TUGAS MATA KULIAH BIOETIKA PEMANFAATAN SATWA PRIMATA (PPS646)
Telaah Jurnal
“
”
Oleh: Rizka Hasanah
P053170011
Dosen Pengampu: Prof drh Dondin Sajuthi MST, PhD
PROGRAM MULTIDISIPLIN MAYOR PRIMATOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2018
Artikel asli : Three hundred fifty-three serum samples (from 201 males and 152 females) were collected from wild-caught healthy orangutans (Pongo pygmaeus) in East (Kutai Kartanegara) and Central (Palangka Raya) Kalimantan provinces in Indonesia from December 2005 to December 2006 (Table S1). All samples were collected originally for serol ogical diagnosis of influenza and/or mycobacteriosis and tested in the ABSL-3 facility belonging to Indonesia. The Indonesian government, for conservation strategies, conducts a regular monitoring of infectious diseases in orangutan populations. Under the direction of the Ministry of Forestry, Indonesia, orangutans were carefully captured by at least 4 people using nets to investigate their health conditions. All captured orangutans were registered to give their names. Animals were anesthetized by intramuscular injection of Ketamine and Xylaxin, and blood samples were taken from the brachial vein. After taking the samples, each animal were kept in a single cage. After quarantine (e.g., tuberculosis, hepatitis B, and so on), they were released to the forest if they showed negative results for the diseases and normal social behavior. All the captured orangutans released to the forest were monitored at least around six months. Part of the previous collection was used for this study. Animal works were performed under the approval of Ethic Commission. Penulis : Chairul A. Nidom, Eri Nakayama., Reviany V. Nidom, Mohamad Y. Alamudi, Syafril Daulay,Indi N. L. P. Dharmayanti, Yoes P. Dachlan, Mohamad Amin, Manabu Igarashi, Hiroko Miyamoto,Reiko Yoshida, Ayato Takada. Ulasan : Artikel ini membahas mengenai deteksi adanya virus yang mematikan pada salah satu spesies primata di Indonesia, khususnya pada spesies Orang utan ( pongo pymaeus) yang ada di Kalimantan. Penelitian ini dilakukan oleh Chairul Nidom, seorang ahli virologi yang saat ini menjabat di Universitas Airlangga, Indonesia dibantu oleh beberapa ahli yang juga memiliki perhatian pada primata dan penyakit. Setelah ia menerbitkan tulisan tentang virus ebola yang menyerang Orang Utan Kalimantan, terdapat beberapa kejanggalan terkait dengan metode yang digunakan mulai dari pengambilan sampel, proses penangkapan, prosedur karatina dan waktu pelaksanaan penelitian. Akhirnya kasus ini telah menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Tulisan ini diterbitan oleh PlosOne, dan sedang dibawah pengawasan karena penulis diminta untuk melihat keakurasian dari data yang diberikan. Menurut PlosOne, artikel ini diterbitkan Juli 2012. Ada beberapa kejanggalan yang terjadi, yang pertama adalah 1. Di antaranya dituliskan bahwa jumlah sampel yang diambil sebanyak 353 sampel Orang Utan yang diambil dari darahnya. Nidom et al (2013) mengatakan bahwa sampel diambil dari orang utan liar yang sehat di alam. Hal yang menjadi kontras adalah pengambilan sampel yang dikatakan berasal dari Orang Utan sehat tapi pada akhir kalimat metode dikatakan hewan tersebut terdiagnosa TBC. Kemudian yang dipermasalahkan juga, Orang Utan sehat menunjukkan antibodi untuk virus yang mirip dengan Ebola. Dalam kenyatannya, virus filovirus merupakan virus yang ditentang oleh antibodi, seperti yang dilaporkan oleh New
Scientist dan outlet lainnya. Hal ini yang menjadi perdebatan, yaitu penggunaan kata “sehat”. Sebaiknya, untuk mendukung kata “sehat” diberikan definisi singkat yang dimaksud dengan sehat atau beberpa akriteria satwa yang dilakukan sehat secara fisik. 2. Jumlah yang diambil sebanyak 353 sampel yang dilakukan selama satu tahun mulai tanggal 9 Desember 2005 hingga Desember 2006. Dalam hal ini artinya dalam satu tahun (365) hari dilakukan penangkapan Orang Utan sebanyak 353 individu yang terbagi di dua tempat. Hal ini menimbulkan kejanggalan dikarenakan orang utan tidak bisa begitu saja ditangkap. Ia merupakan satwa primata yang hidup secara soliter di alam liar dan menemukannya tidak mudah, karena ia gemar untuk membuat sarang dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Dijelaskan juga bahwa pengambilan sampel dilakukan di dua tempat. Penulis tidak menyebutkan jumlah sampel pada masing-masing tempat. Sebaiknya, dituliskan singkat di Palangkaraya dan Kutai Kartanegara jumlah sampel yang didapatkan. 3. Tidak dijelaskan secara rinci tepatnya dimana menangkap orang utan tersebut. Menurut Plos One, ada yang berkomentar seperti ini : Apakah Anda ingin memberikan informasi lebih lanjut? 1. Di
mana
Anda
menangkap
orangutan
liar
tersebut?
Bisakah
Anda
menggambarkan lokasi dan lain-lain?
Hal ini juga diprotes oleh seorang primatologi dari Oxford, Vincent Nijman. Ia mengatakan bahwa sampel dikumpulkan dari 353 Orangutan liar di Kutai Kartanegara dan Palangka Raya antara Desember 2005 dan Desember 2006. Nijman mengatakan bahwa penting juga untuk dicatat bahwa terdapat dua pusat penyelamatan orangutan terbesar di Indonesia yang terletak di Kalimantan, dengan jumlah ratusan orangutan dalam perawatan mereka pada tahun 2006 dan terletak di dua kabupaten di mana penulis memperoleh sampel mereka, yaitu Wanariset Samboja (Kutai Kartanegara) dan Nyaru. Menteng (Palangka Raya). Orangutan ini berasal dari berbagai daerah di Kalimantan, memiliki latar belakang yang berbeda (bekas hewan peliharaan, hewan kebun binatang, hewan yang diselamatkan dari perkebunan) dan sering ditempatkan di kelompok sosial. Nijman mengatakan, mungkinkah orangutan yang digunakan dalam penelitian itu adalah orang-orang dari pusat penyelamatan ini? Dalam wawancara, Nijman memberi tahu pihak PlosOne bahwa pembaca ratarata mungkin dengan mudah menyimpulkan bahwa hewan-hewan yang terlibat semuanya ditangkap di alam liar. Tetapi menurut Nijman hal tersebut sangat tidak mungkin dikarenakan pada tahun 2005-2006, beliau melakukan pekerjaan dalam perdagangan orangutan dan berada di Kalimantan. Nijman mengatakan bahwa hal ini tidak terjadi seperti yang dideskripsikan oleh penulis. Dengan komentar sebelumnya
ia mengatakan setuju bahwa akan lebih baik jika penulis dapat memberikan lebih banyak informasi tentang bagaimana sampel yang diperoleh yang digunakan dalam penelitian ini. Sementara mereka melakukannya, akan baik jika para penulis memasukkan pernyataan yang mengklarifikasi apakah sampel mereka sebenarnya berasal dari orangutan di pusat penyelamatan yang disebutkan di atas. 2. Di mana Anda mengkarantina mereka?
Hal yang menjadi permasalahan juga adalah orangutan yang disimpan di kandang tunggal selama masa karantina dimana perilaku mereka dipantau dan kesehatan mereka diperiksa. Dalam hal ini, peneliti kurang memperhatikan keadaan social dari Orangutan, dimana ia hidup bersoliter dan jauh dari manusia. Di simpan dalam kandang dengan tidak disebutkan bagaimana keadaan kandang tersebut, dikarenakan agar tidak menyalahi kaidah bioetik yaitu bebas mengekspresikan perilaku alami. Jika dikandang dapat menyebabkan orangutan stres, maka proses karatina menyebabkan keadaan yang tidak baik untuk orangutan. Hal lain yang dipermsalahkan juga mengenai masa karantina yang dilakukan selama 6 bulan. Menurut Nijman, skala operasi (menangkap 353 orangutan, menjaga mereka di karantina, diawasi, melepaskan mereka ke hutan, dan memantau mereka selama 6 bulan) adalah peristiwa monumental dan belum pernah terjadi sebelumnya. Sebaliknya, menurut Nijman, hewan-hewan/ satwa disimpan di pusat-pusat penyelamatan dalam kelompok-kelompok satu kasus. Banyak yang datang melalui pasar hewan liar, yang telah disimpan di kandang yang tidak higienis yang merupakan tempat yang cocok untuk penularan virus. Jika benar bahwa orangutan yang diambil berasal dari Pusat Penangkaran dan Rehabilitasi, maka hewan tersebut tidak berasal dari alam liar dan transmisinya tidak terjadi di alam. 3. Berapa banyak orang yang Anda bekerja untuk memantau 353 orangutan selama sekitar 6 bulan masing-masing? Nidom et al mengatakan bahwa dalam masa penangkapan, diperlukan paling sedikit 4 orang. Dalam pengangkapan untuk spesies orangutan yang memiliki berat puluan kilo dan diambil dengan cara ditangkap menggunakan jaring, timbul kejanggalan bagaimana cara menangkapnya. Kemudian, hal ini terjadi di dua tempat, maka yang dibutuhkan setidaknya lebih dari 4 orang untuk menangkap orangutan tersebut. Hal ini berarti ada banyak orang yang akan melakukan pengambilan data secara bergantian. Menurut Nijman, hal ini memang mungkin terjadi hanya pada orang utan yang dikarantina bukan di alam liar, karena tidak mungkin untuk menemukan orang utan sebanya 353 dalam waktu kurun waktu 1 tahun di dua tempat.
Lama waktu untuk menguji virus dari masa karantina menuju dilepaskan adalah 6 bulan. Dalam hal ini, jika karantina selama 6 bulan, maka ada waktu karantina yang dilakukan secara bersamaan. Sebaiknya, perlu dijelaskan bagaimana system penagkapan yang dilakukan oleh pihak yang berkaitan. 4. Memperhatikan kaidah-kaidah dalam pengambilan sampel Hal yang dilakukan ketika mendapat sampel adalah 1. Melakukan preservasi sampel Dalam hal ini, penulis telah menyebutkan bahwa Orangutan dibius pada bagian intramuscular dengan Ketamine dan Xyletyn dan diambil darahnya pada bagian jugular vein namun tidak disebutkan oleh penulis berapa konsentrasi dan dosis yang digunakan untuk membius. Hal ini dinilai bahwa pada bagian metode, informasi yang diberikan kurang lengkap. 2. Menghitung jumlah sampel Dalam hal ini, tidak disebutkan bahwa jumlah sampel yang didapatkan pada dua tempat dengan rinci. Pad bagian ini juga menimbulkan ketidakjelasan dan banyak kejanggalan. 3. Menentukan umur dari sampel, dikarenakan berhubungan dengan jenis kelamin, hirarki, apakah semua sampel yang diambil merupakan dewasa, remaja atau anak. Dalam pengambilan sampel, erlu juga untuk disebutkan umur dari satwa yag diambil, untuk melihat keseragaman dan keragaman dari spesies yang ditangkap shingga dapat dianalisis apakah yang terkena ebola adalah orangutan dewasa atau lainnya. Namun untuk pengujian serologis, hal ini juga bisa untuk tidak dilakukan dikarenakan fungsinya adalah untuk mendiagnosa. Sebaiknya jika ditambhkan, akan lebih memperkuat data penelitian. 4. Mengidentifikasi apakah ini benar sampel spesies tertentu. Untuk memastikan apakah sampel yang diambil adalah benar spesies orangutan makan perlu didientifikasi, namun dalam hal ini dikarenakan teknik yang digunakan adalah invasive dan pengambilan dilakukan secara langsung,maka sampel yang diambil memang benar sampel orangutan. 5. Jika mengambil sampel dengan teknik invasive atau pasif, dijelaskan mengambil dengan bantuan zat apa. Dalam hal ini, sudah disebutkan bahwa zat yang digunakan untuk membantu adalah Ketamine dan Xylaline. Sebaiknya perlu dicantumkan dosis dan konsentrasi. 6. Dijelaskan pada bagian mana tempat pengambilan sampel dan alasan dilakukan pada tempat tersebut. Pada bagian ini juga sudah disebutkan dibagian mana dilakukan pembiusan dan tempat pengambilan darah sampel. 7. Diberi nama untuk identitas Semua orangutan yang ditangkap diinformasikan bahwa sudah di identifikasi dengan nama. 8. Dijelaskan keadaan karantina dan tempat dilakukannya karantina serta keadaan pada karantina
Hal yang tidak disebutkan yaitu kondisi kandang ketika dikarantina, bagiaman proses engeluaran dengan jumlah kadang sebanyak 353 individu dan proses pelepasan. Kalau benar bahwa orangutan yang didapat berasal dari berbagai daerah maka perlu dilakukan identifikasi lagi dimana daerah ia berasal dan dikembalikan di daerah tersebut. Referensi : PlosOne. 2013. Orangutan-Ebola link in Plos one paper under scrutiny [internet]. Diunduh pada https://retractionwatch.com/2013/03/28/orangutan-ebola-link-in-plos-one-paper-underscrutiny. pada tanggal 24 April 2018.