Teori Konflik Realistis Peristiwa teori Robers Cave menirukan jenis-jenis konflik konflik yang terjadi yang meresahkan banyak orang di seluruh dunia (Taylor & Moghaddam, 1994). Penjelasan paling sederhana untuk konflik ini adalah, kompetisi. Memasukkan orang asing kedalam kelompok kelompok kecil, lalu menciptakan perdebatan antar kelompok, ciptakan masalah , dan segera terjadi konflik. Pandangan bahwa persaingan langsung bagi sumber daya yang terbatas
menghasilkan
permusuhan antara kelompok-kelompok, hal ini disebut teori konflik realistik (Levine & Campbell, 1972). Contoh mudahnya dalam hal ekonomi, satu kelompok dapat membayar lebih untuk mendapatkan Sedangkan
tempat tinggal , pekerjaan, atau kekuasaan daripada kelompok lain.
kelompok lainnya ada yang menjadi frustrasi dan kesal, kelompok yang lebih
mampu merasa terancam, dan sebelum masalah semakin jauh, konflik justru sudah memuncak. Kemungkinan besar, banyak prasangka di dunia didorong oleh realitas dalam persaingan (Olzak & Nagel, 1986; Taylor & Moghaddam, 1994). Jika teori konflik realistis adalah benar, bagaimanapun juga, maka prasangka kemungkinan ditemukan hanya di antara orang-orang yang takut bahwa kualitas hidup mereka sedang terancam oleh suatu kelompok dari luar. Tidak begitu. Warga kulit putih Amerika yang tidak terpengaruh oleh pembauran sekolah dan perumahan sederhana berprasangka terhadap orang kulit hitam sebagai orang-orang yang secara pribadi tersentuh oleh kebijakan tersebut. Mungkinkah konflik realistis tidak berhubungan dengan prasangka? Sebagaimana komplain dari orang Amerika kulit putih yang mengeluhkan tentang tindakan penyetujuan kebijakan yang memberikan kecenderungan hak istimewa untuk kelompok minoritas, tampaknya memang suatu kompetisi memang bermuatan suatu prasangka. Kita telah tersugesti, sebagai contoh, bahwa cara menangani tensi rasisme yang berasal dari mereka yang telah dikecewakan adalah dengan mengurangi pengeluaran mereka. Untuk mengatasi hal hal tertentu, kita harus membuat perbedaan penting. Secara sederhana, orang menjadi marah bukan karena apa yang mereka tidak perbuat, melainkan karena mereka relatif kekurangan keyakinan bahwa mereka lebih buruk dibandingkan dengan orang lain
(Crosby, 1976; Olson et al., 1986). Ada dua sumber yang berbeda dari ketidakpuasan diri : kurangnya sifat egois, mementingkan diri sendiri, dan kekurangan persaudaraan, kepedulian untuk kepentingan kelompok seseorang (Runciman, 1966). Perbedaan ini sangat penting untuk teori bahwa persaingan melahirkan prasangka Mengapa orang begitu sensitif mengenai status dan integritas kelompok yang memiliki kesamaan dengan mereka (ingroup) relatif terhadap pesaing mereka (outgroup) , bahkan ketika kepentingan pribadi tidak dipertaruhkan ? Mungkinkah kepentingan pribadi benar-benar dipertaruhkan, bahwa sebenarnya rasa perlindungan kita terhadap ingroup merupakan kepedulian terhadap diri sendiri? Jika demikian, apakah itu dapat menjelaskan mengapa orang di seluruh dunia percaya bahwa bangsa mereka , budaya, bahasa, dan agama mereka sendiri lebih baik dan lebih pantas daripada yang lain? Teori Identitas Sosial Pertanyaan-pertanyaan ini pertama kali berkembang dalam studi anak-anak sekolah menengah di Bristol, Inggris, dilakukan oleh Henry Tajfel dan rekan-rekannya (1971). Penelitian tersebut dirancang untuk menciptakan kelompok minimal atau sekumpulan orang yang dikategorikan berdasarkan hal hal kecil, kesamaan penting minimal. Over estimate berlebihan Tajfel ataupun under estimate tidak lagi merupakan istilah yang berbeda, tidak memiliki sejarah antagonisme, tidak bersaing untuk sumber daya yang terbatas, dan bahkan tidak saling berhubungan. Namun, tetap menjadi subjek secara konsisten yang mengalokasikan nilai lebih kepada anggota dari kelompok kelompok mereka daripada mereka yang di kelompok lain. Pola diskriminasi ini, disebut sebagai sifat favoritisme ingroup, dan telah ditemukan pada studi yang diadakan di banyak negara. Mereka juga membuat "etnosentris", atribusi untuk keberhasilan dan kegagalan anggota ingroup sesama daripada untuk orang lain (Weber, 1994).
Preferensi untuk ingroups begitu kuat sehingga pengaruhnya dapat diukur dengan bahasa yang kita gunakan. Menurut Charles Perdue dan rekan-rekannya (1990), "ingroup" kata ganti seperti “kami,kita, dan milik kita” memicu emosi positif, sementara "outgroup" kata ganti seperti “kalian, mereka, dan milik mereka” menimbulkan emosi negatif.
Untuk menjelaskan favoritisme ingroup, Tajfel (1982) dan John Turner (1987) mengusulkan tentang teori identitas sosial. Yang , menurut teori ini, kita masing-masing berusaha untuk meningkatkan harga diri kita, yang mana memiliki dua komponen: identitas pribadi dan variasi kolektif atau identitas sosial yang didasarkan pada kelompok-kelompok dimana kita berada. Dengan kata lain, orang dapat meningkatkan harga diri mereka melalui prestasi pribadi mereka sendiri atau melalui afiliasi dengan kelompok yang mencapai kesuksesan. Hal yang baik tentang kebutuhan identitas sosial adalah bahwa hal itu menuntun kita untuk mendapatkan kebanggaan dari hubungan kita dengan orang lain. Buruknya, bagaimanapun juga kita sering merasa perlu untuk meremehkan "mereka" untuk membuat
"kita" merasa nyaman. semangat Agama,
kesombongan ras dan etnis, dan patriotisme semua dapat memenuhi sisi gelap dalam identitas sosial kita. Teori identitas sosial membuat dua prediksi dasar: (1) ancaman terhadap harga diri seseorangmeningkatkan kebutuhan favoritisme ingroup, dan (2) ekspresi dari favoritisme ingroup meningkatkan harga diri seseorang. Penelitian ini secara umum mendukung prediksi. Dalam sebuah penelitian, Steven Fein dan Steven Spencer (1993) memberikan umpan balik positif atau negatif kepada subjek tentang kinerja mereka pada tes sosial dan reaksi balik skill verbal mereka yang meningkat secara sesaat atau menurunkan harga diri mereka. Dalam kasus ini, perempuan itu bernama Maria D'Agostino dan digambarkan sebagai seorang Italia,; dan yang satu lagi, ia adalah Julie Goldberg dan digambarkan sebagai Yahudi. Seperti yang diramalkan oleh teori identitas sosial, ada dua hasil penting. Pertama, di antara subyek yang harga diri telah diturunkan oleh reaksi negatif; Julie Goldberg dinilai lebih negatif dari Maria D'Agostino-meskipun gambar mereka dan kepercayaan mereka sama. Kedua, reaksi subyek yang telah diberi kesempatan untuk meremehkan wanita Yahudi yang kemudian menunjukkan peningkatan harga diri pasca-percobaan . Sebuah pukulan bagi citra diri seseorang membangkitkan prasangka dan ekspresi dari prasangka membantu untuk mengembalikan citra tersebut. Peneliti lain juga telah menemukan dukungan untuk teori ini. Apa kondisi yang secara tepat dapat membangkitkan motif identitas sosial? Menurut Marilyn Brewer (1991), salah satu pertimbangan penting adalah ukuran relatif ingroup seseorang. Dengan
catatan bahwa orang ingin menjadi bagian dari kelompok-kelompok yang cukup kecil bagi mereka untuk mereka merasa unik, poin Brewer bahwa loyalitas ingroup dan prasangka outgroup lebih intens untuk kelompok yang berada dalam minoritas dibandingkan sekelompok besar anggota yang berada dalam kelompok mayor. Memang, saat Brewer (1993) memberitahu subyek bahwa mereka dalam mayoritas atau minoritas di titik-estimasi kinerja mereka, ia menemukan favoritisme ingroup yang lebih besar diantara mereka yang mempercayai bahwa kelompok mereka adalah kelompok minoritas. Faktor penting kedua adalah status seseorang relatif terhadap orang lain dalam ingroup itu. Jeffrey Noel dan rekan-rekannya (1995) berteori bahwa orang yang paling termotivasi untuk merendahkan orang dari lingkungan luar ketika status ingroup mereka marginal dan ketika mereka berada di hadapan sesama anggota ingroup. Untuk menguji hipotesis ini, peneliti ini merekrut anggota aktif persaudaraan atau perkumuplan ( yang sepenuhnya diterima) dan dijamin (di bawah inisiasi) untuk ambil bagian dalam studi ini. Subyek diminta untuk menilai anggota kelompok kampus mereka sendiri dan kelompok-kelompok saingan dengan cara menulis sifatsifat positif dan negatif nya. Beberapa subjek dituntun untuk percaya bahwa mereka akan berbagi dan mempublikasi peringkat mereka dengan sesama anggota ingroup ,dan yang lainnya diberitahu bahwa evaluasi mereka tetap disimpan untuk mereka pribadi. Hasilnya: peringkat anggota outgroup adalah yang paling negatif di antara yang berpikir bahwa respon mereka akan terlihat oleh orang lain dalam persaudaraan atau asrama. Temuan ini menunjukkan bahwa publikasi mampu merendahkan diri dari orang-orang luar sebagai bagian untuk memenangkan dukungan sesama anggota ingroup. Penting untuk dicatat, bagaimanapun juga, bahwa individuindividu berbeda dalam sejauh mana mereka memandang orang lain dengan cara yang konsisten dengan teori identitas sosial. Teori identitas sosial menimbulkan pertanyaan lain yang menarik: jika harga diri dipengaruhi oleh status ingroups kami relatif terhadap outgroups, bagaimana orang orang menanggulangi ingroups dengan status rendah atau dengan anggota ingroup yang lemah? Teori ini memprediksi dua reaksi yang mungkin: risiko kehilangan harga diri, atau menjauhkan diri dari orang-orang yang bersangkutan. Untuk memeriksanya, Jose Marques (1990) dan rekan-rekannya melakukan
penelitian di mana subjek harus mengevaluasi anggota ingroup dan outgroup yang berperilaku dalam cara yang positif atau negatif. Sejauh ini, kita telah melihat stereotip yang menjadi gambaran dari kelompok-kelompok sosial yang mengarahkan orang-orang untuk mengabaikan keragaman dalam kelompok luar (outgroup) dan memberi penilaian tentang individu tertentu. Kami juga telah melihat bahwa prasangka bisa berasal dari persaingan untuk memperebutkan sumber daya untuk kebutuhan dan kebaikan ingroups sebagai pencapaian harga diri. Kami sekarang menempatkan masalah ini ke dalam istilah konkrit dengan berfokus pada seksisme (jenis kelamin) dan rasisme, dua bentuk umum dari diskriminasi. SEKSISME Ketika bayi lahir, kata-kata pertama diucapkan dengan lantang umumnya adalah : " Bayinya laki laki (atau perempuan) ! " Segera, setelah bayi terlahir, mereka langsung menerima nama yang sesuai dengan gender dan mereka pun akan segera dibanjiri hadiah hadiah yang sesuai dengan gender mereka. Siklus kehidupan dimulai lagi ketika seorang pria dan wanita memiliki bayi pertama mereka dan menemukan bahwa " Anak kita laki laki (atau perempuan) !” . Stereotip untuk gender : Biru untuk anak laki laki, merah muda untuk anak perempuan Stereotip biru dan merah mudah ini mungkin susah sedikit berbeda daripada dulu. Sekarang kategorisasi gender yang berhubungan dengan warna apa yang cocok dipakai anak laki laki atau perempuan sudah hampir tidak terlihat, namun bukan berarti hilang sama sekali. Walaupun memang demikian adanya bahwa diskriminasi seksisme berdasarkan gender masih ada. Bagaimanpun juga, fakta menunjukkan bahwa jenis kelamin adalah cara paling dasar kita untuk mengidentifikasi kita dengan orang lain secara mudah. Keyakinan tentang laki-laki dan perempuan juga begitu dalam tertanam bahwa mereka mempengaruhi perilaku orang dewasa secara harfiah saat bayi lahir. Dalam sebuah studi yang menarik, orang tua anak perempuan dan laki yang baru pertama kali memiliki anak diwawancarai sejak dua puluh empat jam dari waktu kelahiran bayi mereka. Tidak ada perbedaan
antara bayi laki-laki dan perempuan dalam tinggi, berat, atau aspek lain dari penampilan fisik . Namun orangtua perempuan menilai bayi lebih lembut, lebih kecil, dan lebih cantik. Para ayah dari anak laki-laki memiliki pandangan terhadap bayi mereka yaitu lebih kuat, lebih besar, dan lebih terkoordinasi. Orang-orang di seluruh dunia membuat perbedaan yang tajam antara anak laki-laki dan perempuan, pria dan wanita. Masalahnya bukanlah apakah stereotip ini ada tetapi (1) ketika mereka mempengaruhi persepsi sosial kita, (2) mereka akurat, dan, jika tidak, (3) mengapa mereka bertahan? Mari kita mulai dengan pertanyaan pertama: Kapan gender persepsi mengaburkan pandangan kita tentang stereotip laki-laki dan perempuan? KRITISI Teori Konflik Realistik Perjuangan berbagai kelompok memperebutkan pekerjaan, perumahan yang memadai, sekolah yang baik, lahan pertanian, dan lainnya dapat memunculkan prasangka dan berkembang sebagai suatu efek samping. Apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Apabila kesempatan dan sumber daya yang tersedia sangat terbatas jumlahnya, biasanya prasangka di daerah tersebut cukup tinggi. Sebaliknya apabila kesempatan dan sumber daya melimpah, umumnya prasangka antar kelompok rendah karena orang-orang tidak perlu bersaing keras mendapatkannya. Persaingan memperebutkan sumberdaya yang terbatas seringkali berujung pada timbulnya konflik antara pihak-pihak yang bersaing dalam kompetisi untuk memperebutkan sumber daya. Jadi, prasangka merupakan pemicu konflik sekaligus sebagai hasil dari konflik. Prasangka memicu konflik karena prasangka menciptakan kondisi hubungan sosial yang penuh ketegangan. Prasangka sebagai hasil konflik karena konsekuensi munculnya sikap permusuhan terhadap kelompok lain. Pada saat kerusuhan dan kekerasan antarkelompok, prasangka antara kelompok bertikai akan menguat. Semakin besar skala kerusuhan yang terjadi antar kelompok maka
prasangka yang timbul cenderung semakin besar. Tetapi prasangka belum tentu melahirkan suatu kondisi diskriminasi suatu kelompok tertentu, walaupun memang pada umumnya sebagian besar memang menimbulkan diskriminasi. Tapi itu dapat terjadi bila adanya pengaruh kuat dari luar yang dapat menjadi kontrol. Misalnya kontrol dari pemerintah, ataupun kontrol internal dari masyarakat. Teori Identitas Sosial Identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa dirinya termasuk di dalamnya atribut pribadi (self concept) serta keanggotaan dalam berbagai kelompok (aspek yang dimiliki bersama dengan orang lain. Contoh: saya adalah mahasiswa Unpad (identitas sosial saya adalah seorang mahasiswa Unpad). Identitas sosial mencakup banyak hal seperti nama, konsep diri, hubungan interpersonal, hubungan personal dengan kelompok, gender, agama, suku, pekerjaan, atau hobi. Orang memakai identitas sosialnya sebagai sumber dari kebanggaan diri dan harga diri. Semakin positif kelompok dinilai maka semakin kuat identitas kelompok yang dimiliki dan akan memperkuat harga diri. Sebaliknya jika kelompok yang dimiliki dinilai memiliki prestise yang rendah maka hal itu juga akan menimbulkan identifikasi yang rendah terhadap kelompok. Dan apabila terjadi sesuatu yang mengancam harga diri maka kelekatan terhadap kelompok akan meningkat dan perasaan tidak suka terhadap kelompok lain juga meningkat. Demikan pula akhirnya prasangka diperkuat. Normalnya, suatu identitas sosial biasanya lebih menghasilkan perasaan yang positif. Hal tersebut terjadi karena kita menggambarkan kelompok sendiri di identifikasikan memiliki norma yang baik. Jika kita berada dalam universitas bagus, serta menjadi bagian dari kelompok mahasiswa tersebut merupakan bagian dari keinginan kita juga, dan ternyata hal itu membuat diri kita nyaman karena kita memang senang menjadi bagian dari mereka.