safar fil alkhalq ma’a al-Haq (dengan Allah tetapi dalam Allah). Dalam safar ini seseorang yang telah mengarungi alam-alam yang harus dilalui dan sampai pada puncaknya,
dia
harus
turun
kembali
dan
membenahi
masyarakatnya.
Menyatukan diri dengan Allah membuat dia bukan hanya sempurna namun menyempurnakan masyarakatnya. Seoarang salik yang telah berada dalam tahapan ini harus kembali lagi menyampaikan pesan-pesan Allah SWT kepada para makhluk-Nya berdasarkan kemampuan mereka (bahasan dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh yang lain). Dalam konteks perencanaan diartikan sebagai sebuah proses internalisasi atau penjiwaan mengenai perencanaan pembangunan.yang berkesesuaian dengan perencanaan Islam. Ketika proses penjiwaan iti telah dilakukan hasil ketiga tahapan sebelumnya, maka dengan sendirinya apa yang menjadi misi perencanaan Islam yaitu rahmat bagi semesta akan terwujud. Dengan pola pikir dan pola hidup dari semua pelaku perencanaan,
melibatkan
seluruh
elemen
yang
terkait
dalam
proses
perencanaan, setelah melewati ketiga tahapan proses perencanaan sebelumnya, yang berorientasi pada nilai-nilai Islam akan mewujudkan suatu perencanaan yang ideal. Tahapan ini juga aktualisasi dari hasil dari rangkaian proses
146
sebelumnya. Untuk melakukan tahapan ini diperlukan nilai-nilai Islam yang menjadi atribut penting dalam implementasi proses ini. Adapun nilai-nilai yang terkandung didalamnya ialah, sebagai berikut:
◘
KEADILAN Nilai keadilan yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada sikap dan tindakan dari elemen pemerintah (aparat pemerintah lokal sampai kepada pemerintahan pusat) dan eleman masyarakat (individu, kelompok, swasta dan LSM) untuk melaksanakan hukum perencanaan yang telah dilegitimasi dalam
tahapan
sebelumnya.
Setiap
instansi
pemerintah
mempunyai
kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pencapaian organisasinya dalam pengelolaan sumberdaya yang dipercayakan oleh masyarakat. Masyarakat juga telah menjalankan perannya dalam perencanaan sesuai dengan hukum perencanaan yang berlaku. Dengan demikian akan terwujud suatu keadilan dalam proses perencanaan dalam tahapan ini, yang nantinya terwujudlah proses perencanaan Islam.
◘
PERSAMAAN Nilai persamaan yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada kesamaan akan kewajiban dalam mantaati hukum yang telah ditetapkan oleh semua komponen, baik itu pemerintah maupun masyarakat untuk semua elemen didalamnya. Adanya kepastian hukum yang merupakan resultan dari hukum dan perundangan-undangan yang jelas, tegas, serta upaya penegakan hukum yang efektif, konsisten, dan tanpa pandang bulu. Ketika dalam pemerintahan itu sendiri terjadi pelanggaran yang dilakukan oleh oknum didalamnya, harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Masyarakat berhak melaporkan kesalahan yang dilakukan oleh oknum tersebut dan pemerintah harus bertindak sesuai dengan tugas dan wewenangnya. Selain itu persmaan mengenai menjalankan proses perencanaan pembangunan secara bersamaan. Salah satu pihak, masyarakat atau pemerintah, tidak boleh melepas tanggung jawabnya.
147
◘
KETERBUKAAN Nilai keterbukaan tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, diartikan sebagi tindakan aplikasi nyata dalam hal pembangunan, menempatkan pemerintah dan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan dengan sistem akuntabilitas yang transparan didalam dan diluar (evaluasi) sitem yang ada dalam masing-masing komponen. Nilai keterbukaan ini erat kaitannya dengan sikap saling memberi dan menerima masukan demi keberlangsungan pemabngunan yang ssuai dengan visi misi pembangunan kedepan.
◘
MUSYAWARAH Nilai musyawarah dalam Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, ialah tindakan bersama dari masyarakat dan pemerintah mengenai rencana
sistem demokrasi dalam penentuan kesepatakan bersama tindak
kolektif
yang
akan
dilakukan
pada
setiap
proses
pembangunan sampai tahapan implementasi dan evaluasi. Perumusan kebijakan tentang pelayanan publik dan pembangunan di pusat dan daerah dilakukan melalui mekanisme demokrasi, dan tidak ditentukan sendiri oleh eksekutif. Dengan pengetahuan mengenai perencanaan yang Islam dan ideal akan
menjadikan
hasil
dari
proses
demokrasi
tadi
berguna
untuk
pembangunan. Tata cara yang berlaku dalam prosesnya pun harus berkesesuaian dengan Islam.
◘
KEPEMIMPINAN Nilai kepemimpinan dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, diartikan sebagai upaya mendelegasikan kewenangan Pemerintah yang demokrasi sebagai penentu dalam proses advokasi dan pelaksanaan pembangunan, masyarakat dengan kepatuhan melaksanakannya. Hal ini berlaku dalam proses aktulaisasi perencanaan pemabngu8nan dalam masyarakat. Masyarakat dengan posisinya sebagai penerima dan pemdukung dalam perencanaan harus mentaati keputusan yang diambil pemerintah, dan melaksanakannya dalam pemabngunan.
148
◘
KEBENARAN DAN KEBAIKAN Nilai kebenaran dan kebaikan dalam penyelenggaraan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, menekankan pada aksi dari pemerintah
dan
masyarakat
hasil
interpretasi
atas
kebijakan
yang
diberlakukan demi kesejahteraan dan kemashlahatan bersama (semesta). Hal tersebut dapat tercapai ketika siakp saling memepercayai antar pihak yang terlibat dapat terwujud dengan baik. Dengan artian, bahwa masyarakat percaya pada pemerintah dalam memutuskan suatu kebijakan yang akan diberlakukan tersebut bertujuan untuk kemashlahatan bersama.
◘
TANGGUNG JAWAB Nilai tanggung jawab yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan
Sistem
Perencanaan
Islam,
lebih
menekankan
pada
pergerakan secara berdampingan baik langsung ataupun tidak langsung dari pemerintah dan masyarakat dalam pembangunan yang terkendali oleh hukum hasil demokrasi. Sikap atau rasa patuh terhadap amanat dari tigas yang dibebankan pada aparat pemerintahan dan masyarakat itu sendiri. Malakukan apa yang menjadi wewenang dari beban tugas yang diterimanya. Di dalam pemberian pelayanan publik dan pembangunan dibutuhkan aparat pemerintahan yang memiliki kualifikasi kemampuan tertentu, dengan profesionalisme yang sesuai. masyarakat yang telah melakukan reformasi sosial juga harus melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana mestinya (sesuai
dengan
peran
masyarakat
dalam
pelaksanaan
strategi
pembangunan).
◘
MORALITAS Nilai Moralitas yang terkandung dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan pada kesadaran akan setiap tindakan kita bakal diketahui oleh Sang Khalik. Tanggung jawab secara moral pada Allah dalam menjalankan fungsi dan peran suatu elemen dalam pembangunan yang terencana dalam koridor Islam. bukan hanya hubungan vertikal antara manusia dan Allah SWT, namun juga hubungan horisontal kepada sesama makhluk ciptaan-Nya.
149
◘
EFEKTIFITAS DAN EFESIENSI Nilai efektifitas dan efesiensi pada tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih dikaitkan pada perihal persoalan optimaslisasi sumber daya dan waktu yang tersedia untuk proses pembangunan
yang
berkesesuaian
dengan
visi,
misi
dan
sasaran
pembangunan dalam batasan jangka waktu tertentu. Alokasi sumber daya. perlunya penetapan target kuantitatif atas pencapaian suatu program. Untuk menjaga efektivitas suatu pengeluaran, diperlukan pemantauan yang berdasarkan pada pencapaian target berbagai indikator kinerja (performance indicators)
yang
ditetapkan
sebelumnya
dan
menunjukkan
tingkat
keberhasilan suatu program secara menyeluruh.
◘
PEMBAHARUAN Nilai pembaharuan dalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, diartikan pada Aktualisasi dan pergerakan yang menuju kepada perencanaan yang lebih baik, tidak stagnan dalam tingkatan tertentu saja. Menyaring ilmu perencanaan yang baru dan berkesesuaian dengan karakteristik wilayah di Indonesia dan Islam. Reformasi sosial dan pemerintah harus dialkuakn demi tercapainya suatu pemerintahan yang Islam.
◘
BERKELANJUTAN Nilai berkelanjutan dalam Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, menekankan Keberlangsungan suatu pembangunan yang tiada henti untuk memperbaiki, mengadakan dan menciptakan pembangunan sekarang dan yang akan datang. Manusia sebagai tokoh sentral dari perencanaan, dengan negara yang memiliki hubungan keluar untuk proses mengetahu apa yang berkembang diluar dan akan menjadi pengetahuan baru yang bila memungkinakan dan sesuai dengan Islam akan diterpakan dalam pemabngunan berikutnya. Usaha yang tidak ada hentihentinya untuk melakukan perbaikan dan peningkatan mutu pembangunan secara holistik.
150
◘
KOREKSI Nilai Koreksi didalam tahapan Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, direal;isasikan dalam tindakan tegas dalam menjujung tingggi supremasi hukum negara tentang pelaksanaan pembangunan yang melibatkan semua elemen perencanaan pembangunan. Hal tersebut melibatkan semua pihak yang terkait dalam perencanaan. Demokrasi merupakan niali yang patut dijunjung tinggi. Perihal kebebasan berpendapat, namun dalam atauran hukum yang benar. pengaduan
dan
keluhan
oleh
lembaga
Mekanisme penanganan Pemeriksa
kinerja
aparat
pemerintahan. Perlunya suatu bagian khusus dalam pengelola program atau instansi pelayanan masyarakat (misalnya air minum, listrik, puskesmas, dan sebagainya) yang bertugas untuk menangani pengaduan masyarakat yang masuk, baik secara langsung ataupun melalui pemberitaan di media massa. Tentunya, juga dibutuhkan kerjasama dengan berbagai lembaga pemeriksa dan penyidik yang sudah ada dan masyarakat itu sendiri (inspektorat, kepolisian, kejaksaan, dan sebagainya), sehingga setiap pengaduan yang berindikasi penyelewengan dan tindak pidana dapat segera ditindaklanjuti.
◘
LOYALITAS Nilai loyalitas di dalam etika profesionalisme aparat pemerintahan dan masyarakat menjadi keharusan untuk dilaksanakan, tentunya sesuai dengan tanggung jawabnya masing-masing yang dipegang. Rasa cinta dan rela berkorban demi kemajuan negara dan mendirikan tiang agama dalam pelaksanaan perencanaan pembangunan di lapangan. Kepedulian terhadap tanggung jawab dan tugas yang dibebankan perlu dikedepankan.
◘
PERSAUDARAAN DAN KEBERSATUAN Nilai
persaudaraan
dan
kebersatuan
dalam
Proses
Penjiwaan
dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, lebih menekankan kepada sistem koordinasi dan proses konsolidasi antar elemen kepemerintahan ditingkat lokal sampai dengan tingkat pusat dengan semua elemen masyarakat. Partisipatoy plannning sebagai acuan utama dalam pembangunan untuk melakukan aksi dalam perencanaan. penyelenggaraan pembangunan yang
151
dilakukan bersama akan menumbuhkan sinerjitas yang tinggi dalam pembagunan.
◘
MELAMPAUI FENOMENA Nilai
melampaui
fenomena
dalam
tahapan
Proses
Penjiwaan
dan
Penghayatan Sistem Perencanaan Islam, mengutamakan pada tindakan baik pemerintah dan masyarakat harus sudah mengetahui apa yang semestinya dilakukan dalam pembangunan serta berusaha di implementasikannya dengan baik. Pemahaman akan kewajiban dan tanggung jawab yang harus dilaksanakan
untuk menjalankan
pembangunan
secara
baik. perihal
keputusan yang diambil harus sesuai dengan Islam. Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam 1. Tujuan Sebagai sebuah pemahaman dan penjiwaan atas dasar-dasar perencanaan pembangunan dan juga kebijakan yang telah ditetapkan sebagai sebuah aturan yang harus dilaksanakan. Hasil dari semua itu ialah berupa Aktualisasi dan
tindak
nyata
pada
saat
implementasi
dari
program-program
pembangunan yang telah ditetapkan bersama. 2. Agenda
Mewujudkan peningkatan kualitas dan pengetahuan masyarakat tentang perencanaan
Mewujudkan peningkatan kinerja kelembagaan legislatif dan eksekutuf ditingkat lokal
Mewujudkan manajemen sumber daya aparatur dalam dinas-dinas dan instansi yang baik
Mewujudkan pelaksanaan pembangunan secara terpadu dan holistik
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara Daaiyah (paripurna)
Mewujudkan Ukhuwwah sebagai wujud ikatan keUmmatan
3. Sasaran
Semua pihak memahami struktur dan isi dokumen perencanaan pembangunan daerah
Semua pihak memahami mekanisme penyusunan dan struktur APBD
152
Semua pihak memahami proses penyusunan Arah dan Kebijakan Umum (AKU)
Semua pihak memahami struktur kelembagaan pemerintahan daerah
Semua pihak memiliki kemampuan komunikasi dalam forum publik
4. Pihak yang terkait Melibatkan seluruh elemen yang terkait dalam proses perencanaan, setelah melewati ketiga tahapan proses perencanaan sebelumnya. Prasyarat:
Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta.
Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena)
Semua stakeholder harus ikut serta
Seluruh elemen yang terkait telah memahami dan menghayati proses perencanaan pembangunan Islam
Prasyarat: Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta. Menerapkan 15 sitem nilai (Keadilan, Persamaan, Keterbukaan, Musyawarah, Kepemimpinan, Kebenaran dan Kebaikan, Tanggungjawab, Moralitas, Efesiensi dan Efektifitas, Pembaharuan, Berkelanjutan, Koreksi, Loyalitas, Persaudaraan dan Kebersatuan, Melampaui fenomena) Semua stakeholder harus ikut serta Seluruh elemen yang terkait telah memahami dan menghayati proses perencanaan pembangunan Islam
AKTUALISASI PERENCANAAN ISLAM
Action Plan (prioritas perencanaan kewenagan dan sistem anggaran)
Gradasi Aspirasi dan Kewenangan
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
Seluruh Stakeholder dalam Perencanaan Pembangunan
Hasil Pemahaman akan Perencanaan Pembangunan yang Islam
Perihal yang dibicarakan Mewujudkan peningkatan kualitas dan pengetahuan masyarakat tentang perencanaan Mewujudkan peningkatan kinerja kelembagaan legislatif dan eksekutuf ditingkat lokal Mewujudkan manajemen sumber daya aparatur dalam dinas-dinas dan instansi yang baik Mewujudkan pelaksanaan pembangunan secara terpadu dan holistik Mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara Daaiyah (paripurna) Mewujudkan Ukhuwwah sebagai wujud ikatan keUmmatan
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
Gambar 3.4
153
-Individu -Kelompok -Swasta -LSM
ELEMEN MASAYARAKAT DALAM SISTEM MASYARAKAT
-Lembega Legislatif -Lembaga Eksekutif -Instansi & dinas
ELEMEN PEMERINTAH TINGKAT LOKAL -Elemen Masyarakat yang telah melakukan Reformasi Sosial -Elemen Pemerintah yang telah melakukan Proses politis dan advokasi
SISTEM MASYARAKAT DAN PEMERINTAH
[2] Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
[1] Proses Pembaharuan Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
-Tk. Lokal -Tk. Kota -Tk. Regional
SISTEM PEMERINTAH SECARA MENYELURUH
[4] Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
[3] Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
-Pemerintah -Masyarakat -Swasta -LSM
SELURUH ELEMEN YANG TERKAIT DALAM SISTEM PERENCANAAN
Bagan Alur Aktualisasi Proses Perencanaan Teosentris Berbasis Teori Gerak Substansi
Gambar 3.5
154
BAB IV E P I L O G: “CATATAN PENYIMPUL DAN PENUTUP” Paradigma perencanaan telah menjadi perbincangan banyak pihak Masyarakat luas di Indonesia termasuk para ahli perencanaan dewasa ini tengah berusaha mencari dan menunggu lahirnya paradigma baru dalam dunia perencanaan. Hasilnya nanti diharapkan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam proses perencanaan masa mendatang. Berharap dengan paradigma proses perencanaan yang terlahir nanti dapat mengembalikan hakekat perencanaan. Melihat berbagai fenomena dan problematika yang terjadi di Indonesia mengenai perencanaan yang terealisasi dengan pembangunan, ternyata dari hasil telaah dan studi mengenai hal tersebut dapat dikatakan perlu suatu perubahan
yang
mendasar
dalam
proses
perencanaan
di
Indonesia.
Terdistorsinya sebuah perencanaan dengan praktek pembangunan oleh paham barat, khususnya paham positivisme yang mengusung filsafat materialisme, menyadarkan penulis untuk mencari solusi yang tepat untuk dijadikan sebagai alternatif pilihan sebuah paradigma proses perencanaan. Islam yang dijadikan sebagai pondasi dalam proses kontruksi paradigma, karena Islam secara nyata dapat dikatakan sebagai agama yang bertujuan untuk kemashlahatan seluruh semesta (rahmatan lil alamin) dan berpusat pada Tuhan (Teosentris) yakni Allah SWT, dirasakan tepat untuk dijadikan pedoman paradigma perencanaan. Alasan tersebut yang menjadikan Teori Gerak Substansi dari filosof Islam Mulla Shadra dengan Konsep Kearifan Puncak sebagai dasar penentuan sistem nilai dalam paradigma perencanaan Teosentris. Melalui proses transformasi analogi, mentransformasikan ajaran normatif agama untuk dijadikan sebagai aktualisasi dalam ilmu sosial, merupakan sebuah tahapan yang mesti dilalui. Kemudian hasil dari transformasi tadi di aktualisasikan dalam sebuah konteks perencanaan. Keluaran yang didapatkan nantinya merupakan sebuah paradigma perencanaan Islam yang berbasis Teori Gerak Substansi oleh Mulla Shadra. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam epilog dibawah ini yang merupakan runtutan terlahirnya sebuah paradigma alternatif dalam proses perencanaan di Indonesia kelak.
156
4.1
Dampak Positivisme: “Sebuah Krisis Perencanaan” Positivistme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial
yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode determinasi, atau kumpulan hukum teori. Positivistme yang mengusung konsep berpengetahuan hanya melalui inderawi sebagai sumber pengetahuan satusatunya dan tidak mengakui adanya Tuhan (Bebas Nilai / Humanisme Atheis), merupakan faham yang merebak pada ilmu pengetahuan yang ada. Dibalik semua penjelasan secara sekilas diatas tentang paham positivisme tersebut, ketika membandingkannya dengan permasalahan yang umumnya terjadi dalam perencanaan pembangunan di Indonesia dari awal 1970 sampai
dengan
saat
ini,
terdapat
beberapa
kesamaan
didalamnya.
Permasalahan yang kerap terjadi, seperti: degradasi lingkungan, kesenjangan sosial, kerentanan kemiskinan, industrialisasi, demokrasi yang tidak berjalan dan pemisahan antara bottom up planning dan top down plannning, sangat berhubungan dengan penerapan paham positivistme dalam perencanaan di Indonesia. Terdapat beberapa inti hal keterkaitan antara proses perencanaan Indonesia dan positivisme: 1. Perhatian perencanaan pembangunan yang berorientasi pada fisik. Terjadinya kesenjangan sosial dan kemiskinan disinyalir akibat dari konsentrasi pada perencanaan fisik yang berlebihan. Ketidakmerataan aspek pembangunan menjadi bukti nyata adanya sentralisasi sektoral yang partial dalam pembangunan akibat dari pembangunan fisik. 2. Ekploitasi besar-besaran terhadap sumberdaya alam yang berlebihan untuk mendukung kegiatan ekonomi yang merupakan hasil dari merebaknya paham kapitalisme. Era globalisasi membawa Indonesia pada proses industrisialisasi besar-besaran. Akibatnya degaradasi lingkungan tak terelakan lagi. 3. Proses demokrasi yang tidak berjalan sepenuhnya di Indonesia, karena anggapan bebas nilai dan menhilangkan pluralitas dari positivisme. Kekuatan pilitik yang berkuasa menjadi penentu kebijakan yang palin dominan.
157
4.2
Urgensi dalam Proses Perencanaan di Indonesia: “Jalan menuju Perubahan” Bangunan
teori
perencanaan
khususnya
sistem
perencanaan
pembangunan yang diajarkan pada dunia akademis maupun pada praktek perencanaan di Indmnesia masih berorientasi pada pengetahuan dari barat. Sebagaimana diketahui bahwa teori tersebut bersumber pada paradigma antroporosentris (manusia sebagai pusat) yang lebih berorientasi pada akar filsafat positivisme maupun empirisisme. Sistem perencanaan pembangunan yang
diimplementasikan
menunjukkan
belum
mampu
memberikan
hasil
pembangunan yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat. Indikator kegagalan pembangunan dapat dilihat dari masih tingginya angka kemiskinan, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, dan sebagainya. Konsep Islam berupaya menciptakan masyarakat tauhidi, yaitu suatu tatanan kemasyarakatan yang berdasarkan kepada nilai-nilai TauhiduLLah serta bermuara kepada terciptanya masyarakat madani, terlepas dari berbagai perbudakan termasuk perbudakann terhadap hawa nafsu sendiri, lingkungan masyarakat, orang lain dan yang terpenting, perbudakan dalam keyakinan dan peribadatan selain kepada (Allah SWT). Membangun sistem proses perencanaan pembangunan alternatif yang berorientasi pada pengetahuan dari timur (filsafat Islam) menjadi tantangan bagi peneliti. Pada tahap awal akan dilakukan kajian teoritik yang memfokuskan pada kajian Teosentris. Mulla Shadra sebagai filosof dengan pemikirannya tentang kebenaran mistisme hasil pengetahuan intuisi secara esensi adalah identik dengan kebenaran intelektual, dan pengalaman mistis pada dasarnya adalah pengalaman kognitif, tetapi kebenaran pengetahuan intelektual dan muatan kognitif (kesadaran yang utama) ini harus “dihayati” jika ingin diketahui secara seutuhnya. Salah satu pikiran yang cukup penting yang akan dijadikan pedoman ialah tentang Gerak Substansif (Al-Harakah Al-jauhariyyah) yang memuat tentang, menempatkan seluruh bidang wujud dalam gerak yang terus menerus dengan mengetakan bahwa gerak tidak hanya terjadi sesuatu, tetapi juga pada substansinya.
pada kualitas-kualitas
158
4.3
Teori Gerak Substansi: “Terlahirnya Paradigma Alternatif” Pemikiran Mulla Shadra tentang Teori Gerak Substansi melahirkan
konsep “Kearifan Puncak” menyebutkan beberapa tahapan menuju sebuah keyakinan keimanan kepada Allah SWT. Dalam hal ini penulis memandang sebagai suatu proses yang bersifat transendental. Diawali dengan mempelajari filsafat-filsafat yang mendahuluinya, kemudian menggabungkan pemikiranpemikiran ‘irfan dan pandangan-pandangan keagamaan. Cara berfikir inilah yang dinamakan sebagai suatu paradigma Islam. Pengembangan
eksperimen-eksperimen
ilmu
pengetahuan
yang
berdasarkan paradigma Al Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu pengetahuan umat manusia. Struktur transendental Al Quran adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Dengan melakukan hal tersebut kita telah melakukan aktualisasi misi manusia dimuka bumi sebagai khalifah di muka bumi dengan tujuan kemaslahatan bagi umat manusia. Mulla Shadra menyusun topik-topik filosofis mengenai jalan rasional dan intelektual dengan cara menyerupai kaum ‘urafa berkeyakinan bahwa seseorang pengembara akan menempuh empat perjalanan “Kearifan Puncak”. Melalui
metode
pendekatan
Transformasi
yang
digunakan
untuk
mengubah teori-teori yang bersifat normatif dalam sains Islam kedalam suatu nilai-nilai yang lebih objektif dan real. Munculah gagasan tentang penentuan sistem nilai untuk proses perencanaan yang berbasis Teori Gerak Sustansi dengan konsep Kearifan Puncak dari Mulla Shadra. proses perencanaan Islam yang berbasis Teori gerak substansi. Penentuan sistem nilai tersebut dilanjutkan dengan memasukannya dan proses aktualisasi dalam konteks perencanaan. Sebelum masuk kedalam aktualisasi sitem nilai, terlebih dahulu ditentukan hasil transformasi proses perencanaan Islam yang berbasis Teori gerak substansi, yaitu: •
Proses Pembelajaran Sosial dalam Sistem Masyarakat yang Beretika
•
Proses Politis & Advokasi dalam Sistem Pemerintah yang Berkeadilan
•
Proses Mobilisasi dan Koordinasi Perencanaan yang Amanah
•
Proses Penjiwaan dan Penghayatan Sistem Perencanaan Islam
159
Nilai-nilai yang nantinya terkadung dalam sebuah perencanaan Islami harus mencakup 3 prinsip utama, yaitu : Keseimbangan, Keteraturan, dan Etika. Adapun penjabaran dari ketiga prinsip utama diatas dituangkan dalam sistem nilai, seperti: 1. Keadilan 2. Persamaan 3. Keterbukaan 4. Musyawarah 5. Kepemimpinan 6. Kebenaran dan Kebaikan 7. Tanggungjawab 8. Moralitas 9. Efesiensi dan Efektifitas 10. Pembaharuan 11. Berkelanjutan 12. Koreksi 13. Loyalitas 14. Persaudaraan dan Kebersatuan 15. Melampaui fenomena Untuk melihat tindakan yang diperlukan dalam melakukan proses perencanaan Islam, dapat dilihat pada Tabel III.2. Sedangkan untuk bagan alur aktualisasi proses perencanaan Islam berrbasis Teori Gerak Substansi, dapat dilihat pada gambar 3.1
160
Tabel 4.1 Perbandingan antara Perencanaan Positivistme dan Perencanaan Teosentris Pembanding
Perencanaan Positivistme
Perencanaan Teosentris
Alat berpengetahuan
Inderawi dan akal
Inderawi, akal, dan hati (wahyu/intuisi)
Sistem nilai
Bebas Nilai
Islam
Motivasi dan spirit
Pertanggungjawaban prosedural
Kemashlahatan bagi semesta
Prioritas utama pembangunan
Perencanaan Fisik (spatial), partial
Perencanaan sosial, marjinal
Prinsip utama
Kapitalime dan sosialisme
Keseimbangan, keteraturan dan etika
Dasar pemikiran
Kuantitatif dan ilmu pasti (eksakta)
Kualitaif dan melampaui fenomena
Konsenrtrasi pembangunan
Sentralisasi (terpusat) pemabngunan
Pemertaaan pembangunan (desentralisasi)
Keberlangsungan Sektoral Holistik (terintegrasi) program pembangunan Sumber: Hasil Transformasi dalam Konstruksi Paradigma, 2005
Setelah terbentuk suatu sistem proses perencanaan Teosentris seperti yang telah dikemukan diatas, dapat dilihat persamaan antara ajaran Mulla Shadra tentang Himah Muta’aliyah tentang struktur realitas yang menyatakan adanya gradasi eksistensi dengan hasil akhir dari proses perencanaan yang terakhir yaitu terjadi Garadasi kekuatan (aspirasi dan kewenangan). Maksud dari gradasi aspirasi ialah aspirasi yang nantinya terimplementasi dalam perencanaan Teosentris ini hasil dari aspirasi yang sesungguhnya dari realitas yang ada di masyarakat. tersampaikan Sedangkan
“Apa
adanya”
kondisi
dan
pada
perencanaan
dan
gradasi
kewenangan
diartikan
keinginan
dilakukan sebagai
masyarakat
dalam
dapat
pembangunan.
sebuah
“peniadaan’
kepentingan individu atau perorang, namun telah bersatu dengan realitas yang ada di masyarakat. Semua elemen dalam perencanaan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan perencanaan itu sendiri, tidak ada lagi pelimpahan tanggung jawab kepada salah satu pihak saja. Sedangkan sistem model dari perencanaan teosentris yang diusulkan setelah proses transformasi konsep kearifan puncak tentang teori Gerak Substansi ialah seperti yang tertuang dalam bagan alur dibawah ini.
161
Gambar 4.1 Model Perencanaan Teosentris
SIKAP MERENCANA
PROSES
INPUT Nilai Universal (spirit Islam)
OUTPUT
Gradasi Kekuatan (power)
PELAKU
Pemenuhan atas yang “Haq”
FOKUS
Seluruh Stakeholder
Sinergitas perencanaan
KEBIJAKAN Sumber: Hasil Diskusi, 2005 (Imam Indratno, Ir., MT, Raditya Pamungkas AS)
Dalam model perencanaan teosentris, terdiri dari input, proses, dan output yang didukung oleh pelaku perencanaan, fokus perencanaan dan Kebijakan untuk menghasilkan outcome bagi perencanaan.untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan sebagai berikut:
Input ialah nilai universal, dalam artian bahwa yang dijadikan pedoman dalam merencana ialah semangat atau spirit Islam itu sendiri. Nilai universal yang diajdikan sebagai input ialah nilai yang tidak bertentang dengan Al Quran dan Al Hadist. Nilai-nilai yang digunakan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat umum.
Sedangkan proses yang dilakukan ialah gradasi kekuatan (power), kekuatn sebagi simbol dari sifat Allah SWT. Dalam perencanaan sendiri kekuatan dijadikan sebagi simbol atas kewenangan dari elemen yang terkait dala perencanaan, baik itu masyarakat, pemerintah atau stakeholder lainnya. Hal ini berbeda dengan desentralisasi, karena desentralisasi bersifat pelimpahan wewenang, namun gradasi kekuatan disini bukan seperti itu. Gradasi kekuatan lebih kepada dari proses pertama sampai terkahir dalam proses perencanaan teosentris terjadi sebuah “peniadaan” atau kebersatuan wewenang seluruh stakeholder dalam perencanaan yang sesuai dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
162
Sedang output dari proses tersebut ialah pemenuhan atas yang Haq, maksudnya ialah menempatkan sesuatu sesuai dengan proporsi yang tepat yang sejalan dengan prinsip keseimbangan dan keteraturan yang beretika. Menempatkan peran para pelaku perencanaan sesuai dengan fungsi dan tanggung jawabnya masing-masing. Jangan sampai dijadikan sebagai kewenangan sepihak saja.
Pelaku untuk perencanaan teosentris ini ialah seluruh stakeholder yang berkaitan dengan perencanaan pembangunan, masyarakat, pemerintah, swasta, LSM.
Adapun fokus dari perencanaan teosentris ini adalah sebuah kebersatuan yang utuh dari sebuah sinergitas perencanaan. Perencanaan pada proses sendiri bukan merupakan entitas, namun lebih kepada unitas. Ketika salah satu proses tidak terjalankan maka proses tersebut tidak lagi dikatakan sebagai proses perencanaan teosentris lagi.
Kebijakan juga menduduki posisi yang cukup vital dalam mendukung keberhasilan perencanaan Teosentris. Dukunagn kebijakan pemerintah atas apa yang dilakukan dalam perencanaan merupakan hal perlu dibicarakan ditataran pemerintah tanpa menghilangkan peran stakeholder lainnya.
Hasil atau outcome dari semuanya berupa sikap merencana yang terdapat setiap individu dalam masyarakat dan pemerintah juga stakeholder lainnya. Sikap merencana disini diartikan sebagai sebuah kesadaran yang penuh dari keinginan, kemauan, kebutuhan dan keikutsertaan semua komponen perencanaan dalam melakukan suatu pembangunan.
4.4
Kelemahan dalam Paradigma Proses Perencanaan berbasis Teori Gerak Substansi Permasalahan yang diperkirakan dapat menjadi duatu kendala dalam
implementasi proses perencanaan Islam berbasis Teori Gerak Substansi ialah belum ada parameter atau suatu ukuran tertentu untuk membuktikan bahwa konsep atau model proses perencanaan diatas terimplementasi dengan baik dan sesuai dengan koridor yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk itu perlu studi lebih lanjut dari konsep atau model proses perencanaan Islam berbasis Teori Gerak Substansi.
163
4.5
Pra Syarat: ”Masukan menuju Perubahan” Dalam
melakukan
sebuah
konsep
perencanaan
Islam
menjadi
implementasi secara nyata, tentunya harus ada prasyaratnya terlebih dahulu. Untuk itu beberapa prasyarat penting yang mesti dilakukan ialah: 1. Berniat dalam diri bahwa apa yang dilakukan dalam proses ini, itu semua hanya karena Allah SWT semata bagi kemashlahatan semesta. 2. Keterkaitan antar satu tahapan dengan tahapan lainnya menjadikan proses perencanaan Islam berbasis Teori Gerak Substansi tidak dapat dijalankan terpisah-pisah (harus terintegrasi sebagai sebuah sistem) 3. Tersedianya tenaga ahli di dunia perencanaan yang telah memahami dan berpengetahuan tentang proses perencanaan Islam berbasis Teori Gerak Substansi 4. Tidak ada satu pun lapisan penduduk yang dibiarkan tidak terjamah dalam proses ini, semua sektor penduduk harus diaktifkan untuk melakukan proses perencanaan ini 5. Sama halnya pemerintah, Tidak ada satu pun elemen pemerintah yang dibiarkan tidak mengikuti dalam proses ini, semua komponen dan aparat pemerintah dari tingkat lokal sampai tingkat pusast harus diaktifkan untuk melakukan proses ini 4.6 Rekomendasi Studi ini diharapkan mampu menjadi sebuah pilihan atau alternatif masukan bagi proses perencanaan yang berlangsung di Indonesia pada masa yang akan datang, untuk itu dibawah ini disebutkan beberapa elemen yang dapat (insyaAllah) menggunakan hasil studi ini, yaitu: 1. BAPPEDA 2. BAPPENAS 3. Pemerintah Daerah tingkat II, terutama yang telah menetapkan visi dan misi daerahnya yang berkesesuaian dengan Islam 4. Program studi perencanaan Wilayah dan Kota yang diharapkan mampu meneruskan studi ini dan sebagai sebuah pendekatan alternatif disamping pengetahuan tentang proses perencanaa yang telah ada sebelumnya
164
4.7 Studi Lanjutan: “Kedinamisan Proses Berfikir” Dikarenakan penulisan ini hanya sebuah konsep awal, maka perlu adanya studi yang lebih dalam mengenai kriteria apa saja yang akan diterapkan dalam konsep ini dan penetuan sistem penilaian dalam prakteknya. Studi dan penelitian yang mendalam dalam hal ini sangat dibutuhkan demi terciptanya perencanaan Islam di Indonesia, dan merupakan suatu bukti dari kedinamisan berfikir ummat Islam. Untuk itu butuh studi lanjutan megenai:
Pendalaman tentang kriteria yang berkaitan dengan Perencanaan Teosentris
Alat ukur yang digunakan untuk menghitung keberhasilan kinerja dari perencanaan Teosentris
Verifikasi untuk mengetahui sejauh mana proses perencanaan teosentris ini dapat dilakukan di sistem perencanaan Indonesia. .
165
DAFTAR PUSTAKA 1. Afif Muhammad, MA, Dr., (2004), Dari Teologi ke Ideologi, Pena Merah, Bandung 2. Aiken, Henry D. (2002), Abad Ideologi, Bentang, Yogyakarta. 3. Azharfauzi (1995), Kajian Mengenai Prinsip-Prinsip Metodologi Perencanaan yang Sesuai dengan Ajaran Islam (Tugas Akhir), Planologi Unisba, Bandung. 4. Bagus, Lorenz (1996), Kamus Filsafat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 5. Camhis, Marios (1979), Planning Theory and Philosophy, Travistok Publications, London & New York. 6. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1991), Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka. 7. F. Budi Hadirman, (2003), Melampaui Positivisme dan Modernitas, Pustaka Filsafat, Yogyakarta. 8. F. Budi Hardiman, (2003), Kritik Ideologi ‘Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas’, Buku Baik, Yogyakarta. 9. Friedmann, John (1987), Planning in The Public Domain, Princeton University Press, Princeton New Jersey. 10. Husein Shahab, (2000), Kuliah-Kuliah Tasawuf “Mazhab Tasawuf Persepektif Ahlul Bait”, Pustaka Hidayah, Bandung. 11. I. Bambang Sugiharto, (1996), Postmodenisme “Tantangan Bagi Filsafat”, Pustaka Filsafat, Yogyakarta. 12. Kuntowijoyo, Dr. (1991), Paradigma Islam “Interpretasi Untuk Aksi”, Mizan, Bandung. 13. Leaman, Oliver (2001), Pengantar Filsafat Islam “Sebuah Pendekatan Tematis”, Mizan, Bandung. 14. M. Ag Radliyah Khuza’i, Dra. (2003), Disertasi “Epistemologi Mohammad Iqbal dan Charles S. Peirce”. Yogyakarta. 15. Mansour Fakih, (2002), Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. 16. Muhammad Baqir Ash Shadr, (1993), Falsafatuna, Mizan, Bandung 17. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, (2003), Buku Daras Filsafat Islam, Mizan, Bandung. 18. Musa Asy’arie, (2002), Filsafat Islam ‘Sunnah Nabi dalam Berfikir’, LESFI, Yogyakarta.
166
19. Muthahhari, Murtadha (2002), Pengantar pemikiran Shadra ‘Filsafat Hikmah’, Mizan, Bandung. 20. Rahman, Fazlur (2000), Filsafat Shadra, Penerbit Pustaka, Bandung. 21. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 5 tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintah di Daerah 22. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 22 tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah 23. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang 24. Republik Indonesia, Undang-Undang No. 25 tahun 2004 Tentang Penataan Ruang 25. Ruchyat
Deni
(2002),
Pergerseran
Pendekatan
dalam
Perencanaan
Pengembangan Wilayah/ Kawasan di Indonesia, Dep. Teknik Planologi ITB, Bandung. 26. Russell, Bertrand (2002), Sejarah Filsafat Barat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 27. UNISBA, LPPM (2000/ No. 4), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan), P2U, Bandung 28. UNISBA, LPPM (2002/ No. 3), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan), P2U, Bandung 29. UNISBA, LPPM (2003/ No. 3), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan), P2U, Bandung 30. UNISBA, LPPM (2003/ No. 4), Mimbar (Jurnal Sosial dan Pembangunan), P2U, Bandung 31. Zainuddin Maliki, (2003), Narasi Agung ‘Teori-teori Sosial Hegemoni’, Lembaga Pengkajian Agama dan Masyarakat (LPAM), Surabaya.