1616
16
16
22
2
2
2
1
TELAAH INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN (IKL) EKOSISTEM MANGROVE
Oleh:
Muarif
Pendahuluan
Kecelakaan tumpahan minyak dapat terjadi pada salah satu dari tahap distribusi minyak, baik pada saat transportasi atau waktu penyimpanan. Distribusi minyak dari ladang minyak ke konsumen melibatkan sebanyak 10 sampai 15 transfer antara berbagai moda transportasi yang berbeda termasuk kapal tanker, pipa, gerbong, dan truk tangki. Kejadian tumpahan minyak sebagian besar disebabkan oleh kecelakaan pengeboran (26%), tabrakan kapal (22%), kegagalan struktur (10%), serempetan kapal (9%), ledakan/kebakaran kilang/terminal minyak (9%), kapal tenggelam (7%), kesalahan manusia (5%), aksi militer (4%), kesalahan alat (2%), dan lainnya (6%) (Fingas, 2001). Dengan demikian kawasan pesisir memiliki kerawanan yang tinggi untuk terjadi tumpahan minyak, khususnya daerah yang terdapat kilang minyak dan menjadi alur transportasi laut.
Mangrove merupakan salah satu ekosistem di pesisir yang rawan apabila terkena tumpahan minyak. Upaya mengatasi tumpahan minyak yang masuk ke dalam mangrove sangat sulit, karena mangrove sulit untuk diakses (Hoff, 2002). Penggunaan dispersan dapat meningkatkan toksisitas, baik terhadap biota yang hidup di mangrove, maupun terhadap masyarakat pesisir yang berdekatan dengan kawasan mangrove (Petersen et al 2002 dan Peters et al 1997). Upaya membersihkan minyak di garis pantai adalah proses pembersihan yang paling mahal biayanya (Fingas 2001).
Penanganan kejadian tumpahan minyak yang sangat sulit di ekosistem mangrove, mengindikasikan pentingnya upaya pencegahan tumpahan minyak di kawasan mangrove. Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui pendeteksian wilayah yang akan terkena pengaruh buruk tumpahan minyak dan wilayah yang dapat diproteksi dari tumpahan minyak. Pendekatan pndeteksian wilayah yang demikian dikenal dengan indeks kepekaan lingkungan (IKL) (NOOA, 2001).
Permasalahan Tumpahan Minyak di Ekosistem Mangrove
Kepekaan lingkungan ekosistem mangrove terhadap tumpahan minyak ditentukan oleh 3 komponen, yaitu keterpaparan oleh minyak, kepekaan ekologi dan kepekaan sosial ekonomi terhadap tumpahan minyak (Schallier et al, 2013). Keterpaparan ekosistem mangrove oleh minyak mengandung arti peluang tumpahan minyak memasuki mangrove dan oleh Tyler-Walters and Jackson( 1999) disebut sebagai kerentanan. Peluang minyak memasuki mangrove secara umum akan ditentukan oleh faktor-faktor hidrooseanografi yang mendorong atau menghambat minyak mencapai mangrove.
INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN (IKL)EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP TUMPAHAN MINYAKINDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN (IKL)EKOSISTEM MANGROVE TERHADAP TUMPAHAN MINYAK
INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN (IKL)
EKOSISTEM MANGROVE
TERHADAP TUMPAHAN MINYAK
INDEKS KEPEKAAN LINGKUNGAN (IKL)
EKOSISTEM MANGROVE
TERHADAP TUMPAHAN MINYAK
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pengembangan Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL) Eksosisten Mangrove
Ekosistem mangrove yang terkena tumpahan minyak akan mengalami gangguan. Secara ekologis, komponen-komponen ekosistem akan mengalami tingkat gangguan yang berbeda dan tergantung kepada tingkat kepekaannya. Secara alami beberapa komponen biofisik juga akan memiliki kemampuan untuk pulih dari gangguan pencemaran minyak. Inilah yang menjadi dasar untuk memasukkan keberadaan tingkat kepekaan ekologi sebagai bagian yang akan mempengaruhi kepekaan ekosistem terhadap minyak.
Apabila ekosistem mangrove mengalami gangguan secara ekologis, maka fungsi sosial ekonomi mangrove juga akan terganggu. Hal ini mengindikasikan tumpahan minyak di kawasan mangrove akan memicu terjadinya gangguan terhadap komponen sosial, ekonomi dan budaya di masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan ekosistem mangrove. Menurunnya produktivitas perikanan di kawasan lain yang memiliki konektivitas ekologi dengan ekosistem mangrove, juga akan menjadi pemicu gangguan sosial ekonomi di masyarakat nelayan. Gambaran ini menunjukkan aspek kepekaan sosial ekonomi menjadi unsur yang juga penting diperhitungkan dalam menilai indeks kepekaan lingkungan (IKL) ekosistem mangrove.
Keberadaan ketiga komponen penyusun kepekaan ekosistem mangrove itu penting dalam memperhitungkan besarnya indeks kepekaan lingkungan (IKL) ekosistem mangrove di suatu wilayah. Untuk itu, indeks kepekaan lingkungan (IKL) ekosistem mangrove dalam penelitian ini akan dibangun berdasarkan indeks kerentanan, indeks kepekaan ekologi, dan indeks kepekaan soaial ekonomi,
Karakteristik Mangrove
Mangrove adalah kumpulan pohon-pohon dan semak-semak yang tumbuh di zona intertidal (Feller dan Sitnik 2002 dan Nagelkerken et al 2008), di daerah tropis dan subtropics (Hoste 2011). Mangrove tumbuh di sepanjang rawa pasang surut dan di perairan dangkal pesisir sampai ke wilayah daratan di sepanjang sungai dan anak sungai di mana air umumnya payau (Melana et al 2000).
Ekosistem mangrove didominasi oleh pohon mangrove sebagai produsen utama berinteraksi dengan asosiasi fauna akuatik dan faktor fisik lingkungan pesisir. Rusila Noor et al (1999) menyatakan di Indonesia terdapat 43 jenis mangrove sejati (true mangrove) yang terdiri atas 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu, sementara 159 jenis lain dikenal sebagai jenis mangrove ikutan.
Jenis mangrove yang banyak ditemukan di Indonesia antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan pedada (Sonneratia sp.) (Brown 2007). Rusila Noor et al (1999), menyebutkan di Indonesia terdapat 14 jenis mangrove yang langka, yaitu:
Lima jenis umum setempat tetapi langka secara global, sehingga berstatus rentan dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya. Jenis-jenisnya adalah Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia indica, Sonneratia ovata, Rhododendron brookeanum.
Lima jenis yang langka di Indonesia tetapi umum di tempat lainnya, sehingga secara global tidak memerlukan pengelolaan khusus. Jenis-jenis tersebut adalah Eleocharis parvula, Fimbristylis sieberiana, Sporobolus virginicus, Eleocharis spiralis dan Scirpus litoralis.
Empat jenis sisanya berstatus langka secara global, sehingga memerlukan pengelolaan khusus untuk menjamin kelangsungan hidupnya. Jenis-jenis tersebut adalah Amyema anisomeres, Oberonia rhizophoreti, Kandelia candel dan Nephrolepis acutifolia.
Ekosistem mangrove bukan hanya tegakkan pohon, akan tetapi dalam lingkungan mangrove juga terdapat berbagai fauna yang hidup di dalamnya. Menurut Bengen (2004) Komunitas hutan mangrove membentuk percampuran antara 2 (dua) kelompok fauna, yaitu kelompok fauna daratan dan kelompok fauna perairan, Kelompok fauna daratan umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas : insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak memiliki sifat adaptasi khusus untuk hidup didalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya diluar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi meskipun mereka mengumpulkan makanannya berupa hewan air pada saat air surut. Kelompok fauna perairan terdiri atas kelompok fauna yang hidup di kolom air (misalnya ikan dan udang) dan kelompok fauna yang menempati substrat keras (akar dan batang
Karakteristik Ekosistem Mangrove
Mangrove tumbuh dan berkembang di daerah intertidal. Daerah intertidal merupakan daerah pesisir yang memiliki fluaktuasi faktor lingkungan yang tinggi, seperti suhu, sedimen dan pasang surut (Nagelkerken et al., 2008). Mangrove memiliki kemampuan adaptasi terhadap karakteristik lingkungan tersebut, sekalipun demikian mangrove tidak hanya tumbuh di daerah intertidal saja, Pada umumnya mangrove tumbuh dalam 4 zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah ke arah daratan yang memiliki air tawar (Rusila et al, 1999). Mangrove juga berkembang luas di muara sungai besar, seperti Gangga di Bangladesh, Sungai Fly di Papua New Guinea, dan Delta Mekong di Vietnam (Feller dan Sitnik 2002).
Feller dan Sitnik (2002) menyebutkan faktor-faktor penentu utama distribusi bakau meliputi, iklim, salinitas, pasang surut, sedimen dan gelombang. Iklim tropik dan subtropik mendukung perkembangan mangrove, dan mangrove tidak toleran terhadap suhu beku. Mangrove juga tumbuh lebih besar di sepanjang pantai yang memiliki curah hujan yang tinggi. Salinitas dan pasang surut memiliki peran yang hampir sama dalam menentukan distribusi mangrove, yaitu mengeliminasi tumbuhan lain yang tidak mampu beradaptasi dengan kadar garam. Peran lain dari pasang surut adalah membantu pencucian tanah mangrove, sebagaimana dijelaskan oleh Brown (2007) bahwa pasang surut menjadi faktor dominan yang mengendalikan pembilasan (flushing) pada sistem rawa pasang surut. Burnsa et al (1999) mengamati pencucian minyak di bakau Queensland secara signifikan lebih cepat daripada yang diamati di Karibia dan hal ini berkaitan dengan pembilasan pasang surut. Adapun gelombang yang mendukung pertumbuhan mangrove adalah gelombang yang tenang, sehingga mampu membentuk sedimen yang dibutuhkan untuk substrat mangrove. Gelombang tinggi kurang menguntungkan bagi mangrove, karena gelombang ini akan mencegah pembentukan propagul, mengekspos sistem akar dangkal, dan mencegah akumulasi sedimen halus.
Karakteristik topografi dan hidrologi menentukan ekotipe mangrove yang berbeda. Ekotipe mangrove terdiri atas mangrove tepi (fringe), sungai (riverine), basin, Lugo dan Snedaker (1974) in Robertson dan Alongi (1992), Lugo et al (1999), dan Hoff et al (2002), mangrove overwash (Lugo dan Snedaker (1974) in Robertson dan Alongi (1992) dan Lugo et al (1999)) hutan semak belukar (scrubeforest) (Hoff et al, 2002 dan Lugo dan Snedaker (1974) in Robertson dan Alongi , 1992), dan hammock (Lugo dan Snedaker (1974) in Robertson dan Alongi , 1992). Lokasi mangrove tepi berbatasan dengan garis pantai, kanal, dan laguna, serta tergenang air pasang harian. Mangrove sungai berada dekat saluran sungai dan secara berkala dibanjiri oleh air tawar dan payau yang kaya nutrisi. Mangrove pedalaman berada di belakang mangrove tepi, ditandai dengan genangan air atau air mengalir lambat. Hutan mangrove kerdil tumbuh di daerah dengan hidrologi terbatas, sehingga kondisi penguapan tinggi, salinitas tinggi, suhu rendah, atau status nutrisi rendah. Masing-masing ekotipe bakau ditandai dengan pola yang berbeda dari struktur hutan, produktivitas, dan biogeokimia, yang semuanya dikendalikan oleh kombinasi faktor seperti hidrologi (pasang surut, debit air tawar, curah hujan), karakteristik tanah, interaksi biologis, dan efek dari badai dan gangguan lainnya (Lugo dan Snedaker 1974 in Robertson dan Alongi 1992, serta Hoff et al 2002).
Menurut Brown (2007) di Indonesia terdapat 5 tipe komunitas mangrove, meliputi:
Komunitas Rhizophoraceae
Komunitas ini terdiri atas, Rhizophora spp., dan Bruguiera spp. sebagai jenis yang dominan dan Xylocarpus spp. serta Ceriops spp. sebagai jenis subdominan
Komunitas mangrove campuran
Komunitas campuran didominasi oleh Avicennia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp., Ceriops spp. dan Xylocarpus spp. Kadang-kadang, Nypa fruticans dan jenis semak belukar seperti Scyphiphora spp., Brownlowia spp. dan Acrostichum spp. Semak belukar banyak terdapat pada hutan yang terdegradasi oleh aktivitas manusia.
Komunitas Peralihan I
Komunitas ini merupakan bentuk peralihan dari system dominasi air laut ke komunitas air tawar, dan dihuni terutama oleh asosiasi Sonneratia—Oncosperma dan asosiasi Nypa—Acanthus Assosiasi Excoecaria, Acrostichum dan Brownlowia ditemukan di daerah sungai besar dan fluktuasi air tawar yang kuat.
Komunitas Peralihan II
Komunitas ini merupakan peralihan vegetasi daratan. Exoecariapada umumnya ditemukan berasosiasi dengan Lumnitzera—Scyphiphora dan Nypa—Heritiera, Seringkali dipadati oleh Brownlowia—Acrostichum, yang merupakan jenis semak belukar.
Wilayah mangrove Terbuka
Komunitas tipe ini merupakan rekolonisasi dari pertumbuhan sekunder Avicennia atau Exoecaria.
Secara ekologis, ekosistem mangrove mengandung keterkaitan antar biota yang kompleks. Pertama, mangrove dihuni oleh berbagai biota, baik kelompok biota teresterial maupun perairan, yang menempati bagian atas pohon dan bagian bawah yaitu di antara akar dan lumpur. Kedua, mangrove memiliki dua jenis rantai makanan, yaitu rantai makanan produsen yang dimanfaatkan oleh fauna yang tinggal di bagian atas (fauna tersterial) dan rantai makanan detritus yang dimanfaatkan oleh biota perairan yang berada di bagian bawah (akar dan substrat). Menurut Bengen (2004) dan Yulianda dkk (2010) komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove adalah rantai makanan detritus yang berasal dari serasah daun, ranting, buah, dan batang mangrove. Serasah mangrove akan dimanfaatkan dalam dua bentuk, yaitu sebagian serasah tersebut didekomposisi oleh bakteri dan jamur menjadi nutrien yang akan dimanfaatkan oleh algae, fitoplankton, maupun tumbuhan mangrove untuk fotosintesis, dan sebagian serasah juga akan dimanfaatkan sebagai makanan oleh ikan, udang dan kepiting.
Dampak Pencemaran Minyak Terhadap Mangrove
Mangrove merupakan salah satu ekosistem pantai yang sangat retan terhadap ancaman tumpahan minyak (Peters et al, 1997 dan Oyedepo dan Adeofun, 2011). Hoff et al (2002) menjelaskan sifat akut minyak, dimana efek akut minyak (kematian) terjadi dalam waktu enam bulan setelah paparan dan bahkan dalam jangka waktu yang jauh lebih singkat (beberapa minggu). Menurut Rai et al (2011) hutan mangrove sangat rentan terhadap tumpahan minyak karena tanah mangrove menyerap minyak seperti spons dan merilis ulang setiap musim hujan .
Setiap tumpahan minyak akan memberikan pengaruh yang berbeda-beda pada mangrove. Menurut Petersen et al (2002), pengaruh minyak terhadap mangrove antara lain meliputi, hilangnya organisme asosiasi dan epifit, hilangnya struktur akar nafas, penghambatan perkecambahan, hilangnya keragaman genetik, dan kematian mangrove. Minyak menyelimuti lentisel pada akar nafas atau pneumatophores, menghambat pertukaran gas dan pohon dewasa dapat mati lemas. Racun dalam minyak juga mengganggu fotosintesis. Hoff et al (2002) mengamati respon bakau yang terkena minyak umumnya berupa daun menguning, daun gugur, dan kematian pohon. Respon yang lebih halus berupa percabangan pneumatophores, kegagalan perkecambahan, berkurangnya tutupan kanopi, meningkatnya tingkat mutasi, dan meningkatnya kepekaan terhadap tekanan lain.
Menurut Hoff et al (2002), minyak berdampak negatif terhadap mangrove melalui dua mekanisme, yaitu dari efek fisik, dan efek toksikologi. Pada mangrove yang terkena tumpahan minyak, maka minyak secara fisik menyelimuti tumbuhan mangrove (bagian akar, batang dan daun) sehingga menyebabkan sesak napas, kelaparan, gangguan fisik lain atau gangguan fungsi fisiologis, sehingga tanaman mati. Lapisan minyak juga dapat mengganggu pertukaran garam, pada daun dan akar yang terendam.
Secara toksikologi hidrokarbon aromatik yang sering merupakan komponen utama dari campuran minyak diketahui dapat merusak membran sel di akar, ini dapat mengganggu pengendalian garam. Hidrokarbon aromatik polynuclear (PAH) dalam tanah dapat peningkatan insiden mutasi mangrove di mana klorofil menurun atau tidak ada. Korelasi antara konsentrasi PAH sedimen dan frekuensi mutasi adalah satu kuat, meningkatkan kemungkinan bahwa tumpahan minyak dapat berdampak pada genetik mangrove (Hoff et al, 2002).
Tanah bakau yang bersifat anaerobik cenderung menahan hidrokarbon untuk waktu yang lama. Fraksi minyak yang bersifat toksik akan menembus substrat dasar, tertinggal dan mengendap pada sedimen. Kondisi gelombang rendah dan karakteristik amplitudo pasang surut kecil menjadi perangkap yang sangat baik untuk tumpahan minyak (Peters et al, 1997). Tanah bakau sebenarnya mengandung bakteri yang mampu mengurai minyak (Ke et al, 2003, Wijayaratih dkk, 2008, dan Liu et al, 2010), akan tetapi penguraian hidrokarbon lambat sampai dengan 25% dari konsentrasi asli yang tersisa di bawah tanah setelah 7 tahun (Michel, 2009). Deposit tumpahan minyak di atas permukaan tanah akan menutupi akar napas, di bawah permukaan tanah akan menutupi akar pencari makan, serta mematikan sejumlah besar fauna dan mikrobial yang berasosiasi dengannya (Duke dan Burns, 1999). serta menghambat pertumbuhan organisme dan perkecambahan serta anakan (Peters et al, 1997).
Menurut Burn et al (1983) efek kumulatif dapat terjadi pada saat salinitas tinggi atau ganguan stress fisiologis lainnya.Tumpahan minyak yang terulang mengakibatkan kematian mangrove, (Garrity et al, 1994.), meningkatkan tingkat mutasi di hutan bakau (Tattar et al, 1994) dan variabilitas genetik komunitas mikroba berkurang (Taketani, 2009).
Organisme pembuat liang seperti kepiting biasanya ditemukan dalam kepadatan yang lebih rendah di daerah yang terkontaminasi. Pada liang substrat terdapat konsentrasi residu minyak yang tinggi, sehingga mengurangi aerasi dan siklus hara dalam habitat (Culbertson et al, 2007;. Melville et al, 2009).
Minyak tumpah memiliki kebutuhan oksigen biologi (BOD) yang besar, dan dapat memperburuk kekurangan oksigen. Selain itu, minyak mengandung senyawa beracun yang dapat mengganggu aktivitas metabolisme organisme yang sensitif. Dalam percobaan dengan pneumatophores diminyaki, baik minyak ringan dan berat secara efektif pertukaran gas melalui lentisel diblokir, bahkan ketika sebagian besar minyak itu hanyut. Kerusakan pneumatofor dapat berlangsung satu tahun atau lebih. Ketika akar nafas tumbuh kembali, akar tersebut sering cacat atau abnormal (Peters et al, 1997). Clark (1986) menjelaskan pengaruh minyak terhadap sistem perakaran mangrove adalah pada permukaan tanaman (sedimen, kulit kayu, akar penyangga, pneumatofor) yang berfungsi dalam pertukaran CO2 dan O2 akan tertutup minyak. Hal tersebut akan menurunkan tingkat oksigen dalam ruang akar 1-2% dalam waktu 2 hari.
Hutan mangrove yang telah rusak akibat tumpahan minyak, membutuhkan proses pemulihan yang lama. Sebagai contoh daerah Bahia Sucia, Puerto Rico sampai 20 tahun setelah kejadian tumpahan minyak, mangrove belum pulih kembali (Peters et al, 1997). Biji yang sudah berkecambah akan terjatuh ke substrat, dan jika biji tersebut terlapisi oleh minyak pada substrat maka proses germinasi akan rusak (Clark 1986).
Tumpahan minyak akan menimbulkan gangguan pada fungsi ekologi mangrove yang selanjutnya akan menimbulkan dampak lanjutan kepada fungsi ekonomi dan fungsi jasa lingkungan. Hal ini sebagaimana dilaporkan oleh Peters et al (1997) bahwa hutan bakau sebagai habitat kumpulan berbagai organisme, maka kerusakannya juga akan membahayakan ikan dan nelayan yang bergantung pada mangrove, sebagai akibat rusaknya habitat pembibitan (nurshery habitat), kematian organisme yang hidup di akar mangrove, dan gangguan kepentingan ekowisata yang bergantung pada daya tarik keanekaragaman hayati. Dampak terhadap fungsi jasa lingkungan diantaranya adalah hilangnya hutan bakau dewasa dan penghambatan perkecambahan baru yang akan dapat memperburuk erosi pantai.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove
Secara umum Petersen et al (2002) menyatakan ranking kepekaan habitat pesisir terhadap tumpahan minyak dikendalikan oleh 4 faktor, yaitu (1) karakter paparan gelombang dan energi pasang surut, (2) kemiringan garis pantai, (3) tipe substrat (4) produktivitas biologi dan sensitivitas. Sedangkan faktor yang mempengaruhi dampak minyak pada lahan basah (mangrove) antara lain jenis minyak, tingkat kontaminasi vegetasi, tingkat kontaminasi sedimen, paparan proses pembersihan secara alami, lama waktu tumpahan, dan jenis spesies. Terkait dengan jenis spesies, Snedaker et al. (1997) dalam Hoff et al (2002) menjelaskan bahwa beberapa spesies dapat mentolerir atau mengakomodasi paparan jumlah moderat minyak pada akar pernapasan. Souza et al (2009) menjelaskan mangrove di pesisir Amazon Brasil memiliki indeks kepekaan lingkungan yang tinggi karena memiliki kondisi muka air pasang rata-rata tinggi, sedimen berupa lumpur organik, kawasan mangrove luas dan tebal,dan kondisinya sangat sulit untuk dibersihkan.
Jumlah minyak mencapai mangrove dan lamanya waktu penggenangan minyak dekat mangrove merupakan variabel kunci dalam menentukan tingkat keparahan efek pencemaran minyak (Hoff et al, 2002). Faktor yang dipertimbangan untuk memperhitungkan kepekaan ekologi adalah lamanya waktu minyak berada di hutan mangrove. Lamanya waktu minyak berada di hutan mangrove berhubungan dengan lama penggenangan air, dan hal ini berhubungan dengan flushing time di hutan mangrove tersebut. Dengan demikian pendapat Petersen et al (2002) yang memasukkan paparan gelombang dan energi pasang surut sebagai variabel yang mempengaruhi kepekaan lingkungan pantai patut diperhitungkan juga dalam kepekaan ekologi mangrove. Adapun terkait dengan jumlah minyak yang tumpah, Hoff et al, (2002) menyarankan pengendaliannya selain mencegah terjadinya tumpahan minyak, juga mengurangi jumlah minyak yang mencapai bakau tidak hanya akan mengurangi jangka pendek dan jangka panjang efek toksikologi tetapi juga mengurangi dampak pembersihan dan potensi kontaminasi kronis.
Habitat yang berada di dekat pantai beresiko tinggi terkena tumpahan minyak, karena ketika minyak tumpah akan tersebar ke pantai (Petersen et al, 2002). Apabila pernyataan ini dihubungkan dengan ekotype mangrove (Hoff et al, 2002), maka pada ekotipe yang berbeda memiliki jarak dan pola hubungan dengan perairan laut yang berbeda pula, sehingga tingkat kepekaannya juga akan berbeda. Sebagai contoh Duke dan Burn (1999) melaporkan tumpahan minyak di sebelah barat Australia tidak mencapai mangrove, karena tidak terdapat ekotipe mangrove tepi (fringe mangrove).
Umur tanaman akan mempengaruhi kepekaan mangrove terhadap minyak (Hardjosoewarno, 1989, Lin dan Mendelssohn, 1998). Hoff et al (2002) melaporkan bibit dan anakan, lebih rentan terhadap paparan minyak. Dalam percobaannya didapatkan lebih dari 96% bibit Avicennia marina mati terkena minyak mentah. Bibit bakau bisa bertahan dalam sedimen yang terkena minyak sampai ke titik di mana cadangan makanan yang tersimpan dalam propagul habis, kemudian tanaman mati.
Jenis minyak juga mempengaruhi kepekaan minyak tersebut terhadap mangrove (Petersen et al, 2002). Penelitian Duke (2000) dalam Hoff (2002) menudapatkan mangrove diberi perlakuan dengan minyak mentah menunjukkan angka kematian yang signifikan lebih tinggi dibandingkan kontrol dan perlakuan minyak bahan bakar.
Tingkat kemudahan hutan mangrove untuk diakses dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang mempengaruhi kepekaan ekologinya. Dalam hal ini Hoff et al (2002) berpendapat hutan mangrove yang berada di lokasi terpencil (sulit diakses), sering mengakibatkan pencemaran minyak pada mangrove di lokasi tersebut tidak dapat diatasi.
Faktor geomorfologi dan hidrologi juga dapat dipertimbangkan sebagai faktor yang akan mempengaruhi kepekaan ekologi mangrove. Hoff et al (2002) membandingkan dampak tumpahan di beberapa situs bakau menunjukkan bahwa efek variabel terkait dengan geomorfologi dan hidrologi dari ekosistem mangrove mengontrol apakah minyak tetap berada di habitat mangrove. Hutan mangrove yang terkena tumpahan minyak dan terlindung dari gelombang cenderung lebih parah. Oyedepo dan Adeofun (2011) menyatakan mangrove memiliki kepekaan yang sangat tinggi karena energi gelombang rendah, pasang surut rendah dan kemiringan juga rendah, sehingga minyak akan tertahan lama di lokasi ini.
Petersen et al (2002) salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam analisis indeks kepekaan lingkungan adalah kemiringan pantai. Ali dkk (2008) menjelaskan bahwa kemiringan pantai berhubungan erat dengan tipe pantai, daerah intertidal dan pembentukan zona gelombang pecah. Daerah intertidal yang luas dengan kemiringan yang landai mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi karena tingkat kesulitan untuk membersihkan minyak semakin sulit dan pengaruh energi gelombang dan arus pasut yang kecil. Sedangkan pantai yang curam mempunyai energi gelombang yang besar yang berpotensi menimbulkan memindahkan minyak dengan cepat karena zona gelombang pecah lebih dekat dengan garis pantai. Energi gelombang dapat menimbulkan arus menyusur pantai yang berpotensi memindahkan minyak dan membawa sedimen (pasir atau kerikil) ke arah lepas pantai serta mengubur minyak dalam jangka waktu tertentu.
Ali dkk (2008) menjelaskan bahwa kriteria yang digunakan dalam menentukan kerentanan adalah tingkat penetrasi minyak ke dalam tipe substrat dan lamanya proses pembersihan minyak. Tingkat kerentanannya disusun berdasarkan sifat substrat yang impermeable (tidak dapat ditembus lapisan minyak) dan permeable (dapat ditembus minyak). Sedimen yang berpotensi mengendapkan minyak akan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi dalam membersihkan minyak.
Indeks Kepekaan Lingkungan (IKL)
Indeks kepekaan lingkungan (IKL) adalah komponen integral dari perencanaan wilayah dan respon terhadap pencemaran minyak, yang telah dilakukan sejak tahun 1979. Indeks kepekaan lingkungan merupakan pendekatan secara sistematis mengkompilasi informasi mengenai kepekaan pantai, sumberdaya biologi dan sumberdaya yang dimanfaatkan manusia. Pada tahun 1989, penyusunan peta IKL mulai menggunakan database digital melalui metode sistem informasi geografis (SIG) (NOOA, 2007). Indeks Sensitivitas Lingkungan (ESI) dari NOAA adalah pendekatan standar untuk penentuan sensitivitas garis pantai tumpahan minyak di Amerika Serikat dan secara luas digunakan di seluruh dunia (Masaki et al, 2001., Adler & Inbar, 2007 dalam Ng Tham Fat et al, 2008).
Peta Indeks kepekaan lingkungan (IKL) berguna untuk pengendalian pencemaran minyak, yaitu melalui pendeteksian wilayah yang akan terkena pengaruh buruk tumpahan minyak dan wilayah yang dapat diproteksi dari pencemaran minyak (NOOA, 2001). Pendapat yang sama dikemukaan (Mosbech et. al., 2000) yang menyatakan peta IKL berguna untuk perencanaan respon terhadap tumpahan minyak dan menjadi alat untuk mengidentifikasi sumberdaya alam yang beresiko, menentukan pnoritas proteksi iingkungan dan strategi mengatasinya.
Peta IKL disusun melalui sistem perangkingan kepekaan lingkungan untuk membatasi dan menggambarkan kepekaan relatif di daerah pantai dan perairan terhadap dampak tumpahan minyak. Rangking kepekaan menggunakan nilai bertingkat mulai dan sangat tinggi, tinggi, sedang dan rendah. Elemen yang dijadikan katagori adalah sumberdaya alam yang digunakan manusia, keberadaan biologis dan residensi minyak (Mosbech et. al., 2000). Peta indeks kepekaan lingkungan (IKL) meliputi tiga tipe informasi, yaitu klasifikasi garis pantai, sumberdaya alam dan habitat, serta pemanfaatan lahan (aspek sosial) (NOAA, 1997 dan RPI, 1994). DNV (2011) menyusun indeks kepekaan lingkungan dengan memperhitungkan fitur utama lingkungan sebagai berikut:
Sensitivitas fisik, termasuk karakteristik lingkungan yang mempengaruhi
persistensi minyak dan kemudahan pembersihan setelah terjadi tumpahan.
Sumber daya hayati, termasuk habitat, spesies (terutama spesies langka atau terancam punah yang), serta lingkungan alam unik atau langka.
Penggunaan sumber daya oleh manusia, termasuk penangkapan ikan komersial dan budidaya, pariwisata dan kegiatan rekreasi lainnya fasilitas, dan situs lainnya penting bagi masyarakat lokal.
Beberapa peneliti mengembangkan metode penyusunan IKL melalui penerapan beberapa fungsi matematika. Tim Fakultas perikanan IPB pada tahun 1995 mengembangkan formula penghitungan IKL dengan mempertimbangkan tiga elemen, yaitu nilai kerawanan, nilai konservasi dan nilai sosial. Mosbech (2000) menentukan IKL sebagai jumlah dari indeks prioritas. Indeks prioritas merupakan fungsi dari kepekaan relatif spesies, kelimpahan relatif spesies, waktu dan indeks residensi minyak.
Schallier et al (2013), merumuskan metodologi pemetaan indeks kepekaan lingkungan di Laut Baltik, dengan membagi dalam 3 faktor kerentanan , yaitu keterpaparan (untuk pantai dan perairan terbuka), kepekaan ekologi (untuk habitat) dan kepekaan sosial ekonomi (untuk berbagai pemanfaatan sosial ekonomi di kawasan pesisir). Keterpaparan sumberdaya menggambarkan nasib minyak yang mengenai kawasan pesisir. Faktor yang menentukan keterpaparan adalah gelombang pasang surut dan paparan energi, kemiringan garis pantai, dan tipe substrat. Kepekaan ekologi mempertimbangkan dampak pencemaran minyak dan pemulihan secara biologi. Kepekaan sosial ekonomi menggali aspek lama gangguan dan aspek kompensasi bagi suatu pemanfaatan sosial ekonomi yang terkena tumpahan minyak.
State of the Art Penelitian IKL Ekosistem Mangrove
Penelitian-penelitian sebelumnya yang terkait dengan pencemaran minyak di mangrove dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu:
Penelitian tentang dampak pencemaran minyak terhadap mangrove,
Penelitian tentang indeks kepekaan lingkungan (termasuk habitat mangrove)
Gambaran kedua kelompok penelitian tersebut secara lengkap disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. State of The Art penelitian
Lingkup Penelitian
Bidang diteliti
State of the art
Penelitian dampak pencemaran minyak terhadap mangrove
Dampak tumpahan minyak terhadap mangrove (Clark (1986), Garrity, et al (1994.), Duke and Burns (1999), Peters et al (1997), Oyedepo dan Adeofun (2011). Hoff et al (2002) Ke et al (2003), Wijayaratih dkk (2008), Liu et al (2010), Souza et al (2009), Michel (2009), Tattar et al (1994.), Taketani (2009). Culbertson et al, (2007;. Melville et al (2009).
Dampak tumpahan minyak terhadap mangrove , baik pada biji mangrove, anakan mangrove, maupun mangrove dewasa
Dampak tumpahan minyak terhadap mangrove biota asosiasi mangrove (ikan udang,, kepiting, dll)
Pengaruh elevasi, pasut, gelombang, tipologi mangrove terhadap kerentanan dan kepekaan mangrove
Penelitian indeks kepekaan lingkungan pesisir termasuk habitat mangrove
Pemetaan indeks kepekaan lingkungan pesisir termasuk habitat mangrove (NOOA, 2001).
Menetapkan indeks kepekaan lingkungan habitat di pesisir. Mangrove ditetapkan sebagai habitat yang sangat peka terhadap pencemaran minyak dengan nilai 10
Pemetaan indeks kepekaan lingkungan di Pesisir Indramayu (Faperikan IPB, 1995).
Menentukan formulasi Indeks kepekaan lingkungan sebagai hasil perkalian dari indeks kerentanan, nilai konservasi dan nilai ekonomi.
Menentukan nilai konservasi mangrove sebagai salah satu variabel indeks kepekaan lingkungan dengan kriteria jumlah dan jenis pohon mangrove.
Pemetaan indeks kepekaan lingkungan di Kach, India (Kankara dan Subramanian, (2007)
Pengembangan teknik analisis IKL memadukan pendekatan Modelling dan GIS
Analisis indeks kepekaan lingkungan di Amazon Brasil (Andrade dan Szlafsztein, 2012)
Pengembangan teknik analisis IKL menggunakan pendekatan penginderaan jauh (Remote Sensing) menggunakan optical dan Radar
Indeks Kepekaan lingkungan (Mosbech, 2000)
Menentukan nilai IKL sebagai jumlah dari indeks prioritas. Indeks prioritas merupakan fungsi dari kepekaan relatif spesies, kelimpahan relatif spesies, waktu dan indeks residensi minyak.
Schallier et al (2013), merumuskan metodologi pemetaan indeks kepekaan lingkungan di Laut Baltik,
Faktor kerentanan , yaitu keterpaparan (untuk pantai dan perairan terbuka), kepekaan ekologi (untuk habitat) dan kepekaan sosial ekonomi (untuk berbagai pemanfaatan sosial ekonomi di kawasan pesisir).
Pemetaan Indeks Kepekaan Lingkungan Kawasan Pesisir Lampung Bagian Timur, Pesisir Utara Jawa Bagian Barat dan Kepulauan Seribu. (Damar et al. 2012)
Menghitung IKL dengan formula bobot indeks kerentanan (IK) dan indeks ekologi (IE) sebesar 0,3, dan indeks sosial ekonomi (IS) sebesar 0,4 (IKL=IK(0,3)+ IE(0 ,3)+IS (0,4))
Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove Terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus Di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang (Rikardi, 2013)
Penapisan. parameter indeks kerentanan dengan memilih parameter fisik pantai yang memiliki pengaruh lebih besar dalam mempercepat atau memperlambat penyebaran minyak. Penapisan parameter indeks ekologi berdasarkan sensitifitas ekosistem mangrove dan satwa yang hidup divegetasi tersebut terhadap tumapahan minyak.
Penelitian kepekaan ekologi pesisir
Penelitian kepekaan ekologi lingkungan pesisir di Semenanjung Persi di Provinsi Bushehr (Naouri et al., 2007).
Penelitian ini menghasilkan formulasi untuk menentukan kepekaan ekologi pesisir menggunakan metode AHP.
Kepekaan ekologi pesisir dinilai dengan mempertimbangkan aspek karakteristik pesisir (hidrologi dan tipe substrat), habitat, hewan peka, hewan langka, tanaman langka, pariwisata dan kawasan lindung.
DAFTAR PUSTAKA
Ali H, Poerbandono, Wikantika K. 2008. Penentuan Indeks Kerentanan Lingkungan Pantai berbasis Geospasial dan Parameter Fisik (Studi Kasus : Tumpahan Minyak di Kepulauan Seribu, Teluk Jakarta). PIT MAPIN XVII, Bandung 10-12-2008.
Andrade M, Szlafsztein C. 2012. Remote Sensing and Environmental Sensitivity for Oil Spill in the Amazon, Brazil. J. Remote Sensing - Applications, ISBN: 978-953-51-0651-7, InTech, Available from: http://www.intechopen.com/books/ remote-sensing-applications/remote-sensing-andenvironmental-sensitivity-for-oil-spill-in-the-amazon-brazil.
Bengen DG. 2004. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. PKSPL IPB. Bogor.
Brown B. 2007.. Resilience Thinking Applied to the Mangroves of Indonesia. IUCN & Mangrove Action Project; Yogyakarta, INDONESIA.
Burnsa KA, Codia S, Pratta C, Dukeb NC.1999. Weathering of hydrocarbons in mangrove sediments: testing the effects of using dispersants to treat oil spills. J. Organic Geochemistry 30 (1999) Elsevier Science Ltd.
Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery Systems. London: Blackwell Science. 365 pp
Clark, RB. 1986. Marine Pollution. Claredon Press. Oxford
Damar A, Rustandi Y, Rakasiwi G, Khairuzzaman, Zairion, Fachrudin A, Rikardi N, Kamsari. 2012. Indeks Kepekaan Lingkungan Kawasan Pesisir Lampung Bagian Timur, Pesisir Utara Jawa Bagian Barat dan Kepulauan Seribu. Bogor: PKSPL-IPB.
Duke NC, Burn KA. 1999. Fate and Effects of Oil and Dispersed Oil on Mangrove Ecosystems in Australia. Australian Institute of Marine Science and CRC Reef Research Centre.
Feller IC, Sitnik M. 2002. Mangrove Ecology: A Manual For A Field Course A Field Manual Focused On The Biocomplexity On Mangrove Ecosystems. Smithsonian Institution. Washington DC.
Fingas M. 2001. The Basic of Oil Spill Cleanup. 2nd ed. Lewis Publishers. Washington DC.
Hartanto, B. 2008. Oil Spill (TumpahanMinyak) di Laut dan Beberapa kasus di Indonesia. J. BAHARI Jogja Volume VIII Nomor 12 Tahun 2008. Hal: 43-51.
Hoff R, Hensel P, Proffitt EC, Delgado P, Shigenaka G, Yender R. 2002. Oil Spill in Mangrove, Planning and Response Considerations. NOAA Ocean Service, Office of Response and Restoration.
Hoste P. 2011. Ecophysiology of Mangrove in Australia: Hydraulic Functioning. Faculteit Bio-ingenieurswetenschappen Universiteit Gent.
Hsu, CC, Sandford, BA. 2007. The Delphi Technique: Making Sense of Consensus. Practical Assessment Research & Evaluation, 12(10). Available online: http://pareonline.net/getvn.asp?v=12&n=10
IPIECA, IMO, OGP. 2012. Sensitivity Mapping for Oil Spill Response. The Global Oil and Gas Industri Association for Environmental and Social Issues, International Maritime Organization, International Association of Oil & Gas Producers. London. 36p.
Kankara,R.S., Subramanian, B.R., 2007. Oil Spill Sensitivity Analysis and Risk Assessment for Gulf of Kachchh, India, Using Integrated Modeling. Journal of Coastal Research, 23(5), 1251–1258. West Palm Beach (Florida), ISSN 0749-0208.
Ke L, Wang WQ, Wong TWY, Wong YS, Tam NFY. 2003. Removal of Pyrene from Contaminated Sediments by Mangrove Microcosms. Chemosphere 51 (2003) 25–34.
Liu HJ, Yang CY, Tian Y,*, Lin GH, Zheng TL. 2010. Screening of PAH-degrading Bacteria in a Mangrove Swamp Using PCR–RFLP. Marine Pollution Bulletin 60 (2010) 2056–2061. Elsevier Ltd.
Lugo, AE, Sell and Snedaker SC. 1999. Mangrove Ecosystem Analysis, p. 345-366. In: A. Yáñez-Arancibia y A. L. Lara-Domínguez (eds.). Ecosistemas de Manglar en América Tropical. Instituto de Ecología A.C. México, UICN/ORMA, Costa Rica, NOAA/NMFS Silver Spring MD USA. 380 p.
Melana, D.M., J. Atchue III, C.E. Yao, R. Edwards, E.E. Melana and H.I. Gonzales. 2000. Mangrove Management Handbook. Department of Environment and Natural Resources, Manila, Philippines through the Coastal Resource Management Project, Cebu City, Philippines. 96 p.
Mauludiyah dan Mukhtasor (2009). Perhitungan Skala Biaya Kerugian akibat Tumpahan Minyak: Relevansinya untuk Perairan Indonesia. Seminar Nasional Teori dan Aplikasi Teknologi Kelautan, 17 Desember 2009.
Nagelkerken I, Blaber S.J.M., Bouillon S., Green P., Haywood M.,. Kirto L.G, Meynecke J.O., Pawlik J., Penrose H.M., Sasekumar A., Somerfield P.J. 2008 The Habitat Function of Mangroves for Terrestrial and Marine Fauna. A review. Aquatic Botany 89 (2008) 155–185.
Ng Tham Fat, Vijayan V.R., Chow W.S., Sulaiman A. 2008. Assessment of oil spill vulnerability of Southwest Pulau Pinang shoreline. Bulletin of the Geological Society of Malaysia 54 (2008) 123 – 131, doi: 10.7186/bgsm2008019.
Nouri, J; Danehkar, A; Sharifipour, R. 2007. Evaluation of the Ecological Sensitivity in the Northern Coastal area Of the Persian Gulf. J. Appl. Sci. Environ. Manage. December, 2007. Vol. 11(4) 119 – 123. Full-text Available Online at: www.bioline.org.br/ja
NOOA. 2001. Introduction to ESI Maps. Office of Response and Restoration, National Ocean Service, National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA). Washington.
Onwuegbuzie JA, Leech NL, Collins KMT. 2012. Qualitative Analysis Techniques for the Review of the Literature. The Qualitative Report 2012 Volume 17, Article 56, 1-28 http://www.nova.edu/ssss/QR/QR17/onwuegbuzie.pdf. Diakses tanggal 5 Desember 2013.
Oyedepo JA, Adeofun CO. 2011. Environmental Sensitivity Index Mapping of Lagos Shorelines. Global NEST Journal, Vol 13, No 3, pp 277-287, 2011. Greece.
Peters EC, Gassman NJ, Firman JC, Richmond RH, Power EA. 1997. Ecotoxicology of Tropical Marine Ecosystems. Environmental Toxicology and Chemistry, Vol. 16, No. 1, pp. 12–40, 1997.
Petersen J, Michel J, Zengel S, White M, Lord C, Plank C. 2002. Environmental Sensitivity Index Guidelines Version 3.0. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOOA), U.S. Department of Commerce. Seattle, Washington.
Primpas I, Tsirtsis G, Karydis M, Kokkoris G. D. 2010. Principal component analysis: Development of a multivariate index for assessing eutrophication according to the European water framework directive. Ecological Indicators 10 (2010) 178–183.
Rai N, Pandey I.P., Joshi K. 2011. Impacts and Management of Oil Spill Pollution along the Indian Coastal Areas. Journal of Industrial Research & Technology. J. Ind. Res. Tech. 1(2), 119-126.
Rikardi, 2013. Analisis Metode Indeks Kepekaan Lingkungan Ekosistem Mangrove Terhadap Tumpahan Minyak, Studi Kasus Di Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. Thesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor.
Roach W, Wade WW. 2005. Policy evaluation of natural resource injuries using habitat equivalency analysis. Ecological Economics 58 (2006) 421– 433.
RobertsonAI, Alongi DM. 1992. Tropical Mangrove Ecosystems. American Geophysical Union. Washington.
Rusila N Y, Khazali M, Suryadiputra INN. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PHKA/WI-IP, Bogor.
Schallier R, Van Roy W, Van Cappellen M. 2013. Technical Sub report 6: Development of an Environmental and Socioeconomic Sensitivity Methodology. Be Aware, Bonn Agreement Belgium
Setyawan A.D. 2008. REVIEW: Pengaruh Tumpahan Minyak Bumi terhadap Ekosistem Mangrove, Upaya Mitigasi dan Restorasinya. Ekosains 1 (1): 30-40.
Sloan NA. 1993. Berbagai Dampak Minyak Terhadap Sumberdaya laut, Suatu Tinjauan Pustaka dari Seluruh Dunia yang Relevan bagi Indonesia. EMDI-KLH, Jakarta.
Soemodihardjo, S dan Soeroyo. 1994. Dampak Pencemaran Terhadap Komunitas Mangrove. Seminar Pemantauan Pencemaran Laut, 7-9 Pebruari 1994. Pusat penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI, Jakarta. Hal: 92-98.
Souza PWM, Goncalves FD, Rodrigues SWP, Costa FR, Miranda FP. 2009. Multisensor Data Fusion for Geomorphological and Environmental Sensitivity Index Mapping in The Amazonian Mangrove Coast, Brazil. Journal of Coastal Research, SI 56 (Proceedings of 10th International Coastal Symposium) , 1592-1596, Lisbon Portugal, ISSN 0749-0258.
Sucipto A. 2012. Tumpahan Minyak di Perairan Gresik Diteliti. http://regional.kompas.com/read/2012/11/01/21532747/Tumpahan.Minyak.di. Perairan.Gresik.Diteliti. Diakses tanggal 28 Maret 2013.
Tattar, TA, Klekowski, Ej and Turner, BJ. 1994. Dieback and Mortality in Red Mangrove, Rhizophora mangle L, in Southwest Puerto Rico. Arboricultural Journal 18, 419-429
Taylor, J. 1991. Gulf War Impact of Marine Environment. The Conservation Monitoring Center. Cambridge.
Tyler-Walters H, Hiscock K, Leur DB, Jackson A. 2001. Identifying and ecosystem sensitivities. Report to Department for Environment, Food and Rural Affairs. From the Marine Life Information Network (MarLIN), Marine Biological Association of the United Kingdom, Plymouth. (Final Report).
Vaiphasa C. 2006. Remote Sensing Techniques for Mangrove Mapping. Thesis. International Institute for Geo-information Science & Earth Observation, Enschede, The Netherlands.
Wijayaratih Y, Radjagukguk B, Martani E, Prijambada ID. 2008. Karakteristik Konsorsium Bakteri Perombak Dibenzofuran dari Sedimen Mangrove. Jurnal manusia dan Lingkungan Vol 15, No 2, Juli 2008, 59-69.
Yulianda F, Fahrudin A, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Ho SK. 2010. Ekologi Ekosistem Perairan Laut Tropis. Pusdiklat Kehutanan Departemen kehutanan RI dan KOICA (Korea International Coorporation Agency). Bogor.
1
22
2
2
33
3
3