Tahapan Sejarah Perkembangan Kota Palembang Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1324 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 683. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990). Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orangorang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai kata tunjuk suatu tempat atau keadaan; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa
melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.Kondisi alam ini bagi nenek moyang orang-orang Palembang menjadi modal mereka untuk memanfaatkannya. Air menjadi sarana transportasi yang sangat vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau dan punya kecepatan yang tinggi. Selain kondisi alam, juga letak strategis kota ini yang berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah: • Tanah tinggi Sumatera bagian Barat, yaitu : Pegunungan Bukit Barisan • Daerah kaki bukit atau piedmont dan pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah • Daerah pesisir timur laut Ketiga kesatuan wilayah ini merupakan faktor setempat yang sangat menentukan dalam pembentukan pola kebudayaan yang bersifat peradaban. Faktor setempat
yang berupa jaringan dan komoditi dengan frekuensi tinggi sudah terbentuk lebih dulu dan berhasil mendorong manusia setempat menciptakan pertumbuhan pola kebudayaan tinggi di Sumatera Selatan. Faktor setempat inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya, yang merupakan kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani dikawasan Nusantara. Menurut Sevenhoven, Palembang berarti tempat tanah yang dihanyutkan ke tepi, sedangkan Stuerler menerjemahkannya sebagai tanah yang terdampar. Pengertian Palembang tersebut kesemuanya menunjukkan tanah yang berair. Sebagai catatan tambahan, di Kotamadya sekarang ini masih tercatat sebanyak 117 buah anak-
anak sungai yang mengalir di tengah kota. Sriwijaya, seperti juga bentuk-bentuk pemerintahan di Asia Tenggara lainnya pada kurun waktu itu, bentuknya dikenal sebagai Portpolity. Pengertian Port-polity secara sederhana bermula sebagai sebuah pusat redistribusi, yang secara perlahan-lahan mengambil alih sejumlah bentuk peningkatan kemajuan yang terkandung di dalam spektrum luas. Pusat pertumbuhan dari sebuah Polity adalah entreport yang menghasilkan tambahan bagi kekayaan dan kontak-kontak kebudayaan. Hasil-hasil ini diperoleh oleh para pemimpin setempat (dalam istilah Sriwijaya sebutannya adalah datu), dengan hasil ini merupakan basis untuk penggunaan kekuatan ekonomi dan penguasaan politik di Asia Tenggara. Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya sebagai berikut: Negara ini terletak
di Laut Selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahuperahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah di pelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran. Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengar. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut,
kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam. Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, dimana mereka melihat bagaimana kehiduapan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah di tanah kering di atas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Polin-fong atau Ku-kang (berarti pelabuhan lama). Setelah mengalami kejayaan diabad-abad ke-7 dan 9, maka dikurun abad ke-12 Sriwijaya mengalami keruntuhan secara perlahan-lahan. Keruntuhan Sriwijaya ini, baik karena persaingan dengan kerajaan di Jawa, pertempuran dengan kerajaan Cola dari India dan terakhir kejatuhan ini tak terelakkan setelah bangkitnya bangkitnya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Kerajaan-kerajaan
Islam yang tadinya merupakan bagian-bagian kecil dari kerajaan Sriwijaya, berkembang menjadi kerajaan besar seperti yang ada di Aceh dan Semenanjung Malaysia. Dari sisa Kerajaan Sriwijaya tersebut tinggalah Palembang sebagai satu kekuatan tersendiri yang dikenal sebagai kerajaan Palembang. Menurut catatan Cina raja Palembang yang bernama Ma-na-ha Pau-lin-pang mengirim dutanya menghadap kaisar Cina tahun 1374 dan 1375.Maharaja ini barangkali adalah raja Palembang terakhir, sebelum Palembang dihancurkan oleh Majapahit pada tahun 1377. Berkemungkinan Parameswara dengan para pengikutnya hijrah ke semenanjung, dimana ia singgah lebih dulu ke pulau Temasik dan mendirikan kerajaan Singapura. Pulau ini ditinggalkannya setelah dia berperang melawan orang-orang Siam. Dari Singapura dia hijrah ke Semenanjung dan mendirikan kerajaan Melaka. Setelah membina kerajaan ini dengan gaya dan cara Sriwijaya, maka Melaka menjadi
kerajaan terbesar di nusantara setelah kebesaran Sriwijaya. Palembang sendiri setelah ditinggalkan Parameswara menjadi chaos. Majapahit tidak dapat menempatkan adipati di Palembang, karena ditolak oleh orang-orang Cina yang telah menguasai Palembang. Mereka menyebut Palembang sebagai Ku-Kang dan mereka terdiri dari kelompok-kelompok cina yang terusir dari Cina Selatan, yaitu dari wilayah Nan-hai, Chang-chou dan Changuan-chou. Meskipun setiap kelompok ini mempunyai pemimpin sendiri, tetapi mereka sepakat menolak pimpinan dari Majapahit dan mengangkat Liang Tau-ming sebagai pemimpin mereka. Pada masa ini Palembang dikenal sebagai wilayah yang menjadi sarang bajak laut dari orangorang Cina tersebut. Tidak heran jika toko sejarah dan legendaris dari Cina, yaitu Laksamana Chen-ho terpaksa beberapa kali muncul di Palembang guna memberantas para bajak laut ini. Pada tahun 1407 setelah kembali dari pelayarannya
dari barat, Chen-ho sendiri telah menangkap toko bajak laut dari Palembang yaitu Chen Tsui-i. Chenho membawa bajak laut ini kehadapan kaisar, kemudian dihukum pancung di tengah pasar ibukota. Namun beberapa toko bajak laut di lautan cina seperti Chin Lien, pada tahun 1577 telah bersembunyi di Palembang dan kemudian menjadi pedagang yang disegani di Palembang. Chiang Lien sebagai pengawas perdagangan untuk cina, sebetulnya kedudukan ini adalah suatu jabatan yang disahkan oleh kaisar dan mempunyai wewenang mengatur hukum, imbalan, penurunan ataupun kenaikan (promosi) bagi warga Cina di Palembang. Dapat dibayangkan bahwa kekuasaan orang-orang Cina di Palembang hampir 200 tahun. Masa Kesultanan Palembang Menurut Tomec Pires yang menulis sekitar tahun kejatuhan Melaka, menyatakan bahwa pupusnya pengaruh Majapahit dan Cina di Palembang adalah akibat
kebangkitan Islam di wilayah Palembang sendiri. Situasi dan kondisi ini menempatkan Palembang menjadi wilayah perlindungan Kerajaan Islam Demak sekitar tahun 1546, yang melibatkan Aria Penangsang dari Jipang dan Pangeran Hadiwijaya dari Pajang, dimana kematian Aria Penangsang membuat para pengikutnya melarikan diri ke Palembang. Para pengikut Aria Jipang ini membuat ketakutan baru dengan mendirikan Kerajaan Palembang. Tokoh pendiri Kerajaan Palembang adalah Ki Gede Ing Suro. Keraton pertamanya di Kuto Gawang, pada saat ini situsnya tepat berada di kompleks PT. Pusri. Dimana makam Ki Gede Ing Suro berada di belakang Pusri. Dari bentuk keraton Jawa di tepi sungai Musi, para penguasanya beradaptasi dengan lingkungan melayu di sekitarnya. Terjadilah suatu akulturasi dan asimilasi kebudayaan jawa dan melayu, yang dikenal sebagai kebudayaan Palembang. Ki Mas Hindi adalah tokoh kerajaan Palembang yang memperjelas jati diri Palembang, memutus hubungan
ideologi dan kultural dengan pusat kerajaan di Jawa (Mataram). Dia menyatakan dirinya sebagai sultan, setara dengan Sultan Agung di Mataram. Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abdurrahman, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Cinde Walang (1659-1706). Keraton Kuto Gawang dibakar habis oleh VOC pada tahun 1659, akibat perlawanan Palembang atas kekurang ajaran hasil wakil VOC di Palembang, Sultan Abdurrahman memindahkan keratonnya ke Beringin Janggut (sekarang sebagai pusat perdangangan). Sultan Mahmud Baaruddin I yang bergelar Jayo Wikramo (1741-1757) adalah merupakan tokoh pembangunan Kesultanan Palembang, dimana pembangunan modern dilakukannya. Antara lain Mesjid Agung Palembang, Makam Lembang (Kawah Tengkurep), Keraton Kuto Batu (sekarang berdiri Musium Badarudin dan Kantor Dinas Pariwisata Kota Palembang). Selain itu dia juga membuat kanal-kanal di wilayah kesulatan, yang berfungsi ganda, yaitu baik sebagai alur pelayaran, pertanian juga untuk pertahanan.
Badaruddin Jayo Wikramo memantapkan konsep kosmologi Batanghari Sembilan sebagai satu lebensraum dari kekuasaan Palembang. Batanghari Sembilan adalah satu konsep Melayu – Jawa, yaitu adalah delapan penjuru angin yang terpencar dari pusatnya yang, merupakan penjuru kesembilan. Pusat atau penjuru kesembilan ini berada di keraton Palembang (lebih tegas lagi berada di tangan Sultan yang berkuasa). Dari seluruh pelabuhan di wilayah orang-orang Melayu, Palembang telah membuktikan dan terus secara seksama menjadi pelabuhan yang paling aman dan peraturan paling baik, seperti dinyatakan oleh orangorang pribumi dan orang-orang Eropa. Begitu memasuki perairan sungai, perahu-perahu kecil, dengan kewaspadaan yang biasa siaga dengan tindakan-tindakan perampasan. Kemungkinan perahu perampok yang bersembunyi akan memangsa perahu-perahu dagang kecil yang memasuki sungai, jarang terjadi, karena ketatnya penjagaan
oleh kekuatan Sultan dengan segala peralatannya. Selain kekayaan yang melimpah dari baiknya pelayanan pelabuhan dan perdagangan, membuat Palembang mempunyai kesempatan memperkuat pertananannya. Ini dibuktikannya oleh Sultan Muhammad Bahauddin mendirikan keraton Kuto Besak pada tahun 1780. Di dalam melawan penjajahan Belanda dan Inggris, Sultan Mahmud Baruddin II berhasil mengatasi politik diplomasi dan peperangan kedua bangsa tersebut. Sebelum jatuhnya Palembang dalam peperangan besar di tahun 1821, Sultan Mahmud Badaruddin II secara beruntun pada tahun 1819 telah dua kali mengahajar pasukan pasukan Belanda keluar dari perairan Palembang. Keperkasaan Sultan Mahmud Badaruddin II ini dinilai oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah wajar untuk dianugrahi sebagai Pahlawan Nasional. Masa Belanda Palembang sebagai Ibukota Kesultanan Palembang Darussalam
pada saat di bawah pemerintah kolonial Belanda dirombak secara total dari sisi penggolongan kotanya. Pada awalnya wilayah pemukiman penduduk kota Palembang, di zaman Kesultanan lebih dari sekedar pemukiman yang terorganisir. Pemukiman pada waktu itu adalah suatu lembaga persekutuan dimana patronage dan paternalis terbentuk akibat struktur masyarakat tradisional dan feodalistis. Keseluruhan sistem ini berada dalam satu lingkungan dan lokasi. Sistem ini dikenal dengan nama gugu(k). Kosakata gugu berasal dari jawa – Kawi yang berarti barang katanya, diturut, diindahkan. Setiap guguk mempunyai sifat sektoral ataupun aspiratip. Sekedar untuk pengertian meskipun tidak sama, bentuk guguk ini dapat dilihat dengan sistem gilda pada abad pertengahan di Eropa. Contoh nama wilayah pemukiman yang dikenal sebagai Sayangan, adalah wilayah dimana paramiji dan alingan (struktur bawah dari golongan penduduk kesultanan) yang memproduksi hasil-hasil dari bahan tembaga. Sayangan artinya
pengerajin tembaga (Jawa Kawi). Produksi ini dilakukan atas perintah dari bangsawan yang menjadi pimpinan (guguk) yang menjadi pelindung terhadap kedua golongan baik miji maupun alingan (orang yang dialingi/dilindungi). Hasil produksi ini merupakan pula income bagi sultan dan kesultanan. Contoh lain dalam adalah wilayah pemukiman mengindikasikan wilayah guguk, yaitu kepandean adalah rajin atau pandai besi, pelampitan adalah perajin lampit, demikian juga dengan kuningan adalah perajin pembuat bahan-bahan dari kuningan. Pemukiman ini dapat pula bersifat aspiratif, yaitu satu guguk yang mempunyai satu profesi atau kedudukan yang sama, seperti guguk Pengulon, pemukiman para pendahulu dan alim ulama disekitar Mesjid Agung. Demikian pula dengan kedemangan, wilayah dimana tokoh demang tinggal, ataupun kebumen yaitu tempat tempat dimana Mangkubumi menetap. Disamping ada wilayahwilayah dimana kelompok tertentu
bermukim, seperti Kebangkan adalah pemukiman orang-orang dari Bangka, Kebalen adalah pemukiman orang-orang dari Bali. Setelah Palembang dibawah adminstrasi kolonial, maka oleh Regering Commisaris J.I Van Sevenhoven sistem perwilayahan guguk harus dipecah belah. Pemecahan ini bukan saja memecah belah kekuatan kesultanan, juga sekaligus memcah masyarakat yang tadinya tunduk kepada sistem monarki, menjadi tunduk pada administrasi kolonial. Guguk dijadikan beberapa kampung. Sebagai kepala diangkat menjadi Kepala Kampung, dan di Palembang dibagi menjadi dua wilayah, yaitu Seberang Ulu dan Seberang Ilir. Untuk mengepalai wilayah tersebut diangkat menjadi Demang. Demang adalah pamongraja pribumi yang tunduk kepada controleur. Kota Palembang pada waktu itu terdiri dari 52 kampung, yaitu 36 kampung berada di seberang ilir dan 16 kampung di seberang Ulu. Kampungkampung ini diberi nomor yaitu dari nomor 1 sampai 36 untuk seberang ilir, sedangkan seberang ulu dari 1
sampai 16 ulu. Pemberian nomornomor kampung ini penuh semangat pada awal pelaksanaannya, tetapi kemudian pembagian tidak berkembang malah menyusut. Pada tahun 1939 kampung tersebut menjadi 43 buah kampung, dimana 29 kampung berada diseberang ilir dan 14 kampung berada di seberang ulu. Dapat diperkirakan penciutan adminstratif kampung ini karena yang diperlukan bukanlah wilayahnya, tetapi cacah jiwanya yang ada kaitan dengan pajak kepalanya. Sehingga untuk itu digabungkanlah beberapa kampung yang cacah jiwanya minim, dan cukup dikepalai oleh seorang Kepala Kampung. Oleh karena Kepala Kampung hanya mengurus penduduk pribumi, maka untuk golongan orang Timur Asing, mereka mempunyai Kepala dan wijk tersendiri. Untuk golongan Cina, kepalanya diangkat dengan kedudukan seperti kepangkatan militer, yaitu Letnan, Kapten dan Mayor. Demikian pula dengan
golongan Arab dan Keling (India/Pakistan) dengan kepalanya seorang Kapten. Untuk kedudukan kepala Bangsa Timur Asing, biasanya dipilih berdasarkan atas pernyataan jumlah pajak yang akan mereka pungut dan diserahkan bagi pemerintah disertai pula jaminan dana begi kedudukannya. Pemerintah Kota Palembang pada 1 April 1906 menjadi satu Stadgemeente. Satu pemerintahan kota yang otonom, dimana dewan kota yang mengatur pemerintahan. Penduduk menyebut pemerintah kota ini adalah Haminte. Ketua Dewan Kota adalah Burgemeester (Walikota), dia dipilih oleh anggota Dewan Kota. Anggota Dewan Kota dipilih oleh penduduk kota. Sebenernya pemerintah kota bukanlah dibentuk untuk tujuan utama memenuhi kepentingan pribumi, akan tetapi lebih kepada kepentingan para pengusaha Barat yang sedang menikmati liberalisasi. Karena dampak liberalisasi menjadikan kota sebagai pusat atau konsentrasi ekonomi, baik sebagai pelabuhan ekspor, industri, jasa-jasa
perdagangan dan menjadi markas para pengusaha. Di Era Zaman Jepang Di zaman penduduk Jepang (19421945), secara struktural tidak ada
perubahan kedudukan kepala kampung. Hanya gelarnya saja yang berubah, yaitu menjadi Ku – Co dan mereka dibawah koordinasi Gun – Co. Tugasnya dititik beratkan pada pembangunan ekonomi peperangan Jepang. Untuk merapatkan barisan di
kalangan penduduk, diperkenalkan suatu sistem lingkungan Jepang, Tonari – Gumi, yaitu Rukun Tetangga yang meliputi setiap 10 rumah di suatu kampung. Tonari – gumi dipimpin oleh seorang Ku – Mi – Co (Ketua RT).