Teori Perencanaan (Perencanaan Kota)
Disusun oleh : •
Nama
: Raymond Kharisma
•
NPM
: 0914000281
•
Mata Kuliah : Azas-azas Manajemen
•
H/R/J
: Kamis/R/16.30
•
Dosen
: Sunarno
•
Penugasan ke : 1
BAB I Unsur-Unsur Dalam Perencanaan Perencanaan kota merupakan suatu pemikiran rasional dan kegiatan implementatif untuk mengakomodasi kebutuhan baru di masa datang. Hal ini dimaksudkan
untuk
memprediksi
perkembangan
kota
dengan
melihat
karakteristik lokal dan regional. Sehingga informasi yang up to date menjadi tuntutan proses perencanaan. Pemikiran rasional dalam perencanaan merupakan proses identifikasi potensi,
kendala,
permasalahan,
kecenderungan
perkembangan,
dan
keterkaitannya dengan kota-kota lain disekitarnya dalam suatu konstelasi regional.
Sedangkan
kegiatan
implementatif
merupakan
suatu
kegiatan
pelaksanaan rencana dalam bentuk program-program pembangunan. Sehingga, kebutuhan kota di masa depan dapat dimanifestasikan dalam bentuk fisik dan non fisik berupa sosial budaya, sosial ekonomi, politik yang diwujudkan dalam rencana-rencana pembangunan kota. Produk rencana tersebut berupa rencana tata ruang yang berdimensi pada dimensi waktu pelaksanaan. Oleh karena itu perencanaan kota harus mencerminkan kondisi yang berkesinambungan. Karena dalam proses pelaksanaannya penyusunan dokumen perencanaan tidak akan lepas dari kecenderungan perkembangan yang terdapat di kota dan arahan pembangunan dari dokumen perencanaan di atasnya. Data yang aktual menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan perencanaan. Data merupakan suatu refleksi kondisi eksisting kota berupa "modal" awal pengidentifikasian kondisi serta penyelarasan perencanaan dengan karakteristik lokalnya.
I. Sistem Informasi yang Dinamis Sistem informasi merupakan alat sebagai media penyaji dan analisator yang sangat bermanfaat pada proses perencanaan. Sistem yang dinamis menjadi tuntutan penyajian data. karena pada dasarnya data-data yang dibutuhkan pada proses perencanaan wilayah dan kota bersifat dinamis dan berubah dipengaruhi oleh kondisi masyarakat dan kondisi fisik lingkungannya. Penguasaan para perencana terhadap sistem informasi yang dinamis merupakan modal awal profesionalisme perencana. Menjadi satu hal yang harus dipenuhi oleh setiap perencana untuk dapat menguasai serta mengaplikasikan sistem informasi yang
dinamis. Hal itu
diwujudkan dalam sebuah sistem informasi perencanaan yang termuat dalam data base yang dapat diakses secara mudah via internet maupun intranet. Disamping itu instalasi wireless menjadi salah satu pendukung potensial kemudahan akses database. Hal tersebut juga didukung oleh instalasi software-software pemetaan serta sistem informasi perencaan yang terintegrasi pada setiap komputer di laboratorium, perpustakaan, maupun di administrasi. Secara umum, jenis data untuk perencanaan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu data spasial (keruangan) dan nonspasial. Dalam hal manajemennya, kedua kelompok data tersebut juga harus dikelola secara berbeda, yaitu data fisik bersifat statis, sedangkan data sosial-ekonomi bersifat dinamis dan harus selalu di-update. Dari sisi substansi pembangunan ekonomi, data perencanaan pembangunan juga dapat dilihat dari sudut suplai (ketersediaan) dan demand (kebutuhan). Dengan melihat dari kedua sisi tersebut diharapkan kedua aspek penting pembangunan dapat terangkum.
II. Transformasi Proses perubahan yang sistematis dari informasi empiris menjadi rencana. Dengan menganalisisnya menjadi sebuah pedoman atau instruksi yang berupa rencana. Sejumlah metode telah dikembangkan dalam menganalisis setiap informasi untuk membandingkan secara sistematis setiap alternatif untuk dapat memilih salah satu yang terbaik. Misalnya metode yang paling mudah dan paling sering digunakan adalah metode SWOT. Analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (strengths, weaknesses, opportunities and threats) adalah perangkat analisis yang paling populer, terutama untuk kepentingan perumusan strategi. Asumsi dasar yang melandasi adalah organisasi harus menyelaraskan aktivitas internalnya dengan realitas eksternal agar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Peluang tidak akan berarti manakala perusahaan tidak mampu memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya untuk memanfaatkan peluang tersebut. Kemampuan
analisis
SWOT
bertahan
sebagai
alat
perencanaan yang masih terus digunakan sampai saat ini, membuktikan kehebatan analisis ini di mata para manajer. Analisis SWOT telah lama menjadi kerangka kerja pilihan bagi banyak manajer, karena kesederhanaannya, proses penyajiannya, serta dianggap dapat merefleksikan esensi dari suatu penyusunan strategi, yaitu mempertautkan peluang dan ancaman dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Namun,
analisis
SWOT adalah
sebuah
pendekatan
konseptual yang luas, yang menjadikannya rentan terhadap
beberapa keterbatasan. Pearce dan Robinson mengungkapkan beberapa
keterbatasan
analisis
SWOT
ini.
Pertama, analisis SWOT berpotensi untuk terlalu banyak memberikan penekanan pada kekuatan internal dan kurang memberikan perhatian pada ancaman eksternal. Dalam hal ini, perencana strategi di perusahaan di samping harus menyadari kekuatan yang dimiliki pada saat ini, juga harus menyadari pengaruh lingkungan eksternal terhadap kekuatan yang sekarang dimiliki tersebut. Perubahan lingkungan yang sangat cepat dapat menjadikan kekuatan yang sekarang dimiliki menjadi tidak bermakna, bahkan bisa berubah menjadi kelemahan yang menghambat kemajuan perusahaan. III. Mengabaikan perubahan Kedua, analisis SWOT dapat menjadi sesuatu yang bersifat statis dan berisiko mengabaikan perubahan situasi dan lingkungan yang dinamis. Hal ini sama dengan apa yang terjadi pada proses perencanaan.
Kritik
yang
sering
muncul
terhadap
suatu
perencanaan adalah bahwa perencanaan ini hanya berhenti di atas kertas, namun miskin implementasi. Salah satu penyebabnya adalah lingkungan yang berubah sangat cepat, sehingga asumsi yang digunakan sebagai dasar dalam proses perencanaan menjadi tidak valid. Karena analisis SWOT sering digunakan dalam proses perencanaan, tidaklah mengherankan bila analisis ini mendapat kritik dalam hal ketidakmampuannya memberikan respons yang cepat terhadap perubahan yang terjadi. Oleh karena itu, analisis SWOT tidak boleh bersifat statis dan tidak boleh mengabaikan kemungkinan terjadinya perubahan, yang pasti terjadi. Perlu
diingat
bahwa
analisis
SWOT
merepresentasikan
sebuah
pandangan yang khusus hanya pada satu titik waktu tertentu. Oleh karenanya elemen yang ada dalam analisis SWOT harus dikaji dan dievaluasi secara berkala. Ketiga, analisis SWOT berpotensi terlalu memberikan penekanan hanya pada satu kekuatan atau elemen dari strategi. Padahal, kekuatan yang ditekankan tersebut belum tentu mampu menutupi kelemahan yang dimiliki, serta belum tentu mampu menghadapi berbagai ancaman yang muncul. Sebuah organisasi harus senantiasa menggali berbagai macam sumber daya yang mungkin memiliki potensi menjadi sumber kekuatan organisasi. Keterbatasan
yang
berkaitan
dengan
subjektivitas.
Mintzberg mengatakan bahwa boleh jadi penilaian mengenai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh organisasi tidak dapat diandalkan (unreliable) dan bias. Dalam beberapa kasus, faktor yang menentukan kekuatan dan kelemahan, peluang maupun ancaman yang dimiliki sebuah organisasi ditentukan oleh orangorang yang terlalu dekat atau terlalu jauh dengan aktivitas aktual perusahaan. Hal ini dapat menimbulkan kesalahan strategi yang merugikan perusahaan. Berbagai keterbatasan analisis SWOT seperti yang telah diuraikan di atas bukan berarti SWOT tidak bisa lagi digunakan. Justru keterbatasan ini dapat menjadi panduan dan pelajaran bagi perusahaan agar dapat memanfaatkan analisis SWOT dengan tepat, yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perusahaan. Seperti halnya alat analisis yang lain, kegunaan analisis SWOT ini secara langsung berhubungan dengan kesesuaian (appropriateness) aplikasi, serta keterampilan mereka yang menggunakannya.
IV. Pedoman atau instruksi (rencana) Hasil suatu transformasi yang berbentuk pedoman atau instruksi (rencana). Rencana adalah setiap proses hierarkhis dalam organisme yang dapat mengendalikan urutan tahap pelaksanaan kegiatan-kegiatan. V. Perencanaan didukung Ilmu Pengetahuan Ketika perencanaan dipandang sebagai sebuah alat dan metode dalam pengambilan keputusan dan tindakan publik, maka sudah sewajarnya dipahami akan adanya dimensi politik dalam perencanaan. Dimensi politik dalam perumusan kebijakan publik merupakan sebuah hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses perencanaan sebagai sebuah tindakan yang rasional dan ilmiah. Perbedaan dalam proses perencanaan yang teknokratis dengan perencanaan
yang
demokratis
sangat
jelas
terlihat
dan
mempengaruhi perencana untuk masing-masing konteks. Dalam konteks politik, perencanaan didominasi oleh para pemain yang berkepentingan dengan tingkat pengaruh yang berbeda agar kepentingannya dimasukkan dalam agenda perencanaan. Para pemain inilah yang mendominasi proses perumusan kebijakan yang terjadi. Penelitian yang pernah dilakukan
oleh
Robert
Dahl
(1960)
di
New
Haven
menyimpulkan bahwa terdapat 1% kelompok masyarakat di Amerika Serikat yang mengontrol lebih dari 25% kesejahteraan di AS secara umum. Vilfredo Pareto (dalam Djatmoko 2004) menyatakan bahwa dalam sebuah masyarakat konsentrasi kekuasaan hanya berputar pada 20% kelompok masyarakat yang menguasai 80% kelompok yang lain. Secara sederhana, 20%
masyarakat tersebut mengendalikan atau mengeksploitasi 80% yang lain. Paradigma yang ada saat ini adalah proses perencanaan sebagai sebuah proses teknokratis dan rasional, sehingga menafikkan keberadaan dimensi politik sebagai elemen yang secara signifikan mempengaruhi proses dan hasil perencanaan. Perencanaan dipersepsikan menjadi sebagai alat pengambilan keputusan yang bebas nilai dan tidak ada urusannya dengan kepentingan dan proses politik yang dilakukan oleh para politikus dan pengambil keputusan. Paradigma seperti ini melihat politik sebagai elemen bebas yang menganggu keseimbangan dalam proses perencanaan yang terjadi. Politik dianggap elemen radikal bebas yang irasional dan kontraproduktif terhadap proses perencanaan yang teknokratis dan rasional. Paradigma rasionalistik sangat menekankan peran perencanaan sebagai sebuah proses yang rasional dan mekanis, sehingga produk perencanaan memiliki posisi yang sangat signifikan dalam mentransformasi masyarakat. Rasionalitas yang dimaksud disini identik dengan technical rationality, bagian dari tiga rasonalitas yang dikemukakan oleh Goulet. Paradigma ini menempatkan masyarakat sebagai objek rekayasa dan politik sebagai sebuah elemen irasional dan varian yang harus dihindari. Perencana selama ini dibuai dengan sebuah anggapan bahwa perencanaan dan perencana adalah sebuah elemen bebas nilai dan kepentingan, sehingga prosedur legal dan kajian yang didasarkan pada sebuah rasionalitas merupakan amunisi utama perencana
dalam
menempatkan
melakukan
perencana
sebagai
perencanaan, penasehat
Posisi utama
ini para
pengambil keputusan dengan kepercayaan diri yang sangat besar. Pendekatan yang konvensional terhadap proses perencanaan yang mengutamakan proses penyusunan dokumen semata untuk jangka waktu tertentu tanpa melibatkan peran masyarakat akan memberikan keleluasaan kepada para politisi dengan membekali mereka sebuah buku ajaib guna merasuk dalam pertemuan politik atau konsultasi dengan para donor. Perencana tidak jarang menyerahkan ”nasib” hasil perencanaan yang dihasilkan kepada para politis tanpa ada sebuah
tindakan
untuk
mengawal
dalam
kerangkan
mempertahankan tujuan dari perencanaan. Perencana selalu berlindung kepada anggapan ”kalau sudah bersentuhan dengan politik, itu bukan urusan kami lagi”. Sehingga, bias antara tujuan perencaaan dengan produk perencanaan setelah melewati proses politik bisa sangat jauh berbeda. Demokratisasi yang terjadi di Indonesia membawa sebuah perubahan besar dalam paradigma perencanaan di Indonesia. Perencanaan yang pada awalnya sebuah proses teknis ekonomis yang berasal dari rejim penguasa bergeser menjadi sebuah proses partisipasi yang menuntut pelibatan serta akses yang sama dalam melakukan intervensi untuk memutuskan sebuah kebijakan yang terkait dengan kepentingan publik. Lembaga perencana berubah dari sebuah lembaga teknokrat yang tertutup menjadi sebuah lembaga publik yang harus membuka kesempatan yang sama untuk publik dalam melakukan intervensi. Reformasi di Indonesia menyebabkan ruang demokrasi makin terbuka luas sehingga tuntutan untuk lebih melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan semakin
besar dan diikuti oleh gugatan terhadap posisi hegemonik pemerintah dalam perumusan kebijakan. Dalam kondisi seperti ini, posisi dimensi politik dalam sebuah perumusan kebijakan publik menjadi sangat signifikan. Pemerintah maupun kelompok masyarakat memanfaatkan arena politik sebagai sebuah upaya mengintervensi hasil perencanaan. Pendekatan politis dalam dunia perencanaan sudah saatnya untuk diungkapkan sebagai usaha perencana dalam memahami realita politik dalam proses perencanaan yang terjadi di masyarakat. John Friedman menyatakan sebuah permasalahan dalam memahami relasi perencanaan dan politik serta menaruhnya dalam konteks sebuah teori adalah ambivalensi perencana terhadap posisi power. Karena, terdapat pandangan yang bertentangan mengenai keberadaan dimensi politik dalam perencanaan sebagai sebuah realita yang harus diterima atau sebuah error yang harus dihindari dalam dunia perencanaan. Perencanaan tidak dapat berlepas diri dari kepentingan politik, karena perencana memiliki hubungan yang sangat dekat dengan lembaga dan individu yang bergerak berdasarkan kepentingan politik. Proses perencanaan telah bergeser dari sebuah proses rasional menjadi sebuah proses komunikatif, dimana setiap aktor berkomunikasi mengenai kepentingan, keberpihakan dan sikap yang diusung. Perencana harus berani untuk mengambil sikap di hadapan proses politik, tanpa harus terlibat dalam kepentingan praktis yang identik dengan dunia politik. Hal ini dilakukan dalam konteks mempertahankan justifikasi ilmiah yang dimiliki
dan tujuan perencanaan yang dirumuskan. Peran perencana dalam sebuah proses politik didefinisikan sebagai berikut : 1. Sebagai teknokrat dan engineer Peran ini dimainkan dengan mengambil posisi sebagai advisor bagi para pengambil kebijakan dengan berporos kepada rasionalitas dan pertimbangan ilmiah. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah landasan dalam membangun kekuasaan dan kepentingan. 2. Sebagai birokrat Perencana sebagai seorang birokrat memiliki fungsi menjaga stabilisasi organisasi dan jalannya roda pemerintahan. Informasi dimanfaatkan sebagai sebuah alat dalam menjaga kepentingan dan keberlangsungan organisasi. Peran ini biasanya disertai oleh kekuasaan yang datang secara formal dan legal kepada perencana. 3. Sebagai Advokat dan Aktivis Fungsi ini merupakan sebuah manifestasi dari usaha menjembatani masyarakat terhadap hal-hal yang bersifat teknis dari sebuah produk rencana. Selain itu terdapat peran dalam melakukan mobilisasi kekuatan dan potensi masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap dominasi Pemerintah. Informasi dan proses komunikasi diperlakukan sebagai usaha membangun pemahaman masyarakat dan counter-opinion terhadap kebijakan yang merugikan masyarakat. Peran ini lahir dari sebuah paradigma bahwasanya kelompok tertindas harus membebaskan dirinya sendiri dari dominasi kelompok penguasa (Freire, 1972). Kekuasaan didapatkan melalui
mobilisasi kekuatan massa atau klaim dukungan masyarakat. 4. Sebagai Politikus Politikus identik dengan tujuan pragmatis dan komunalis, sehingga perencana tidak diharapkan untuk bergabung dengan dunia politik. Maksud dari peran ini adalah seorang perencana tidak bisa lepas dari kepentingan dan dalam memperjuangkan kepentingannya, perencana dituntut memiliki perspektif seorang politisi. Seorang politikus memiliki insting dalam berkomunikasi dengan kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda lebih baik Keempat peran diatas adalah refleksi dari posisi perencana dalam proses politik. Proses politik yang terjadi mendesak perubahan paradigma pada dunia perencanaan di Indonesia. Tantangan dan perubahan paradigma di dunia perencana, menuntut perencana untuk dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan. Dominasi pemerintah terhadap masyarakat hanya melahirkan sebuah sikap apatis dari masyarakat terhadap pemerintah dan produk perencanaan. Sikap apatis yang melahirkan ketidakefisienan dari pelaksanaan perencanaan karena tidak ada dukungan dari masyarakat terhadap produk perencanaan. Paradigma
perencanaan
sebagai
proses
komunikatif
menuntut perencana lebih dari sekedar seorang mekanis dengan berbekalkan analisis-analisis ilmiah dan teknis. Beberapa kasus perencanaan di Indonesia menunjukkan fenomena analisis ilmiah yang tergilas oleh argumen politik yang dibangun. Dalam situasi seperti ini, seorang perencana harus mampu memainkan peranan komunikator dalam mengartikulasikan kepentingan yang dimiliki
oleh tiap-tiap aktor menjadi sebuah hasil perencanaan dengan kerangka argumen rasional dan pertimbangan teknis lainnya. Dengan kata lain seorang perencana harus mampu secara teknis, piawai secara organisatorik dan administratif serta mampu mengartikulasikan kepentingan-kepentingan politik. Kasus perencanaan di Indonesia, peran perencana dibatasi hanya sampai kepada proses rasional dan prosedural. Perencana tidak bisa atau tidak mau dalam memperjuangkan kepentingannya yang termanifestasi dalam produk yang dibuatnya. Perencana yang bergerak dalam dimensi politik, bukan seorang perencana yang terjebak dalam kepentingan politik yang pragmatis. Tetapi perencana yang menggunakan media politik sebagai media untuk memperjuangkan
kepentingannya.
Seorang
perencana
pada
akhirnya harus dapat menjadi seorang komunikator dalam proses politik yang terjadi, untuk mengkomunikasi kepentingan yang dimilikinya dan mengartikulasikan kepentingan kelompok lain dalam
sebuah
arena
politik
yang
terbentuk.
Fungsi mediasi bahwa perencanaan juga merupakan interelasi politik dan science seperti yang telah dijelaskan di atas.
VI. Metodologi Perencanaan Perencana perkotaan mengamabil metode dari berbagai bidnag illmu dan memodifikasikannya dan/atau mengembangkan metode-metode baru untuk memperoleh dan menyaring berbagai sumber informasi. Jenis-jenis metode : 1. Proses Perencanaan 2. Perencanaan sebagai rekayasa pengetahuan 3. Perencanaan sebagai problem solving 4. Perencanaan sebagai proses produksi
VII. Proses Perencanaan Proses perencanaan merupakan sebuah proses yang dilakukan dalam rangka mencapai sebuah kestabilan. Sehingga setiap aktivitas yang ada di dalamnya merupakan sebuah usaha yang dilakukan memiliki titik fokus untuk mencapai satu kondisi keseimbangan dalam konteks problem solving, future oriented dan resource allocation. John Friedman (1987) memberikan definisi lebih luas mengenai planning sebagai upaya menjembatani pengetahuan
ilmiah
dan
teknik
(scientific
and
technical
knowledge) kepada tindakan-tindakan dalam domain publik, menyangkut proses pengarahan social dan proses transformasi social. Berdasarkan definisi luas planning yang dikemukakan oleh John Friedman dapat disimpulkan bahwa filosofi peran serta masyarakat dalam perencanaan mengalami suatu pergeseran, dari for people sebagai sifat perencanaan social reform menjadi by
people sebagai sifat perencanaan dalam social learning. Oleh karena itu dalam memahami perencanaan maka akan lebih baik apabila perencanaan dipahami sebagai sebuah suatu upaya untuk membuat pengetahuan dan tindakan teknis dalam perencanaan yang secara efektif akan mendorong tindakan-tindakan publik. Menurut Goulet (1986) setidaknya ada tiga rasionalitas yang saling berinter-relasi dalam penentuan kebijakan publik, yaitu technological rationality, politician rationality dan ethical rationality.
Technological
rationality
menekankan
kepada
epistemologi ilmu modern. Political Rationality merupakan logika kepentingan yang selalu mengedepankan pemeliharaan kebijakan dan institusi. Seringkali motif mempertahankan institusi dan kebijakan menyelubungi motif untuk mempertahankan kekuasaan dan mencari keuntungan. Ethical rationality lebih menekankan pada pencitraan, pemeliharaan atau mempertahankan norma. Adapun proses perencanaan pembangunan nasional meliputi : 1. Proses politik 2. Proses teknokratik Perencana yang dilakukan oleh perencana profesional, atau oleh lembaga / unit organisasi yang secara fungsional melakukan perencanaan khususnya dalam pemantapan peran, fungsi dan kompetensi lembaga perencana. 3. Proses
partisipatif
Proses
yang
melibatkan
masyarakat (stakeholders). 4. Proses
bottom-up
dan
top-down
Perencanaan yang aliran prosesnya dari atas ke bawah atau dari bawah ke atas dalam hierarki pemerintahan. Perencanaan dengan pendekatan
teknokratik dilaksanakan dengan menggunakan metode dan kerangka berpikir ilmiah oleh lembaga atau satuan kerja yang secara fungsional bertugas untuk
itu.
Perencanaan
dengan
pendekatan
partisipatif dilaksanakan dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) terhadap pembangunan. Pelibatan mereka adalah untuk mendapatkan
aspirasi
dan
menciptakan
rasa
memiliki. Sedangkan pendekatan atas-bawah dan bawah-atas
dalam
menurut
perencanaan
jenjang
dilaksanakan pemerintahan.
Perencanaan pembangunan terdiri dari empat tahapan yakni: 1. penyusunan rencana; 2. penetapan rencana; 3. pengendalian pelaksanaan rencana; 4. evaluasi pelaksanaan rencana. Keempat tahapan diselenggarakan secara berkelanjutan sehingga secara keseluruhan membentuk satu siklus perencanaan yang utuh. Tahap penyusunan rencana dilaksanakan untuk menghasilkan rancangan lengkap suatu rencana yang siap untuk ditetapkan yang terdiri dari empat langkah. Langkah pertama adalah penyiapan rancangan rencana pembangunan yang bersifat teknokratik, menyeluruh, dan terukur. Langkah kedua, masingmasing instansi pemerintah menyiapkan rancangan rencana kerja dengan berpedoman pada rancangan rencana pembangunan yang telah disiapkan. Langkah berikutnya adalah melibatkan masyarakat (stakeholders) dan menyelaraskan rencana pembangunan yang
dihasilkan
masing-masing
jenjang
pemerintahan
melalui
musyawarah perencanaan pembangunan. Sedangkan langkah keempat adalah penyusunan rancangan akhir rencana pem Evaluasi pelaksanaan rencana adalah bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan
yang
secara
sistematis
mengumpulkan
dan
menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan
dan
kinerja
pembangunan.
Evaluasi ini dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact). Perencanaan paling baik apabila dilaksanakan selangkah demi selangkah yang diatur dalam urutannya : yaitu perencanaan dimulai dengan pengumpulan data yang relevan kemudian dilanjutkan dengan menentukan persoalan yang harus dipercahkan dan tujuan yangharus dicapai , dengan membuat sederetan cara pemecahan yang mungkin dapat dilakukan, dengan mengadakan pengujian pemecahan soal-soal ini secara komparatif sesuai dengan tujuan perencanaan dan akhirnya dengan memilih tahapan pelaksanaan yang diinginkan dan menjabarkan tahap pelaksanaan itu ke dalam rencana tindakan. Tujuan perencanaan pada umumnya tidak jelas sampai
kemungkinan
pemecahan
diuji
dan
dibicarakan. Mungkin diperlukan waktu beberapa tahap untuk memperdebatkan rencana, memperjelas tujuan, dan membuat rencana baru sebelum orang merasa
puas.
Konsep penting dalam proses perencanaan modern adalah bahwa perencanaan hahrus merupakan
perencanaan iteratif (tinjauan berulang), dengan masing-masing tahapan menjadi lebih terperinci dan lebih
konkrit.
Tiap-tiap
siklus
terdiri
atas
rangkuman persoalan melakukan usaha dengan pemecahan,
dan
mempertimbangkan
kebaikan
pemecahan persoalan itu terhadap apa yang telah diketahui. Jika menggunakan pendekatan iteratif, maka perlu diperhatikan agar jangan terlalu bersusah payah mengumpulkan data sebelum orang mencoba merumuskan sejumlah usulan tahap permulaan, agar tidak terlalu banyak data yang salah dikumpulkan. Kunci lain agar perencanaan bisa efektif adalah mengetahui bahwa keterlibatan masyarakata perlu untuk mencapai kesepakatan masyarakat yang diperlukan untuk pelaksanaan kerja. Perencana harus membantu semua pihak yang berkepentingan untuk mencapai kesepakatan tentang permasalahan dan
rencana
Perencanaan Rekayasa
yang
sebagai
diinginkan.
rekayasa
pengetahuan
pengetahuan
merupakan
proses
perubahan pemahaman melalui pesan (message), sedangkan
perencanaan
sebagai
rekayasa
pengetahuan harus ada tindakan yang jelas karena perencanaan
sebagai
sebuah
pedoman
atau
instruksi. Perencanaan harus jelas jenis pedoman apa, berapa intensitas / besaran pedoman, dimana lokasi pedoman dilaksanakan, kapan dan kurun waktu pedoman dilaksanakan, siapa stakeholders pedomannya, cara dan alat dalam melaksanakan
pedoman, dan tujuan dari pedoman tersebut. Para penyusun rencana membuat pedoman atau instruksi yang kemudian disampaikan kepada publik atau privat. Perencanaan tidak dapat terlepas dari kepentingan politik, karena perencana memiliki hubungan yang sangat dekat dengan lembaga dan individu yang bergerak berdasarkan kepentingan politik. Proses perencanaan telah bergeser dari sebuah proses rasional
menjadi
sebuah
proses
komunikatif,
dimana setiap aktor berkomunikasi mengenai kepentingan, keberpihakan, dan sikap yang diusung. Perencana harus berani untuk mengambil sikap di hadapan proses politik, tanpa harus terlibat dalam kepentingan praktis yang identik dengan dunia politik.