BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
GINA (Global (Global Initiative for Asthma) Asthma) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.1 Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional asma untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak (PNAA) menggunakan batasan operasional asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisis, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada pasien/keluarganya.3
2.2 Epidemiologi
Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak). Prevalensi pada anak menderita asma meningkat 8-10 kali di negara berkembang dibanding negara maju. Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6-7 tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2%. Berdasarkan laporan National laporan National Center for Health Statistics (NCHS), prevalensi serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta) dan pada dewas a > 18 tahun adalah 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Sebelum masa pubertas, prevalensi asma pada laki-laki 3 kali lebih banyak dibanding perempuan, selama masa remaja
prevalensinya hampir sama dan pada dewasa laki-laki lebih banyak menderita asma dibanding wanita. 4 Secara global, morbiditas dan mortalitas asma meningkat pada 2 dekade terakhir. Peningkatan ini dapat dihubungkan dengan peningkatan urbanisasi. WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma. Berdasarkan laporan NCHS terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu. Sedangkan, laporan dari CDC menyatakan terdapat 187 pasien asma yang meninggal pada usia 0-17 tahun atau 0.3 kematian per 100,000 anak. Namun secara umum kematian pada anak akibat asma jarang. 4
2.3 Faktor Resiko
Berbagai faktor dapat mempengaruhi terjadinya serangan asma, kejadian asma, berat ringannya penyakit, serta kematian akibat penyakit asma. Beberapa faktor tersebut sudah disepakati oleh para ahli, sedangkan sebagian lain masih dalam penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah jenis kelamin, usia, sosio-ekonomi, allergen, infeksi, atopi, lingkungan. 5 1. Jenis kelamin Menurut laporan dari beberapa penelitian didapatkan bahwa prevalens asma pada anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Menurut laporan MMH, prevalens asma pada anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2 pada usia 6-11 tahun dan meningkat menjadi 8:5 pada usia 12-17 tahun. Pada orang dewasa, rasio ini berubah menjadi sebanding antara lakilaki dan perempuan pada usia 30 tahun.
5
2. Usia Umumnya, pada kebanyakan kasus asme persisten, gejala seperti asama pertama kali timbul pada usia muda, yaitu pada beberapa tahun pertama kehidupan. Dari Australia, dilaporkan bahwa 25% anak dengan asma persisten mendapat serangan mengi pada usia <6 bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun. Hanya 5% anak dengan asma persisten terbebas dari gejala asma pada usia 28-35 tahun, 60% menetap menunjukkan gejala seperti saat anak-anak, dan sisanya masih sering mendapat serangan meskipun lebih ringan daripada saat masa kanak.
5
3. Riwayat atopi Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan beratnya asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat as ma atau mnegi, akan terjadi serangan mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah megalami hay fever, rhinitis alergi, eksema. Anak dengan mengi persisten dalam kurun waktu 6 bulan pertama kehidupan mempunyai kadar IgE lebih tinggi daripada anak yang tidak pernah mengalami mengi, pada usia 9 bulan.
5
4. Lingkungan Adanya allergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asama. Allergen yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu rumah, jamur, dan kecoa.
5
5. Ras Dilaporkan prevalens asma dan kejadian asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit putih.
5
6. Asap rokok Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak terpajan asap rokok. Resiko asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak di lahirkan.
5
7. Outdoor air pollution Beberapa partikel halus di udara seperti debu jalan raya, nitrat oksida, karbon monoksida, atau SO 2 diduga berperan pada penyakit asma, meningkatkan gejala asma, tetapi belum didapatkan bukti yang pasti. 5 8. Infeksi respiratorik Beberapa penelitian mendapatkan bahwa adanya hubungan terbalik antara atopi dengan infeksi respiratori. 5
2.4 Patogenesis
Pada sekitar tahun 1970, asma diartikan sebagai sumbatan jalan napas yang timbul mendadak, dan akan membaik secara spontan atau dengan pengobatan. Mekanisme utama timbulnya gejala asma diakibatkan hiperreaktivitas bronkus, sehingga pengobatan utama asma adalah untuk mengatasi bronkospasme.4,5 Konsep terkini yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.4,5 Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent . Pada populasi diperkirakan faktor atopi memberikan kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa .4,5 Reaksi imunologik yang timbul akibat paparan dengan alergen pada awalnya menimbulkan fase sensitisasi. Akibatnya terbentuk IgE spesifik oleh sel plasma. IgE melekat pada reseptor Fc pada membran sel mast dan basofil. Bila ada rangsangan berikutnya dari alergen serupa, akan timbul reaksi asma cepat (immediate asthma reaction). Terjadi degranulasi sel mast dan dilepaskan mediator-mediator seperti histamin, leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2), tromboksan A2 dan tryptase. Mediator-mediator tersebut menimbulkan spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar, edema, peningkatan permeabilitas kapiler, disusul dengan akumulasi sel eosinofil. Gambaran klinis yang timbul adalah serangan asma akut. Keadaan ini akan segera pulih kembali serangan asma hilang dengan pengobatan. 4,5
Mediator inflamasi yang berperan merupakan mediator inflamasi yang meningkatkan proses keradangan, mempertahankan proses inflamasi. Mediator inflamasi tersebut akan membuat kepekaan bronkus berlebihan, sehingga bronkus mudah konstriksi, kerusakan epitel, penebalan membrana basalis dan terjadi peningkatan permeabilitas bila ada rangsangan spesifik maupun non spesifik. Secara klinis, gejala asma menjadi menetap, penderita akan lebih peka terhadap rangsangan. Kerusakan ja ringan akan menjadi irreversibel bila paparan berlangsung terus dan penatalaksanaan kurang adekuat.6 Sejalan dengan proses inflamasi kronik, perlukaan epitel bronkus merangsang proses reparasi saluran respiratorik yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional yang menyimpang pada saluran respiratorik yang dikenal dengan istilah remodeling atau repair. Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal ( pseudothickening ), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran klinis asma kronis. 6
Menurut paradigma yang lampau, proses remodeling terjadi akibat kerusakan epitel bronkus yang disebabkan oleh proses inflamasi kronis. Sehingga apabila obat antiinflamasi tidak diberikan sedini mungkin sebagai profilaksis, maka inflamasi berlangsung terus dan obstruksi saluran napas menjadi irreversibel dan proses remodeling bertambah hebat. Pada penelitian terhadap anak dengan riwayat keluarga atopi yang belum bermanifestasi sebagai asma ternyata ditemukan infiltrasi eosinofil dan penebalan lamina retikularis. Hal ini mencurigakan bahwa proses remodeling telah terjadi sebelum atau bersamaan dengan proses inflamasi. Apabila intervensi dini diberikan segera setelah gejala asma timbul, bisa jadi tindakan kita telah terlambat untuk mencegah terjadinya proses remodeling. 6 Inflamasi saluran napas yang ditemukan pada pasien asma diyakini merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Respon terhadap inflamasi pada mukosa saluran napas pasien asma ini menyebabkan hiperreaktifitas bronkus yang merupakan tanda utama asma. Pada saat terjadi hiperreaktivitas saluran napas, sejumlah pemicu dapat memulai gejala asma. Pemicu ini meliputi respon hipersensitivitas tipe 1 (dimedisi 1gE) terhadap alergen debu rumah dan serbuk sari yang tersensitisasi, iritan seperti udara dingin, polutan atau asap rokok, infeksi virus, dan aktivitas fisik/olahraga. Hiperreaktivitas saluran napas akan menyebabkan obstruksi saluran napas menyebabkan hambatan aliran udara yang dapat kembali secara spontan atau setelah pengobatan. Proses patologis utama yang mendukung obstruksi saluran napas adalah edema mukosa, kontraksi otot polos dan produksi mukus. Obstruksi terjadi selama ekspirasi ketika saluran napas mengalami volume penutupan dan menyebabkan gas di saluran napas terperangkap. Bahkan, pada asma yang berat dapat mengurangi aliran udara selama inspirasi. Sejumlah karakteristik anatomi dan fisiologi memberi kecenderungan
peningkatan risiko obstruksi saluran napas pada bayi dan anak kecil, antara lain ukuran saluran napas yang lebih kecil, recoil elastic paru yang lebih lemah, kurangnya bantuan otot polos saluran napas kecil, hiperplasia kelenjar mukosa relatif dan kurangnya saluran ventilasi kolateral (pori cohn) antar alveolus. 6,8
2.5 Manifestasi klinis dan Diagnosis
Batuk kering berulang dan mengi adalah gejala utama asma pada anak. Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gejala juga dapat berupa sesak napas, dada terasa berat gejala biasanya akan memburuk pada malam hari yang dipicu dengan infeksi pernapasan dan inhalasi alergen. Gejala lainnya dapat tersembunyi dan tidak spesifik seperti keterbatasan aktivitas dan cepat lelah. Riwayat penggunaan bronkodilator dan atopi pada pasien atau keluarganya dapat menunjang penegakan diagnosis. 6 GINA, konsensus Internasional dan PNAA menekankan diagnosis asma didahului batuk dan atau mengi. Gejala awal tersebut ditelusuri dengan algoritme kemungkinan diagnosis asma. Pada algoritme tampak bahwa batuk dan/atau mengi yang berulang (episodik), nokturnal, musiman, setelah melakukan aktivitas, dan adanya riwayat atopi pada penderita maupun keluarganya merupakan gejala atau tanda yang patut diduga suatu asma.5 Sehubungan dengan kesulitan mendiagnosis asma pada anak kecil., khususnya anak di bawah 3 tahun, respons yang baik terhadap obat bronkodilator dan steroid sistemik (5 hari) dan dengan penyingkiran penyakit lain diagnosis asma menjadi lebih definitif. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin atau dengan NaCl hipertonis, sangat menunjang diagnosis.
6
2.6 Klasifikasi
Dalam GINA asma di klasifikasikan berdasarkan etiologi, derajat penyakit asma, serta pola obstruksi aliran udara di saluran nafas. Walaupun berbagai usaha telah dilakukan, klasifikasi berdasarkan etiologi sulit digunakan karena dapat kesulitan dalam penentuan etiologi spesifik dari sekitar pasien. 5 Derajat penyakit asma ditemukan berdasarkan gabungan penelaian gambaran klinis, jumlah penggunaan agonis-β2 untuk mengatasi gejala, dan pemeriksaan fungsi paru pada evaluasi awal pasien. 5
Table 1. klasifikasi asma berdasarkan GINA Gejala/hari
Gejala/malam
PEF atau FEV1 PEF variability
Derajat 1 Intermiten
Derajat 2 Persisten ringan
Derajat 3 Persisten sedang
Derajat 4 Persisten berat
< 1x/minggu, asimtomatik dan nilai PEF normal diantara serangan
≤ 2 kali sebulan
>1 kali perminggu, < 1 kali perhari, serangan mengganggu aktivitas
> 2 kali sebulan
Sehari sekali, serangan mengganggu aktivitas
>1 kali perminggu
Terus menerus sepanjang hari, aktivitas fisik terbatas
Sering
≥80% < 20 %
≥ 80% 20%-30%
60-80% >30%
≤ 60% >30%
Selain pembagian berdasarkan GINA, PNAA membagi asma menjadi 3 yaitu asma episodik jarang, asma episodik sering dan asma persisten. Tabel 2. Klasifikasi asma berdasarkan PNAA
5
Tabel 3. Klasifikasi derajat serangan asma Parameter klinis, fungsi paru, laboratorium Sesak
Ringan
Sedang
Berat Tanpa ancaman henti nafas
Dengan ancaman henti nafas
Berjalan, bayi: menangis keras
Berbicara,
Istirahat
Bayi: tangis pendek dan lemah, kesulitan menyusu atau makan
Bayi: tidak mau minum/ makan
Posisi
Bisa berbaring
Lebih suka duduk
Duduk lengan
Bicara
kalimat
Penggal kalimat
Kata-kata
Kesadaran
Mungkin irritable
Biasanya irritable
Biasanya irritable
Kebingungan
Sianosis
Tidak ada
Tidak ada
Ada
Nyata
Mengi
Sedang, sering Nyaring, sepanjang hanya pada akhir ekspirasi + inspirasi ekspirasi
Sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi
Sulit/tidak terdengar
Penggunaan otot bantu respiratorik
Biasanya tidak
Biasanya ya
Ya
Gerakan paradox torako-abdominal
Retraksi
Dangkal, retraksi interkostal
Sedang ditambah retraksi suprasternal
Dalam, ditambah nafas cuping hidung
Dangkal/ hilang
Frekuensi nafas
Takipnea
Takipnea
Takipnea
Bradipnea
bertopang
Pedoman nilai baku laju napas pada anak sadar: Usia
Frekuensi nadi
frekuensi nafas normal
< 2 bulan
<60 x/ menit
2-12 bulan
<50 x/ menit
1-5 tahun
<40 x/menit
6-8 tahun
<30 x/menit
Normal
Takikardi
Takikardi
Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak Usia
laju nadi normal
2-12 bulan
<160 x/menit
1-2 tahun
<120 x/menit
3-8 tahun
<110 x/ menit
Bradikardi
Pulsus paradoksus
Tidak ada
Ada
Ada
Tidak ada
<10 mmHg
10-20 mmHg
>20 mmHg
(tanda kelelahan otot nafas)
Pra-bonkodilator
>60%
40-60%
<40%
Pasca-brokodilator
>80 %
60-80%
<60 %, respon < 2 jam
Sa O2
>95%
91-95%
≤ 90%
Pa O2
Normal (biasanya tidak perlu diperiksa)
>60 mmHg
<60 mmHg
Pa CO2
< 45 mmHg
<45 mmHg
>45 mmHg
PEFR atau FEV1 (% nilai prediksi terbaik)
2.7 Pemeriksaan Penunjang 2.7.1 Pemeriksaan fungsi paru
Ada banyak cara yang digunakan untuk mengukur fungsi paru, tetapi tidak banyak yang dapat dilakukan dengan mudah. Pemeriksaan fungsi paru mulai dari pengukuran sederhana, yaitu peak expiratory flow rate (PEFR) atau arus puncak ekspirasi (APE), pulse, oximetry,spirometry, sampai pengukuran kompleks yaitu muscle strength testing , volume para absolut, serta kapasitas difusi. Pemeriksaan paru yang objektif dan lengkap dapat bermanfaat dalam evaluasi diagnostic anak dengan batuk, mengi rekuren, aktifitas terbatas, dan keadaan lain yang berkaitan dengan system respiratorik. Pemeriksaan fungsi paru ini terutama bermanfaat apabila ada manifestasi gejala asma yang tidak khas. Kebanyakan uji fungsi paru mengevaluasi satu atau lebih aspek fungsi paru, yaitu: 1) volume paru, 2) fungsi jalan napas, 3) pertukaran gas. Pengukuran volume paru bermanfaat pada penyakit paru restriktif seperti kelemahan otot nafas, deformitas dinding dada, atau penyakit interstitial paru, serta pada beberapa anak dengan kelainan obstruktif jalan nafas.5 Walau pemeriksaan analisis gas darah merupakan baku emas untuk menilai parameter pertukaran gas, pulse oximetry masih merupakan pemeriksaan yang berguna dan efisien. Pada uji fungsi jalan nafas, hal yang paling penting adalah melakukan maneuver ekspirasi paksa secara maksimal. Hal ini tertutama berguna pada penyakit dengan obstruksi jalan nafas, misalnya asma dan fibrosis kistik. Pengukuran dengan maneuver ini yang dapat dilakukan pada anak di atas 6 tahun adalah forced expiratory volume in 1 s econd (FEV1) dan
vital capacity (VC) dengan alat spirometer serta pengukuran peak expiratory flow (PEF) atau arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flow meter . Pengukuran variabilitas dan reversibilitas fungsi paru dalam 24 jam sangat penting untuk mendignosis asma, melalui derajar berat penyakit asma dan menjadi acuan dalam strategi pedoman pengelolaan asma.
5
Pengukuran PEF pada asma tidak selalu berkorelasi dengan pengukuran fungi paru lainnya. Dengan alasan ini, pengukuran PEF harus dibandingkan dengan nilai terbaik anak sendiri. Untuk menilai derajat asma dan respons terapi PEF harus diukur secara serial dalam 24 jam. Bahkan jika perlu, diukur selama beberapa minggu, karena derajat asma tidak ditentukan oleh nilai baseline melainkan oleh variabilitas, terutama dalam 24 jam. Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) PEF dalam 1 hari. Metode yang dianggap merupakan cara mengukur nilai diural PEF terbaik adalah pengukuran selama paling sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih nilai PEF pagi hari terendah dan nilai PEF malam hari tertinggi.
5
Pemeriksaan peak flow meter merupakan hal yang penting dan perlu diupayakan. Meskipun pemeriksaan ini digunakan salah satu parameter untuk menentukan derejar penyakit asma, namun masih sedikit yang menggunakannya. Pada pemeriksaan spirometry, adanya perbaikan FEV 1 sebanyak minimal 12% setelah pemberian bronkodilator inhalasi dengan atau tanpa glukokortikoid mendukung diagnosis asma. 5 Pada PNAA, untuk mendukung diagnosis asma anak dipakai batas an: 1. Variabilitas PEF atau FEV1 ≥ 15%, 2. Kenaikan PEF atau FEV 1 ≥ 15% setelah pemberian inhalasi bronkodilator, 3. Penurunan PEF atau FEV 1 ≥ 20% setelah provokasi bronkus. Pengukuran variabilitas sebaiknya dilakukan dengan mengukur selama ≥ 2 minggu. 2.7.2 Pemeriksaan hiperreaktivitas saluran nafas
Uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, olahraga, udara ke ring dan dingin, atau dengan salin hipertonik sangat menunjang diagnosis. Pada pasien yang mempunyai gejala asma tetapi fungsi parunya tampak normal, penilaian respons saluran nafas terhadap metakolin, histamine, atau olahraga dapat membantu menegakkan diagnosis asma. Artinya hasil yang negative dapat membantu menyingkirkan diagnosis asma persisten, sedangkan
hasi positif tidak selalu berarti bahwa pasien tersebut memiliki asma. Hal ini disebabkan Karena hiperreaktivitas saluran nafas juga terdapat pada pasien rhinitis alergi dan kondisi lain seperti fibrosis kistik, bronkieltasis, dan penyakit paru obstruksi menahun.
5
2.7.3 Pengukuran petanda inflamasi saluran nafas non-invasif
Penilaian terhadap inflamasi saluran nafas akibat asma dapat dilakukan dengan cara memeriksa eosinophil sputum, baik yang spontan maupun yang diindukso dengan garam hipertonik. Selain itu, pengukutan kadar NO ekshalasi juga merupakan cara menilai petanda inflamasi yang noninvasive. Walaupun pada pasien asma (yang tidak menerima kortikosteroid inhalasi) didapatkan eosinosilia pada sputum pasien dan peningkatan kadar NO ekshalasi dibandingkan dengan orang yang tidak menderita asma, hasil ini tidak spesifik untuk asma dan belum terdapat penlitian yang menyatakan bahwa hal yang dapat membatu dalam diagnosis asma. 5 2.7.4 Penilaian status alergi
Penilaian status alergi dengan uji kulit atau pemeriksaan IgE spesifik dalam serum tidak banyak membantu diagnosis asma, tetapi pemeriksaan ini dapat membantu menentukan faktor resiko atau pencetus asma. Tes alergi untuk kelompok usia <5 tahun dapat digunakan: 1. Menentukan apakah anaknya atopi 2. Mengarahkan manipulasi lingkungan 3. Memprediksi prognosis anak dengan mengi.
2.8 Diagnosis banding
Terdapat banyak kondisi dengan gejala dan tanda yang mirip dengan asma. Selain asma, penyebab umum lain dari gejala batuk berulang pada asma meliputi rhinosinusitis dan gastro-esophageal reflux (GER). GER merupakan silent-disease pada anak, sedangkan pada anak dengan sinusitis kronik tidak memiliki gejala yang khas seperti dewasa dengan adanya nyeri tekan local pada daerah sinus yang terkena. Selain itu, kedua penyakit ini merupakan penyakit komorbid yang sering pada asma, sehingga membuat terapi spesifik pada asma tidak diberikan dengan tepat. 5,7
Pada masa-masa awal kehidupan, batuk kronis dan mengi dapat terjadi pada keadaan aspirasi, tracheobronchomalacia, abnormalitas jalan napas congenital, fibrosis kistik dan displasia bronkopulmoner. Pada anak usia 3 bulan, mengi biasanya ditemukan pada keadaan infeksi, malformasi paru dan kelainan jantung dan gastrointestinal. Pada bayi dan batita, bronkiolitis yang disebabkan oleh respiratory syncitial virus merupakan penyebab mengi yang umum.pada anak yang lebih besar, mengi berulang dapat terjadi pada disfungsi pita suara. Selain itu, batuk berulang juga dapat ditemukan pada tuberculosis terutama pada daerah dengan penyebaran tinggi tuberculosis. 5,7
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Komunikasi, Informasi dan Edukasi terhadap pasien dan keluarga
8
Yang paling penting pada penatalaksanaan asma yaitu komunikasi, informasi dan edukasi pada keluarga dalam mencegah, menilai, dan mengobati asma merupakan kunci keberhasilan mengontrol asma: -
Komunikasi antara pasien dan dokter untuk mengetahui keluhan pasien.
-
Pengertian terntang kenyataan yang mendasar, penyebab, dan pencetus asma.
-
Mengidentifikasi dan mengontrol faktor-faktor yang memperburuk gejala asma dan pencetus serangan.
-
Pengertian tentang pentingnya penggunaank obat yang tepat dan benar dari spacer dan inhaler untuk kontrol jangka panjang dan ketaatan pemakaian. Berikut beberapa hal yang mendasar tentang edukasi asma yang dapat diberikan pada
pasien dan keluarganya:7,8,9 - Asma adalah penyakit inflamasi kronik yang sering kambuh - Kekambuhan dapat dicegah dengan obat anti inflamasi dan mengurangi paparan terhadap faktor pencetus - Ada dua macam obat yaitu reliever dan controller - Pemantauan mandiri gejala dan PEF dapat membantu penderita dan keluarganya mengenali kekambuhan dan segera mengambil tindakan guna mencegah asma menjadi lebih berat. Pemantauan mandiri juga memungkinkan penderita dan dokter menyesuaikan
rencana pengelolaan asma guna mencapai pengendalian asma jangka panjang dengan efek samping minimal. Dokter harus menjelaskan tentang perilaku pokok guna membantu penderita menerapkan anjuran penatalaksanaan asma dengan cara: - penggunaan obat-obatan dengan benar - pemantauan gejala, aktivitas dan PEF - mengenali tanda awal memburuknya asma dan segera melakukan rencana yang sudah diprogramkan; - segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif dengan dokter yang memeriksa; - menjalankan strategi pengendalian lingkungan guna mengurangi paparan alergen dan iritan; Edukasi yang baik memupuk kerja sama antara dokter dan penderita (dan keluarganya) sehingga
penderita
management)
dapat
untuk
memperoleh
berperan-serta
keterampilan
aktif.
Penelitian
pengelolaan yang
mandiri
dilakukan
(self
Guevara
menunjukkan bahwa edukasi dapat meningkatkan fungsi paru dan perasaan mampu mengelola diri secara mandiri, mengurangi hari absensi sekolah, mengurangi kunjungan ke UGD dan berkurangnya gangguan tidur pada malam hari sehingga sangat penting program edukasi sebagai salah satu penatalaksanaan asma pada anak.9 2.9.2 Mengevaluasi klasifikasi/keparahan asma Kriteria asma terkontrol - Tidak ada gejala asma atau minimal - Tidak ada gejala asma malam - Tidak ada keterbatasan aktivitas - Nilai APE/VEP1 normal - Penggunaan obat pelega napas minimal - Tidak ada kunjungan ke UGD
Klasifikasi - Asma terkontrol total: bila semua kriteria asma terkontrol dipenuhi - Asma terkontrol sebagian: bila terdapat 3 kriteria asma terkontrol - Asma tak terkontrol: bila kriteria asma terkontrol tidak mencapai 3 buah
2.9.3. Menghindari pajanan terhadap faktor risiko Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup. Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya
rangsangan
terhadap
saluran
respiratorik
yang
berakibat
terjadi
bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik. 8,9 2.9.4. Tatalaksana asma jangka panjang Tujuan tatalaksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci tujuan yang ingin dicapai adalah : 1. Pasien dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah. 3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari. 4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal yang mencolok. 5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan. 6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Asma Episodik Jarang
Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda (reliever) seperti β2-agonis dan teofilin. Penggunaan β2-agonis untuk meredakan serangan asma biasanya digunakan dalam bentuk inhalasi. Namun, pemakaian obat inhalasi/hirupan (Metered Dose Inhaler atau Dry Powder Inhaler) cukup sulit untuk anak usia kurang dari 5 tahun dan biasanya hanya diberikan pada anak yang sudah mulai besar (usia >5 tahun) dan inipun memerlukan teknik penggunaan yang benar, juga tidak selalu ada dan mahal harganya. Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan, maka β-agonis diberikan per oral. Konsensus Internasional III dan juga pedoman Nasional Asma Anak tidak menganjurkan pemberian anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk asma episodik ringan. Hal ini juga sesuai dengan GINA yang belum perlu memberikan obat controller pada Asma Intermiten, dan baru memberikannya pada Asma Persisten Ringan (derajat 2 dari 4) berupa anti-inflamasi yaitu steroid hirupan dosis rendah, atau kromoglikat hirupan. Jika dengan pemakaian β2-agonis hirupan lebih dari 3x/minggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisik) atau serangn sedang/berat muncul >1x/bulan atau pengobatan yang diberikan sudah adekuat dalam waktu 4-6 minggu, namun tidak menunjukkan respon yang baik maka tatalaksananya berpindah ke asma episodik sering. 8-9 Asma Episodik Sering
Jika penggunaan β2-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung penggunaan praaktivitas fisis) atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi.Tahap pertama obat pengendali pada asma episodic sering adalah pemberian steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid hirupan yang sudah sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar. Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-
200 ug/hari budesonid (50-100 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 100-200 ug/hari, atau setara flutikason 50-100 ug belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi kronik, obat pengendali berupa antiinflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Oleh karena itu penilaian efek terapi dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Jika setelah pengobatan selama 6-8 minggu dengan steroid hirupan dosis rendah tidak menunjukkan respons (masih terdapat gejala asma atau atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 ug/hari yang termasuk dalam tatalaksana Asma Persisten. Jika tatalaksana dalam suatu derajat penyakit asma sudah adekuat namun responsnya tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tatalaksanya berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan steroid hirupan dihentikan penggunaannya. 4-6 Sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi pelaksanaan penghindaran pencetus, cara penggunaan obat, faktor komorbid yang mempersulit pengendalian asma seperti rintis dan sinusitis.dan dengan penatalaksanaan rinitis dan sinusitis secara optimal dapat memperbaiki asma yang terjadi secara bersamaan.4,5 Asma Persisten
Pada penatalaksanaan asma persisten terdapat dua alternative yaitu dengan menggunakan steroid hirupan dosis medium dengan me mberikan budenoside 200-400 ug/hari budesonid (100-200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, 400-600 ug/hari budesonid (200-300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun. Selain itu, dapat digunakan alternatif pengganti dengan menggunakan steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (Long Acting β -2 Agonist) atau ditambahkan Theophylline Slow Release (TSR) atau ditambahkan Anti-Leukotriane Receptor (ALTR.). 4,5,6 Apabila dengan pengobatan tersebut selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi pada pemberian >400 ug/hari budesonid (>200 ug/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan >600 ug/hari budesonid (>300 ug/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun atau tetap dosis medium ditambahkan dengan
LABA, atau TSR, atau ALTR. Penambahan LABA pada steroid hirupan telah banyak dibuktikan keberhasilannya yaitu dapat memperbaiki FEVI, menurunkan gejala asmanya, dan memperbaiki kualitas hidupnya. 5,6,7 Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai >800 ug/hari namun tetap tidak mempunyai respons, maka baru digunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir setelah penggunaan steroid hirupan atau alternatif di atas telah dijalankan. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Penggunaan steroid secara sistemik harus berhatihati karena mempunyai efek samping yang cukup berat. 5 Pada pemberian antileukotrien (zafirlukas) pernah dilaporkan adanya peningkatan enzim hati, oleh sebab itu kelainan hati merupakan kontraindikasi. Mengenai pemantauan uji fungsi hati pada pemberian antileukotrien belum ada rekomendasi.
5
Mengenai obat antihistamin generasi baru non-sedatif (misalnya ketotifen dan setirizin), penggunaannya dapat dipertimbangkan pada anak dengan asma tipe rinitis, hanya untuk menanggulangi rinitisnya. Pada saat ini penggunaan kototifen sebagai obat pengendali (controller) pada asma anak tidak lagi digunakan karena tidak mempunyai manfaat yang berarti.5 Apabila dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau perbaikan klinis yang mantap selama 6-8 minggu, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap hingga dicapai dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan β-agonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. 5 Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak karena perbedaan kemampuan
menggunanakan
alat
inhalasi.
Demikian
juga
kemauan
anak
perlu
dipertimbangkan. Lebih dari 50% anak asma tidak dapat memakai alat hirupan biasa (Metered Dose Inhaler). Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali. Berikut tabel anjuran pemakaian alat inhalasi disesuakan dengan usia.
2.9.5. Pengobatan eksaserbasi akut
5
Eksaserbasi (serangan asma) adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara progresif. Serangan akut biasanya muncul akibat pajanan terhadap faktor pencetus, sedangkan serangan berupa perburukan bertahap mencerminkan kegagalan pengobatan jangka panjang. Menurut buku Pedoman Nasional Asma Anak UKK Pulmonologi IDAI 2002, penyakit asma dibagai dalam 3 kelompok berdasarkan frekuensi serangan dan kebutuhan obat, yaitu asma ringan, sedang, dan berat. Selain klasifikasi derajat penyakit asma di atas, asma juga dapat dinilai berdasarkan derajat serangannya, yaitu serangan ringan, sedang, dan berat. Jadi perlu dibedakan antara derajat penyakit asma (aspek kronik) dengan derajat serangan asma (aspek akut). Seorang penderita asma berat (persisten) dapat mengalami serangan ringan saja. Sebaliknya seorang penderita asma ringan (episodik/jarang) dapat mengalami serngan asma berat, atau bahkan serangan ancaman henti nafas yang dapat mengakibatkan kematian. Terapi yang diberikan bergantung pada beratnya derajat serangan asma.5 Tatalaksana serangan asma dilakukan dengan tujuan untuk meredakan penyempitan jalan nafas secepat mungkin, mengurangi hipoksemia, mengembalikan fungsi paru ke keadaan normal secepatnya, dan merenacanakan tatalaksana mencegah kekambuhan. 1. Tatalaksana di rumah Untuk serangan ringan dapat digunakan obat oral golongan beta 2 agonis atau teofilin. Bila tersedia, lebih baik digunakan obat inhalasi karena onsetnya lebih cepat dan efek samping sistemiknya minimal. Obat golongan beta 2 agonis inhalasi yang dapat digunakan yaitu MDI dengan atau tanpa spacer atau nebulizer. 5 Bila dalam waktu 30 menit setelah inhalasi tidak ada perbaikan atau bahkan terjadi perburukan harus segera dibawa ke rumah sakit. 2. Tatalaksana di ruang emergency Penderita yang datang dalam keadaan serangan langsung dinilai derajat s erangannya. Tatalaksana awal adalah pemberian beta agonis secara nebulisasi. Garam fisiologis dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa dapat diulang dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan obat antikolinergik. Tatalaksana awal ini sekaligus berfungsi sebagai penapis yaitu untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat dilakukan dengan cepat dan jelas. Berikut ini pentalaksanaan serangan asma sesuai derajat serangan:5
1.Serangan Asma ringan Pada serangan asma ringan dengan sekali nebulisasi pasien dapat menunjukkan respon yang baik. Pasien dengan derajat serangan asma ringan diobservasi 1-2 jam, jika respon tersebut bertahan pasien dapat dipulangkan dan jika setelah observasi selama 2jam gejala timbul kembali, pasien diperlakukan sebagai serangan asma derajat sedang. 6-9 Sebelum pulang pasien dibekali obat ß2-agonis (hirupan atau oral) yang harus diberikan tiap 4-6 jam dan jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat ditambahkan steroid oral jangka pendek selama 3-5 hari. Pasien juga dianjurkan kontrol ulang ke klinik rawat jalan dalam waktu 24-48 jam untuk evaluasi ulang tatalaksana dan jika sebelum serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga evaluasi ulang yang dilakukan di klinik rawat jalan. 5 2. Serangan Asma sedang Pada serangan asma sedang dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon parsial (incomplete response) dan pasien perlu diobservasi di ruang rawat sehari (One day care) dan walaupun belum tentu diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di ruang rawat sehari langsung dipasang jalur parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD).5 Pada serangan asma sedang diberikan kortikosteroid sistemik oral metilprednisolon dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/hari selama 3-5 hari. 3. Serangan Asma berat (status asmatikus) Pada serangan asma berat dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respon yaitu gejala dan tanda serangan masih ada. Pada keadaan ini pasien harus dirawat inap dan jika pasien menunjukkan gejala dan ancaman henti napas pasien harus langsung dirawat diruang intensif. Pasien diberikan oksigen 2-4 L/menit sejak awal termasuk saat dilakukan nebulisasi, dipasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks. Jika ada dehidrasi dan asidosis, diatasi dengan pemberian cairan intravena dan koreksi terhadap asidosis dan pada pasien dengan serangan berat dan ancaman henti napas, foto toraks harus langsung dibuat untuk mendeteksi kemungkinan pneumotoraks dan pneumomediastinum. Pada ancaman henti napas hipoksemia tetap terjadi walaupun sudah diberi oksigen (kadar PaO2<60 mmHg dan atau PaCO2>45 mmHg). Pada ancaman henti napas diperlukan ventilasi mekanik.7-9
Nebulisasi dengan β- agonis + antikolinergik dengan oksigen dilanjutkan tiap 1-2 jam, jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis jarak pemberian dapat diperlebar menjadi 4-6 jam. Pasien juga diberikan kortikosteroid intravena 0,5-1 mg/kg/BB/hari per bolus setiap 6-8 jam dan aminofilin intravena dengan beberapa ketentuan, jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis awal sebesr 6-8 mg/kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau gram fisiologis sebanyak 20 ml diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien telah mendapat aminofilin sebelumnya (kurang dari 8 jam), dosis yng diberikan adalah setengah dari dosis inisial.9 Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10- 20μ/ml. Selanjutnya, aminofilin dosis rumatan diberikan sebesar 0,5-1 mg/kgBB/jam. 9 Jika terjadi perbaikan klinis nebulisasi diteruskan tiap 6 jam hingga 24 jam dan pemberian aminofilin dan kortikosteroid diganti oral, jika dalam 24 jam stabil pasien dapat dipulangkan dengan dibekali β2-agonis (hirupan atau oral) yang diberikan tiap 4-6 jam selama 1-2 hari. Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan dalam 1-2 hari untuk evaluasi ulang tatalaksana.9 Prognosis
Pada umumnya bila segera ditangani dan adekuat, prognosis asma adalah baik. Mortalitas akibat asma sedikit nilainnya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang berjumlah kira-kira 10 juta. Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. 9