MAKALAH KEPERAWATAN JIWA Tentang
Teknik Pengekangan/Restraint pada klien klien Gaduh Gelisah “
”
Oleh :
FEBBY PRATAMA RUSDY NIM. 150101026 Dosen Pembimbing : Ns. RAMAITA, S.Kep. M. Kep
PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STIKES PIALA SAKTI PARIAMAN 2017
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan jiwa menurut Yosep(2007) adalah kumpulan dari keadaan – keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Keabnormalan terbagi dalam dua golongan yaitu : Gangguan jiwa(Neurosa) dan sakit jiwa (psikosa). Keabnormalan terlihat dalam berbagai gejala adalah ketegangan(tension), rasa putus asa dan murung, gelisah, cemas, perbuatan yang terpaksa, hysteria, rasa lemah dan tidak mampu mencapai tujuan. Komunikasi terapeutik pada pasien gangguan jiwa dari berbagai masalah sangatlah penting karena pasien tersebut berbeda dari pasien biasanya. Pasien yang mengalami gangguan jiwa membutuhkan asuhan keperawatan yang sangat spesifik dari segi mental atau kejiwaannya.
B. Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui gaduh Gelisah 2. Mengetahui teknik Pengikatan / restraint 3. Mengetahui Terapi dan Pengobatan gaduh-gelisah
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Gaduh Gelisah 1. Definisi
Keadaan gaduh gelisah dapat dimasukkan kedalam golongan kedaruratan psikiatri, bukan karena frekuensinya yang cukup tinggi, akan tetapi karena keadaan ini berbahaya bagi pasien sendiri maupun bagi lingkungannya, termasuk orang lain dan barang-barangnya. Tidak jarang seseorang yang gaduh gelisah dibawa ke rumah sakit. Yang mengantarnya sering tidak sedikit dan biasanya ialah anggota keluarganya dan sering mereka juga bingung dan gelisah. suatu keadaan yang menimbulkan tanda gejalaPsikomotor meningkat,yaitu: 1.
Banyak bicara
2.
Mondar-mandir
3.
Lari-lari
4.
Loncat-loncat
5.
Destruktif
6.
Bingung Afek/emosi excitement, yaitu :
a.
Marah-marah
b.
Mengancam
c.
Agresif
d.
Ketakutan
e.
Euphoria
2. Gejala gaduh gelisah
Keadaan gaduh gelisah biasanya timbul akut atau sub akut. Gejala utama ialah psikomotorik yang sangat meningkat. Orang itu banyak sekali berbicara, berjalan mondar mandir, tidak jarang ia berlari-lari dan meloncat-loncat bila keadaan itu berat. Gerakan tangan dan kaki serta ajuk (mimic) dan suaranya ceat dan hebat. Mukanya kelihatan bingung, marah-marah atau takut. Ekspresi ini
mencerminkan gangguan afek-emosi dan proses berpikir yang tidak realistic lagi. Jalan pikiran biasanya cepat dan sering terdaat waham curiga. Tidak jarang juga timbul halusinasi penglihatan (terutama pada sindroma otak organic yang akut) dan halusinasi endengaran (terutama pada skizofrenia). Karena gangguan proses berikir ini, serta waham curiga dan halusinasi (lebih-lebih bila halusinasi itu menakutkan), maka pasien menjadi sangat bingung, gelisah dan gaduh. Ia bersikap bermusuhan dan mungkin menjadi agresif dan destruktif. Karena itu semua, maka ia menjadi berbahaya bagi dirinya sendiri atau lingkungannya. Ia dapat melukai diri sendiri atau mengalami kecelakaan maut dalam kegelisahan yang hebat itu. Jika waham curiganya keras atau halusinasinya sangat menakutkan, maka ia dapat menyerang orang lain atau merusak barang barang disekitarnya. Bila orang dalam keadaan gaduh gelisah tidak dihentikan atau dibuat tidak berdaya oleh orang-orang disekitarnya untuk mengamankan si pasien dan lingkungannya, maka ia akan kehabisan tenaga dengan segala akibatnya atau ia meninggal karena kecelakaan. Tergantung pada gangguan primer, maka kesadaran data menurun secara kuantitatif (tidak compos mentis) dengan amnesia sesudahnya (seperti pada sindroma otak yang akut) atau kesadaran itu tidak menurun akan tetapi tidak normal, kesadaran itu berubah secara kualitatif. Seerti pada semua psikosa, maka individu dalam keadaan gaduh gelisah ini sudah kehilangan kontak dengan kenyataan:proses berpikir, afek-emosi, psikomotor dan kemauannya sudah tidak sesuai lagi dengan realitas.
3. Penyebab Keadaan Gaduh Gelisah :
Gangguan psikotik akut Psikosa yang berhubungan dengan sindroma otak organic yang akut
Pasien dengan keadaan gaduh gelisah yang berhubungan dengan sindroma otak organic akut menunjukkan kesadaran yang menurun. Sindroma ini dinamakan delirium. Istilah sindroma otak organic menunjuk kepada keadaan gangguan fungsi otak karena suatu penyakit badaniah. Penyakit badaniah ini yang menyebabkan gangguan fungsi otak itu mungkin terdapat di otak sendiri dan karenanya mengakibatkan kelainan patologik-anatomik. Secara mudah dapat
dikatakan bahwa ada sindroma otak organic yang akut biasanya terdapat kesadaran yang menurun, pada sindrom otak organic yang menahun biasanya terdapat demensia,. Akan tetapi data daja menimbulkan psikosa ataupun gaduh gelisah. Skizofrenia
Keadaan
Bila kesadaran tidak menurun, maka biasanya keadaan gaduh gelisah itu merupakan manifestasi suatu psikosa fungsional, yaitu psikosa yang tidak berhubungan atau sampai sekarang belum diketahui dengan pasti adanya hubungan dengan suatu penyakit badaniah seperti pada sindroma otak organic. Amok
o
Keadaan gaduh gelisah yang timbul mendadak dan dipengaruhi oleh factor-faktor social budaya, karena itu PPDGJ 1 memasukkan kedalam kelompok” Keadaan yang terikat pada kebudayaan setempat” (culture bound phenomenon). Efek malu memegang peranan penting. Biasanya seorang pria sesudah periode “meditasi” atau tindakan ritualistic, maka mendadak ia bangkit dan mengamuk. Ia menjadi sangat agresif dan destruktif. o
Gangguan panic
mungkin saja terjadi pada orang yang normal bila nilai ambang frustasinya mendadak dilampaui, misalnya kecemasan dan panic sewaktu kebakaran, kecelakaan masala tau bencana. Sebagian besar orang-orang ini lekas menjadi tenang kembali, bila perlu diberikan pengobatan suportif seerti berbicara dengan tenang, istirahat, tranquilaizer serta makanan dan minuman. o
Kebingungan post konvulsi tidak jarang terjadi sebuah konvulsi karena epilepsy grandmall atau
sesudah terapi konvulsi elektrokonvulsi. Pasien menjadi gelisah atau agresif. Keadaan ini berlangsung beberapa menit dan jarang lebih lama dari 15 menit. Pasien dikendalikan dengan dipegang saja dan dengan kata-kata yang menentramkan. Bila ia masih tetap bingung dan gelisah, maka perlu diberi diazeapam atau penthotal secara intravena untuk mengakhiri keadaan bingungnya.
o
Reaksidisosiatifatau keadaan fugue memperlihatkan pasien dalam keadaan bingung juga. Keduanya merupakan jenis nerosa histerik yang
disebabkan oleh konflik emosional. Kesadaran pasien menurun, ia berbicara dan berbuat sesuai seperti dalam keadaan mimpi, sesudahnya terdapat amnesia total o
Ledakanamarah (temper tantrum)tidak jarang timbul pada anak kecil. Mereka menjadi binggung dan marah tidak karuan. Penyebabnya sering
terdaat pada hubungan dengan dunia luar yang dirasakan begitu menekan sehingga tidak dapat ditahan lagi dan anak kecil itu bereaksi dengan caranya sendiri.
B. Pengikatan / restraint 1. Definisi
Restraint (dalam psikiatrik) secara umum mengacu pada suatu bentuk tindakan menggunakan tali untuk mengekang atau membatasi gerakan ekstremitas individu yang berperilaku di luar kendali yang bertujuan memberikan keamanan fisik dan psikologis individu. Restraint (fisik) merupakan alternative terakhir intervensi jika dengan intervensi verbal, chemical restraint mengalami kegagalan. Seklusi merupakan bagian dari restraint fisik yaitu dengan menempatkan klien di sebuah ruangan tersendiri untuk membatasi ruang gerak dengan tujuan meningkatkan keamanan dan kenyamanan klien. Perawat perlu mengkaji apakah restraint di perlukan atau tidak. Restrein seringkali dapat dihindari dengan persiapan pasien yang adekuat, pengawasan orang tua atau staf terhadap pasien, dan proteksi adekuat terhadap sisi yang rentan seperti alat infus. Perawat perlu mempertimbangkan perkembangan pasien, status mental, ancaman potensial pada diri sendiri atau orang lai n dan keamannnya.
2. Indikasi Penggunaan Restrain
Penggunaan tekhnik pengendalian fisik (restrain) dapat siterapkan dalam keadaan: Pasien yang membutuhkan diagnosa atau perawatan dan tidak bisa menjadi kooperatif karena suatu keterbatasan misalnya : pasien dibawah umur, pasien agresif atau aktif dan pasien yang memiliki retardasi mental. Ketika
keamanan pasien atau orang lain yang terlibat dalam perawatan dapatterancam tanpa pengendalian fisik (restraint). Sebagai bagian dari suatu perawatan ketika pasien dalam pengaruh obat sedasi.
3. Kontraindikasi Pengunaan Restrain
Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) tidak boleh diterapkan dalam keadaan yaitu: Tidak bisa mendapatkan izin tertulis dari orang tua pasien untuk melakspasienan prosedur kegiatan. Pasien pasien kooperatif. Pasien pasien memiliki komplikasi kondisi fisik atau mental Penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint) pada pasien dalam penatalaksanaanya harus memenuhi syaratsyarat yaitu sebagai berikut: Penjelasan kepada pasien pasien mengapa pengendalian fisik (restraint) dibutuhkandalam perawatan, dengan harapan memberikan kesempatan kepada pasien untuk memahami bahwa perawatan yang akan diberikan sesuai prosedur dan aman badi pasien maupun keluarga yang bersangkutan. Memiliki izin verbal maupun izin tertulis dari psikiater yang menjelaskan jenis teknik pengendalian fisik yang boleh digunakan kepada pasien pasien dan pentingnya teknik pengendalian fisik yang dapat digunakan terhadap pasien berdasarkan indikasi-indikasi yang muncul. Adanya dokumen yang menjelaskan kepada orang tua pasien pasien maupun pihak keluarga pasien yang bersangkutan mengapa pengendalian fisik (restraint) dibutuhkan dalam perawatan. Adanya penilaian berdasarkan pedoman rumah sakit dari pasien yang pernahmenjalankan pengendalian fisik (restraint) untuk memastikan bahwa pengendalian fisik tersebut telah diaplikasikan secara benar, serta memastikan integritas kulit dan status neurovaskular pasien tetap dalam keadaan baik. Perlu digunakan teknik pengendalian fisik (restraint) adalah karena tenaga kesehatan harus mengutamakan kebutuhan kesehatan pasien, teknik pengendalian tersebut dapat dilakspasienan dengan cara menjaga keamanan pasien ataupun keluarga yang bersangkutan, mengontrol tingkat agitasi dan agresi pasien, mengontrol perilaku pasien, serta menyediakan dukungan fisik bagi pasien.
4. Hal-hal yang perlu di perhatikan dalam penggunaan Restraint
Pada kondisi gawat darurat, restrain/seklusi dapat dilakukan tanpa order dokter. Sesegera mungkin (< 1jam) setelah melakukan restrain, perawat melaporkan pada dokter untuk mendapatkan legalitas tindakan baik secara verbal maupun tertulis. Intervensi restrain dibatasi waktu yaitu: 4 jam untuk klien berusia >18 tahun, 2 jam untuk usia 9-17 tahun, dan 1 jam untuk umur <9 tahun. Evaluasi dilakukan 4 jam untuk klien >18tahun, 2 jam untuk pasien-pasien dan usia 9-17 tahun. Waktu minimal reevaluasi oleh dokter adalah 8 jam untuk usia >18 tahun dan 4 jam untuk usia <17 tahun. Selama restrain klien di observasi tiap 10-15 menit, dengan fokus observasi: Tanda-tanda cedera yang berhubungan dengan restrain Nutrisi dan hidrasi sirkulasi dan rentang gerak eksstremitas tanda penting kebersihan
dan eliminasi status fisik dan psikologis kesiapan klien untuk
dibebaskan dari restrain Alat
restrain
bukan
tanpa
resiko
dan
harus
diperiksa
dan
di
dokumentasikan setiap 1-2 jam untuk memastikan bahwa alat tersebut mencapai tujuan pemasangannya, bahwa alat tersebut dipasang dengan benar dan bahwa alat tersebut tidak merusak sirkulasi, sensai, atau integritas kulit. Selekman dan Snyder (1997) merekomendasikan intervensi keperawatan yang tepat untuk pasien yang direstrain adalah: Lepaskan dan pasang kembali restrain secara periodic Lakukan tindakan untuk memberi rasa nyaman, gunakan pelukan terapeutik bukan restrain mekanik Lakukan latihan rentan gerak jika diperlukanTawarkan makanan, minuman dan bantuan untuk eliminasi, beri pasien dot. Diskusikan kriteria pelepasan restrain . Berikan analgesik dan sedatif jika diinstruksikan atau di mintaHindari kemarahan psikologik kepada pasien lain. Berikan distraksi (membaca buku) dan sentuhan pertahankan harga diri pasien lakukan pengkajian keperawatan yang kontinu dokumentasikan penggunaan restrain
5. Jenis-jenis Restrain
Pengendalian
fisik
(physical
restraint) dengan
menggunakan
alat
pengendalian fisik dengan menggunakan alat merupakan bentuk pengendalian dengan menggunakan bantuan alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien maupu nmenahan gerakan rahang dan mulut pasien. a. Alat bantu untuk menahan gerakan tubuh dan kepala pasien a)
Sheet and ties Penggunaan selimut untuk membungkus tubuh pasien supaya tidak bergerak dengan cara melingkarkan selimut ke seluruh tubuh pasien dan menahan selimutnya dengan perekat atau mengikatnya dengan tali.
b) Restraint Jaket Restraint jaket digunakan pada pasien dengan tali diikat dibelakang tempat tidur sehingga pasien tidak dapat membukanya. Pita panjang diikatkan ke bagian bawah tempat tidur, menjaga pasien tetap di dalam tempat tidur. Restrain jaket berguna sebagai alat mempertahankan pasien pada posisi horizontal yang diinginkan. c)
Papoose board Papoose board merupakan alat yang biasa digunakan untuk menahan gerak pasien saat melakukan perawatan gigi. Cara penggunaannya adalah pasien ditidurkan dalam posisi terlentang di atas papan datar dan bagian atas tubuh, tengah tubuh dan kaki pasien diikat dengan menggunakan tali kain yang besar. Pengendalian dengan menggunakan papoose board dapat diaplikasikan dengan cepat untuk mencegah pasien berontak dan menolak perawatan. Tujuan utama dari penggunaan alat ini adalah untuk menjaga supaya pasien pasien tidak terluka saat mendapatkan perawatan.
d) Restraint Mumi atau Bedong Selimut atau kain dibentangkan diatas tempat tidur dengan salah satu ujungnya dilipat ke tengah. Pasien diletakkan di atas selimut tersebut dengan bahu berada di lipatan dan kaki ke arah sudut yang berlawanan.
Lengan kanan pasien lurus kebawah rapat dengan tubuh, sisi kanan selimut ditarik ke tengah melintasi bahu kanan pasien dan dada diselipkan dibawah sisi tubuh bagian kiri. Lengan kiri pasien diletakkan lurus rapat dengan tubuh pasien, dan sisi kiri selimut dikencangkan melintang bahu dan dada dikunci dibawah tubuh pasien bagian kanan. Sudut bagian bawah dilipat dan ditarik kearah tubuh dan diselipkan atau dikencangkan dengan pinpengaman. e)
Restraint Lengan dan Kaki Restraint pada lengan dan kaki kadang-kadang digunakan untuk mengimobilisasi satu atau lebih ekstremitas guna pengobatan atau prosedur, atau untuk memfasilitasi penyembuhan. Beberapa alat restraint yang da di pasaran atau yang tersedia, termasuk restraint pergelangan tangan atau kaki sekali pakai, atau dapat dibuat dari pita kasa, kain muslin, atau tali stockinette tipis. Jika restraint jenis ini di gunakan, ukurannya harus sesuai dengan tubuh pasien. Harus dilapisi bantalan untuk mencegah tekanan yang tidak semestinya, konstriksi, atau cidera jaringan. Pengamatan ekstremitas harus sering dilakukan untuk memeriksa adanya tanda-tanda iritasi dan atau gangguan sirkulasi. Ujung restraint tidak boleh diikat ke penghalang tempat tidur, karena jika penghalang tersebut diturunkan akan mengganggu ekstremitas yang sering disertai sentakan tiba-tiba yang dapat menciderai pasien.
f)
Restraint siku Adalah tindakan mencegah pasien menekuk siku atau meraih kepala atau wajah. Kadang-kadang penting dilakukan pada pasien setelah bedah bibir atau agar pasien tidak menggaruk pada kulit yang terganggu. Bentuk restraint siku paling banyak digunakan, terdiri dari seutas kain muslin yang cukup panjang untuk mengikat tepat dari bawah aksila sampai ke pergelangan tangan dengan sejumlah kantong vertikal tempat dimasukkannya depresor lidah. Restraint di lingkarkan di seputar lengan dan direkatkan dengan plester atau pin.
g) Pedi-wrap Pedi-wrap merupakan sejenis perban kain yang dilingkarkan pada leher sampai pergelangan kaki pasien pasien untuk menstabilkan tubuh pasien serta menahan gerakan tubuh pasien. Pedi-wrap mempunyai berbagai variasi ukuran sesuai dengan kebutuhan. Alat bantu untuk menahan gerakan mulut dan rahang pasien h) Molt Mouth Prop Molt mouth prop merupakan salah satu alat yang paling penting dalam melakukan perawatan gigi. Alat ini biasanya digunakan dalam anestesi umum untuk mencegah supaya mulut tidak tertutup saat perawatan
dilakukan. Alat ini juga sangat cocok dalam
penanganan pasien yang tidak bisa membuka mulut dalam jangka waktu lama karena suatu keterbatasan. Penggunaan molt mouth prop harus memperhatikan posisi
rahang pasien saat pasien membuka
mulutnya, supaya tidak terjadi dislokasi temporomandibular. Sebagai tambahan, dokter gigi harus memindahkan molt mouth prop dari mulut pasien setiap sepuluh hingga lima belas menit agar rahang dan mulut pasien dapat beristirahat. i)
Molt Mouth Gags Molt mouth gags juga merupakan salah satu alat bantu yang dapat digunakan untuk menahan mulut pasien.
j)
Tongue Blades Tongue blades merupakan alat bantu yang digunakan untuk menahan lidah pasien supaya tidak mengganggu proses perawatan
b. Pengendalian fisik (physical restraint) tanpa bantuan alat Pengendalian fisik tanpa bantuan alat merupakan bentuk pengendalian fisik tanpa menggunakan bantuan alat, pengendalian bentuk ini merupakan bentuk pengendalian yang menggunakan bantuan perawat maupun bantuan orang tua atau pihak keluarga pasien. Pengendalian fisik dengan bantuan tenaga kesehatan pengendalian fisik dengan menggunakan bantuan tenaga kesehatan merupakan bentuk pengendalian fisik dimana diperlukan tenaga kesehatan, misaln ya perawat untuk menahan gerakan pasien pasien dengan cara memegang kepala, lengan,
tangan ataupun kaki pasien pasien. Pengendalian fisik dengan bantuan orang tua pasien pengendalian fisik
dengan bantuan orang tua
sebenarnya sama
dengan pengendalian fisik dengan bantuan tim medis (tenaga kesehatan). Hanya saja peran perawat digantikan oleh orang tua pasien pasien. Cara pengendalian dengan
menggunakan
bantuan
orang
tua
lebih
disukai
pasien
apabila
dibandingkan dengan menggunakan bantuan tim medis, sebab pasien lebih merasa aman apabila dekat dengan orang tuanya.
6. Resiko Penggunaan Restraint pada Pasien
Terdapat beberapa laporan ilmiah mengenai kematian pasien pasien yang disebabkan oleh penggunaan teknik pengendalian fisik (restraint). Hubungan kematian pasien dengan gangguan psikologi yang disebabkan penggunaan restraint adalah dimana ketika pengendalian fisik (restrain) dilakukan, pasien pasien mengalami reaksi psikologis yang tidak normal, yaitu seperti menigkatnya suhu tubuh, cardiac arrhythmia yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya positional asphyxia, excited delirium, acute pulmonary edema, atau pneumonitis yang dapat menyebabkan kematian pada pasien.
7. Peranan Pemerintah Dalam Menangani ODGJ
a. Mencapai
masyarakat
Indonesia
yang
bebas
dari
tindakan
pemasungan terhadap orang dengan gangguan jiwa, melalui: 1) Terselenggaranya
perlindungan
HAM
bagi
orang
dengan
gangguan jiwa. Tercapainya. 2) peningkatan pengetahuan dari seluruh pemangku kepentingan di bidang kesehatan jiwa. 3) Terselenggaranya pelayanan kesehatan jiwa yang bekualitas di setiap tingkat layanan masyarakat. 4) Tersedianya skema pembiayaan yang memadai untuk semua bentuk upaya kesehatan jiwa di tingkat pusat maupun daerah. 5) Tercapainya kerjasama dan koordinasi lintas sektor di bidang upaya kesehatan jiwa.
6) Terselenggaranya sistem monitoring dan evaluasi di bidang upaya kesehatan jiwa b. Penangulangan Pemasungan 1) menyediakan fasilitas rehabilitasi ODGJ serta 2) menyediakan anggaran dalam penanganan ODGJ 3) menyediakan obat-obatan yang diperlukan dalam pencegahan kekambuhan bagi ODGJ. 4) meningkatkan upaya promotif bagi masyarakat dalam hal kesehatan jiwa agar masyarakat mengetahui masalah kesehatan jiwa,
dilakukannya
berbagai
upaya
untuk
mencegah
dan
menangani masalah kesehatan jiwa, menghargai dan melindungi ODGJ, serta memberdayakan ODGJ.
C. Terapi dan Pengobatan gaduh-gelisah
Terapi terhadap Underlying disease merupakan tatalaksana saat ini yang menentukan pendekatan apa yang kita gunakan, antara lain :
Perawatan terhadap keadaangaduh
gelisah
termasuk
delirium
dan gangguan mental organik.
Fiksasi pada tempat tidur dandibuat ruangan tersendiri adalah tindakan yang sangat membantu.
Lampu yang cukup terang
orientasi dipertahankandengan adanya jam dan kalender
didampingi oleh kerabatterdekat
merupakan
lingkungan
yang
mempercepat perbaikan.
Pada keadaan primer psikitri,anti psikotik dan atau anti anxietas mempunyai dampak yang sangat baik
Kemudian ditunjang lingkungan yang tidak merangsang, serta psikoterapi dasar dan psikoeducation diperlukan untuk mengurangi keadaan gaduh Pada
gangguan
kepribadian
membutuhkan
kombinasi
gelisah. dari
supportiveand basic cognitive psykotherapies and firm limit setting. Keterlibatan penegak hukum dalam hal ini kepolisian akan sangat membantu pasien
untuk tidak melawan dokter. Sedangkan penggunaan obat-obat sedapat mungkin tidak digunakan. Pendekatan Umum Pasien Dengan Gaduh Gelisah
Selalu dalam keadaan rendahhati dan tenang.
Usahakan tidak menentang pasien, jika hal ini tidak dilakukan maka pa sien akan marah dan ancenderung tetap dalam kondisi gaduh gelisah.
Sampaikan pada pasiententang siapa dan apa tugas kita seba gai dokter.
Bicara dengan jelas, danhindari kontak mata yang lama.
Selalu menjaga jarak
Bersikap empati terutama pada pasien yang merasa kecewa/putus asa.
Hati-hati karena wawancara yang dilakukan dapat memicu perilaku kekerasan.
Disarankan mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya dan dalam waktu yang singkat.
Pertanyaan tertutup
merupakan
pertanyaan
yang
efisien
untuk
mendapatkan informasi pada keadaan ini. Bangun kepercayaan dengan pasien. Menawarkan makananataupun minuman akan mempercepat pasien kooperatif. Jika mungkin perkenankan pasien untuk memilih perawatan seperti apa yang diinginkan. Gunakan waktu secaraefisien, jika pasien bersedia untuk diambil darah maka la kukan pemeriksaan pemeriksaan sesuai indikasi. Selalulah berfikir bahwa iniadalah kesempatan satu-satunya Pasien gaduh gelisah membahayakan bagi pasien sendiri dan orangorangdisekitar oleh karena cara pengambilan keputusan oleh pasien yang lemah. Tujuan utama perawatan adalah membuat pasien tenang dan tidak gaduh
gelisah
lagi. Pilihan sedian yang ada : a.
Golongan Phenothiazine Salah satu obat yang paling banyak dipakai saat ini adalah Chlopromazine (largactil, promactil, ethibernal), yang diberikan dengan dosisawal 50 - 100 mg, dan bila diberikan perenteral, sebaiknya diberikan secara deep intramuscular. Perlu diperhatikan,
obat
ini
mempunyai khasiat
hipotensif (karenanya tidak dianjurkan dalam pemberian intravenous) dan suntikan dapat menyebabkan infiltrat di antara otot (rasa sakit). Demikian pula sifat epileptogenik dari derivate phenothiazine perlu pula diperhatikan. Mengingat efek samping yang cukup banyak darichlorpromazine, di Indonesia saat ini juga dijumpai preparat perenteral
lainnya
seperti fluphenazine (anatensol HCI). Preparat tersebut saat ini mudah diperoleh, dan dapat diberikan dalam dosis yang relatif lebih rendah : yakni 2,5 - 5 mg yang dapat diberikan dalam bentuk injeksi sebanyak 1 - 2 cc.
b.
Golongan butyrophenon Obat yang termasuk golongan ini antara lain Serenace, danHal dol/Haloperidol. FDA tidak menyetujui sedian IV bagi haloperidol, tetapi dapat digunakan bersama Salin untuk mencegah presipitasi dengan Heparindan Phenytoin. Dosis yang diberikan : -Gaduh gelisah ringan dengan 0.5 mg – 2 mg. -Gaduh gelisah sedang dimulai dengan 5-10 mg. -Gaduh gelisah berat memerlukan permulaan 10 mg. Jika pasien masih gaduh gelisah dapat diberikan kembali tiap 20-30 menit dan dapat ditingkatkan pemberian bolus 75 mg. Haloperidol dapat diberikan secara IV dengan drip dengan dosis ratarata 10
-20 mg/jam.
Dapat juga digunakan dosis 400-
500 mg/hari, dengan dosis awal rendah pada pasien usia tua dan pasien dengan penyakit tertentu. Penggunaan IV lebih jarang terjadi EPS, reaksi distonik, dan akathisia sertahipotensi. c.
Golongan Thioxanthene Walaupun beberapa ahli berpendapat bahwa efek-samping golongan ini kurang menyenangkan, tetapi chlorprothixene yang pernah ada di pasaran Indonesia (Truxal, atau taractan) ternyata cukup efektif dalam menanggulangi pasien gaduh gelisah bila diberi dalam
dosis 50 - 100 mg intramuskular. Pada Ruangan Gawat Darurat, pemberian IV biasanya sulit pada keadaan gaduh gelisah, sehingga pasien
harus
ditenangkan
menggunakan
sediaan
IM
ataupun
konsentrat. Pilihan I:
Haloperidol 5 mg IM/konsentrat dan diulangi 40 menit sampai pasien tenang. Dilanjutkan dengan pemberian 2 mg IM/per oral tiap 4 jam bila perlu. Pengguanaan berikutnya sampai dengan 24 jam. Pilihan II:
Kombinasi
antipsikotik
dan
Benzodiazepine
mempunyai
efek
yanglebih rendah. Haloperidol 5 mg IM/konsentrat tiap 30 menit jika perlusampai dengan pasien tenang. Sebagai alternatif Lorazepam 2 mgIM/konsentrat diulangi 30 menit bila perlu sampai pasien tenang. Pilihan III:
Chlorpromasin 25 mg IM, jangan pernah memberikan lebih dari 50mg.
Karena
dapat
menyebabkan
hipotensi,
dan
hindarkan
penggunaan pada pasien tua. Penggunaan Elektro Convulsive Therapy Di
antara
kasus-kasus
tertentu,
temyata
ada
yang
masih
membandelwalaupun kita telah menggunakan dosis yang lebih tinggi. Tidak jarang dosisyang tinggi tadi dapat berakibat toksik dan malahan menyebabkan pasien
leblgelisah. Pada
kasus
yang dulu
dikenal
sebagai akute-
tt5dliche katatonie,disarankan diberikan Block-shock, yakni pemberian ECT sebanyak dua atautiga kali dalam sehari, karena justru terapi ini yang menjadi Drugs of Choice. Terapi ini dapat diulang pada hari-hari berikutnya selama tiga hari bila diperlukan. Perlu diperhatikan, bahwa :mereka yang tidak mempunyai alat ECT, yang mutakhir, masih dapat pula menggunakan elektrode dari listrik biasa (listrik bolak balik, dengan voltase 70 - 130 volt), dan kedua electrode tersebut diletakkan di kedua pelipis penderita, dan waktu yang dibutuhkan adalah 0,1 - 0,5 detik. (tapi preparasi pun harus dikerjakan dengan baik).
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penggunaan ECT adalah :
ECT dapat memperhebat efek hipotensif dari neuroleptika (penyebabnyamasih dipertanyakan).
Akhir khususnya
akhir ini, oleh
penggunaan ECT memperoleh kecaman yang hebat,
negara-negara
maju
karena
dianggap
kurang
etis.
Tapi pemakaian untuk kasus-kasus psikiatrik yang tepat, misalnya bagi keadaan Psikosis-depresiva, yang disertai agitasi, pemakaian ECT masih dianggap yang paling potensial.
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan
Gangguan jiwa menurut Yosep(2007) adalah kumpulan dari keadaan – keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Ada tiga faktor penyebab gangguan jiwa yaitu : Faktor somatic (somatogenik)
atau
organobiologis,
faktor
psikologik
(psikogenik)
atau
psikoedukatif dan faktor sosio-budaya(sosiogenik) atau sosiokultural. Gejala umum yang muncul pada seseorang yang mengalami gangguan mental (Sundari,2005) adalah : keadaan fisik, keadaan mental dan keadaan emosi. Tujuan komunikasi pada pasien jiwa yaitu perawat dapat memahami orang lain, menggali perilaku klien, memahami perlunya member pujian dan memperoleh informasi klien.
B. Saran
Calon perawat harus mengetahui cara berkomunikasi dengan baik pada pasien terutama pada pasien yang mengalami gangguan kejiwaan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, H.I., Sadock, B.J., dan Grebb, J.A. (2000). Synopsis of Psychiatry. New York : Williams and Wilkins Stuart, G.W. dan Laraia, M.T. (2001). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. (Ed ke-7). St. Louis: Mosby, Inc. Gail Wiscarz Stuart dan Sandra J. Sundeen (1998). Keperawatan Jiwa : buku saku. Edisi 3. Jakarta : EGC